Anda di halaman 1dari 4

Nikmatnya Mencari Ilmu

Oleh: Hamdani Aboe Syuja'

Saudaraku…, Islam menjelaskan kedudukan yang tinggi nan mulia tentang


keutamaan ilmu. Banyak ayat, hadits, perkataan dan kisah teladan para ulama
salaf yang menunjukkan hal ini, diantaranya adalah firman Allah Ta'ala :
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kalian dan
orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS.Al-Mujadilah: 11)

Al-Imam Ath-Thabari berkata, “Allah mengangkat derajat orang beriman yang


berilmu di hadapan orang beriman yang tidak berilmu karena keutamaan ilmu
mereka (jika mereka mengamalkan ilmu tersebut. Pent)1

Semangat Ilmu Generasi Terdahulu


Saudaraku......
Kalau kita menelisik kehidupan generasi awwalin (terdahulu) dalam menuntut
ilmu, niscaya kita akan mendapatkan betapa hebat semangat mereka sebagai
bukti haus ilmu di setiap tempat dan waktu. Tentang semangat menuntut ilmu
Al-Imam Ibnul Jauzy menukilkan sebuah ungkapan syair,
“Jadilah engkau seseorang yang kakinya berada di atas tanah namun cita-
cita tertingginya berada pada bintang thuraya”. (Abu Al-Hasan Ali bin
Ahmad Al-Bashri yang dikenal sebagai An-Na`imiy)

Sejatinya, menuntut ilmu tidaklah memandang status seseorang, baik tua


maupun muda, kaya ataupun miskin. Beberapa contoh di bawah ini, semoga
bisa membuat semangat kita berkobar terpacu untuk menuntut ilmu hingga
ajal menjemput.

1 Tafsir Ath-Thabari ; Qs Al-Mujadilah : 11


Al-Hafizh Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi, seorang ulama yang hidup pada
abad ke-5 hijriah, menceritakan tentang kisah dirinya selama perjalanan
menuntut ilmu,“Aku mengalami kencing darah tatkala pencarian hadits dua
kali; sekali semasa di Baghdad dan yang lain di Makkah. Hal itu disebabkan aku
berjalan tanpa menggunakan alas kaki dalam perjalananku mencari ilmu di
cuaca yang sangat panas di atas gurun yang membakar. Hal itu mempengaruhi
tubuhku sehingga aku kencing darah. Aku tidak pernah sama sekali
menggunakan kendaraan untuk mencari hadits, kecuali hanya sekali saja. Aku
selalu membawa kitab-kitabku di atas punggung di dalam menempuh
perjalanan hingga sampai di suatu negeri.”2

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ishaq pergi melakukan perjalanan untuk
mencari ilmu pada saat umur beliau masih 20 tahun. Beliau kembali ke
negerinya ketika sudah berumur 65 tahun. Berarti beliau melakukan perjalanan
mencari ilmu selama 45 tahun. Pada waktu tersebut beliau mendengarkan ilmu
dan mengambilnya dari 1700 guru. Kemudian beliau kembali ke negerinya dan
menikah pada usia 65 tahun dan dikaruniai beberapa anak. Kemudian beliau
menyampaikan hadits kepada manusia dan mengajarkannya3

Apa yang membuat mereka semangat?


Saudaraku... tentu tanda tanya besar tersirat dalam benak kita. Apakah yang
sebenarnya mendorong mereka untuk bersemangat dalam menuntut ilmu?
Bukankah zaman mereka adalah zaman yang serba kurang?? Tidak ada sarana
transportasi memadai untuk menempuh perjalan jauh, tidak ada media
komunikasi cepat apalagi modern, tidak pula teknologi canggih atau jaringan
internet yang dapat diakses dengan mudah sewaktu-waktu dibutuhkan

2 Tadzkirah Al-Huffazh (4/1243) karya: Al-Imam Adz-Dzahabi


3 Tadzkirah Al-Huffazh (3/1032)
sebagaimana yang kita dapatkan di zaman ini.

Nah, secara singkat jawaban pertanyaan ini sudah terwakili melalui ilustrasi
paragraf di atas. Setidaknya ada 3 jawaban,
1. Ada udang di balik batu, ada kemuliaan di balik ilmu
Salah satu jawabannya, karena mereka meyakini akan banyaknya kemuliaan
yang didapatkan oleh seorang penuntut ilmu syar`i. Seluruh penduduk langit
dan bumi memohonkan ampun dan mendoakan kebaikan untuk orang yang
menuntut ilmu. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Muhammad Shallahu
`Alaihi Wasallam,
“Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, penduduk langit dan bumi sampai pun
semut di sarangnya dan ikan di lautan mendoakan kebaikan untuk orang yang
mengajarkan kebaikan kepada manusia” 4

2. Tekat kuat untuk menghilangkan kebodohan pada diri sendiri dan orang
lain

Misi inilah yang selalu mereka songsong selama perjalanan ilmiah mereka.
Berkeinginan kuat untuk menghilangkan kebodohan pada diri pribadi dan
orang lain. Dan inilah pengertian dari kata al-ilm seperti yang disebutkan dalam
kitabul ilm, karya As-Syaikh Ibnu Utsaimin.

3. Tidak adanya sarana atau fasilitas yang dapat dijangkau secara capat

Kondisi di zaman mereka tidak seperti zaman dimana kita hidup sekarang.
Dewasa ini, kita bisa mendapatkan ilmu dengan mudah melalui berbagai media
yang ada. Mereka harus mencarinya, karena mereka punya prinsip, “Al-'ilmu
yu'ta walaa ya'ti” “Ilmu itu kita datangi, bukan ilmu yang mendatangi kita”.

4 Hadits Abu Umamah Al Bahili riwayat Tirmidzi (2685) di shahihkan oleh Al Albani.
Tapi Saya Sudah Tua?
Sebagian orang terkekang dengan sebuah alasan, seperti dalam ungkapan
“Tapi, saya sudah terlanjur tua”, atau “Butuh modal cukup”, atau “Sayang,
keluarga tidak mendukung” dan lainnya. Pembaca yang budiman, sejatinya ini
tidaklah menjadi alasan yang menghambat seseorang untuk menuntut ilmu.
Karena banyak para ulama salaf terdahulu yang menuntut ilmu di usia senja.

Hendaknya, keberadaan kita di abad ini semakin memudahkan kita untuk


belajar dan menuntut ilmu. Zaman yang penuh dengan berbagai bentuk
kecanggihan teknologi, media cetak bahkan media masa dan informasi yang
semakin memudahkan fasilitas penyebaran ilmu. Dengannya, kita dapat
mencari ilmu tanpa harus menempuh perjalanan jauh. Alhamdulillah.

Ingatlah saudara, singkirkan kata “terlambat” dalam menuntut ilmu.


Cermatilah ungkapan indah dari salah seorang ulama terkenal dibawah ini,
Na’im bin Hammad berkata: bahwa ada yang bertanya kepada Ibnul Mubarak,
“Sampai kapan engkau menuntut ilmu?” Ibnul Mubarak menjawab, “Hingga
wafat insya Allah”.5

Saudaraku... Ilmu adalah harta dan tabungan yang tak akan habis. Sebaik-baik
teman yang bersahabat adalah ilmu. Semuanya kembali kepada perjuangan
dan kesungguhan masing-masing kita. Baiknya perjalanan kehidupan ini
berawal dari kesadaran dan tekat untuk menapakinya dengan ilmu dan
kebenaran.
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengubah keadaan suatu kaum, sampai kaum
tersebut mengubahnya sendiri” (Ar-Ra'd: 11)
Wallahu'alam bisshawab.

5 ‘Uluwul Himmah”, karya Muhammad bin Ahmad bin Isma’il Al Muqaddam, terbitan Dar Ibnul Jauzi, hal.
202-206.

Anda mungkin juga menyukai