Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH AIKA 5

Kewajiban Menuntut Ilmu Mengembangkan Dan Mengamalkannya

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok : Al Islam


Kemuhammadiyahan V

Disusun Oleh Kelompok 2:

1. Diah Anggraheni (1926201070)

2. Andrian Wijayani (1926201069)

FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK INDUSTRI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai umat muslim (orang yang beragama Islam) kita memerlukan belajar secara
teratur (long live education). Belajar dalam Islam bertujuan agar kita dapat ilmu
untuk hidup di dunia dan memperoleh bekal untuk di akhirat. Hal-hal penting tentang
ilmu yang harus kita pelajari nantinya akan berpengaruh dan In syaa Allah dapat
menjadi pegangan kita selama hidup di dunia yaitu dengan ilmu kita dapat mencari
nafkah untuk kebutuhan hidup.

Ilmu adalah bunga-bunga ibadah . Kita harus memahami juga untuk apa kita hidup di
dunia ini. Allah menciptakan makhluknya hanya untuk beriman dan bertakwa
kepada-Nya. Jadi semua hal di dunia yang telah dan akan kita lakukan, semua
ditujukan hanya pada Allah. Setiap hal di dunia memerlukan ilmu. Sebab kelebihan
yang dimiliki manusia adalah akal. Dengan akal maka manusia dapat berpikir dan
mempergunakan pikirannya untuk memperoleh dan mengamalkan ilmu.

Mencari ilmu adalah kebutuhan yang akan menjadi kewajiban bila sudah ditanamkan
dalam hati. Hal tersebut sangat penting karena akan menjadi bekal manusia di dunia
dan di akherat. Islam dianggap sebagai agama pemersatu bangsa dan agama Islam
sebagai rahmatan lil alamin. Kita sebagai umat muslim akan menjadi orang yang
merugi bila tidak menuntut ilmu. Sebab Nabi Muhammad SAW pernah bersabda :
“Tuntutlah ilmu meskipun sampai ke negeri Cina”. Sabda nabi tersebut menunjukkan
bahwa ilmu sangatlah berharga. Ilmu yang kita miliki baru akan berharga bila sudah
diamalkan di jalan Allah. Dengan demikian kita akan mampu meningkatkan amal
ibadah kita kepada Allah SWT.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengambil judul makalah “Kewajiban


Menuntut Ilmu, Mengembangkan dan Mengamalkannya”
B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaiman perintah menuntut ilmu dalam Islam ?

2. Bagaimana keutamaan orang berilmu ?

3. Bagaimana kedudukan ulama dalam Islam ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perintah menuntut ilmu dalam Islam ?

2. Bagaimana keutamaan orang berilmu ?

3. Bagaimana kedudukan ulama dalam Islam ?

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai sumber


pengetahuan serta sebagai tambahan materi khususnya bagi penulis.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perintah Menuntut Ilmu Dalam Islam

Pada dasarnya kita hidup didunia ini tidak lain adalah untuk beribadah kepada
Allah. Tentunya beribadah dan beramal harus berdasarkan ilmu yang ada di Al-
Qur’an dan Al-Hadist. Tidak akan tersesat bagi siapa saja yang berpegang teguh dan
sungguh-sungguh perpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Hadist.

Disebutkan dalam hadist, bahwasanya ilmu yang wajib dicari seorang muslim
ada 3, sedangkan yang lainnya akan menjadi fadhlun (keutamaan). Ketiga ilmu
tersebut adalah ayatun muhkamatun (ayat-ayat Al-Qur’an yang menghukumi),
sunnatun qoimatun (sunnah dari Al-hadist yang menegakkan) dan faridhotun adilah
(ilmu bagi waris atau ilmu faroidh yang adil)

Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda :

‫ (رواه‬.‫َب‬ َّ ‫َؤ َو‬Fُ‫ وْ ه ََر َو للُّْؤ ل‬F‫ازي ِْر ْال َج‬Fَ


َ ‫ذه‬F‫ال‬ ِ ‫ ِه َك ُمقَلِّ ِد ْال َخن‬Fِ‫ض ُع ْال ِع ْل ِم ِع ْن َد َغي ِْر اَ ْهل‬ َ ‫ب ْال ِع ْل ِم فَ ِر ْي‬
ِ ‫ضةٌ َعلَى ُك ِّل ُم ْسلِ ٍم َو َو‬ ِ َ‫طَل‬
)‫ابن مجاه‬

“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan orang yang meletakkan ilmu
kepada orang yang bukan ahlinya (orang yang enggan untuk menerimanya dan orang
yang menertawakan ilmu agama) seperti orang yang mengalungi beberapa babi
dengan beberapa permata, dan emas. (H.R. Ibnu Majah,Al-Baihaqi,Anas bin Malik
dan lain lain serta Al-Mundiri 28/1)

Juga pada hadist rasulullah yang lain,”carilah ilmu walau sampai ke negeri
cina”. Dalam hadist ini kita tidak dituntut mencari ilmu ke cina, tetapi dalam hadist
ini rasulullah menyuruh kita mencari ilmu dari berbagai penjuru dunia. Walau jauh
ilmu haru tetap dikejar.
Dalam kitab “ Ta’limul muta’alim” disebutkan bahwa ilmu yang wajib
dituntut terlebih dahulu adalah ilmu haal yaitu ilmu yang seketika itu pasti digunakan
dn diamalkan bagi setiap orang yang sudah baligh. Seperti ilmu tauhid dan ilmu fiqih.
Apabila kedua bidang ilmu itu telah dikuasai, baru mempelajari ilmu-ilmu lainya,
misalnya ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lainya.

Kadang-kadang orang lupa dalam mendidik anaknya, sehingga lebih


mengutamakan ilmu-ilmu umum daripada ilmu agama. Maka anak menjadi orang
yang buta agama dan menyepelekan kewajiban-kewajiban agamanya. Dalam hal ini
orang tua perlu sekali memberikan bekal ilmu keagamaan sebelum anaknya
mempelajari ilmu-ilmu umum.

Dalam hadist yang lain Rasulullah bersabda, “sedekah yang paling utama
adalah orang islam yang belajar suatu ilmu kemudian diajarkan ilmu itu kepada orang
lain.”(HR. Ibnu Majah)

Maksud hadis diatas adalah lebih utama lagi orang yang mau menuntut ilmu
kemudian ilmu itu diajarkan kepada orang lain. Inilah sedekah yang paling utama
dibanding sedekah harta benda. Ini dikarenakan mengajarkan ilmu, khususnya ilmu
agama, berarti menenan amal yang muta’adi (dapat berkembang) yang manfaatnya
bukan hanya dikenyam orang yang diajarkan itu sendiri, tetapi dapat dinikmati orang
lain.
B. Keutamaan Orang Berilmu

Orang yang berilmu mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi
Allah dan masyarakat. Al-Quran menggelari golongan ini dengan berbagai gelaran
mulia dan terhormat yang menggambarkan kemuliaan dan ketinggian kedudukan
mereka di sisi Allah SWT dan makhluk-Nya. Mereka digelari sebagai “al-Raasikhun
fil Ilm” (Al Imran : 7), “Ulul al-Ilmi” (Al Imran : 18), “Ulul al-Bab” (Al Imran : 190),
“al-Basir” dan “as-Sami' “ (Hud : 24), “al-A'limun” (al-A'nkabut : 43), “al-Ulama”
(Fatir : 28), “al-Ahya' “ (Fatir : 35) dan berbagai nama baik dan gelar mulia lain.

Dalam surat ali Imran ayat ke-18, Allah SWT berfirman: "Allah menyatakan
bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang- orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".

Dalam ayat ini ditegaskan pada golongan orang berilmu bahwa mereka amat
istimewa di sisi Allah SWT . Mereka diangkat sejajar dengan para malaikat yang
menjadi saksi Keesaan Allah SWT. Peringatan Allah dan Rasul-Nya sangat keras
terhadap kalangan yang menyembunyikan kebenaran/ilmu, sebagaimana firman-Nya:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan
berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami
menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan
dilaknati pula oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati." (Al-Baqarah: 159)

Rasulullah SAW juga bersabda: "Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu,


akan dikendali mulutnya oleh Allah pada hari kiamat dengan kendali dari api neraka."
(HR Ibnu Hibban di dalam kitab sahih beliau. Juga diriwayatkan oleh Al-Hakim. Al
Hakim dan adz-Dzahabi berpendapat bahwa hadits ini sahih) Jadi setiap orang yang
berilmu harus mengamalkan ilmunya agar ilmu yang ia peroleh dapat bermanfaat.
Misalnya dengan cara mengajar atau mengamalkan pengetahuanya untuk hal-hal
yang bermanfaat.
C. Kewajiban Mengamalkan Ilmu

Banyak orang menuntut ilmu yang tidak diamalkan,ilmunya menjadi sia-


sia hanya digunakan untuk menunjukan kehebatan dan keutamaan dirinya,serta
untuk tujuan yang berbau keduniaan.

Amalkan ilmumu bila engkau ingin selamat dari adzab Allah. Dalam
mengamalkan ilmu kita harus memperhatikan hal-hal berikut,diantaranya :

1. Jangan melihat tempat dan waktu dalam mengamalkan ilmu

2. Meskipun sedikit amalkan ilmumu

Dikisahkan ,sesungguhnya Al – Junaid setelah meninggal dunia ada seorang


yang bermimpi bertemu dia, lalu ia bertanya kepada Al – junaid : “Wahai Abu
Qasim (imam junaid), bagaimana keadaanmu setelah meninggal? ,Al – Junaid
menjawab,”Aduh … kebaikan yang aku lakukan hilang semuanya,dan seluruh
isyarah amal-amal itu juga hilang tidak ada manfa’atnya sedikitpun ,kecuali
beberapa rakaat yang aku lakukan di tengah malam”. Keterangan Al- Junaid
membuktikan bahwa derajat seseorang disisi Allah itu tidak dilihat dari
banyaknya ilmu yang dipelajari dan dikuasai,melainkan dilihat dari
pengamalannya. Meskipun ilmunya sedikit lalu diamalkan itu lebih baik dan
berarti dari pada memiliki ilmu yang banyak tetapi tidak diamalkan.

3. Janganlah menunggu masa tua dalam mengamalkan ilmu.

4. Jangan beranggapan ilmu itu bisa mengangkat derajat mu bila tanpa


diamalkan.

Ali ra berkata : “Barangsiapa menyangka bahwa tanpa jerih payah beribadah


dirinya bisa mencapai derajat yang tinggi,itu berarti dia mengharapkan
perkara yang sulit datangnya. Barangsiapa menyangka bahwa dengan
menyepelekan ibadah dirinya bisa mencapai derajat tinggi,itu menunjukan
kesombongan dirinya (ia sudah merasa cukup amal ibadahnya)
Al Hasan berkata : “Mencari surga tanpa beramal adalah suatu dosa,dari jenis
dosa-dosa yang lain

Nabi Isa bersabda: “Orang yang mempelajari suatu ilmu tetapi tidak mau
mengamalkannya, bagaikan seorang wanita yang berbuat zina ditempat
tersembunyi,lalu ia hamil dan perut wanita itu semakin besar,yang akhirnya
ketahuan dia hamil. Begitu juga dengan orang yang tidak mau mengamalkan
ilmunya,pada hari kiiamat nanti Allah akan memperlihatkan dia dihadapan
semua makhluk yang hadir di Makhsyar”

D. Kedudukan Ulama Dalam Islam

Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh
agama, serta tingginya kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam
hal kebaikan mereka sebagai teladan dan pemimpin yang diikuti jalannya
serta dicontoh perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama bagaikan lentera
penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang
membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar
(orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang
bertaqwa. Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan
martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya.

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :

َ‫قُلْ هَلْ يَ ْست َِوي الَّ ِذينَ يَ ْعلَ ُمونَ َوالَّ ِذينَ اَل يَ ْعلَ ُمون‬

Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang


yang tidak mengetahui?” (QS. az-Zumar: 9) Dan firman-Nya Azza wa Jalla:

ٍ ‫يَرْ فَ ِع هَّللا ُ الَّ ِذينَ َآ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذينَ ُأوتُوا ْال ِع ْل َم َد َر َجا‬
‫ت‬

Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu


beberapa derajat.” (QS. al-Mujadilah: 11)
Diantara keutamaannya adalah para malaikat akan membentangkan sayapnya
karena tunduk akan ucapan mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan yang berada di
airpun ikut memohonkan ampun baginya. Para ulama itu adalah pewaris Nabi, dan
sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka
wariskan hanyala ilmu, dan pewaris sama kedudukannya dengan yang
mewariskannya, maka bagi pewaris mendapatkan kedudukan yang sama dengan yang
mewariskannya itu.

Di dalam hadits Abi Darda radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu


‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk menuntut
ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhya para
malaikat akan membuka sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha
dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang alim akan
dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan
yang berada di air.

Sesungguhnya keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan
purnama atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan
sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka
wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka
sesungguhnya ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.” (Shahih, HR
Ahmad (V/196), Abu Dawud (3641), at-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah (223) dan Ibnu
Hibban (80/al-Mawarid). Para ulama telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh para
Nabi, dan melanjutkan peranan dakwah di tengah-tengah umatnya untuk menyeru
kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Juga melarang dari perbuatan maksiat serta
membela agama Allah. Mereka berkedudukan seperti rasul-rasul antara Allah dan
hamba-hamba-Nya dalam memberi nasehat, penjelasan dan petunjuk, serta untuk
menegakkan hujjah, menepis alasan yang tak berdalih dan menerangi jalan.
Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Sesungguhnya orang alim itu perantara
antara Allah dan hamba-hamba-Nya, maka perhatikanlah bagaimana dia bisa masuk
di kalangan hamba-hamba-Nya.”

Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Manusia yang paling agung kedudukannya


adalah yang menjadi perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya, yaitu para
Nabi dan ulama.”

Sahl bin Abdullah berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat majlisnya para
Nabi, maka hendaklah dia melihat majelisnya para ulama, dimana ada seseorang yang
datang kemudian bertanya, ‘Wahai fulan apa pendapatmu terhadap seorang laki-laki
yang bersumpah kepada istrinya demikian dan demikian?’ Kemudian dia menjawab,
‘Istrinya telah dicerai.’ Kemudian datang orang lain dan bertanya, ‘Apa pendapatmu
tentang seorang laki-laki yang bersumpah pada istrinya demikian-demikian?’ Maka
dia menjawab, ‘Dia telah melanggar sumpahnya dengan ucapannya ini.’ Dan ini tidak
dimiliki kecuali oleh Nabi atau orang alim. (maka cari tahulah tentang mereka itu).”

Maimun bin Mahran berkata, “Perumpamaan seorang alim disuatu negeri itu,
bagaikan mata air yang tawar di negeri itu.”

Jikalau para ulama memiliki kedudukan dan martabat yang tinggi seperti itu,
maka wajib atas orang-orang yang awam untuk menjaga kehormatan serta
kemuliaannya. Dari Ubadah bin Ashomit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah
SAW bersabda, “Bukan termasuk umatku orang yang tidak memuliakan orang yang
lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak tahu kedudukan ulama.”

Dan di antara hak para ulama adalah mereka tidak diremehkan dalam hal
keahlian dan kemampuannya, yaitu menjelaskan tentang agama Allah, serta
penetapan hukum-hukum dan yang semisalnya dengan mendahului mereka, atau
merendahkan kedudukannya, serta sewenang-wenang dengan kesalahannya, juga
menjauhkan manusia darinya atau perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh
orang-orang jahil yang tidak tahu akan kedudukan dan martabat para ulama.
Satu hal yang sudah maklum bagi setiap orang, bahwa mempercayakan setiap
cabang-cabang ilmu tidak dilakukan kecuali kepada para ahli dalam bidangnya.
Jangan meminta pendapat tentang kedokteran kepada makanik, dan jangan pula
meminta pendapat tentang senibena kepada para dokter, maka janganlah meminta
pendapat dalam suatu ilmu kecuali kepada para ahlinya. Maka bagaimana dengan
ilmu syariah, pengetahuan tentang hukum-hukum dan fiqh kontemporer? Bagaimana
kita meminta pendapat kepada orang yang tidak terkenal alim mengenainya dan tidak
pula punya kemampuan memahaminya jauh sekali sebagai ulama yang mujtahid dan
para imam yang kukuh ilmunya serta ahli fiqh yang memiliki keupayaan sebagai ahli
istimbath?

Allah Ta’ala berfirman:

‫ُأ‬
ِ ‫و ِل وَِإلَى ولِي اَأْل‬FF‫َّس‬
َ‫ هُ الَّ ِذين‬FF‫مْر ِم ْنهُ ْم لَ َعلِ َم‬ ُ ‫وْ َر ُّدوهُ ِإلَى الر‬FFَ‫ ِه َول‬FFِ‫وا ب‬FFُ‫ف َأ َذاع‬ ِ ْ‫ و‬FFَ‫ ا َءهُ ْم َأمْ ٌر ِمنَ اَأْل ْم ِن َأ ِو ْالخ‬FF‫َوِإ َذا َج‬
‫يَ ْستَ ْنبِطُونَهُ ِم ْنهُ ْم َولَوْ اَل فَضْ ُل هَّللا ِ َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمتُهُ اَل تَّبَ ْعتُ ُم ال َّش ْيطَانَ ِإاَّل قَلِياًل‬

"Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya, (padahal) apabila mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari
mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah
kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara
kamu). (QS. an-Nisa`: 83)

Dan yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat ini adalah para ulama yang
'Alim dan cermat dalam beristimbath hukum-hukum syariat baik dari kitab maupun
sunnah, karena nash-nash yang jelas tidaklah cukup untuk menjelaskan seluruh
permasalahan kontemporer dan hukum-hukum terkini, dan tidaklah begitu mahir
untuk beristimbath serta mengerluarkan hukum-hukum dari nash-nash kecuali para
ulama yang berkelayakan. Abul ‘aliyah mengatakan tentang makna “Ulil Amri”
dalam ayat ini, “Mereka adalah para ulama, tidakkah kamu tahu Allah berfirman,
‘(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”

Dari Qatadah, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan


Ulil Amri di antara mereka”, dia mengatakan, “Kepada ulamanya.” “Tentulah orang-
orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara
resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”, tentulah orang-orang yang membahas
dan menyelidikinya mengetahui akan hal itu.”

Dan dari Ibu Juraij, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada


Rasul” sehingga beliaulah yang akan memberitakannya “dan kepada Ulil Amri”
orang yang faqih dan faham agama.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam Fath al-Bari: Ibnu Attin menukil dari
ad-Dawudi, bahwasanya beliau menafsirkan firman Allah Ta’ala “Dan Kami
turunkan az-Zikir (al-Qur`an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka.”

An-Nahl : 44,: Allah Ta’ala banyak menurunkan perkara-perkara yang masih


bersifat global, kemudian ditafsirkan oleh Nabi-Nya apa-apa yang diperlukan pada
waktu itu, sedangkan apa-apa yang belum terjadi pada saat itu, penafsirannya di
wakilkan kepada para ulama. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : (padahal) apabila
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya
(secara resmi) dari mereka. (QS. an-Nisa`: 83)

Al-’Allamah Abdurrahman bin Sa’di rahimahullahu menafsirkan ayat ini: Ini


merupakan pelajaran tentang adab dari Allah untuk para hamba-Nya, bahwa
perbuatan mereka tidak layak, maka sewajarnya bagi mereka, apabila ada urusan
yang penting, juga untuk kemaslahatan umum, yang berkaitan dengan keamanan dan
kebahagiaan kaum mukminin, atau ketakutan yang timbul dari suatu musibah, maka
wajib bagi mereka untuk memperjelas dan tidak tergesa-gesa untuk menyebarkan
berita itu, bahkan mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri dikalangan
mereka, yang ahli dalam hal pemikiran ilmu, dan nasehat , yang faham akan
permasalahan, kemaslahatan dan mafsadatnya. Jikalau mereka memandang pada
penyebaran berita itu ada maslahat dan sebagai penyemangat bagi kaum mukminin,
yang membahagiakan mereka, serta dapat melindungi dari musuh-musuhnya maka
hal itu dilakukan, dan apabila mereka memandang hal itu tidak bermanfaat, atau ada
manfaatnya akan tetapi mudhorotnya lebih besar dari manfaatnya maka tidak
menyebarkan berita itu, oleh karena itu Allah berfirman : “tentulah orang-orang yang
ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari
mereka.” Yaitu: mengerahkan pikiran dan pandangannya yang lurus serta ilmunya
yang benar.

Dan dalam hal ini ada kaidah tentang etika (adab) yaitu: apabila ada
pembahasan dalam suatu masalah hendaknya di berikan kepada ahlinya dan tidak
mendahului mereka, karena itu lebih dekat dengan kebenaran dan lebih selamat dari
kesalahan. Juga ada larangan untuk tergesa-gesa menyebarkan berita tatkala
mendengarnya, yang patut adalah dengan memperhatikan dan merenungi sebelum
berbicara, apakah ada maslahat maka disebarkan atau mudharat maka dicegah.
Selesai ucapan syaikh rahimahullahu. Dengan penjelasan ini diketahui wahai teman-
teman semua, bahwa perkara yang sulit dan hukum-hukum yang kontemporer serta
penjelasan hukum-hukum syariatnya tidak semua orang boleh campur tangan dalam
masalah itu, kecuali para ulama yang memiliki bashirah dalam agama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu berkata, “Jabatan dan


kedudukan tidaklah menjadikan orang yang bukan alim menjadi orang yang alim,
kalau seandainya ucapan dalam ilmu dan agama itu berdasarkan kedudukan dan
jabatan niscaya khalifah dan sulthan (pemimpin negara) lebih berhak untuk
berpendapat dalam ilmu dan agama. Juga dimintai fatwa oleh manusia, dan mereka
kembali kepadanya pada permasalahan yang sulit difahami baik dalam ilmu ataupun
agama. Apabila pemimpin negara saja tidak mengaku akan kemampuan itu pada
dirinya, dan tidak memerintahkan rakyatnya untuk mengikuti suatu hukum dalam satu
pendapat tanpa mengambil pendapat yang lain, kecuali dengan al-Qur`an dan as-
Sunnah, maka orang yang tidak memiliki jabatan dan kedudukan lebih tidak dianggap
pendapatnya.” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Ilmu secara istilah diartikan sebagai sebuah atau sesuatu pengetahuan yang diberikan
oleh Allah Subhaannahu Wa Ta’ala kepada umat-Nya. ilmu yang wajib dicari
seorang muslim ada 3

1. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menghukumi

2. Sunnah dari Al-hadist yang menegakkan

3. Ilmu bagi waris atau ilmu faroidh yang adil

Orang yang berilmu mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah dan
masyarakat. Dalam mengamalkan ilmu kita harus memperhatikan hal-hal, seperti :
Jangan melihat tempat dan waktu dalam mengamalkan ilmu, Meskipun sedikit
amalkan ilmumu, Janganlah menunggu masa tua dalam mengamalkan ilmu, Jangan
beranggapan ilmu itu bisa mengangkat derajat mu bila tanpa diamalkan.

Kedudukan para para ulama itu adalah pewaris Nabi, dan sesungguhnya para Nabi
tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyala ilmu, dan
pewaris sama kedudukannya dengan yang mewariskannya, maka bagi pewaris
mendapatkan kedudukan yang sama dengan yang mewariskannya itu.

Anda mungkin juga menyukai