Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“SEJARAH PENGELOLAAN ZAKAT”

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah ‘Manajemen Pengelolaan ZIS’

Dosen Pengampu : ISMAIL, M.E.

Disusun Oleh:

Kelompok : Lima (V)

Aggota : M Nurul Mubin Awaluddin

Ilmiyati

Nova Susila

Widia Ningsih

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH (IAIM) BIMA
TAHUN AJARAN 2021/2022
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................ i

DAFTAR ISI ................................ ii

KATA PENGANTAR ............................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................ 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengelolaan Zakat Pada Masa Rasullulah SAW .............................2
B. Pengelolaan Zakat Pada Masa Khulafaur Rasyidin
1. Masa Abu Bakar Ash-Shidiq

...........................
2. Masa Umar Bin Khatab .............................. 4
3. Masa Usman Bin Affan ............................... 5
4. Ali Ibn Abi Talib

...........................
C. Pengelolaan Zakat Diindonesia Pada Masa Kontemporer ............................. 6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................... 11

DAFTAR PUSTAKA
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ‘Sejarah
Pengelolaan Zakat’ ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dosen pada mata kuliah Manajemen Pengelolaan ZIS. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang bagaimana sejarah pengelolaan zakat itu
sendiri.

Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen, selaku dosen bidang studi


Manajemen Pengelolaan ZIS yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Kota Bima, 18 September 2021

Kelompok 5
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Yusuf Qardhawi (Qardhawi, 1996: 35), zakat dalam istilah fiqih
berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah SWT diserahkan kepada
orang-orang yang berhak. Hukum positif di Indonesia yang mengatur mengenai
zakat, yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat,
mengartikan zakat sebagai harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau
badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan
syariat Islam.
Sejarah pengelolaan zakat di zaman Rasulullah dan para sahabat Terdapat
perbedaan di kalangan para sejarah islam tentang waktu pengsyari’atan zakat. Ada
yang mengatakan pada tahun ke-dua hijrah yang berarti satu tahun sebelum
pengsyari’atan puasa tetapi ada juga yang berpendapat bahwa zakat disyari’atkan
pada tahum ke-tiga hijrah yakni tahun setelah pengsyari’atan yang disyari’atkan
satu tahun setelah hijrah. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut yang jelas Nabi
Muhammmad SAW menerima perintah zakat setelah beliau hijrah ke Madinah.
Sedangkan sejarah zakat di Indonesia itu sendiri menurut Mashudi (Mashudi,
t.t: 2), pengelolaan zakat dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok dan
mayoritas ulama berpendapat, lebih baik pengelolaan zakat di Indonesia dilakukan
dan diatur oleh pemerintah. Perkembangan pengelolaan zakat di Indonesia, sangat
dipengaruhi oleh pemerintah pada masing-masing periode.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah pengelolaan zakat pada zaman Rasullulah SAW ?
2. Bagaimana sejarah pengelolaan zakat pada zaman Sahabat (Khulafaur
Rasyidin) ?
3. Bagaimana sejarah pengelolaan zakat diindonesia pada masa Kontemporer
(Masa sekarang) ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengelolaan Zakat Pada Masa Rasullulah SAW


Nabi Muhammad SAW diutus Allah ke dunia ini dengan tujuan antara lain
memperbaiki akhlaq manusia yang ketika itu sudah mencapai ambang batas
kerusakan yang sangat membahayakan bagi masyarakat. Kerusakan tersebut
terutama disebabkan oleh sikap prilaku golongan penguasa dan pemilik modal yang
umumnya bersikap zakim dan sewenang-wenang. Orang kaya mengekploitasi
golongan lemah dengan berbagai cara, seperti sistem riba, berbagai bentuk
penipuan, dan kejahatan ekonomi lainya.1
Pengsyari’atan zakat tampak seiring dengan upaya pembinaan tatanan sosial
yang baru dibangun oleh nabi Muhammad SAW setelah beliau berada di Madinah.
Sedangkan selama berada di Mekkah bangunan keislaman hanya terfokus pada
bidang aqidah, qashas dan akhlaq. Baru pada periode Madinah, Nabi melakukan
pembangunan dalam segala bidang, tidak saja bidang aqidah dan akhlaq, akan tetapi
juga memperlihatkan bangunan mua’amalat dengan konteksnya yang sangat luas
dan menyeluruh. Termasuk bangunan ekonomi sebagai salah satu tulang punggug
bagi pembangunan ummat Islam bahkan ummat manusia secara keseluruhan.2
Nabi Muhammad SAW tercatat membentuk baitul maal yang melakukan
pengumpulan dan pendistribusian zakat dengan amil sebagai pegawainya dengan
lembaga ini, pengumpulan zakat dilakukan secara wajib bagi orang yang sudah
mencapai batas minimal.3
Pengelolaan zakat di zaman Rasulullah SAW, banyak ayat Al-Qur’an yang
menjelaskan bahwa allah SWT secara tegas memberi perintah kepada Nabi
Muhammad SAW untuk mengambil zakat. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa
zakat harus diambil oleh para petugas untuk melakukan hal tersebut. Ayat-ayat
yang turun di Madinah menegaskan zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang
tegas dan instruksi pelaksanaan yang jelas. Juga terdapat berbagai bentuk
pertanyaan dan ungkapan yang menegaskan wajibnya zakat.4
Hal ini yang diterapkan periode awal Islam, dimana pengumpulan dan
pengelolaan zakat dilakuakan secara terpusat dan ditangani sepenuhnya oleh

1
Abdurrrachman Qadir, Zakat (Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial),(Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2001), Hal.50
2
Kementrian Agama Republik, Modul Penyuluhan Zakat., Hal.19
3
Ibid., Hal.19
4
Ibid., Hal.19-20
Negara lewat baitul maal. Pengumpulan langsung dipimpin oleh Muhammad
seperti halnya hadits Berikut (Yang artinya) :

“Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Ibrahim Ad


Dimasyqi dan Zubair bin Bakkar keduanya berkata; telah menceritakan
kepada kami Ibnu Nafi' berkata, telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Shalih At Tammar dari Az Zuhri dari Sa'id bin Al
Musayyab dari 'Attab bin Usaid berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam mengutus seseorang untuk menghitung takaran buah atau
anggur yang ada di pohon milik orang-orang.”5
Nabi Muhammad sebagai pemimpin Negara menunjuk beberapa sahabatnya
untuk mengumpulkan zakat dari masyarakat muslim yang telah teridentifikasi layak
memberikan zakat serta menentukan bagian zakat yang terkumpul sebagj,ai
pendapatan dari ‘amil. Ulama berpendapat bahwa adanya porsi zakat yang
diperuntukan bagi ‘amil merupakan suatu indikasi bahwa zakat sewajarnya dikelola
oleh lembaga khusus zakat atau yang disebut dengan ‘amil bukan oleh individu
muzakki sendiri. Rasullah SAW pernah mempekerjakan seorang pemuda suku
Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah, untuk mengurus zakat bani Sulaim. Pernah pula
mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat, menurut Yusuf
Al-Qardawi, Nabi Muhammad SAW telah mengutus lebih dari 25 amil ke seluruh
plosok Negara dengan memberi peritah dengan pengumpulan sekaligus
mendistribusikan zakat sampai habis sebelum kembali ke Madinah.6
Pembukuan zakat juga dipisahkan dari pendapat Negara lainya, pencatatan
zakat juga dibedakan atara pemasukan dan pengeluaran, di mana keduanya harus
terperinci dengan jelas, meskipun tanggal penerimaan dan pengeluaran harus sama.
Selain itu, Nabi SAW berpesan pada para ‘amil agar berlaku adil dan ramah,
sehingga tidak mengambil lebih dari pada yang sudah ditetapkan dan tidak berlaku
kasar baik pada muzakki maupun mustahiq. Secara garis besar dapat dikatakan
bahwa pada zaman Nabi SAW pengelolaan zakat bersifat terpusat dan ditangani
secara terpusat, namun demikian pengelolaan zakat pada saat itu secara institusional
dianggap sederhana dan masih terbatas dengan sifatnya yang teralokasi dan
sementara, dimana jumlah zakat terdistribusi akan tergantung pada jumlah zakat
yang terkumpul pada daerah atau kawasan tertentu, dan uang zakat yang terkumpul
langsung didistribusikan kepada para mustahiq tanpa sisa.7

5
Abu Abdullah Muhammad ibn Yazid Abdullah ibn Majah Al-Quzwaini, Sunan Abi Majah,( Maktabah
Al-Ma’arif Linnatsir Wa At-Tauzi’ Lishohibiha Ibn Sa’id ‘Abdur Rahman Ar-Rasyid, t.t), Hal.316-317
6
Ibid., Hal. 20
7
Ibid.,Hal.21
B. Pengelolaan Zakat Pada Masa Khulafaur Rasyidin
1. Masa Abu Bakar Ash-Shidiq
Setelah Rasullah SAW wafat, banyak kabilah-kabilah yang menolak
untuk membayar zakat dengan alasan merupakan perjanjian antara mereka
dan Nabi SAW, sehingga setelah beliau wafat maka kewajiban terebut
menjadi gugur. Pemahaman yang salah inihanya terbatas dikalangan suku-
suku Arab Baduwi. Suku-suku Arab Baduwi ini menganggap bahwa
pembayaran zakat sebagai hukuman atau beban yang merugikan.8 Abu
Bakar yang menjadi khalifah pertama penerus Nabi SAW memutuskan untuk
memerangi mereka yang menolak membayar zakat dan menganggap mereka
sebagai murtad. Perang ini tercatat sebagai perang pertama di dunia yang
dilakukan sebuah negara demi membela hak kaum miskin atas orang kaya
dan perang ini dinamakan Harbu Riddah.9
2. Masa Umar ibn Khatab
Ia menetapakan suatu hukum berdasarkan realita sosial. diantara
ketetapan Umar RA adalah mengahapus zakat bagi golongan mu’allaf ,
enggan memungut sebagian ‘usyr (zakat tanaman) karena merupakan ibadah
pasti, mewajibkan kharaj (sewa tanah), dan menentapkan zakat kuda yang
pada zaman Nabi tak pernah terjadi. Tindakan Umar RA menghapus
kewajiban kepada mu’allaf bukan berarti mengubah hukum agama dsn
mengenyampingkan ayat-ayat Al-Qur’an, Ia hanya mengubah fatwa sesuai
dengan perubahan zaman yang jelas berbeda dari zaman Rasulullah SAW.10
Setelah wafanya Abu Bakar dan dengan perluasan wilayah Negara
Islam yang mencakup dua kerajaan Romawi (Syria, Palestina, dan Mesir) dan
seluruh kerajaan Persia termasuk Irak, ditambah dengan melimpahnya
kekayaan Negara pada masa khilafah, telah memicu adanya perubahan sistem
pengelolaan zakat. Kedua faktor tersebut mengharuskan adanya
intitusionalisasi yang lebih tinggi dari pengelolaan zakat. Perubahan ini
tercermin secara jelas pada masa khalifah Umar bin Khattab, Umar
mencontoh sistem administrasi yang diterapakan di Persia, dimana sistem

8
Faisal, Sejarah Pengelolaan Zakat Di Dunia Muslim dan Indonesia (Pendekatan Teori
Investigasi-Sejarah Charles Peirce dan Defisit Kebenaran Lieven Boeve), Lampung; IAIN Raden
Intan) , Hal.248
9
Kementrian Agama Republik, Modul Penyuluhan Zakat., Hal. 21

10
Faisal, Sejarah Pengelolaan, Hal.248-249
administrasi pemerintahan dibagi menjadi delapan provinsi, yaitu Mekkah,
Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Umar kemudian
mendirikan apa yang disebut Al-Dawawin yang sama fungsinya dengan
baitul maal pada zaman Nabi Muhammmad SAW dimana ia merupakan
sebuah badan audit Negara yang bertanggung jawab atas pembukuan
pemasukan dan pengeluaran Negara. Al-Dawawin juga diperkirakan mencatat
zakat yang didistribusikan kepada para mustahiq sesuai dengan
kebutuhan masing-masing. Pengembangan yang dilakukan Umar terhadap
baitul maal merupakan kontribusi Umar kepada dunia Islam. Pada masa
Umar pula sistem pemungutan zakat secara langsung oleh negara, yang
dimulai dengan pemerintahan Abdullah bin Mas’ud di Kuffah dimana porsi
zakat dipotong dari pembayaran Negara. Meskipun hal ini pernah diterapkan
Khalifah Abu Bakar, namun pada masa Umar proses pengurangan tersebut
menjadi lebih tersistematis.11
3. Masa Utsman ibn Affan
Meskipun kekayaan Negara Islam mulai melimpah dan umlah zakat
juga lebih dari mencukupi kebutuhan para mustahiq, namun administrasi zakat
justru mengalami kemunduran. Hal ini justru dikarenakan kelimpahan
tersebut, dimana Utsman memberi kebebasan kepada ‘amil dan Individu untuk
mendistribusikan zakat kepada siapun yang mereka nilai layak menerimanya.
Zakat tersebut adalah yang tidak kentara seperti zakat perdagangan, zakat
emas, zakat perak, dan perhiasan lainya. Keputusan Utsman ini juga dilatar
belakangi oleh keinginan meminimalkan biaya pengelolaan zakat dimana
beliau menilai bahwa biaya yang dibutuhkan untuk mengumpulkan dana zakat
tersebut akan tinggi dikarenakan sifatnya yang tidak mudah diketahui oleh
aparat Negara.12
4. Masa Ali Ibn Abi Thalib
Situasi politik pada masa kepimimpinan Khalifah Ali ibn Abi Thalib
berjalan tidak stabil, penuh peperangan dan pertumpahan darah. Akan
tetapi Ali ibn Abi Thalib tetap mencurahkan perhatianya yang sangat serius
dalam mengelola zakat. Ia melihat bahwa zakat adalah urat nadi kehidupan
bagi pemerintahan dan agama. Ketika Ali ibn Abi Thalib bertemu dengan
orang-orang fakir miskin dan para pengemis buta yang beragama non muslim
(Nasrani), ia menyatakan biaya hidup mereka harus ditanggung oleh baitul
maal khalifah Ali ibn Abi Thalib juga ikut terjun dalam mendistribusikan
11
Kementrian Agama Republik, Modul Penyuluhan Zakat.,Hal.22
12
Ibid., Hal.23
zakat kepada para mustahiq (delapan golongan yang berhak menerima zakat).
Harta kekayaan yang wajib zakat pada waktu itu berupa dirham, dinar, emas
dan jenis kekayaan apapun tetap dikenai kewajiban zakat.13
Oleh karena itu mekanisme yang diterapkan oleh khalifah Utsman ibn
Affan tadi ternyata memicu beberapa permasalahan mengenai transparansi
distribusi zakat, dimana para ‘amil justru membagikan zakat tersebut kepada
keluarga dan orang-orang terdekat mereka. Seiring dengan penurunan
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan berbagai konflik politik
lainya yang memecahkan kesatuan Negara Islam dengan wafatnya utsman dan
naiknya Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya, maka semakin marak pula
praktek pengelolaan zakat secara individual. Hal ini ditandai dengan fatwa
Sa’id bin Jubair dimana pada saat beliau berceramah di masjid ada yang
bertanya pada beliau, apakah pebanyaran zakat sebaiknya diberikan kepada
pemerintah ? Sai’id bin Jubair mengiyakan pertanyaan tersebut. Namun pada
saat pertanyaan tersebut ditanyakan secara personal kepada beliau, ia justru
menganjurkan penanya untuk membayar zakat secara langsung kepada
ashnafnya. Jawaban yang bertentangan ini mnenunjukan bahwa kondisi
pemerintah pada sat itu tidak stabil atau tidak dapat dipercaya, sehingga
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah pun mulai menurun.14

C. Pengelolaan Zakat Diindonesia Pada Masa Kontemporer

1. Pengelolaan Zakat Berdasarkan Undang-Undang No. 38 Tahun


1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Pada era reformasi tahun 1998, setelah menyusul runtuhnya
kepemimpinan nasional Orde Baru, terjadi kemajuan signifikan di
bidang politik dan sosial kemasyarakatan. Setahun setelah reformasi

13
Ibid., Hal.24

14
Kementrian Agama Republik, Modul Penyuluhan Zakat…, Hal.23-24
tersebut, yakni 1999 terbitlah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999

tentang Pengelolaan Zakat. Di era reformasi, pemerintah berupaya untuk

menyempurnakan sistem pengelolaan zakat di tanah air agar potensi zakat

dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi bangsa yang

terpuruk akibat resesi ekonomi dunia dan krisis multi dimensi yang melanda

Indonesia .

Untuk itulah pada tahun 1999, pemerintah bersama Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 38

Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat, yang kemudian diikuti dengan

dikeleluarkannya Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 dan Keputusan

Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D- 291 tahun 2000

tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 ini,

pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat (BAZ) yang dibentuk

oleh pemerintah yang terdiri dari masyarakat dan unsur pemerintah untuk

tingkat kewilayahan dan lembaga amil zakat (LAZ) yang dibentuk dan

dikelola oleh masyarakat yang terhimpun dalam berbagai ORMAS

(organisasi masyarakat) Islam, yayasan dan institusi lainnya. Menurut

Fakhruddin (2013: 262), undang-undang inilah yang menjadi landasan legal

formal pelaksanaan zakat di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, pemerintah

(mulai dari pusat sampai daerah) wajib memfasilitasi terbentuknya lembaga

pengelola zakat, yakni Badan Amil Zakat


Nasional (BAZNAS) untuk tingkat pusat, dan Badan Amil Zakat Daerah

(BAZDA) untuk tingkat daerah.

Secara garis besar undang-undang zakat di atas memuat aturan

tentang pengelolaan dana zakat yang terorganisir dengan baik, transparan

dan profesional, serta dilakukan oleh amil resmi yang ditunjuk oleh

pemerintah. Secara periodik akan dikeluarkan jurnal, sedangkan

pengawasannya akan dilakukan oleh ulama, tokoh masyarakat dan

pemerintah. Apabila terjadi kelalaian dan kesalahan dalam pencatatan harta

zakat, bisa dikenakan sanksi bahkan dinilai sebagai tindakan pidana. Dengan

demikian, pengelolaan harta zakat dimungkinkan terhindar dari bentuk-

bentuk penyelewengan yang tidak bertanggungjawab.

Di dalam undang-undang zakat tersebut juga disebutkan jenis harta

yang dikenai zakat yang belum pernah ada pada zaman Rasulullah saw.,

yakni hasil pendapatan dan jasa. Jenis harta ini merupakan harta yang wajib

dizakati sebagai sebuah penghasilan yang baru dikenal di zaman modern.

Zakat untuk hasil pendapat ini juga dikenal dengan sebutan zakat profesi.

Dengan kata lain, undang-undang tersebut merupakan sebuah terobosan

baru. Hadirnya undang-undang di atas memberikan spirit baru. Pengelolaan

zakat sudah harus ditangani oleh Negara seperti yang pernah dipraktekkan

pada masa awal Islam. Menurut ajaran Islam, zakat sebaiknya dipungut oleh

negara, dan pemerintah bertindak sebagai wakil dari golongan fakir miskin

untuk memperoleh hak mereka yang ada pada harta orang-orang kaya.

Hal ini didasarkan pada sabda Nabi


saw. yang menyatakan bahwa penguasalah yang berwenang mengelola

zakat. Baik secara langsung maupun melalui perwakilannya, pemerintah

bertugas mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat (Fakhruddin,

2013: 263-264).

2. Pengelolaan Zakat Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun

2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang


Pengelolaan Zakat menyatakan pengelolaan zakat berasaskan iman dan
takwa, keterbukaan dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Sementara Pasal 2 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat sebagai pengganti Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, mengartikan
pengelolaan zakat berasaskan:
a. Syariat Islam;

b. Amanah;

c. Kemanfaatan;

d. Keadilan;

e. Kepastian Hukum;

f. Terintegrasi;

g. Akuntabilitas.

Untuk tujuan dari pengelolaan zakat menurut Pasal 3 Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah

meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat

dan meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan


masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Pasal tersebut menggantikan

ketentuan di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang

Pengelolaan Zakat di mana tujuan pengelolaan zakat adalah meningkatnya

pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan

agama, meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya

mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial serta

meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.

Berdasarkan Pasal 1 Angka 7, 8, 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2011 organisasi pengelolaan zakat dapat dilakukan oleh Badan Amil Zakat

Nasional (BAZNAS), Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Unit Pengelola Zakat

(UPZ). BAZNAS, LAZ dan UPZ mempunyai tugas pokok mengumpulkan,

mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan

agama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nabi Muhammad SAW diutus Allah ke dunia ini dengan tujuan antara lain
memperbaiki akhlaq manusia yang ketika itu sudah mencapai ambang batas kerusakan
yang sangat membahayakan bagi masyarakat. Pengsyari’atan zakat tampak seiring
dengan upaya pembinaan tatanan sosial yang baru dibangun oleh nabi Muhammad SAW
setelah beliau berada di Madinah. Nabi Muhammad SAW tercatat membentuk baitul maal
yang melakukan pengumpulan dan pendistribusian zakat dengan amil sebagai
pegawainya dengan lembaga ini, pengumpulan zakat dilakukan secara wajib bagi orang
yang sudah mencapai batas minimal.
Pada era reformasi tahun 1998, setelah menyusul runtuhnya kepemimpinan
nasional Orde Baru, terjadi kemajuan signifikan di bidang politik dan sosial
kemasyarakatan. Di era reformasi, pemerintah berupaya untuk menyempurnakan sistem
pengelolaan zakat di tanah air agar potensi zakat dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki
kondisi sosial ekonomi bangsa yang terpuruk akibat resesi ekonomi dunia dan krisis multi
dimensi yang melanda Indonesia . Berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
ini, pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat (BAZ) yang dibentuk oleh
pemerintah yang terdiri dari masyarakat dan unsur pemerintah untuk tingkat kewilayahan
dan lembaga amil zakat (LAZ) yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat yang
terhimpun dalam berbagai ORMAS (organisasi masyarakat) Islam, yayasan dan institusi
lainnya. Menurut Fakhruddin (2013: 262), undang-undang inilah yang menjadi landasan
legal formal pelaksanaan zakat di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrrachman Qadir, Zakat (Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial),(Jakarta: PT.Raja


Grafindo Persada, 2001).

Kementrian Agama Republik, Modul Penyuluhan Zakat.

Abu Abdullah Muhammad ibn Yazid Abdullah ibn Majah Al-Quzwaini, Sunan Abi Majah,
(Maktabah Al-Ma’arif Linnatsir Wa At-Tauzi’ Lishohibiha Ibn Sa’id ‘Abdur Rahman
Ar-Rasyid, t.t).

Faisal, Sejarah Pengelolaan Zakat Di Dunia Muslim dan Indonesia (Pendekatan Teori
Investigasi-Sejarah Charles Peirce dan Defisit Kebenaran Lieven Boeve),
Lampung; IAIN Raden Intan) .

Anda mungkin juga menyukai