ARTIKEL
UNTUK MEMENUHI TUGAS AKHIR MATAKULIAH
SEJARAH EROPA
Yang diampu oleh Bapak Drs. Marsudi, M. Hum.
OLEH:
MUHAMMAD RIZAL RAMADHAN
200731638016
PSEJ OFFERING D
ABSTRACT
1
Yunani merupakan salah satu negara di Balkan, wilayah Eropa bagian
tenggara yang memiliki riwayat peradaban awal Eropa. Sebagian besar berada di
Laut Aegea dan Laut Ionia. Tanah Yunani yang sebagian besar bentangan alam,
berupa gurung-gunung dan daratan gersang luas mendorong masyarakatnya untuk
bekerja di sektor perdagangan. Bangsa Yunani Kuno terpecah-pecah dan
mendiami kota-kota yang memiliki pemerintahan sendiri (merdeka) atau yang
biasa disebut dengan city state atau polis (Sumargono, 2017: 43).
Salah satu perang yang sangat melekat pada sejarah peradaban Yunani
Kuno ini, ialah Perang Peloponnesia/Peloponnesos. Perang yang merupakan
bentuk konfrontasi antara kekuatan darat terkemuka saat itu, Sparta, dengan
kekuatan laut terkemuka dari Athena. Perang Peloponnesia berlangsung dari abad
431 hingga 404 SM. Disebut perang Peloponnesia karena Sparta adalah kepala
aliansi negara-negara dari Liga Peloponnesia, semenanjung paling selatan dari
daratan utama Yunani (Souza, 2005: 2). Kemelut perang yang berkepanjangan ini
akhirnya dimenangkan oleh polis Sparta dan sekutunya, dengan bantuan militer
dari Persia yang sebelumnya menjadi musuh bersama polis-polis Yunani.
2
Athena dan Sparta mengklaim telah berperan dalam menyelamatkan
Yunani dari penaklukan Persia. Athena dengan kekuatan angkatan lautnya
berhasil mengalahkan Persia di Salamis pada tahun 480 SM dibawah pimpinan
Themistocles, sedangkan Sparta pada tahun berikunya memimpin pasukan Yunani
dengan militansi angkatan daratnya mengalahkan pasukan darat Raja Xerxes
Persia dan mengakhiri ancaman penakluklan Persia di Myclae (Sumargono, 2017:
45).
Pada abad kelima SM, masyarakat Yunani menganggap bahwa berperang
untuk menyelesaikan perselisihan adalah sesuatu yang wajar dan paling pantas
untuk dilakukan (Lazenby, 2004:2). Hal ini lah yang mendorong keinginan dan
tekad kuat setiap polis untuk bersaing memperebutkan hegemoni tertinggi di
wilayah Yunani. Yang tentunya juga dengan beberapa strategi termasuk
pembentukan suatu aliansi bersama yang memungkinkan jika salah satu pihak
polis terlibat konflik, berarti konflik tersebut menjadi tanggung jawab bersama.
Setelah Persia dapat diusir dari daratan utama Yunani, aliansi mulai pecah.
Athena yang lebih unggul dalam kualitas sumber daya manusianya (faktor
cendikiawan), diundang oleh beberapa negarawan dari polis-polis Yunani untuk
memimpin mereka melawan Persia. Aliansi ini kemudian disebut Liga Delian
oleh sejarawan modern karena perbendaharaan resminya berada di pulau kecil
bernama Delos, yang dibentuk pada tahun 478 SM. Sedangkan pihak Sparta sudah
memiliki aliansi mereka sendiri, yang dikenal sebagai Liga Peloponnesia (Souza,
2005: 3).
3
‘upeti tahunan tetap’ bagi setiap anggota Liga Delian sejak masa pimpinan
Pericles. Aliansi ini seakan-akan berubah menjadi suatu bentuk negara monarki,
dengan bentuk Kekaisaran Athena. Akibatnya banyak timbul pemberontakan dari
anggota aliansi Liga Delian, namun tetap dapat dipadamkan oleh Athena.
Kekuatan militer Athena menjadi lebih kuat, sehingga menambah perkembangan
kemajuan kehidupan ekonomi dan politik polis Athena terutama perdagangan
maritim mereka.
Karena kuatnya eknonomi, semenjak Liga Delian berubah menjadi
Kekaisaran Athena, pembangunan angkatan laut dan upeti dari pajak tahunan
Athena menjadi sangat kuat menjelang pecahnya perang melawan Liga
Peloponnesia. Populasi penduduk Athena tumbuh lebih dari dua persen per tahun
pada kurun waktu sebelum Perang Peloponnesia (Hanson, 2005: 28). Dari angka
pertumbuhan penduduk ini, tidak heran bila kekuatan militer berupa pasukan
perang Athena juga makin banyak.
Lalu bagaimana dengan Liga Peloponnesia? Polis-polis dari aliansi ini
sangat dimungkinkan membentuk aliansi militer yang besar dan sepadan dengan
Kekaisaran Athena. Namun hal yang tidak dimiliki dari Liga Peloponnesia,
menurut Lazenby (2004: 30) adalah kekuatan hegemoni kekuasaan dari polis
pemimpin. Liga Delian seperti yang diuraikan di atas telah berubah menjadi
Kekaisaran Athena, punya kekuasaan penuh untuk menyusun strategi secara
sepihak tanpa ada halangan dari sekutunya.
Dari hegemoni ini, demokrasi yang Athena agungkan dan mereka bentuk
sendiri atas pemikiran para filsafat-filsafatnya, seakan-akan lebur bila menilik dari
kebijakan Athena ini. Ironi dari perang ini bahwa Sparta yang oligarki jauh lebih
demokratis dalam sikapnya terhadap anggota koalisinya daripada Athena yang
demokratis dalam kaitannya dengan rakyat dan bukan dengan sekutunya sendiri
(Hanson, 2005: 30).
4
merambat kepada urusan dua pemimpin aliansi dari Liga Delian dan Liga
Peloponnesia.
Bentuk aliansi lain yang dilakukan Athena dengan berbekal kekuatan
finansial dari ‘upeti tahunan tetap’ adalah dengan polis-polis lain diluar
anggota Liga Delian seperti Argos dan Tesalia. Pada tahun 460 SM Athena
berusaha menggandeng polis Argos, yang merupakan tetangga paling kuat
Sparta di Liga Peloponnesia untuk beraliansi dengannya. Athena
memanfaatkan permasalahan konflik perbatasan Argos, dengan Megara dan
Corinth. Tembok Panjang pun dibangun pada tahun 459 SM yang
menghubungkan mereka dengan pelabuhan Nisaia hingga kota Megara di
masa Pericles (Souza, 2005: 5).
Pada tahun 446 SM muncul pemberontakan dari polis Boitian yang
menjadi bagian dari Kekaisaran Athena. Disaat yang bersamaan, Athena juga
mencoba untuk menekan Euboia dan Megara agar tunduk kepada Athena.
Raja muda Sparta yaitu Pleistoanax bergabung dalam konlik ini bersama
anggota aliansi Liga Peleponnesia, untuk mengkonsolidasikan pemberontakan
Megara. Kedatangan mereka ini, bersambut dengan kembalinya Jendral
Pericles dari Euboia. Pertemuan dua kubu aliansi ini, memungkinkan
timbulnya perang. Namun secara mengejutkan, Pleistoanax menarik mundur
pasukannya dari upaya membebaskan Megara dari belenggu Athena tanpa
kontak perang sedikitpun dan membiarkan Pericles bebas kembali ke Euboia
dan Megara untuk menekan pemberontakan. Akibatnya Pleistoanax
diasingkan, karena keputusannya ini terkesan membawa citra buruk bagi
Sparta, yang terkenal akan miliansinya dalam berperang siapapun itu
musuhnya.
Sadar akan kekuatan dan ekonomi, politik dan militer Athena yang
semakin berkembang setelah berubah menjadi kekaisaran, di tahun 446 SM
tersebut Sparta mengajukan perjanjian damai dengan Athena yang
berlangsung selama 30 tahun. Dengan ketentuan setiap pihak harus
mempertahankan wilayah dan aliansinya dan berhenti memperluas
kerajaannya dengan mengorbankan polis-polis Peloponnesia. Thuycydides
dalam buku Souza (2005), yang menjadi salah satu pemimpin perang Athena
5
yang diasingkan karena kegagalannya dalam mempertahankan kota
Amphipolis sekaligus penulis Perang Peloponessia ini, berargumen bahwa
Perang Peloponnesia adalah karena ‘meningkatnya kekuatan Athena dan
ketakutan yang ditimbulkannya pada Sparta memaksa mereka untuk
berperang’ (Souza, 2005: 11).
Berdasarkan perspektif Thucydides tersebut, penyebab langsung Perang
Peloponnesia pertama adalah penilaian Sparta dan sekutu mereka, bahwa
orang Athena telah melanggar ketentuan perjanjian damai Tiga Puluh Tahun.
Ketakutan dan kecurigaan satu sama lain, perihal pelanggaran klausul
perjanjian damai tahun 446 SM mengarah pada terjadinya perang.
Upaya Sparta untuk menekan dominasi Athena juga dibarengi dengan
situasi terjadinya konflik antara polis Corinthis dengan Corcyra. Mereka
sama-sama meminta bantuan polis lain dalam berperang. Corycyra meminta
bantuan kepada Athena. Corycyra-Athena berhadapan dengan Corinthia serta
sekutunya. Corinthia yang kalah jumah, menarik mundur pasukannya.
Sparta berada di bawah tekanan besar dari sekutu mereka di Liga
Peloponnesia untuk menahan Athena. Pada tahun 432 SM polis-polis anggota
Liga Peloponnesia mengadakan konferensi mengambil tindakan bersama
melawan Athena. Sparta meminta agar Athena tidak lagi mengambil tindakan
yang merugikan polis lain, termasuk penarikan upeti bagi setiap polis dalam
kuasa kekaisarannya dan ini yang dianggap Sparta sebagai pelanggaran
klausul perjanjian damai pada tahun 442 SM (Lazenby, 2004: 31).
Permintaan Liga Peloponnesia ini ditolak oleh Athena karena merasa
kemenangannya melawan Persia harus dihargai oleh bangsa Yunani.
Berkecamuknya kecurigaan dan ketakutan Sparta bersama anggota aliansi
Peloponnesia terhadap Kekaisaran Athena, meyakinkan sebagian besar
penduduk Sparta untuk melakukan agresi. Awalnya Archimedes II raja dari
Sparta berpendapat bahwa dengan perang terbuka tidak akan berhasil
melawan Kekaisaran Athena, mengingat adanya keistimewaan tersendiri
setiap polis. Sparta yang terkenal dengan kekuatan daratnya, sementara
Athena terletak pada angkatan lautnya, sehingga dirasa terlalu dini bagi
Sparta untuk segera berperang melawan Athena yang memiliki sumber daya
6
jauh lebih luas dari segi pasokan militer, ekonomi dan persediaan makanan.
Archimedes II menyarankan upaya diplomatik untuk mencoba menyelesaikan
permasalahan dengan negoisasi. rakyat Sparta yang sudah terididik dengan
jiwa militansi sejak dini, menganggap ini sebagai tindakan pengecut.
Hal ini sejalan dengan catatan Thucydides, berkenaan dengan tanggapan
sekutu Sparta perihal saran Arhimedes untuk menyelesaikan sengketa ini
lewat jalur negoisasi dalam buku Souza (2005) sebagai berikut:
‘Karena sementara pihak lain mungkin memiliki uang, kapal, dan kuda,
kami memiliki sekutu yang baik yang tidak dapat kami khianati kepada
orang Athena. Ini juga bukan sesuatu yang harus diputuskan oleh
diplomasi dan negoisasi; bukan melalui kata-kata kepentingan kita
dirugikan. Pembalasan kita harus kuat dan cepat… Jadi pilihlah sesuai
keinginan kalian, Spartan, untuk perang! Jangan biarkan Athena menjadi
lebih kuat dan jangan mengkhianati sekutu Anda sepenuhnya! Dengan
dewa di samping kita, marilah kita menentang orang yang tidak benar!’
(Souza, 2005: 28).
b. Peperangan (Perang Archidamian)
Periode pertama perang antara Sparta dengan Liga Peloponnesia melawan
Kekaisaran Athena, terjadi selama satu dekade sejak tahun 431 SM. Pada
awal perang, setiap kubu memiliki strategi masing-masing untuk mencari
kelemahan dari musuh masing-masing dengan Sparta yang memanfaatkan
kekuatan daratnya serta Athena yang memanfaatkan kekuatan maritimnya.
Strategi Sparta yaitu dengan melemahkan pasokan logistik dari Kekaisaran
Athena didaerah Attica, dengan cara merusak tanaman dan bangunan-
bangunan, dan memaksa orang Athena keluar kota mereka dan
menyelesaikan perang (Souza, 2005: 30). Pihak Liga Peloponnesia yakin
dengan cara ini mereka akan menang melawan Athena, sambil berharap
warga Athena merasa bosan dengan serangan itu dan mencari penyelesaian
dengan syarat yang menguntungkan pihak Sparta dan aliansinya. Oleh sebab
itu, menurut Donald Kagan dalam Universitas Negeri Yogyakarta (Tanpa
Tahun), perang periode pertama ini disebut Archidamian War untuk
mengapresiasi kecerdasan raja Sparta Archidamus/Archimedes II.
Sedangkan Athena, juga meragukan kemampuan mereka untuk
mengalahkan Sparta bila dalam pertempuran frontal dari darat, mengingat
militansi pasukan Sparta sudah terbukti dapat membantu mengusir Persia dari
7
daratan Yunani (Souza, 2005: 30). Jendral Pericles lebih memilih menunggu
di benteng, sambil berharap kubu Peloponnesia mengendorkan serangan dan
memilih kembali untuk pulang. Setelah itu dengan superioritas armada
lautnya, Athena akan menyerang balik wilayah Sparta dan sekutunya, dan
memaksa mereka kehilangan semangat untuk berperang. Bagi Pericles,
strategi ini memang tidak dapat memenangkan perang, tetapi dapat
memperpanjang kebuntuan dari pihak Sparta dan aliansinya dan melakukkan
perjanjian damai. Pada tahun 430 hingga 426, Athena sendiri dilanda wabah
dalam situasi perang. Bahkan wabah tersebut membunuh pemimpin mereka,
Pericles. Karena wabah tersebut, Sparta dan anggota aliansi Liga
Peloponnesia menarik mundur pasukannya dari Attica.
Cleon diangkat menjadi raja menggantikan Pericles. Ia memimpin pasukan
untuk menguasai pantai Peloponnesia. Pemimpin Sparta dan Athena yakni
Brasidas dan Cleon, tewas di Amphipolis pada fase akhir perang
Peloponnesia pertama pada tahun 422, dan disepakati negoisasi damai antara
Athena dan Sparta (Sumargono. 2017: 47).
8
Penyerahan Mytilenean (penduduk polis Mytilene) dan
pengaduan nasib mereka setelah percobaan pemberontakan.
426 SM Kembalinya wabah penyakit di Athena.
Ekpedisi pertama Athena ke Sisilia.
425 SM Pendudukan Athena di Pylos, yang sebelumnya dikuasai
Sparta dengan aliansinya.
Invasi terakhir Peloponnesia ke Attica.
424 SM Penduduk Boeotian mengalahkan Athena di Delium.
423 SM Tembok Thespiae dihancurkan oleh Boetian (tetangga
Athena di wilayah Attica).
Jendral Athena, Hippokrates terbunuh. Thucydides ditunjuk
sebagai pengganti, dengan tugas utama mempertahankan
kota Amphipolis.
Amphipolis jatuh ke tangan Peloponnesia, Thucydides
dihakimi dan diasingkan. Di pengasingan ini ia menulis
sejarah Perang Peloponnesia.
422 SM Percobaan pemulihan kota Amphipolis ke tangan Athena,
di bawah pimpinan Cleon.
Cleon (Pemimpin Athena) dan Brasidas (Pemimpin
Peloponnesia) tewas di kota Amphipolis.
Negoisasi damai antara Athena dan Sparta.
4. PEACE OF NICIAS (421 SM)
Kematian Brasidas dan Kleon mengambil banyak momentum dari perang
antara Athena dan Sparta. Kematian kedua pemimpin dari dua kubu aliansi yang
bertikai, menjadi simbol kebuntuan yang telah dicapai setelah hampir sepuluh
tahun perang. Kematian Brasidas, juga membuat wilayah Sparta sering terjadi
pemberontakan oleh para helot (budak), serta serangan dari polis Pylos dan
Kythera. Kekurangan tenaga kerja dan pasukan militer yang tewas dalam
peperangan selama sepuluh tahun pertama, diusulkan negoisasi perdamaian
selama lima puluh tahun oleh Jendral Athena yaitu Nikias, oleh sebab itu
perdamaian ini dinamai oleh para sarjana modern dengan namanya (Souza, 2005:
52).
9
Klausul dari perjanjian damai tersebut adalah masing-masing pihak harus
menyerahkan wilayah yang diperolehnya dengan paksa selama perang. Athena
menolak untuk melepaskan pelabuhan Megarian, karena menurut mereka bahwa
tempat itu telah menyerah secara sukarela. Kota Amphipolis sebagai kota penting
Athena dapat kembali, sementara kota Pylos dan Kythera kembali kepada Sparta.
Athena dan Sparta yang telah menyetujui perjanjian damai tersebut hanya dapat
bertahan selama enam tahun, sedangkan di polis-polis lain tetap terjadi
pertempuran di sekitar Peloponnesia. Argos sebagai salah satu sekutu Sparta,
mulai bicara mengenai pemberontakan. Koalisi baru dalam upaya anti-Spartan
berhasil dibentuk oleh Argives yang merupakan polis di wilayah Peloponnesia,
dengan dukungan Athena. Sparta mencoba menggalkan koalisi tersebut dibawah
pimpinan raja Agis namun mengalami kebuntuan .Athena dibawah Alkibedes,
bergerak merebut kota Tegea, dekat Sparta.
Dibawah pimpinan Agis, tentara Sparta bergerak ke wilayah Mantinea
untuk bertempur tanpa memikirkan lebih lanjut medan pertempuran dan jumlah
sekutu musuh yang ada yaitu Athena bersama Argos, Mantinea dan Arcadia. Agis
kemudian menarik mundur pasukan Sparta, dan menyadari tindakan cerobohnya
tersebut. Pihak sekutu yang merupakan gabungan dari Athena, Argos, Mantinea
dan Arcadia gagal memanfaatkan jumlah pasukan dan memungkinkan pasukan
elit Sparta untuk menyerang balik. Hasilnya Sparta berhasil menahan serangan
pemberontakan anggota aliansi Peloponnesia, sehingga terhindarkan dari
kekalahan. Anggota koalisi baru dari golongan Peloponnesia yang menghendaki
demokrasi, pada akhrinya harus rela kembali menjadi anggota Liga Peloponnesia.
5. PERANG PELOPONNESIA KEDUA (415-413 SM)
Pada tahun 415, datang seorang kedutaan dari Egesta,di wilayah Sisilia
anggota aliansi jauh Athena yang meminta bantuan untuk melawan Syracuse
yang menyerang Egesta (Souza, 2005: 59). Para negarwan Athena menyadari
tidak dapat mengirim armadanya menuju Sisilia yang jauh dari pusat kota
Athena, dan membutuhkan dana yang besar. Utusan Sisilia tersebut menjamin
bahwa sebagian besar dana akan ditanggung oleh Sisilia.
Athena menyanggupi setelah mendapat jaminan bantuan dana untuk
membantu ekspedisi ke Sisilia. Selain itu, Alkibades bermimpi untuk
10
menaklukkan seluruh Sisilia termasuk Egesta dan Syracause sendiri, dan jika
berhasil maka akan menutupi defisit sumber daya Athena yang melemah pasca
perang sepuluh tahun pertama serta kekalahan melawan pasukan Sparta di
Mantenia sebelumnya. Namun Alkibidies dan orang Athena kurang memahami
seberapa besar kota-kota Sisilia tersebut, dan seberapa kuat warganya. Pemimpin
tertua Athena yakni Nikias yang menjadi tokoh penting dalam negoisasi
perdamaian sebelumnya, lebih menyarankan untuk tidak menerima permintaan
bantuan utusan Egesta itu, karena khawatir malah akan menjadi bommerang
sendiri bagi Athena.
Athena tetap berangkat menuju Syracause dibawah pimpinan tiga jendral
yaitu Alkibidies, Nikias dan komandan veteran Lamachos dengan kekuatan 60
kapal (Souza, 2005: 60). Saat akan berangkat ekspedisi menuju Syracause,
terjadi tindakan vandalisme disertai mutilasi patung-patung disebagian besar
pusat kota Athena dan ini dianggap sebagai tindakan kejahatan agama.
Muncullah konspirasi bahwa Alkibidies lah yang mendalangi aksi ini, karena
ingin memuluskan rencananya dalam menguasai seluruh Sisilia. Ia pun di dakwa
sebelum berangkat menuju ekspedisi, namun diberikan keringanan untuk
menjalankan ekspedisi tersebut terlebih dahulu. Warga negara Athena yang tidak
terima, jika pemimpin militernyalah yang menjadi dalang aksi penistaan agama
ini memandu pasukan Athena menuju Syracause dan meunutut Alkibidies untuk
segera diadili. Khawatir ia akan dihukum dan dikutuk oleh hakim yang bisa saja
bersekongkol dengan penduduk sipil Athena, Alkibidies melarikan diri ke
Sparta. Sementara ekspedisi menuju Sisilia dilanjutkan oleh Nikias dan
Lamachos.
Pada thun 414 SM, dikirim kembali pasukan Athena menuju Syracause
dengan dukungan militer yang jauh lebih besar dengan 250 kavaleri dan 5.000
pasukan infanteri (Souza, 2005: 62). Lamachos diiberi tugas untuk menyerang
Syracause dari sisi lain dan dipisahkan dari pasukan utama Athena. Ia mati
ketika ditantang pertempuran tunggal dengan perwira Syracause.
Penduduk Sisilia yang merasa kalah jumlah, meminta bantuan ke Liga
Peloponnesia dan meminta Sparta untuk bertindak. Sparta datang bersama
anggota Liga Peloponnesia yaitu Korintia dibawah pimpinan Gylippos. Setelah
11
sampai di Sisilia, ia mengumpulkan pasukan dari beberapa kota di Sisilia untuk
membantu Syracause dalam melwan Athena. Athena menambah kekuatan
armada di bawah Demosthenes dan bergabung bersama pasukan Nikias. Perang
semakin berkecamuk, bantuan Sparta dan Korintia kepada Syracause mampu
mengalahkan Athena di Epipole. Nickias menyarankan untuk mundur dan
kembali ke Athena, namun ditolak oleh Demosthenes yang juga termotivasi
tekad penyatuan Sisilia seperti Alkibidies. Athena mengalami kekalahan lagi di
Great Harbour, Nikias dan Demosthenes menarik mundur pasukan kembali
menuju Athena. Namun dikejar oleh gabungan pasukan darat dan laut dari
Syracause, Sparta, dan Korintia dan membunuh semua armada Athena yang
tersisa, termasuk Nikias dan Demosthenes yang diadili.
12
Nikias pada tahun 421 SM berpotensi masih berlaku. Pada tahun 414, armada
Athena yang terdiri dari 30 kapal membantu Argives dalam perang perbatasan
dengan Sparta, dan melakukan beberapa serangan ke wilayah Lakon. Dari sini,
Sparta berpikir bahwa Athena sendiri telah melanggar klausul perjanjian damai
yang dinegoisasi oleh pemimpinnya sendiri Nikias, sehingga Sparta bersiap
menduduki Dekeleia sesuai saran Alkibidies.
Kekalahan signifikan Athena di Sisilia dengan matinya dua jendral mereka
yaitu Nikias dan Demosthenes, memberikan angin segar bagi pasukan Sparta
dengan aliansinya Peloponnesia. Mereka menyerang Athena dan menduduki
Dekelia, bahkan inti kerajaan maritim Athena di Laut Aegea untuk memaksa
armada dan penduduk Athena keluar. Pendapatan Athena terkuras, karena
pajak upeti mereka terputus, armada laut Athena yang pernah berjaya sejak
berhasil mengusir Persia dibawah pimpinan Xerxes dan Darius II pada tahun
480 SM, kini telah sirna dan bahkan armada lautnya sekarang hanya
mengandalkan pelaut dan pendayung bayaran. Athena pun diambang
kehancuran.
Muncullah jenderal lama Athena yang membelot ke Sparta tadi, siapa lagi
jika bukan Alkibidies. Meskipun ia diberikan jaminan keamanan dengan
membantu Sparta menyusun strategi dan membocorkan kekuatan Athena, ia
tetap merasa terkekang dengan kecurigaan pihak Sparta, yang masih berpikir
ini adalah permainan sandiwara dari Alkibidies untuk menghancurkan Sparta
dari dalam. Pada tahun 411 SM ia meninggalkan Sparta dan kembali ke Athena
dengan rencana ambisius lagi.
Alkibidies datang dengan rencana merekayasa perubahan dalam
pemerintahan Athena menjadi pemerintahan yang lebih konservatif dan
oligarki. Dia berharap dari rencananya tersebut dapat menggulingkan Kerajaan
Persia dibawah kendali Tissaphernes, dan merampas sumber dayanya kepada
pihak Athena yang sedang diambang krisis. Hasil dari upayanya, dalam
merevolusi pemerintahan ini berhasil, di kala Dewan Baru yang terdiri dari 400
orang menggantikan Dewan Lama yang terdiri dari 500 orang (Souza, 2005:
96).
13
Ada perlawanan diantara orang Athena terhadap perubahan pemerintahan
ini oleh armada Athena di Samos. Mereka ingin menggulingkan rezim baru
rekayasa Alkibidies. Hal ini juga diperkuat dengan kegagalan Alkibidies dalam
upaya negoisasinya dengan Sparta yang posisinya makin memuncak, dengan
bantuan militer perang penuh dari Persia. Pemberontakan muncul, dan rezim
pemerintahan oligarki baru runtuh. Alkibidies ditangkap dan diadili beserta 400
anggota parlemen rezim oligarki baru yang terpilih
b. Perang Terakhir dan Jatuhnya Yunani Ke Tangan Macedonia
Di tahun 410-406 konflik berkelanjutan di wilayah Aegea Timur dan
Hellespontine. Sparta dan sekutunya berupaya menekan Athena dengan
menguasai, kota Byzantium di Asia Kecil pada tahun 410 dibawah pimpinan
Mindaros. Kota Byzantium yang sangat strategis, menawarkan kegiatan
perdagangan yang ramai di sekitar Laut Hitam, ramainya perdagangan tentunya
akan menambah pendapatan pemerintah Athena lewat upeti, sehingga Athena
tidak ingin wilayah tersebut jatuh ke pihak musuh. Dalam upayanya selama
dua tahun hingga 408 SM, kota Byzantium direbut kembali oleh Athena namun
tidak secara penuh.
Bergeser ke tahun 407 Sparta kembali mendapatkan seorang pemimpin
baru yang cerdas dan ambisius layaknya Brasidas dan Gylippos, ia adalah
Lysandros (Hanson, 2005: 316). Bersama dengan putra bungsu Persia, yaitu
Kyros, mereka berupaya menghancurkan kedaulatan hegemoni Athena di
Yunani hingga tuntas. Pada tahun 406 Athena menyerang Lysandros di lepas
pantai Efesus, dan kehilangan 22 kapal dan Alkibidies dianggap bertanggung
jawab atas tindakan cerobohnya ini. Majelis Athena yang marah besar,
mengingat kekuatan armada militernya semakin berkurang membuat
Alkibidies dibuang kembali. Dilema Athena juga karena memiliki kerajaan
yang harus dilindungi di Ionia, sedangkan armadamya pun sekarang semakin
rapuh untuk melawan Liga Peloponnesia dan Persia.
Pada pertempuran di laut Arginusae, Athena memperoleh kemenangan.
Orang Athena menghancurkan 77 pasukan Sparta dan triemse sekutu merea
dengan hanya kehilangan 26 kapal. Enam puluh empat persen armada
14
Peloponnesia hancur dalam beberapa jam dan menjadi pertempuran laut
terkejam dalam sejarah Perang Peloponnesia (Hanson, 2005: 313).
Namun karena cuaca yang buruk mereka terombang-ambing di laut, dan
mengenyahkan kesempatan Athena untuk bangkit. Kegagalan ini menyebabkan
di sidangnya enam jendral Athena, untuk di eksekusi mati. Menyadari Athena
yang wilayahnya semakin menyusut, Sparta menawarkan tawaran perdamaian
namun ditolak loleh pihak Majelis di Athena yang percaya masih bisa bangkit.
Athena yang selalu menyalahkan jenderal mereka dalam kerugian armada
perang, menjadikannya kurang memiliki pemimpin yang tanggap setelah
Alkibdies. Berbeda dengan Sparta yang meskipun kalah besar dalam
pertempuran laut terbesar di Arginause, pasukan mereka masih melimpah
ditambah lagi gabungan armada Persia.
Pertempuran terakhir dan menjadi titik hancurnya Athena berada di
Aegospotami, sebelah utara Arginuase di wilayah Ionia pada tahun 405 SM.
Athena yang tidak lagi memiliki komandan yang cakap, seperti Thrasybulus,
Alkibidies, Nikias, dan Lamachos sekarang mengandalkan relawan dan
pejuang amatir yang ingin mempertahankan demokrasi Kekaisaran Athena
(Hanson, 2005: 317). Lysandros dengan strategi liciknya, yang menyerang
kamp armada Athena yang tengah beristirahat dan mengais makanan, dan
membuat armada Athena benar-benar luluh lantah.
Orang Athena yang menyadari bahwa tidak dapat melanjutkan perang
tanpa armada yang kuat, menyerah kepada Sparta pada tahun 404 SM (Souza,
2005: 98). Raja Sparta, Lysandros memimpin semua pasukan Peloponnesia
dan Persia menuju Athena, dan merayakan kemenangan mereka dengan
menghancurkan tembok panjang yang dibangun pada masa Pericles, melucuti
tentara Athena, dan menyita semua harta benda.
Setelah penyerahan Athena kepada Sparta, Athena harus berganti
konstitusi demokrasi menjadi oligarki ala Sparta. Rezim ini dipimpin oleh 30
orang yang disebut “Tiga Puluh Tirani” yang ditugasi untuk menyusun
konstitusi jangka panjang untuk Athena (Souza, 2005: 101).
Berakhirnya Perang Peloponnesia membawa lembaran baru bagi Yunani
dimana pada masa selanjutnya berada di bawah kepemimpinan raja Macedonia
15
di bawah kepeimpinan Raja Philip pada tahun 338 SM (Septianingrum, 2018:
12).
16
Kemenangan bangsa Yunani dalam mengusir bangsa Persia yang sedang
melakukan ekspansi pada tahun 490-479 SM, menimbulkan benih intrik untuk
menguasai seluruh daratan Yunani oleh Athena dengan Liga Delianya serta Sparta
dengan Liga Peloponnesianya. Athena kemudian meenjadikan aliansinya Liga
Delia, jadi satu kekuasaan pemerintahan dalam bentuk Kekaisaran Athena pada
masa Pericles. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi oleh polis-polis kecil,
menarik Athena dan Sparta ikut andil dalam konflik peperangan berkepanjangan.
Sparta mendeklarasikan perang kepada Athena pada tahun 431 SM,
dengan maksud agar Athena tidak lagi mengurusi masalah dalam negeri polis-
polis lain. Perang selama hampir tiga dekade ini, terbagi menjadi tiga fase, yaitu
Perang Archedemian, Perang Sisilia, serta Perang Aegea dan Perang Ionia. Dari
perang ini, muncul jenderal-jenderal besar ambisius serta cerdas dari Athena serta
Sparta, yakni Pericles, Alkibidies, Cleon, Nikias, Thucydides, Demosthenes, dan
Lamachos dari Kekaisaran Athena. Brasidas, Agis, Gylippus, serta Lysandros.
Perang ini diwarnai dengan pengkhianatan Alkibidies yang membelot
kepada Sparta, juga dibuangnya Thucydides karena gagal mempertahankan
Amphipolis dan menuliskan sejarah Perang ini di pengasingannya. Serta ikut
campurnya Persia dalam masalah perebutan hegemoni tertinggi Yunani ini dengan
bergabung bersama Sparta dan Liga Peloponnesianya melawan superioritas
Kekaisaran Athena, yang padahal merupakan mantan musuh bersama bangsa
Yunani dulu.
Permasalahan intrik dalam pemerintahan Athena, dan ambisiusnya
jenderal-jenderalnya untuk berperang membuatnya kalah dan menyerah kepada
Sparta pada tahun 404 SM. Demokrasi Athena yang sangat berjaya, sejak masa
Pericles, kini runtuh dan menjadi wilayah jajahan Sparta dalam sistem
oligarkinya. Sejarah Yunani yang panjang, kemudian harus menjadi daerah
taklukan Macedonia di bawah pimpinan Raja Philip pada tahun 338 SM.
17
DAFTAR PUSTAKA
Hanson, Victor Davis. 2005. A War Like No Other How Atheneans and Spartans
Fought The Peloponnesian War. New York: Random House Trade
Paperbacks.
Lazenby, J.E. 2004. The Peloponnesian War A Military Study. New York:
Routledge Taylor & Francis Group.
Septianingrum, Anisa. 2018. Invasi Yunani Ke Persia Sebagai Bukti Kebangkitan
Kebudayaan Hellenis. Jurnal Diakronika 18(1), 6-12. Dari
http://diakronika.ppj.unp.ac.id.
Souza, Philip de. 2005. Essential History The Peloponnesian War 431-404 BC.
New York: Routledge Taylor & Francis Group.
Sumargono. 2018. Modul Pengayaan Peminatan Sejarah untuk SMA/MA
Semester 2: Peradaban Awal Eropa. Surakarta: Putra Nugraha.
Universitas Negeri Yogyakarta. Tanpa Tahun. Perang Peloponnesos (Online),dari
(http://staffnew.uny.ac.id/upload/132319840/pendidikan/PERANG+PELO
PONNESOS.pptx), diakses pada 3 Januari 2021.
18