Orang yang mempunyai ilmu mendapat kehormatan di sisi Allah dan Rasul-Nya.
Banyak ayat Al-Qur’an yang mengarah agar umatnya mau menuntut ilmu, seperti
yang terdapat dalam Qs Al Mujadalah ayat 11:
ٍ يَرْ فَ ِع هللاُ الَّ ِذينَ َءا َمنُوا ِمن ُك ْم َوالَّ ِذينَ ُأوتُوا ْال ِع ْل َم َد َر َجا
ت َوهللاُ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِي ُُر
Artinya :
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.s. al-Mujadalah : 11)
Diantara perkara mulia yang hendaknya menjadi kesibukan kita adalah menuntut ilmu.
Orang yang memiliki ilmu akan dapat membedakan antara petunjuk dan kesesatan,
kebenaran dan kebatilan, sunnah dan bid’ah. Maka ilmu adalah perkara mulia yang
hendaknya menjadi perhatian setiap muslim, perkara yang harus diutamakan. Karena
ilmu itu lebih didahulukan dari perkataan dan perbuatan.
Dan kedua hukumnya menjadi fardu kifayah untuk mempelajari ilmu pengetahuan
umum seperti : ilmu sosial, kedokteran, ekonomi serta teknologi.Fardu Kifayah artinya
tidak semua orang dituntut untuk memahami serta mempraktekkan ilmu-ilmu tersebut,
boleh hanya sebagian orang saja.
Kewajiban menuntut ilmu ini ditegaskan dalam hadits nabi, yaitu :
ِ طَلَبُ ْال ِع ْل َم فَ ِري
ْضةٌ َعلَى ُك ِّل ُم ْسلِ ٍم َو ُم ْسلِ َم ٍة
Artinya :
Mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi muslimin dan muslimat”(HR. Ibnu Abdil Bari)
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW dengan tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu
hukumnya wajib atas setiap muslim, bukan bagi sebahagian orang muslim saja. Lalu,
“ilmu” apakah yang dimaksud dalam hadis ini? Penting untuk diketahui bahwa ketika
Allah Ta’ala atau Rasul-Nya Muhammad SAW menyebutkan kata “ilmu” saja dalam
Al Qur’an atau As-Sunnah, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu agama, termasuk
kata “ilmu” yang terdapat dalam hadis di atas.
Secara jelas dan tegas hadits di atas menyebutkan bahwa menuntut ilmu itu
diwajibkan bukan saja kepada laki-laki, juga kepada perempuan. Tidak ada perbedaan
bagi laki-laki ataupun perempuan dalam mencari ilmu, semuanya wajib. Hanya saja
bahwa dalam mencari ilmu itu harus tetap sesuai dengan ketentuan Islam.
Dalam hadis dijelaskan bahwa ilmu yang wajib dituntut adalah ilmu yang bermanfaat.
Yang bukan hanya benar, tapi juga dapat mendekatkan diri kita kepada Allah SWT
dan dapat memberi kebahagiaan bagi kita, keluarga, dan masyarakat baik di dunia mau
pun di akhirat.
Allah berfirman, “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut
(menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya
tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat (ilmu dan hikmah) Allah.
Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS Lukman [31] : 27)
Oleh kerana itu, Rasulullah SAW pernah memohon dalam doanya, “Allaahumma inni
a’uudzubika min ‘ilmin laa yanfa’u”. ‘Ya, Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu
yang tidak bermanfaat.’
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu beberapa derajat…” (Al-Mujadilah: 11)
Mengenal Beberapa Makna Sebagian Mufradat Ayat
“Allah meninggikan” maknanya Allah mengangkat. Yaitu mengangkat kaum
mukminin di atas selain kaum mukminin dan mengangkat orang yang berilmu di atas
orang yang tidak berilmu.
“orang-orang yang diberi ilmu”, yang dimaksud ilmu di dalam ayat ini adalah ilmu
syar’i. Sebab dengannyalah seseorang akan mendapatkan keterangan dalam
mengamalkan agamanya berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Tafsir Ayat
Ayat Allah U yang mulia ini menjelaskan keutamaan para ahli ilmu dan orang-orang
yang senantiasa menuntut ilmu agama. Di samping karena keimanan yang mereka
miliki, mereka juga diangkat derajat dan kedudukannya oleh Allah karena
bertambahnya ilmu agama mereka, yang menjadikannya semakin jauh dari kejahilan
dan mendekatkan kepada keridhaan Allah U.
Berikut beberapa penafsiran para ulama tentang tafsir ayat ini:
– Ath-Thabari t berkata: Allah U mengangkat kaum mukminin dari kalian wahai kaum,
dengan ketaatan mereka kepada Rabb mereka. Maka (mereka taat) pada apa yang
diperintahkan kepada mereka untuk melapangkan (majelis) ketika mereka
diperintahkan untuk melapangkannya. Atau mereka bangkit menuju kebaikan apabila
diperintahkan mereka untuk bangkit kepadanya. Dan dengan keutamaan ilmu yang
mereka miliki, Allah U mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dari ahlul iman
(kaum mukminin) di atas kaum mukminin yang tidak diberikan ilmu, jika mereka
mengamalkan apa yang mereka diperintahkan.” Lalu beliau menukilkan beberapa
perkataan ulama salaf, di antaranya Qatadah t, beliau berkata: “Sesungguhnya
dengan ilmu, pemiliknya memiliki keutamaan. Sesungguhnya ilmu memiliki hak atas
pemiliknya, dan hak ilmu terhadap kamu, wahai seorang alim, adalah keutamaan.
Dan Allah memberikan kepada setiap pemilik keutamaan, keutamaannya.” (Tafsir
Ath-Thabari, juz 28 hal.19)
“Keutamaan ilmu lebih baik dari keutamaan ibadah. Dan kunci agama adalah
bersikap wara’ (meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan memudharatkan di
akhirat, pen).” (Diriwayatkan oleh Al-Bazzar, Abu Nu’aim, Al-Hakim, dll, dari hadits
Hudzaifah ibnul Yaman. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Qais bin’ Amr
Al-Mula’i, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4214. Lihat pula Shahih
Jami’ Bayan Al-‘Ilmi Wa Fadhlihi no. 27)
Hadits ini menjelaskan demikian mulianya ilmu dan penuntut ilmu. Ini disebabkan
karena seorang yang berilmu kemudian mengajarkan ilmunya, mendakwahkannya,
hingga Allah memberikan hidayah kepada orang lain dengan sebab dakwahnya, maka
menjadi salah satu amal jariyah baginya. Selama ada yang mengamalkan ilmunya
tersebut, maka dia akan terus mendapatkan pahala dari Allah U walaupun dia telah
meninggal. Berbeda dengan orang yang mengerjakan shalat sunnah dan semisalnya,
tidak ada yang merasakan manfaatnya kecuali hanya dirinya sendiri.
Ishaq bin Manshur t berkata: “Aku bertanya kepada Al-Imam Ahmad tentang
perkataannya: Mudzakarah (mengulang-ulangi) ilmu pada sebagian malam lebih aku
senangi daripada menghidupkannya (dengan qiyamul lail). Ilmu apakah yang
dimaksud?” Beliau menjawab: “Yaitu ilmu yang memberi manfaat kepada manusia
dalam perkara agamanya.” Aku bertanya lagi: “Dalam hal (cara) berwudhu’, shalat,
puasa, haji, talak, dan semisalnya?”. Beliau menjawab: “Iya.” (Shahih Jami’ Al-Bayan,
30/45)
Dan berkata pula Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi: Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata:
“Menuntut ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Shahih Jami’ Al-Bayan, 31/48)
Sufyan Ats-Tsauri t berkata: “Aku tidak mengetahui ada satu ibadah yang lebih afdhal
daripada seseorang yang mempelajari ilmu.” (Shahih Jami’ Al-Bayan, 46/78)
“… Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang
lain), dan Kami berikan Zabur (kepada Dawud).” (Al-Isra: 55)
kata beliau: “yaitu dengan ilmu.” (Shahih Jami’ Al-Bayan, 46/79).
Diberitakan oleh Asy’ats bin Syu’bah Al-Misshishi bahwa beliau berkata: Suatu hari
Harun Ar-Rasyid pergi ke Raqqah, maka berlalu gerombolan manusia di belakang
Abdullah ibnul Mubarak, terputuslah sandal-sandal, debu-debu bertebaran. Lalu
salah seorang budak wanita Amirul Mukminin melongok dari dalam istana, lalu
bertanya: “Siapa ini?” Mereka menjawab: “Seorang alim dari Khurasan telah datang.”
Berkatalah sang budak: “Demi Allah, inilah kerajaan sebenarnya, bukan kerajaan milik
Harun yang mengumpulkan manusia dengan tentaranya dan para pembantunya.”
(Siyaru A’lam An-Nubala, Adz-Dzahabi, 8/384)
Wallahi, inilah kemuliaan yang sebenarnya. Dan bukanlah kemuliaan ketika
seseorang diberikan pundi-pundi harta kekayaan, atau jabatan yang menjadi incaran,
atau partai-partai yang menjadi dambaan, atau duduk di kursi DPR/MPR , dengan
dalih “menegakkan syariat Islam”, “merintis khilafah Islam”, dan propaganda lainnya.
Katakanlah kepada mereka: “Wahai orang-orang yang muflis (bangkrut),
bagaimanapun pandainya kalian dalam menata organisasi dan partai kalian,
menyelenggarakan berbagai macam kegiatan hizbiyyah kalian, menjaga diri dari
berbagai makar dan tipu daya syaithan, kalian tidaklah mungkin mendapatkan
kemuliaan dan keagungan hingga kalian menjadikan amalan kalian di atas ilmu,
mengenal keutamaan ilmu, dan ahli ilmu.” (Lihat Madarikun Nazhar, hal. 36)
Suatu hal yang mustahil bagi mereka yang ingin menegakkan syariat Islam,
mendirikan khilafah Islamiyah, namun menempuhnya dengan cara-cara yang batil,
dengan membentuk partai, masuk ke dalam parlemen, menundukkan dirinya di
hadapan demokrasi yang thaghut, dan tidak membangun segala aktivitasnya di atas
ilmu yang haq dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah r. Sungguh mereka hanyalah
mencari sesuatu yang bersifat fatamorgana, sebagaimana sebuah syair:
“Sesungguhnya Allah mengangkat (derajat) sebagian kaum dengan kitab ini (Al
Qur’an), dan dengannya Allah merendahkan yang lainnya.”
Ahmad bin Ja’far bin Muslim t berkata: Aku mendengarkan Abbar berkata: Ketika aku
berada di Al-Ahwaz, aku melihat ada seorang laki-laki yang telah mencukur habis
kumisnya,-(Ahmad bin Ja’far berkata) aku menyangka dia berkata- dia telah membeli
beberapa kitab dan siap menjadi seorang mufti. Lalu disebutkan kepadanya ashabul
hadits, maka dia menjawab: “Mereka tidak ada apa-apanya, mereka tidak memiliki
apa-apa.” Aku pun berkata (kepadanya): “Engkau tidak pandai mengerjakan shalat.”
Dia berkata: ‘Aku?’. Aku menjawab: ‘Iya, apa yang engkau hafal dari Rasulullah r
ketika engkau membuka shalatmu dan mengangkat kedua tanganmu?’ Maka dia
terdiam. Aku pun bertanya kembali: ‘Apa yang engkau hafal dari Rasulullah r tatkala
engkau sujud?’. Dia kembali terdiam. Aku berkata: ‘Bukankah aku telah mengatakan
engkau tidak pandai mengerjakan shalat? Maka janganlah engkau menjelekkan
ashabul hadits.” (Siyaru A’lam An-Nubala, Adz-Dzahabi, 13/444)
Ulama adalah Para Mujahid
Allah telah menjadikan orang-orang yang menuntut ilmu sebagai salah satu bagian
dalam jihad fi sabilillah. Firman-Nya:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.” (At-Taubah:122)
Abu Darda z berkata: “Barangsiapa yang menganggap bahwa berangkatnya
seseorang mencari ilmu itu bukan jihad, maka sungguh dia kurang akal dan fikiran.”
(Lihat Shahih Jami’ Al Bayan, 35/56)
Terhadap merekalah kaum muslimin diperintahkan untuk merujuk kepadanya ketika
mereka menghadapi berbagai macam problem dan masyakil di dalam agama mereka.
Baik masalah bersuci, shalat, puasa, zakat, jihad, maupun persoalan-persoalan
kontemporer (fiqh nawazil) dan lain sebagainya. Barangsiapa yang membagi para
ulama menjadi dua: ulama dalam urusan jihad dan ulama mengurusi selain jihad,
maka sungguh dia telah terjerumus dalam kebatilan yang nyata.
Al-Albani t berkata: “Jika sekiranya sikap memberontak terhadap pemerintah
mendatangkan kejahatan yang telah dijelaskan oleh nash-nash syar’i yang saling
menyatu, disertai dengan berbagai kejadian yang nyata, sebagaimana yang nampak
dari hasil perbuatan para ahli bid’ah di setiap zaman. Maka lebih jahat lagi adalah
orang-orang yang keluar dari para ulamanya dengan menjatuhkan hak-hak mereka,
dan tidak bersandar kepada fatwa-fatwa mereka kecuali yang sesuai dengan hawa
nafsu para haraki (Ikhwanul Muslimin, pen) dan meremehkan kedudukan mereka
dalam hal (menyikapi) politik, dan melontarkan tuduhan kepada mereka dengan
istilah “ulama di rumah wudhu”, dan gelar-gelar semisalnya yang diwarisi oleh para
ahlul bid’ah yang hina dari yang hina, yang ditujukan kepada para ulama salafiyyin
yang mulia kepada yang mulia. Dan hal ini berarti menggugurkan syariat dengan
mencerca para saksi dan pembawanya. Dan Allah akan memenuhi janjinya.”
(Madarikun Nazhar, hal. 227-228)