Anda di halaman 1dari 18

Kajian Utama Edisi No.

02

Syari’ah Page | 0

MENUNTUT ILMU
YANG SYAR’
SYAR’I

Kompilasi pdf: Maktabah IMU


(http://islamicandmedicalupdates.blogspot.com)
Sumber: http://asysyariah.com
Ilmu Syariat, Kewajiban yang Terlupakan

(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)

Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim. Namun ilmu yang dimaksud bukan Page | 1
seperti yang kebanyakan dipahami selama ini.

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” Hadits ini sudah sangat sering disebut, baik
dalam khutbah-khutbah, majelis-majelis taklim, maupun dalam pelajaran agama Islam di
sekolah. Namun sayangnya, hadits ini masih dipahami dengan sangat global. Walhasil,
banyak yang mencukupkan kewajiban itu dengan menimba ilmu-ilmu umum seperti
matematika, fisika, kimia, biologi, akuntansi, psikologi, dan lain sebagainya.

Definisi Ilmu
Secara etimologis, ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai kenyataannya dengan
pengetahuan yang mantap (lihat Kitabul Ilmi, Ibnu ‘Utsaimin dan Hasyiyah Tsalatsatul Ushul,
An-Najdi, hal. 6)
Sedang ilmu dalam terminologi syariat adalah apa yang Allah I turunkan kepada Rasul-Nya
berupa keterangan-keterangan dan petunjuk (Kitabul Ilmi, hal. 11) atau mengetahui
Al-Qur‘an dan As-Sunnah, serta ucapan para shahabat yang menafsirkan keduanya dan
mengamalkannya dengan diiringi rasa takut kepada Allah I. (Al-Haqiqatusy Syar’iyyah, hal.
119)

Keutamaan Ilmu Syariat


Ilmu syariat memiliki keutamaan yang banyak di antaranya:
1. Ilmu adalah warisan para Nabi sebagaimana terdapat dalam hadits:

“…Para ulama adalah pewaris para Nabi dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan
dinar maupun dirham akan tetapi mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya
berarti ia telah mengambil bagian yang cukup.” (Shahih, HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu
Majah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6297)
2. Allah I mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dalam firman-Nya:

“…Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang yang
diberi ilmu beberapa derajat.” (Al Mujadalah: 11).
Dalam ayat lain:

“…Kami akan mengangkat derajat siapa yang kami kehendaki…” (Yusuf: 76).
Al-Imam Malik berkata: “Dengan ilmu.” (Madarikun Nazhar, hal. 36)
3. Ilmu akan dimanfaatkan oleh pemiliknya meski telah mati, seperti disebutkan dalam Page | 2
hadits:

“Jika seorang manusia meninggal maka amalannya terputus kecuali tiga perkara: shadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang berdoa untuknya.” (Shahih, HR.
Muslim dari Abu Hurairah z)
4. Ilmu merupakan tanda keinginan baik dari Allah I kepada orang tersebut. Dalam hadits
disebutkan:

“…Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan pahamkan dia dalam
agama.” (Shahih, HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Mu’awiyah z, lihat Shahih Al-Jami’, no.
6612)
5. Ilmu akan memudahkan jalan menuju jannah (surga). Dalam hadits disebutkan:

“Barangsiapa yang menelusuri jalan yang ia cari ilmu padanya, maka Allah akan
memudahkannya jalan menuju jannah.” (Shahih, HR Muslim)
6. Orang yang benar-benar takut kepada Allah I adalah orang-orang yang berilmu. Allah I
berfirman yang artinya:

“Sesungguhnya hanyalah yang takut kepada Allah adalah ulama.” (Fathir: 28)
Dan masih banyak lagi keutamaan ilmu, apa yang tersebut adalah sebagian kecil dari
keutamaan ilmu.

Hukum Menuntut Ilmu


Nabi r bersabda:

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (Shahih, HR Al-Baihaqi dan lainnya dari Anas
dan lainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani, lihat Shahihul Jami’ no. 3913)
Ishaq bin Rahwiyah berkata: “Maknanya yaitu wajib menuntut ilmu pada apa yang
dibutuhkan: tentang wudhunya, shalatnya, zakatnya jika dia punya harta, begitu pula haji
dan yang lainnya”. (Jami’ Bayanil Ilmi, 1/52)
Kewajiban menuntut ilmu bisa menjadi wajib kifayah jika ada sekelompok orang yang telah
mempelajarinya, dan kewajiban itu gugur bagi yang lainnya. Namun bisa juga wajib ‘ain
yakni setiap orang dari kaum muslimin harus mempelajarinya, sebagaimana diterangkan
Ibnu Abdil Bar: “Ulama telah ber-ijma’ bahwa di antara ilmu itu ada yang fardhu ‘ain, wajib
Page | 3
atas setiap orang pada dirinya. Dan ada yang fardhu kifayah, jika telah ada yang
melakukannya maka gugur kewajiban itu bagi yang lain di daerah itu.” (Jami Bayanil Ilmi,
1/56-57)
Untuk mengetahui mana yang wajib ‘ain dan mana yang wajib kifayah, maka perlu melihat
penjelasan para ulama berikut ini:
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan: “Menuntut ilmu syariat adalah fardhu kifayah jika
sebagian orang dalam jumlah cukup telah melakukannya. Maka bagi yang lain hukumnya
sunnah… Dan bisa jadi fardhu ‘ain atas seseorang… Patokannya adalah ketika pengetahuan
tentang seluk beluk ibadah atau muamalah yang akan segera dilakukan itu tergantung
padanya (maka itu fardhu ‘ain untuk dipelajari, red).” (Lihat Kitabul Ilmi, hal. 21-22)
Menurut Al-Imam Ahmad t, ilmu yang wajib (‘ain, red.) untuk dituntut adalah yang akan
menegakkan agama seseorang, dan tidak boleh ia menyepelekannya. Beliau lalu ditanya:
“Seluruh ilmu itu akan menegakkan agama?” Beliau menjawab: “Yakni kewajiban yang wajib
atas dirinya maka wajib ia menuntutnya.” Beliau ditanya: “Seperti apa?” Jawabnya: “Yaitu
yang ia tidak boleh bodoh dalam urusan shalatnya, puasanya dan sejenisnya.” (Hasyiyah
Ushul Ats-Tsalatsah hal. 10 dan Adab Syar’iyyah, 2/35)
Asy-Syaikh Abdurrahman An-Najdi t mengomentari ucapan Al-Imam Ahmad tersebut,
katanya: “Berarti yang wajib atas manusia untuk mengamalkannya adalah dasar-dasar iman,
syariat -syariat Islam, perkara yang wajib ditinggalkan berupa hal-hal yang haram, lalu
muamalat yang dibutuhkan dan yang lainnya. Sesuatu yang wajib itu tidak sempurna kecuali
dengannya, maka hal itu wajib atasnya untuk dipelajari.” (Hasyiyah Ushul Ats-Tsalatsah, hal.
10)
Adapun yang fardhu kifayah, para ulama juga telah menjelaskannya, sebagaimana telah
diterangkan Asy-Syaikh Abdurrahman An-Najdi. Katanya: “Lain halnya dengan sesuatu yang
lebih dari itu (yakni yang fardhu ‘ain) maka itu termasuk fardhu kifayah jika orang dalam
jumlah memadai telah mempelajarinya. Maka dosa (tidak mempelajarinya) gugur bagi yang
lain.” (Hasyiyah Ushul Ats-Tsalatsah hal. 10)
Namun demikian, ada hal-hal yang menjadikan menuntut ilmu itu semakin ditekankan.
Dijelaskan oleh Ibnu ‘Utsaimin t: “Kemudian, di sana ada tiga hal yang dengannya tuntutan
menuntut ilmu semakin kuat atas manusia:
1. Adanya bid’ah yang muncul. Hasan bin Tsawab berkata: Ahmad bin Hanbal mengatakan
kepadaku: “Aku tak tahu sebuah zaman yang manusia lebih membutuhkan mencari hadits
Page | 4
daripada zaman ini.” Maka saya katakan: “Mengapa?” Katanya: “Karena telah muncul
bid’ah, sehingga orang yang tidak punya hadits akan terjatuh padanya.” (Adab Syar’iyyah
2/38, red)
2. Adanya orang-orang yang berani berfatwa tanpa ilmu.
3. Banyak orang yang berdebat pada masalah yang bisa jadi sudah jelas permasalahannya
menurut para ulama, tapi masih ada saja yang berdebat tentangnya dan tanpa ilmu. (Lihat
Kitabul Ilmi, hal. 21-22)

_______________
Yang Diniatkan ketika Menuntut Ilmu

Ilmu merupakan ibadah. Sebagian ulama bahkan mengatakan: “Ilmu adalah shalat yang
tersembunyi dan ibadah hati.” (Hilyah Thalibul ‘Ilm, hal. 9)
Page | 5
Maka tentunya dibutuhkan keikhlasan dalam menuntutnya, yakni benar-benar karena Allah
I, bukan karena kepentingan dunia. Allah I berfirman:

“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan
mengikhlaskan agama kepada-Nya.” (Al-Bayyinah: 5)
Nabi r juga bersabda:

“Barangsiapa mempelajari ilmu yang diharapkan dengannya wajah Allah I (ilmu syariat,
-pent.), ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan bagian dari dunia, maka ia
tidak akan mendapatkan bau jannah (surga) pada hari kiamat.” (Shahih, HR. Ahmad, Abu
Dawud, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi. Lihat Shahihul Jami’ no. 6159)
Juga hendaknya ia berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya karena bodoh itu sifat
tercela, lebih-lebih menurut agama. Oleh karenanya, Nabi Musa u berlindung kepada Allah I
dari kebodohan, katanya:

“Ya Allah sungguh aku berlindung kepada-Mu agar tidak termasuk orang-orang yang
bodoh.” (Al-Baqarah: 67)
Demikian pula Nabi Yusuf u berlindung kepada Allah I dari kebodohan. Allah I juga
menasehatkan hal ini kepada Nabi Nuh u:

“…Sesungguhnya Aku memperingatkanmu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang


tidak berpengetahuan.” (Hud: 46)
Sebaliknya, ilmu syariat adalah sesuatu yang terpuji dan dianjurkan. Maka tentu saja, niat
untuk berilmu dan menghindari kebodohan adalah niat yang baik.

Al-Imam Ahmad t pernah ditanya oleh muridnya yang bernama Al-Muhanna. Katanya:
“Apakah amalan yang terbaik?” Jawab Al-Imam Ahmad: “Menuntut ilmu.” Aku katakan:
“Untuk siapa keutamaan ini?” Jawabnya: “Bagi yang niatnya benar.” Aku katakan:
“Bagaimana niat yang benar?” Jawabnya: “Berniat untuk ber-tawadhu’ padanya dan untuk
menghilangkan kebodohan dari dirinya.” Dalam riwayat lain: “Juga dari umatnya.” (Adab
Syar’iyyah, 2/38 dan Kitabul ‘Ilmi, Ibnu ‘Utsaimin hal. 27)
Termasuk niat yang baik adalah untuk membela syariat. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t
menjelaskan, hendaknya penuntut ilmu berniat mencari ilmu untuk membela syariat.
Karena membela syariat tidak mungkin dilakukan kecuali oleh para pembawa syariat itu.
Page | 6
Ilmu itu persis seperti senjata, … dan sesungguhnya bid’ah baru akan terus muncul sehingga
terkadang sebuah bid’ah tidak muncul di jaman terdahulu dan tidak terdapat dalam
buku-buku. Sehingga tidak mungkin membela syariat ini kecuali seorang penuntut ilmu.
(Kitabul ‘Ilmi, Ibnu ‘Utsaimin, hal. 28)
Wallahu a’lam.

_______
Ilmu yang Bermanfaat
(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.)

Ilmu yang dianugerahkan Allah I kepada hamba-Nya ada yang memberikan manfaat, ada
Page | 7
pula yang tidak. Di sisi lain, ada pula ilmu yang pada asalnya sama sekali tidak
memberikan manfaat, sehingga manusia harus menjauhinya.

Allah I telah menyebut ilmu dalam Kitab-Nya Al Qur`an terkadang dengan memujinya
seperti dalam firman-Nya:
“Katakanlah, adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”
(Az -Zumar: 9)

“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu.
Segolongan berperang di jalan Allah dan yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat
(seakan-akan) orang muslim dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan
bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.” (Ali ‘Imran: 13)
Terkadang Allah I menyebutnya dengan celaan. Ilmu yang Allah I puji itu adalah ilmu yang
bermanfaat dan yang Allah I cela adalah ilmu yang asalnya tidak bermanfaat, atau bisa jadi
pada asalnya bermanfaat, tapi orang yang dikaruniainya tidak bisa mengambil manfaat
darinya. Sebagaimana Allah I beritakan tentang sebuah kaum yang Allah I beri ilmu namun
ilmu itu tidak memberi mereka manfaat. Allah I berfirman:
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tidak
memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amat buruklah
kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
kaum yang dzalim.” (Al-Jumu’ah: 5)

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat
Kami. Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (hingga dia
tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.” (Al-A’raf: 175)
Ayat ini menjelaskan, ilmu itu sesungguhnya bermanfaat akan tetapi orang yang
dikaruniainya tidak bisa memanfaatkannya. Adapun ilmu yang pada dasarnya dicela oleh
Allah I adalah seperti tercantum dalam Surat Al-Baqarah ayat 102 dan Surat Ar-Rum ayat 7.
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan
mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang
kafir (karena mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
Page | 8
diturunkan pada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut. Sedang
keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seorangpun sebelum mengatakan:
‘Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, karena itu janganlah kamu kafir.’ Maka mereka
mempelajari dari dua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan
antara seorang suami dengan istrinya. Dan mereka itu tidak memberi mudharat kepada
seorangpun dengan sihirnya kecuali atas izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang
memberi mudharat kepada mereka dan tidak memberi manfaat. Sesungguhnya mereka
telah meyakini bahwa barangsiapa menukar kitab Allah dengan sihir itu, tiadalah
keuntungan baginya di akhirat. Dan amat jahatlah perbuatan mereka menukar dirinya
dengan sihir kalau mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 102)

“Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, sedangkan mereka lalai
tentang kehidupan akhirat.” (Ar-Rum: 7)
Karena ilmu itu ada yang terpuji yaitu yang bermanfaat dan ada yang tercela yaitu yang
tidak bermanfaat, maka kita dianjurkan untuk memohon kepada Allah I ilmu yang
bermanfaat dan berlindung kepada-Nya dari ilmu yang tidak bermanfaat. (Fadhl ‘Ilmis Salaf
hal. 11-13)

Ilmu yang Bermanfaat


Ibnu Rajab Al-Hanbali t menjelaskan tentang ilmu yang bermanfaat. Beliau mengatakan,
pokok segala ilmu adalah mengenal Allah I yang akan menumbuhkan rasa takut kepada-Nya,
cinta kepada-Nya, dekat dengan-Nya, tenang dengan-Nya, dan rindu pada-Nya. Kemudian
setelah itu berilmu tentang hukum-hukum Allah I, apa yang dicintai dan diridhai-Nya dari
perbuatan, perkataan, keadaan atau keyakinan hamba.
Orang yang mewujudkan dua ilmu ini, maka ilmunya adalah ilmu yang bermanfaat. Ia,
dengan itu, akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyu’, jiwa yang puas dan
doa yang mustajab. Sebaliknya yang tidak mewujudkan dua ilmu yang bermanfaat itu, ia
akan terjatuh ke dalam empat perkara yang Nabi r berlindung darinya. Bahkan ilmunya
menjadi bencana buatnya, ia tidak bisa mengambil manfaat darinya karena hatinya tidak
khusyu’ kepada Allah I, jiwanya tidak merasa puas dengan dunia, bahkan semakin berambisi
terhadapnya. Doanya pun tidak didengar oleh Allah I karena ia tidak merealisasikan
perintah-Nya serta tidak menjauhi larangan dan apa yang dibenci-Nya.
Lebih-lebih apabila ilmu tersebut bukan diambil dari Al Qur‘an dan As Sunnah, maka ilmu itu
Page | 9
tidak bermanfaat atau tidak ada manfaatnya sama sekali. Yang terjadi, kejelekannya lebih
besar dari manfaatnya.
Ibnu Rajab juga menjelaskan, ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari
dengan benar ayat-ayat Al-Qur‘an dan hadits Nabi r serta memahami maknanya sesuai
dengan yang ditafsirkan para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Lalu mempelajari apa
yang berasal dari mereka tentang halal dan haram, zuhud dan semacamnya, serta berusaha
mempelajari mana yang shahih dan mana yang tidak dari apa yang telah disebutkan.
Kemudian berusaha untuk mengetahui makna-maknanya dan memahaminya.
Apa yang telah disebutkan tadi sudah cukup bagi orang yang berakal dan menyibukkan diri
dengan ilmu yang bermanfaat. (Fadhl ‘Ilmis Salaf ‘Alal Khalaf, hal. 41, 45, 46, 52, 53)
Ilmu yang bermanfaat akan nampak pada seseorang dengan tanda-tandanya, yaitu:
1. Beramal dengannya.
2. Benci bila disanjung, dipuji, atau takabbur atas orang lain.
3. Semakin tawadhu’ ketika ilmunya semakin banyak.
4. Menghindar dari cinta kepemimpinan, ketenaran dan dunia.
5. Menghindar untuk mengaku berilmu.
6. Ber-su’uzhan (buruk sangka) kepada dirinya dan husnuzhan (baik sangka) kepada orang
lain dalam rangka menghindari celaan kepada orang lain. (Lihat Fadhl ‘Ilmis Salaf, hal. 56-57
dan Hilyah Thalibil ‘Ilm, hal. 71)
Sebaliknya ilmu yang tidak bermanfaat juga akan nampak tanda-tandanya pada orang yang
menyandangnya yaitu:
1. Tumbuhnya sifat sombong, sangat berambisi dalam dunia dan berlomba-lomba padanya,
sombong terhadap ulama, mendebat orang-orang bodoh, dan memalingkan perhatian
manusia kepadanya.
2. Mengaku sebagai wali Allah I, atau merasa suci diri.
3. Tidak mau menerima yang hak dan tunduk kepada kebenaran, dan sombong kepada
orang yang mengucapkan kebenaran jika derajatnya di bawahnya dalam pandangan
manusia, serta tetap dalam kebatilan.
4. Menganggap yang lainnya bodoh dan mencela mereka dalam rangka menaikkan derajat
dirinya di atas mereka. Bahkan terkadang menilai ulama terdahulu dengan kebodohan, lalai,
atau lupa sehingga hal itu menjadikan ia mencintai kelebihan yang dimilikinya dan berburuk
sangka kepada ulama yang terdahulu. (Lihat Fadhl ‘Ilmis Salaf, hal. 53, 54, 57, 58)
Page | 10
Wallahu a’lam.

____________
Hal-hal yang Mesti Dihindari dalam Menuntut Ilmu

Ada beberapa hal yang harus dihindari oleh seorang penuntut ilmu, karena perkara-perkara
tersebut ibarat penyakit ganas yang menjangkiti seorang pasien. Jika tidak menghindarinya,
Page | 11
maka ia akan binasa.
1. Hasad, yaitu membenci apa yang Allah karuniakan atas seorang hamba.
Hampir tidak seorangpun yang lepas dari sifat ini. Jika sifat ini melekat pada seseorang,
diwajibkan atas manusia untuk tidak berbuat jahat kepadanya dengan perkataan ataupun
perbuatan.
2. Berfatwa tanpa ilmu.
Berfatwa adalah kedudukan yang agung. Oleh karenanya, tidak boleh sembarangan
dilakukan kecuali oleh pribadi yang benar-benar pantas. Al-Imam Ahmad berkata:
“Sesungguhnya orang yang berfatwa kepada manusia ia telah membawa urusan yang besar.
Semestinya orang yang berfatwa mengetahui pendapat-pendapat ulama yang terdahulu.
Kalau tidak, jangan berfatwa. Barangsiapa berbicara pada sesuatu yang dia tidak memiliki
sandaran (dalil) atas hal tersebut, saya khawatir dia akan salah.” Abdurrahman bin Abi Laila
mengatakan: “Saya mendapati 120 orang Anshar dari para shahabat Nabi r. Tidak
seorangpun dari mereka menyebutkan sebuah hadits kecuali ia berharap seandainya
shahabat yang lain telah mencukupi. Dan tidaklah mereka dimintai fatwa tentang sesuatu
kecuali ia berharap bahwa shahabat yang lain telah mencukupinya dalam berfatwa.” (Adab
Syar’iyyah, 2/63-64)
3. Sombong. Nabi bersabda:

“…Tidak akan masuk jannah (surga) siapa yang terdapat dalam hatinya seberat dzarrah
(atom) dari kesombongan.” Para shahabat berkata: “Wahai Rasulullah bagaimana dengan
seseorang yang suka bajunya bagus dan sandalnya bagus?” Nabi menjawab: “Sesungguhnya
Allah indah dan mencintai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan
meremehkan manusia.” (Shahih, HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud z)
4. Ta’ashub, yaitu fanatik baik kepada golongan, guru, kelompok, organisasi tertentu, syi’ar,
tertentu atau yang semacamnya. Karena hal ini adalah syiar atau ciri khas ahlul bid’ah yang
menyimpang dari jalan Nabi r, yang merupakan sifat yang tercela, apalagi pada seorang
penuntut ilmu. Seorang penuntut ilmu syar’i semestinya menjadikan ittiba’ kepada Nabi r
sebagai syi’ar yang selalu ia junjung tinggi. Ia jadikan syi’ar itu sebagai landasannya dalam
ber-wala‘ (loyalitas) dan ber-bara‘ (berlepas diri).
5. Tashaddur, yaitu tampil sebelum waktunya, karena ini menunjukkan kebanggaannya pada
diri sendiri, dan ketidaktahuannya pada banyak permasalahan. Ini akan mengakibatkan dia
Page | 12
terjerumus kepada dosa yang besar yaitu berkata tentang agama Allah I tanpa ilmu yaitu
mengatakan sebuah hukum dengan mengatasnamakan ini adalah hukum Allah I tanpa
dilandasi ilmu yang benar dan akan membawa dia kepada sifat sombong.
6. Ber-su‘uzhan (buruk sangka) kepada yang lain, baik temannya sendiri lebih-lebih gurunya.

“Wahai orang-orang yang beriman jauhilah oleh kalian banyak sangkaan.” (Al-Hujurat: 12)
(Lihat Kitabul ‘Ilmi, hal. 71-83)

___________
Hal-hal yang Membantu dalam Menuntut Ilmu

Ada beberapa hal yang seyogyanya seorang penuntut ilmu menghiasi diri dengannya,
karena hal itu akan membantu dia dalam mancari ilmu atau mengokohkan ilmunya. Di
Page | 13
antaranya:
1. Bertakwa kepada Allah.
Dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah maka Allah akan
menjadikan untuk kalian furqan (pembeda).” (Al-Anfal: 29)
Dijelaskan oleh Ibnu ‘Utsaimin, Allah I akan menjadikan bagi kalian sesuatu yang bisa kalian
gunakan untuk membedakan antara yang hak dan yang batil, manfaat dan mudharat. Dan
ilmu termasuk di dalamnya, di mana Allah I akan membukakan untuk seseorang ilmu-ilmu
yang tidak dibukakan bagi selainnya. Karena dengan bertakwa akan diperoleh petunjuk,
tambahan ilmu, dan tambahan hafalan. (Abdullah bin Mas’ud z mengatakan: “Belajarlah,
barangsiapa telah berilmu maka hendaknya beramal.” Beliau juga berkata: “Sungguh aku
menyangka bahwa seseorang akan lupa ilmunya dengan sebab dosa yang dia lakukan.”)
(Adab Syar’iyyah, 2/41, red.)
2. Memulai dengan yang lebih penting.
Hal ini disebabkan karena terbatasnya kesempatan dan kemampuan, sementara ilmu yang
akan dituntut sangat banyak. Dan sungguh bagus ucapan seorang penyair:
Ilmu itu jika kamu cari sangat banyak
Sedang umur untuk mendapatkannya terlalu pendek.
Maka mulailah dengan yang paling penting lalu yang penting.
3. Sabar dan kontinyu dalam menuntut ilmu.
Yahya bin Abi Katsir Al-Yamani berkata: “Ilmu itu tidak bisa didapat dengan jasmani yang
santai.” (Riwayat Muslim dalam kitab Masajid Bab Auqat Ash-Shalawat Al-Khams, lihat Jami’
Bayanil ‘Ilmi dengan tahqiq Abul Asybal no. 553). Demikian pula sebagian salaf mengatakan:
“Ilmu, jika engkau berikan seluruh dirimu untuknya, dia akan memberimu sebagiannya.”
Begitulah para ulama terdahulu, mereka tidak mencapai derajat yang mereka capai kecuali
dengan kesabaran dan kesinambungan dalam menuntut ilmu. Al-Imam Ahmad ditanya:
“Sampai kapan seseorang menulis hadits?” Jawabnya: “Sampai mati.” Beliaupun
mengatakan: “Saya menuntut ilmu sampai saya masuk liang kubur.” Ibnul Mubarak ditanya:
“Sampai berapa lama kamu akan menulis hadits?” Jawabnya: “Barangkali ada sebuah kata
yang aku akan memanfaatkannya dan aku belum mendengarnya sama sekali.” (Qawa’id fi
At-Ta’amul ma’al ‘Ulama` hal. 33). Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Kita akan belajar terus selama
kita mendapati ada yang mengajari kita.” (Adab Syar’iyyah, 2/63)
Page | 14
4. Menulis, yakni menulis ilmu yang diperoleh baik dalam kajian atau dari bacaan atau yang
lain. Dan jangan menerima ilmu hanya sepintas lalu karena hal ini akan menghilangkan ilmu
yang didapat.

“Ikatlah ilmu dengan menulis. (HR. Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Taqyidul Ilmi dan Ibnu Abdil
Bar dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi no. 395 dari Anas bin Malik dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam footnote Kitabul ‘Ilmi karya Ibnu Abi Khaitsamah no. 55).
Dalam bait syair dikatakan:
Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah pengikatnya
Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat.
Termasuk dari kebodohan bila engkau berburu kijang
lalu kau tinggalkan lepas di antara manusia.
(Kitabul ‘Ilmi, Ibn ‘Utsaimin hal. 63)
5. Menjaga ilmu, di antaranya dengan menjaga catatan. Oleh karena itu, semestinya
seseorang menulis ilmu tersebut pada buku catatan yang layak, bukan sembarang kertas,
sehingga hal ini akan membantu dia untuk menjaganya. Atau menjaga ilmu tersebut dengan
menghafalnya sebagaimana yang dilakukan para ulama terdahulu maupun sekarang, di
antara mereka adalah Al-Hasan bin ‘Ali, katanya:

“Saya hafal dari Nabi r sabdanya: Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak
meragukanmu.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa`i, dan At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini
hasan shahih)
6. Mulazamah, yakni berguru kepada seorang ulama dan bersamanya dalam waktu yang
lama.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t menjelaskan: “Wajib bagi setiap penuntut ilmu untuk memohon
pertolongan kepada Allah I kemudian minta bantuan kepada para ulama dan memanfaatkan
apa yang telah mereka tulis. Karena kalau hanya dengan membaca dan menelaah akan
membutuhkan waktu yang banyak. Ini berbeda ketika duduk dengan seorang yang alim yang
bisa menerangkan kepadanya dan menunjuki jalannya. Saya tidak mengatakan bahwa ilmu
tidak akan didapat kecuali dari seorang guru, akan tetapi cara yang paling baik adalah
mengambil ilmu dari para guru.”
(Lihat Kitabul ‘Ilmi, hal. 57-64 tentang perincian lain dari point-point di atas).

______________ Page | 15
Rihlah untuk Menuntut Ilmu

Dalam menuntut ilmu terkadang harus melakukan perjalanan yang jauh (rihlah) ke daerah
lain. Bahkan tak jarang dilakukan lintas negara. Demikian para salaf melakukannya demi
Page | 16
satu atau dua hadits. Bagaimana dengan kita?

Dalam kitab Hilyah Thalibul Ilmi (hal. 51) disebutkan, seseorang tidak pantas dikunjungi para
penuntut ilmu untuk diambil ilmunya, jika orang tersebut dahulu tidak melakukan
perjalanan untuk mencari guru dan mengambil ilmu darinya. Karena para ulama yang
dikunjungi telah melewatkan waktunya dalam belajar dan mengajar, memiliki
faedah-faedah ilmiah dan pengalaman atau yang semacamnya yang jarang diperoleh dari
perut-perut buku.
Oleh karenanya para ulama terdahulu hampir semuanya melakukan rihlah dari satu negeri
ke negeri yang lain, menyusuri lembah, mendaki gunung, menyeberangi lautan, dan
membelah padang pasir untuk menuntut ilmu meski dengan bekal yang sangat minim.
Salah satu dari mereka adalah Abdullah bin Al-Mubarak. Al-Imam Ahmad mengisahkan, di
masa Abdullah tidak ada yang lebih semangat menuntut ilmu daripadanya. Ia merantau ke
Yaman, Mesir, Syam, Bashrah dan ke Kufah (keduanya masuk dalam wilayah Irak, red.).
Beliau termasuk para perawi ilmu dan ahli untuk itu (Qawa’id Fitta’amul Ma’al ‘Ulama, hal.
34)
Seorang tabi’in, Sa’id bin Al-Musayyib berkata: “Sungguh aku dulu melakukan safar
berhari-hari dalam mencari satu hadits.” Asy-Sya’bi mengatakan: “Kalau seandainya seorang
melakukan safar dari ujung Syam (ujung jazirah Arab, red.) sampai ke ujung Yaman lalu
mendengar satu kata yang bermanfaat baginya di masa yang akan datang dalam urusannya,
saya berpendapat safarnya tidak sia-sia.” (Adab Syar’iyyah, 2/55)
Sebelum mereka, para shahabat juga telah mencontohkan yang demikian ini. Jabir bin
Abdillah menceritakan: “Sampai kepadaku sebuah hadits yang berasal dari seseorang yang
mendengar langsung dari Nabi r. Maka aku beli seekor unta, lalu aku persiapkan perjalanan,
kemudian aku jalani perjalanan selama satu bulan sehingga aku sampai di negeri Syam
(sekarang mencakup Palestina, Yordania, Syiria, dan sekitarnya, red.).
Maka aku dapati di sana Abdullah bin Unais, lantas aku katakan kepada penjaga pintu:
“Katakan kepadanya bahwa Jabir ada di depan pintu.” Dia menjawab: “Bin (anak)
Abdullah?” Jabir jawab: “Ya.” Lalu Abdullah bin Unais keluar dan memelukku, maka
kukatakan: “Ada sebuah hadits sampai kepadaku dari seseorang kemudian darimu bahwa
engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah r. Aku khawatir kalau aku atau kamu
meninggal sebelum aku mendengarnya langsung darimu.” Kemudian Abdullah bin Unais
Page | 17
berkata: Aku mendengar Rasulullah r bersabda: “Allah mengumpulkan hamba-hamba –atau
manusia– pada hari kiamat dalam keadaan telanjang, tidak disunat dan buhman. Kami
bertanya: “Apa makna buhman?” Beliau menjawab: “Tidak membawa apapun. Lalu Allah
menyeru mereka dengan suara yang didengar oleh yang jauh –saya menyangka beliau
mengatakan: sebagaimana mendengarnya yang dekat– Akulah raja, tidak pantas seorang
dari penduduk jannah (surga) masuk jannah padahal masih ada penduduk neraka yang
menuntut dari dirinya sebuah kedzaliman. Dan tidak pantas seorang ahli neraka masuk
neraka sedang salah seorang dari penduduk jannah menuntutnya sebuah kedzaliman.”
Maka kukatakan: “Bagaimana? Padahal kita datang kepada Allah dalam keadaan telanjang
dan tidak membawa apapun?” Beliau menjawab: “Dengan kebaikan dan kejelekan.” (HR.
Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 746 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Al-Adabul Mufrad hal. 371-372 no. 746 dan lihat Fathul Bari, 1/173-174)
Wallahu a’lam.

Alhamdulillah,
Selesai pembuatan file pdf,
Surakarta, Ahad 6 Mei 2012
Admin Maktabah IMU

Abdurahman Baharudin wahid


http://islamicandmedicalupdates.blogspot.com
baharudinwahida@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai