Prof Eri
Drg abdu
Prof Lies
Drg nova Adrian
Drg cipta
Drg rizki tanjung
Drg meini
Drg yuniar
Menuntut ilmu tidak hanya terbatas pada hal-hal ke akhiratan saja, tetapi juga tentang
keduniaan. Jelaslah kunci utama keberhasilan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun
di akhirat adalah ilmu. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Barangsiapa menghendaki
kehidupan dunia maka dengan ilmu, dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan
akhirat maka dengan ilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya (kehidupan
dunia dan akhirat) maka dengan ilmu.”
Untuk kehidupan dunia kita memerlukan ilmu yang dapat menopang kehidupan dunia,
untuk persiapan di akhirat. Kita juga memerlukan ilmu yang sekiranya dapat membekali
kehidupan akhirat. Dengan demikian, kebahagiaan di dunia dan di akhirat sebagai
tujuan hidup insya Allah akan tercapai.
"Dan demikian pula diantara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-
hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya dan jenisnya. Di antara hamba-
hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha
Perkasa, Maha Pengampun."
Ayat ini menjelaskan tentang, dengan ilmu, seseorang akan lebih memahami
bagaimana kehidupan ini diciptakan dan mendalami pengetahuan tentang kuasa Allah
SWT sebagai sang maha pencipta. Orang berilmu akan takut melakukan hal-hal yang
mengandung dosa karena ia memiliki pengetahuan akan kekuasaan dan juga
kebesaran Allah SWT.
Artinya: "Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan
mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim, no. 2699)
Ilmu akan kekal dan bermanfaat bagi pemiliknya walaupun ia telah meninggal.
Disebutkan dalam sebuah hadist tentang keutamaan ilmu dalam Islam:
Artinya: "Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga
perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do'a anak yang
sholeh" (HR. Muslim no. 1631)
F. Mati Syahid
ان فِيْ َس ِبي ِْل هّللا ِ َح َّتى َيرْ ِج ُع (رواه ِ ص َلىّ هُّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َمنْ َخ َر َج فِي َط َل
َ ب ْالع ِْل ِم َك َ ِ َقا َل َرس ُْو ُل هّللا:ْن َمالِكِ قا َ َل ِ نْ أَ َن
ِ س اب
)الترمذي
Artinya: “Dari Anas bin Malik berkata, telah bersabda Rasulullah saw :
“barangsiapa keluar (pergi) untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah
sehingga kembali (HR. Tirmidzi).
3. Kisah ulama
Abu Ghaddah mengelompokkan bentuk kesungguhan para ulama dalam dunia keilmuan
ke dalam enam aspek yang berbeda. Pertama, ia mengelompokkan kisah-kisah ke
tangguhan para ulama untuk melakukan “wi sata ilmu” atau rihlat fi thalab al ilm. Ke dua,
ia menceritakan tentang keseriusan pa ra ulama dengan meninggalkan segala ben tuk
kenikmatan, baik tidur di waktu siang dan malam hari, maupun rasa nikmat lainnya.
Ketiga, kesabaran dan penerimaan mereka terhadap kondisi perekonomian dan sulitnya
hidup. Keempat, Abu Ghaddah menceritakan ketangguhan para ulama untuk menahan
lapar dan dahaga selama menuntut ilmu Keenam, mengisahkan tentang kesulitan yang
dialami oleh para ulama tatkala buku mereka raib atau hilang, dicuri, serta terbakar.
Madinah untuk berguru lagi, karena sesungguhnya ilmuku sudah habis, semuanya sudah kuajarkan padamu”.
Kemudian, Imam Syafii menuruti gurunya itu dan berpamitan kepada ibunya.
Berkatalah Ibundanya Imam Syafii “Nak, pergilah engkau menuntut ilmu di jalan Allah, kita ketemunya nanti di
akhirat”. Maka Imam Syafii pun berangkat ke Madinah mencari guru untuk belajar. Saat itu usianya masih sangat
muda.
Di Madinah beliau berguru kepada Imam Malik. Tak butuh waktu lama bagi Imam Syafii untuk menyerap ilmu
kutub hijaz, Imam Malik. Imam Syafii menjadi murid kesayangan Imam Malik.
Selesai belajar di Madinah Imam Syafii masih melanjutkan pencarian ilmu ke Irak. Irak saat itu juga merupakan
salah satu kutub ilmu islam selain Madinah, karena disana ada Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya.
Jadi pada masa itu terdapat dua kutub ilmu Islam, yaitu kutub Hijaz di Madinah yang mana Imam Malik sebagai
mahagurunya dan ada kutub Baghdad dimana Imam Abu Hanifah sebagai mahagurunya.
Berangkatlah Imam Syafii mengembara ke Irak dan Imam Syafii menimba ilmu disana kepada murid-muridnya
Imam Abu Hanifah atau Imam Hanafi. Meski sudah banyak menyerap ilmu di Irak, Imam Syafii belum ingin
Di Irak Imam Syafii berkembang menjadi murid yang terkenal sangat pintar dan tercerdas, sehingga dalam waktu
singkat ia sudah diminta untuk mengajar. Satu murid, dua murid, tiga murid sampai ribuan murid berbondong-
bondong datang untuk berguru padanya. Hingga ia pun menjadi ulama besar yang terkenal keseluruh penjuru Irak
hingga Hijaz.
Ketika musim haji datang, Ibunya Imam Syafii selalu menunaikan haji. Suatu ketika di musim haji di Masjidil
Haram, ada sebuah pengajian besar yang mana pengajiannya di pimpin oleh seorang ulama besar dari Irak.
Ulama Besar dari irak ini dalam ceramahnya sebentar-sebentar berkata “Qola Muhammad bin Idris Asy
Syafii….Qola Muhammad bin Idris Asy Syafii” (berkata Muhammad bin Idris Asy Syafii).
Ibundanya Imam Syafii yang juga turut mendengar pengajian itu bertanya-tanya, Muhammad bin Idris Asy Syafii
yang disebut guru besar itu Muhammad bin Idris Asy Syafii yang mana? Karena Muhammad adalah anaknya dan
Idris adalah nama suaminya.
Maka bertanyalah Ibunya kepada Ulama besar tadi,”Wahai Syaikh maaf saya bertanya, siapakah itu Muhammad
Dengan bangganya Kyai besar itu berkata, “Dia adalah guruku, seorang ulama besar di Irak yang berasal dari kota
Mekkah ini”.
Mendengar jawaban itu Ibunya terkejut. Setahu dia tak ada nama Muhammad bin Idris Asy Syafii yang berasal
dari Mekkah ini selain dari anaknya. Maka ibunya Imam Syafii berkata “Ketahuilah wahai Syaikh, sesungguhnya
Mendengar jawaban itu Kyai besar itu pun terkejut, “Benarkah itu wahai ibu? ibunya Imam Syafii masih ada?”.
“Benar wahai syaikh, Muhammad bin Idris Asy Syafii adalah anakku,” jawab Ibunda Syafii.
Maka dia pun hormat kepada Ibu Imam Syafii tersebut. Setelah bercerita banyak Syaikh dari irak tadi pun
“Katakan pada anakku, jika ia ingin pulang ke Mekkah sekarang dia boleh pulang,” jawab sang ibu.
Setelah sampai ke Irak maka pesan pun disampaikan kepada Imam Syafii, “Wahai Imam, Ibumu berpesan jika
Maka Imam Syafii pun bergegas ingin pulang. Sudah sangat rindu kepada ibunda tercintanya. Namun disisi lain
masyarakat Irak begitu berat melepaskan Sang Imam. Namun dengan berat hati dan perasaan penuh haru mereka
Karena mereka semua cinta kepada Imam Syafii dan Imam Syafii merupakan Ulama Besar, maka saat Imam
Syafii ingin pulang mereka banyak sekali memberikan bekal kepada Imam Syafii, diantaranya banyak yang
memberi onta hingga Imam Syafii mendapat ratusan onta yang mana masing-masing onta terdapat isi bekal dan
kekayaan di punggungnya.
Imam Syafii terkejut melihat begitu banyaknya bekal yang diberikan kepadanya. Hampir semua orang Irak
memberinya bekal.
Imam Syafii pun pulang menuju Mekkah, sembari di kawal oleh beberapa orang muridnya berikut ratusan onta.
Sesampainya di pinggiran kota Mekkah Imam Syafii menyuruh salah seorang muridnys untuk menemui ibunya
Muridnya pun mendatangi rumah Ibunda Imam Syafii dan mengetuk pintu. Setelah di buka ibunya bertanya,
“Kamu siapa?”.
“Imam Syafii sedang dalam perjalanan pulang ke sini, dan sekarang sudah berada di pinggiran kota Mekkah”
Sang murid tersebut dengan bangganya menjawab, “Imam Syafii datang dengan membawa ratusan unta dan
Bukannya senang, Ibunya Imam Syafii malah marah. “Apa? Syafii membawa ratusan onta? Aku menyuruh ia
“Katakan pada Syafii bahwa dia tidak boleh pulang kerumah !!!” tegas ibunya sambil menutup pintu dengan
Maka dengan perasaan yang serba salah murid tersebut menyampaikan pesan ibunya kepada Imam Syafii. Ketika
onta berikut hartanya di berikan kepada warga Mekkah hingga tak tersisa. Yang tersisa hanya kitab saja.
Maka sang murid tadi pun disuruh kembali menemui sang ibu. Sesampainya di rumah ibunya, murid tadi
menceritakan kepada sang ibu bahwa semua onta dan hartanya sudah di bagikan kepada warga Mekkah yang
tersisa hanya kitab dan ilmunya saja. Maka Imam Syafii pun diperbolehkan pulang.
Subhanallah, kisah yang sangat luar biasa bukan dari seorang ulama luar biasa dan ibu yang luar biasa. Semoga
kita bisa meneladani kesederhaan dan kemuliaan beliau dalam menuntut ilmu.
IMAM Bukhari memiliki nama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah
bin Bardizbah al Bukhari. Ia lahir pada Syawal, salah satu bulan istimewa bagi umat Islam.
Mengutip dari iNews.id, Selasa (2/6), berdasarkan buku Biografi Imam Bukhari karangan Hanif Luthfi,
disebutkan bahwa Imam Bukhari tepatnya lahir pada 13 Syawal 194 Hijriah atau 21 Juli 810 Masehi di
Bukhara atau Buxoro, sebuah daerah di tepi Sungai Jihun, Uzbekistan.
Ayahnya adalah Ismail, seorang ulama yang salih. Bukhara yang juga disebut sebagai daerah Ma Wara
an-Nahr memang banyak melahirkan ilmuwan Muslim.
Ketika Al Bukhari masih kecil, ayahnya meninggal, sehingga ibunya merawat dan mendidiknya seorang
diri. Biaya pendidikannya didapat dari harta peninggalan ayahnya.
Ismail, ayah dari Al Bukhari, tampaknya sejak awal suka dan cenderung ke hadis Nabawi. Ketika pergi
haji pada tahun 179 Hijriah, atau 15 tahun sebelum Al Bukhari lahir, Ismail menyempatkan diri menemui
tokoh-tokoh ahli hadis seperti Imam Malik bin Anas (wafat 179 Hijriah), Abdullah bin Al Mubarak (wafat
181 Hijriah), Abu Mu’awiyah bin Shalih, dan lain-lain.
Tidak berselang lama Ismail wafat ketika Al Bukhari masih kanak-kanak. Sebuah perpustakaan pribadi
ditinggalkannya untuk Al Bukhari di samping semangat untuk mengaji hadis.
Dalam keadaan yatim, Al Bukhari lalu diasuh oleh ibunya dengan kasih sayang. Dibimbingnya untuk
menyintai buku-buku peninggalan ayahnya. Bersama-sama kawan sebayanya, Al Bukhari belajar
membaca dan menulis Alquran serta hadis.
Al Bukhari ketika kecil mengalami rasa sakit yang teramat di kedua matanya, hingga akhirnya
mengalami kebutaan.
Keadaan tersebut terus Beliau alami hingga suatu ketika Allah Subhanahu wa ta’ala mengembalikan
penglihatannya berkat usaha yang ditekuni oleh ibunya. Allah benar-benar memberikan kesembuhan
kepada Al Bukhari. Suatu malam, ibundanya tertidur, dan bermimpi melihat Nabi Ibrahim Alaihissalam.
Dalam mimpi tersebut, Nabi Ibrahim berkata, “Wahai perempuan, sungguh Allah telah mengembalikan
penglihatan putramu, karena banyaknya tangisanmu, atau banyaknya doa yang kamu panjatkan.”
Bukhari mulai belajar hadis saat masih muda, bahkan masih kurang dari 10 tahun. Ketika Al Bukhari
berusia 10 tahun inilah Imam as-Syafi’i di Mesir itu meninggal, tepatnya pada tahun 204 Hijriah, maka
praktis tidak pernah bertemu dengan Imam as-Syafi’i.
Setahun kemudian Al Bukhari mulai menghafal hadis Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.
Saat itu ia sudah ditunjuk untuk mengoreksi beberapa kesalahan penghafalan matan maupun rawi
dalam sebuah hadis yang diucapkan gurunya.
Pada usia 16 tahun, Al Bukhari sudah mengkhatamkan hafalan hadis-hadis di dalam kitab karangan
Waki al Jarrah dan Ibnu Mubarak.
Al Bukhari terkenal gigih dalam memburu sebuah hadis. Jika mendengar sebuah hadis, maka dia ingin
mendapat keterangan tentang hadis itu secara lengkap. Ia harus bertemu sendiri dengan orang yang
meriwayatkan hadis tersebut.
Dalam mengumpulkan hadis-hadis itu, Al Bukhari melanglang buana ke daerah Syam, Mesir, Aljazair,
Basra, hingga menetap di Makkah dan Madinah selama enam tahun, Kufah, serta Baghdad. Tidak
jarang Ala Bukhari bolak-balik ke tempat tersebut karena mendapati keterangan baru atau hadis baru.
4. Kisah pribadi
Belajar kelompok
Walaupun sudah drg nanti tetap belajar terus, seminar, baksos, hands on, belajr
agama juga
5. Kesimpulan
Dari Abu Hurairah Radiyallahu Anhu ia berkata: Rasulullah Sallallahu Alayhi Wasallam
bersabda: “Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada
orang mukmin yang lemah, namun pada masing-masing (dari keduanya) ada kebaikan.
Allah, dan jangan menjadi lemah. Jika kamu ditimpa sesuatu, jangan berkata seandainya
aku berbuat begini, maka akan begini dan begitu, tetapi katakanlah Allah telah
menakdirkan, dan kehendak oleh Allah pasti dilakukan. Sebab kata ‘seandainya’ itu
Dan mungkin semua ini ada faktor dari berbagai sektor yang harus umat muslim perbaiki
dengan menciptakan giat menuntut ilmu menjadi sebuah kebiasaan (habits) baru, ada
sebuah nasihat Imam Syafi’I kepada siapa saja yang ingin menguasai ilmu “Wahai
saudaraku, kalian tidak akan dapat menguasai ilmu kecuali dengan 6 syarat yang akan
bersama pembimbing (guru), keenam serta waktu yang lama” dan selalu ingat