ETIKA
Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” dalam bentuk tunggal yang berarti kebiasaan.
Etika merupakan dunianya filsafat, nilai, dan moral yang mana etika bersifat abstrak dan
berkenaan dengan persoalan baik dan buruk. Yang mana dapat disimpulkan bahwa etika
adalah: (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan terutama tentang hak dan
kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; (3) nilai
mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dari hasil analisis K Bertens (2004: 6) disimpulkan bahwa etika memiliki tiga posisi,
yaitu sebagai (1) sistem nilai, yakni nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, (2) kode etik, yakni
kumpulan asas atau nilai moral, dan (3) filsafat moral, yakni ilmu tentang yang baik atau
buruk. Dalam poin ini, akan ditemukan keterkaitan antara etika sebagai sistem filsafat
sekaligus artikulasi kebudayaan
Dalam perkembangannya, etika ini disempurnakan kembali oleh John Stuart Mill dan
Jeremy Bentham, lewat perspektif Utilitarianisme yang berasal dari bahasa Inggris “utility”
yang berarti kegunaan, berguna, atau guna. Dengan demikian, bahwa suatu tindakan harus
ditentukan oleh akibat-akibatnya. Dilihat dari pengertian di atas, maka ciri umum aliran ini
adalah bersifat kritis, rasional, teleologis, dan universal. Utilitarinisme sebagai teori etika
normatif merupakan suatu teori yang kritis, karena menolak untuk taat terhadap norma-norma
atau peraturan moral yang berlaku begitu saja dan sebaliknya menuntut agar diperlihatkan
mengapa sesuatu itu tidak boleh atau diwajibkan.
INTEGRITAS
Integritas merupakan salah satu atribut terpenting/kunci yang harus dimiliki seorang
pemimpin. Integritas adalah suatu konsep berkaitan dengan konsistensi dalam tindakan-
tindakan, nilai-nilai, metode-metode, ukuran-ukuran, prinsip-prinsip, ekspektasi-ekspektasi
dan berbagai hal yang dihasilkan. Orang berintegritas berarti memiliki pribadi yang jujur dan
memiliki karakter kuat. Integritas itu sendiri berasal dari kata Latin “integer”, yang berarti :
- Sikap yang teguh mempertahankan prinsip, tidak mau korupsi, dan menjadi dasar yang
melekat pada diri sendiri sebagai nilai-nilai moral.
- Mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki
potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran.
Integritas adalah konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan, definisi lain dari integritas adalah suatu konsep yang
menunjuk konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip. Dalam etika, integritas
diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran atau ketepatan dari tindakan seseorang. Lawan dari
integritas adalah hipocrisy (hipokrit atau munafik).
Pemahaman Pancasila sendiri selain sebagai ideologi, pandangan hidup, kepribadian, dan
kebudayaan negara-bangsa adalah kristalisasi nilai, standar etika, serta manifestasi norma,
dalam aspek moralitas pikiran-tindakan-ucapan. Dengan demikian, seluruh ruang kehidupan
bermasyarakat-bernegara berada dalam koridor landasan ideologis Pancasila. Hal ini merujuk
pada arti kata ideologi itu sendiri, Althusser sendiri menekankan pula bahwa ideologi adalah
relasi imajiner individu-individu terhadap kenyataan real eksistensi mereka, yaitu ideologi
sebagai kekuatan material dalam masyarakat yang menyerap individu-individu sebagai
subjek dalam ideologi tertentu, misalnya relasi imajiner guru-murid menghasilkan praktik
material tentang cara berinteraksi antara guru dan murid (Adian, 2005).
Keberadaan Pancasila lewat seperangkat etika tak bisa melepaskan dari konsep kebudayaan
yang menurut Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1981: 203) antara lain bahasa, sistem
pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata
pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. Pada akhirnya, penafsiran kembali etika
Pancasila sebagai seperangkat sistem kebudayaan tak bisa dilepaskan dari frase “bangsa”
sekaligus ikatan geopolitik-geohistoris, bahkan konsensus bersama yang menghasilkan
kontrak politik. Dengan demikian, sintesa antara lima prinsip (nasionalisme,
internasionalisme, demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ke-Tuhanan yang berkebudayaan)
dalam Pancasila melahirkan kembali kesatuan dan kesadaran berbudaya dan berpengetahuan
lewat bingkai etika Pancasila.
Secara umum, dapat ditangkap bahwa fenomena demokrasi, metode perwakilan, model
permusyawaratan pada ranah perencanaan serta pengambilan keputusan adalah rasionalisasi
dari adanya hakikat kebangsaan, nilai kemanusiaan, serta sarana pencapaian tujuan dari
negara tersebut. Pada akhirnya, interpretasi etika sebagai sistem kebudayaan dibangun pada
adanya kenyataan/realita bahwa Indonesia dibangun atas nilai kepribadian serta rangkaian
sejarah peradaban.