KITAB MUAMALAH
BAGIAN 02 (Halaqah 35-69)
Syarh/Penjelasan oleh:
Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri, M.A.حفظه اهلل
▪ 🗓 _SENIN_
| _03 Rajab 1442H_
| _15 Februari 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-35*
📖 _Jual Beli Sesama Komoditi Riba Bagian Pertama_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Masih bersama redaksi matan al-ghayah fil ikhtisyar buah karya syaikh imam Abu
Syuja’ rahimahullah ta'ala.
Tidak boleh menjualbelikan komoditi riba dengan sesama komoditi riba yang
sejenis (satu kering dan yang satu dalam kondisi masih basah).
Contohnya, Gandum yang baru panen (masih basah) dengan gandum yang
sudah siap dijadikan tepung (gandum kering), karena gandum basah yang baru
panen ketika nanti dijemur (dikeringkan) kadarnya pasti susut (mengalami
penyusutan) sehingga ketika terjadi barter gandum kering dengan gandum
basah, kurma kering dengan kurma yang masih basah (segar/baru panen) tidak
diketahui apakah kadar keduanya sama, tidak dapat dipastikan bahwa keduanya
dalam hitungan takaran atau volume yang sama.
Hanya prediksi, padahal dalam ketentuan jual beli komoditi riba dengan
komoditi riba, kesamaan takaran, kesamaan timbangan, betul-betul harus
terwujud, ketika transaksi, sama dapat dipastikan ini 1 kg dan ini 1 kg, atau ini 1
Liter dan ini 1 Liter.
Tidak boleh asumsi, kalau dikeringkan saya berasumsi akan mendapatkan 1 kg,
berarti ini 1 kg juga. Ini tidak boleh.
Asumsi semacam ini tidak berlaku (tidak diterima), adanya kesamaan yang
berdasarkan asumsi atau prediksi itu bisa benar bisa salah, bisa tepat bisa
meleset, dan tidak bisa dijadikan sebagai acuan dalam hukum riba, kesamaan
takaran, kesamaan volume itu betul-betul harus berdasarkan sesuatu yang real
(nyata) di saat transaksi dilangsungkan.
Beliau bertanya:
َ ب إِذَا يَ ِب
س؟ ُ َالرط
ُّ صُ أَيَن ْ ُق
Engkau bertanya perihal barter kurma kering dengan kurma segar, saya bertanya
kepada anda, "Apakah kurma segar ini kalau di keringkan nanti akan mengalami
menyusutan?"
Penanya menjawab: فَ ـ ـ ـ ـ ـ ـ َقــا ُلـ ـ ـ ـ ـ ــوا نَ ـ ـ ـ ـ ـ ـ َعـ ْم, “Tentu, wahai Rasulullah, pasti mengalami
penyusutan”.
Maka Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda: قـ ـ ـ ـ ــال فـ ـ ـ ـ ــال إذَن., “Kalau demikian,
maka tidak boleh barter kurma kering dengan kurma basah”.
Yaitu karena kurma basah akan menyusut ketika dikeringkan maka ketentuan
tasyawi, kesamaan kadar ini tidak dapat dipenuhi, maka itu adalah transaksi
terlarang, karena syarat jual beli barter komoditi riba barang-barang yang
berlaku padanya hukum riba harus betul-betul ada kepastian sama kadarnya.
Dan para ulama telah menjelaskan bahwa menurut madzhab Syafi'i komoditi riba
itu semua jenis bahan makanan, baik itu makanan pokok atau selain makanan
pokok, bila dibarterkan dengan sejenis. Beras dengan beras, jagung dengan
beras, ubi dengan beras, maka ada dua kondisi.
√ Kondisi pertama, bila sama jenisnya, jagung dengan jagung maka harus
memenuhi dua kriteria (dua persyaratan) transaksinya tunai terjadi serah terima
fisik di saat akad dan sama takarannya
√ Kondisi kedua, kalau ternyata itu barter antara dua jenis makanan yang
berbeda, jagung dengan buah apel misalnya, maka syaratnya satu yaitu terjadi
serah-terima fisik di saat akad. Ini di dalam madzhab Syafi'i.
Menurut madzhab yang lain dan itu, wallahu ta'ala a'lam yang lebih kuat bahwa
yang di maksud dengan komoditi riba itu hanya pada makanan pokok dan
kelompok bumbu, yaitu gandum, kurma, kemudian beras, jagung atau makanan
pokok yang lain, atau kelompok bumbu seperti garam, gula dan kelompok
bumbu yang lain seperti bawang dan yang serupa.
Bila dibarterkan dengan sesama, maka syaratnya dua yaitu tunai serah terima
fisik dan sama takarannya, sama satuannya. Kalau dibarterkan dengan berbeda
garam dengan beras, maka boleh beda takaran tetapi harus tunai.
Ini yang dimaksud dengan komoditi riba, memang ada perbedaan pendapat
yang lebih kuat adalah riba itu berlaku pada emas perak dan alat transaksi, itu
kelompok pertama, kelompok kedua adalah pada makanan pokok dan bumbu.
Ini pendapat yang diajarkan dalam madzhab imam Malik dan madzhab imam
Ahmad dan salah satu riwayat dari beliau, sehingga dengan kembali mengingat
penjelasan ini, maka kita bisa memahami pernyataan muallif (penulis) yaitu imam
Abu Syuja’ tentang larangan memperjualbelikan bahan makanan yang masih
basah dengan bahan makanan yang sejenis tapi dalam kondisi kering.
Karena ketentuan sama, takaran sama, volume itu betul-betul harus berdasarkan
pada fakta barang yang diperjualbelikan, bukan asumsi, prediksi atau taksiran
semata. Betul-betul harus sama sesuatu yang berdasarkan fakta real di saat
transaksi.
Ini yang bisa kita sampaikan pada kesempatan ini, kurang dan lebihnya mohon
maaf. Kita akhiri dengan kafaratul majelis.
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد إن ال إله إال أنت استغفرك وأتوب إليك
السالم عليكم ورحمة اهلل وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _SELASA_
| _04 Rajab 1442H_
| _16 Februari 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-36*
📖 _Jual Beli Sesama Komoditi Riba Bagian Kedua_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Shalawat serta salam tidak luput untuk kita haturkan kepada Nabi kita, Nabi
Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam, kepada keluarga dan juga sahabatnya
yang telah membuktikan ketulusan niat, kesungguhan perjuangan, pengorbanan
yang tanpa batas demi tegaknya dienul islam.
Masih bersama matan al-ghayah fil ikhtisyar buah karya syaikh imam Abu Syuja’
rahimahullah ta'ala. Pada sesi sebelumnya kita telah membaca penjelasan dari
beliau,
Tidak boleh menjualbelikan komoditi riba, yaitu bahan makanan pokok, menurut
pendapat yang rajih, ataupun bahan makanan secara umum dalam madzhab
Syafi'i dalam kondisi masih basah (belum kering) dijual dengan sesama bahan
makanan yang basah pula, sejenis.
Karena dalam memperjualbelikan dua barang riba makanan pokok yang sejenis
(gandum dengan gandum/kurma dengan kurma/jagung dengan jagung/gabah
dengan gabah) dipersyaratkan harus sama takaran dan sama kadarnya.
Sehingga ketika barang yang anda jual-belikan, dua-duanya dalam kondisi baru
panen (masih basah/belum dikeringkan), maka secara natural (alami) keduanya
akan mengalami penyusutan (pengeringan) dan kita atau anda sebagai penjual
tidak akan tahu apakah penyusutannya sama atau tidak.
Penulis mengatakan: ( إال ال ـ ـ ـ ـ ـ ـل ــنبkecuali susu), karena susu walaupun itu menjadi
bagian dari makanan pokok bagi sebagian orang, tetapi susu dikonsumsi dalam
kondisi cair sehingga tidak ada potensi untuk pengeringan susu (itu di zaman
dahulu, tentunya).
Demikian pula halnya buah-buahan yang tidak bisa dikeringkan, dalam madzhab
Syafi’i alasan berlakunya hukum riba adalah karena makanan, sehingga dalam
madzhab Syafi'i, buah-buahan yang tidak bisa dikeringkan seperti sebagian jenis
angur yang tidak bisa dijadikan sebagai kismis, jeruk (misalnya) atau yang
serupa, semangka, karena itu sebagai bahan makanan, membarterkan jeruk
dengan jeruk, semangka dengan semangka itu boleh, karena keduanya tidak
bisa dikeringkan alias tidak akan terjadi penyusutan kadar.
Adapun dalam madzhab yang lain (Imam Ahmad, Imam Malik) alasan berlakunya
hukum riba adalah sebagai makanan pokok atau bumbu.
Dengan demikian bahan makanan yang tidak termasuk sebagai makanan pokok
atau bumbu seperti sayur-mayur dan buah-buahan (bukan makanan pokok),
boleh dibarterkan secara bebas, sehingga boleh menjual pisang dengan keripik
pisang atau sale pisang, karena pisang bukan termasuk makanan pokok.
Ini yang bisa kami sampaikan, kurang dan lebihnya mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _RABU_
| _05 Rajab 1442H_
| _17 Februari 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-37*
📖 _Akad Salam Bagian Pertama_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Shalawat serta salam tidak luput untuk kita haturkan kepada Nabi kita, Nabi
Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam, kepada keluarga dan juga sahabatnya
Masih bersama matan al-ghayah fil ikhtisyar buah karya syaikh Imam Abu Syuja
rahimahullah ta'ala. Kita lanjutkan pada pernyataan al mualif rahimahullahu ta'ala
beliau mengatakan,
Misalnya, saya membelikan gabah misalnya varietas rajalele hasil panen tahun ini
dalam kadar misalnya 1 ton, yang dijualbelikan adalah gabah. Barangnya belum
ada, tetapi kriteria gabah tersebut sudah dijelaskan dengan tuntas, baik
jenisnya, kadarnya, kriterianya, mutunya. Misalnya gabah kering bukan gabah
basah, kadarnya hasil panen tahun ini semua sudah dijelaskan
Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu ta'ala anhu suatu hari pernah bersumpah
dengan mengatakan, "Sungguh demi Allāh, memperjualbelikan atau menjalin
akad salam yang barangnya (objeknya) diperdagangkannya, objek yang
diperjualbelikan itu telah dijelaskan kriterianya dengan tuntas, itu sungguh telah
َ َيا أ َ ُّي َها ا َّل ِذي َن آ َمنُوا إِذَا تَ َدا َينْت ُ ْم ِب َد ْي ٍن إِ َلىٰ أ َ َج ٍل ُم
س ًمّى فَا ْكتُبُو ُه
⠀⠀⠀
Ayat terpanjang dalam surat Al-Baqarah yang artinya, "Wahai orang-orang yang
beriman, bila kalian mengadakan suatu praktek hutang piutang hingga tempo
waktu tertentu maka tulislah.” [QS Al Baqarah: 282]
Buatlah alat bukti berupa tulisan atau nota atau yang serupa. Ayat ini
mengijinkan kepada kita untuk menjalin akad hutang piutang. Yang namanya
hutang itu bisa hutang harga, hutang uang, hutang barang.
Dalam akad salam, seorang yang menjalin akad salam atau dua orang yang
menjalin akad salam itu sejatinya sedang mengadakan hutang piutang dalam
barang. Karena pembeli melakukan pembayaran tunai di muka lunas.
Sedangkan penjual dia berkomitmen untuk mendatangkan barang yang
diinginkan dibeli oleh pembeli dengan harga yang telah lunas tersebut dan
barangnya sudah dideskripsikan (dijelaskan) kriterianya secara tuntas.
Nabi pada awal hijrah ke kota Madinah mendapatkan masyarakat setempat yaitu
penduduk kota madinah kala itu,
membeli hasil panen mereka (hasil ladang) dengan kriteria yang telah disepakati
namun pembayarannya di muka.
Dan kata Ibnu Abbas "kadang kala para tengkulak itu membeli dalam tempo
dua tahun berturut turut". Jatuh tempo serah terima barangnya itu dua tahun
alias ia membayar sekarang lunas, barang yang ia beli barang, baru akan
diterima dua tahun yang akan datang. Ada yang membeli hari ini lunas
pembayarannya. Barang yang dibeli baru diserah terimakan kapan? Setahun
yang akan datang. Ini praktek yang sudah turun temurun di masyarakat madinah.
Kemudian ketika nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mendapati praktek ini beliau
memberikan arahan kepada para sahabat, kepada para penduduk Madinah yang
telah menjalankan akad ini turun temurun dengan bersabda,
[HR Mutafaqun Alaih] ٍ شي ٍْء فَ ِفي َكيْ ٍل َم ْع ُلوم ٍ َو َوز ٍْن َم ْع ُلوم ٍ إلى أ َ َج ٍل َم ْع ُلوم َ س َل
َ ف في ْ َ من أ
Siapa pun yang menjalin akad salam dalam suatu produk, suatu barang
hendaknya dia mengadakan kesepakatan yang tuntas final jelas betul-betul
transparan. Akad salam tersebut dalam kadar yang jelas, takaran yang jelas,
timbangan yang jelas dan tempo yang jelas pula.
Karena dengan adanya kejelasan kriteria barang, kadar barang, tempo serah
terima barang, maka tidak akan terjadi perbedaan persepsi ataupun sengketa.
Sehingga kedua belah pihak pembeli ketika melakukan pembayaran lunas, dia
mendapatkan jaminan akan mendapatkan barang dengan kriteria yang
diinginkan.
Sehingga dalam akad salam ini ada maslahat, ada manfaat yang mustarokah
(manfaat yamg dirasakan) oleh kedua belah pihak. Atau disebut dengan
hubungan mutualisme.
Namun ada manfaat yang pasti didapat oleh pembeli dan itu lebih penting
dibandingkan sekedar murah ataupun mahalnya suatu barang. Yaitu dia
mendapatkan kepastian (jaminan) mendapatkan supply barang. Karena sering
kali pedagang membutuhkan kepastian bahwa pada tempo tertentu dia akan
mendapatkan barang pada waktu yang dia inginkan, dia mendapatkan barang
dengan kriteria yang dia inginkan dengan kadar yang dia inginkan.
Seringkali kepastian supply barang itu bagi para pedagang itu lebih penting
dibanding sekedar harganya lebih murah. Apalagi kalau anda seperti saat ini
memperhatikan dunia industri. Perusahaan berkepentingan untuk mendapatkan
kepastian stok bahan baku. Harga bisa jadi anda kirimkan hari ini atau anda
kirimkan sepuluh sebulan yang akan datang misalnya tapi harganya sama.
Tapi bagi perusahaan tidak masalah karena yang paling penting bagi mereka,
produksi mereka tidak terganggu, setiap hari berproduksi. Bahan baku yang
mereka inginkan itu ready sehingga mereka bisa berproduksi dengan schedule
yang telah ditetapkan tanpa terganggu oleh supply bahan baku.
Sehingga adanya kebutuhan yang berimbal balik, petani atau yang lainnya,
nelayan atau yang lainnya, mendapatkan dana segar untuk mereka kelola,
mereka gunakan sebagai modal bercocok tanam ataupun melaut untuk mencari
ikan, sebagaimana pedagang mendapatkan kepastian supply barang. Dan
manfaat kedua sering kali mereka mendapatkan harga yang lebih murah
Ini yang bisa kami sampaikan kurang dan lebihnya mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _KAMIS_
| _06 Rajab 1442H_
| _18 Februari 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-38*
📖 _Akad Salam Bagian Kedua_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Shalawat serta salam tidak luput untuk kita haturkan kepada Nabi kita, Nabi
Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam, kepada keluarga dan juga sahabatnya
Masih bersama matan al-ghayah fil ikhtisyar buah karya syaikh Imam Abu Syuja'
rahimahullah ta'ala. Kita lanjutkan pada penjelasan beliau.
Dengan adanya akad salam ini hubungan antara penjual dan pembeli itu betul-
betul hubungan yang mutualisme. Apalagi kalau anda cerminkan (camkan,
renungkan) kondisi para petani, kondisi para nelayan yang mereka seringkali di
saat produksi (saat tanam) saat mereka harus terjun ke laut untuk mencari ikan
seringkali mereka tidak memiliki dana, kekurangan dana.
Dana untuk apa? Untuk sekedar beli solar, untuk menghidupkan perahunya,
untuk melaut. Atau para petani seringkali juga kesusahan untuk membeli benih,
membeli pupuk, untuk membeli kebutuhan mereka selama musim tanam.
Sehingga hadirnya para pedagang yang mau menjalin akad salam, ini suatu
solusi yang efektif jauh dari praktek riba, tidak ada praktek eksploitasi, dan juga
tidak ada unsur tipu menipu, karena semuanya transparan dan semuanya
berkomitmen.
Sehingga ketika pada saat jatuh tempo nanti, pembeli akan mendapatkan
kepastian, jaminan mendapatkan supply barang (mendapatkan barang) yang
diinginkan. Sebagaimana di saat transaksi, produsen (petani, nelayan) atau yang
serupa dengan mereka, para produsen (misalnya) mendapatkan dana segar
untuk dijadikan modal untuk memproduksi atau mengolah lahannya ataupun
modal untuk pergi melaut mendapatkan ikan yang diinginkan oleh para
tengkulak.
Ini tentu suatu maslahat, karena Al-Imam Ibnu Khaldun rahimahullah, misalnya
dalam kitab Al-Muqaddimah memberikan satu analisa yang sangat penting.
Beliau mengatakan, "Mata uang, baik dinar, dirham, ataupun mata uang yang
ada di zaman kita, adalah salah satu indikasi dari kemajuan kehidupan
perkotaan, sehingga perputaran uang ditengah-tengah orang kota besar (dalam
jumlah yang banyak).
Karena uang itu harus diproduksi dulu, dihasilkan dengan teknologi yang
seringkali teknologi itu tidak dikuasai oleh sembarang orang, sehingga untuk
masyarakat perkotaan, perputaran uang di kota lebih besar. Sedangkan
kehidupan para petani, nelayan itu sangat-sangat sederhana. Mereka adalah
basis paling dasar dari produksi. Produksi di masyarakat pedesaan itu betul-
betul produksi dasar, hanya sebatas menabur benih kemudian memetiknya.
Belum ada unsur industri, masih sederhana sekali.
yang bagus, supply barang yang tepat waktu dalam kadar yang sesuai dengan
yang diinginkan tentu ini akan sangat bermanfaat dan menguntungkan para
pedagang.
Menguntungkan para industri, para produsen pada level kedua ataupun ketiga.
Pada level bahan setengah matang ataupun bahan olahan yang sudah siap
pakai. Karena mereka mendapatkan supply barang, mendapatkan mutu barang
yang bagus. Sehingga adanya akad salam, Subhanallah, itu membuktikan bahwa
Islam datang bukan untuk merusak, tetapi Islam datang untuk mempertahankan
yang baik.
Karena tadi disampaikan bahwa akad salam itu sudah ada turun-menurun
sebelum datangnya Islam. Islam hanya merestui tidak melarangnya, ini
membuktikan bahwa Islam bukan anti dengan kebaikan (radikal) tidak. Bahkan
Islam datang untuk
*Niscaya* para produsen tidak perlu untuk terjerat bunga, terjerat utang bank,
sebagaimana para tengkulak juga akan mendapatkan keuntungan. Persaingan di
antara tengkulak itu akan sehat, karena mereka bisa langsung berinteraksi
dengan para produsen, mendapatkan jaminan barang dengan harga yang
kompetitif dan ada ketepatan waktu.
Ini tentu satu kondisi yang patut kita upayakan, kita bangun agar sendi-sendi
ekonomi masyarakat betul-betul bergerak secara dinamis dan mutualisme.
Setiap komponen ekonomi masyarakat, elemen ekonomi masyarakat betul-betul
berputar bergerak berperan, bukan hanya mencari keuntungan pribadi, tetapi
juga bisa berputar bergerak bersama berjalan secara synergies dan mutualisme
(saling memberi manfaat saling menguntungkan).
Ini tentu suatu kondisi yang sangat indah andai masyarakat betul-betul
mengaplikasikan skema salam ini, niscaya jeratan para rentenir, para bankir yang
seringkali mengeksploitasi kondisi para produsen, kondisi para nelayan, para
petani, dapat dihindari sehingga terciptalah stabilitas ekonomi yang betul-betul
kokoh.
Ini yang bisa kami sampaikan kurang dan lebihnya mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _JUM’AT_
| _07 Rajab 1442H_
| _19 Februari 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-39*
📖 _Akad Salam: Syarat Pertama_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Shalawat serta salam tidak luput untuk kita haturkan kepada Nabi kita, Nabi
Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam, kepada keluarga dan juga para
sahabatnya yang telah membuktikan ketulusan niat, kesungguhan perjuangan,
pengorbanan demi tegaknya dinul islam.
Masih bersama pembahasan tentang salam yang diutarakan oleh syaikh Al-Imam
Abu Syuja' rahimahullah ta'ala. Kali ini beliau mengatakan,
ولـم تـد خـله، وأن يـكون جـنسا لـم يـختلط بـه غـيره، أن يـكون مـضبو طـا بـالـصفة:فـيما تـكامـل فـيه خـمس شـرائـط
النار إل حالته
Kata beliau: “Akad salam itu dibolehkan bila memenuhi lima persyaratan”.
Kriteria barang tersebut ada di pasaran (di masyarakat). Adapun barang yang
kriterianya tidak jelas, misalnya harta karun dengan mengatakan, "Saya kasih
kepada Anda uang 100 juta rupiah dengan catatan harta karun yang kau
dapatkan di dalam perut bumi (lautan) pada hari ini, yang kau ambil hari ini atau
sebulan yang akan datang itu, akan saya beli 100 juta".
Penjual tidak tahu apa harta karun yang biasa ia dapatkan, bahkan bisa jadi ia
tidak bisa menemukan harta karun tersebut. Maka mengadakan akad salam
pada barang-barang yang tidak bisa ditentukan kriterianya, penjual juga tidak
bisa memberikan jaminan akan bisa mendapatkan barang dengan spek (kriteria)
yang ditentukan diinginkan oleh pembeli. Ini sama saja jual beli dengan skema
gharar karena barangnya tidak jelas.
Sedangkan akad salam, akad salam itu biasanya terjadi pada barang-barang
yang banyak terdapat di masyarakat, mudah ditemukan di masyarakat sehingga
kriteria barang ketika dijelaskan, disepakati, maka penjual bisa menemukan
barang dengan kriteria tersebut di pasaran atau di masyarakat.
Dengan demikian ada kepastian, baik itu kepastian harga karena pembeli telah
melakukan pembayaran di muka, ataupun kepastian mendapatkan barang
karena barang yang memiliki kriteria tersebut, memiliki kriteria yang diinginkan
oleh pembeli dengan mudah didapatkan di pasaran atau banyak beredar di
pasaran
Sehingga syarat pertama agar akad salam ini tidak membuka pintu sengketa,
pintu gharar (ketidakpastian) yang mengakibatkan memakan harta sebagian
dengan cara-cara yang bathil, maka syarat pertamanya barang tersebut dapat
dideskripsikan kriterianya dengan jelas.
Sehingga ketika jatuh tempo (saatnya serah terima barang), kedua belah pihak
bisa menunjukkan, bisa mendapatkan, bisa membuktikan barang dengan kriteria
yang telah disepakati. Sehingga tidak terjadi sengketa, tidak terjadi praktek
memakan harta sesama kita dengan cara-cara yang bathil, ini syarat pertama.
Dan syarat ini walaupun dikatakan oleh al-muallif ini adalah syarat yang berlaku
pada hukum salam namun sejatinya ini adalah syarat yang berlaku pada semua
transaksi. Barang yang menjadi objek transaksi itu harus jelas dapat ditunjukkan
dapat disepakati kriterianya, sehingga ketika serah terima barang tidak terjadi
sengketa.
Sehingga dalil-dalil yang berkaitan dengan larangan jual beli gharar dapat
diterapkan pada permasalahan ini yaitu mengadakan kesepakatan akad salam
pada barang-barang yang harus bisa dijelaskan, dideskripsikan kriterianya
dengan jelas, sehingga tidak lagi ada ruang sengketa, ini syarat pertama.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini semoga Allah Subhanahu
ta'ala menambahkan ilmu, taufik hidayah kepada kita semuanya dan kurang
serta lebihnya saya mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _SENIN_
| _10 Rajab 1442H_
| _22 Februari 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-40*
📖 _Akad Salam: Syarat Kedua_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Shalawat serta salam tidak luput untuk kita haturkan kepada Nabi kita, Nabi
Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam, kepada keluarga dan juga para
sahabatnya yang telah membuktikan ketulusan niat, kesungguhan perjuangan,
pengorbanan demi tegaknya dinul islam.
Masih bersama pembahasan tentang salam yang diutarakan oleh syaikh Al-Imam
Abu Syuja' rahimahullah ta'ala. Kali ini beliau mengatakan,
فـيما تـكامـل فـيه خـمس شـرائـط أن يـكون مـضبوطـا بـالـصفة وأن يـكون جـنسا لـم يـختلط بـه غـيره ولـم تـدخـله الـنار
إلحالته
Kata beliau, ”Akad salam itu dibolehkan bila memenuhi lima persyaratan”.
Barang tersebut merupakan satu barang (satu produk) yang belum bercampur
(tidak dicampur) dengan bahan baku lainnya.
Kenapa demikian? Karena kita perlu memahami redaksi kitab Matnul Al-Ghayah
Fii Ikhtishar ini merupakan kitab yang ditulis pada abad pertengahan. Yaitu pada
tahun 500-an, sedangkan industri zaman dahulu masih sangat sederhana,
sehingga kombinasi barang ketika itu percampuran sering kali bersifat
spontanitas belum ada takaran yang jelas.
Sehingga ketika ada orang memesan barang, namun barang itu merupakan
campuran seperti pasta, jamu, dan yang serupa, maka di zaman dahulu sangat
sulit untuk membuat suatu adonan (satu campuran) yang betul-betul identik
sesuai dengan yang diinginkan oleh pembeli.
Sehingga kalaupun zaman dahulu ditakar, satu panci dengan satu panci, tapi
proses percampurannya sangat berat untuk bisa betul-betul percampuran itu
rata. Maka dalam konteks kehidupan zaman dahulu membuat akad salam pada
satu produk yang bahan bakunya itu percampuran dari banyak bahan baku, itu
bisa dikatakan sangat sulit untuk dipenuhi.
Contoh sederhana misalnya ketika membuat kue, kue zaman sekarang sudah
ada campuran tepung, telur, gula, keju, ada macam-macam. Proses
percampuran bahan baku itu zaman dahulu manual dengan tangan atau dengan
kayu, sehingga untuk terjadi pemerataan pada semua bagian itu sangat sulit.
Tapi di zaman sekarang dengan mixer dengan takaran yang detail hingga gram
bahkan mili gram (campurannya) bahkan kalau sudah menjadi produk bisa diurai
kembali di lab (dibuktikan) bahwa setiap produk itu mengandung kadar yang
sama atau kalaupun tidak sama betul-betul mencapai tingkat identik yang tinggi,
kemiripan keserupaan yang tinggi.
Di zaman sekarang teknologi sudah sangat maju, sehingga ketika kita membaca
redaksi perkataan para ulama bahwasanya tidak boleh menjalin akad salam pada
barang-barang yang bahan bakunya adalah campuran dari banyak bahan.
Tentu banyak orang akan mengatakan, "masihkah itu relevan?" kalau kita kaji
secara tekstual, kita akan dapatkan dengan mudah mengatakan, "Apa yang
dinyatakan oleh muallif di zaman sekarang sudah tidak relevan atau minimal
kurang relevan".
Tetapi ketika kita membaca redaksi, apalagi dalam ilmu fiqih kita harus
menyelami substansi, maksud tujuan dari adanya persyaratan ini, tidak cukup
kita berkata ini syarat tidak lagi relevan (kurang relevan). Tidak, karena adanya
syarat itu dilatar belakangi oleh adanya satu tujuan (satu maksud).
Mungkin realisasi atau aplikasi dari maksud tersebut diwujudkan dalam bentuk
syarat semacam ini betul kurang relevan, tetapi tujuannya (substansinya) masih
tetap relevan yaitu adanya kepastian barang, kriteria barang, adanya kepastian
produk. Bahwa produk tersebut betul-betul mengandung komposisi bahan-
bahan yang sesuai yang diinginkan oleh pembeli.
Sehingga (kalaupun) kita telah memiliki teknologi (zaman sekarang sudah ada
teknologi) akan tetapi ketika proses produksi masih menggunakan cara-cara
yang sederhana, dengan cara-cara yang mungkin klasik masih diaduk (manual)
cetakannyapun masih menggunakan tangan (belum menggunakan cetakan yang
baku) maka apa yang dinyatakan muallif ini masih relevan, karena cara kerja anda
masih sama dengan cara kerja orang zaman dahulu,
Tetapi ketika anda membuat satu produk yang bahan bakunya itu campuran dari
sekian banyak bahan dan prosesnya menggunakan bantuan mesin yang canggih
(percampurannya betul-betul maksimal) melebur semua bahan bakunya tidak
ada lagi yang tersisa dalam bentuk gumpalan, maka sangat mudah di zaman
sekarang kita mengatakan bahwa apa yang dijelaskan oleh muallif di sini tidak
lagi bisa tekstual tetapi kita harus kontekstual.
Bahwa substansinya masih bisa dipenuhi yaitu bahan baku suatu produk betul-
betul sesuai menghasilkan percampuran yang identik, sehingga ketika dicetak
kue atau obat-obatan atau produk lainnya. Ketika dicetak betul-betul setiap mili-
nya mengandung komposisi yang sama tidak berbeda sama sekali.
Ini substansi dari pernyataan muallif bahwa tidak boleh menjalin akad, membuat
satu akad salam dalam produk yang bahan bakunya itu melibatkan banyak unsur
(banyak bahan baku) percampuran bahan baku, misalnya jamu tradisional. Anda
bisa buktikan bahwa itu masih sangat sulit untuk menemukan kadar yang identik
pada setiap tetesnya, Karena percampurannya dengan sendok ataupun dengan
kayu.
Sehingga substansi dari adanya persyaratan ini bisa diwujudkan yaitu barang
tersebut betul-betul sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh pemilik atau
yang disepakati antara penjual dan pembeli. Ini syarat kedua.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga Allah
Subhanahu Wa Ta'ala menambahkan ilmu, taufik dan hidayah-Nya kepada kita
semuanya. Dan kurang, serta lebihnya saya mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _SELASA_
| _11 Rajab 1442H_
| _23 Februari 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-41*
📖 _Akad Salam: Syarat Ketiga_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Masih bersama pembahasan tentang salam yang diutarakan oleh Syaikh Al Imam
Abu Syuja' Rahimahullahu Ta'ala. Kali ini beliau mengatakan,
Kenapa demikian? Anda bisa bayangkan, ketika masyarakat pada abad 500
Hijriyah, pada tahun 500 Hijriyah atau pada abad 5 Hijriyah membuat kue
ataupun roti dengan oven yang sederhana, dipanggang di atas api. Anda bisa
bayangkan, akankah produsen roti bisa menghasilkan roti dengan ukuran,
dengan cetakan, dengan kadar kematangan yang sama. Sangat sulit. Bisa jadi,
Maka, di zaman dulu karena proses produksi yang melibatkan api itu masih
sangat sederhana, maka tidak boleh. Karena, ketika Anda sekarang menyepakati
akad salam pada satu produk roti atau kue misalnya, dengan komposisi
demikian, ukuran sekian, bisa jadi ketika saatnya jatuh tempo Anda
memproduksi, mungkin kegosongan, mungkin kurang matang, karena waktu
pembakarannya manual. Besar kecilnya api diatur secara manual.
Karena itu, sungguh benar para ulama telah menggariskan satu kaidah,
Anda tidak perlu kaget, Anda tidak perlu terperangah ketika ada suatu hukum
yang berubah seiring dengan perubahan tradisi dan gaya hidup masyarakat.
Kenapa? Karena dalam banyak hukum fiqih, para ulama itu membangun hasil
ijtihad mereka. Kesimpulan hukum mereka itu berdasarkan fakta yang ada di
lapangan, tradisi yang berjalan di masyarakat. Sehingga tatkala faktanya telah
berubah, tradisi telah berbeda, maka tentu harus ada upaya adaptasi, upaya
penyesuaian hukum. Bukan dalilnya yang diubah. Tetapi, aplikasi dalil tersebut
harus disesuaikan dengan kondisi yang ada di masyarakat. Sehingga ketika kita
membaca redaksi para ahli fiqih semacam ini,
النار إل حالته
ُ لم تد خل ُه
Proses pemasakannya, proses produksinya itu tidak melibatkan panas api. Ini
harus kita fahami dalam konteks kehidupan zaman dahulu. Anda bisa bayangkan
ketika orang manggang api dengan kayu, dengan arang. Itu sangat-sangat
kondisional. Ketika angin berhembus, berkobar apinya. Ketika tidak ada angin
berhembus, apinya surut. Mungkin Anda terlalu semangat mengobarkan apinya,
Anda tiup dengan mulut Anda, ataupun dengan kipas akan menghasilkan panas
dan api yang berbeda-beda. Tidak stabil.
Tapi zaman sekarang, ketika pemanas itu menggunakan mesin, listrik, kompor,
gas, sudah ada timer, ada pengukur suhu ruang, dan lain sebagainya, ada
automatic ketika mulai pemanasnya mencapai puncaknya, maka akan ada proses
pemadamannya, pembuangan suhu panasnya, dan lain sebagainya.
Sehingga produk itu dihasilkan dalam suhu panas yang konstan, yang stabil
dalam waktu yang stabil pula, yang jelas pula. Maka akan menghasilkan satu
produk yang betul-betul identik seperti yang digambarkan, dijelaskan oleh
pembeli.
Dengan perubahan ini, tentu mengharuskan kita untuk merubah fatwa. Bahwa,
membuat akad salam pada produk-produk yang diproduksi dengan melibatkan
pemanggangan, menggunakan panas atau menggunakan berbagai macam
bahan campuran itu boleh.
Bukan karena hukum fiqihnya yang berbeda, tetapi metode realisasi dari
substansi persyaratan tersebut yang telah berubah. Bahwa adanya persyaratan-
persyaratan itu tujuannya adalah untuk memberikan kepastian barang sama dan
identik dengan apa yang diinginkan oleh pembeli.
Maka ketika produk Anda tidak identik dengan apa yang diinginkan oleh
pembeli, maka potensi menimbulkan sengketa, potensi menimbulkan
perbedaan penilaian. Sehingga akan memunculkan gharar. Dan ini tentu
terlarang.
Sekali lagi, kita harus melihat substansinya. Jangan melihat dan membaca
teksnya. Karena adanya teks ini, adanya persyaratan ini adalah implementasi dari
satu ketentuan yang baku dalam syari'at bahwa barang yang diperjualbelikan itu
jelas. Itu yang disampaikan Nabi Shalallahu 'alaihi Wasallam.
ٍ شي ٍْء فَ ِفي َك ْي ٍل َم ْع ُلوم ٍ َو َوز ٍْن َم ْع ُلوم ٍ إلى أ َ َج ٍل َم ْع ُلوم َ س َل
َ ف في ْ َ من أ
Siapapun yang membuat akad salam, maka hendaknya dia membuat akad pada
produk atau pada barang yang takarannya jelas, timbangannya jelas, dan dalam
tempo yang jelas pula.
Kejelasan produk, kejelasan bahan atau barang yang menjadi objek akad tentu
bukan hanya dalam urusan takaran, bukan hanya dalam urusan timbangan atau
tempo waktunya. Tentu kriteria barang lebih urgent untuk ada kejelasan.
Buah itu, ada buah anggur, ada buah apel, ada buah mangga. Mangga pun
ternyata macam-macam. Membuat kesepakatan tentang jenis barang. Padi,
kalaupun kita jual beli gabah, gabah apa, beras, beras apa, jenisnya. Rojolele,
Pandan Wangi dan sebagainya. Tentu itu lebih layak, lebih urgent untuk
ditentukan jenisnya. Sehingga tidak menimbulkan persengketaan di kemudian
hari.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga Allah
Subhanahu Wa Ta'ala menambahkan ilmu, taufik dan hidayah-Nya kepada kita
semuanya. Dan kurang, serta lebihnya saya mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _RABU_
| _12 Rajab 1442H_
| _24 Februari 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-42*
📖 _Akad Salam: Syarat Keempat Dan Kelima_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Masih bersama pembahasan tentang salam yang diutarakan oleh Syaikh Al-
Imam Abu Syuja' rahimahullahu ta'ala. Kali ini beliau mengatakan,
Ini syarat keempat dan kelima: hendaknya barang yang dijadikan obyek
akad itu bukan barang yang terbatas dari tempat yang terbatas pula.
Kalau barangnya itu hanya ada satu yang punya juga cuma satu orang maka ini
potensi menimbulkan gharar (ketidakjelasan). Karena apa?
Misalnya perusahaan merk kendaraan, merk HP, merek mesin, AC ataupun yang
lainnya, walaupun produsennya jelas (satu produsen) tetapi ketersediaan barang
di pasaran sangat-sangat luas
Itu tujuannya adalah untuk memberikan kepastian bahwa pada saat jatuh tempo
penjual mampu mengadakan barang dan itu bisa terwujud. Tujuan ini dapat
terwujud walaupun di zaman sekarang anda menentukan merek, merek motor
Honda atau Yamaha.
Kalau misalnya HP, anda menentukan merk Apple atau Samsung misalnya. Itu
tidak mengapa. Komputer misalnya anda menentukan merk tertentu, laptop
misalnya Asus atau yang serupa,
Kenapa? Karena jumlah produksi yang sangat besar dan ketersediaan barang di
pasar juga sangat banyak. Karena ketika perusahaan produksi mereka segera
menurunkannya ke pasar, mendistribusikannya ke berbagai distributor, agen-
agennya di berbagai daerah.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini semoga Allah Subhanahu
ta'ala menambahkan ilmu, taufik hidayah kepada kita semuanya dan kurang
serta lebihnya saya mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _KAMIS_
| _13 Rajab 1442H_
| _25 Februari 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-43*
📖 _Akad Salam | Kriteria Barang Akad Salam Bagian Pertama_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Tidak luput shalawat serta salam untuk kita haturkan kepada Nabi kita, Nabi
Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam, kepada keluarga dan juga sahabat-
sahabatnya yang telah membuktikan ketulusan niat, kesungguhan perjuangan,
pengorbanan tanpa batas demi tegaknya dinul Islam.
Masih bersama tema Akad Salam. Al-Imam Abu Syuja rahimahullah ta'ala dalam
kitabnya Matnul Ghayah Fii Ikhtishar menyatakan:
Kata beliau: Barang yang boleh dijadikan sebagai objek salam. Objek salam
yaitu barang yang anda jual dengan skema salam alias pembeli melakukan
pembayaran tunai di muka dan penjual berkomitmen untuk mendatangkan
barang yang diinginkan dalam tempo waktu tertentu.
Barang yang boleh ditransaksikan dengan skema salam menurut muallif (Imam
Abu Syuja) ada 10 (sepuluh) kriteria. Bila 10 (sepuluh) kriteria ini bisa anda
penuhi atau terpenuhi pada barang yang akan anda jual belikan atau anda ingin
beli dengan skema salam. Maka boleh menggunakan skema salam, namun bila
tidak memenuhi persyaratan ini maka barang tersebut tidak bisa diperjualbelikan
dengan skema salam.
Adanya 10 (sepuluh) kriteria ini, lagi-lagi kembali kepada ketentuan baku yang
telah ditetapkan dan disepakati oleh para ulama, bahwa objek akad salam itu
adalah barang yang jelas ketika ditransaksikan, memiliki kriteria yang tetap (yang
jelas), sehingga tidak menimbulkan sengketa dikemudian hari antara penjual dan
pembeli. Dengan kata singkat barang tersebut (barang yang dijual dengan
skema salam) betul-betul bebas dari unsur gharar.
Kata beliau:
أن يصفه بعد ذكر جنسه ونوعه بالصفات التي يختلف بها الثمن
Barang tersebut haruslah disebutkan jenisnya (jenisnya barang apa), نـ ـ ـ ـ ــوع
(model atau typenya) semua itu dijelaskan dengan menyebutkan sifat-
sifatnya.
Sebagai contoh, kalau anda menjalin akad salam pada padi (gabah) maka
jelaskan bahwa kriteria pertama adalah gabah, kriteria kedua jelaskan gabah
tersebut varietas apa (cisedane misalnya), sebutkan sifatnya, hasil panen kapan
(tahun ini, misalnya), kadar keringnya, berapa persen kadar airnya. Berapa
persen pecahannya, karena buliran padi seperti anda cermati (anda tahu) buliran
itu ada yang utuh ada juga yang patah.
Kalau anda menjalankan akad salam pada kendaraan bermotor, maka sebutkan
roda dua atau roda empat. Misalnya jenisnya roda empat, sebutan merknya
(Toyota, misalnya), Toyota memiliki banyak jenis (Innova), Innova memiliki banyak
seri (sebutkan serinya) kemudian tahunnya, kondisinya, kemudian berbagai sifat
yang dibutuhkan sehingga betul-betul ketika sifat-sifat tersebut disebutkan
penjual dan pembeli memiliki persepsi (gambaran) yang sama tentang barang
yang akan ditransaksikan.
Semua ini adalah wujud dari realisasi adanya persyaratan bayan (penjelasan,
transparasi) dan juga ketetapan hilangnya atau tidak adanya unsur gharar pada
objek barang yang ditransaksikan (objek transaksi salam), sehingga disebutkan
jenisnya, modelnya, berbagai kriteria yang dibutuhkan, seakan-akan setelah
mendengar atau membaca kriteria barang tersebut, seakan-akan penjual dan
pembeli bisa melihat langsung, bisa mengkhayalkan, memvisualkan.
Seakan-akan terbayang dibenak keduanya, suatu produk atau barang yang kalau
itu diwujudkan atau keduanya kita bawa ke pasar maka tidak terjadi lagi
perselisihan tentang barang yang dimaksud.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga Allah
Subhanahu Wa Ta'ala menambahkan ilmu, taufik dan hidayah-Nya kepada kita
semuanya. Dan kurang, serta lebihnya saya mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _JUM’AT_
| _14 Rajab 1442H_
| _26 Februari 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-44*
📖 _Akad Salam | Kriteria Barang Akad Salam Bagian Kedua_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Masih bersama pembahasan tentang salam yang diutarakan oleh Syaikh Al-
Imam Abu Syuja' rahimahullahu ta'ala.
Al Mu'alif mengatakan,
Kalau itu gandum, kurma, beras, gabah, atau kedelai maka sebutkan kadarnya, 1
kilo, 1 ton, 1 karung, 1 kwintal atau berapapun. Silahkan menggunakan satuan
kadar yang disepakati. Bisa dengan volume, liter, atau drum, per mil, atau yang
lainnya. Sebutkan pula kalau itu kilo, kilonya.
Kalau itu meteran, satuannya adalah meteran. Maka sebutkan semeter, 2 meter,
10 meter. Kalau itu kriterianya adalah satuan, maka sebutkan berapa biji. Kalau
Anda menjalin akad salam pada elektronik misalnya berapa biji, berapa unit
kendaraan, berapa unit semuanya sebutkan. Sehingga tidak menimbulkan
perbedaan persepsi di kemudian hari.
ِ
محله وإن كان مؤجالً ذكر وقت
Dan kalau akad salam itu menggunakan tempo tertentu maka harus dijelaskan
kapan jatuh temponya.
Tahun, bulan, minggu, hari, tanggal, jam, kalau perlu menit. Sebutkan secara
tuntas. Sehingga penjual ataupun pembeli memiliki kejelasan kapan akan
Kalau Anda membeli barang dalam tempo yang panjang, satu tahun, 2 tahun,
biasanya penjual akan memberikan harga yang lebih murah tetapi ketika
temponya itu pendek bisa jadi harga tunai dan harga berjangka tidak berbeda.
Makanya jatuh tempo serah terima barang harus disepakati agar tidak
menimbulkan perselisihan dan sengketa di kemudian hari.
Dan telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam Madzhab Syafi'i salam itu ada
dua model, (yaitu) • Salam tunai dan • Salam yang non tunai.
Salam tunai itu, ketika anda mentransaksikan suatu barang dengan kriteria
pembeli melakukan pembayaran tunai di saat yang sama, di majelis yang sama
kemudian penjual baru mendatangkan barang. Seperti yang terjadi pada jual
beli elektronik semisal HP misalnya.
Ketika Anda bertransaksi datang ke toko HP, Anda tidak disuguhi, tidak
ditunjukkan barang yang akan Anda beli. Anda hanya ditunjukkan sampel
barang, deskripsi barang bahkan mungkin alat demo, hanya alat untuk
mendemokan barang yang Anda beli.
Ketika Anda sudah deal, bahkan melakukan pembayaran, baru barang yang
Anda beli ditunjukkan kepada Anda, dibuka segelnya, dipaparkan di hadapan
Anda dan kemudian barang tersebut diserahterimakan.
Atau sering pula pembeli ketika melakukan transaksi, dia hanya menggunakan
sample barang, gambar barang, deskripsi barang. Kemudian Anda melakukan
pembayaran tunai. Setelah Anda melakukan pembayaran tunai dalam tempo
waktu yang sangat pendek 1 - 2 jam, toko tempat Anda membeli segera
mengirimkan barang ke rumah Anda.
Tempo yang sangat pendek ini, masih dikategorikan sebagai salam yang tunai.
Kenapa? Karena tempo itu tidak mempengaruhi harga dan juga terlalu pendek.
Seperti ketika Anda jual beli mebel, meja, kursi, lemari, ranjang, kasur, dan yang
serupa. Anda datang ke toko mebel, anda hanya disuguhi gambar katalog
barang dan kadangkala Anda juga dipersilahkan melihat sample barang yang
sudah dipajang di toko tersebut.
Masih banyak bagian-bagian dari mebel tersebut yang dilepas, alias partisi.
Sehingga ketika sampai di rumah Anda, baru barang-barang tersebut dirakit.
Untuk kemudian menjadi sofa, menjadi kursi, menjadi meja, almari, atau yang
lainnya. Ini model akad salam tunai.
Dan dalam Madzhab Syafi'i juga ada akad salam atau diakui adanya akad salam
yang berjangka. Intinya, kedua model ini dalam Madzhab Syafi'i diakui
dibenarkan. Dan secara tinjauan dalil kedua-duanya juga sah, alias boleh. Tidak
ada dalil yang melarang salam tunai.
Sehingga persepsi sebagian orang yang mengatakan bahwa salam itu harus ada
tempo yang panjang dan harga pembayaran itu harus berbeda antara tunai
dengan harga non tunai, itu semuanya tidak tepat. Tidak ada dalil satu pun yang
mengharamkan salam tunai. Tidak ada satu dalil pun yang mengharuskan bahwa
harga tunai, serah terima barang seketika harus berbeda dengan harga salam
yang serah terima barangnya setelah tempo tertentu. Tidak ada dalil sama
sekali.
Yang ada itu hanya sebatas hikmah. Sebagian ulama menganalisa hikmah
disyariatkannya akad salam yaitu, pembeli seringkali, saya katakan seringkali
mendapatkan harga yang lebih murah. Kenapa? Karena murahnya harga,
potongan harga tersebut sebagai kompensasi atas tempo waktu serah terima
barang.
Namun secara tinjauan dalil tidak ada yang mengharuskan itu. Bahkan andaipun
harga salam lebih mahal dibanding harga tunai, yaitu ketika Anda melakukan
pembayaran penjual langsung menyerahkan barang lebih murah dibanding bila
Anda melakukan pembayaran hari ini, barangnya baru diserahkan setahun yang
akan datang, sebulan yang akan datang.
Berbagai model ini tidak masalah. Semuanya sah secara tinjauan syar'i. Karena
hukum asal transaksi jual beli itu adalah halal.
Kecuali jual beli yang jelas-jelas ada dalil melarangnya, itu urusan lain. Tapi
selama tidak ada dalil yang melarang, maka hukum asal dalam transaksi jual beli
muamalah adalah boleh.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga Allah
Subhanahu Wa Ta'ala menambahkan ilmu, taufik dan hidayah-Nya kepada kita
semuanya. Dan kurang, serta lebihnya saya mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _SENIN_
| _17 Rajab 1442H_
| _01 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-45*
📖 _Akad Salam | Kriteria Barang Akad Salam Bagian Ketiga_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Masih bersama pembahasan tentang salam yang diutarakan oleh Syaikh Al-
Imam Abu Syuja' rahimahullahu ta’ala.
Al mualif mengatakan,
Dan hendaknya barang yang menjadi obyek salam tersebut (objek akad
salam itu) secara tradisi ada (tersedia dengan banyak) di saat jatuh tempo.
Misalnya kalau anda menjalin akad salam pada buah-buahan yang itu hanya
berbuah ketika musim panas maka syaratnya anda boleh menjalin akad salam
Walaupun ketika transaksi anda di musim dingin tetapi asalkan jatuh temponya
itu di saat musimnya buah tersebut maka tidak mengapa.
Tetapi bila anda menjalin suatu akad di musim dingin untuk membeli atau
menjual barang-barang yang biasanya buah-buahan yang biasanya berbuah
ketika musim dingin tetapi ternyata anda membuat kesepakatan serah terimanya
di musim panas, maka ini sangat mustahil untuk bisa terjadi serah terima barang.
Karena buah-buahan tersebut hanya produksi, hanya berbuah di musim dingin,
sedangkan anda menginginkannya di musim panas.
Ini dalam konteks zaman dahulu sangat mustahil bisa terjadi, karena belum ada
freezer, belum ada cold room, belum ada pendingin, sehingga ketika buah itu
diproduksi di musim panas, maka ketika datang musim dingin buah-buah
tersebut biasanya sudah tidak ada (habis) di pasaran, tidak ada di ladang.
Karena itu zaman sekarang misalnya di negeri Arab, kurma segar itu produksinya
biasanya hanya di musim panas, tidak ada kurma produksi di musim dingin.
Tetapi tidak mengapa zaman sekarang karena sudah ada freezer, ada teknologi
penyimpanan cold room misalnya, ruang yang dingin yang bisa membekukan
apa saja mengawetkan apa saja yang disimpan di dalamnya.
Maka dalam konteks kehidupan modern tidak mengapa menjalin akad salam jual
beli ruthob (kurma segar) di musim dingin. Walaupun musim dingin itu bukan
musim panen kurma, karena telah terjadi perubahan gaya hidup, perubahan cara
hidup perubahan tradisi yang ada di masyarakat.
Di sinilah dituntut kefaqihan seseorang fleksibilitas seorang ahli fiqih untuk bisa
memilah antara hukum yang dibangun hukum yang ditetapkan oleh dalil yang
berdasarkan wahyu murni, dengan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan
fakta yang ada di lapangan.
Di saat zaman Nabi atau di zaman para ulama sehingga ketika kondisinya telah
berubah maka wajar dan bahkan menjadi satu keharusan untuk adanya revisi
hukum.
Sehingga para ulama mengatakan, hukum itu ada dua hukum yang dibangun
murni berdasarkan dalil (sebuah kesimpulan dari dalil) maka ini tidak bisa
diganggu gugat, tidak bisa berubah, tidak bisa diadaptasikan dimodernisasi
tidak bisa, hanya ada satu yaitu sami'na wa atho'na.
Tetapi ada hukum-hukum yang ditetapkan, dasarnya bukan sekedar dalil tetapi
dasarnya adalah pertimbangan terhadap fakta, urf (tradisi). Contoh, kewajiban
suami memberi nafkah kepada istri itu adalah satu ketetapan yang telah
digariskan dalam dalil ini tidak bisa berubah. Suami sampai kapanpun
berkewajiban menafkahi.
Tetapi, apa bentuk nafkahnya? kurma, gandum atau beras dan sagu. Ketika kita
mengkaji literasi para ulama yang tinggal di negeri Arab. Kita akan mendapatkan
bila suami itu sudah memberikan nafkah berupa kurma, gandum maka dianggap
sudah memberi nafkah, tetapi di negeri yang mengkonsumsi beras,
mengkonsumsi jagung, mengkonsumsi sagu ketika diberi satu kilo kurma, suami
memberi nafkah makan kepada istrinya 1 kilo kurma sekali makan.
Sehari 3 kilo kurma maka dianggap belum memberi nafkah. Kenapa? karena
tradisi memberi nafkah masyarakat setempat tidak mengkonsumsi kurma
sebagai makanan pokok tetapi mengkonsumsi beras, nasi.
Tetapi di negeri-negeri yang rumahnya itu terbuat dari kayu ketika suami itu
membangunkan rumah dari tanah, maka dianggap belum memberikan rumah
yang layak. Demikian pula sebaliknya.
Sehingga ketika kita membaca literasi fiqih yang terkesan tidak relevan lagi
dengan perkembangan zaman, maka memang seringkali perlu adanya
modernisasi ketentuan hukum, namun perlu diingat yang dimodernisasi itu
bukan hukum yang telah ditetapkan dalil, tetapi hukum-hukum yang berkaitan,
hukum-hukum yang berputar sekitar atau seputar aplikasi dari suatu hukum,
suatu ketetapan syariat. Itulah yang akan mengalami perubahan.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga Allah
Subhanahu Wa Ta'ala menambahkan ilmu, taufik dan hidayah-Nya kepada kita
semuanya. Dan kurang, serta lebihnya saya mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _SELASA_
| _18 Rajab 1442H_
| _02 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-46*
📖 _Akad Salam | Kriteria Barang Akad Salam Bagian Keempat_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Masih bersama pembahasan tentang salam yang diutarakan oleh Syaikh Al-
Imam Abu Syuja' rahimahullahu ta'ala.
Al-Muallif mengatakan:
Dan di antara hal yang perlu disepakati dalam akad salam adalah tempat
serah terima barang.
Karena bisa jadi anda beli barang di kota Jakarta dan ternyata anda
menginginkan penyerahan barang di kota lain, alias anda mensyaratkan kepada
penjual untuk menanggung biaya pengiriman barang.
Sehingga ketika serah terima barang itu di kota (negeri, daerah) yang berbeda
dengan tempat terjadinya transaksi, maka harus ada kesepakatan dimanakah
barang itu akan diserahkan. Bahkan sampaipun di satu kota yang sama, bisa jadi
anda di ujung timur kota sedangkan penjual berada di ujung barat. Ini perlu ada
kejelasan dimana anda akan menerima (barang).
Apakah anda akan mengambil sendiri di toko, di saat jatuh tempo, atau anda
meminta kepada penjual untuk mengirimkan barang tersebut ke tempat
(kediaman anda) atau tempat yang anda tuju.
Ini semua harus dijelaskan, apalagi bila perbedaan tempat serah terima itu
membutuhkan fasilitas (kendaraan) bahkan membutuhkan biaya, maka salah satu
ketetapan yang harus anda penuhi adalah menjelaskan tempat serah terima
barang.
وأن يـكون الـثمن مـعلومـا وأن يـتقابـضا قـبل الـتفرق وأن يـكون عـقد السـلم نـاجـزا ال يـدخـله خـيار
الشرط
Tidak ada penundaan sedikitpun. Karena namanya akad salam diambil dari kata
salama-yusalimu yang artinya menyerahkan uang pembayaran. Sehingga dalam
akad salam tidak ada opsi DP, tidak ada opsi cicilan, betul-betul harus lunas di
saat transaksi.
Kemudian syarat terakhir, akad salam itu adalah akad yang final tidak boleh ada
khiyar dengan mengatakan (misalnya) "Saya membeli produk ini dengan skema
Tidak boleh ada khiyar asy-syarth dalam akad salam, karena khiyar asy-syarath ini
menjadikan akad salamnya tidak menentu dan itu tidak sejalan dengan
kewajiban menghindari gharar dalam akad transaksi salam ataupun yang lainnya.
Sehingga sekali lagi perlu ditekankan, dalam akad salam tidak boleh ada opsi
(persyaratan) khiyaru asy-syarth (mengajukan hak pembatalan akad setelah
transaksi) tidak boleh ada itu. Sehingga akad salamnya, betul-betul akad yang
final.
Ini kriteria-kriteria barang yang boleh ditransaksikan dengan skema akad salam.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _RABU_
| _19 Rajab 1442H_
| _03 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-47*
📖 _Rahn (Gadai) Bagian Pertama_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Tidak lupa shalawat serta salam kita haturkan kepada Nabi kita, Nabi
Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam, kepada keluarga dan juga sahabat-
sahabatnya yang telah membuktikan ketulusan niat, kesungguhan perjuangan,
demi tegaknya diinul islam.
Kali ini kita memasuki satu pembahasan atau tema baru yaitu pembahasan
tentang,
Semua barang atau benda yang boleh untuk diperjualbelikan, maka boleh
digadaikan.
Gadai dalam kajian para ahli fiqih terjadi dua pemahaman besar yang sangat
berbeda tentang persepsi apa itu gadai dan apa fungsi gadai.
Sebagian ulama berpendapat bahwa, fungsi utama gadai adalah sebagai alat
untuk memback up, sebagai media cadangan untuk pembayaran hutang yang
macet, alias kalau anda berhutang kepada seseorang, kemudian anda
menggadaikan suatu barang.
Maka tujuan utama dari gadai adalah memungkinkan yaitu agar pihak kreditur
yang menghutangi anda sejumlah uang, bisa mengambil haknya, mengambil
piutang yang ia berikan kepada anda, dari nilai jual barang tersebut, dari nilai
jual barang gadai.
Mengikat atau memberikan jaminan atas suatu piutang dengan suatu benda
yang piutang tersebut dapat dilunasi dari nilai jual barang atau benda tersebut.
Aliran pertama ini, sudut pandang pertama ini menganggap bahwa tujuan
utama gadai adalah untuk memback up nilai piutang, sehingga ketika terjadi
gagal bayar atau kesusahan atau kesulitan untuk melakukan pelunasan pada saat
jatuh tempo, maka pihak kreditur bisa mengambil haknya, mendapatkan kembali
haknya dengan cara melelang, menjual barang yang digadaikan tersebut.
Misalnya: Berhutang 1 Miliar, ternyata nilai gadainya 100 Juta, maka ini tidak
sejalan dengan tujuan dan maksud utama dari gadai.
Ini konsekuensi hukum yang muncul dari persepsi bahwa gadai itu tujuan
utamanya adalah sebagai alternatif pembayaran bila terjadi gagal bayar.
Dan ini merupakan satu aliran beberapa madzhab dalam literasi fiqih, misalnya
madzhab Imam Syafi'i, Imam Ahmad serta yang lainnya.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _KAMIS_
| _20 Rajab 1442H_
| _04 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-48*
📖 _Rahn (Gadai) Bagian Kedua_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Aliran kedua, satu pemahaman yang mengatakan bahwa tujuan utama gadai
adalah sebatas alat bukti, bahwa adanya akad hutang piutang, adanya hak yang
tertunda atau tertangguhkan.
Sehingga menurut aliran kedua atau sudut pandang kedua ini, gadai itu sangat
fleksibel tidak serta merta harus senilai dengan piutang, tidak harus bisa dijual
karena tujuan gadai adalah untuk memberikan jaminan sebagai alat bukti, bahwa
telah terjadi hubungan hutang-piutang antara kedua belah pihak atau adanya
hak yang tertunda.
Karenanya menurut aliran pemahaman atau pola pikir dan sudut pandang kedua
ini, gadai itu lebih fleksibel, karena bisa jadi anda menggadaikan sesuatu yang
tidak bisa dijual belikan.
Aliran kedua ini sejalan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat
Al-Baqarah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS Al-Baqarah:283)
َكـ ـ ـ ـ ـ ـ ِـjuru
Bila kalian sedang dalam satu perjalanan dan kalian tidak menemukan ـات ۭبًـا
tulis, tidak mendapatkan notaris kalau zaman sekarang, tidak bisa membuat alat
bukti berupa surat utang piutang, maka agar hutang piutang ini tidak terjadi
sengketa di kemudian hari, tidak ada pihak-pihak yang mengingkari.
وض ٌۭة
َ ُفَ ِر َهـٰ ۭ ٌن َّم ْقب
Maka datangkanlah barang gadai yang diserah terimakan kepada pihak yang
menghutangkan.
Kalau kita cermati ayat ini, kita sandingkan dengan ayat yang sebelumnya yang
berbunyi:
َ يَٰٓأَيُّ َها ٱ َّل ِذي َن َءا َمن ُ ٓوا ْ إِذَا تَ َدايَنتُم ِب َدي ٍۡن إِ َلىٰٓ أ َ َج ٖل ُّم
ُۚس ٗمّى فَٱ ۡكتُبُوه
Kalau kita sandingkan kedua ayat ini, niscaya kita akan bisa melihat dengan jelas
bahwa syariat mengadakan gadai itu difirmankan oleh Allah Subhanahu wa
Ta'ala dalam konteks alat bukti transaksi utang piutang, yaitu tulisan atau saksi
dan yang ketiga adalah barang gadai.
Sehingga pemahaman kedua yang menyatakan bahwa tujuan utama dari gadai
ini adalah sebagai alat bukti, maka apapun yang bisa menjadi alat bukti bahwa
itu ada hubungan dagang ada hubungan utang piutang maka tidak masalah,
sah-sah saja. Walaupun alat bukti itu tidak bisa dijual belikan.
Contoh sederhananya:
Di zaman sekarang banyak orang yang menggadaikan KTP, SIM (surat izin
mengemudi), Ijazah dan yang serupa, padahal itu tidak bisa diperjualbelikan.
Tidak ada nilainya, tetapi boleh digadaikan, Kartu Keluarga, sebagai apa?
Sebagai bukti adanya ikatan hutang piutang.
Sehingga pemahaman yang kedua inilah wallahu ta'ala a'lam yang lebih sejalan
dengan praktek masyarakat dan kedua sejalan dengan keumuman dalil yang
ada. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan dalam surat Al-Baqarah di atas,
kalau tidak menemukan saksi maka datangkanlah barang gadai.
Pada ayat ini tidak ada ketentuan bahwa barang gadai itu harus bisa dijual
belikan. Adanya manfaat gadai yang bisa dijualbelikan sehingga dari nilai jual
belinya itu kita bisa melakukan pembayaran atau pihak kreditur bisa mengambil
haknya dari nilai jual barang tersebut. Itu manfaat tetapi buka tujuan utama.
Sehingga kalau ada kesepakatan untuk terjadinya gadai barang yang tidak bisa
dijual belikan semisal Ijazah, SIM , KTP, KK, maka tidak ada yang bisa melarang,
tidak boleh ada yang melarang karena tidak dalil.
Apalagi kaidah umum dalam bab muamalah, dalam bab transaksi akad, hukum
asalnya adalah halal sampai ada dalil yang dengan tegas dan jelas, dalil yang
valid, dalil yang shahih dan jelas-jelas melarang pergadaian atau menggadaikan
barang yang tidak dapat dijual belikan.
Sehingga wallahu ta'ala a'lam, perlu diluruskan bahwa tujuan utama gadai itu
adalah sebagai alat bukti, bukan sebagai alat pembayaran, bukan instrument
pembayaran.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _JUM’AT_
| _21 Rajab 1442H_
| _05 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-49*
📖 _Rahn (Gadai) Bagian Ketiga_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Tidak ada istilah gadai yang hangus, di masyarakat ada budaya yang buruk,
ketika pihak yang berhutang gagal membayar (jatuh tempo) dan dia belum
mampu membayar hutangnya.
Sering kali barang gadai tersebut dianggap hangus, alias tidak dapat diminta
kembali. Dan berapapun nilainya maka barang tersebut akan menjadi milik pihak
yang mengutangi atau kreditur sebagaimana hutangnya dianggap lunas.
Barang gadai itu, statusnya masih sah milik pihak yang menggadaikan, pihak
yang berhutang, kemudian menggadaikan barang tersebut.
َو َع َل ْي ِه ُغ ْر ُم ُه
Dan sebaliknya kalau ternyata nilai jualnya di bawah hutang, lebih kecil
dibanding nominal hutang yang dia pikul (tanggung) maka ia masih tetap
berkewajiban untuk melunasi sisa pembayaran, tidak dianggap hangus begitu
saja.
Sebagaimana kalau ternyata terjadi kerusakan pada barang gadai atau terjadi
pertambahan nilai atau mungkin terjadi perkembangan, misalnya hewan ternak
karena ia beranak pinak. Maka kemanfaatan barang gadai dan resiko barang
gadai sepenuhnya masih tetap dan ditanggung dan menjadi milik orang yang
menggadaikan. Sehingga tidak ada kata hangus.
Dari hadits ini dapat ditarik satu isyarat, satu petunjuk yang jelas bahwa barang
gadai bukan alat atau instrumen pembayaran, tetapi hanya sebatas alat bukti
yang salah satu fungsinya adalah bisa dialih-fungsikan sebagai media untuk
pembayaran dengan cara dilelang, dijual sesuai dengan harga pasar (harga yang
wajar).
Ini satu pemahaman yang berdasarkan persepsi pertama bahwa barang gadai
itu adalah instrumen pembayaran. Namun sekali lagi, aliran ini atau sudut
pandang ini kurang tepat, kurang sejalan dengan dalil, karena dalil-dalil yang
ada justru mengisyaratkan bahwa gadai itu tujuan utama atau fungsi utamanya
adalah sebagai alat bukti, bukan sebagai alat pembayaran.
Dengan demikian apa yang disampaikan oleh muallif, bahwa semua yang boleh
dijual belikan, boleh digadaikan, ini kurang tepat, karena pembayaran atau
barang gadai tidak serta merta, tidak selalu akan dijual belikan.
Tetapi fungsi utama barang gadai adalah sebagai alat bukti, karena itu praktek di
masyarakat dan itu secara de facto secara hukum syariat adalah boleh.
Menggadaikan semisal ijasah, KTP atau KK, itu benar. Dan masyarakat
alhamdulillah walaupun di negeri kita bermadzhab syafi'i tetapi secara de facto
secara kenyataan, faktanya mereka walaupun tidak mengakui madzhab Maliki
tetapi prakteknya mereka menerapkan madzhab Imam Malik yaitu
menggadaikan barang-barang yang tidak bisa dijual belikan seperti Ijazah, KTP,
KK , SIM dan yang serupa.
Namun semua orang sepakat ketika pihak kreditur mendapatkan jaminan berupa
KK, Ijazah, KTP atau SIM, maka semua masyarakat akan mengakui bahwa adanya
KK itu sebagai bukti yang nyata (valid dan meyakinkan) bahwa telah terjadi
hubungan dagang atau utang piutang dengan kedua belah pihak.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _SENIN_
| _24 Rajab 1442H_
| _08 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-50*
📖 _Rahn (Gadai) Bagian Keempat_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Al Mu'alif Rahimahullahu Ta'ala, pada bab ini beliau tidak menjelaskan tentang
satu hal penting yang ini merupakan pondasi dari pembahasan masalah gadai.
Akad gadai, itu bukan akad yang wajib. Alias ketika Anda menjalin suatu ikatan
utang piutang tidak wajib untuk apa? Untuk memberikan gadai. Walaupun pada
akad utang piutang tersebut tidak terjadi alat bukti berupa tulisan. Dan juga
tidak terjadi saksi (persaksian). Alias dengan kata lain, membuat alat bukti
transaksi utang piutang itu bukan suatu kewajiban. Tetapi itu adalah Sunnah
semata.
Sehingga kalau ternyata Anda memilih untuk tidak membuat alat bukti, baik itu
tulisan, atau persaksian, atau barang gadai, maka sah-sah saja secara hukum.
Boleh Anda bertransaksi tanpa adanya alat bukti. Karena Allah telah katakan, (di
dalam QS. Al-Baqarah :283)
ََّضا فَ ْل ُي َؤ ِّد ا َّل ِذي ا ْؤتُ ِم َن أ َ َمانَت َ ُه َو ْل َيت َّ ِق اهلل ُ فَ ِإ ْن أ َ ِم َن َب ْع
ً ض ُك ْم َب ْع
Kalau dalam suatu hubungan dagang, suatu hubungan utang piutang itu terjadi
rasa saling percaya, ada kepercayaan yang berimbal balik, sehingga keduanya
merasa tidak perlu untuk membuat alat bukti dan juga tidak mendatangkan
saksi, maka itu tidak masalah.
Tentu ini tidak sesuai dengan semangat awal ketika menjalani akad, didasari
dengan saling kepercayaan namun ternyata kepercayaan itu fiktif, kepercayaan
tersebut palsu.
Para Fuqoha, juga telah menjelaskan, bahwa akad gadai itu termasuk akad yang
mengikat dari salah satu pihak. Tetapi tidak mengingkari dari sisi pihak kedua.
Dari sisi ( الـ ـ ّـراهـ ــنyang menggadaikan) yaitu orang yang berhutang maka, gadai itu
mengikat. Alias kalau dia sudah serahkan barang gadai, maka dia tidak bisa
menarik, dia tidak bisa mengambil, tidak berhak mengambil barang gadai
tersebut. Kecuali dengan satu dari dua alasan:
• Pertama, dia telah melunasi kewajiban utang piutangnya.
• Yang kedua, mendapatkan izin dari yang menghutangkan.
Namun dari pihak yang menghutangi (kreditur) maka, gadai itu termasuk akad
yang jaiz (akad yang tidak mengikat). Alias dia bisa kapan saja, suka atau tidak
suka pihak kedua, maka dia berhak untuk membatalkan akad gadai. Dan
mengembalikan barang gadai kepada pemiliknya.
Dan sekali lagi, perlu ditekankan bahwa gadai itu hanya sebatas تَ ـ ـ ـ ـ ْو ِثـ ـ ـ ــقة/tautsiqoh
(sebagai alat bukti) bukan sebagai wafa' (bukan sebagai pembayaran). Dengan
demikian, karena itu sebatas alat bukti tidak memindahkan kepemilikan, maka
pihak penerima gadai tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadai. Baik
dengan cara bercocok tanam, mengambil susunya, menungganginya,
menyewakannya, atau mengambil uang sewanya. Semua itu tidak berhak dia
lakukan.
Kalau ternyata barang yang digadaikan itu menghasilkan manfaat berupa pohon
yang berbuah atau hewan yang menghasilkan susu atau anak atau telur, maka
pertambahan nilai dan manfaat yang didapat dari barang gadai itu tetap
menjadi milik siapa? Milik pihak yang menggadaikan. Yaitu pihak yang
berhutang.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _SELASA_
| _25 Rajab 1442H_
| _09 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-51*
📖 _Rahn (Gadai) Bagian Kelima_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Al muallif mengatakan,
Adanya gadai itu menurut madzhab Syafi'i itu hanya dibolehkan pada akad
hutang piutang yang sudah inkrah (berkekuatan hukum). Adapun hutang piutang
yang berpotensi gagal (batal) berhutang, maka belum boleh ada akad gadai.
Alias saya berhutang pembelian motor ini. Maka dalam tempo satu bulan Anda
belum inkrah (berkekuatan hukum), hutang piutang antara Anda dan penjual
belum berkekuatan hukum alias masih ada kemungkinan batal.
Walaupun secara de facto karena Anda telah menerima motor dan Anda telah
membuat komitmen akan membeli dengan catatan adanya hak khiyar, maka
Anda punya kewajiban untuk melakukan pembayaran.
Namun demikian kewajiban ini ada kemungkinan batal. Karena bisa jadi Anda
akhirnya memutuskan untuk membatalkan jual-beli ini. Sehingga hutang nilai
penjualan motor ini belum berkekuatan hukum alias masih ada kemungkinan
batal.
Maka dalam kondisi semacam ini belum boleh ada gadai walaupun Anda sudah
mengikrarkan berhutang tetapi karena hutang Anda itu masih potensi batal
maka Anda belum boleh mengadakan gadai.
Pihak yang menjual juga belum boleh meminta barang gadai, kenapa? Ini adalah
konsekuensi dari sudut pandang yang pertama, bahwa gadai itu adalah
instrument pembayaran. Karena hutangnya masih potensi batal maka belum ada
pembayaran, belum ada kewajiban untuk melakukan pembayaran.
Karena belum ada kewajiban melakukan pembayaran masih ada potensi batal,
maka berarti belum boleh ada gadai. Ini konsekuensi dari anggapan bahwa
gadai itu adalah instrument pembayaran.
Namun kalau kita kembali kepada yang telah disampaikan bahwa gadai bukan
instrument pembayaran, gadai hanya sebatas alat bukti adanya ikatan hutang
piutang, atau bahkan gadai itu hanya sebatas alat bukti mutlak. Maka tidak
mengapa Anda menyerahkan barang gadai kepada penjual walaupun Anda
masih ada kemungkinan untuk membatalkan transaksi jual beli tersebut.
Bahkan lebih jauh dari itu, kalaupun tidak ada hubungan hutang piutang sama
sekali karena gadai hanya sebatas alat bukti, maka gadai boleh diaplikasikan
pada akad-akad lain yang tidak ada kaitannya dengan hutang piutang.
Sehingga wallahu ta'ala 'alam pendapat yang kedua inilah yang lebih fleksibel
dan sesuai dengan praktek masyarakat zaman sekarang dan bahkan sejak zaman
dahulu yang itu merupakan anggapan (persepsi) bahwa gadai itu sebatas alat
untuk bukti bukan alat untuk pembayaran, maka pendapat ini lebih fleksibel dan
sekali lagi itu sejalan dengan praktek masyarakat sepanjang masa dan itulah
yang diajarkan dalam madzhab Al Imam Malik rahimahullahu ta'ala.
Ketika beliau meninggal, nabi belum sempat melunasi (menebus) barang gadai
tersebut sehingga hadits ini membuktikan bahwa gadai itu satu ketetapan (satu
hukum) syarat yang tidak dianulir karena tetap dipraktekkan nabi sampai akhir
hayatnya.
Dan kesimpulan dari apa yang disampaikan bahwa gadai hanya sebatas alat
bukti, alat untuk pembuktian adanya hubungan antara kedua belah pihak bukan
instrument pembayaran.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _RABU_
| _26 Rajab 1442H_
| _10 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-52*
📖 _Rahn (Gadai) Pembatalan Akad Gadai Bagian Pertama_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ar-rahin ( )ال ــراه ــنyaitu pihak yang menggadaikan yang notabene dia adalah pihak
yang berutang, biasanya berhak untuk membatalkan gadai selama امل ـ ـ ـ ـ ـ ــرت ـ ـ ـ ـ ـ ـه ـ ــن
(penerima gadai) belum menerima barang yang digadaikan tersebut.
Alias di antara mereka baru terjadi kesepakatan lisan, belum terjadi serah terima
fisik barang yang digadaikan. Maka dalam kondisi semacam ini pihak pemilik
barang yang berutang berhak membatalkan gadai secara sepihak, walaupun
pemberi utang (kreditur) mungkin tidak rela. Dia ingin tetap melanjutkan akad
gadai tersebut.
Namun ketika barang telah diserahterimakan pada kreditur maka akad tersebut
telah sempurna dan secara hukum mengikat pihak penggadai (pihak yang
menggadaikan) walaupun dari pihak kreditur (penerima gadai), sekali lagi
(seperti yang pernah kita sampaikan pada sesi sebelumnya) gadai itu bersifat
tidak mengikat dari sisi pihak kreditur alias kreditur penerima barang gadai
Bahkan barang gadai telah berada di tangannya untuk sekian lama waktunya,
akan tetapi dari pihak pengutang (yang berutang) yang notabene dia adalah
pemilik barang gadai yang kemudian mengadaikan barang tersebut maka akad
gadai itu bersifat final (mengikat) apabila sudah diserahterimakan, maka tidak
boleh dibatalkan.
"Jika kalian berutang (menjalin akad utang piutang) di saat kalian sedang safar
kemudian kalian tidak menemukan juru tulis, atau konteks kehidupan modern
adalah tidak menemukan notaris atau tidak menemukan orang yang bisa
membuat akad transaksi utang piutang secara legal (tidak ada alat tulis, tidak
ada materai) maka hendaknya kalian membuat alat bukti atas transaksi utang
piutang tersebut dengan mengadakan barang gadai yang diserahterimakan
kepada kreditur.” [QS Al-Baqarah: 283]
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala mensifati barang gadai itu dengan
kata-kata maqbudhah (وض ٌۭة
َ ُ ) َّم ْقبyang diserahterimakan.
Menurut penafsiran dalam madzhab Syafi'i bahwa ayat ini memberi satu isyarat
(petunjuk) atau ayat ini menjadi satu dalil yang nyata bahwa gadai itu baru
sempurna, baru berkekuatan hukum (inkrah) sehingga mengikat pihak yang
menggadaikan (pihak yang berhutang) bila barang gadai itu telah
diserahterimakan.
Sehingga sekali lagi selama barang gadai belum diserahterimakan, maka belum
berkekuatan hukum dan belum mengikat sehingga boleh dibatalkan oleh kedua
belah pihak termasuk oleh pihak yang berutang.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang dan lebihnya
mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _KAMIS_
| _27 Rajab 1442H_
| _11 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-53*
📖 _Rahn (Gadai) Pembatalan Akad Gadai Bagian Kedua_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kenapa demikian? Karena kesepakatan atau akad itu adalah sebuah janji
(komitmen) sebuah ikatan akad yang kalau telah disepakati maka harus dipenuhi.
ِ يَـٰٓأَيُّ َها ٱ َّل ِذي َن َءا َمن ُ ٓوا ۟ أ َ ْوفُوا ۟ ِبٱ ْل ُع ُق
ود
"Wahai orang-orang yang beriman penuhilah setiap akad yang telah kalian
jalin.” [QS Al-Māidah: 1]
Sehingga keumuman ayat ini, menunjukkan dengan tegas bahwa setiap akad itu
harus dipenuhi dan tentu ketika si A membatalkan gadai (tidak jadi menyerahkan
barang gadai) kepada si B. Berarti secara de facto si A telah melanggar
ketentuan ayat ini. Yaitu kewajiban untuk memenuhi akad.
Padahal ingkar dan bohong adalah salah satu perangai orang munafik dan itu
tercela dan haram. Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda:
َ ث َكذ
َب ِ َ آيَ ُة املُن
َ إذَا َح َّد:ٌاف ِق ثَ َالث
"Indikator orang munafik ada tiga, jika dia berbicara dia dusta.”
Dan si A ketika membatalkan akad secara sepihak, berarti minimal dia telah
berdusta karena dia telah membuat ikatan (akad) untuk memberikan gadai 1 unit
kendaraan kemudian dia ingkari (dia tidak memenuhi).
َ خ َل
ف ْ وإذَا و َع َد أ
Jika dia berjanji dia ingkar (tidak memenuhi) janji tersebut, padahal para ulama
telah menegaskan bahwa akad adalah satu komitmen yang lebih kuat dibanding
sekedar janji.
Sekali lagi, para ulama telah menjelaskan bahwa akad adalah satu komitmen
(satu ikatan) yang lebih kuat, lebih mengikat, lebih erat dibanding sekedar janji.
Bila membatalkan janji secara sepihak tanpa alasan yang dibenarkan yaitu haram
dan itu dijadikan sebagai indikator orang munafik, apalagi membatalkan akad.
Dan bila ia tidak memenuhinya dengan sengaja tanpa alasan yang bisa ditolerir
maka si B memiliki hak secara hukum perdata dan secara hukum syari'at untuk
mengeksekusi barang gadai tersebut walaupun si A ternyata membatalkan
secara sepihak.
Dan wallahu ta'ala a'lam, secara tinjauan dalil pendapat kedua ini lebih kuat
sehingga secara hukum si A jika telah menjalin kesepakatan akad gadai dengan
si B, walaupun si A belum menyerahterimakan barang gadai tersebut dan si B
juga belum berkesempatan untuk menerima barang gadai tersebut dengan satu
atau lain hal, maka si A tidak lagi berwenang (berhak) untuk membatalkan akad
gadai.
Kecuali atas izin dan restu (persetujuan) dari pihak ke dua yaitu si B. Secara
tinjauan dalil sekali lagi, pendapat ini lebih kuat dibandingkan pendapat yang
diajarkan dalam madzhab Imam Asy-Syafi'i rahimahullah.
Adapun ayat yang dijadikan dalil oleh Imam Asy-Syafi'i dan murid-muridnya
serta pengikutnya untuk mengatakan bahwa pihak yang menggadaikan yaitu si
A dalam contoh kasus yang tadi disebutkan berhak membatalkan akad selama
dia belum menyerah terimakan dengan dalil ayat وضـ ٌۭة
فَ ـ ـ ـ ِر َهـٰ ـ ـ ـ ۭ ٌن َّم ـ ـ ـ ْقبُ َ ـ ـ, perlu dipahami
bahwa ayat ini sebagaimana dijelaskan oleh sebagian ulama خرج مخرج الغالب.
Jadi, karena dalilnya خ ـ ـ ـ ـ ــرج مخ ـ ـ ـ ـ ــرج ال ـ ـ ـ ـ ــغال ـ ـ ـ ـ ــب, maka tidak dapat dijadikan dalil untuk
kemudian kita menggunakan metodologi mafhum mukhalafah alias pemahaman
terbalik.
Karenanya wallahu ta'ala a'lam pendapat yang kedua tadi yang mengatakan
bahwa gadai harus dipenuhi apabila telah kesepakatan akad, dan si A pihak
yang berutang berkewajiban menyerahkan barang gadai kepada kreditur. Dan
kalau pun si A ingkar janji, berkeinginan untuk membatalkan akad maka si B
(kreditur) berhak untuk mengeksekusi dengan paksa barang yang telah
disepakati untuk digadaikan tersebut.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang dan lebihnya
mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _JUM’AT_
| _28 Rajab 1442H_
| _12 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-54*
📖 _Rahn (Gadai) Penerima Gadai Tidak Wajib Mengganti Barang Gadai Yang
Rusak Atau Hilang_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Adapun bila kerusakan itu terjadi tanpa campur tangan si kreditur karena faktor
cuaca, karena faktor waktu, atau karena memang itu sudah suratan takdir Allah
Subhanahu Wa Ta'ala. Terjadi gempa bumi, rusak, banjir bandang misalnya.
Sehingga piutang kreditur atas si A (atas pihak yang berhutang itu) tidak hangus
dan juga tidak susut sedikitpun (tidak berkurang sedikitpun) hanya gara-gara
barang gadai yang digadaikan rusak atau hilang.
Dan juga, piutang dia tidak berkurang sedikitpun. Pihak yang berhutang tetap
berkewajiban membayar hutang secara penuh walaupun barang gadai dia
hilang. Selama hilangnya barang tersebut tidak ada unsur keteledoran, tidak ada
unsur kesengajaan, ataupun kesalahan dari pihak kreditur (yang menghutangi).
Kenapa? Karena barang gadai (status barang gadai) berada di tangan kreditur
itu sebagai amanat. Bukan sebagai pembayaran.
Ketika jatuh tempo (gagal bayar), maka barang gadai itu dilelang dengan harga
sewajarnya (harga pasar). Dan kemudian, dari hasil penjualan itu pihak kreditur
berhak mengambil sejumlah piutang yang dia berikan.
Dan kalau ada lebih, maka dia harus kembalikan kepada pemilik barang. Kalau
kurang nominalnya (lebih kecil) dibanding piutang yang dia berikan, maka dia
masih berhak untuk meminta lagi (menagih kembali) pihak yang berhutang.
gadai) bisa dijadikan sebagai alat untuk pelunasan. Yaitu dengan cara dilelang
(dijual) dengan mengikuti harga pasar.
Sehingga ketika terjadi kerusakan pada barang gadai karena itu bukan alat
pelunasan, alat pembayaran, bukan adatul wafa' (bukan alat untuk pelunasan),
maka ketika rusak atau hilang. Dan rusak serta hilang itu bukan karena
keteledoran atau kesalahan kreditur, namun karena faktor di luar kapasitas
manusia. Seperti bencana alam misalnya. Maka, hilangnya itu menjadi resiko dari
pihak yang berhutang atau resiko pemilik barang gadai.
Sedangkan hutang piutang, maka hutang piutang masih tetap seperti sedia kala,
bagaikan ketika alat bukti itu berupa saksi. Ketika A berhutang kepada B 100
juta rupiah misalnya, dan sebagai alat buktinya didatangkan dua orang saksi
yang mempersaksikan adanya ikatan hutang piutang tersebut.
Masalah tempo, masalah cicilan, masalah nominal piutang, dan lain sebagainya
tidak berubah. Tetap seperti sediakala. Karena dua orang saksi, adanya
persaksian itu hanya sebatas alat bukti.
Bila dibutuhkan, maka kedua orang saksi ini akan menunaikan persaksiannya di
Majelis Hakim misalnya. Untuk memberikan keterangan perihal kondisi dan fakta
yang berkaitan dengan hutang piutang yang terjalin antara Si A dan si B.
Dengan demikian, karena barang gadai itu hanya sebatas alat bukti seperti
halnya tulisan, seperti halnya saksi. Maka hilangnya barang gadai, rusaknya
barang gadai, hilangnya nilai jual barang gadai, hilangnya manfaat barang gadai
atau berbagai kondisi kerusakan yang terjadi pada barang gadai, tidak
berpengaruh pada berbagai hal yang terkait dengan perincian hutang piutang.
Barang gadai itu, status barang gadai dan hubungan barang gadai dengan
pihak yang menggadaikan dengan pemiliknya itu tetap seperti sediakala. Tidak
berubah. Itu adalah barang miliknya maka, karena itu barang miliknya dia yang
berhak mendapatkan keuntungannya dan juga dia pula yang harus menanggung
resiko dari barang gadai tersebut ataupun resiko yang terjadi pada barang gadai
tersebut.
Barang gadai tersebut tidak menjadi tanggung jawab, kerusakan yang terjadi,
segala resiko yang terjadi pada barang gadai itu adalah resiko dari pemiliknya.
Bukan menjadi resiko penerima barang gadai.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Kurang dan lebihnya
mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _SENIN_
| _01 Sya’ban 1442H_
| _15 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-55*
📖 _Rahn (Gadai) Penerima Gadai Masih Berhak Penuh Atas Barang Gadai
Selama Hutang Belum Terlunasi Sampai Tuntas_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
ِ الر
ع ُهٙ هن حتى يقضي جمي ّ يخر ْج شئٌ من
ُ وإذا قبص بعض الحقّ لم
Misalnya ada kesepakatan 100 juta dicicil selama 10 bulan. Setiap bulannya 10
juta. Maka, ketika si A telah melakukan cicilan. Baik bulan pertama, kedua,
ketiga, keempat atau bahkan telah melakukan cicilan hingga kesembilan kalinya
alias 90% dari piutang telah terbayar. Maka barang gadai tetap seperti sediakala.
Tetap masih menjadi barang gadai.
Dan pihak kreditur masih tetap berwenang untuk menahan barang tersebut. Dan
dia juga berhak untuk tidak mengizinkan kepada penggadai (pihak yang
berhutang) untuk mengambil Barang gadai. Menarik kembali barang gadai
tersebut.
Selama masih tersisa dari nilai piutang walaupun satu rupiah, maka pihak
kreditur masih berhak berwenang secara hukum syari'at untuk mempertahankan
barang gadai tersebut. Untuk menjadikan barang gadai sebagai alat bukti atas
adanya ikatan hutang piutang antar kedua belah pihak.
Sekali lagi saya ulang, “Menyusutnya nominal piutang, bahkan status piutang
yang hanya tinggal 1 rupiah, tidak menghapuskan status barang gadai sebagai
alat bukti.” Karena apapun yang terjadi, berapa pun yang sudah dibayarkan
(sudah dilunasi) selama masih tersisa sedikit dari piutang tersebut maka pihak
kreditur masih tetap butuh terhadap keberadaan alat bukti tersebut.
Dengan kata lain urgensi alasan adanya ikatan gadai tersebut masih relevan
walaupun nominalnya sudah sangat kecil. Jauh dibanding nilai jual barang
gadai. Itu tidak masalah.
Karena Wallahu Ta'ala A'lam, seperti yang telah disebutkan sebelumnya tidak
ada ketentuan, tidak ada dalil dalam syari'at yang mengharuskan nilai gadai
harus sama dengan nilai piutang. Tidak ada. Karena sekali lagi, gadai hanya
sebatas alat bukti sebagaimana halnya saksi, sebagaimana halnya kuitansi
ataupun akad utang-piutang yang legal, atau formal ataupun non formal.
yang tersisa dari hutangnya maka pihak kreditur masih berhak untuk menahan
barang gadai dan tidak mengembalikannya kepada pihak yang berhutang.
Karena status barang gadai sebagai alat bukti masih tetap relevan. Urusan
nilainya yang tidak lagi sebanding, piutangnya sangat kecil sedangkan nilai
gadainya sangat besar itu tidak masalah.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Kurang dan lebihnya
mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _SELASA_
| _02 Sya’ban 1442H_
| _16 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-56*
📖 _Al-Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta)_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Masih bersama Matan Al-Ghayah fil Ikhtisyar buah karya Syaikh Al Imam Abu
Syuja' Rahimahullahu Ta'ala.
Kali ini kita sampai pada pembahasan tentang Al-Hajru ُ )الـ ـحـ ـج ـ ـ ـ ـ ـ ـرyang artinya
adalah membatasi kewenangan, membatasi kewenangan seseorang dalam
melakukan satu tindakan hukum pada hartanya. Alias, kewenangan seseorang
yang memiliki harta untuk membelanjakanya/menggunakannya dibatasi.
Sehingga dia tidak bebas, tidak punya kewenangan untuk membelanjakan
hartanya.
(ُ
Dengan demikian walaupun dia punya harta tapi dia tidak bisa
membelanjakannya. Dia tidak bisa menggunakannya untuk berjual beli,
menghibahkan, menghadiahkan.
Kalaupun dia menghibahkan, maka hibahnya itu batal. Kalaupun dia menikah,
sehingga menyebabkan dia harus membayar mas kawin ataupun membiayai
walimah maka semua itu batal demi hukum. Tidak sah. Kenapa? Karena ada
alasan satu dari enam yang akan disebutkan berikut ini.
Ada satu dari enam alasan yang menyebabkan walaupun dia secara hukum sah
sebagai pemilik tetapi dia tidak memiliki kecakapan hukum untuk melakukan
tindakan, baik itu jual beli ataupun tindakan lain yang dapat berakibat
memindahkan kepemilikan atas harta tersebut atau sebagian dari kekayaannya.
Para ahli fiqih menjelaskan ada dua model Al-Hajru ( )ال ـ ـ ـح ـ ـ ـج ـ ـ ـ ـ ـ ـ ُـرpembatasan
kewenangan seseorang dalam melakukan suatu tindakan hukum atas harta
kekayaannya.
▪ MODEL PERTAMA,
Demikian pula misalnya membatasi kewenangan orang gila. Walaupun dia sudah
dewasa, walaupun dia sudah baligh tetapi ketika dia cacat mental tidak memiliki
kecakapan hukum untuk melakukan tindakan terhadap harta kekayaannya maka,
secara syari'at Islam mensyaratkan satu hukum bahwa orang-orang semacam ini
tidak boleh dan tidak sah melakukan pemindahan kepemilikan atas sebagian
hartanya ataupun semuanya.
Apa tujuannya? Tujuannya adalah untuk memproteksi agar harta tersebut tidak
hilang, tidak dihambur-hamburkan, tidak dirusak tanpa kesadaran, tanpa
kecakapan yang cukup pada diri pemilik harta tersebut.
▪ MODEL KEDUA
Membatasi kewenangan pemilik harta dari melakukan satu tindakan hukum. Baik
diperjualbelikan ataupun dihibahkan atau dihadiahkan, bukan untuk kepentingan
pemilik harta, tapi untuk kepentingan pihak kedua (orang lain) yaitu para
kreditur.
Pihak-pihak yang telah memiliki hak terhutang atas orang pertama tadi. Dan ini
yang dikenal dengan Al-Hajru 'ala Muflis, (yaitu) membatasi kewenangan orang
pailit, (yaitu) orang yang hutangnya lebih besar (nominal hutangnya lebih besar)
dibanding aset kekayaan yang dimiliki.
Sehingga, bisa dikatakan karena total komulasi (akumulasi) hutang yang harus
dia bayarkan lebih besar dibanding aset yang dimiliki maka sudah bisa diduga
bahwa dia tidak mampu bayar.
Sehingga seluruh asetnya akan berada dibawah kuasa peradilan dan kemudian
akan diserahkan kepada pihak yang ditunjuk atau yang disebut dengan kurator
untuk kemudian aset tersebut dijual (dilelang) dan hasilnya akan digunakan
untuk melunasi seluruh hutang-hutang yang belum dibayar atau yang belum
dilunasi atau yang menjadi tanggungan orang yang pailit tersebut.
Sekali lagi, adanya ketetapan Al-Hajru ini bukan untuk kepentingan pemilik
harta. Tetapi, untuk kepentingan (mengakomodir kepentingan) pihak kedua
yang notabene mereka adalah pihak kreditur. Pihak-pihak yang telah
menghutangkan, baik mereka adalah (misalnya) penjual yang belum menerima
pembayaran atau ( مـقرضmuqridh=orang yang menghutang) atau pihak-pihak lain
yang memiliki hak atas orang tersebut dan hak tersebut belum ditunaikan.
Ini dua model Al-Hajru. Dan semuanya itu diajarkan dalam syari'at.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Kurang dan lebihnya
mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _RABU_
| _03 Sya’ban 1442H_
| _17 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-57*
📖 _Al-Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Kriteria Pertama
Anak Kecil Atau Yang Belum Cakap Bagian Pertama_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Masih bersama Matan Al-Ghayah fil Ikhtisyar ( )م ـ ـ ــنت ال ـ ـ ــغاي ـ ـ ــة ف ـ ـ ــي االخ ـ ـ ــتصارbuah karya
Syaikh Al Imam Abu Syuja' Rahimahullahu Ta'ala.
Kali ini kita sampai pada pembahasan tentang Al-Hajru yang artinya adalah
membatasi kewenangan seseorang dalam melakukan suatu tindakan hukum
pada hartanya.
Al mualif mengatakan,
Disyariatkan secara syariat untuk membatasi kewenangan para pemilik harta bila
mereka memenuhi satu dari enam kriteria berikut:
1. ASH-SHABĪ
Yang pertama :
الصبي
Jangan sekali-kali engkau serahkan harta yang Allah amanatkan kepada kalian
kepada kaum syufaha' kepada orang-orang yang masih dikategorikan sebagai
syafih (orang yang masih bodoh, pandir, belum memiliki kecakapan,
kesempurnaan nalar).
Karena kewenangan itu secara hukum syariat diserahkan kepada para walinya,
baik itu ibunya atau kakeknya atau pamannya atau pihak lain yang kalau dari
jalur nasab tidak ada yang memiliki kecakapan untuk mengelola harta anak
yatim, maka pihak pengadilan berhak menunjuk orang lain yang bijak untuk
mewakili anak yatim tersebut menjadi wali dari anak yatim tersebut.
Sehingga kelak ketika anak itu telah dewasa, telah menginjak umur dewasa dan
memiliki kecakapan hukum, memiliki kecakapan secara faktual bahwa dia bisa
membelanjakan, bisa menjaga, bisa menginvestasikannya, bisa mengelola, maka
saat itulah baru harta itu diserahkan kepada mereka untuk mereka belanjakan
sesuai dengan kepentingan dan pertimbangan mereka.
َوٱ ْبت َ ُلوا ۟ ٱ ْل َيتَـ َٰمىٰ َحتَّىٰٓ إِذَا َب َلغُوا ۟ ٱلن ِّ َكا َح
"Dan terus latihlah (ujilah) anak-anak yatim ketika mereka telah mencapai umur
menikah (baligh).” [QS An Nisa: 6]
Kalau ternyata dari latihan itu sudah nampak tanda-tanda bahwa mereka cakap,
mereka memiliki kemampuan untuk memegang, untuk mengelola kekayaannya
maka berikan harta itu kepada mereka untuk mereka kelola sendiri. Namun
selama belum ada kecakapan maka Allah telah tegaskan
Jangan engkau serahkan harta orang-orang yang masih pandir (bodoh) karena
faktor umur.
Kalau kalian telah mendapatkan indikasi bahwa bahwa mereka cakap secara
hukum untuk melakukan suatu tindakan membelanjakan, mengelola,
menginvestasikan hartanya, maka setelah mendapatkan indikasi-indikasi itu ada
tanda-tanda mereka mampu menjaga dan merawat, mengelola hartanya maka,
Segera serahkan harta itu kepada mereka untuk mereka kelola sesuai dengan
kemauan mereka.
Namun tentu seseorang, apalagi anak yatim dikatakan mampu untuk mengelola,
mampu untuk membelanjakan, bukan sekedar dia mampu beli apa yang dia
mau, tetapi perlu dicatatkan pula bahwa betul-betul dia cakap, mampu menawar
dengan baik, memilih mutu barang dengan baik, mencari tempat belanja yang
benar, yang lebih murah, dan lebih baik pelayanannya ataupun barangnya dan
kemudian dia tidak mudah tertipu oleh bujuk rayu penjual ataupun para
pedagang.
Untuk mendapatkan kecakapan semacam ini perlu proses seringkali proses itu
panjang tidak terjadi dalam hari, 2 hari, bulan, 1 bulan. Jadi proses itu
berlangsung tahunan dan dalam ayat di sini Allah katakan,
Dan teruslah uji anak yatim itu sampai pada titik di mana telah terbukti anak
yatim itu memiliki ( رش ـ ـ ـ ـ ـ ــداkecakapan, kepandaian) untuk membelanjakan dan
menginvestasikan hartanya.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang dan lebihnya
mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _KAMIS_
| _04 Sya’ban 1442H_
| _18 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-58*
📖 _Al-Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Kriteria Pertama
Anak Kecil Atau Yang Belum Cakap Bagian Kedua_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Masih bersama Matan Al-Ghayah fil Ikhtisyar ( )م ـ ـ ــنت ال ـ ـ ــغاي ـ ـ ــة ف ـ ـ ــي االخ ـ ـ ــتصارbuah karya
Syaikh Al Imam Abu Syuja' Rahimahullahu Ta'ala.
Kali ini kita sampai pada pembahasan tentang Al-Hajru yang artinya adalah
membatasi kewenangan seseorang dalam melakukan suatu tindakan hukum
pada hartanya.
Harga bisa wajar, menjual dengan harga yang wajar bahkan mungkin dengan
harga yang lebih bagus, membeli bisa mendapatkan harga yang murah, dia
tidak tertipu alias dia dewasa.
Walaupun bisa jadi secara agama dia tumbuh dewasa namun nyatanya dalam
sisi agama dia lemah. Misalnya dia dewasa tapi tidak shalat, dewasa tapi minum
khamr, sehingga secara aspek finansial dia mampu membelanjakan dengan
benar, mendapatkan harga yang baik, tapi dari sisi agama dia bisa jadi pelaku
maksiat.
Nah menurut mayoritas para ulama selama dia mampu mengelola hartanya
dengan benar, membelanjakan dengan baik, mampu menginvestasikan, mampu
memperdagangkannya, menjadikannya (menginvestasikannya), maka saat itu
wajib diserahkan hartanya. Dan itu sudah memenuhi kriteria ar-rusydu.
Namun dalam mahdzab al Imam Asy Syafi'i sedikit berbeda dengan imam-imam
yang lainnya. Beliau mengatakan, "Bahwa seorang anak yatim (anak kecil) tidak
dikatakan rasyid (cakap) untuk membelanjakan harta sampai dia memiliki dua
kriteria :"
1. Dia mampu menginvestasikan harta dengan benar.
2. Dia agamanya baik.
Kenapa? Karena bisa jadi harta itu diserahkan kepada mereka dan akan
digunakan untuk foya-foya berbuat maksiat, mentraktir kawan-kawannya minum
khamr misalnya, atau digunakan untuk berzina atau pun berbuat maksiat lainnya.
Maka demikian pula kalau diserahkan kepada orang yang sudah pandai
berbelanja bahkan pandai berdagang, tapi hobinya berjudi, hobinya minum
khamr.
Maka ujung-ujungnya hartanya pun rusak, hartanya akan habis, akan digunakan
untuk foya-foya minum khamr, berzina, kemudian perbuatan-perbuatan lain yang
haram. Ujung-ujungnya hartanya sama-sama rusak.
Karenanya dalam madzhab syafi'i dikatakan, "Orang yang fasik adalah orang
yang tidak mampu menjaga keutuhan agamanya kemungkinan besar dia juga
tidak akan mampu menjaga keutuhan hartanya".
Karenanya seseorang dikatakan rasyid bila dia memiliki dua kriteria, mampu
membelanjakan hartanya dengan baik dan agamanya baik pula.
Secara teori dua pendapat ini terkesan saling bertentangan. Seakan-akan dua
pendapat ini berseberangan, karena apa? Karena tadi yang kita gambarkan
adalah kasusnya bila orang itu dewasa namun peminum khamr, pezina dan
seterusnya.
Akan tetapi untuk level masyarakat umum biasanya mayoritasnya orang yang
mampu membelanjakan hartanya dengan baik, menginvestasikan hartanya
dengan baik, biasanya secara agamanya juga baik. Karena seseorang itu tidaklah
dikatakan mampu membelanjakan hartanya dengan baik kecuali bila dia bisa
membeli yang bermanfaat menghindari barang yang tidak bermanfaat.
Namun kadangkala membeli dengan eceran itu adalah pilihan yang lebih tepat
dibanding dengan membeli barang yang grosir, kenapa? Karena kebutuhan satu
sehingga kalau seseorang itu membeli dengan harga grosir (membeli dalam
jumlah besar) untuk mendapatkan harga murah padahal kebutuhannya hanya
satu, tentu ini tidak dikatakan bijak dalam membelanjakan hartanya.
Walaupun secara hukum sah-sah saja dia beli untuk stok (disimpan), tetapi
biasanya orang seperti ini dikatakan bodoh kalau ternyata kebutuhannya hanya
satu, tapi dia beli dalam jumlah banyak, hanya karena mempertimbangkan
murahnya.
Sebagaimana kalau dia membeli bus, dia juga bisa membawa serta keluarganya
namun itu diluar kewajaran karena tidak butuh untuk beli bus. Keluarganya
hanya lima orang dia beli mini bus, misalnya. Cukup untuk membawa keluarga
tapi berlebihan.
Orang yang beli mini bus padahal untuk mengangkut keluarga yang hanya lima
orang, tentu ini tidak dikatakan cakap. Apalagi kalau ternyata dia tahu butuh
kendaraan untuk keluarganya namun dia malah gunakan untuk minum khamr,
berjudi. Tentu ini lebih layak untuk dikatakan tidak cakap.
Secara de facto juga kemungkinan besar orang yang hobi judi dia tidak akan
membeli yang berguna untuk keluarganya, dia akan menghambur-
hamburkannya sehingga keluarganya pun tidak ternafkahi, tidak diurus, tidak
dibiayai, tentu secara aplikasi, walaupun secara teori kedua pendapat ini seakan
saling bertentangan namun secara aplikasi faktual di masyarakat biasanya dua
aspek ini saling melengkapi.
Cakap secara tinjauan finansial (mampu membelanjakan dengan baik) dan juga
sholahun fiddin (dia memiliki kesholehan dalam urusan agama), agamanya baik,
moralitasnya baik.
Itu yang bisa kami sampaikan pada kesempatan ini, kurang dan lebihnya mohon
maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _JUM’AT_
| _05 Sya’ban 1442H_
| _19 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-59*
📖 _Al-Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Kriteria Pertama
Anak Kecil Atau Yang Belum Cakap Bagian Ketiga_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Masih bersama Matan Al-Ghayah fil Ikhtisyar ( )م ـ ـ ــنت ال ـ ـ ــغاي ـ ـ ــة ف ـ ـ ــي االخ ـ ـ ــتصارbuah karya
Syaikh Al Imam Abu Syuja' Rahimahullahu Ta'ala.
Kali ini kita sampai pada pembahasan tentang Al-Hajru yang artinya adalah
membatasi kewenangan seseorang dalam melakukan suatu tindakan hukum
pada hartanya.
Kesimpulannya: Anak kecil yang belum baligh, ketika mereka memiliki harta
apalagi mereka itu berstatus sebagai anak yatim ditinggal mati oleh orang
tuanya, maka hukum asalnya mereka tidak boleh membelanjakan hartanya
tersebut. Karena hartanya secara hukum syar'i akan dikuasakan kepada walinya.
Kepada wali yatim dan secara syariat dianjurkan kepada wali yatim tersebut
untuk mendidik, melatih anak yatim itu membelanjakan (mengelola) hartanya
sedikit demi sedikit itu yang disebut dengan ( إبتلىibtilā/ibtalā = ujian).
Diuji (dilatih) anak tersebut untuk mengelola hartanya, sampai ketika pada
waktunya anak itu telah memiliki kecakapan, maka wali yatim tersebut
berkewajiban untuk menyerahkan sepenuhnya kekayaan agar harta itu
digunakan sesuai dengan kepentingan anak yatim yang tentunya itu baru akan
diserahkan setelah anak itu baligh dan memiliki keahlian, kecakapan, kepandaian
untuk mengelola hartanya.
Ini orang pertama yang secara syari'at akan diterapkan hukum hajr padanya,
yaitu kewenangannya untuk membelanjakan harta dibatasi, agar hartanya tidak
rusak, harta yang tidak dihambur-hamburkan, tidak dibelanjakan dengan cara-
cara yang salah.
Kenapa? karena pemilik hartanya dalam kondisi belum cakap hukum, belum
memiliki keahlian, belum memiliki kecakapan untuk membelanjakan hartanya
atau yang disebut dengan ( الصبيmasih kecil).
Dan perlu dicatat "kecil" di sini bahwa secara tinjauan syari'at seorang itu
dikatakan yatim (anak kecil) bila dia belum menginjak umur baligh, kalau dia
sudah mencapai umur baligh yaitu kira-kira umur 15 tahun, atau telah mimpi
basah pada laki-laki, dan haid pada wanita, maka mereka tidak lagi dikatakan
sebagai anak yatim.
Status sebagai anak yatim itu telah hilang namun apakah serta merta diberikan
hartanya? tidak. Sampai anak tersebut memiliki kecakapan, keahlian, memiliki
kemampuan untuk merawat, mengelola, dan menginvestasikan hartanya.
Sehingga kewajiban wali yang menjadi wali anak yatim adalah melatihnya,
mendidiknya dan tentu setiap masa, di setiap daerah ada beda-beda kapan
seseorang itu dikatakan cakap?
Di kalangan petani mungkin ketika anak itu sudah mampu bercocok tanam,
diserahkan padanya sawah untuk ditanami tapi di kalangan pedagang maka
seorang dikatakan cakap kalau dia sudah mampu berdagang sebagaimana
wajarnya masyarakat yang lain. Sehingga mampu belanja, mampu menjual,
tawar-menawar, memilih barang, dan lain sebagainya.
Ini orang pertama yang dalam syariat diberlakukan padanya hukum hajr
sehingga dia tidak bebas membelanjakan hartanya. Wallahu ta'ala 'Alam
Itu yang bisa kami sampaikan pada kesempatan ini, kurang dan lebihnya mohon
maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _SENIN_
| _08 Sya’ban 1442H_
| _22 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-60*
📖 _Al Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Kriteria Kedua
Orang Yang Cacat Mental_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Masih bersama tema kita yaitu Al-Hajru ( )ال ـح ـج ـ ـ ـ ـ ـ ــرyaitu membatasi kewenangan
sebagian pemilik harta untuk membelanjakan hartanya.
Di sesi sebelumnya telah kita bahas, apa maksud Al-Hajru ( )الحجـ ـ ـ ـ ـ ــرdan kelompok
pertama yang secara tinjauan syari'at (secara hukum syari'at) kewenangannya
untuk membelanjakan harta itu dibatasi.
Kenapa? Karena dia tidak cakap hukum untuk membelanjakan hartanya, yaitu
Ash-Shabi ( )الصبيyaitu anak yang masih kecil.
Karena memang secara tinjauan syari'at anak yang masih kecil nalarnya
(kemampuan fisiknya) belum cukup untuk membelanjakan hartanya. Sehingga
bila dibiarkan dia membelanjakan hartanya maka hartanya bisa habis, bisa rusak
sebelum dia dewasa. Padahal harta itu sangatlah penting dalam kehidupan
manusia.
Beliau ﷺBersabda:
"Wahai Sa'ad jika engkau mati meninggalkan anak keturunanmu dalam kondisi
kaya raya itu lebih baik, lebih terhormat, lebih mulia, dibandingkan engkau
membiarkan mereka. Engkau meninggal dunia (meninggalkan mereka) dalam
Tetapi ketika orang tua, ketika meninggal dunia telah mengkondisikan, telah
mempersiapkan sehingga anak keturunan yang dia tinggalkan memiliki
kecukupan harta, memiliki warisan yang cukup sehingga mereka tidak
bergantung kepada orang lain, tidak meminta-minta kepada orang lain.
Sehingga mereka hidup mulia, hidup berkecukupan, itu lebih baik. Bukan hanya
bagi mereka tetapi bagi dirimu pula wahai Sa'ad (wahai seorang ayah) yang akan
meninggal dunia.
Ini kelompok pertama, orang yang mendapatkan perlakuan spesial yaitu tidak
diberikan kewenangan untuk membelanjakan harta yaitu kelompok anak-anak
kecil yang belum dewasa belum cakap hukum untuk membelanjakan hartanya
2. AL-MAJNUN ()املجنون
Orang yang mengalami cacat mental sehingga dia tidak mampu sama seperti
anak kecil, walaupun fisiknya sudah besar (sudah baligh) tetapi kemampuan
nalarnya, kemampuan pikirnya lemah bahkan tidak ada memiliki sama sekali atau
cacat (rusak) baik cacat secara permanen sejak lahir, ataupun mengalami
gangguan mental karena satu kejadian setelah dia dewasa.
Seperti yang terjadi pada sahabat Habban Ibnu Mungkid atau Mungkid Ibnu
Habban (terjadi perbedaan riwayat perihal nama beliau, ada yang mengatakan
Habban ibnu Mungkid dan yang mengatakan Mungkid ibnu Habban)
Apa pun yang betul, tetapi sahabat tersebut semula adalah seorang saudagar
yang sukses ketika dalam satu peperangan bersama Rasulullah (dalam satu jihad)
beliau terluka parah di bagian kepalanya sampai selaput otaknya terbuka, dan
setelah mengalami perawatan alhamdulillah beliau mampu bertahan hidup dan
sehat kembali.
Karena beliau adalah seorang saudagar (pedagang) beliau tidak lagi kuasa untuk
bisa meninggalkan perdagangannya. Walaupun beliau mengalami cacat beliau
terus ingin berdagang (menjual dan berbelanja) namun karena kondisi beliau
cacat (kemampuan berpikirnya menjadi lemah), sering kali beliau salah (salah
menganalisa) sehingga beliau sering merugi.
Maka mereka datang kepada Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam meminta agar
Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam memberikan keputusan sebagai pemimpin
umat. Sehingga harta kekayaan Habban tidak sia-sia (terhambur-hamburkan) dan
beliau juga tidak tertipu dan merugi.
"Wahai Rasulullah, aku tidak sabar tidak kuasa untuk menahan diri meninggalkan
perdagangan.”
Karena ini sudah menjadi rutinitas beliau, beliau sudah berpuluh-puluh tahun
melakukan aktifitas ini, jadi jika harus berhenti beliau tidak kuasa melakukannya.
Maka Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam memberikan solusi (jalan tengah), karena
Habban bukan cacat mental secara total, namun beliau masih memiliki
kemampuan namun itu sudah tidak lagi cukup untuk bisa melakukan
perdagangan dengan baik, sehingga sering tertipu dan sering salah menjual
(salah mengingat).
Maka Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam memberikan solusi kepada Habban dan
putra-putranya:
"Wahai Habban jika nanti engkau berdagang (menjual atau membeli), maka
ِ )ال,
selalu katakan kepada lawan transaksimu tidak ada praktek tipu-menipu (خـ ـ الب ـ ــة
tidak ada praktek eksploitasi, manipulasi.”
Sejak saat itu setiap berdagang Habban selalu bersyarat kepada lawan
transaksinya dengan mengatakan خـ ـ يبة ِ ال, karena beliau cedal seharusnya berkata
ال ِ ـtetapi karena cacat (sakitnya sampai berpengaruh kepada lisan beliau),
خ ـ ـ ـ ـ ـ البـ ـ ـ ـ ـ ــة
sehingga beliau tidak mampu berkata benar atau fasih seharusnya beliau
ِ الtetapi beliau mengatakan خيبة
mengatakan خالبة ِ ال، cedal tidak ada tipu menipu.
Dari kasus ini Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam tidak mengingkari sikap putra-
putra beliau yang menginginkan agar Nabi mencabut kewenangan atau
membatasi atau menerbitkan satu keputusan hukum untuk mencabut
kewenangan Habban dalam membelanjakan, memperdagangkan kekayaannya.
Tetapi Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam memberi solusi karena Habban dalam
kondisi tidak bisa atau tidak kuasa untuk menahan diri dari berdagang maka
ditempuhlah solusi tengah-tengah. Sejatinya Habban masih bisa berdagang
tetapi karena keterbatasan mental keterbatasan ingatan sering salah jual atau
salah beli.
Sehingga Nabi memberikan solusi yang cukup efektif memproteksi Habban dari
praktek tipu menipu dalam perdagangannya atau kesalahan dalam membeli
atau menjual barang dagangan.
Tetapi dalam kasus ini Nabi sama sekali tidak mengingkari keinginan putra-putra
Habban yang meminta agar Nabi menggugurkan kewenangan atau membatasi
atau mencabut kewenangan ayah mereka dalam memperdagangkan harta
kekayaannya.
Sehingga ini menjadi dasar oleh para ulama, menjadi pijakan para ulama untuk
memfatwakan bahwa orang yang mengalami gangguan mental atau cacat
mental baik sejak lahir ataupun karena suatu kejadian, maka boleh diajukan
permohonan kepada pengadilan agar kewenangannya memperdagangkan
hartanya dicabut dan diberikan kepada walinya (kerabat atau yang lainnya) yang
akan mewakili, akan bertindak mewakili pemilik harta tersebut, agar hartanya
tidak rusak, tidak terhambur-hamburkan dan tidak cepat habis karena salah
dalam membelanjakannya.
Demikian yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang dan
lebihnya mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _SELASA_
| _09 Sya’ban 1442H_
| _23 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-61*
📖 _Al Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Kriteria Ketiga -
Orang Yang Pandir & Keempat - Orang Yang Pailit_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Masih bersama tema kita yaitu Al-Hajru ( )ال ـح ـج ـ ـ ـ ـ ـ ــرyaitu membatasi kewenangan
sebagian pemilik harta untuk membelanjakan hartanya.
Orang pandir, orang yang tidak cakap untuk membelanjakan hartanya, sehingga
salah mengelola, selalu salah menjual, selalu tertipu ketika membeli, selalu
terperdaya ketika berdagang, ketika belanja, ketika membeli atau menjual.
Safīh ( )س ـ ـ ـ ـ ـ ـفـيـهkarena ada sebagian orang, dia bukan gila, dia bukan anak kecil dia
sudah dewasa, tetapi kemampuan nalarnya lemah. Seperti yang terjadi pada diri
Kalau dibiarkan maka harta perdagangannya atau harta kekayaannya akan habis,
maka orang semacam ini secara hukum syari'at walinya (keluarganya) boleh
mengajukan permohonan kepada pengadilan agar kewenangan orang ini dalam
membelanjakan hartanya dibatasi. Baik secara mutlak tidak boleh
membelanjakan sama sekali, atau dibatasi dalam nominal tertentu.
Ketika dia membelanjakan dalam angka (nominal) sekian, maka itu tidak sah,
harus atas persetujuan walinya yaitu orang yang telah mendapatkan
kepercayaan secara hukum untuk mewakili orang yang memiliki keterbatasan
mental tersebut. Ini serupa dengan kasusnya Habban Ibni Munkid.
Nominal hutangnya lebih besar dibanding aset yang dia miliki, sehingga orang
yang terus berhutang sampai nominal hutangnya melebihi nilai aset yang dia
miliki dan dia tidak lagi mampu melakukan penyelesaian hutang.
Tidak mampu melunasi hutang karena dia tidak memiliki penghasilan, tidak lagi
mampu mendatangkan penghasilan yang cukup untuk melunasi hutangnya.
Orang yang muflish (pailit) siapapun dia, pedagang atau bukan pedagang akan
diperlakukan semacam ini secara syari’at. Namun dikalangan ulama terjadi
perbedaan.
Apakah seorang hakim berwenang secara sepihak ketika melihat ada seorang
pedagang atau seorang muslim, seorang rakyat yang mengalami kondisi pailit
hutangnya lebih besar dibandingkan asetnya?
Apakah dia boleh secara sepihak menerbitkan hukum pailit atau harus
menunggu adanya gugatan, adanya permohonan dari sebagian atau seluruh
krediturnya?
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini, seorang hakim tidak berwenang secara
sepihak menerbitkan hukum pailit sampai ada gugatan atau ada permintaan dari
semua kreditur atau sebagian kreditur. Agar orang yang pailit tersebut (orang
yang hutangnya lebih besar daripada asetnya) dibatasi atau dicabut
kewenangannya untuk membelanjakan kekayaan, atau diterbitkan hukum pailit.
Dan pendapat yang lebih kuat, hakim tidak boleh secara semena-mena atau
secara sepihak langsung menerbitkan hukum pailit. Karena bisa jadi pihak
kreditur mungkin memaafkan atau minimal memberi tangguh, memperpanjang,
atau sering disebut dengan restrukturisasi hutang.
Diperpanjang masa tangguhnya atau diperkecil nilai tagihannya agar pihak yang
berhutang mampu melakukan cicilan pembayaran, atau mungkin ada solusi lain
agar hutang tersebut bisa gugur atau lunas, barter misalnya.
Intinya selama tidak ada gugatan dari pihak kreditur baik mereka sepakat atau
sebagian dari mereka, maka hakim tidak boleh semena-mena secara sepihak
menerbitkan hukum pailit.
Dan ketika hukum pailit itu telah diterbitkan berdasarkan permohonan dari
kreditur, maka seluruh aset yang dimiliki oleh orang yang pailit tersebut akan
segera dikumpulkan, didata, diinventarisir untuk kemudian dilelang.
Dan secara praktek hukum perdata maka pengadilan akan segera menunjuk
pihak yang dipercaya oleh pengadilan atau yang diusulkan oleh para kreditur
(kurator) Atau pihak yang ditunjuk tersebut, akan segera menginventaris aset-
aset tersebut, kemudian dilelang secara terbuka, dan hasil lelangnya kemudian
akan digunakan untuk membayar atau melunasi hutang-hutang orang yang pailit
tersebut.
Artinya dari penjelasan di atas, ada satu kesimpulan bahwa hukum pailit dalam
Islam hanya berlaku jika aset-aset orang tersebut lebih kecil nilainya dibanding
nominal hutangnya.
Adapun bila seorang yang berhutang nominal asetnya jauh lebih besar
dibanding nominal hutangnya, maka dalam Islam tidak dipailitkan walaupun
hutangnya macet dia tidak kooperatif membayar hutang.
"Penundaan orang yang mampu melakukan pelunasan hutang itu sejati adalah
perbuatan zhalim.”
َ ح ُّل ِع ْر
.ُض ُه و ُع ُقو َبتَه ِ ُي
Dan kezhaliman ini menyebabkan dia halal untuk digunjing, untuk dilaporkan
untuk diceritakan perbuatannya, agar masyarakat waspada untuk tidak
bertansaksi dengannya. Terjadi hukuman sosial.
Dan jika ternyata setelah dihukum (dipenjara) atau dipukul dia tidak melunasi,
maka pengadilan berwenang menyita sebagian asetnya yang kemudian dilelang
dan hasil dari lelang tersebut hutang dan tanggungan pihak yang tidak
kooperatif dalam membayar hutang bisa dilunasi.
Alias kewenangannya tidak dicabut sama sekali, namun pengadilan ketika ada
tuntutan dari pihak kreditur yang hutangnya macet merasa dizhalimi karena
pihak yang berhutang tidak kooperatif (dalam) melakukan pembayaran, bahkan
macet dan telah jatuh tempo (terbukti jatuh tempo dia tidak melakukan
pembayaran), maka pengadilan berwenang untuk menyita sebagian asetnya,
yang nilai jualnya cukup atau sebanding dengan nominal hutang yang dia
tanggung.
Tapi aset lain yang tidak disita maka pihak tersebut masih bebas melakukan
tindakan hukum atas aset-aset yang tidak dibutuhkan untuk melunasi hutang-
hutangnya.
Ini satu kondisi, satu hukum yang berbeda dengan praktek hukum pailit yang
ada di dalam hukum positif negeri kita atau pun yang lainnya, di mana ketika
seseorang memiliki tanggungan hutang dan dia tidak kooperatif dalam
melakukan pembayaran hutangnya.
Setelah jatuh tempo maka pihak kreditur berhak mengajukan hukum pailit
sehingga seluruh aktifitas pihak yang berhutang tersebut akan dicabut, akan
dihentikan. Seluruh jenis usahanya akan dihentikan, dan seluruh asetnya akan
diserahkan kepada pihak kurator (pihak ketiga) yang ditunjuk oleh pengadilan
untuk menyita, menginventaris dan kemudian menjual aset-asetnya.
Tentu ini satu tindakan yang berlebihan karena nilai hutangnya lebih kecil
dibanding aset-asetnya. Oleh karena itu hukum Islam lebih adil, lebih
proposional karena aset yang disita oleh pengadilan hanya sebesar atau senilai
hutang yang macet (tidak seluruh asetnya, tidak seluruh kewenangannya).
Sehingga tindakan hukum dalam Islam ini sebanding dengan perbuatan orang
yang tidak kooperatif, orang yang zhalim, sengaja menunda-nunda pembayaran
hutang tersebut.
Demikian yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang dan
lebihnya mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _RABU_
| _10 Sya’ban 1442H_
| _24 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-62*
📖 _Al Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Kriteria Kelima -
Orang Yang Sakit Parah Bagian Pertama_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Alhamdulillah kembali pada kesempatan ini saya dapat hadir untuk melanjutkan
kajian kita (program acara kita) mengkaji salah satu matan (referensi) dalam
madzhab Imam Asy-Syafī'i yang sangat familiar di negeri kita yaitu Kitab Matan
Abu Syuja' atau yang lebih dikenal di kalangan para ahli ilmu dengan sebutan
Matnul Ghayah fi Taqrib ()منت الغاية والتقريب.
( سـ ـ ـ ـ ــفيهorang yang tidak pandai, tidak cakap untuk membelanjakan hartanya) atau
sering disebut dengan pandir (misalnya) sehingga dia sering tertipu, sering
terperdaya ketika berbelanja, menjual barang, demikian pula orang yang pailit
sehingga hutangnya lebih besar dibanding aset yang dia miliki.
Maka akan diberlakukan pada mereka hukum al-hajru ( )الحج ـ ـ ـ ـ ــرkewenangan untuk
membelanjakan hartanya dibatasi atau dicabut. Sehingga mereka tidak bisa
menjual atau membeli kecuali atas izin. Baik izin dari walinya ataupun izin dari
para kreditur atau pihak-pihak yang mengutangkan dana atau uangnya kepada
mereka.
Kemudian di antara orang yang secara hukum syari'at dibatasi atau bahkan
dicabut kewenangannya untuk membelanjakan hartanya adalah:
Orang dalam kondisi sakit parah sehingga ada kemungkinan secara tradisi,
orang yang mengalami kondisi sakit semacam ini, penyakit yang kronis, penyakit
yang sering menyebabkan kematian, atau kondisi sakit yang sangat parah.
Sehingga ada kemungkinan orang tersebut akan meninggal karena sakit ini.
Dalam kondisi semacam ini, orang tersebut walaupun dia memiliki aset yang
banyak (kekayaan yang banyak) kewenangannya untuk membelanjakan harta
kekayaannya dibatasi, tidak boleh lebih dari 1/3 dari harta kekayaannya.
Baik dia membelanjakan dalam rangka jual beli, bayar hutang atau hibah/
hadiah/waqaf/sedekah (misalnya). Bila tindakannya terhadap harta kekayaan
yang dia miliki ini melebihi 1/3 dari total kekayaan yang dia miliki. Maka
tindakannya secara hukum fiqih dinyatakan batal (tidak sah).
Sehingga ketika (misalnya) dia mewaqafkan 50 % dari aset yang dia miliki (harta
yang dia miliki), menurut sebagian ulama hal ini batal secara menyeluruh, alias
tidak sedikitpun dari waqaf atau sedekah yang dia lakukan dieksekusi atau
dilakukan.
Karena semuanya dianggap batal demi hukum, karena dia telah melampaui
batas kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum atas kekayaan yang dia
miliki.
Kenapa? Karena dia dalam kondisi yang dikhawatirkan akan segera menemui
ajalnya. Sedangkan tindakan seorang manusia itu ال يتباع ـ ـ ــدatau ( ال يتج ـ ـ ـزّأtidak bisa
dipilah atau dibagi secara parsial) atau diberikan hukum secara parsial. Tidak,
karena satu tindakan.
Namun bila tindakan itu dilakukan secara bertahap, dia membelanjakan sedikit
demi sedikit sampai akhirnya mencapai limit 1/3 dari seluruh kekayaan yang dia
miliki, maka tindakan membelanjakan harta, mewaqafkan harta, mensedekahkan
harta tersebut yang dilakukan sedikit demi sedikit, selama belum mencapai limit
1/3 asetnya (kekayaannya) maka masih dianggap sah.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, semoga bermanfaat
bagi anda semua dan menambah hasanah keilmuan anda. Kurang lebihnya saya
mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _KAMIS_
| _11 Sya’ban 1442H_
| _25 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-63*
📖 _Al Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Kriteria Kelima -
Orang Yang Sakit Parah Bagian Kedua_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirasah Islamiyyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Di antara orang yang secara hukum syari'at dibatasi atau bahkan dicabut
kewenangannya untuk membelanjakan harta adalah:
Orang dalam kondisi sakit parah sehingga ada kemungkinan, secara tradisi,
orang yang mengalami kondisi sakit semacam ini. Penyakit yang sangat kronis,
penyakit yang sering menyebabkan kematian atau kondisi sakit yang sangat
parah sehingga ada kemungkinan orang tersebut akan meninggal karena sakit
ini.
Dan ternyata harta yang dia belanjakan itu melebihi 1/3 kekayaan yang dia
miliki, misalnya dia waqafkan separuh kekayaannya atau dia jual separuh
kekayaannya. Maka menurut sebagian ulama (pendapat kedua) tindakan orang
tersebut sampai batas 1/3 kekayaannya dianggap sah alias dianulir dieksekusi
1/3 dari total kekayaan yang dia miliki dan selebihnya dianggap gugur atau
batal demi hukum.
Dia memiliki kekayaan senilai 1 Miliar dan ternyata dia menjual separuhnya, atau
jika dia punya harta kekayaan berupa ladang 1 Hektare, kemudian dia jual 1/2
nya (5000 meter persegi), padahal dia dalam kondisi sedang sakit parah (sakit
yang kritis) maka menurut pendapat kedua ini. Tindakan tersebut diterima atau
dibenarkan sampai pada level 1/3 dari aset yang dimiliki.
Sehingga kalau luas tanah yang dia miliki tersebut 1 Hektare maka 1/3 Hektare
nya terjual atau dianggap sah dalam sedekah atau hibahnya, tetapi sisanya yang
melebihi 1/3 Hektare dianulir secara hukum, dianggap batal demi hukum.
Apa dasarnya? Kedua pendapat tersebut berpijak berdasarkan satu hadits yang
sama yaitu hadits sahabat Sa'ad Ibnu Abi Waqas radhiyallahu ta’ala 'anhu.
اعدني رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم وأنا مريض يوم الفتح مكاه
"Ya Rasulullah sungguh sakit yang aku derita ini sudah dalam kondisi yang parah
seperti yang engkau saksikan sendiri.”
“Sedangkan aku tidak memiliki ahli waris kecuali seorang anak gadis.”
Dalam pemikiran sahabat Sa'ad bahwa seorang anak gadis tidak perlu diberi
warisan, karena dia akan menikah dengan laki-laki yang akan mencukupi (akan
menafkahinya) sehingga dia tidak perlu warisan.
“Ya Rasulullah, apakah boleh dalam kondisi seperti ini aku mensedekahkan
seluruh kekayaanku?”
َ ال:ال
َ َق
و ِبنصف
ُ والث ُّ ُل
ث
Kembali sahabat Sa'ad bertanya bagaimana kalau yang aku sedekahkan 1/3?
ُ ث والث ُّ ُل
ٌ ث َك
ثير ُ الث ُّ ُل
Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam menjawab, "Adapun 1/3 boleh, walaupun 1/3
itu terlalu banyak".
"Andai masyarakat tidak menyedekahkan 1/3 aset kekayaannya namun 1/4 atau
1/5 tentu itu lebih baik.”
Karena dalam hadits di atas Nabi mengatakan, "1/3 boleh namun itu masih
terlalu banyak (terlalu besar) untuk disedekahkan".
Kemudian Nabi memberikan alasan kenapa orang yang dalam kondisi sakit
parah tidak boleh mensedekahkan seluruh asetnya atau mayoritas asetnya?
Maksimal hanya 1/3 dan akan lebih baik bila sedekah itu kurang dari 1/3.
Ini alasan yang diutarakan oleh Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, mengapa
Beliau tidak merestui keinginan sahabat Sa'ad untuk mensedekahkan seluruh
asetnya atau separuh dari seluruh asetnya.
Beliau memberikan arahan 1/3, bahkan 1/3 itu menurut beliau masih terlalu
banyak. Sehingga saran dari Ibnu Abbas kalau anda ingin mensedekahkan atau
berwasiat dengan aset yang anda miliki sebelum anda meninggal maka idealnya
maksimalnya anda mensedekahkan 1/4-nya atau 1/5.
Tetapi kalau anda masih tetap bersemangat memiliki ambisi yang besar untuk
membawa serta harta kekayaan anda bersama anda meninggalkan dunia ini,
dengan wasiat maka maksimal anda hanya bisa mewasiatkan 1/3 dari kekayaan
anda.
Orang yang dalam kondisi sakit parah tidak boleh membelanjakan hartanya
melebihi 1/3 sehingga 2/3 kekayaan dia boleh dikatakan kewenangannya untuk
bertasarruf, membelanjakan, menggunakan 2/3 dari total kekayaannya itu
dicabut atau dianulir atau dibatasi sampai menjadi jelas apakah dia meninggal
dunia sehingga 2/3 nya itu akan menjadi hak ahli waris atau kemudian sehat
kembali seperti sedia kala (sehat wal'afiat) maka kewenangannya untuk
membelanjakan (mentasarufkan) harta itu kembali seperti sedia kala.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini semoga bermanfaat bagi
anda semuanya, menambah hasanah keilmuan anda dan kurang lebihnya sama
mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _JUM’AT_
| _12 Sya’ban 1442H_
| _26 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-64*
📖 _Al Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Kriteria Keenam
Budak Hamba Sahaya_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
6. AL-‘ABDU ALLADZI LAM YU’DZAN LAHU FĪT TIJĀRAH (وال ــعبد ال ــذي ل ــم يؤذن
)له في التجارة
Hamba sahaya yang tidak mendapatkan restu atau izin dari majikannya untuk
membelanjakan atau memperdagangkan kekayaannya.
Kenapa? Karena bisa jadi dia mendapatkan hibah, atau bisa jadi dia bekerja
mendapatkan upah, atau yang lainnya, sehingga seorang budak, walaupun dia
budak bisa jadi dia menikah, bisa jadi dia memiliki anak dan istri yang tentu
mereka butuh nafkah.
Sehingga karena dia menikah bisa jadi majikannya memberikan izin untuk
bekerja mencari penghasilan dan dari penghasilan tersebut dia menafkahi anak
dan istrinya.
Alias seorang budak secara tinjauan hukum fiqih dia ada kewenangan, ada
peluang untuk bisa memiliki harta kekayaan, akan tetapi kewenangan
kepemilikan seorang budak atas harta yang dia miliki yang dia dapat dari
bekerja atau dia peroleh dari hibah, sedekah dan yang serupa. Kewenangannya
itu bisa dikatakan terbatas.
Kenapa? Karena bisa dianulir oleh majikannya harta yang dia miliki bisa jadi
diambil alih oleh majikannya, alias majikannya berwenang untuk menarik, untuk
memiliki harta yang dimiliki oleh hamba sahayanya.
Alih-alih hartanya, bahkan diri seorang budak bisa jadi dijual oleh majikannya,
karena itu kewenangan seorang budak atas harta yang dia miliki itu terbatas,
lemah karena bisa dianulir, bisa diambil alih oleh majikannya.
Seorang budak yang punya harta, baik itu hasil jerih parahnya atau mungkin
hibah, karena seorang budak tidak bisa mewarisi namun bisa dia menerima
hibah, hadiah sedekah.
Harta yang dia miliki tersebut, kepemilikan seorang hamba atas hartanya
tersebut lemah karena majikannya bisa mengambil alih, harta yang dimiliki itu
karena kewenangannya terbatas.
Tetapi dia tidak boleh dan tidak dibenarkan untuk menjualnya, mengalihkan
kepada orang lain dengan cara hibah, sedekah atau yang lainnya. Sampai dia
mendapatkan restu dari majikannya, karena dirinya dan seluruh aset yang dia
miliki sejatinya adalah milik dari majikannya.
Kewenangannya untuk mengalihkan kepemilikan atas aset yang dia miliki atas
harta yang dia miliki atau memperjualbelikan barang yang dia miliki dibatasi
oleh izin dari majikannya.
Keenam orang ini, secara tinjauan ilmu fiqih disebut dengan Al-Mahjūr, (yaitu)
orang-orang yang kewenangan untuk bertasarruf, menggunakan harta
kekayaannya, atau memindahkan kepemilikan harta kekayaannya itu dibatasi.
● Baik secara mutlak semuanya, semisal yang terjadi pada anak kecil, orang gila.
● Ataupun sebagiannya, sebagaimana yang terjadi pada orang yang sakit parah,
kewenangannya atas aset yang dimiliki hanya dibatasi 1/3 nya.
Dan perlu diingatkan kembali bahwa tujuan dari adanya syari'at Al-Hajru
membatasi kewenangan orang untuk membelanjakan hartanya ini secara global
ada dua, yaitu:
⑴ Dan ini paling banyak dalam rangka memproteksi harta tersebut, melindungi
harta tersebut agar tidak dihambur-hamburkan tidak rusak, agar pemiliknya pada
saat nanti membutuhkan masih memiliki harta tersebut.
Seperti yang terjadi pada orang gila, anak kecil, orang yang pandir atau
mempunyai cacat mental, sehingga tidak mampu membelanjakan hartanya.
Mereka dibatasi kewenangannya untuk kepentingan mereka sendiri, sehingga
hartanya tidak segera habis dan tidak rusak dihambur-hamburkan karena
keterbatasan kemampuan mereka.
⑵ Kewenangan sebagian orang itu dicabut atau dibatasi sehingga mereka tidak
bisa memperjualbelikan hartanya dalam rangka memproteksi, melindungi hak-
hak para kreditur agar tidak semakin dalam, agar tidak semakin parah kondisi
yang menimpa mereka, tidak semakin besar kerugian yang akan menimpa
mereka.
Ketika orang yang pailit sudah dalam kondisi yang meyakinkan bahwa asetnya
terlalu kecil bila dibanding total tagihan hutangnya maka orang tersebut bisa
digugat ke pengadilan untuk hakim menerbitkan keputusan pailit. Sehingga
seluruh asetnya bisa segera diinventaris dan kemudian dilelang untuk memenuhi
tanggungan utang-piutang yang harus dibayar. Sehingga pihak kreditur tidak
semakin terancam hak-hak mereka.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini semoga bermanfaat bagi
anda semuanya. Menambah hasanah keilmuan anda dan kurang lebihnya saya
mohon maaf.
▪ 🗓 _SENIN_
| _15 Sya’ban 1442H_
| _29 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-65*
📖 _Al Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Batal Atau Tidak
Sah-nya Transaksi Yang Dilakukan Oleh Sebagian Al Mahjur Bagian Pertama_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Al-Imamu Al-Muallif Al-Imam Abu Syuja rahimahullah ta' ala dalam kitab Matnul
Ghayah wat Taqrib ()منت الغاية والتقريب.
Beliau berkata:
kepemilikan yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, orang bodoh yang
memiliki keterbatasan nalar.
Ketika tiga orang jenis ini melakukan satu tindakan hukum, satu perbuatan pada
harta kekayaannya yang berdampak pada memindahkan kepemilikan secara
mutlak, seperti menjual, menghibahkan, menghadiahkan atau hanya
memberikan hak guna alias mengizinkan orang lain untuk menggunakan,
mengambil manfaat harta yang dimiliki oleh anak kecil atau orang yang pandir
(keterbatasan mental) atau orang gila.
Dengan demikian ketika ada anak kecil yang melakukan satu tindakan, atau
orang gila atau orang cacat mental melakukan satu tindakan yang berdampak
pada berpindahnya kepemilikan atau digunakannya sebagian aset mereka,
diambilnya manfaat atau hak guna dari barang mereka tanpa sepengetahuan,
tanpa seizin dari walinya, orang yang ditunjuk untuk mengelola aset tersebut
atau harta tersebut, maka tindakan ini dianggap batal demi hukum (tidak sah).
Di sini al-muallif rahimahullah mengatakan ghairu shahih (tidak sah), artinya apa?
Apa konsekuensi suatu tindakan dikatakan tidak sah? Artinya izin tersebut sia-sia.
Hibah tersebut batal, kemudian jual-beli tersebut tidak sah secara hukum,
sehingga barang yang telah dijual atau dihibahkan atau diberikan,
Dan kalau ternyata terjadi praktek barter jual-beli, di mana anda sebagai orang
yang bernalar sehat, sudah baligh, berakal normal tahu lawan transaksi anda
atau yang menjual kepada anda, menyewakan kepada anda itu adalah safih
(orang yang pandir, orang gila atau anak kecil), maka anda berkewajiban
mengembalikan barang tersebut.
Dan kalau ternyata terjadi kerusakan maka kerusakan itu menjadi tanggung
jawab anda. Karena kesalahan itu bertumpu kepada anda yang mengetahui
transaksi anak kecil, orang gila, tetapi anda tetap nekat melakukan transaksi
dengannya.
Adapun kalau ternyata terjadi kerusakan pada uang atau pada barang yang
anda serahkan kepada anak kecil atau orang gila sebagai imbalan atas barang
yang anda pungut dari mereka, barang yang anda ambil dari mereka. Maka itu
juga menjadi tanggung jawab anda karena itu kesalahan pada anda.
Anda berkewajiban mengembalikan barang milik anak kecil, barang milik orang
gila seutuhnya seperti sedia kala. Sedangkan anda hanya berhak, sekali lagi
perlu digaris bawahi, _hanya berhak untuk mengambil kembali meminta
kembali barang anda seperti apa adanya saat ini, saat ketika terjadi
pembatalan atau pengembalian._
Sehingga kalau terjadi kerusakan, kekurangan maka itu resiko anda yang nekat
melakukan transaksi, berakad dengan orang yang cacat, orang yang tidak
memiliki kecakapan untuk melakukan tindakan hukum.
Sehingga di sini al-muallif mengatakan ghairu shahih (tidak sah). Karena tidak
sah resiko dibebankan kepada anda sebagai orang yang baligh, berakal sehat.
Dan ternyata barang yang ada di tangan anda, barang yang diserahkan oleh
anak kecil, orang gila kepada anda dengan akad jual-beli atau hibah
menghasilkan manfaat.
Ayam bertelur, sapi menghasilkan susu, atau mungkin beranak atau pohon telah
berbuah, maka anda berkewajiban mengembalikan induknya beserta keturunan
beserta anaknya. Anda berkewajiban mengembalikan pohon beserta buahnya,
mengembalikan ayam beserta telurnya.
Kenapa? Karena akad yang memindahkan kepemilikan ini ternyata batal demi
hukum, sehingga barang beserta turunannya harus dikembalikan dan kalau
ternyata misalnya anda telah mengkonsumsi telur ayam tersebut, atau meminum
susu yang dihasilkan oleh hewan tersebut, anda berkewajiban mengganti
manfaat tersebut.
Telurnya anda kembalikan, anda belikan atau anda bayar senilai telur tersebut,
atau susunya anda berkewajiban untuk mengembalikan susu tersebut, atau kalau
sudah diminum anda harus membayarnya.
Tapi sebaliknya tidak. Ketika terjadi barter, anda memiliki seekor sapi yang
menghasilkan susu, lalu anda barterkan dengan seekor sapi jantan milik anak
kecil atau orang gila atau orang pandir, terjadi barter.
Setelah sekian waktu dan si anak kecil atau orang gila atau orang pandir
tersebut memerah sapi anda, susunya diminum, jika itu adalah ayam kemudian
telurnya digoreng (telah dikonsumsi), maka anda tidak berhak meminta ganti
rugi atas manfaat yang telah diambil oleh anak kecil tersebut.
Kenapa? Karena itu adalah kesalahan anda yang berbuat zhalim, anda yang
berbuat salah.
Kenapa? Karena itu adalah kesalahan anda, tahu ada anak kecil, tahu ada orang
gila, namun anda nekat melakukan transaksi atau ikatan jual-beli beli dengan
mereka.
Sehingga anda tidak mempunyai hak untuk meminta ganti rugi. Tetapi
sebaliknya anak kecil karena dia yang dizhalimi, dia yang ditipu, dia yang
berpotensi untuk dirugikan, menjadi korban, maka dia berhak untuk meminta
kembali seluruh haknya. Al-Muallif mengatakan ( غير صحيحtidak sah).
Sehingga ini perlu menjadi catatan ketika kita melakukan satu tindakan hukum
atas harta kekayaan, ketahuilah anda berkewajiban untuk memastikan bahwa
lawan transaksi anda betul-betul cakap hukum, memiliki kewenangan untuk
melakukan tindakan hukum atas harta tersebut.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, semoga Allāh
Subhānahu wa Ta'āla menambahkan taufiq hidayah kepada anda. Kurang dan
lebihnya mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _SELASA_
| _16 Sya’ban 1442H_
| _30 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-66*
📖 _Al Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Batal Atau Tidak
Sah-nya Transaksi Yang Dilakukan Oleh Sebagian Al-Mahjur Bagian Kedua_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Selanjutnya di antara hal yang perlu diperhatikan pada poin yang disampaikan
oleh Mualif,
ِ
ُ وتصرف الصبيّ واملجنو ِن و السفيه
ِغير صحيح ُ
Dijelaskan dalam literasi madzhab Syafi'i serta yang lainnya, bahwa kata-kata
shahih (ِ )ص ـ ـ ـ ـ ـ ـحـيـحatau ghairu shahih (ِ )غ ـ ـ ـ ـ ـ ـي ُـر ص ـ ـ ـ ـ ـ ـحـيـحsemakna dengan kata-kata batil
(batal). Dan karena batal, maka akad tersebut tidak menghasilkan hukum
turunannya.
Jual beli, anda menjual atau anda membeli maka jual beli anda yang dilakukan
dengan orang gila, anak kecil, ini tidak menghasilkan konsekuensi hukum.
Anda tidak halal untuk memanfaatkan barang yang anda beli, anda tidak halal
untuk menjualnya, anda tidak halal untuk menghibahkannya. Karena barang
tersebut tidak sah untuk anda miliki, walaupun telah ada ikatan jual beli, telah
ada transaksi jual beli.
Kenapa? Karena lawan transaksi anda tidak memiliki kewenangan atau cacat
hukum. Tidak mendapatkan izin secara syar'i untuk melakukan tindakan hukum
atas harta kekayaannya.
Sehingga secara lahiriyah ada ijab dan qobul. Ada saya jual, saya beli. Tetapi
ketahuilah bahwa ucapan anak kecil, orang gila, ( الــسفيهorang yang pandir), cacat
mental beserta seluruh tindakannya (dijelaskan oleh para ulama), tidak diakui
secara hukum syari'at.
Karena itu dahulu para ahli fiqih mengatakan membuat suatu kaidah yang
berkaitan dengan masalah ini. Tindakan perbuatan anak kecil atau orang gila
atau yang serupa.
Suatu tindakan yang dilakukan oleh anak kecil walaupun itu dilakukan dengan
sadar. Dia lakukan dengan sengaja tidak ada paksaan bahkan mungkin dia
mengaku rela, suka, senang. Tetapi semua itu tetap saja dianggap sebagai
ketidaksengajaan. Walaupun Anda tanya kepada anak kecil yang menjual
kepada Anda. Engkau rela? Ya. Engkau sadar? Ya. Adakah paksaan? Tidak ada.
Maka kesengajaan anak kecil, demikian pula orang gila, demikian pula orang
yang memiliki cacat mental, secara hukum syari'at dianggap sebagai tidak
sengaja. Apa alasannya? Alasannya karena,
نقصان األهلية
Mereka anak kecil, orang gila, cacat mental itu mereka tidak memiliki kecakapan,
tidak memiliki kemampuan. Bahkan secara hukum syari‘at semua tindakan
mereka dianggap tidak memiliki konsekuensi hukum atau yang disebut dengan
ghairu mukallaf, mereka belum cakap hukum untuk melakukan suatu tindakan.
Sehingga anda tidak boleh dan juga tidak akan diakui secara syari'at ketika anda
berdalih "Dia sengaja kok, dia rela kok”.
Sampaipun dalam hukum pidana, ketika ada anak kecil sengaja membunuh,
maka pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh anak kecil tersebut
dianggap sebagai tidak sengaja. Karena nalarnya (daya pikirnya) belum
sempurna. Masih ada keterbatasan nalar. Keterbatasan daya nalar mereka untuk
memahami, untuk menguasai konsekuensi dari semua tindakan mereka.
Karena itu dalam hal Ibadah pula, mereka tidak sholat itu belum berdosa,
mereka minum khamr itu belum berdosa. Kenapa? Mereka belum baligh.
Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam bersabda,
َ ستَيْ ِق
ظ ْ َون َحتَّى يَ ْع ِق َل َو َع ِن َحتَّى ي َّ إِ َّن ٱهللََّ ُر ِفعَ ا ْل َق َل ُم َع ْن ثَالَثَ ٍة َع ِن
ِ ُ الص ِبىِّ َحتَّى يَ ْحتَلِ َم َو َع ِن ْامل َ ْجن
Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak mencatat amalan tiga kelompok orang. (1)
Anak kecil sampai dia baligh. (2) Dan orang gila sampai dia berakal sehat
kembali. (3) Dan juga orang yang tidur sampai dia sadar kembali, terbangun lalu
terjaga kembali. (HR Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih)
Ini maksud penjelasan dari Al Mualif. Ini yang bisa kami sampaikan pada
kesempatan kali ini. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala menambahkan taufik
dan hidayah-Nya kepada Anda. Kurang dan lebihnya mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _RABU_
| _17 Sya’ban 1442H_
| _31 Maret 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-67*
📖 _Al Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Ketentuan Untuk
Orang Yang Pailit_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Al-Imamu Al-Muallif Al-Imam Abu Syuja rahimahullah ta' ala dalam kitab Matnul
Ghayah wat Taqrib ()منت الغاية والتقريب. Beliau berkata,
ِ
ماله ِ
ن أعيانٙ ذمته دو وتصرف املفلس يصحُّ في
Adapun tindakan hukum yang dilakukan oleh orang yang pailit. Kita telah
sampaikan sebelumnya bahwa dalam literasi fiqih, orang yang pailit baik itu
telah terbit ketetapan hakim (dipailitkan) secara peradilan, ataupun menurut
sebagian ulama kalaupun belum digugat tetapi setelah terbukti secara
meyakinkan asetnya lebih kecil dibanding nominal hutangnya.
Intinya, orang yang telah dianggap pailit secara syari'at baik dengan terbitnya
keputusan hakim atau menurut sebagian ulama setelah terbukti bahwa
hutangnya lebih besar dibanding aset (kekayaannya).
Sehingga sudah bisa dipastikan, sudah bisa diduga kuat bahwa dia tidak akan
mampu melunasi hutangnya. Maka tindakan orang tersebut atas semua
kekayaan yang dimiliki (atas aset yang dimiliki), mahjur, tidak sah.
Walaupun dia baligh, walaupun dia mukallaf, walaupun dia berakal sehat.
Kewenangannya telah dicabut secara syari'at baik melalui keputusan hakim
ataupun secara otomatis menurut sebagian ulama, yaitu setelah terbukti bahwa
asetnya lebih kecil dibanding nominal hutangnya.
Maka kewenangan orang tersebut atas aset yang dimiliki dicabut, dibatasi
secara syari'at. Kenapa? Untuk melindungi (memproteksi) hak-hak orang-orang
yang telah menghutanginya atau yang disebut dengan kreditur. Untuk
melindungi (memproteksi) hak-hak para kreditur agar mereka bisa mendapatkan
kembali haknya atau dananya yang terhutang oleh orang pailit tersebut. Karena
mereka mahjur.
Sebagaimana dulu yang terjadi pada sebagian sahabat Muadz bin Jabal dan
juga terjadi pada Usayfi' di zaman Khalifah Umar Bin Khattab.
Dikisahkan bahwa Usayfi' itu seorang kaya raya, semula orang kaya dan orang
yang sangat dermawan. Saking dermawannya seringkali dia ketika musim Haji
tiba dia pergi ke Mekkah. Untuk apa? Menyiapkan dapur umum. Sehingga ketika
jama'ah haji tiba di Mekkah, tiba di Arafah, tiba di Mina, dapur umum yang telah
dia siapkan itu telah beroperasi.
Sehingga siapapun yang butuh makan, butuh minum, bisa datang ke dapur
umum ini secara cuma-cuma. Sehingga Usayfi' mengeluarkan biaya yang sangat
besar. Untuk apa? Untuk bersedekah kepada jama'ah haji.
menuntut, Usayfi' tidak mampu membayar. Apa yang dilakukan? Tentu para
kreditur terancam haknya.
Maka ketika mengetahui hal ini sahabat Umar Bin Khattab yang kala itu menjadi
khalifah langsung menerbitkan instruksi perintah agar seluruh aset Usayfi' disita,
untuk kemudian dilelang dan hasilnya digunakan untuk melunasi seluruh
tagihan-tagihan yang harus dibayar.
Kemudian Umar bin Khattab ketika menyita aset Usayfi' beliau berkata,
فــأصــبح وقــد ديـن, سـبق الـحاج فــادان مــعرضــا:أال إن أسـيفع جــهينة رضـى مـن ديـنه وأمــانــته بــأن يـقال
فمن كان له عليه دين فليحضر غدا,به
Orang yang pailit ini kewenangannya atas aset yang dia miliki dicabut, dibatasi
oleh peradilan oleh negara untuk kemudian asetnya dilelang untuk digunakan
melunasi hutangnya.
Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang yang pailit, yang dilakukan
secara non tunai, sehingga dia akan berkewajiban membayar nanti setelah masa
pailit berlalu atau hukum pailit dicabut. Sehingga dia melakukan suatu tindakan
secara non tunai. Misalnya membeli secara non tunai, menyewa secara non tunai
dan serupa.
Maka tindakan yang dilakukan secara non tunai ini, bila itu timing pelunasannya
(pembayarannya) jatuh temponya itu setelah seluruh tagihan yang harus dibayar
oleh orang pailit itu terlunasi maka itu dianggap sah. Karena tindakan ini tidak
Kenapa? Karena attaflis (hukum pailit) itu mu’alal, diterapkan karena ada suatu
tujuan (ada suatu maksud) yaitu melindungi hak-hak orang yang menghutangkan
atau yang sering disebut dengan kreditur. Melindungi hak-hak para kreditur agar
mereka bisa mendapatkan kembali haknya yang terhutang atas orang pailit
tersebut.
Dengan demikian tidak terjadi pertentangan antara transaksi orang yang pailit
dengan pembayaran non tunai yang jatuh temponya itu setelah selesai urusan
seluruh kreditur dengan hukum pailit.
Karena itu tidak ada alasan untuk mengatakan, "tindakan hukum, perbuatan
transaksi yang dilakukan orang yang pailit dengan skema pembayaran non tunai
yang jatuh temponya itu setelah seluruh hutang, seluruh hutang-hutangnya
seluruh kewajiban itu terbayar tidak ada yang bertentangan."
Karenanya di sini disampaikan bila orang yang pailit itu melakukan transaksi
secara non tunai dan jatuh temponya setelah seluruh hutangnya bisa dilunasi
maka itu sah secara hukum asalnya.
Kenapa? Karena perlu diketahui orang pailit itu yang pertama dia orang yang
sudah baligh, dia berakal sehat, ketiga dia juga memiliki kewenangan untuk
melakukan suatu tindakan karena dia cakap hukum. Sehingga karena hukum
pailit itu ditetapkan karena satu tujuan, bila tujuannya itu telah terwujud berarti
kembali kepada hukum asal sebagai implementasi dari kaidah fiqhiyah yang
mengatakan:
Semua urusan itu ketika menyempit, terjadi masyaqoh, terjadi kondisi darurat,
maka Allah akan melapangkan hukumnya. Memberikan keringanan (dispensasi).
Tetapi ketika kita sedang dalam kondisi lapang, maka biasanya atau sering kali
syari'at itu akan kembali ketat seperti sediakala.
Sebagaimana dalam ilmu Ushul Fiqih yang juga telah digariskan bahwa:
Suatu hukum itu bila ditetapkan karena adanya tujuan, dalam rangka
mewujudkan suatu tujuan maka bila tujuan ini telah tercapai maka hukumnya
akan akan menjadi gugur.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga Allah
Subhanahu Wa Ta'ala menambahkan taufik hidayah kepada Anda. Kurang dan
lebihnya mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪ 🗓 _KAMIS_
| _14 Sya’ban 1442H_
| _01 April 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-68*
📖 _Al Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Ketentuan Untuk
Orang Sakit Parah Yang Berpotensi Meninggal Dunia_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Al Mualif mengatakan,
ِ
بعده ِ
الورثة من ِ
إجازة موقوف على
ٌ وتصرف املريض فيما زاد على الشلث
ُ
Adapun tindakan ـرف ُ ( ت ـ ـ ـ ـ ـ ـص ـorang yang sakit parah) atau sering disebut dengan
( امل ـ ـ ـ ـ ـ ــري ـ ـ ـ ـ ـ ــض م ـ ـ ـ ـ ـ ــوتpenyakit atau kondisi sakit yang kemudian berlanjut dengan
kematian), maka tindakannya pada harta kekayaan yang dia miliki bila melebihi
sepertiga itu tindakannya diserahkan kepada ahli waris.
tersebut. Adapun bila dia mentasarufkan sepertiga atau kurang dari harta yang
dia miliki maka, sah.
Sebagaimana telah dijelaskan pada kisah sahabat Sa'ad bin Abi Waqash. Ketika
dia sakit parah, Nabi hanya memberikan izin kepadanya untuk mewaqafkan atau
mensedekahkan sepertiga dari aset yang dimiliki.
Kalau ternyata ada orang yang dalam kondisi sakit parah, kemudian dia
membelanjakan, menghibahkan, mewaqafkan atau mewasiatkan harta yang
dimiliki, dan ternyata itu melebihi batas maksimal yaitu sepertiga, maka ahli
waris berhak menganulir tindakan-tindakan orang yang sakit tersebut.
Maka mereka adalah orang yang paling berhak untuk mendapatkan bagian dari
harta yang ditinggalkan oleh si mayit. Ketika si mayit melakukan tindakan
dengan sengaja, memprioritaskan orang jauh, mengabaikan orang yang lebih
dekat. Memberikan hartanya kepada orang lain, sedangkan ahli warisnya
diabaikan maka ini suatu tindakan yang sangat bertentangan dengan konsep
dan prinsip syari'ah.
Mulailah, Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika ditanya perihal sedekah atau
infaq membelanjakan harta beliau memberikan skema prioritas ini.
Mulailah dari orang yang wajib untuk Anda nafkahi, kemudian orang selanjutnya,
orang yang lebih dekat lagi, orang yang lebih dekat lagi, dan selanjutnya.
Kalau ada orang sakit parah, dia mewaqafkan atau mewasiatkan lebih dari
sepertiga hartanya, maka tindakan orang yang sakit parah ini diserahkan kepada
ahli waris untuk dimusyawarahkan. Apakah akan dieksekusi seutuhnya, atau
dianulir seutuhnya (dianggap batal) seutuhnya, atau mau dieksekusi sebagiannya
dan sebagiannya dianulir, itu sepenuhnya hak ahli waris.
Karena syari'at ( الحج ـ ـ ـ ـ ُـر ع ـ ـ ـ ــلى امل ـ ـ ـ ــري ـ ـ ـ ــضmembatasi kewenangan tindakan orang sakit
parah itu) demi memproteksi hak ahli waris. Karena tujuannya adalah untuk
memproteksi hak ahli waris, maka kewenangannya dikembalikan kepada mereka.
Kewenangan untuk menganulir atau mengeksekusi diserahkan kepada ahli waris.
Muncul suatu pertanyaan, kapan ahli waris berhak untuk menentukan sikap?
Apakah sejak orang yang sakit tadi ketika dia berwasiat, atau menunggu setelah
dia betul-betul meninggal dunia?
Kenapa demikian? Kenapa baru setelah mati baru ahli waris memiliki hak untuk
menentukan sikap?
Ya, karena (1) selama pemilik harta itu masih hidup maka itu harta dia.
Kewenangan untuk melakukan tindakan itu adalah kembali pada dia. Dan (2),
ada potensi dia sembuh kembali (sehat kembali). Sehingga, selama hayat masih
dikandung badan, hak itu masih melekat pada pemilik harta.
Ahli waris hanya boleh, hanya memiliki hak, kapan? Setelah terbukti pemilik
harta itu meninggal dunia. Sehingga kewenangan untuk melakukan tindakan
hukum atas harta itu secara otomatis berpindah kepada ahli waris.
Sehingga, kalau ada kerabat Anda yang membuat wasiat, wakaf, hibah ternyata
melebihi sepertiga dari total aset yang dia miliki maka Anda sebagai ahli waris,
bersama seluruh ahli waris berhak untuk menentukan sikap.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga Allah
Subhanahu Wa Ta'ala menambahkan taufik dan hidayah-Nya kepada Anda.
Kurang dan lebihnya mohon maaf.
▪ 🗓 _JUM’AT_
| _19 Sya’ban 1442H_
| _02 April 2021M_
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja*
🔈 *Audio ke-69*
📖 _Al Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Ketentuan Untuk
Budak_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Karena seorang budak hanya bertindak mewakili majikannya. Kecuali dalam satu
kondisi yaitu bila dia membeli dengan skema pembayaran terhutang atau dia
memberikan satu komitmen kepada lawan transaksinya untuk menunaikan
transaksi tersebut setelah dia merdeka.
Adapun bila budak tersebut dalam kondisi melakukan tindakan atau transaksi
secara tunai, maka transaksi tunai itu terlaksana atas nama majikannya. Karena
budak tersebut bertransaksi, berniaga setelah mendapatkan izin dari majikannya.
Namun ternyata ketika ada orang yang tetap melakukan transaksi dengan skema
pembayaran berjangka dan telah terjadi kesepakatan jatuh temponya adalah
setelah dia merdeka, maka dia tidak berhak untuk menuntut majikannya, dia
tidak berhak untuk menuntut budak tersebut, karena budak tidak memiliki
(harta).
Majikan juga tidak boleh dituntut karena budak tersebut bertindak bukan atas
nama majikannya, karena dia berkata, "Saya akan melunasi, saya membayar
ketika saya telah merdeka".
Apalagi dalam beberapa kasus perbudakan, majikan bisa jadi memberikan restu
memberikan izin kepada budak untuk bekerja mencari pendapatan atau
penghasilan guna menebus dirinya, agar dia merdeka, agar dia dimerdekakan
oleh majikannya yaitu dengan cara dia mengumpulkan sejumlah harta untuk
digunakan menebus dirinya.
Seperti yang terjadi pada Abu Bayadhah, atau yang lainnya, seorang budak
yang dia memiliki skill (keahlian) untuk membekam orang lain, dia memiliki skill
medis, maka dia terus bekerja melayani memberi jasa kepada orang
(membekam). Salah satu yang menggunakan jasa beliau adalah Nabi shallallahu
'alayhi wa sallam.
Nabi memanggil budak tersebut untuk membekam, dan setelah berbekam Nabi
shallallāhu 'alayhi wa sallam memberinya upah dua dirham. Selanjutnya Nabi
shallallahu 'alayhi wa sallam memberikan rekomendasi kepada majikan budak
tersebut agar mereka meringankan tebusan yang mereka minta dari budak ini
sehingga dia bisa segera merdeka.
Dalam kasus seperti ini, di saat ada kesepakatan antara budak dan majikannya.
Majikan mengizinkan budak untuk bekerja mencari penghasilan guna menebus
dirinya. Maka dalam kondisi semacam ini, sering kali di zaman dulu (zaman
masih ada perbudakan), sering kali budak itu membeli suatu barang dengan
pembayaran setelah dia merdeka.
Ini keenam orang yang dalam tuntunan syari'at kewenangannya atas harta
kekayaannya dibatasi atau yang disebut dengan mahjur.
Demikian yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Kurang dan
lebihnya mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
| MANDIRI Syariah
| 777 183 183 9
a/n *Yayasan Pilar Media Komunikasi*
Konfirmasi Donasi:
wa.me/62838-0600-0003