Anda di halaman 1dari 22

Asuhan Keperawatan Penyakit Asma

Mata Kuliah : Keperawatan Anak

Di Susun Oleh
Kelompok 1 :

1. Adrias S. Toparoa / Nim. PO0220219041


2. Yunus J. E. Randubada / Nim. PO0220219038

Poltekkes Kemenkes Palu

Prodi DIII Keperawatan Poso

T.A. 2021
Kata Pengantar

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan hidayah-Nya, makalah ini
dapat diselesaikan sehingga dapat memenuhi tugas yang telah di tugasnkan kepada kelompok
kami.

Dengan adanya kerja sama yang baik, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan judul Asuhan Keperawatan Penyakit Asma. Di dalam penyusunan makalah ini,  kami
mengharapkan kritik serta saran  dari para pembaca untuk kemajuan pada pembuatan makalah
berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua, Amin.

Poso, 19 Maret 2021

Penyusun
A. Tinjauan Teoritis Tentang Penyakit Asma
1. Definisi
Asma biasanya dikenal sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan adanya
Whezzing (mengi) intermitan yang timbul sebagai respon akibat paparan terhadap suatu
zat iritan atau alergi. Secara fisiologis asma merupakan kaskade kompleks kondisi dan
interaksi yang dapat mengakibatkan obstruksi aliran udara akut,meningkatkan produksi
mucus,hiperreaktivitas bronkus dan inflamasi jalan napas.
Asma adalah penyakit kronis yang paling sering pada anak dan, jika tidak di
terapkan akan memberikan efek buruk secara langsung pada kualitas hidup seorang
anak. meskipun sebagai besar anak dengan asma menunjukan gejala yang khas
berupa wheezing, namun banyak yang tidak menunjukan gejala tersebut. Batuk
presisten merupakan gejala asma yang banyak di jumpai namun sering di abaikan .
Seorang anak yang batuk saat atau setelah bermain, berlari atau menangis mungkin
menderita asma.
Asma merupakan masalah kesehatan global yang menyerang semua umur dan
sering terjadi pada anak-anak (Tiara Imaniar, Susi Talib R.T 2019).
Asma adalah gangguan pada bronkus dan trakhea yang memiliki reaksi
berlebihan terhadap stimulus tertentu dan bersifat reversible (Anisa 2019).
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversible dimana trakea
dan brokhi berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu (Maiti and
Bidinger n.d.).
Asma merupakan suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami penyempitan
karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang menyebabkan peradangan
dengan manifestasi mengi kambuhan, sesak nafas, dan batuk terutama pada malam
hari dan pagi hari. Asma merupakan penyakit yang umumnya mempengaruhi orang-
orang dari semua usia, dan dapat mempengaruhi psikologis serta sosial yang termasuk
domain dari kualitas hidup. Penyakit ini pada umumnya dimulai sejak masa anak-anak
(Wong, 2009).
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan
napas yang luas dan derajatnya dapat berubah- ubah, baik secara spontan maupun
sebagai hasil pengobatan (Muttaqin, 2008).
2. Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari Asma Bronkhial belum diketahui. Suatu hal yang
yang menonjol pada penderita Asma adalah fenomena hiperaktivitas bronkus. Bronkus
penderita asma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun non imunologi.
Adapun rangsangan atau faktor pencetus yang sering menimbulkan Asma adalah:
Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh alergen atau
alergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu- bulu binatang.
Faktor intrinsik(non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen, seperti
common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan dapat
mencetuskan serangan.
Asma campuran : Asma campuran merupakan gabungan dari dua jenis asma
yang telah disebutkan sebelumnya dan asma ini paling umum terjadi.
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan Asma Bronkhial yaitu :
a. Faktor predisposisi
1) Genetik
Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita
penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit Asma Bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus.
Selain itu hipersensitivitas saluran pernapasannya juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
1) Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a) Inhalan : yang masuk melalui saluran pernapasan Contoh : debu, bulu
binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
b) Ingestan : yang masuk melalui mulut Contoh : makanan dan obat-
obatan
c) Kontaktan : yang masuk melalui kontak dengan kulit Contoh :
perhiasan, logam dan jam tangan
2) Perubahan cuaca Cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi Asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan Asma. Kadang- kadang serangan berhubungan
dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau.
3) Stres
Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan Asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan Asma yang sudah ada.
Disamping gejala Asma yang timbul harus segera diobati penderita Asma
yang mengalami stres atau gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi
maka gejala belum bisa diobati.
4) Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
Asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang
bekerja di laboratorium hewan, industry tekstil, pabrik asbes, polisi lalu
lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
5) Olah raga atau aktifitas jasmani
Sebagian besar penderita Asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling
mudah menimbulkan serangan Asma. Serangan asma karena aktifitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
3. Tanda dan Gejala Klinis
Tanda dan gejala yang muncul yaitu hipoventilasi, dyspnea, wheezing, pusing-pusing,
sakit kepala, nausea, peningkatan nafas pendek, kecemasan, diaphoresis, dan
kelelahan. Hiperventilasi adalah salah satu gejala awal dari asma. Kemudian sesak
nafas parah dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apeks dan hilus). Gejala
utama yang sering muncul adalah dipsnea, batuk dan mengi. Mengi sering dianggap
sebagai salah satu gejala yang harus ada bila serangan asma muncul.
4. Patofisiologi
Suatu serangan Asma merupakan akibat obstruksi jalan napas difus reversible.
Obstruksi disebabkan oleh timbulnya tiga reaksi utama yaitu kontraksi otot-otot polos
baik saluran napas, pembengkakan membran yang melapisi bronki, pengisian bronki
dengan mukus yang kental.
Selain itu, otot-otot bronki dan kelenjar mukusa membesar, sputum yang
kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap
didalam jaringan paru.Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel
mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen
dengan antibody, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator)
seperti histamine, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang
bereaksi lambat (SRS-A).
Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan
kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran
mukosa, dan pembentukan mucus yang sangat banyak. Selain itu, reseptor α- dan β-
adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α-
adrenergik dirangsang, terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi ketika reseptor
β- adrenergik yang dirangsang.
Keseimbangan antara reseptor α- dan βadrenergik dikendalikan terutama oleh
siklik adenosine monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor α- mengakibatkan penurunan
cAMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-
sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor β- mengakibatkan peningkatan tingkat
cAMP yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabakan
bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan β- adrenergik terjadi
pada individu dengan Asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan
pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos (Smeltzer & Bare, 2002).
Pathways

Ekstinsik (inhaled alergi) Intrinsik (infeksi, psikososial, stress)

Bronchial mukosa menjadi sensitif oleh Ig E Penurunan stimuli reseptor terhadap iritan
pada trakheobronkhial

Peningkatan mast cell pada trakheobronkhial Hiperaktif non spesifik stimuli penggerak
dari cell mas

Stimulasi reflek reseptor Pelepasan histamin terjadi


syarat parasimpatis pada stimulasi pada bronkial Perangsang reflek reseptor tracheobronkhial
mukosa bronkhial smooth sehingga terjadi
kontraksi bronkus
Stimuli bronchial
smooth dan kontraksi
Peningkatan permiabilitas vaskuler akibat kebocoran otot bronkhiolus
protein dan cairan dalam jaringan

Perubahan jaringan, peningkatan Ig E dalam serum

Respon dinding bronkus

Bronkospasme Hipersekresi mukosa


Udema mukosa

wheezing
Bronkus menyempit Penumpukan sekret kental

Ketidakefektifan pola napas


Ventilasi terganggu Sekret tidak keluar

Bernapas melalui mulut Batuk tidak efektif


Hipoksemia
Gangguan pertukaran gas
Keringnya mukosa Bersihan jalan napas
Gelisah
tidak efektif
Resiko infeksi

Gangguan pola tidur Cemas


Intoleransi aktivitas
5. Pemeriksaan Diagnostik Keperawatan
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang merupakan dasar
dari diagnosis asma. Diagnosis asma sering ditegakkan berdasarkan gejala berupa
sesak episodik, mengi, batuk, dan dada terasa sakit atau sempit. pengukuran fungsi
paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas. Faktor-
faktor pencetus serangan asma perlu diketahui untuk mencegah terjadinya serangan
asma. Pengukuran respon dapat membantu menegakkan diagnosis pada penderita
dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal. Asma diklasifikasikan menurut
derajat berat, akan tetapi hal tersebut dapat berubah dengan waktu. Dianjurkan
klasifikasi asma menurut ambang kontrol untuk membantu penanganan klinis.
a. Anamnesis
Pada anamnesis akan ditemukan keluhan batuk, sesak, mengi, atau rasa berat
di dada. Namun terkadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja yang pada
umumnya timbul di malam hari atau saat melakukan kegiatan jasmani. Adanya
riwayat penyakit alergi lain seperti rinitis alergi, dermatitis atopik dapat membantu
diagnosis asma. Gejala asma sering muncul pada malam hari atau pada musim
tertentu, tetapi dapat juga muncul sewaktu-waktu.
Pada asma serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat, hal tersebut yang
membedakan asma dengan penyakit paru lain. Akan tetapi membiarkan pasien
asma dalam serangan tanpa obat merupakan hal yang membahayakan nyawa
pasien. Gejala asma pada masing-masing individu dapat bervariasi, misalnya gejala
pada malam hari lebih sering muncul dibandingkan pada siang hari.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien asma, tanda yang ditemukan tergantung dari
derajat obstruksi saluran napas. Tanda yang dapat dijumpai pada pasien asma
adalah ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan cepat, dan
sianosis. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan penunjang karena
sering dijumpai pasien bukan asma yang mempunyai mengi.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan spirometri
Digunakan untuk mengukur faal paru, menilai beratnya obstruksi, dan
efek pengobatan. Pada asma kegunaan spirometri disamakan dengan
tensimeter pada penatalaksanaan hipertensi atau glukometer pada diabetes
melitus. Pemeriksaan spirometri penting dalam menegakkan diagnosis karena
banyak pasien asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan spirometri menunjukkan
obstruksi. Hal tersebut mengakibatkan pasien mudah mengalami serangan
asma dan bila berlangsung lama dapat berlanjut menjadi penyakit paru obstruksi
kronik
2) Uji provokasi bronkus
Apabila pemeriksaan spirometri normal, dapat dilakukan uji provokasi
bronkus untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus. Beberapa cara
untuk melakukan uji provokasi bronkus meliputi uji provokasi dengan histamin,
metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik, dan dengan
aqua destilata. Penurunan VEP1 ≥ 20% dianggap bermakna. Uji dengan
kegiatan jasmani dilakukan dengan menyuruh pasien berlari cepat selama 6
menit sehingga mencapai denyut jantung 80% - 90% dari maksimum. Dianggap
bermakna apabila penurunan APE (Arus Puncak Ekspirasi) ≥ 10%
3) Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil sangat dominan pada asma, sedangkan pada
bronchitis kronis sputum yang dominan adalah neutrofil.
4) Pemeriksaan eosinofil total
Pada pasien asma jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat.
Hal tersebut dapat membantu untuk membedakan asma dengan bronkitis kronis.
Pemeriksaan eosinofil total juga dapat digunakan sebagai dasar untuk
menentukan dosis kortikosteroid yang dibutuhkan oleh pasien asma.
5) Uji kulit
Tujuan dari uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antbodi IgE
spesifik dalam tubuh. Uji alergen positif tidak selalu merupakan penyebab asma,
jadi uji tersebut hanya sebagai penyokong anamnesis
6) Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum
Pemeriksaan IgE total hanya berguna untuk menyokong adanya atopi.
Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan apabila uji kulit tidak dapat
dilakukan atau hasilnya kurang meyakinkan.
7) Foto dada
Tujuan dari foto dada adalah untuk menyingkirkan penyebab lain
obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di
paru.
8) Analisis gas darah
Analisis gas darah hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal
serangan terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg), lalu pada
stadium yang lebih berat PaCO2 mendekati normal hingga normo-kapnia.
Kemudian pada asma yang sangat berat terjadi hiperkapnia (PaCO2 ≥ 45
mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik.
6. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
Menurut Long(1996) pengobatan Asma diarahkan terhadap gejala- gejala yang
timbul saat serangan, mengendalikan penyebab spesifik dan perawatan
pemeliharaan keehatan optimal yang umum. Tujuan utama dari berbagai macam
pengobatan adalah pasien segera mengalami relaksasi bronkus. Terapi awal, yaitu:
1) Memberikan oksigen pernasal
2) Antagonis beta 2 adrenergik (salbutamol mg atau fenetoral 2,5 mg atau
terbutalin 10 mg). Inhalasi nebulisasi dan pemberian yang dapat diulang setiap
20 menit sampai 1 jam. Pemberian antagonis beta 2 adrenergik dapat secara
subcutan atau intravena dengan dosis salbutamol 0,25 mg dalam larutan
dekstrose 5%
3) Aminophilin intravena 5-6 mg per kg, jika sudah menggunakan obat ini dalam
12 jam sebelumnya maka cukup diberikan setengah dosis.
4) Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg intravena jika tidak ada respon segera
atau dalam serangan sangat berat
5) Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk didalamnya
golongan beta adrenergik dan anti kolinergik.
b. Pengobatan secara sederhana atau non farmakologis
Menurut doenges (2000) penatalaksanaan nonfarmakologis asma yaitu:
1) Fisioterapi dada dan batuk efektif membantu pasien untuk mengeluarkan
sputum dengan baik
2) Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
3) Berikan posisi tidur yang nyaman (semi fowler)
4) Anjurkan untuk minum air hangat 1500-2000 ml per hari
5) Usaha agar pasien mandi air hangat setiap hari
6) Hindarkan pasien dari faktor pencetus
B. Asuhan Keperawatan Anak dengan Kasus Asma
1. Pengkajian
Menurut Marilynn E. Doengoes, (1999) pengkajian pada pasien asma meliputi :
a. Aktivitas/ istirahat
1) Gejala : keletihan, kelelahan, malaise
2) Tanda : keletihan, gelisah, insomnia
b. Sirkulasi
1) Gejala : pembengkakan pada extremitas bawah
2) Tanda : peningkatan TD, takikardi, pucat
c. Integritas ego
1) Gejala : peningkatan faktor resiko, perubahan pola hidup
2) Tanda : ansietas, ketakutan
d. Makanan/cairan
1) Gejala : mual/muntah, anoreksia, penurunan BB
2) Tanda : turgor kulit jelek, berkeringat
e. Pernafasan
1) Gejala : nafas pendek, ketidakmampuan bernafas, batuk disertai sputum
2) Tanda : fase ekspirasi memanjang, penggunaan otot bantu pernafasan
f. Keamanan
1) Gejala : riwayat reaksi alergi, kemerahan, berkeringat
g. Interaksi sosial
1) Gejala : hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung
2) Tanda : keterbatasan mobilitas fisik
2. Pemeriksaan penunjang ( Sundaru, 2006 )
a. Pemeriksaan spinometri.
Pemeriksaan ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol
golongan adrenergik. Peningkatan FEV atau FVC sebanyak lebih dari 20%
menunjukkan diagnosis asthma.
b. Pemeriksan tes kulit.
Untuk menunjukan adanya antibodi IgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh.
c. Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan adanya proses patologik diparu
atau komplikasi asthma seperti pneumothorak, pneumomediastinum, atelektosis dan
lain – lain.
d. Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi uada
selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru- paru.
e. Elektrokardiografi
Gambaran elektrografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi tiga
bagian, disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
1) Perubahan aksis jantug yaitu pada umumnya terjadi right axis defiasi dan clock
wicerotation.
2) Terdapat tanda-tanda hipertropi otot jantung, yaitu terdapatnya RBB ( right
bundle branch block ).
3) Tanda-tanda hipoksemia yaitu terdapatnya sinus takukardi, SVES dan VES atau
terjadiya depresi sekmen ST negative
f. Laboratorium.
1) Analisa gas darah.
Hanya di lakukan pada serangan asthma berat karena terdapat hipoksemia,
hyperkapnea, dan asidosis respiratorik
2) Sputum.
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan Asthma yang berat,
karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari adema
mukasa, sehingga terlepaslah sekelompok sel – sel epitel dari perlekatannya.
Peawarnaan gram penting untuk melihat adanya bakteri, diikuti kultur dan uji
resistensi terhadap beberapa antibiotic
g. Sel eosinofil Pada penderita status asthmatikus sel eosinofil dapat mencapai 1000 –
1500 /mm3 baik asthma Intrinsik ataupun extrinsik, sedangkan hitung sel eosinofil
normal antara 100-200/mm3. Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung jenis
sel eosinofil menunjukkan pengobatan telah tepat.(Konsep Dasar Askep Asma 2019)
3. Klasifikasi Data
Derajat asma ditentukan oleh bergabai faktor, antara lain gambaran klinik
sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β-
2 agonis, dan uji faal paru), dan obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis
obat, kombinasi obat, dan frekuensi pemakaian obat). Pemeriksaan klinis dapat
menentukan berat ringannya asma.
Klasifikasi asma terdiri dari asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).
a. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa serangan terdiri dari :
1) intermiten;
2) persisten ringan;
3) persisten sedang; dan
4) persisten berat.
b. Asma saat serangan
Untuk menentukan klasifikasi derajat asma, asma dapat dinilai berdasarkan
berat ringannya serangan. Terapi yang akan dilakukan didasarkan pada derajat
serangan asma. Klasifikasi derajat asma saat serangan meliputi asma serangan
ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat.(Scharfstein and Gaurf
2013)
4. Masalah Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan napas
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan Hambatan upaya napas
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
utama atau imunitas
e. Cemas berhubungan dengan ancaman terhadap kematian
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan Ketidak seimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
5. Intervensi

no Diagnosa Tujuan Intervensi


1. Bersihan jalan napas Produksi sputum menurun Intervensi utama:
berhubungan dengan Frekuensi napas membaik 1) Latihan batuk
hipersekresi jalan napas Pola napas membaik efektif
Observasi:
1.) Identifikasi
kemampuan batuk
2.) Monitor adanya
retensi sputum
3.) Monitor tanda dan
gejalu infeksi saluran
napas
4.) Monitor input dan
output cairan
Terapiutik:
1.) Atur posisi semi
fouler atau fowler
2.) Pasang perlak dan
bengkok di pangkuan
pasien
3.) Buang secret pada
tempat sputum.
Edukasi:
1.) Jelaskan tujuan dan
prosedur batuk efektif
2.) Anjurkan mengulangi
tarik napas dalam
hingga 3 kali.
3.) Anjurkan batuk
dengan kuat
langsung setelah
tarik napas dalam
yang ke-3
Kloaborasi:
Pemberian mukolitik atau
ekspektoran
2) Manajemen asma
Observasi:
1.) Monitor frekuensi
dan kedalaman
napas
2.) Monitor tanda dan
gejala hipoksia
3.) Monitor bunyi napas
tambahan
4.) Monitor saturasi
oksigen
Terapeutik:
1.) Berikan posisi semi
fowler 30-45o
2.) Pasang oksimetri
nadi
3.) Lakukan
penghisapan lender,
jika perlu
4.) Berikan oksigen 6-15
L via sungkup untuk
mempertahankan
SpO2> 90%
Edukas:
1.) Anjurkan bernapas
lambat dan dalam
2.) Ajarkan teknik
pursued-lip breathing
3.) Anjurkan minimalkan
ansietas yang dapat
meningkatkan
kebutuhan oksigen
Kolaborasi:
1.) Kolaborasi
pemberian
bronkodilator sesuai
2 Pola Napas Tidak Efektif 1.) Frekuensi napas indikasi
berhubungan dengan membaik 2.) Pemberian obat
Hambatan upaya napas 2.) Kedalaman napas tambahan jika tidak
membaik responsive dengan
bronkodilator

Intervensi Utama:
Manajemen jalan napas.
Observasi:
1.) Monitor pola napas
2.) Monitor bunyi napas
tambahan
3.) Monitor sputum
Terapeutik:
1.) Posisikan semi fowler
atau fowler
2.) Berikan minum
hangat
3.) Lakukan fisioterapi
dada
4.) Lakukan pengisapan
lender kurang dari 15
detik
5.) Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum
penghisapan
endotrakeal
6.) Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsep McGill
7.) Berikan Oksigen, jika
perlu
Edukasi:
1.) Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari,
jika tidak
kontraindikasi
3. Gangguan pola tidur 1.) Keluhan sulit tidur
2.) Ajarkan teknik batuk
berhubungan dengan kurang menurun.
efektif
kontrol tidur 2.) Keluhan istirahat
Kolaborasi
tidak cukup
1.) Kolaborasi
menurun
pemberian
3.) Keluhan tidak
bronkodilator,
puas tidur
ekspektron,
menurun
mukolitik, jika
perlu.

Intervensi utama:
1.) Dukungan tidur
Observasi:
1.) Identifikasi pola
aktivitas dan tidur
2.) Identivikasi factor
pengangguran
tidur
3.) Identifuikasi
makanan dan
minuman yang
mengganggu tidur
4.) Identifikasi obat
tidur yang di
konsumsi
Terapiutik:
1) Modifikasi lingkungan
2) Batas waktu tidur
siang
3) Fasilitas
menghilangkan stres
sebelum tidur
4) Tetapkan jadwal tidur
rutin
5) Lakukan prosedur
untuk meningkatkan
kenyaman
6) Sesuaikan jadwal
pemberian obat
dam/atau tindakan
untuk menunjukan
siklus tidur-terjaga
Edukasi:
1) Jelaskan pentingnya
tidur cukup selama
sakit
4. Intoleransi aktivitas 2) Anjurkan menepati
berhubungan dengan Ketidak 1) Saturasi Oksigen kebiasaan waktu tidur
seimbangan antara suplai dan Meningkat 3) Anjurkan
kebutuhan oksigen 2) Keluhan lelah menghindari
menurun makanan/minuman
3) Dispnea setelah yang menggangu
aktifitas menurun tidur
4) Perasaan lemah 4) Anjurkan
menurun penggunaan obat
5) Tekanan darah tidur yang tidak
menurun mengandung
6) Frekuensi napas supresor terhadap
Menurun tidur REM

Intervensi Utama:
Intoleransi aktivitas.
Observasi:
1.) Identifikasi gangguan
fungsi tubuh yang
mengakibatkan
kelelahan.
2.) Monitor kelelahan
fisik.
3.) Monitor pola dan jam
tidur.
4.) Monitor lokasi dan
ketidaknyamanan
selama melakukan
aktivitas
Terapiutik:
1) Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus
2) Lakukan latihan
rentang gerak pasif
dan/atau aktif
3) Berikan aktivitas
dikstarsi yang
menenangkan.
4) Fasilitas duduk di sisi
tempat tidur, jika
tidak dapat berpindah
atau berjalan.
Edukasi:
1) Anjurkan tirah baring
2) Anjurkan melakukan
aktivitas secara
bertahap
3) Anjurkan
menghubungi
perawart jika tanda
dan gejala kelelahan
tidak berkurang
4) Ajrkan strategi koping
untuk mengurangi
kelelahan.
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan
6. Implementasi
Pelaksanaan keperawatan adalah pemberian asuhan keperawatan yang
dilakukan secara langsung kepada pasien. Kemampuan yang harus dimiliki perawat
pada tahap implementasi adalah kemampuan komunikasi yang efektif, kemampuan
untuk menciptakan hubungan saling percaya dan saling membantu, kemampuan tekhnik
psikomotor, kemampuan melakukan observasi sistematis, kemampuan memberikan
pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi dan evaluasi. Tahap pelaksanaan
keperawatan meliputi: fase persiapan (preparation), tindakan dan dokumentasi.

7. Evaluasi
Menurut Dion dan Betan (2013) evaluasi keperawatan adalah tahap akhir dari proses
keperawatan yang merupakan perbandingan sistematis dan terencana antara hasil akhir
yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.
Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan keluarga.
Evaluasi bertujuan untuk melihat kemampuan keluarga dalam mencapai tujuan. Evaluasi
terbagi atas dua jenis, yaitu:
a. Evaluasi Formatif Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan
hasil tindakan keperawatan. Evaluasi ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencanan keperawatan guna menilai keefektifan tindakan
keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi empat
komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni Subjektif (data berupa keluhan
klien), Objektif (data hasil pemeriksaan), Analisa data (perbandingan data dengan
teori), dan Planning (perencanaan).
b. Evaluasi Sumatif Evaluasi Sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua
aktifitas proses keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan menilai
dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan. Metode yang
dapat digunakan pada evaluasi jenis ini adalah melakukan wawancara pada akhir
layanan, menanyakan respon pasien dan keluarga terkait layanan keperawatan,
mengadakan pertemuan pada akhir pelayanan.
Daftar Pustaka

Anisa, K.n. 2019. “Peran Keluarga Dalam Perawatan Penderita Asma Di Desa Sukoreno Wilayah
Kerja Puskesmas Sentolo I Kulon Progo.” : 9–25.

“Konsep Dasar Askep Asma.” 2019. Unimus: 5–28.

Maiti, and Bidinger. “Asma.” Unimus: 9–39.

Rohman, Dodi. 2015. “Efektifitas Latihan Nafas Dalam (Deep Breathing).” Fikes UMP: 14–42.

Scharfstein, M, and Gaurf. 2013. “Gejala Asma.” repository.unimus.ac.id 53(9): 1689–99.

Tiara Imaniar, Susi Talib R.T, Hermani Triredjeki. 2019. “Asuhan Keperawatan Pada Anak
Dengan Asma.” Poltekkes Kemenkes Semarang 44(12): 2–8.

Anda mungkin juga menyukai