KITAB MUAMALAH
BAGIAN 03 (Halaqah 70-96)
Syarh/Penjelasan oleh
Ustadz DR. Muhammad Ari n Badri, M.A.حفظه اهلل
fi
▪ 🗓 _SENIN
| _17 Dzulqa’dah 1442H
| _28 Juni 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-70
📖 _Ash-Shulhu (Kesepakatan Damai) Bagian Pertama
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla
Beliau mengatakan
Mengadakan Ash-shulhu ( )ال ـ ــصلحperdamaian antara dua orang itu suatu hal yang
sah secara hukum, dalam kondisi bila kedua belah pihak mengakui adanya
ikatan tersebut. Terutama dalam hal-hal (dalam ikatan-ikatan) yang berkaitan
dengan harta atau berbagai kasus yang berakhir pada tebusan harta
fi
.
Dalam perkataan al imam muallif ini, beliau mengatakan, ash-shulhu ()ال ـ ـ ـ ـ ـ ـصـ ـل ــح
perdamaian antara kedua belah pihak itu hukum asalnya boleh dengan catatan
Pertama, kesepakatan itu terjadi di saat kedua belah pihak mengakui akan
kejadian ataupun ikatan (komitmen) tersebut
A berutang kepada si B senilai 100 juta, ketika jatuh tempo ternyata si A tidak
mampu membayar utang yang harus dia bayarkan (yang sudah jatuh tempo)
tersebut
A mengakui akan utang ini, si B pun sama mengakui bahwa nominalnya 100 juta,
tidak ada perselisihan. Tetapi ada gagal bayar.
Nah, kalau dalam proses gagal bayar seperti ini (dalam kasus gagal bayar)
kemudian ditempuh kekeluargaan (negoisasi/kesepakatan), maka kesepakatan
semacam ini boleh (sah)
Kenapa? Ini kesepakatan di saat kedua belah pihak saling mengakui dan dalam
kesepakatan yang berkaitan dengan harta benda. Misalnya kesepakatannya A
menyerahkan rumahnya kepada si B sebagai pembayaran, dan si B menyatakan
lunas. Ini terjadi ash-shulhu ( )الصلحkesepakatan.
Atau kesepakatan antara suami dan istri, ketika seorang lelaki menikahi seorang
wanita, kemudian wanita ini mulai khawatir akan diceraikan oleh suaminya,
karena satu atau dua hal, atau dia khawatir jikalau suaminya menikah lagi, maka
istrinya boleh bernegoisasi dan mengatakan, "Jangan engkau ceraikan aku, aku
siap untuk tidak dinafkahi". Hidup dari hasil pekerjaannya sendiri.
Karena bisa jadi seorang istri tersebut memiliki penghasilan. Seorang pengusaha
atau PNS atau yang lainnya, dia mengatakan, "Tidak usah menafkahi tetapi
jangan diceraikan", sehingga istri memaafkan haknya atas nafkah dengan
konsekuensi suami tidak menceraikan.
Atau sebaliknya istri mengatakan kepada suami, "Jangan engkau menikah lagi
sebagai kompensasinya, engkau tidak perlu menafkahi saya" atau "Rumah ini,
aku berikan kepadamu" atau istri mengatakan, "Saya akan membelikan untukmu
satu unit kendaraan dengan catatan jangan menikah lagi".
Kesepakatan semacam ini yang berkaitan dengan harta, ada kesepakatan yang
menimbulkan komitmen harta dalam urusan harta benda itu sah. Boleh, boleh
saja sejalan dengan rman Allāh Subhānahu wa Ta’āla
ۗ خ ْي ٌ ۭر
َ ُٱلص ْلح
ُّ حا ۚ َو ُ صلِ َحا بَيْن َ ُه َما
ًۭ ص ْل ۭ ً شوزًا أ َ ْو إِ ْعر
ْ ُاضا فَ َال ُجنَا َح َع َليْ ِه َمآ أَن ي َ ُ ُخافَتْ ِم ۢن بَ ْعلِ َها ن
َ ٌَو إِ ِن ٱ ْم َرأَة
"Bila seorang wanita mulai khawatir bila suaminya bersikap tidak lagi mau
أ َ ْو إِ ْعـ ـ ـ ـ ـ ـ َـر ً ۭ ـ
menafkahinya, tidak lagi mau menunaikan hak-haknya sebagai istri, اض ا
atau suaminya mulai tidak cinta, sehingga dia mulai berpikir untuk berpindah
hati.
Maka kata Allah, "Tidak mengapa bila kedua belah pihak (suami/istri) ini
menempuh ash-shulhu (perdamaian) baik dengan cara istri memaafkan haknya
(tidak dinafkahi) atau istri memberikan sebagian hartanya atau istri berkomitmen
untuk tidak menagih sisa mas kawin yang belum terbayar (misalnya)"
خ ْي ٌ ۭر
َ ُٱلص ْلح
ُّ َو
Kata Allah, "Dan berdamai itu lebih baik dibanding bersikukuh memperebutkan
hak yang akan berujung dengan perceraian", kata Allah. [QS An-Nissa': 128
Nah, dalam ayat ini Allāh Subhānahu wa Ta’āla mencontohkan, contoh ash-
shulhu ( )ال ـ ـ ـ ـ ـ ـص ـل ــحperdamaian yang dibenarkan, yaitu perdamaian dalam urusan
hak-hak seorang istri yang dimaafkan atau digugurkan sebagai kompensasi atas
kesetiaan suami, agar suami tidak menceraikannya atau agar suami tidak
menikah lagi dengan yang lainnya.
fi
Kata Allah
خيْ ٌ ۭر
َ ُٱلص ْلح
ُّ َو
Namun di sini ada catatan besar, bahwa al muallif dan itu merupakan madzhab
Sya 'i. Perdamaian itu hanya dibolehkan di saat kedua belah pihak mengakui
hak-hak tersebut. Dengan kata lain, ketika terjadi persengketaan, tuduh-
menuduh yang tertuduh mengingkari tuduhan (tidak mengakui)
Misalnya:
Dalam kondisi semacam ini, dalam madzhab Sya 'i (menurut madzhab Sya 'i)
tidak boleh ditempuh jalur solusi (damai) satu-satunya solusi adalah dengan
menempuh pembuktian hukum di peradilan. Kalau tidak bisa dibuktikan, berarti
selesai.
"Sudahlah, jangan ribut! Saya tidak mau sengketa, saya berikan 50 juta tapi
jangan lagi nagih, jangan lagi cerita ke sana ke mari bahwa saya mangkal dari
kewajiban membayar utang atau yang lainnya. Jangan sampai menempuh jalur
pengadilan karena ini mencoreng nama baik keluarga dan lain sebagainya
(misalnya)".
Maka kesepakatan semacam ini, menurut madzhab Imam Asy Sya 'i, itu
kesepakatan yang bathil
"
fi
.
fi
fi
Kenapa? Karena ketika terjadi perseteruan (persengketaan) yang satu menuduh,
yang satu mengingkari, sudah bisa dipastikan bahwa satu dari keduanya itu
salah. Satu dari keduanya dusta, baik yang menuduh ataupun yang tertuduh.
Sehingga ketika terjadi shulhu ( )ال ـ ـ ـ ـ ـ ـصـلـخsemacam ini, itu sama saja kita merestui
orang lain untuk memakan harta yang haram. Ini sudut pandang Al Imam Asy
Sya 'i rahimahullah. Beliau berdalil dengan banyak ayat (banyak dalil) salah
satunya adalah rman Allāh Subhānahu wa Ta’āla
ِ يَـٰٓأَيُّ َها ٱ َّل ِذي َن َءا َمنُوا ۟ َال تَأ ْ ُك ُل ٓوا ۟ أ َ ْم ٰوَ َل ُكم بَيْن َ ُكم ِبٱ ْلبَـ
ٰط ِل
ِ َّ َوتُ ْد ُلوا ۟ ِب َهآ إِ َلى ٱ ْل ُح َّكام ِ لِتَأ ْ ُك ُلوا ۟ فَ ِري ًۭقا ِّم ْن أ َ ْم ٰوَ ِل ٱلن
اس
"Dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kalian dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu." [QS Al
Baqarah: 188
Ujung-ujungnya adalah makan harta orang lain dengan cara-cara yang bathil.
Sehingga terjadi win-win solution (damai) tetapi salah satunya (sebetulnya) tidak
mengakui adanya ikatan tersebut. Baik ikatan utang piutang atau jual beli, maka
sudah bisa dipastikan salah satunya akan memakan harta saudaranya dengan
cara yang bathil. Dan Islam tidak merestui hal itu
Karenanya, imam Asy Sya 'i mengatakan, "Tidak ada ash-shulhu (damai) di saat
salah satunya itu mengingkari tuduhan”
fi
fi
Demikian yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang dan
lebihnya saya mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
▪ 🗓 _SELASA
| _18 Dzulqa’dah 1442H
| _29 Juni 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-71
📖 _Ash-Shulhu (Kesepakatan Damai) Bagian Kedua
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla
Imam Asy Sya 'i mengatakan tidak ada ash-shulhu ( )ال ـ ـ ـ ـ ـ ـصـلـحdamai di saat salah
satunya itu mengingkari tuduhan.
Namun menurut ulama yang lain, damai itu lebih baik dibanding
mempertahankan sengketa, walaupun salah satu dari mereka itu mengingkari
adanya ikatan jual-beli atau ikatan utang-piutang tersebut.
Kenapa? Karena bisa jadi damai ini mendatangkan maslahat yang besar,
misalnya menjaga nama baik keluarga, misalnya tidak ingin repot di peradilan,
karena kalau harus ke pengadilan bisa jadi biaya menjalani proses pengadilan
ini, bisa jadi lebih besar dibanding harta yang dituduhkan.
fi
.
Bisa jadi mafsadah yang akan terjadi, efek yang terjadi dari sengketa tersebut,
bisa jadi terlalu besar untuk dipikul, sehingga kadang kala orang yang dituduh
memilih untuk mengalah dengan mengatakan,
"Saya tidak bayar semua, saya bayar sebagian saja demi menjaga nama baik
keluarga agar tidak ribut, tidak tercemar nama baik keluarga, nama baik
perusahaan dan lainnya".
Atau mungkin agar cepat selesai kasusnya, tidak berlarut-larut sehingga tidak
memakan biaya yang besar.
Dalam kasus semacam ini berarti pihak tertuduh merasa mendapatkan manfaat
walaupun rugi. Karena dia ternyata (sebetulnya) dia tidak berutang. Tapi
daripada dia menanggung resiko malu, tercoreng nama baik keluarga, dia rela
membayar demi menjaga kehormatan dirinya.
Ini tentu alasan yang dibenarkan secara syariat. Ini suatu maslahat sehingga
kalau terjadi kasus semacam ini, maka tentu ini satu maslahat yang dibenarkan,
maka boleh secara hukum syariat. Tentu ini suatu maslahat yang besar bagi
pihak tertuduh, walaupun pihak penuduh bisa jadi zhalim
Maka dalam kasus ash-shulhu ( )ال ـ ـ ـ ـ ـ ـصـ ـل ــحsemacam ini para ulama mengatakan
karena ini ada dua pihak. Maka para ulama mengatakan sah, dengan
konsekuensi pihak yang dizhalimi bisa menghindari kerugian yang lebih besar,
sedangkan pihak yang zhalim tentu haram, karena dia akan memakan harta
orang lain dengan cara-cara yang bathil. Baik itu pihak yang tertuduh atau pihak
yang menuduh. Pihak yang tertuduh bisa jadi zhalim.
Namun karena tidak ada alat bukti, akhirnya pihak yang berutang merasa di atas
angin sehingga dia menentang, dia mengingkari ikatan utang-piutang tersebut.
Karena dia merasa yakin, percaya bahwa pihak kreditur tidak akan bisa
membuktikan utang-piutang tersebut. Sehingga dia memilih jalur yang keji yaitu
mengingkari, mendustakan ikatan utang-piutang tersebut
Dalam kasus semacam ini, tentu pihak yang menuduh dirugikan. Namun kadang
kala pihak kreditur akhirnya berpikir realistis kalau menempuh jalur hukum bisa
jadi biayanya lebih mahal, panjang urusannya, merepotkan. Akhirnya dia rela
dengan solusi damai. Dengan mengatakan, "Bayarlah separuh dari piutang saya,
separuhnya saya maafkan".
Dia terpaksa memaafkan, karena daripada dia repot, daripada dia mengeluarkan
biaya yang lebih banyak atau bahkan daripada tidak bisa mendapatkan sama
sekali hartanya. Dia akhirnya mengalah.
Lebih baik menerima separuh dibanding tidak bisa mendapatkan apapun, dalam
kasus semacam ini tentu pihak tertuduh zhalim. Namun pihak penuduh, karena
sebetulnya dia berhak, namun sayang dia tidak memiliki alat bukti yang cukup
kuat, akhirnya dia realistis. Tentu ini satu maslahat
Sedangkan kalau ditinjau dari dalil, maka dalil-dalil yang mensyariatkan ash-
shulhu ( )الصلحitu bersifat umum seperti ayat di atas.
خيْ ٌ ۭر
َ ُٱلص ْلح
ُّ َو
ً
حالال َّ صلحا
َّ أو، أحل حرا ًما
حرم ً َّ ني
إال َ الصلحُ جائزٌ ب
َ ني املسلم ُّ
Perdamaian antara dua pihak itu hukum asalnya boleh, kecuali perdamaian
yang menyebabkan engkau memakan atau melanggar yang haram atau
menyebabkan engkau terhalang dari sesuatu yang halal
Sehingga hadits ini dan juga ayat di atas menunjukkan bahwa hukum asal
perdamaian itu boleh. Apalagi bila terbukti perdamaian itu membawa maslahat
atau minimal meminimalis (memperkecil) mudharat
Sehingga sekali lagi (wallahu ta'ala a'lam) secara tinjauan dalil membatasi ash-
shulhu ( )ال ـ ـ ــصلحperdamaian hanya dalam kondisi yang sempit yaitu di saat terjadi
kesepakatan saling mengakui
"
Ini secara tinjauan dalil, ini kurang kuat karena dalil-dalil yang berkaitan dengan
ash-shulhu ( )ال ـ ـ ـ ـ ـ ـص ـ ـل ـ ــحperdamaian itu bersifat umum tanpa ada batasan yang
sebagaimana dijelaskan di atas
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
fi
▪ 🗓 _RABU
| _19 Dzulqa’dah 1442H
| _30 Juni 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-72
📖 _Ash-Shulhu (Kesepakatan Damai) Bagian Ketiga - Jenis Pertama
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Masih bersama Matan Al
Ghayah Fil Al-Ihtishor buah karya Asy Syaikh Al Imam Abu Syuja' Rahimahullahu
Ta'ala
Kesempatan kali ini kita sampai pada penjelasan tentang ال ـ ـ ـ ـ ـ ـصـ ـل ــحAsh-Shulhu,
perdamaian, perdamaian antara dua orang yang bersengketa atau berselisih
Telah disampaikan pada sesi sebelumnya bahwa dalam Madzhab Sya 'i
diajarkan bahwa ( ال ـ ـ ـ ـ ـ ـص ـل ــحAsh-Shulhu) itu hanya boleh dilakukan di saat terjadi
kesepahaman (kesepakatan). Namun walau mereka sepakat ada hal-hal yang
masih mengganjal atau masih mereka perselisihkan.
Inti masalah yang mereka permasalahkan disepakati seperti kedua belah pihak
mengakui adanya ikatan hutang piutang maka dalam kondisi semacam ini
dibolehkan untuk ( ص ـ ـ ـ ـ ـ ـل ــحShulhu). Baik dengan memaafkan sebagian, menunda
pembayaran, atau melakukan pembayaran dengan benda lain.
fi
fi
Akan tetapi bila salah satu pihak mengingkari keberadaan ikatan tersebut
misalnya penjual melakukan penagihan kepada pembeli dengan dalih pembeli
belum melunasi pembayarannya. Namun ternyata pembeli mengklaim bahwa
dirinya telah melakukan pembayaran (lunas) sehingga tidak lagi ada sisa
tanggungan yang harus dia bayarkan.
Dalam kondisi semacam ini terjadi ‘ingkar’. Pembeli mengingkari tuduhan yang
dilontarkan oleh pembeli, maka dalam madzhab Sya 'i tidak boleh ada solusi
Ash-Shulh (damai).
Kenapa? Karena damai dalam kondisi semacam ini, ini menyebabkan satu dari
keduanya, satu dari dua orang yang berbeda itu akan memakan harta orang lain
dengan cara-cara yang zhalim.
Andai dalam kasus ini yang benar adalah penjual, berarti ketika ada damai
dengan memaafkan sebagian hak, berarti kita telah melegalkan membuka pintu
untuk pembeli (memakan) sebagian harta penjual.
Atau sebaliknya, kalau yang salah adalah penjual, maka dalam kondisi semacam
ini berarti kita telah melegalkan penjual untuk memakan harta pembeli, dan itu
adalah ta'awun (tolong menolong) dalam perbuatan dosa.
Karenanya dalam Mazhab Sya 'i, Shulh ( )ص ـ ـ ـ ـ ـ ـل ـ ــحdalam kondisi ingkar tidak
dibenarkan. Namun, Wallahu Ta'ala A’lam, dalil-dalil lain yang bersifat umum
(yang menganjurkan) Ash-Shulh (damai) bersifat umum. Sehingga mencakup
( ) ص ـ ـ ـ ـ ـ ـلـحperdamaian dalam kondisi ada kesepakatan (kesepahaman) atau dalam
kondisi tidak dicapai kata sepakat (terjadi persengketaan) dalam seluruh
masalah.
Apa yang diutarakan dalam Madzhab Sya 'i telah kita sampaikan bahwa alasan
yang diutarakan oleh Madzhab Sya 'i itu masih bisa diarahkan (dikompromikan)
karena akad ini melibatkan dua belah pihak. Sehingga yang berdosa, yang
terkena berbagai larangan yang telah diutarakan oleh para ulama Sya 'i adalah
pihak yang zhalim (yang berdusta).
fi
fi
fi
fi
fi
Seperti halnya ketika anda disatroni oleh perampok anda hanya diberi pilihan
menyerahkan harta atau dibunuh, dan kemudian hartanya diambil. Dalam kondisi
terjepit semacam ini sering kali orang berpikir realistis. Daripada kehilangan
nyawa, kehilangan harta, lebih baik kehilangan harta tapi nyawa selamat. Karena
harta masih bisa dicari tapi nyawa siapa yang bisa mengganti?
Baik. Itu telah kita bahas telah kita kaji pada sesi sebelumnya.
ِ
. ومعا وض ٌة، إبرا ٌء: نوعان وهو
(1) Ibra ( )إبرا ٌء, yaitu memaafkan seluruh hak atau sebagiannya.
(2) Mu’āwadhah ()م ـ ـ ـ ـ ـ ـع ــا وض ـ ـ ـ ـ ـ ـ ٌة, barter, membarterkan hak yang terutang dengan
benda lain.
Contoh إب ـ ـ ـ ـ ـ ــرا ٌءadalah ketika ada dua orang yang berbeda dalam masalah utang
piutang. A berhutang 100 juta kepada si B, ketika jatuh tempo ternyata si A tidak
mampu atau terhalang (memiliki kesulitan untuk melakukan pembayaran).
Memaafkan hak semacam ini bila itu dilakukan secara sukarela tanpa intimidasi,
tanpa keterpaksaan itu sah-sah saja.
Suatu hari di zaman Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam ada dua orang yang
bersengketa masalah utang piutang. Karena mereka berseteru di dalam masjid
akhirnya perseturan mereka, percekcokan mereka di dengar oleh Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sehingga beliau keluar dari rumahnya dan
berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
Maka dengan tau k dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan kearifan beliau dalam
mengkompromikan kedua belah pihak akhirnya dicapailah kesepakatan.
Ini, pola semacam ini disebut dengan Ibra’ ()إب ـ ـ ـ ـ ـ ــرا ٌء. Demikian pula halnya ketika
ada pihak yang memaafkan seluruh haknya. Misalnya pihak tadi, kasus A dan si
B. Si B kemudian mengatakan, “Saya maafkan, saya bebaskan dan saya anggap
lunas.” Seperti ini juga boleh. Itu termasuk kategori Ibra’ ( )إبرا ٌء.
Contoh pertama adalah kasus suami istri. Ketika suami menikah atau lelaki
menikah, menikahi seorang wanita dengan mas kawin terutang yang dibayar
pada waktu yang akan datang. Dan telah disepakati untuk adanya akad
pernikahan semacam ini, maka mereka menikahlah.
Setelah menikah, bisa jadi istri merasa iba dengan suaminya. Maka istri boleh
legal secara syari'at untuk kemudian memaafkan sebagian atau seluruh mas
kawinnya alias membebaskan suaminya dari sebagian atau seluruh mas kawin
yang harus dibayarkan.
Dan ini sah secara hukum syari'at. Bukan berarti nikah tanpa mas kawin. Mereka
nikah dengan mas kawin namun kemudian istri setelah terjadi pernikahan karena
satu atau dua alasan memaafkan suaminya dan itu sah-sah saja
Karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah mengizinkan hal itu dalam rman-Nya
fi
“Tidak mengapa untuk kalian wahai kaum suami untuk memakan, menerima mas
kawin yang kemudian direlakan oleh istrimu setelah adanya ketetapan mas
kawin itu.” [QS An-Nisa: 24
Alias ketika sudah terjadi kesepakatan untuk membayar sejumlah mas kawin
kemudian pernikahan pun telah sah dan ternyata di kemudian hari istri
memaafkan semua atau sebagiannya maka itu satu uluran tangan yang baik dari
istri.
Dan suami tidak tercela karena ketika menerima hal tersebut baik dikembalikan
secara tunai mas kawin tersebut atau dibebaskan dari tagihannya, dari beban
mas kawin. Dan ini sah secara hukum syari'at
ب لِلت َّ ْق َو ٰى
ُ َوأَن تَ ْعفُوا أ َ ْق َر
“Kalau kalian memaafkan itu lebih dekat dengan ketakwaan.” [QS Al-Baqarah:
237
َوأ َ ْن تَ ْعفُوا
۟ ص َّد ُقوا
َ ََوأَن ت
Dan kata-kata sedekah itu mencakup sedekah dengan memberi atau sedekah
dengan cara memaafkan. Ini semuanya adalah sah secara syari'at.
fi
]
Ini model perdamaian yang pertama, yaitu dengan memaafkan sebagian atau
semuanya
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Kurang dan lebihnya
mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
▪ 🗓 _KAMIS
| _20 Dzulqa’dah 1442H
| _01 Juli 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-73
📖 _Ash-Shulhu (Kesepakatan Damai) Bagian Keempat - Jenis Kedua
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Masih bersama Matan Al
Ghayah Fil Al-Ihtishor buah karya Asy Syaikh Al Imam Abu Syuja' Rahimahullahu
Ta'ala
Kesempatan kali ini kita sampai pada penjelasan beliau tentang ال ـ ـ ـ ـ ـ ـصـ ـل ــحAsh-
Shulhh, perdamaian, perdamaian antara dua orang yang bersengketa atau
berselisih
ِ
. ومعاوض ٌة، إبرا ٌء: نوعان وهو
fi
,
Ibra ()إب ـ ـ ـ ـ ـ ــرا ٌء, yaitu memaafkan seluruh hak atau sebagiannya atau yang kedua
adalah muā’awadhah ( معاوض ٌةbarter).
Ketika anda memiliki suatu hak atas orang lain, misalnya anda menghutangi
seseorang sejumlah 100 juta rupiah misalnya. Kemudian di kemudian hari ketika
jatuh tempo debitur anda yang berhutang merasa tidak mampu, merasa tidak
bisa melunasi.
Misalnya hutang yang semula 100 juta itu dibayar dengan satu unit kendaraan
atau satu unit rumah atau mungkin dibayar dengan sekian ekor domba atau
sekian ekor sapi. Kesepakatan semacam ini, ini dibenarkan secara tinjauan
syari'at. Yaitu muā’awadhah ()معاوض ٌة.
Sehingga dalam praktek ini terjadi barter atau transaksi jual beli. Dalam akad
semacam ini terjadi barter atau transaksi jual beli. Yaitu anda membeli satu unit
rumah atau satu unit kendaraan senilai 100 juta, sebesar piutang anda.
Sehingga dengan adanya kesepakatan ini pihak kreditur tidak lagi berhak untuk
meminta (untuk menagih). Sebagaimana pihak debitur sudah dianggap lunas
karena dia telah melakukan tanggung jawabnya yaitu membayar sejumlah
tagihan atau senilai tagihan.
Kalau dibayar rupiah dengan rupiah berarti dia telah lunasi, kalau dibayar
dengan barang ada kesepakatan untuk menerima barang sebagai pembayaran.
Maka ini disebut dengan معاوض ٌة, jual beli.
Sehingga apapun solusi yang telah disepakati tersebut, boleh secara syari'at.
Baik memaafkan sebagian, menghapuskan semuanya, atau dengan barter.
Melakukan pelunasan dengan barang dan benda lain.
Akan tetapi perlu diingat, kalau yang dilakukan adalah barter, yaitu anda
menerima barang sebagai ganti dari piutang anda, maka berlakulah padanya
hukum jual beli.
Sehingga kalau anda menghutangkan sejumlah uang 100 juta rupiah ketika jatuh
tempo pihak debitur tidak mampu melakukan pelunasan dalam bentuk uang
rupiah. Dia tidak punya uang tunai 100 juta rupiah, yang dia punya adalah uang
dolar.
Dalam kasus semacam ini, bolehkah piutang rupiah dibayar dengan dolar? Atau
sebaliknya, ketika anda berhutang dalam bentuk dolar dibayar dalam bentuk
rupiah.
Mayoritas ulama mengatakan, “Tidak boleh.” Kenapa? Karena dalam kasus ini
membayar rupiah dengan dolar, membayar utang dolar dengan rupiah itu sama
saja tukar menukar uang dengan non tunai, secara non tunai.
Padahal para ulama telah sepakat tukar menukar uang itu harus dilakukan
secara tunai. Ini rupiah dan ini dolar. Sehingga terjadi serah terima sik secara
tunai.
Ini Madzhab yang diajarkan dalam berbagai qih termasuk Madzhab Al Imam As
Sya 'i Rahimahullahu Ta'ala. Namun sebagaian ulama di antaranya Al Imam Ibnu
Taimiyah, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullahu Ta'ala dan lainnya
berpendapat bahwa:
“Membayar hutang rupiah dengan dolar atau sebaliknya hutang dolar dibayar
dengan rupiah, membayar hutang rupiah dibayar dengan emas atau membayar
hutang emas dibayar dengan rupiah secara hukum selama pembayarannya itu
lunas. Betul-betul disepakati lunas nominalnya sebesar atau senilai piutang,
maka sebagian ulama mengatakan boleh (sah).”
Dan ini tidak dianggap sebagai jual beli rupiah dengan dolar secara non tunai
atau jual beli emas dengan rupiah secara non tunai, tidak. Walaupun secara
sekilas terkesan ini adalah jual beli valas, valuta asing secara non tunai
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan pagi ini. Semoga Allāh
Subhānahu wa Ta’āla menambahkan tau k dan hidayah-Nya. Kurang dan
lebihnya mohon maaf
fi
fi
fi
.
▪ 🗓 _JUM’AT
| _21 Dzulqa’dah 1442H
| _02 Juli 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-74
📖 _Ash-Shulhu (Kesepakatan Damai) Bagian Kelima - Jenis Kedua (Lanjutan)
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Masih bersama Matan Al
Ghayah Fil Al-Ihtishor buah karya Asy Syaikh Al Imam Abu Syuja' Rahimahullahu
Ta'ala
Pada kesempatan ini kita sampai pada penjelasan beliau tentang Ash-Shulhu
( )ال ـ ـ ـ ـ ـ ـص ـ ـل ـ ــحperdamaian. Perdamaian antara dua orang yang bersengketa atau
berselisih
Beliau mengatakan:
Utang yang sebesar 100 juta, yang itu masih ada dalam tanggungan si A, ketika
A berutang 100 juta kepada si B.
Utang 100 juta yang itu menjadi tanggungan si A, itu secara hukum dianggap
ready sehingga ketika si A mengatakan kepada si B
fi
"Wahai si B, saya tidak bisa membayar dengan uang rupiah, tetapi akan saya
bayar dengan uang dolar sebesar 9.000 dolar. Dengan konsekuensi seluruh
utang 100 juta lunas dengan uang 9.000 dolar"
Dalam kasus semacam ini, menurut Al Imam Ibnu Taimiyyah, sah secara hukum.
Karena si A sama saja telah membeli uang 100 juta yang ada ditanggungan dia,
yang seharusnya dia bayarkan kepada si B. Dibeli dengan berapa? Dengan
9.000 US dolar
• Kedua | Kedua belah pihak, baik kreditur ataupun debitur merasa berhasil
menyelesaikan ikatan di antara mereka.
Pihak debitur merasa dianggap lunas dan pihak kreditur merasa mendapatkan
haknya. Sehingga akad ini membawa manfaat dan memberikan kelapangan
sehingga praktek semacam ini tidak tercakup dalam larangan,
Kenapa? Karena dalam prakteknya, yang tadi si A berutang kepada si B 100 juta,
dan kemudian ketika jatuh tempo si A tidak mampu mendatangkan uang rupiah,
yang dia bisa lakukan, yang dia miliki adalah uang dolar 9.000, sehingga secara
de facto uang 9.000 dolar itu tidak bisa dikatakan sebagai non tunai. Itu adalah
tunai
Sebagaimana nominal 100 juta yang itu ada ditanggungan si A secara hukum itu
juga ready, itu adalah tunai
Kenapa? Karena setelah transaksi dianggap lunas, tidak ada lagi tanggungan,
tidak atas A dan juga tidak juga atas si B. Sehingga ini secara hukum dianggap
lunas
Mereka berdalil dengan satu kasus di zaman Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam
yang diceritakan oleh Abdullah ibnu Umar. Beliau bertanya kepada Rasūlullāh
shallallahu 'alayhi wa sallam, bahwa beliau
"Ya Rasūlullāh, aku itu dagang sapi di pasar Naqi (nama pasar di kota Madinah
di sebelah kuburan Baqi)
"Dalam berapa kasus, aku menjual sapi dengan nilai sekian dinar, tapi tatkala
terjadi pembayaran ternyata pembeli membayarnya bukan dengan dinar tetapi
membayarnya dengan dirham.
"Aku dalam kasus lain, menjual dengan nilai dirham tapi ternyata
pembayarannya dengan dinar, dan demikian sebaliknya."
Tidak mengapa engkau melakukan praktik semacam ini, yaitu menjual dalam
bentuk dinar tapi ketika pembayaran dilakukan dengan dirham, atau sebaliknya
menjual kesepakatan jual-beli dengan dirham tapi ternyata ketika pembayaran
dengan dinar
Praktik semacam ini kata Nabi tidak masalah, boleh, tidak mengapa
"
"
Dan wallahu ta'ala a’lam, pendapat ini secara tinjauan dalil ataupun secara
tinjauan maqasi ( ) َم ـ ـ ـ ـ ـ ـ َقـ ــاسsyar'iah tujuan dan maksud serta substansi syari'at
pendapat ini lebih relevan, lebih kuat. Karena pendapat ini membawa
kemudahan tanpa melanggar aturan syari'at, tanpa menjerumuskan kita dalam
praktik riba atau gharar atau yang lainnya
Adapun hadits,
Nabi melarang jual beli tertunda dengan pembayaran tertunda maka secara
redaksi ataupun secara substansi hadits tersebut tidak sama sekali bertentangan
dengan praktik semacam ini, yaitu kompromi, kesepakatan untuk melakukan
pembayaran dengan dolar padahal utangnya dalam bentuk rupiah atau
sebaliknya
Secara substansi sama sekali tidak bertentangan dan secara tinjauan sanad
ternyata hadits
Adapun dalam praktek yang tadi dijelaskan yaitu mu'awadhah ()م ـ ـ ـ ـ ـ ـعـ ـ ــاوض ـ ـ ـ ـ ـ ــة,
perdamaian dalam bentuk barter tidak sama sekali terjadi non tunai, justru pada
kasus tersebut terjadi barter tunai, yaitu anda membayar dalam bentuk rupiah
dan tanggungan anda sebesar sekian ribu dolar dianggap lunas.
"
Atau sebaliknya tanggungan anda 100 juta rupiah dianggap lunas dengan anda
membayar 9.000 dolar, atau menyerahkan satu unit kendaraan, atau
menyerahkan sekian ekor sapi, atau domba misalnya.
Sehingga praktik ini sama sekali tidak bertentangan dengan larangan jual-beli
utang dengan utang, bahkan praktik semacam ini mewujudkan maslahat yang
sangat besar, kelapangan dan juga kemudahan bagi kaum muslimin dalam
bertransaksi dan melunasi tanggungan utang-piutang yang ada di antara
mereka
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan pagi ini, semoga Allāh
Subhānahu wa Ta’āla menambahkan tau k, hidayah. Kurang dan lebihnya
mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
fi
▪ 🗓 _SENIN
| _24 Dzulqa’dah 1442H
| _05 Juli 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-75
📖 _Ash-Shulhu (Kesepakatan Damai) Bagian Keenam
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
إبراء ومعاوضة
معاوضة
Dan pada sesi yang lalu, juga telah disampaikan apa maksud dari ibrā' ()إب ـ ـ ـ ـ ـ ــراء
yaitu memaafkan sebagian atau semuanya
fi
.
fi
Dari penjelasan al-muallif terkesan bahwa memaafkan semuanya itu tidak masuk
dalam kategori Ash-Shulh. Karena kata Ash-Shulh itu memberi satu pesan
adanya win-win solution sehingga kedua belah pihak masih ada saling memberi
dan menerima.
Dan secara pembagian disiplin ilmu qih, memaafkan walaupun itu substansinya
sama menggugurkan (memaafkan) hak. Namun ketika dimaafkan semuanya,
sehingga tidak terjadi Ash-Shulh, yang terjadi adalah al-‘afwu.
Dan al-‘afwu itu tingkatannya lebih tinggi dibanding Ash-Shulh, karenanya muallif
membatasi de nisi perdamaian pertama yaitu ibra' ( )إبراءdengan mengatakan:
“Yaitu dia mencukupkan diri dengan meminta sebagian atau menerima sebagian
haknya.
Namun secara substansional secara makna dan hakikat, ketika dicapai sebuah
kesepakatan untuk memaafkan semua hak sehingga tidak ada lagi tuntutan.
Secara substansi secara hakikatnya ini juga bisa dikatakan sebagai Ash-Shulh
(perdamaian)
fi
fi
”
Hubungan yang semula retak, interaksi yang semula rusak dengan adanya Ash-
Shulh, memaafkan, menghapuskan semua tuntutan maka hubungan yang
semula rusak ini akan kembali menjadi baik dan itu adalah tujuan, misi utama
dari adanya Ash-Shulh.
Beliau mengatakan
َّ
الش ْع َر ُول تَ ْحلِق
ُ الَ أ َ ُق
“Aku tidak katakan rusaknya hubungan itu akan menggundul rambut kepala.
Belum lagi adanya kebencian, kekecewaan, sakit hati itu biasanya akan
berkepanjangan menjadi dendam bahkan bukan hanya pada oknum yang
bersangkutan langsung, tapi bisa jadi pada anak keturunan, karib, kerabat,
handai taulan, sahabat dan lain sebagainya
Sehingga kalau memaafkan sebagian hak saja sehingga tercapai kata sepakat,
menjadi harmonisasi hubungan kembali dinyatakan sebagai Ash-Shulh, apalagi
bila memaafkan semua hak, tentu lebih layak untuk dikatakan sebagai Ash-
Shulh.
Karena itu ketika kita mengkaji ilmu qih kita perlu luwes, harus bisa memahami
bahwa bisa jadi antara secara tinjauan teoritis dalam satu madzhab berbeda
dengan substansi dan perilaku masyarakat
Kenapa? Karena dalam praktik masyarakat sering kali ada aspek tasamuh
tasahul ada perilaku gampangan, dianggap sama, toleransi, sehingga beda-
beda sedikit dianggap tidak beda, ini perilaku masyarakat
Tetapi secara disiplin keilmuan bisa jadi didapatkan antara dua hal itu perbedaan
yang mungkin perbedaannya kecil. Sehingga di masyarakat seringkali
perbedaan itu diabaikan.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang dan lebihnya
mohon maaf.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
fi
fi
fi
fi
fi
.
▪ 🗓 _SELASA
| _25 Dzulqa’dah 1442H
| _06 Juli 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-76
📖 _Ash-Shulhu (Kesepakatan Damai) Bagian Ketujuh
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla
Dan Ash-Shulh ( )ال ـ ـ ـ ـ ـ ـص ـ ـل ـ ــحyang berupa ibrā' ( )إب ـ ـ ـ ـ ـ ــراءperdamaian yang berupa
memaafkan sebagian hak harus dilakukan secara tulus, kenapa? Karena
dikatakan muallif
Tidak boleh kita lakukan dengan syarat, kalau memang mau memaafkan ya
memaafkan tanpa syarat. Jangan berkata ketika memaafkan, "Saya maafkan
kalau kita ketemu lagi di bulan depan". "Saya maafkan 30% dari tagihan utang
saya dengan syarat bila si fulan datang atau bila direstui oleh si fulan".
fi
.
Atau dengan syarat bila besok engkau berbuat demikian atau demikian
Adanya persyaratan ini menjadikan akad ibrā' ()إبــراء, memaafkan sebagian hak ini
menjadi gharar (tidak jelas) tidak ada kepastian, jadi dimaafkan atau tidak.
Padahal secara tinjauan qih, perlu digarisbawahi bahwa secara tinjauan disiplin
ilmu qih terutama dalam madzhab Sya 'i, akad-akad sosial karena perdamaian
dengan memaafkan itu merupakan bentuk dari akad sosial
Ini secara tinjauan ilmu qih dalam madzhab Asy-Sya 'i, kalau memang
memaafkan, maafkanlah tanpa syarat. Jangan bersyarat ketika memaafkan. Itu
fatwa yang diajarkan dalam madzhab Imam Asy-Sya 'i rahimahullahu ta'ala
ُ إِ َّال
ص ْل ًحا أ َ َح َّل َح َرا ًما أ َ ْو َح َّر َم َح َال ًال
fi
.
fi
fi
fi
fi
fi
.
Setiap kali berkunjung ke rumahnya beliau disuguhi madu dan diminum. Di saat
istri-istri yang lain termasuk Aisyah, Hafshah serta yang lainnya tidak memiliki
madu yang bisa disuguhkan kepada Nabi.
Maka mereka bersepakat untuk berkata kepada Nabi, setiap kali berjumpa
dengan Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam salah satu dari mereka, Aisyah atau
Hafshah atau yang lain, istri-istri Nabi tersebut berkata, "Ya Rasulullah aroma
apa yang kurang sedap yang muncul dari dirimu?
Dan perlu diketahui bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam adalah orang yang
paling pantangan dengan hal-hal yang menimbulkan aroma tidak sedap.
Sehingga ketika pertanyaan ini disampaikan, pikiran Nabi sudah melayang
kemana-mana termasuk pengaruh madu tersebut
Sehingga lagi-lagi Nabi menjawab, "Tidak ada lagi yang aku lakukan kecuali aku
minum madu di rumahnya fulanah"
"
Maka, kemudian setelah itu Nabi berikrar untuk menepis komentar negatif dari
istrinya tersebut dan mengatakan, "Kalau begitu saya tidak akan minum madu
lagi". Bersumpah untuk tidak minum madu.
Sehingga natural secara alami seorang ayah, Nabi seorang manusia biasa
memiliki perasaan, ada kasih sayang, ketika budaknya memiliki anak, apa lagi itu
anak laki-laki maka dalam diri Nabi ada rasa rindu ingin sering, ingin lebih lama
lagi duduk dan bersama si anak kesayangan ini
Ini sebuah perdamaian antara Nabi dengan Hafshah namun ternyata ini
perdamaian yang berkonsekuensi mengharamkan yang halal, maka Allah tegur
dengan Allah menurunkan satu surat yaitu surat Tahrim
"Wahai Nabi kenapa engkau mengharamkan atas dirimu sesuatu yang Allah
halalkan untukmu hanya gara-gara kamu ingin menyenangkan istrimu?
“Allah telah mewajibkan atas dirimu untuk menebus sumpahmu tersebut.” [QS
At-Tahrim: 1-2
Ini adalah sebuah fakta bahwa perjanjian yang menyebabkan kita terjerumus ke
dalam mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram itu perjanjian
yang batal demi hukum.
Sehingga kalau kita gabungkan dalil-dalil ini kita akan dapatkan satu kesimpulan.
Hukum asal Ash-Shulhu (perdamaian) itu boleh, kecuali perdamaian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram
Dalam praktek ini tidak ada konsekuensi mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram sehingga secara tinjauan dalil seharusnya Shulhu
semacam ini boleh karena tidak ada melanggar aturan syariat dan itu wallahu
ta'ala a'lam pendapat yang lebih kuat dalam hal ini.
Yaitu boleh terjadi Shulhu (damai) termasuk damai dengan cara memaafkan
sebagian hak walaupun itu dengan adanya syarat-syarat tertentu selama tidak
melanggar aturan syariat
Demikian yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang dan
lebihnya saya mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
▪ 🗓 _RABU
| _26 Dzulqa’dah 1442H
| _07 Juli 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-77
📖 _Pemanfaatan Jalan Tembus dan Sebagian Ruang Publik
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla
Al-Muallif mengatakan
واليــجوز فــي الــدرب املشــترك إالبــإذن.ويــجوز لــإلنــسان أن يشــرع روشــنا فــي طــريــق نــافــذبــحيث اليــتضرراملــاربــه
الشركاء
Katanya, ketika kita tinggal di suatu gang kalau gang itu adalah gang yang
tembus maka anda boleh membuka jendela, ventilasi udara di bagian rumah
anda yang manapun. Boleh di tengah, boleh di ujung rumah, boleh di belakang
rumah. Kenapa
Karena jalan ini jalan tembus sehingga tidak akan mengganggu siapapun yang
melintas, karena perlu diketahui jalan itu adalah hak semua orang yang tinggal di
perumahan tersebut.
Sehingga anda tidak boleh membuat suatu tindakan, membuka jendela atau
pintu atau cerobong asap yang dapat mengganggu pengguna jalan lainnya.
fi
.
Tapi kalau itu jalan yang tembus dan ternyata anda, ketika membuka jendela,
cerobong asap yang lainnya tidak mengganggu mereka maka itu boleh, karena
anda juga punya hak untuk memanfaatkan jalan tersebut dengan cara-cara yang
legal, dengan cara-cara yang proposional tanpa menganggu orang lain.
Namun ketika itu jalan buntu maka sangat dimungkinkan ketika anda membuka
jendela atau lubang asap atau yang lainnya, karena sirkulasi udara yang tidak
bebas, bisa jadi jendela anda ketika dibuka pintunya atau daun jendelanya dapat
menimbulkan gangguan bagi pengguna jalan, karena biasanya
Sehingga asap atau yang lain yang keluar dari jendela anda itu akan
mengganggu pengguna jalan yang lainnya.
Dan ini memberikan satu penjelasan kepada kita bahwa dalam memanfaatkan
hak-hak bersama, fasilitas bersama, kita harus mengedepankan kebersamaan,
pemanfaatan kita tidak boleh sampai menimbulkan gangguan atau
menyebabkan pengguna yang lainnya itu merasa terganggu atau terhalangi,
terbatasi haknya, kenapa
Karena anda menimbulkan gangguan. Karena itu dalam literasi qih anda tidak
boleh menumpuk kayu, menumpuk barang di jalan yang menyebabkan jalan
umum itu menjadi sempit, menjadikan orang tidak bebas berlalu-lalang
Sehingga dari penjelasan ini kita bisa pahami bahwa ketika anda memiliki
kendaraan diparkir di jalan itu adalah jalan perumahan, jalan milik bersama dan
keberadaan kendaraan anda itu menimbulkan gangguan, menyebabkan orang
lain tidak bebas menggunakan jalan maka ini sudah menjadi satu bentuk
kezhaliman, karena itu gangguan
fi
.
Sehingga ketika anda parkir kendaraan di gang yang sempit, di jalan yang
sempit walaupun itu jalan tembus apalagi jalan buntu, itu sudah bisa dipastikan
mengganggu orang lain
Ketika anda tinggal di jalan yang itu bukan milik anda sendiri, jalan bersama,
jalan umum maka anda boleh membuka pintu di ujung depan rumah anda.
Sehingga anda ikut memanfaatkan jalan, memanfaatkan sirkulasi udara di awal
rumah anda di ujung jalan yang berbatasan dengan rumah anda
Tapi ketika anda ingi membalikkan sehingga menjadikan pintu rumah anda
berada di bagian belakang rumah bukan di bagian depan, maka anda harus
koordinasi dengan seluruh penghuni jalan tersebut atau seluruh penduduk yang
ada di jalan tersebut.
Kenapa demikian
Karena ketika anda masuk ke rumah anda, membuka daun pintu akan terbuka
ke jalan dan ketika anda pun mau memasukkan kendaraan maka itu juga bisa
jadi akan menjadikan anda menghalangi sebagian yang lain, tentu ini tidak
sesuai dengan kebersamaan
Karena itu akan lebih tepat bila anda tinggal di pinggir jalan anda tidak
membangun rumah hingga mepet di seluruh tanah anda, di seluruh batas tanah
fi
.
anda bangun hingga tidak tersisa sedikitpun. Setelah tembok anda langsung
jalan raya atau jalan umum, tentunya ini tidak bijak
Seharusnya anda menyisakan sekian centimeter dari tanah anda agar itu
menjadi ruang privasi anda. Sehingga rumah anda ketika anda parkir, anda
menumpuk kayu, itu anda tumpuk di tanah anda sendiri tidak di jalan umum
Got itu pun ditutup dengan cor yang menyebabkan gotnya mampet dan
seterusnya, dan ini adalah praktek-praktek yang tidak sejalan dengan tuntunan
hukum syariat
Demikian yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, semoga Allāh
Subhānahu wa Ta’āla menabahkan tau k dan hidayah kepada anda. Kurang dan
lebihnya saya mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
fi
.
▪ 🗓 _KAMIS
| _27 Dzulqa’dah 1442H
| _08 Juli 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-78
📖 _Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Pertama
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla
Masih bersama untaian (matan) atau kata-kata dari Al Imam Al Mualif Abu Syuja'
Rahimahullahu Ta'ala. Dalam kitabnya Matan Al Ghayah Fil Al-Ihtishor.
Kali ini kita sampai pada pembahasan tentang Al-Hawalah ال ـ ـ ـ ـ ـ ـحـ ـ ــوال ـ ـ ـ ـ ـ ــةyaitu
mentransfer hutang. Kasusnya transfer hutang dari seseorang kepada orang
lain, biasanya terjadi melibatkan 3 pihak.
Pihak debitur ini atau pihak yang berutang ini atau kita sebut A misalnya
berhutang kepada si B sebesar 100 juta. Sehingga secara hukum A
berkewajiban membayar hutang tersebut kepada si B pada waktu yang telah
disepakati.
Di saat yang sama ada pihak ketiga yang bernama C misalnya. Si C berhutang
pula kepada si A dalam nominal tertentu atau mudahnya dalam nominal yang
fi
Dalam kasus semacam ini seringkali si A yang berhutang kepada si B dia tidak
ingin karena satu atau dua alasan, tidak ingin melunasi hutang secara langsung
kepada si B. Namun ia memberikan surat perintah atau mengadakan
kesepakatan dengan si B agar si B menagihkan piutangnya kepada si C. Dan
agar si C membayarkan piutang si A kepada si B
Dalam hukum Islam, hak Al Hawalah secara global di sepakati oleh para ulama
itu sebagai satu praktek yang legal (suatu praktek yang sah) alias masyru'. Sah
untuk dilakukan.
Dan ketika itu terjadi akad hawalah ini terlaksana maka berarti si A (pihak yang
berhutang kepada si B) akan terbebas dari tanggungannya. Sebagaimana si C
yang telah melakukan pembayaran kepada si B atas perintah A, maka si C juga
terbebas dari hutang kepada si A, sebagaimana si B merasa dia telah
mendapatkan haknya. Ini disebut dengan praktek hawalah.
Praktek hawalah ini sekali lagi telah disepakati di kalangan para ulama sebagai
satu praktek yang legal (satu praktek yang halal, sah secara hukum) dan itu
adalah salah satu instrumen (salah satu metode) yang diajarkan dalam Islam
sebagai solusi untuk pembayaran hutang piutang.
Karena sering kali dalam satu kasus hutang piutang si A mungkin tidak memiliki
nominal atau uang tunai untuk membayar kepada si B. Akan tetapi si C yang
berhutang kepada si A, dia mampu melakukan pembayaran. Dan dia bisa
memiliki uang tunai.
Atau kadang kala, kadang kala si A merasa tidak mampu menagih hutangnya
(menagih piutangnya) kepada si C. Karena si C ini misalnya pihak yang tidak
kooperatif, pihak yang mungkin memiliki kedudukan. Sehingga si A sungkan atau
tidak berani untuk melakukan penagihan.
Tetapi pihak si B bisa jadi memiliki power (memiliki kekuatan) orang yang lebih
disegani oleh si C. Maka si A bersepakat dengan si B agar si B lah yang menagih
piutang si A sebagai instrumen pembayaran hutang si A. Ini alasan kedua.
Alasan karena A tidak mampu melakukan penagihan kepada si C.
Alasan ketiga, bisa jadi ini adalah sebagai bentuk pelarian. Bentuk pelarian dari
si A, dari melakukan tanggung jawabnya (membayar hutang kepada si B).
Kenapa? Karena bisa jadi A memiliki niat jelek (memiliki niat jahat). Ia tahu
piutangnya atas si C adalah piutang yang macet. Ia tidak mampu menagihnya.
Dan masing-masing kondisi ini tentu memiliki hukum yang berbeda. Akan tetapi
secara garis besar (secara global) transfer utang semacam ini, itu secara global
sah. Dan dibenarkan dan bahkan diajarkan.
Apalagi bila kondisinya si C yang berhutang kepada si A ini ternyata memang dia
lebih mampu untuk melakukan pembayaran atau minimal dia sama. Memiliki
kapasitas kemampuan yang sama dengan si A untuk melakukan pembayaran.
Sehingga mereka kooperatif.
Bisa jadi utang piutang dalam bentuk pekerjaan atau utang piutang dalam bentuk
barang yang tentu mobilisasi pemindahan barang dari si C kepada si A kemudian
baru si A memindahkannya kepada si B.
Ini tentu menimbulkan cost (menimbulkan beban baru), sehingga ketika terjadi
kesepakatan yang ini menguntungkan kedua belah pihak, daripada si C
bersusah payah memindahkan barang kepada si A kemudian si A memindahkan
barang kepada si B.
Maka dengan kesepakatan ini antara B dan A maka terjadi satu minimalisasi cost
(memperkecil biaya) yang timbul atas pemindahan barang.
Ini yang bisa saya sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga Allāh
Subhānahu wa Ta’āla menambahkan tau k dan hidayah-Nya kepada Anda.
Kurang dan lebihnya mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
fi
▪ 🗓 _JUM’AT
| _28 Dzulqa’dah 1442H
| _09 Juli 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-79
📖 _Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Kedua
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla
Masih bersama untaian (matan) atau kata-kata dari Al Imam Al Mualif Abu Syuja'
Rahimahullahu Ta'ala. Dalam kitabnya Matan Al Ghayah Fil Al-Ihtishor.
Kali ini kita sampai pada pembahasan tentang Al Hawalah yaitu mentransfer
hutang. Secara de facto sekarang di masyarakat, praktek hawalah ini sangat
digemari dan banyak terjadi di masyarakat.
Seperti yang terjadi pada praktek drop shipping, misalnya. Skema drop shipping
bisa jadi menemukan atau sejalan dengan praktek hawalah. Kenapa? karena
seorang drop shipper (orang yang menjalankan praktek perdagangan dengan
sistem drop shipping) dia menjual barang kepada, misalnya Si A ini sebagai
seorang drop shipper.
fi
Dia menjual barang kepada si B berupa satu unit komputer dengan spec kriteria
yang telah disepakati. Kemudian si A ini secara de facto, dia tidak punya barang.
Namun dia menggunakan skema salam. Karena si B ketika order dia melakukan
pembayaran tunai.
Maka solusi yang sering ditempuh oleh para pengguna skema drop shipping ini
mereka langsung. Si A memerintahkan bersepakat dengan si C agar si C
langsung mengirimkan barang yang dia beli kepada si B atas nama si A.
Sehingga si B ketika menerima barang dia mengira bahwa ini barang dikirim dari
alamatnya si A. Padahal sejatinya barang tersebut dikirim dari alamatnya si C.
Skema semacam ini di zaman sekarang ini, banyak diterapkan oleh para drop
shipper. Dan ini sejatinya memenuhi kriteria hawalah. Tentu setelah kita
mengetahui bahwa hawalah itu suatu praktek yang legal (yang halal) dalam
hukum Islam.
Kenapa demikian? Karena ini merupakan satu isyarat dari beliau tersendiri
bahwa hukum hawalah itu telah selesai (tidak perlu dikaji). Karena itu suatu yang
disepakati oleh kalangan para ulama (suatu yang boleh). Sehingga tidak perlu
didudukkan kembali karena itu sudah nal (sudah selesai).
Dan telah terjadi 1 konsensus (kesepakatan) bahwa hawalah itu suatu praktek
yang legal dan hukumnya halal secara hukum syari'at. Sehingga beliau merasa
cukup untuk menjelaskan tentang syaratnya. Dan kata beliau syarat untuk bisa
melakukan praktek Hawalah itu ada 4:
1. Yang pertama
Yang pertama adalah ( املـ ـ ـ ــحيلpihak pertama) yaitu si A yang secara istilah ilmu
qih disebut امل ـ ـ ـ ـ ـ ـحـيــل. Karena dialah yang memindahkan piutang si B dari dirinya
kepada si C. Sehingga dia disebut sebagai ( املحيلyang mentransferkan) hutang.
2. Kemudian yang kedua adalah ( امل ـ ـ ـ ـ ـحـ ـت ــالpihak kedua) yang piutangnya
dialihkan tagihannya kepada pihak ketiga. Itu disebut di dalam ilmu qih dengan
kata-kata امل ـ ـ ـ ـ ـ ـح ـ ـتـ ــال. Kedua orang ini harus ada kesepakatan ketika keduanya
sepakat maka hawalah itu sah. Karena Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam
bersabda
Sehingga siapapun dari kalian yang memiliki piutang atau menagih hutangnya
kepada seseorang dan ternyata oleh pihak yang ditagih (pihak debitur, pihak
ٍ ( َمـ ـ ـ ـ ـ ــلِ ـorang yang
yang berhutang) piutang anda ditransferkan kepada orang ـيء
fi
fi
mampu melakukan pelunasan, orang yang kooperatif, bersikap baik, jujur) ْﻓَﻠْﻴَﺘْﺒَﻊ
maka hendaknya dia nurut, dia menerima pemindahan atau transfer tagihan
tersebut
Dalam hadits ini, Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam hanya menyebutkan dua
pihak :
• Pihak pertama yaitu si A yang mentransferkan hutangnya
• Dan pihak kedua yaitu pihak yang kreditur (pihak yang menagih).
Ketika dua pihak ini telah sepakat, maka pihak ketiga (yaitu si C) yang
berkewajiban. Dia suka atau tidak suka, dia harus menerima. Dia harus nurut
untuk menyelesaikan hutangnya kepada si A dengan dibayarkan kepada siapa?
Kepada si B.
Dari hadits ini para ahli qih menyimpulkan bahwa syarat pertama dibolehkannya
transfer hutang adalah adanya kesepakatan, kerelaan (Ridho) dari pihak yang
mentransfer kepada pihak yang ditransferkan piutang atau dipindahkan
tagihannya kepada pihak ketiga.
Adapun pihak ketiga, ia suka atau tidak suka, maka kerelaannya tidak
dipermasalahkan. Alias tidak menjadi persyaratan dalam sahnya akad hawalah
Ini yang bisa saya sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga Allāh
Subhānahu wa Ta’āla menambahkan tau k dan hidayah-Nya kepada Anda.
Kurang dan lebihnya mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
fi
fi
.
▪ 🗓 _SENIN
| _02 Dzulhijjah 1442H
| _12 Juli 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-80
📖 _Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Ketiga
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla
Masih bersama untaian (matan) atau kata-kata dari Al Imam Al Mualif Abu Syuja'
Rahimahullahu Ta'ala. Dalam kitabnya Matan Al Ghayah Fil Al-Ihtishor.
Kali ini kita sampai pada pembahasan tentang Al Hawalah yaitu mentransfer
hutang
َ ح ُّل ِع ْر
ض ُه َو ُع ُقوبَتَه ِ َُمطْ ُل ا ْلغ َِنيِّ ظُ ْل ٌم ي
Penundaan orang yang sudah mampu melakukan pelunasan hutang yang itu
dilakukan dengan sengaja itu adalah bentuk kezhaliman
َ ح ُّل ِع ْر
ض ُه َو ُع ُقوبَتَه ِ ُي
fi
.
Karena dia telah berlaku zhalim maka ia halal untuk digunjing, untuk dinodai
kehormatannya dengan cara disebutkan (diceritakan) perilakunya yang tidak
kooperatif.
َ ح ُّل ِع ْر
ض ُه َو ُع ُقوبَتَه ِ ُي
Dan secara hukum perdata ia boleh dihukumi dengan cara dipenjara, bahkan
menurut sebagian ulama dia boleh dicambuk ketika dia dengan sengaja tidak
kooperatif melakukan pelunasan hutangnya. Ia boleh dicambuk sampai dia mau
melunasi hutangnya
ِ ُ َو إِذَا أ
ْح ْلتَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢ
Dan bila kalian atau orang yang memiliki piutang itu diminta untuk menagihkan
ٍ َمـ ـ ـ ـ ـ ــلِـ,
piutangnya kepada pihak ketiga, yang pihak ketiga itu adalah pihak yang ـيء
pihak yang kooperatif, pihak yang mampu melakukan pelunasan hutang, maka
ْ ﻓَﻠْﻴَﺘْﺒَﻊmaka hendaknya dia nurut, dia menerima.
Dari hadits ini sebagian ulama menyatakan, bahwa akad hawalah (transfer
hutang) itu adalah bentuk dari wafa’, itu adalah bentuk dari pelunasan. Itu adalah
sebuah instrument yang diajarkan dalam islam untuk melakukan pembayaran
(pelunasan) hutang piutang.
Dan inilah pendapat yang lebih tepat, hawalah itu diklasi kasikan sebagai bentuk
al-wafa' adalah satu instrumen untuk melakukan pelunasan dan bukan masuk
dalam akad jual beli. Tidak termasuk dalam akad jual beli
fi
.
Sehingga dengan skema semacam ini yang terjadi sejatinya bukan jual beli
hutang dengan hutang, tetapi ini adalah sebuah al-wafa' sebuah praktek
pelunasan hutang piutang, penyelesaian hutang piutang
Sehingga karena ini bukan jual beli maka tidak berlaku padanya hukum jual beli,
yang berlaku adalah hukum atau al-qadha atau al-wafa' (hukum melunasi hutang
piutang). Dan tentu secara garis besar hukum-hukum wafa', hukum-hukum dayn
( )دي ـ ـ ـ ـ ـ ــنhukum-hukum melunasi hutang piutang lebih eksibel, lebih lunak, lebih
longgar dibanding hukum jual beli.
Karena kalau hawalah ini dianggap sebagai hukum jual beli tentu akan memiliki
persyaratan-persyaratan yang ketat, karena ini jual beli uang dengan uang,
memungkinkan terjadi jual beli uang dengan uang, maka akan berlaku padanya
hukum riba. Harus tunai sama nominalnya, tidak boleh ada selisih, tempo
pelunasannya pun harus sama, dan ini tentu sangat sulit dipenuhi
Karena itu wallahu ta'ala a'lam pendapat yang lebih kuat dan lebih rajih dalam
hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa al-hawalah itu adalah satu
bentuk, satu instrumen pelunasan hutang piutang dan bukan praktek jual beli
Dengan demikian kita bisa pahami bahwa hukum-hukum yang akan berlaku
yang akan dijelaskan oleh Mualif sejatinya adalah hukum sosial, interaksi sosial
karena ini adalah hukum hawalah itu dikategorikan sebagai bentuk al-wafa'u
addain, instrumen pelunasan hutang-piutang bukan model jual beli
Adapun pihak ketiga, maka pihak ketiga, rela atau tidak rela, suka atau tidak
suka maka dia harus mengikuti kesepakatan yang telah terjadi antara si A dan si
B
Sekali lagi pihak ketiga, ia harus menerima kesepakatan yang telah terjadi antara
si A dan si B. Karena si C, ia sama sekali tidak ada kerugian, tidak menanggung
resiko apapun atas terjadinya kesepakatan hawalah ini antara si A dan si B
fl
.
Ini yang bisa saya sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga Allāh
Subhānahu wa Ta’āla menambahkan tau k dan hidayah-Nya kepada Anda.
Kurang dan lebihnya mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
fi
🌐 *WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsya
▪ 🗓 _SELASA
| _03 Dzulhijjah 1442H
| _13 Juli 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-81
📖 _Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Keempat
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
Masih bersama untaian matan atau kata-kata dari Imam Al-Muallif Abu Syuja’
rahimahullah ta'ala, dalam kitabnya Matan Al Ghaya Fil Al-Ihtishor, kali ini kita
sampai pada pembahasan tentang Al-Hawalah ( )الحوالةyaitu mentransfer hutang.
Syarat ketiga
fi
*
fi
.
Kenapa demikian? Karena menurut madzhab Imam Asy-Sya 'i, hawalah ()الـ ـ ــحوالـ ـ ــة
itu adalah jual beli hutang dengan hutang.
Dan ini tentu terlarang kalau itu dalam praktek jual-beli. Namun sekali lagi bahwa
yang lebih tepat, lebih kuat hawalah ( )ال ـ ـ ـ ـ ـ ـحـوال ـ ـ ـ ـ ـ ــةitu bukan jual-beli hutang dengan
hutang, tetapi itu salah satu bentuk atau satu instrumen pembayaran hutang-
piutang
Ketika si A telah memiliki piutang kepada si C dan piutang ini telah berkekuatan
hukum, kemudian si A berencana untuk melakukan atau mengambil hutang dari
si B
Misalnya seperti yang sering terjadi sekarang di praktek perbankan. Ketika anda
mentautkan suatu transaksi dengan rekening anda, kalau saya bertransaksi
maka langsung auto debit dari rekening tersebut
Bahwa setiap transaksi yang timbul dengan kartu kredit tersebut, maka akan
terjadi praktek auto debit dari rekening yang telah dimiliki oleh pengguna kartu
kredit tersebut
fi
.
Praktek semacam ini, ini bisa dikategorikan sebagai bentuk hawalah ()ال ـ ـ ـ ـ ـ ـحــوال ـ ـ ـ ـ ـ ــة
karena ketika si pemilik kartu kredit melakukan transaksi di suatu mall ataupun
hotel (sewa-menyewa hotel) misalnya, kamar di hotel ataupun yang lainnya.
Sehingga praktek semacam ini, auto debit semacam ini bisa dikategorikan
sebagai bentuk hawalah ()ال ـ ـ ـ ـ ـ ـحــوال ـ ـ ـ ـ ـ ــة, namun tentu sekali lagi, auto debit ini tidak
memenuhi kriteria yang disebutkan oleh madzhab Imam Asy-Sya 'i
Namun karena, sekali lagi pendapat yang paling kuat hawalah ( )ال ـ ــحوال ـ ــةitu adalah
bentuk instrumen pembayaran hutang maka praktek semacam ini, secara hukum
boleh
Karena memang madzhab Sya 'i boleh dikata mempersepsikan hawalah ()ال ـ ــحوال ـ ــة
itu sebagai bentuk jual-beli. Sehingga persyaratan hawalah ( )ال ـ ـ ـ ـ ـ ـحـ ــوال ـ ـ ـ ـ ـ ــةdalam
madzhab Sya 'i itu sangat ketat bahkan bisa dikatakan akan sangat sulit bisa
dipenuhi oleh seseorang yang ingin menerapkan praktek hawalah ()الحوالة.
Karena itu sekali lagi, dalam hal ini yang lebih kuat adalah pendapat yang
diajarkan dalam madzhab Imam Malik dan juga Imam Ahmad bin Hambal bahwa
halawah ( )ال ـ ــحوال ـ ــةitu adalah bentuk instrumen pembayaran hutang bukan jual-beli
hutang dengan hutang
Ini yang bisa saya sampaikan pada kesempatan kali ini, semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala menambahkan tau k dan hidayah kepada anda. Kurang
dan lebihnya saya mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
fi
•
fi
.
fi
.
fi
.
▪ 🗓 _RABU
| _04 Dzulhijjah 1442H
| _14 Juli 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-82
📖 _Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Kelima
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
Masih bersama untaian matan atau kata-kata dari Imam Al-Muallif Abu Syuja’
rahimahullah ta'ala, dalam kitabnya Matan Al Ghaya Fil Al-Ihtishor, kali ini kita
sampai pada pembahasan tentang Al-Hawalah ( )ال ـ ـ ـ ـ ـ ـح ــوال ـ ـ ـ ـ ـ ــةyaitu transfer hutang
piutang
مستقرافي الذمة
Bukan hutang yang akan terjadi atau hutang yang potensi batal. Betul-betul
mustaqir ()مستقر.
fi
.
Kemudian si A berkata kepada si B, "wahai si B kalau aku butuh nanti aku akan
berhutang kepadamu sebesar seratus juta" atau "besok saya akan berhutang
kepadamu seratus juta dan pembayarannya silahkan engkau menagih kepada si
C, karena si C berhutang kepada saya sebesar seratus juta"
Karena ikatan hutang piutang antara si A dan si B belum tetap, baru rencana
hutang-piutang. Padahal dalam terminologi dalam sudut pandang madzhab
Sya ’i akad الــحوالــةitu adalah bentuk dari akad jual beli yaitu anda menjual piutang
anda atas si C kepada si B.
Namun kalau ternyata hubungan hutang pihutang anda dengan si B belum tetap
maka ini terjadi jual beli hutang dengan hutang secara non tunai atau
mengandung unsur gharar.
Namun seperti yang pada sesi sebelumnya telah disampaikan bahwa menurut
pernyataan ataupun pendapat yang lebih kuat dan sejalan/lebih dekat dengan
makna hadits nabi shallallahu'alaihi wa sallam, akad ال ـ ـ ـ ـ ـ ـحـ ـ ــوال ـ ـ ـ ـ ـ ــةtidak dapat
diklasi kasikan sebagai akad jual beli hutang dengan hutang atau jual beli
piutang dengan piutang tetapi lebih tepatnya akad ال ـ ـ ـ ـ ـ ـح ــوال ـ ـ ـ ـ ـ ــةitu diklasi kasikan
sebagai instrumen pembayaran (instrumen pelunasan) hutang
Apa dasarnya
fi
.
fi
Penundaan orang yang sudah berkecukupan memiliki kemampuan untuk
melunasi hutang itu adalah bentuk kezhaliman. Itu adalah salah satu praktek
kesewenang-wenangan (kezhaliman)
َ ح ُّل ِع ْر
ض ُه َو ُع ُقوبَتَه ِ ُي
َ ح ُّل ِع ْر
ض ُه َو ُع ُقوبَتَه ِ ُي
Atau kalau dalam konteks modern, jaman kita sekarang, mungkin kita
mengajukan (melaporkan) kepada institusi (lembaga) yang berwenang untuk
menerbitkan, misalnya blacklist sehingga orang tersebut diklasi kasikan tidak
kooperatif dalam melakukan pembayaran hutang
Dan kalau memang dirasa perlu maka pihak pengadilan berhak (berwenang)
untuk menjatuhkan hukuman kepada orang tersebut, baik dengan cara dipenjara
atau dengan cara dicambuk (dipukul) agar dia menghentikan kezhalimannya
dengan cara segera membayar hutang
fi
n
menagihkan piutangmu kepada orang lain yang ٍّ( َمـ ـ ـ ـ ـ ــلِيadalah orang yang mampu
orang, yang cakap secara hukum) untuk melakukan pembayaran. Memiliki
kemampuan, berkooperatif sikapnya maka hendakny
Kalau kita cermati dengan seksama hadits ini, konteksnya berbicara tentang
hutang piutang dan kewajiban membayar hutang dan hukum yang berkaitan
dengan tagihan piutang
Sedangkan ال ـ ـ ـ ــحوال ـ ـ ـ ــةtransfer piutang itu diklasi kasikan sebagai jual beli dianggap
sebagai salah satu model jual beli, maka antara awal hadits dengan akhir
haditsnya tidak berkesinambungan. Tentu ini kurang cocok tidak kuat
Karenanya wallahu taala alam, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang
menyatakan bahwa ال ـ ـ ـ ـ ــحوال ـ ـ ـ ـ ــةitu adalah salah satu instrumen pembayaran hutang
piutang karena ال ـ ـ ـ ـ ـ ـحـ ـ ــوال ـ ـ ـ ـ ـ ــةadalah instrumen pembayaran hutang maka kita
memahami kita dapat simpulkan bahwa ال ـ ـ ـ ـ ـ ـح ــوال ـ ـ ـ ـ ـ ــةtentu lebih eksibel (longgar)
hukum-hukumnya dibanding jual beli
Karena hutang piutang, pembayaran hutang piutang itu adalah salah satu bentuk
akad sosial, bukan komersial. Dan para ulama telah menggariskan bahwa dalam
akad-akad sosial ada eksibilitas (kelonggaran) yang lebih luas (lapang)
dibanding hukum-hukum yang berlaku pada akad jual beli
fi
.
fl
.
fi
fl
.
Dalam praktek transfer piutang yang belum berkekuatan hukum atau bahkan
belum terjadi dan akan terjadi kepada piutang yang sudah berkekuatan hukum
(tetap) secara tinjauan dalil tidak ada alasan untuk melarang, hukum asalnya
boleh.
Apalagi dengan transfer semacam ini ada maslahat yang besar bagi kedua belah
pihak, ada kemudahan sehingga sejalan dengan anjuran-anjuran yang banyak
dalam Al-quran ataupun hadits untuk menyegerakan pelunasan hutang
Karena ini wallahu taala alam, pendapat yang lebih tepat, yang lebih kuat adalah
pendapat yang menyatakan bahwa mentransferkan piutang yang belum
berkekuatan hukum.
Sehingga kita katakan kepada calon pembeli ataupun penjual ataupun partner
atau calon kreditur kita, berkesepakatan dengan mereka agar bila nanti anda
berhutang kepada mereka maka mereka akan menagihkan piutangnya kepada
pihak ketiga yang mereka telah berstatus sebagai debitur mereka, berhutang
kepada anda senilai hutang yang akan anda ambil dari pihak kedua tadi, maka
secara hukum tidak masalah
Karena tidak ada larangan dalam hal ini, hukum asal dalam hal muamalah itu
adalah halal
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
▪ 🗓 _KAMIS
| _05 Dzulhijjah 1442H
| _15 Juli 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-83
📖 _Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Keenam
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla
Masih bersama untaian kata-kata yang dirangkaikan oleh Al-Imam Abu Syuja'
rahimahullahu ta'ala dalam kitabnya Matan Al Ghayah Fil Al-Ihtishor. Kita masih
membahas tentang باب الحوالةbab penjelasan tentang transfer hutang piutang.
Syarat keempat
،واتفاق مافي ذمة املحيل واملحال عليه في الجنس والنوع والحلول والتأجيل
Syarat selanjutnya transfer hutang piutang itu dibolehkan bila hutang pertama
dan hutang kedua itu sama, betul-betul sama: baik kadarnya, jatuh temponya,
kemudian jenisnya, bentuknya, spesi kasinya ➟ betul-betul identik
fi
fi
.
Sebagai contoh kalau anda memiliki piutang, atau si A memiliki piutang atas si C
sebesar seratus juta rupiah dan kemudian si A berhutang kepada si B sebesar
delapan ribu dollar Amerika
Atau kalau ada kasus (misalnya) hutang si A atas si C jatuh temponya satu bulan
yang akan datang. Sedangkan hutang A kepada si B jatuh temponya dua bulan
yang ada datang. Ada selisih tempo maka juga tidak boleh ada transfer hutang di
sini.
Atau jenisnya berbeda, anda berhutang 1 kwintal beras dengan kriteria beras
pandan wangi 1 kwintal, si C berhutang beras 1 kwintal pandan wangi kepada si
A dan kemudian si A berhutang beras 1 kwintal atau seratus kilo kepada si B dari
jenis beras rojolele. Ada beda kriteria, ada selisih mutu misalnya, spesies barang
yang berbeda.
Maka dalam kasus macam ini menurut madzhab Sya 'i tidak boleh ada transfer
Kenapa? Ada beda ال ـ ـ ــنوع, ada perbedaan jenis beras, varietas berasnya berbeda.
Maka menurut madzhab sya 'i ini tidak boleh. Karena ini membawa keuntungan,
potensi membawa keuntungan.
Namun wallahu ta'ala a'lam, pendapat yang lebih tepat berdasarkan sudut
pandang bahwa hawalah itu adalah instrumen pembayaran hutang piutang,
bukan jual beli, maka adanya selisih takaran, adanya beda jenis, itu tidak
mengapa.
fi
fi
fi
.
Adanya selisih nominal semacam ini, bila itu tidak dipersyaratkan di awal akad
hutang piutang, itu hanya keinginan sepihak dari si A (pihak debitur/pihak
berhutang) maka tidak mengapa dan itu bukan riba
Karena pada suatu hari ada seorang Arab (Arab Badui) datang kepada Nabi
menagih hutang. Nabi pernah berhutang seekor unta muda kepada arab badui
tersebut.
Ketika jatuh tempo si arab badui ini datang menagih, maka Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam memerintahkan Abu Ra ' radhiyallahu ta’ala ‘anhu
(budak beliau) agar mencarikan onta yang sepadan (sama) dengan onta yang
pernah dihutang oleh Nabi shallallahu'alaihi wa sallam
"Wahai Rasulullah setelah aku cari dari onta-onta yang kita miliki ternyata aku
ِ خـ ـ ـ ـ ـ ـ يَ ــارا ربَ ـ ـ ـ ـ ـ ـ
tidak menemukan onta kecuali onta yang ـاعـ ـ ـ ـ ـ ـ يً ــا ِ onta yang bagus dan
َ ً
umurnya sudah 4 tahun lebih, sedangkan engkau berhutang kepada lelaki ini بَـ ْك ًرا,
onta yang baru berumur 2 tahun."
Tentu onta yang umur 4 tahun nilainya yang lebih besar, lebih tinggi dan
badannya juga lebih gede dibanding onta yang berumur 2 tahun.
fi
"
fi
.
fi
.
"Karena di antara orang yang paling baik (orang yang paling terpuji) dari kalian
adalah orang yang ketika membayar (melunasi) hutang dia melebihkannya.”
Dia memberi yang lebih baik dibanding yang pernah dia ambil, dibanding yang
pernah dia hutang. Berdasarkan hadits ini kemudian para ulama menyatakan
bahwa melebihkan ketika membayar hutang itu boleh selama tidak
dipersyaratkan ketika terjadi akad hutang piutang
Namun kelebihan itu muncul sebagai inisiatif sepihak dari pihak yang berhutang
(debitur). Kenapa demikian? Karena memang kita semua telah memahami, kita
juga merasakan bahwa di saat anda butuh untuk berhutang seringkali anda
betul-betul merasa sedang terjepit
"Siapapun yang telah berbuat baik kepadamu, maka beri balasan dia.
Seringkali betul-betul orang yang sudi menghutangi anda itu di mata anda
(dipersepsikan) seorang pahlawan (orang yang baik) karena dia hadir di saat
anda betul-betul butuh
Oleh karena itu dalam hawalah, karena hawalah itu adalah instrumen
pembayaran hutang tentu tidak tepat bila kita mengharuskan (mewajibkan) atau
bahkan mempersyaratkan agar kedua piutang ini sama nominalnya, jatuh
temponya sama, kadarnya sama, jenisnya sama tentu ini kurang tepat, karena ini
bukan jual beli. Ini adalah instrumen pembayaran hutang.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
fl
▪ 🗓 _JUM’AT
| _06 Dzulhijjah 1442H
| _16 Juli 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-84
📖 _Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Ketujuh
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla
Masih bersama untaian kata-kata yang dirangkaikan oleh Al-Imam Abu Syuja'
rahimahullahu ta'ala dalam kitabnya Matan Al Ghayah Fil Al-Ihtishor. Kita masih
membahas tentang باب الحوالةbab penjelasan tentang transfer hutang piutang.
Dan bila hawalah telah disepakati, pihak kreditur telah bersepakat untuk
ditransferkan tagihannya kepada pihak ketiga ( ) املـ ـ ــحال عـ ـ ــليهmaka tanggung jawab
si A telah gugur. Dia tidak lagi memiliki tanggungan hutang kepada si B
Karena si B secara hukum telah menerima pembayaran dari A yaitu dengan cara
tagihannya ditransferkan kepada si C, yang secara teori si C biasanya pihak
fi
.
Dari redaksi Al-Mualif (Al-Imam Abu Syuja') kita mendapatkan satu isyarat,
bahwa kalau sudah ada kesepakatan hawalah maka berarti si B tidak berhak
kembali menagih A karena tanggung jawab A telah dianggap bebas hutang
(lunas).
Kenapa? Karena hukum asal dalam akad itu bersifat nal, tidak bisa dianulir,
tidak bisa dibatalkan, itu hukum asalnya. Namun wallahu taala alam.
Menurut ulama yang lain, pendapat ini perlu dikaji ulang, harus dibedakan antara
ada kesengajaan, ada etika jelek dari si A atau tidak ada iktikad jelek, tidak ada
kesengajaaan.
Kalau ternyata ada iktikad jahat, sengaja, menipu padahal dia tahu si C adalah
orang yang ngemplang, si C ini adalah orang yang pailit maka dalam kondisi
semacam ini tentu
fi
ِ َ َال
َ ض َر َر َوالَ ض َر
ار
Namun kalau ternyata kondisi pailit si C ini tidak diketahui oleh si A sehingga
tidak ada iktikad jahat dari si A, atau semula baik, semula dia kooperatif namun
kemudian batal atau terjadi hal yang bersifat emergency: rugi, pailit, dirampok,
kebakaran, musibah sehingga si C pailit di tengah jalan
Maka dalam kondisi semacam ini si B tidak lagi berhak untuk membatalkan
kesepakatan akad hawalah karena statusnya si A telah bebas tanggung jawab,
karena dia telah memberikan hak si B, atau dengan kata lain si A telah melunasi
piutang si B dengan cara mentransfer piutangnya kepada si C.
Ini yang bisa kami sampaikan, kurang dan lebihnya mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
▪ 🗓 _SENIN
| _16 Dzulhijjah 1442H
| _26 Juli 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-85
📖 _Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Kedelapan
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla
Masih bersama untaian kata-kata yang dirangkaikan oleh Al Imam Abu Syuja'
Rahimahullahu Ta'ala dalam kitabnya Matnul Al Ghayah Fil Al-Ihtishor.
Kita masih membahas tentang ب ـ ــاب ال ـ ــحوال ـ ــةbab penjelasan tentang transfer hutang
piutang. Al-Mualif (Al-Imam Abu Syuja') rahimahullahu ta’ala menyatakan,
Ketika telah terjadi kesepakatan agar pihak yang menghutangi yaitu pihak
kreditur menagihkan piutangnya kepada pihak ketiga, maka pihak debitur (yang
berhutang) dianggap
fi
.
تبرأ ذمته
Bahwa tanggungjawab pihak yang berhutang atau debitur itu telah bebas dari
tagihan (tanggungan hutang), ini membuktikan bahwa hawalah bukanlah jual
beli, tetapi hawalah adalah instrumen pembayaran hutang
(2) Ketika hawalah itu telah dicapai kesepakatan antara kreditur dengan debitur,
dengan kriteria yang telah disebutkan sebelumnya maka pihak kreditur (pihak
yang menghutangi) tidak lagi berhak untuk menuntut atau meminta tagihan,
meminta pembayaran kepada امل ـ ـ ـ ـ ـ ـح ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـي ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــلyaitu pihak debitur yang telah
mentransferkan hutangnya, tangungan (tagihan) hutangnya kepada pihak ketiga.
Kenapa demikian? karena hawalah itu adalah salah satu instrumen pembayaran
hutang, sehingga dengan mentransferkan tagihan berarti pihak debitur (pihak
yang berhutang) telah melunasi (membayar).
Apalagi secara de facto pada kenyataannya pihak ketiga dalam kondisi ٍّ َمـ ـ ـ ـ ـ ــلِـ ـي,
dalam kondisi mampu, memiliki kecukupan dana nansial untuk melakukan
pembayaran hutang piutang
Kalau tagihanmu itu ditransferkan alias tagihanmu itu dialihkan kepada pihak
ketiga yang ternyata dia itu adalah ٍّ( َمـ ـ ـ ـ ــلِيmampu) memiliki keuangan yang cukup,
nansial yang baik, maka فليتبعmaka menurutlah, maka terimalah.
fi
:
fi
.
Dan ketika itu telah dilakukan, pihak kreditur telah menerima hawalah ini,
bersepakat untuk menagihkan piutangnya pada pihak ketiga maka mafhumnya
bahwa dia tidak lagi berhak untuk menagihkan pihutangnya kepada pihak
pertama, atau yang disebut املحيل
Kemudian secara mafhum pula ketika pihak kreditur setelah sepakat untuk
menagihkan piutangnya kepada pihak ketiga, dan ternyata dia kembali lagi
menagihkannya kepada pihak pertama itu berarti dia belum menjalankan
perintah Nabi ini ( فليتبعhendaknya dia terima transfer penagihan tersebut).
Sehingga ketika dia masih kembali lagi berarti dia belum menjalankan perintah
ini dan tentu ini tidak sejalan dengan perintah Nabi shallallahu'alaihi wa sallam
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
fi
.
▪ 🗓 _SELASA
| _17 Dzulhijjah 1442H
| _27 Juli 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-86
📖 _Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Kesembilan
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla
Masih bersama untaian kata-kata yang dirangkaikan oleh Al-Imam Abu Syuja'
rahimahullahu ta'ala dalam kitabnya Matan Al Ghayah Fil Al-Ihtishor.
Kita masih membahas tentang ب ـ ــاب ال ـ ــحوال ـ ــةbab penjelasan tentang transfer hutang
piutang. Di antara kesimpulan yang juga bisa kita sarikan dari pernyataan mualif
Mualif dalam pernyataan ini tidak memberikan perincian lebih lanjut bahwa
setelah terjadinya kesepakatan hawalah (transfer hutang piutang), maka pihak
pertama (pihak debitur) yang berhutang setelah berhasil mengadakan
kesepakatan dengan pihak kreditur agar kreditur menagihkan piutangnya kepada
pihak ketiga
Di sini tidak ada perincian lebih lanjut apakah kemudian pihak ketiga yang
semula dia itu adalah pihak yang يٍّ ( َمـ ـ ـ ـ ـ ــلِـ ـkondisi keuangannya bagus) atau dia
fi
.
kondisinya tidak bagus atau kondisinya bagus kemudian berubah menjadi pihak
yang gagal bayar (potensi gagal bayar) atau keuangannya menjadi rusak. Tidak
ada perincian lebih lanjut
Atau pun semula pihak kreditur mengira bahwa pihak ketiga ini adalah orang
yang kondisi keuangannya baik ternyata dia salah duga, salah persepsi, salah
perhitungan. Dianggap dia ternyata kondisi keuangannya bagus ternyata
faktanya tidak demikian.
Mualif sama sekali tidak memberikan perincian, yang ini dapat kita pahami
berarti apapun kondisinya setelah terjadi kesepakatan transfer hutang piutang
antara kreditur dengan debitur, agar kreditur menagihkan piutangnya kepada
pihak ketiga, setelah terjadi kesepakatan ini tidak ada lagi kata balik, tidak ada
lagi kata pembatalan atau menyesal.
Kenapa? Karena konsekuensi dari hawalah kewajiban pihak debitur atau pihak
pertama yang berhutang telah gugur dan kalau sudah dinyatakan gugur
dianggap lunas, dianggap tanggung jawabnya itu telah bebas maka tidak bisa
kembali menjadi tersibukkan dengan tagihan, tidak lagi bisa dikembalikan.
Sehingga yang semula telah bebas maka seterusnya bebas. Tidak bisa
dikatakan semula bebas kemudian menjadi tidak bebas kembali. Ini pernyataan
atau madzhab yang diajarkan dalam madzhab Al-Imam Sya 'i rahimahullah
fi
*Kondisi Pertama
Yaitu bila ternyata terbukti atau didapatkan indikasi kuat bukti-bukti yang
meyakinkan bahwa debitur telah sengaja menjerumuskan, sengaja menipu,
sengaja memperdaya kreditur.
Memaksakan menagihkan piutangnya kepada pihak ketiga. Dia itu orang yang
nansialnya bagus, kooperatif. Dia itu misalnya selama ini terbukti orangnya
baik, perilakunya bagus, sehingga pihak kreditur merasa yakin bahwa pihak
ketiga ini demikian kondisinya. Namun ternyata tidak demikian
Ternyata pihak debitur sengaja menipu kreditur. Maka dalam kondisi semacam
ini karena terjadi penipuan terjadi kesengajaan atau yang disebut tadlis
(manipulasi) maka dalam kondisi ini kreditur berhak menagihkan ulang
piutangnya kepada debitur.
Karena debitur di sini telah berbuat wanprestasi, dia telah menipu, dia telah
mengingkari janjinya, dia telah mengingkari komitmennya untuk mentransferkan
hutangnya kepada pihak yang kooperatif, kondisi keuangannya baik ternyata
tidak demikian, dan ini termasuk dalam perbuatan zhalim
Penundaan orang yang mampu itu adalah suatu kezhaliman. [HR. Mutafaq 'alaih
Dan kalau itu ternyata kezhaliman berarti, tidak benar. Karena apalah artinya
menunda langsung atau mentransferkannya kepada orang yang tidak kooperatif
bahkan orang yang pailit. Hasilnya sama yaitu piutang kreditur tidak terbayarkan.
Apalagi ada kezhaliman, pemalsuan atau dusta dan ini adalah satu kezhaliman
jelas
Alias karena hadits ini bersifat umum, “dia tidak punya hak”, maka hak
dinyatakan bebas tanggungan, dia tidak berhak karena dia ternyata menipu,
karena dia sengaja memanipulasi berarti dia zhalim. Maka dia tidak
mendapatkan hak untuk dinyatakan kondisi bebas dari tanggungan, *ini kondisi
pertama*
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
fi
🌐 *WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsya
▪ 🗓 _RABU
| _18 Dzulhijjah 1442H
| _28 Juli 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-87
📖 _Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Kesepuluh
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla
Masih bersama untaian kata-kata yang dirangkaikan oleh Al-Imam Abu Syuja'
rahimahullahu ta'ala dalam kitabnya Matan Al Ghayah Fil Al-Ihtishor.
Kita masih membahas tentang ب ـ ــاب ال ـ ــحوال ـ ــةbab penjelasan tentang transfer hutang
piutang
*Kondisi kedua*: ketika pihak kreditur salah persepsi (bukan sengaja) bukan
karena kesengajaan dari debitur tetapi ada hal-hal yang di luar dugaan. Dia kira
(pihak kreditur misalnya) mengira bahwa pihak ketiga ini jaraknya dekat,
sehingga mudah untuk ditagih
Ternyata dia salah, (salah nama misalnya) dia kira pihak ketiga ini adalah orang
yang dekat rumahnya padahal ternyata jauh rumahnya untuk menagihnya yaitu
butuh transportasi, butuh perjalanan yang jauh, sehingga pasti sangat
merepotkan kreditur
fi
.
Dalam kondisi semacam ini ketika dia salah praduga, salah persepsi dan itu
tanpa kesengajaan maka kondisi kedua ini boleh dia membatalkan kesepakatan
hawalah.
Karena salah satu prinsip besar dalam hukum muamalah bahwa setiap
muamalah dalam Islam haruslah dilakukan, dijalankan dengan dasar suka sama
suka, harus ada unsur ترضى
Dan kalau ternyata pihak kreditur salah persepsi kemudian terbukti bahwa pihak
ketiga tidak seperti yang dia duga, maka terbukti pula sejatinya pihak kedua atau
yang disebut dengan kreditur sebetulnya dia tidak rela, tidak ridho dengan
transfer piutang ini karena ternyata tidak seperti yang dia duga
*Kondisi ketiga*: kalau ternyata pihak ketiga itu berubah kondisinya di saat
kreditur belum sempat menagihkan terjadi kesepakatan transfer hutang piutang
dengan asumsi bahwa pihak ketiga ini ( ) امل ـ ـ ـ ــحال ع ـ ـ ـ ــليهitu mampu untuk melakukan
pembayaran
Sehingga semula yang kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan dengan
asumsi pihak ketiga ini adalah pihak yang kooperatif, kondisi keuangannya
bagus ternyata terbukti tidak sesuai dengan fakta. Walaupun tanpa ada
kesengajaan dari kedua belah pihak, pihak kreditur ataupun pihak debitur
Maka dalam kondisi semacam ini sebagian ulama mengatakan, "kreditur boleh
mengurungkan (membatalkan) kesepakatan hawalah dengan konsekuensi
berarti kreditur menagihkan kembali piutangnya kepada debitur (pihak pertama)"
Kenapa demikian?
Karena kesepakatan yang telah dicapai antara kedua belah pihak tersebut
dibangun di atas satu persepsi yang terbukti salah. Dibangun di atas asumsi
yang terbukti menyelisihi fakta.
fi
Karena itu diabaikan karena itu tidak diperhitungkan, maka tidak bisa dijadikan
sebagai pondasi, dijadikan sebagai dasar membangun suatu kesepakatan atau
satu akad.
Dengan demikian kesepakatan yang telah dicapai antara kedua belah pihak
antara kreditur dan debitur, pihak yang berhutang dengan yang menghutangi
karena kesepakatan ini, akad ini dibangun di atas asumsi yang ternyata salah, di
atas praduga yang ternyata memyelisihi tidak sesuai dengan fakta, maka apapun
yang dibangun, apapun turunan dari praduga tersebut juga harus diabaikan.
Pendek kata, ketika terjadi salah praduga, salah asumsi walaupun tentu itu tidak
disengaja, kalau disengaja jelas seperti kondisi yang pertama. Kedua belah
pihak tanpa mengetahui, tanpa sadar bahwa pihak ketiga telah meninggal atau
pailit atau terkena musibah.
Maka dalam hal semacam ini pihak yang merasa dirugikan dan biasanya yang
dirugikan adalah pihak kreditur (pihak yang menghutangi) berhak untuk
membatalkan kesepakatan hawalah, menganulir kesepakatan yang telah
dicapai
Dan pembatalan ini tentu adalah dalam rangka untuk melindungi pihak kreditur
yang akan menanggung kerugian, karena bila kesepakatan ini dilanjutkan maka
berarti pihak kreditur dirugikan. Padahal ada satu poin penting yang perlu diingat
selalu dalam kasus hutang piutang
Pihak kreditur itu adalah pihak yang telah berbuat baik, mengulurkan tangannya,
memberikan jasanya. Biasanya pihak kreditur itu adalah orang yang menolong,
pihak yang meringankan kesusahan debitur, tentu orang yang telah berbuat baik,
berjasa semacam ini, menunda tagihan, memberikan kelapangan, melakukan
penjualan dengan skema pembayaran berjangka.
Ini semua adalah orang yang baik. Orang yang berbuat jasa, tentu orang
semacam ini tidak boleh dibalas kebaikannya dengan kejelekan. Tidak layak kita
membalas air susu dengan air tuba
Tidak ada alasan tidak ada celah sedikitpun untuk menyakiti apalagi
menghukumi apalagi mendzalimi orang yang berbuat baik
Nabi bersabda
Siapapun yang menghutangkan satu dirham dua kali, hari ini menghutangkan
satu dirham besok dibayar, menghutangkan lagi satu dirham kemudian dibayar
kembali, walaupun uangnya kembali tetapi dia telah mendapatkan, Allah
subhanahu wa ta’ala telah mencatatnya sebagai sedekah dua kali.
Kenapa demikian
Perlu dipahami bahwa dalam konsep islam, yang namanya harta itu terdiri dua
unsur
• Fisik barang (ain)
• Kegunaan barang (manfaah
fi
?
fi
.
Pailit terkena musibah maka dalam kondisi semacam ini karena kesepakatan
hawalah dibangun di atas praduga yang tidak nyata, maka pihak kreditur berhak
secara hukum untuk menagihkan piutangnya kepada debitur kembali,
menagihkan kembali piutangnya kepada pihak debitur
Karena pihak ketiga yang disebut امل ـ ـ ـ ـ ـ ـحــال ع ـ ـ ـ ـ ـ ـلـيــهini ternyata terbukti tidak mampu
untuk melakukan pembayaran
Ini beberapa hukum dari akad hawalah dan ini mengakhiri pembahasan kita
pada kesempatan yang berbahagia ini.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
fi
🌐 *WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsya
▪ 🗓 _KAMIS
| _19 Dzulhijjah 1442H
| _29 Juli 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-88
📖 _Adh-Dhoman (Penjaminan Hutang) Bagian Pertama
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
Pada kesempatan ini kita sampai pada bab baru yaitu Adh-Dhoman ()ال ـ ـ ـ ـ ـ ـض ـم ــان
penjaminan utang
Kadang kala seseorang yang berhutang merasa tidak mampu atau khawatir
untuk tidak mampu melakukan pembayaran sehingga dia butuh support, bisa
berupa gadai, sehingga pada saatnya jatuh tempo barang yang dia gadaikan
bisa dijadikan sebagai alat untuk melakukan pelunasan hutang yaitu dengan
cara dilelang
Atau bisa jadi pihak kreditur (pihak yang menghutangi) merasa khawatir kalau-
kalau pihak debitur (pihak yang berhutang) mengalami gagal bayar. Untuk
memberikan kepastian pada saat jatuh tempo hak-haknya akan dapat di peroleh
fi
.
fi
kembali. Maka kadangkala pihak kreditur mempersyaratkan adanya barang
gadai.
Dan di antara instrumen yang dilakukan oleh masyarakat dan dibenarkan secara
syariat untuk memberikan kepastian bahwa pihak debitur (pihak yang berhutang)
akan melakukan pembayaran, akan menunaikan haknya tepat waktu dalam
jumlah yang sesuai dengan yang terhutang
Atau bisa jadi pula keberadaan pihak ketiga tersebut yang menyatakan
kesanggupan untuk mewakili, kesanggupan untuk melunasi untuk bertindak
mewakili pihak debitur bisa jadi itu inisiatif dan permintaan dari kreditur
Karena kreditur merasa, bisa jadi karena tidak kenal, bisa jadi karena ragu akan
kemampuan pihak debitur yang berhutang, atau bisa jadi yang memiliki
pengalaman yang kurang menyenangkan, sehingga dia tidak ingin terjatuh
dalam kesalahan atau dalam kasus yang sama
Makanya dia meminta adanya pihak ketiga yang biasanya pula pihak ketiga
tersebut atau yang sering disebut dengan penjamin hutang biasanya memiliki
kemampuan untuk melakukan pelunasan, memiliki kemampuan nansial yang
lebih baik, memiliki sikap yang lebih baik dibanding pihak kedua, lebih dikenal
oleh kreditur
Apakah penjamin hutang itu pemindahan tanggungjawab dari pihak debitur yang
berhutang kepada pihak penjamin
fi
.
Atau penjamin itu adalah cadangan? Sehingga penjamin hanya boleh ditagih,
hanya bisa ditagih bila pihak debitur (berhutang) betul-betul telah terbukti gagal
bayar atau betul-betul tidak mampu melakukan pembayaran hutang di saat jatuh
tempo
*Versi Pertama
Penjamin hutang itu adalah pengganti. Dia berperan menggantikan pihak debitur,
sehingga kreditur yang menghutangi berhak menagih keduanya secara
bersamaan atau secara bergantian
*Versi Kedua
Baik karena dia telah meninggal dunia, atau karena dia pailit, atau karena
kepergiannya, atau karena sikap yang berhutang (debitur) yang tidak kooperatif
dalam melakukan pembayaran hutangnya
Ada dua persepsi dikalangan para ulama. Perbedaan dua persepsi ini akan
menimbulkan perbedaan fatwa, perbedaan sikap, perbedaan hukum karena
memang mereka para ulama, para ahli qih berbeda pendapat, berbeda dalam
mengasumsikan, dalam memposisikan atau mengartikan ( ال ـ ـ ـ ـ ـ ـض ـم ــانpenjaminan
hutang)
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini kurang dan lebihnya
mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
fi
.
▪ 🗓 _JUM’AT
| _20 Dzulhijjah 1442H
| _30 Juli 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-89
📖 _Adh-Dhoman (Penjaminan Hutang) Bagian Kedua
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
Pada kesempatan ini kita sampai pada bab Adh-Dhoman ( )ال ـ ـ ـ ـ ـ ـض ـمــانpenjaminan
utang
fi
.
fi
Namun tentu dalam akad penjaminan hutang ada tiga pihak terlibat
- Pihak Pertama adalah kreditur yang menghutangi
- Pihak Kedua adalah debitur yang berhutang dan
- Pihak Ketiga adalah pihak penjamin hutang
Kemudian yang kedua dari sisi yang berhutang atau yang disebut debitur juga
sangat dianjurkan, disunnahkan (bukan wajib), disunnahkan untuk membuat alat
bukti dan memberikan kepastian bahwa dia mampu melakukan pembayaran.
Baik dengan hartanya sendiri, atau dengan jaminan yang dia berikan, atau
dengan kehadiran pihak ketiga yang rela memberikan jaminan kepada dirinya,
atau menjamin dirinya ketika dia melakukan transaksi
Sehingga berbagai dalil yang berkaitan dengan anjuran membuat alat bukti
ketika bertransaksi, ayat yang berbicara tentang sunnahnya menulis, sunnahnya
mendatangkan jaminan, atau sunnahnya mendatangkan saksi dalam akad
hutang piutang atau yang lainnya.
Namun dari sisi ketiga dari sisi pihak yang memberikan jaminan, apakah ketika
anda diminta oleh saudara, kawan, tetangga, kerabat, untuk menjamin hutang
yang mereka lakukan
Ketika ada saudara anda berhutang baik kepada bank ataupun kepada
perorangan atau ke perusahaan, kemudian saudara tersebut meminta kepada
anda, "Tolong anda berikan untuk menjamin (menjadi pihak penjamin hutang)
saya, sehingga kalau saya gagal bayar anda akan membayarkan (menalangi)
terlebih dahulu"
خيْ ِه
ِ َ َو اهللُ ِفيْ َع ْو ِن ا ْل َعبْ ِد َما َكا َن ا ْل َعبْ ُد ِفيْ َع ْو ِن أ
“Allāh akan senantiasa menolong anda selama anda menolong saudara anda.
[HR Muslim
Betapa banyak orang yang butuh dalam kondisi terjepit, dalam kondisi
kekurangan nansial, ingin berhutang, ingin membeli dengan pembayaran
berjangka, namun mereka mendapatkan kesusahan.
Ini persepsi (pendapat) pertama yang mengatakan bahwa penjaminan hutang itu
adalah bentuk sosial (tolong-menolong). Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam
juga bersabda
Allah akan lapangkan, Allah akan bebaskan dia dari kesusahan yang menimpa
dirinya kelak pada hari kiamat
Dan tentu kita semua sadar, kehadiran penjamin hutang itu seringkali menjadi
solusi, menjadi kunci terselesaikannya masalah yang sedang melilit sebagian
orang.
Tentu ini sangat dianjurkan namun sebagian ulama lain, berbicara lebih realistis,
berpendapat lebih realistis. Hendaknya anda tidak bermudah-mudahan
menjamin hutang orang lain, kecuali bila
*Kondisi Pertama
fi
,
Orang yang akan berhutang tersebut betul-betul orang yang beriktikad baik,
kooperatif, bersungguh-sungguh ingin melunasi, ingin menyelesaikan
tanggungannya dan mereka berhutang dalam batas yang wajar, sesuai dengan
kapasitas dan kemampuannya
Namun bila ternyata orang yang mau berhutang (debitur) tersebut ternyata besar
pasak daripada tiang, sehingga ia mengambil hutang yang besar, padahal
penghasilannya secara tradisi tidak akan mungkin bisa digunakan untuk
melunasi hutang tersebut
Atau dia berhutang untuk hal-hal yang tidak perlu, foya-foya, apalagi untuk
melakukan suatu hal yang haram, berjudi misalnya. Atau bahkan ada indikasi-
indikasi yang menunjukkan bahwa orang tersebut dari semula sudah
merencanakan niat buruk
Atau bahkan mungkin terbukti berkali-kali terbukti ngemplang (sengaja) tidak ada
iktikad baik untuk melakukan pelunasan hutang.
Maka dalam kondisi semacam ini tidak sepatutnya anda mencelakakan diri
sendiri demi kebutuhan orang lain. Apalagi kalau ternyata kehadiran anda
menyebabkan orang tersebut pihak debitur mendapatkan sarana, mendapatkan
kemudahan untuk kembali melakukan perbuatan yang haram
Apalagi bila ternyata akadnya, akad hutang piutangnya tersebut diiringi dengan
praktek-praktek riba. Sebagaimana yang merajalela di perbankan atau di praktek
masyarakat yang masih doyan dengan riba.
Menghutangi satu juta, kembali satu juta dua ratus, telat satu bulan bertambah
sepuluh ribu dan seterusnya. Anda tidak boleh menjamin hutang yang ada unsur
ribanya, karena bila anda lakukan maka anda terjerumus dalam
Dan kalau prakteknya hutang piutang itu mengandung riba maka anda pun
termasuk bagian dari orang-orang yang terlaknat
Bukan hanya mereka yang terkena laknat karena mereka mengambil benang
merah dari keempat orang ini, yaitu adanya kontribusi langsung dalam praktek
riba. Sehingga siapapun yang berkontribusi langsung dalam praktek riba sebagai
juru tulisnya, sebagai saksinya, atau bahkan anda menjadi penjamin hutangnya,
maka anda pun turut terkena laknat dari Allah Azza wa Jalla
Sehingga dalam kondisi ini anda tidak dibolehkan untuk menjamin hutang
tersebut, bahkan anda haram hukumnya menjamin hutang yang untuk hal yang
haram atau hutang yang mengandung unsur riba
*Kondisi kedua*
Kondisi yang kedua yang terlarang kita menjadi penjamin hutang adalah bila kita
menyadari diri, kita harus bercermin bahwa kalau pihak debitur nanti gagal bayar,
saya sendiri juga tidak mampu bayar
Maka dalam kondisi semacam ini kalau ternyata secara nansial kita sendiri
sebetulnya tidak mampu, kalau ternyata nanti debitur gagal bayar maka yang
akan disita adalah rumah kita, yang akan dipanggil pengadilan dan dipaksa oleh
pengadilan untuk melakukan pembayaran kita (misalnya)
Bila hutang tersebut menjadi penjamin hutang anda tidak mampu kecuali dengan
menimbulkan resiko negatif pada keluarga anda, maka dalam kondisi semacam
fi
.
Kenapa? Karena siapapun dia yang berhutang itu adalah pihak ketiga (orang
lain). Kalau ternyata anda menolong orang lain, namun pertolongan ini
menyebabkan keluarga dekat anda, istri anda, anak anda, orang tua anda
terlantar, terhalangi mendapatkan haknya, terkurangi nafkahnya, maka anda
justru malah berdosa bukan malah mendapat pahala
“Cukup sebagai dosa besar bila anda itu telah menelantarkan nafkah orang-
orang yang menjadi tanggungan anda.” [HR Abu Daud
Karena itu tidak boleh anda menolong orang lain namun mencelakakan keluarga
sendiri
Dan wallahu ta’ala alam. Pendapat kedua inilah yang lebih kuat secara dalil,
yaitu menjamin hutang itu bukan suatu hal yang dianjurkan dalam semua
kondisi, tetapi anda harus bercermin
Sehingga anda harus pilah-pilah tidak serta merta kita katakan menolong orang
susah membantu orang yang sedang terjepit, meringankan beban seseorang.
TIDAK!! Anda harus proporsional
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini kurang dan lebihnya
mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
▪ 🗓 _SENIN
| _23 Dzulhijjah 1442H
| _02 Agustus 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-90
📖 _Adh-Dhoman (Penjaminan Hutang) Bagian Ketiga
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
Pada kesempatan ini kita sampai pada bab Adh-Dhoman ( )ال ـ ـ ـ ـ ـ ـض ـمــانpenjaminan
utang
Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Yusuf ayat 72, menceritakan praktek
penjaminan yang pernah terjadi di zaman dahulu, di zaman nabi Yusuf
alayhissallam. Ketika raja kehilangan alat timbang atau alat takar
Beliau (nabi Yusuf) memberikan jaminan siapa pun yang bisa mengembalikan
alat takar atau timbangan tersebut, maka dia akan mendapatkan hadiah sebesar
apa? حـ ـ ـ ـ ـ ـ ۡـم ُل بَ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِــعيـ ٖر
ِ mendapatkan hadiah berupa bahan makanan gandum seberat
yang bisa diangkut oleh unta ()حمۡ ُل بَ ِعي ٖر. ِ
fi
.
fi
Itu redaksi zaman dahulu, kalau bahasa kita sekarang mungkin satu truk fusso,
atau satu pickup kantung beras (misalnya), atau satu kontainer 40" beras
(misalnya). Ini satuan ukur zaman dahulu yaitu semampunya unta untuk
membawa
Kalau pihak kerajaan tidak memberi aku yang akan memberinya. Ini kasus
penjaminan yang pernah terjadi yang kemudian diceritakan (dihikayatkan) di
dalam Al-Quran.
Walaupun ini bercerita tentang kasus yang terjadi pada umat sebelum Islam di
zaman nabi Yusuf namun para ulama menggariskan bahwa
Syari'at umat-umat sebelum kita yang itu diceritakan dalam Al-Quran atau
diceritakan dalam As-Sunnah, maka itu secara otomatis menjadi syari'at kita,
selama di dalam syari'at kita tidak pernah ada, tidak ditemukan dalil yang
bertentangan dengan syari'at tersebut
Apalagi bila sampai (ternyata) malah ditemukan dalil yang mendukung maka
tidak terjadi perselisihan dengan para ulama bahwa syari'at tersebut juga berlaku
pada umat islam
Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu 'anhu, juga menceritakan bahwa suatu hari
didatangkan jenazah untuk dishalatkan di masjid Nabawi.
"
"Apakah jenazah ini ketika meninggal masih meninggalkan utang yang belum dia
bayar?"
نعم: قالوا
Dia mati masih meninggalkan utang dua dinar, maka Nabi shallallahu 'alayhi wa
sallam mengatakan:
Kalau dia mati dalam keadaan masih memiliki tanggungan utang, kalau demikian
silahkan kalian menshalati, sedangkan saya tidak mau menshalatinya
Maka Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu 'anhu merasa iba kepada laki-laki ini.
Laki-laki yang meninggal dunia namun ternyata Nabi shallallahu 'alayhi wa
sallam tidak mau menshalatinya. Gara-gara dia mati dalam kondisi masih
meninggalkan utang
َ
! ِرسول اهلل هما ع َليَّ يا
Kalau demikian utang dia aku yang menjaminnya. Akan aku bayarkan, akan aku
lunasi (kata Abu Qatadah)
Setelah esok hari, Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam kemudian berjumpa kembali
dengan Abu Qatadah. Kemudian Beliau mengingatkan
ِ
ينارانَماذَا فعل بال ِّد
"
"
Wahai Abu Qatadah apa yang engkau lakukan dengan utang dua dinar yang
engkau tanggung kemarin
Abu Qatadah berkata, "Kan baru mati kemarin" alias saya belum sempat untuk
melakukan pelunasan tersebut
Setelah dua hari kembali lagi Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam berjumpa
dengan Abu Qatadah dan kembali bertanya perihal utang dua dinar yang dijamin
oleh Abu Qatadah
Kemudian Abu Qatadah mengatakan, "Telah saya bayar (telah saya lunasi).
ِ ت
ج ْل َده َ بر ْد
َّ اآل َن
"Sekarang setelah engkau lunasi, kulit si mayit tadi baru merasakan dinginnya
(baru merasakan dingin di alam kuburnya).
Dalam kasus ini Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam membenarkan sikap Abu
Qatadah yang menanggung utang orang yang sudah meninggal dunia
Pendalilannya kalau utang yang ditinggal mati oleh orang yang berutang, utang
atas orang yang sudah mati ternyata boleh dijamin oleh orang lain, secara
sepihak Nabi membenarkan Abu Qatadah yang secara sepihak tanpa izin dari
ahli waris ataupun dari sebelumnya dari si mayit
Ternyata kehadiran penjamin utang ini dibenarkan direstui oleh Nabi, maka
secara logika menjamin utang orang yang masih hidup itu tentu boleh-boleh saja
(sah-sah saja) dan ini termasuk sekali lagi bentuk jasa atau amal sosial kepada
saudara kita yang berutang.
Berdasarkan dua dalil ini satu ayat dan satu hadits ini, kemudian para ulama
bersepakat bahwa menjamin utang itu suatu hal yang dianjurkan (dibolehkan)
namun dengan catatan utang itu utang yang halal, tanpa ada unsur riba
"
Utang tersebut digunakan untuk kebutuhan yang halal dan yang kedua menjamin
utang tersebut tidak sampai menyebabkan kita menelantarkan keluarga kita atau
menyebabkan kita terjerumus ke dalam mudharat atau resiko yang lebih berat
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang dan lebihnya
mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
▪ 🗓 _SELASA
| _24 Dzulhijjah 1442H
| _03 Agustus 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-91
📖 _Adh-Dhoman (Penjaminan Hutang) Bagian Keempat
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
Alhamdulillah pada kesempatan kali ini kita masih bersama dengan anda untuk
bersama-sama tafaquh idiinillah, mengkaji agama Allāh Subhānahu wa Ta'āla
dengan media kitab Matan Al-Ghayyah Al-Ikhtishar buah karya Syaikh Imam
Abu Syuja' rahimahullahu ta'ala
Sah untuk memberikan jaminan pada ال ـ ــدي ـ ــون املس ـ ــتقرةutang-utang yang mustaqirah
( )م ـس ـ ـ ـ ـ ـ ـت ـق ــرةyang telah berkekuatan hukum (yang telah tetap) tidak mungkin lagi
batal
fi
*
fi
fi
.
Betul-betul utang-piutang yang sudah tetap إذا عـلم قـدرهـاbila nominal utangnya itu
diketahui. Dengan demikian pernyataan muallif ini (Imam Abu Syuja)
memberikan dua syarat untuk sahnya suatu penjaminan utang
Bila satu dari kedua syarat ini tidak terpenuhi maka secara mafhum mukhalif/
secara analoginya, maka penjaminan utang itu batal alias tidak sah. Karena di
sini Al-Muallif mengatakan ويـ ـ ــصحdan sah. Sedangkan lawan dari kata sah artinya
bathil, tidak sah
Dan secara terminologi de nisi sah dan tidak sah dalam ilmu qih atau ushul
qih, suatu permasalahan dikatakan sah bila permasalahan tersebut dilakukan
dengan memenuhi syarat rukunnya sehingga menghasilkan konsekuensi hukum
yang sesuai, seperti misalnya pernikahan.
Namun suatu hukum dikatakan tidak sah bila salah satu syarat atau rukun tidak
terpenuhi, maka arti dari suatu hukum, suatu masalah dikatakan tidak sah alias
walaupun itu dipaksakan. Walaupun satu tindakan itu dipaksakan untuk
dilakukan tetapi secara tinjauan hukum syariat tidak menghasilkan konsekuensi
hukum yang semestinya.
Sehingga walaupun ada pernikahan, "Saya nikahkan engkau dengan putriku dan
seterusnya", "Saya terima.", namun salah satu syaratnya tidak terpenuhi maka
semua itu sia-sia. Tidak menghasilkan konsekuensi hukum sehingga tidak ada
pernikahan di antara mereka. Mereka tidak boleh berhubungan dan seterusnya
Transaksi jual-beli misalnya, ketika dikatakan tidak sah, berarti barang tetap milik
dari penjual, uang tetap milik dari pembeli, tidak menjadikan kedua barang
(barang dan harga) itu berpindah kepemilikan. Ini arti dari kata sah dan tidak sah
fi
fi
.
Mafhum mukhalifnya, analoginya bila satu dari kedua syarat ini tidak terpenuhi,
maka walaupun sudah ada komitmen, ada ijab dan qabul, saya jamin utang yang
akan engkau berikan kepada fulan, dalam kasus ini utangnya belum tetap
Karena utang baru akan diberikan pada waktu yang akan datang alias saat
kesepakatan penjamin ini belum ada utang-piutang maka itu sia-sia (tidak sah),
sehingga tidak memiliki konsekuensi hukum apapun dari kesepakatan ini, atau
sering diistilahkan dalam ilmu hukum dengan kata-kata batal demi hukum
ولصاحب الحق مطالبة من شاء من الضامن واملضمون عنه إذا كان الضمان على ما بينا
Dan bila suatu kesepakatan suatu akad penjaminan utang telah memenuhi dua
syarat tadi. Utangnya telah tetap kemudian nominalnya juga jelas maka pihak
kreditur (pihak yang memberikan piutang) boleh menagih keduanya. Siapapun
yang dia suka
Kenapa? Karena kedua pihak tersebut penjamin dan yang berutang (penjamin
dan debitur) telah terjadi kesepakatan untuk melebur menjadi satu pihak. Saling
mewakili sehingga yang berutang dia ditagih karena memang dia yang berutang.
Dalam arti walaupun kreditur bisa menagih debitur, yang mengutangi bisa
menagih yang diutangi, tetapi dia lebih suka untuk menagih penjaminnya, maka
silahkan, itu boleh.
Dengan demikian yang semula ada dua pihak penjamin dan yang dijamin.
Namun dengan adanya kesepakatan penjaminan utang ini, kedua orang ini
menjadi satu pihak (melebur menjadi satu pihak). Ini alasan yang diutarakan Al-
Imam Asy-Syafī'i dan juga ulama lain yang sependapat dengan beliau
Maka dalam kondisi seperti ini, baru dia boleh menagihkan Penjamin, karena
dalam kasus penjaminan utang di sini ada al-Ashl dan al-Far’u, ada pihak utama
dan pihak sekunder.
Primer, pihak primer yang dia memang yang berkewajiban membayar utang dan
dia yang berutang dan ada pihak kedua (pendukung) atau yang disebut dengan
Far’ ()فَ ْرع, yaitu penjamin utang.
Menjadikan satu sehingga tidak ada lagi primer tidak ada lagi sekunder. Tidak
ada Ashl, tidak ada mubdal tidak ada badal, tentu ini tidak sejalan dengan arti
dan hakikat dari Al-Badaliyyah atau yang juga disebutkan dengan Adh-
Dhomman.
Karena tujuan adanya akad dhomman itu hanya sebagai pelengkap dan
dhomman itu diklasi kasikan sejenis dengan gadai (barang gadai) yang tujuan
utamanya adalah untuk memberikan jaminan ketenangan kepada kreditur bahwa
hak dia akan terbayarkan.
Sebagaimana barang gadai tidak bisa dilelang tidak bisa diakuisisi oleh kreditur
kecuali bila debitur yang berutang itu tidak kooperatif atau gagal bayar, maka
tentu penjamin lebih layak untuk tidak ditagih kecuali yang berutang atau debitur
mengalami gagal bayar atau terkendala tidak bisa ditagih. Misalnya karena mati
atau menghilang dan seterusnya.
Di sisi lain barang gadai yang secara kepemilikan itu adalah milik debitur itu saja
tidak boleh langsung dieksekusi untuk melunasi utang, apalagi pihak lain yaitu
pihak penjamin yaitu merupakan orang asing sebetulnya.
Hanya saja terlibat dalam kasus utang-piutang ini karena adanya komitmen
adanya kesepakatan akad, yaitu akad penjaminan utang maka dia lebih layak
untuk tidak ditagih untuk tidak dieksekusi dengan cara menagih, kecuali bila ada
hambatan untuk menagihkan utang kepada pihak debitur. Ini pendapat kedua
Dan wallahu ta'ala a'lam pendapat kedua ini secara tinjauan teoritis lebih kuat
dan lebih dekat kepada loso arti dan substansi dari adanya dhomman yang
tujuan utamanya adalah memberikan jaminan bukan merupakan instrumen
pembayaran utang. Itu hanya tujuan utama yang telah memberikan kepastian
bahwa piutang kreditur itu dapat terbayarkan pada waktuny
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini kurang lebihnya mohon
maaf
fi
fi
fi
▪ 🗓 _RABU
| _25 Dzulhijjah 1442H
| _04 Agustus 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-92
📖 _Adh-Dhoman (Penjaminan Hutang) Bagian Kelima
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
Al-Muallif mengatakan
وإذا غرم الضامن رجع على املضمون عنه إذا كان الضمان والقضاء بإذنه
Dan bila penjamin utang itu ternyata dia membayarkan utang. Dia membayarkan
dalam kondisi tertentu atau (dalam) karena pihak debitur gagal bayar atau
kreditur terhambat dari mendapatkan dari debitur yang mengutangi, tidak bisa
menagihkan piutangnya kepada yang berutang karena satu atau dua alasan
fi
Atau امل ـ ـ ـ ـ ـ ـض ـمــون ع ـ ـ ـ ـ ـ ـنــهpihak debitur yang secara de facto dialah yang seharusnya
berkewajiban membayar utang, dengan catatan adanya hak menagihkan
kembali kepada pihak debitur, kepada pihak yang berutang ini, dengan catatan
bila akad penjaminan ini terjadi atas kesepakatan dan atas restu dari pihak
yang berutang.
Dengan demikian bila penjaminan ini terjadi tanpa sepengetahuan dan tanpa
restu dari yang berutang maka penjamin tidak berhak untuk mengklaimkan
kembali apa yang dia bayarkan kepada kreditur, kepada debitur kepada pihak
yang berutang karena dia membayarkan utang orang lain tanpa seizin dari yang
berutang
Sehingga ini memberikan satu pelajaran penting bagi kita, bahwa dalam
penjaminan utang sangat memungkinkan terjadinya penjaminan utang tanpa
sepengetahuan pihak yang berutang
Sebelum menyalati Nabi bertanya, "Apakah orang ini mati dalam kondisi
meninggalkan utang?"
Apakah dia meninggalkan aset yang bisa digunakan untuk meluasi utangnya?
Kata Nabi kalau demikian shalatilah kerabat kalian ini. Nabi enggan menyalati
orang tersebut, sebagai bentuk warning kepada kaum muslimin agar tidak
ceroboh, agar tidak gampang-gampang dalam berutang. Karena berutang dalam
nominal yang di luar kapasitas kita, berutang tanpa perencanaan yang jelas, asal
berutang tanpa ada perencanaan yang jelas untuk bisa melunasi.
Ini satu perbuatan yang dzalim, ini dikategorikan sebagai bentuk kesengajaan
merusak atau mengambil harta orang lain, merusakkan harta orang lain, dan ini
tentu adalah suatu perbuatan dzalim, karena itu Nabi ingin memberikan warning
"
kepada para sahabat agar tidak ceroboh dan tidak gegabah dalam mengambil
utang
Abu Qatadah radhiyallahu 'anhu merasa iba kepada sahabat ini yang mungkin
dulu juga tidak ingin berbuat jahat. Maka Abu Qatadah karena merasa iba beliau
secara sepihak spontan mengatakan, "Ya Rasulullah, utang dia aku yang
menanggungnya".
Dalam kasus ini berarti dengan jelas Abu Qatadah menjamin utang si mayit
tersebut dan tentu tanpa restu dari si mayit, karena si mayit tidak lagi mungkin
bisa memberikan restu atau mengizinkan. Dan ini bukti nyata, dalil yang nyata,
bahwa menjamin utang orang lain itu boleh walaupun yang berutang tidak tahu
menahu
Karena bisa jadi yang berutang itu merasa sungkan, merasa risih bila ketahuan
dia berutang. Dia tidak ingin ketahuan berutang, dan mungkin dia akan merasa
malu kepada anda kalau anda sampai membayarkan utangnya tapi anda tahu
utang tersebut
Maka anda bisa secara sepihak datang kepada pihak kreditur yang telah
mengutangi bahwa kalau jatuh tempo nanti si fulan gagal bayar saya akan
bayarnya tapi tolong jangan bilang-bilang, jangan sampaikan kepada dia. Seperti
ini dibenarkan dalam islam
Dan syarat yang kedua, anda boleh menagihkan kembali apa yang telah anda
bayarkan kepada kreditur bila yang pertama anda menjamin utang tersebut
atas restu dari pihak yang berutang dan yang kedua ketika anda
membayarkannya pun anda terlebih dahulu meminta restu kepada pihak
yang berutang.
Kenapa demikian? Karena bisa jadi pihak yang berutang tersebut tidak ingin
memiliki utang kepada anda. Dia siap berutang kepada orang lain namun kepada
anda belum tentu. Karena mungkin dia malu segan dan lain sebagainya. Tidak
ingin punya utang budi kepada anda
Atau bisa jadi pihak yang berutang tersebut dalam kondisi mu'sir dalam kondisi
sebetulnya masih bisa meminta untuk ditunda pembayarannya. Karena dia
dalam kondisi mu'sir (dalam kondisi yang sulit keuangannya) sehingga boleh
dinegoisasi ulang, untuk direstrukrisasi utangnya, direncanakan ulang
pembayaran utangnya
Atau bisa jadi sebetulnya dia mampu, namun karena faktor dia sedang
menghitung keuangannya, merencanakan keuangannya, atau mungkin dia
sedang menjual asetnya yang akan segera laku dan segera bisa dia melunasi
utangnya
Sehingga tanpa perlu harus berutang kepada orang kedua atau orang ketiga,
sehingga bila anda melunasi utangnya tanpa sepengetahuan pihak yang
berutang maka anda tidak berhak mengklaimkan kembali nominal utang tersebut
kepada orang yang anda jamin
Kenapa? Karena, perlu diingat penjaminan utang itu termasuk akad muamalah
dan akad itu idealnya dilakukan atas dasar suka sama suka, sehingga bisa jadi
walaupun pada awalnya dia rela untuk anda jamin utangnya namun belum tentu
dia rela dan merestui bila anda betul-betul membayarkan utangnya
Bisa jadi ada orang yang punya izzah punya anafah, punya harga diri yang
tinggi, punya gengsi yang tinggi. Semula dia terpaksa untuk bisa mendapatkan
pinjaman tersebut, sehingga mungkin dia rela malu di depan anda, minta untuk
dijamin utangnya.
Namun ketika jatuh tempo, belum tentu dia mau bila anda betul-betul
membayarkan utangnya. Sebetulnya dia lebih memilih untuk berkomunikasi
dengan kreditur untuk membuat kesepakatan baru. Misalnya barter barang,
misalnya pembayarannya tidak dengan uang, pembayarannya dengan barang
lain atau dengan jasa
Atau mungkin juga pihak kreditur sebetulnya juga siap memberikan tangguh
kepada pihak debitur yang berutang. Sehingga pihak yang berutang bisa jadi
merasa keberatan untuk dibayarkan utangnya karena dia tidak ingin berutang
budi kepada orang lain selain yang telah mengutangi dirinya tersebut
fi
.
sebagaimana pihak yang anda jamin juga berhak untuk menolak mengembalikan
nominal uang yang anda bayarkan karena anda membayarkannya tanpa izin,
tanpa pemberitahuan dan tanpa restu
Bisa jadi anda pagi-pagi sudah melunasi padahal pihak yang berutang masih
punya ruang waktu yang cukup untuk melakukan pelunasan. Mungkin di siang
hari dia bisa melunasi, di sore hari dia melunasi. Karena hari itu terhitung hingga
maghrib. Bisa jadi pagi-pagi anda sudah melunasinya
Ini tentu beberapa alasan yang perlu diakomodir, sehingga seperti yang
dijelaskan oleh muallif bahwa kalau anda sampai membayarkan utangnya tanpa
sepengetahuan dan tanpa restu pihak debitur maka anda tidak berhak untuk
mengklaimkan ulang nominal yang anda bayarkan kepada pihak debitur
Karena anda telah melakukan satu tindakan tanpa restu dari orang yang
berkewajiban. Padahal hukum asalnya seperti yang tadi diutarakan setiap
muamalah itu haruslah ditunaikan dengan prinsip tarādhin (suka sama suka)
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang dan lebihnya
mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
▪ 🗓 _KAMIS
| _26 Dzulhijjah 1442H
| _05 Agustus 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-93
📖 _Adh-Dhoman (Penjaminan Hutang) Bagian Keenam
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
Al-Muallif mengatakan
"Tidak sah memberikan jaminan utang yang belum jelas nominalnya (tidak jelas
berapa nominalnya) dan juga utang yang belum pasti, kecuali jaminan atas
resiko barang yang dijual, kerusakan, atau kalau ternyata kemudian hari barang
yang dijual tersebut ternyata adalah barang milik orang lain, terbukti itu milik
orang lain." Itu disebut َدرك امل َ ِبيْع
fi
.
Yang semula harusnya tidak boleh namun diizinkan (dibolehkan) karena adanya
hajjah (kebutuhan) untuk membolehkan akad semacam ini. Maka harus dalam
kondisi transparan
Dengan demikian utang-piutang yang belum jelas nominalnya dan juga utang-
piutang yang belum tentu terjadi, itu tidak boleh menjadi obyek akad penjaminan,
karena itu termasuk gharar.
Menurut loso dalam madzhab Asy-Syafī'i pihak yang berutang itu seakan-akan
menjual utangnya (kewajiban dia) kepada pihak penjamin, dan penjamin akan
mendapatkan pembayaran yang sama pada waktu lain
Ini alasan yang menjadikan para ulama Syafī'i menggunakan dalil yang berkaitan
dengan larangan gharar. Sehingga utang-piutang yang belum jelas nominalnya,
utang-piutang yang belum jelas terjadi atau tidak, tidak boleh dijamin, tidak boleh
menjadi objek akad penjaminan utang
Namun seperti yang disampaikan sebelumnya pula bahwa yang lebih tepat
penjaminan utang itu termasuk akad sosial bukan akad jual-beli. Ini hanya
sekedar instrumen untuk memberikan ketenangan kepada kreditur bahwa hak
dia akan kembali serupa dengan akad rahn (akad pegadaian), serupa dengan
akad syahadah (persaksian) instrumen alat bukti
Karena secara hukum prinsip muamalah yang terjadi antara manusia hukum
asalnya boleh selama tidak berbenturan dengan dalil-dalil yang qath'i dengan
dalil yang tegas, shahih, valid yang melarang praktik-praktik yang semacam itu.
Selama tidak ada larangan maka hukum asalnya boleh.
fi
fi
.
Namun ketika kita kembalikan kepada hukum asal muamalah itu boleh, dan itu
pendapat yang lebih rajih dibanding dengan apa yang diutarakan oleh muallif di
sini, maka tidak perlu ada pengecualian semacam ini
Karena األصـل فـي املـعامـالت الحـلhukum asal mualamah berinteraksi sesama manusia
itu halal selama tidak ada dalil yang tegas, dalil yang valid melarangnya
Ini yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang dan lebihnya
mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
▪ 🗓 _JUM’AT
| _27 Dzulhijjah 1442H
| _06 Agustus 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-94
📖 _Adh-Dhoman (Penjaminan Hutang) Bagian Ketujuh
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
Masih bersama kitab Matan Al-Ghayyah Al-Ikhtishar buah karya Syaikh Imam
Abu Syuja' rahimahullahu ta'ala. Dalam bab Adh-Dhoman (penjaminan utang)
beliau mengatakan
Katanya: Tidak sah menjamin utang yang nominalnya tidak tahu (tidak diketahui)
tidak jelas berapa nominalnya, berapa angkanya, atau apa yang diutang, apa
yang menjadi tanggungan.
Ketika tidak ada kejelasan pada objek yang ditanggung, utang yang menjadi
tanggungan, tidak jelas nominalnya, tidak jelas jatuh temponya, tidak jelas
tempat pembayarannya, demikian pula tidak jelas sifat barang yang menjadi
utang tersebut
fi
fi
.
Maka ال ي ـ ـ ـ ـ ـ ـص ــحtidak sah, para ulama Asy-Syafī'i, para ahli qih yang tergolong
dalam madzhab Asy-Syafī'i memberikan alasan atau berdalil dengan hadits Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam muslim serta yang lain
الغر ِر ِ
ِالحصاة و عن بَيع ِ
ِعليه وس َّل َم عن بيع رسول ال َّل ِه ص َّلى ال َّل ُه
ُ نَ َهى
َ
Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam melarang kita dari bertransaksi dengan media
batu, yaitu melemparkan batu kepada beberapa objek barang, apapun bendanya
yang terkena lemparan tersebut, maka itulah yang akan diperjualbelikan, dengan
nilai yang telah disepakati
Ini adalah bentuk dari ketidak-pastian, barang yang diperdagangkan, karena bisa
jadi ketika melempar anda bisa mengenai barang yang nilainya mahal, atau bisa
jadi mengenai barang yang nilainya sangat murah. Sehingga ada ketidak-pastian
pada objek yang diperdagangkan
ِ
Maka ini termasuk terlarang dan itu disebut dengan ـحصاة و عـ ـ ــن بـ ـ ــيع الـ ـ ــغرر بـ ـ ــيعِ الـ ـ ـdan
Nabi juga melarang transaksi yang mengandung unsur gharar. Apapun,
dimanapun, unsur gharar itu didapatkan maka transaksi itu terlarang
Keumuman hadits ini kemudian oleh para ulama Asy-Syafī'i dijadikan sebagai
acuan sebagai dalil untuk melarang segala bentuk transaksi yang bersifat
komersial ataupun non komersial.
Ketika transaksi itu bersifat komersial maka jelas itu semakna dengan jual-beli,
yang itu merupakan tema dari larangan hadits di atas. Kalau itu adalah transaksi
yang non komersial, maka transaksi yang non komersial itu dianalogikan
diqiyaskan dengan transaksi-transaksi dengan akad-akad yang bersifat
komersial
Kenapa? Ada satu benang merah, ada satu kesamaan yaitu adanya gharar
dalam satu akad komersial ataupun non komersial, itu akan menimbulkan
sengketa, menimbulkan perselisihan pendapat. Yang ini tentu tidak diinginkan
dalam islam
fi
.
Namun ternyata, ketika anda mengetahui bahwa nominal utang yang akan anda
jamin itu ternyata nilainya berlipat-ganda dari yang anda prediksi, bisa jadi anda
menyesal, bisa jadi anda mengurungkan diri, tidak siap untuk menjamin utang
tersebut
Sehingga walaupun ini pada akad sosial, tapi potensi menimbulkan sengketa
تَنَازَعperselisihan, ikhtilaf dan itu tidak diinginkan dalam islam.
Namun sekali lagi seperti yang pernah disampaikan sebelumnya bahwa hadits di
atas itu hanya berlaku pada akad jual beli atau yang semakna. Kenapa? Karena
biasanya perselisihan sengketa itu terjadi pada akad komersial
Sedangkan pada sosial maka penjamin itu dia berniat untuk menolong, sehingga
bagi dia tidak ada masalah utangnya besar atau utangnya kecil selama dia
merasa mampu, apa yang perlu dipersoalkan? Apalagi sering kali ketika yang
menjamin mengatakan, "Berapapun nilainya, saya siap menjamin”,
Maka selama ini telah dicapai satu kesepakatan antara yang menjamin dengan
yang dijamin (penjaminnya dengan yang dijamin) sepakat dan terjadi kerelaan
maka hukum asal suatu kesepakatan, suatu akad itu adalah halal
Sedangkan pada sosial, akad sosial itu salah satu pihak berusaha menolong,
ingin memberikan uluran tangan dan dia tidak pernah merasa menyesal bahkan
sering kali ia tidak merasa ingin mendapatkan gantinya. Seperti wakaf, hibah,
manihah atau yang serupa
Dia tidak ingin mendapatkan imbalan, dia betul-betul ingin menolong orang yang
sedang dalam kesusahan
menjamin utang itu merasa siap secara psikis secara mental dan juga secara
nansial
Karenanya apa yang diutarakan oleh muallif di sini oleh penulis yaitu Imam Abu
Syuja itu berdasarkan madzhab yang diajarkan dan dianut oleh Imam Asy-Syafī'i
dan para pengikutnya.
"Dan Allāh telah memerintahkan kita untuk tolong menolong, bahu membahu
dalam kebajikan dan ketakwaan.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini kurang dan lebihnya
mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
"
▪ 🗓 _SENIN
| _30 Dzulhijjah 1442H
| _09 Agustus 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-95
📖 _Adh-Dhoman (Penjaminan Hutang) Bagian Kedelapan
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
Masih bersama kitab Matan Al-Ghayyah Al-Ikhtishar buah karya Syaikh Imam
Abu Syuja' rahimahullahu ta'ala. Dalam bab Adh-Dhoman (penjaminan utang)
beliau mengatakan
Sehingga dia khawatir kalau itu dibeli, suatu hari muncul pemilik yang sah,
sehingga akan digugat dan akhirnya dia akan kehilangan uang dan barangnya
akan dieksekusi oleh pemiliknya yang sah
fi
fi
.
Walaupun gugatan dari pembeli ini belum tentu terjadi, bahkan bisa jadi tidak
akan pernah terjadi karena memang barang yang dijual-belikan itu adalah betul-
betul sah milik penjual, tidak terjadi sengketa. Namun demi kemaslahatan umum
apalagi di zaman dahulu anda bisa bayangkan!
Di zaman dahulu status kepemilikan barang itu belum seperti zaman sekarang.
Kepemilikan barang zaman sekarang sering kali didukung oleh dokumen
(dokumen kepemilikan barang), serti kat tanah, surat kepemilikan kendaraan
(BPKB) misalnya Bukti Kepemilikan Kendaraan, atau IMB (izin mendirikan
bangunan), atau yang lainnya, serti kat atau yang lainnya
Tapi di zaman dahulu sering kali kepemilikan barang hanya dibuktikan dengan
hal yang sederhana, yaitu barang itu berada dimilikinya secara bertahun-tahun
atau dalam waktu yang lama, atau barang itu sekedar ada di tangannya. Namun
tidak ada bukti yang tertulis, atau barangkali maksimal mungkin hanya saksi
Maka adanya urgensi, adanya haajah, adanya kebutuhan yang bersifat umum
semacam ini kemudian menjadikan para ulama termasuk ulama yang menganut
madzhab Asy-Syafī'i, mereka memberikan satu pengecualian bahwa menjamin
sesuatu yang belum pasti itu hukum asalnya tidak boleh, kecuali dalam kasus
semacam ini
Apa alasannya? Karena ini adalah sebuah kondisi yang merata, kondisi yang
menimpa banyak orang, adanya haajah
fi
fi
.
Seperti halnya melihat wanita non mahram, itu hukum asalnya haram. Anda
melihat wanita non mahram itu hukum asalnya haram.
Namun karena ada haajah ada keperluan untuk pengenalan calon mempelai
(calon pengantin), calon istri, maka islam membolehkan calon pengantin laki-laki
untuk terlebih dahulu memandang melihat atau yang disebut dengan nadhar
untuk melihat calon istrinya. Agar tidak ada penyesalan di kemudian hari
Agar ketika dia menikah, betul-betul telah mengetahui wanita yang akan dinikahi,
walaupun semula hukum melihat wanita yang non mahram (bukan mahram) itu
haram, tapi karena adanya satu keperluan yang nyata maka keperluan yang
nyata ini kemudian menjadi alasan untuk dibolehkannya bagi calon suami untuk
melihat calon istrinya sebelum terjadi akad
Demikian pula seorang thabib (dokter) yang harus mengobati seorang pasien, di
mana pasien tersebut lawan jenis (wanita) atau sebaliknya pria. Karena tidak ada
tenaga medis yang lain yang sama jenis dengan pasien sedangkan pasien
membutuhkan bantuan
Seperti misalnya anda menyaksikan di pinggir jalan atau di jalan, satu kondisi
kecelakaan. Anda seorang tenaga medis, pasien ini membutuhkan pertolongan,
kalau tidak dia akan mengalami kesakitan, dia akan segera membutuhkan
pertolongan kalau tidak, dia akan celaka, dia akan sengsara, padahal dia lawan
jenis,
Maka dalam kondisi semacam ini tidak sepatutnya anda menunggu. Tunggu
sampai datang tenaga medis yang sama jenis, laki sama laki, perempuan sama
perempuan, tidak boleh.
Anda boleh, anda segera oleh menolong, walaupun dia lawan jenis kalau
memang kondisinya betul-betul menuntut untuk anda melakukan satu tindakan
Ada orang tenggelam anda dituntut memberikan pertolongan, kalau tidak orang
yang tenggelam ini akan segera mati karena kehabisan pernafasan,
membutuhkan bantuan pernafasan lewat mulut (misalnya) sedangkan dia lawan
jenis. Ini kondisi darurat
Kondisi darurat semacam ini, menjadikan suatu yang semula terlarang menjadi
halal, demikian pula kondisi yang walaupun itu tidak se-emergency, sedarurat,
segenting kondisi darurat namun itu kondisi yang nyata. Apalagi itu menimpa
banyak orang yang disebut dengan haajah, kemaslahatan umum
Adanya suatu kebutuhan (urgensi) untuk melakukan suatu tindakan yang semula
itu terlarang namun karena kebutuhan ini nyata (real) fakta dan menimpa banyak
orang, maka walaupun itu bukan kondisi emergency, namun semula yang
terlarang itu dibolehkan.
Dan telah disampaikan bahwa menjamin utang yang tidak jelas nominalnya ini
menurut madzhab Asy-Syafī'i dilarang, bukan karena ini sesuatu yang dilarang
pada dzatnya, tidak. Tetapi ini suatu tindakan yang berpotensi menimbulkan
sengketa
Sehingga larangan ini bersifat preventif, maka larangan yang bersifat preventif ini
dapat terkalahkan diabaikan bila ada satu haajah yang nyata. Betul-betul nyata
bukan rekayasa. Sehingga, karena ini satu kebutuhan yang nyata maka tidak
bijak bila kita tetap mempertahankan sikap preventif.
Karena itu wallahu ta'ala a'lam, pendapat yang lebih kuat adalah bolehnya
menjamin utang yang belum jelas nominalnya termasuk menjamin barang yang
diperjual-belikan. Kalau-kalau ada kekhawatiran, kalau-kalau barang yang
diperjual-belikan itu ternyata bukan milik penjual
Ini yang menjadikan fuqaha Asy-Syafī'iyyah, para ahli qih dalam madzhab
Syafī'i, kemudian mengecualikan kondisi ini, karena adanya haajah mereka
mengakui bahwa masyarakat membutuhkan adanya kepastian hukum,
kekhawatiran adanya penipuan adanya tindakan yang tidak terhormat dari
penjual yang menjual barang milik orang. Ini nyata
Namun sekali lagi, menjamin utang itu adalah akad sosial dan hukum asal
transaksi itu adalah halal selama tidak ada dalil yang dengan tegas melarang
penjaminan tersebut
Apalagi apa yang diutarakan oleh para fuqaha Asy-Syafī'iyyah adanya haajah
adanya tuntutan, adanya kebutuhan terhadap penjaminan utang, walaupun
nominal utangnya belum jelas, itu ternyata juga nyata.
Karenanya, wallahu ta'ala a'lam pendapat yang lebih kuat boleh menjamin utang
orang lain, walaupun nominalnya belum bisa dipastikan selama penjamin itu
merasa mampu, merasa bahwa dia betul-betul memiliki kesiapan secara
nansial untuk melunasi, atau memberikan jaminan tersebut bila ternyata suatu
saat betul-betul ia dituntut untuk menggantikan peran yang berutang
(membayarkan utang) pihak kreditur
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang dan lebihnya
mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
fi
🌐 *WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsya
▪ 🗓 _SELASA
| _01 Muharam 1443H
| _10 Agustus 2021M
🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Ari n Badri, Lc., M.A. *حفظه اهلل تعالى
📗 *Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 *Audio ke-96
📖 _Al Kafalah (Menjamin Badan Orang yang Memiliki Tanggungan Finansial)
~~~•~~~•~~~•~~~•~~
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
fi
_
fi
fi
.
fi
_
Beliau mengatakan:
Hanya urusan perdata yaitu karena ada gugatan atas sengketa harta dan
serupa, ini boleh karena dalam Al-Qur'an juga telah dinyatakan tentang adanya
الكفالة بالبدنini.
"Aku tidak akan mengutus atau mengirimkan Benjamin untuk kalian ajak berburu
kecuali kalau kalian telah memberikan jaminan.” [QS Yusuf: 66
Singkat cerita Yusuf alayhissallam yang kala itu telah menjadi menteri (perdana
menteri) di kerajaan Mesir. Ketika mengetahui Benjamin telah hadir di depannya,
hadir karena mereka ingin meminta sumbangan bahan makanan
Maka nabi Yusuf alayhissallam membuat satu rekayasa agar bisa menahan
saudaranya Benjamin agar tidak dibawa lagi bersama saudara-saudara
seayahnya. Khawatir kalau Benjamin nanti disakiti atau dikhianati sebagaimana
mereka sebelumnya telah mengkhianati Nabi Yusuf.
fi
.
Sehingga dalam kisah ini ada upaya, ada pembenaran praktik mengganti,
menjamin, orang yang telah berbuat kriminal. Karena di dalam Al-Qur'an tidak
ada pengingkaran terhadap praktik ini, sebagaimana Nabi juga tidak mengingkari
praktik ini. Sehingga dalam kasus ini, bisa dikatakan berlaku kaidah,
Syari'at umat sebelum kita itu juga berlaku sebagai syari'at kita selama di dalam
syari'at kita tidak ada dalil yang tegas menganulir atau melarang syari'at
tersebut
Kisah ini diceritakan dalam Al-Quran tanpa ada pengingkaran, dan juga tanpa
ada pengingkaran dari Nabi, sehingga ini cukup menjadi alasan untuk kemudian
mengatakan bahwa menjamin orang yang berbuat kriminal itu juga sah (boleh)
Penjamin itu tidak melakukan dosa, bukan pelaku kriminal namun memfatwakan
bolehnya ال ـ ـ ـ ـ ــكفال ـ ـ ـ ـ ــة ب ـ ـ ـ ـ ــال ـ ـ ـ ـ ــبدنmenjamin pelaku kriminal ini. Ini akan berkonsekuensi
seperti ini. Oleh karena itu para ulama Asy-Syafī'i mengatakan
Boleh dijamin kalau yang dijamin itu kaitannya dengan hukum perdata, maka
boleh
Tapi kalau yang dijamin itu adalah hukuman sik karena pelakunya melakukan
tindak kriminal yang mengharuskan dia misalnya dirajam, dibunuh, dipotong
tangannya, dicambuk, maka menurut fuqaha Asy-Syafī'iyyah tidak dibenarkan
"Dan setiap jiwa itu tidak berkewajiban menanggung dosa orang lain.
fi
fi
Namun ayat ini tentu bersifat umum, sedangkan telah ditemukan satu dalil yang
lebih spesi k, Nabi telah bersabda
الزعيم ضامن
Az-Za’im semakna dengan kafīl, orang yang menanggung yaitu yang disebut
kafīl, dhommin, dia bertanggung jawab.
Keumuman hadits ini berlaku pada penjaminan perdata dan juga berlaku pada
penjaminan pidana. Oleh karena itu Allah ta'ala a'lam pendapat yang lebih kuat
dalam hal ini، adalah pendapat yang menyatakan atau membolehkan adanya
penjaminan dalam kasus-kasus perdata dan juga pidana.
Itu sebagai konsekuensi dari aplikasi sabda Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam
pada haditsnya.
الزعيم ضامن
Semakna dengan ka l, orang yang menanggung orang lain, menjamin orang lain
itu berkewajiban dhāmin ()ض ـ ـ ــام ـ ـ ــن, berkewajiban menanggung apa yang dia jamin
tersebut. Baik itu berkaitan dengan pidana ataupun berkaitan perdata, berkaitan
dengan uang (tagihan uang) nansial ataupun berkaitan dengan hukuman sik.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan
serta lebihnya saya mohon maaf
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈
fi
fi
fi
.
fi
| MANDIRI Syaria
| 777 183 183 9
a/n *Yayasan Pilar Media Komunikasi