Busana Takwa,
Syar’i atau Trendi?
www.asysyariah.com
Al-Ashma’i menuturkan bahwa Abu ‘Amr ibnul ‘Ala rahimahullah pernah berkata
kepadanya, “Berhati-hatilah engkau jika menghinakan orang yang mulia, atau
memuliakan orang yang tercela, atau mempersulit urusan orang yang berakal, atau
mencandai orang yang dungu, atau bergaul dengan orang yang jahat. Tidak termasuk
adab apabila engkau menjawab orang yang tidak bertanya kepadamu, atau engkau
bertanya kepada orang yang tidak mau menjawabmu, atau engkau mengajak bicara
orang yang tidak bisa diam untuk mendengarkanmu.”
Jilbab (baca: kerudung) telah menjadi komoditas mode. Banyak wanita yang lantas latah
mengikuti perkembangan mode kerudung. Sejumlah artis pun menjadi trendsetter
(acuan) berkerudung. Muncullah kerudung Inneke, kerudung Manohara, kerudung
Marshanda, dsb. Produsenprodusen kerudung dengan teramat santai mengemasnya
dengan slogan trendi dan syar’i, smart dan syar’i, praktis dan Islami, syar’i dan girlie,
funkies namun syar’i, dsb. Karena laris, bisnis kerudung pun menjanjikan untung
segunung. Yang menyedihkan, segala kerudung itu turut dikampanyekan sejumlah
media Islam. Iklan kerudung hampir memenuhi seluruh isi majalah. Iklan kerudung
bikin untung, memang. Namun, sadarkah kita sebagai media Islam, iklan itu menjadi
semacam tazkiyah (rekomendasi) akan berbusana seperti ini? Belum dengan model
menawan yang bisa mengundang godaan bagi laki-laki yang memandangnya. Apakah
kita siap mempertanggungjawabkan semua itu di hadapan Allah Subhanahu wata’ala?
Bicara “fikih” mending, memang mending pakai kerudung daripada tidak sama sekali.
Daripada mengumbar aurat lebih mending jika “menutup” aurat. Namun, masalahnya
adalah munculnya jilbabjilbab gaul telah membelokkan semangat berpakaian yang
syar’i. Banyak “hijaber” dengan kerudung seperti itu telah merasa menutup aurat,
walaupun hakikatnya hanya menutup kepala. Tanpa disadari, kita bahkan menjadi
“iklan berjalan” dari makar musuhmusuh islam yang berupaya membelokkan makna
hijab yang syar’i. Alih-alih memakai jilbab yang longgar dan menutup dada, malah
muncul model “berjilbab” yang ala kadarnya. Atasnya kerudung mini, bawahnya koboi.
Lebih lebih, berhijab adalah perintah Allah Subhanahu wata’ala, dan tanda ketakwaan
adalah ketaatan kita dalam menjalankan perintah-Nya. Problem yang sama juga dialami
kaum pria. Sekarang banyak busana pria yang hanya meniru-niru model yang sedang
ngetren, entah itu berasal dari Barat atau Korea. Belum rasa malu yang sudah tanggal,
laki-laki kemana-mana menggunakan celana yang menampakkan aurat, entah itu celana
pendek, ketat, atau yang berlubang di sanasini. Belum dengan model potongan yang
melebihi mata kaki. Sekali lagi, kesadaran menutup aurat atau taat kepada aturan syar’i
tenggelam dalam gempita fesyen.
Hendaklah umat Islam menyadari bahwa ajaran Syiah itu sesat menyesatkan. Cukuplah
terbunuhnya 30.000 warga Sunni Syria menjadi bukti kebejatan dan kekejaman Syiah.
082363xxxxxx
Kami tidak mengetahui, dan ingin mengetahui sekarang tentang aliran Syiah secara
garis besarnya, agar kami hatihati tidak terjatuh dalam pemikirannya. 082187xxxxxx
Kami pelanggan Asy-Syariah menyarankan untuk rubrik “Khutbah Jumat” dimuat lebih
ringkas agar kami bisa langsung gunakan untuk teks khutbah Jumat. 085259xxxxxx
Jazakumullahu khairan atas masukannya, akan menjadi perhatian kami, insya Allah.
Koreksi 1
2. Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu pada kata syariikalahu tertulis
syaribkalahu. 085221xxxxxx
Jazakumullah khairan atas koreksinya. Jawaban ini sekaligus sebagai ralat atas
kesalahan tersebut.
Koreksi 2
Asy-Syariah no. 87 hlm. 30, tertulis bab “Hadhdhil Maridhi an Yasyhadal Jama’ati”,
Kami memohon maaf karena ada kesalahan dari redaksi. Yang benar dengan huruf
“dal” sebagaimana Anda sebutkan, dan dengan “jama’ata” dibaca manshub.
Jazakumullah khairan wa barakallahu fikum.
Bagi orang yang berakal, hidup di dunia ini tak bisa semaunya. Segala sesuatu ada
aturan dan rambu-rambunya termasuk dalam ranah kehidupan beragama. Seseorang tak
bisa memilih sembarang agama. Hanyalah Islam satu-satunya agama yang sempurna
dan diridhai oleh Allah Subhanahu wata’ala, Rabb alam semesta. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
ۗ ُمHَJL
ْ Nِ Oْ اQِ JRO اSَ TِU V
َ WXSOن ا
R ِإ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)
ۚ HًTWِ َم دHَJL
ْ Nِ Oْ ُ_ ُ^ اOَ `
ُ aِb َو َرeِfgَ hْ iِ ْ^ُ_aْ JَU
َ `
ُ gْ gَ jْ ُ_^ْ َوَأTَ Wِ ُ_^ْ دOَ `
ُ Jْ gَ ْ َم َأ ْآmaَ Oْ ا
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Kucukupkan
kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agama bagi kalian.”
(al-Maidah: 3)
Manakala seseorang mencari agama selain Islam, maka tidak diterima amalannya di sisi
Allah Subhanahu wata’ala, dan di akhirat kelak, termasuk orang-orang yang merugi.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
V
َ WِnL
ِ HَoOْ اV
َ pِ ِةnَ r
ِ sْO اeِt mَ َو ُهQُ Tْ pِ v
َ َwxْ Wُ VَJtَ HًTWِ ِم دHَJL
ْ Nِ Oْ اnَ aْ y
َ zِ fَ wْ Wَ Vَpَو
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”
(Ali Imran: 85)
Bisa jadi, ada orang nonmuslim ada yang mendebat hal ini, adakah monopoli dalam
kehidupan beragama?! Jawabannya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
V
َ aXapX ُOْ ب وَاَ Hَf_ِ Oْ ا اmُj أُوV
َ WِJROX v|ُ ۗ َوV ِ hَ wَ jR اVِ pَ َوQِ JROِ e
َ }ِ ~
ْ ` َوُ gْ JَL ْ ْ َأvxُ tَ ك
َ m~Hَ ْنNِ tَ
ِدHَwhِ Oْ H
ِ ٌnaِ
َ Qُ JROغ ۗ وَا
ُ HَJwَ Oْ ا
َ aْ JَU
َ HَgiR Nِ tَ ْاmORmَ jَ وإِنR ۖ َواSfَ ا ْهSِ xَ tَ اmُgJَL
ْ نْ َأNِ tَ ۚ ْ^fُ gْ JَL
ْ َأَأ
“Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah,
‘Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orangorang yang
mengikutiku’. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-Kitab (Yahudi
dan Nasrani) dan kepada orang-orang yang ummi (orang musyrik Arab yang tidak tahu
tulis baca), ‘Apakah kamu (mau) masuk Islam?’ Jika mereka masuk Islam,
sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling maka
kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat
ن
َ mُgJِ
ْ p ^ُfiَ َوأHRO ِإV
R jُ mُgjَ HOَ َوQِ jِ Hَxjُ
Rَ Qَ JROا اmُxjR ا اmُTpَ V
َ WِOR اHَ}W َأHَW
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa
dan janganlah sekali-kali meninggal dunia kecuali dalam keadaan memeluk agama
Islam.” (Ali Imran: 102)
Mahasuci Allah yang telah memilihkan agama Islam sebagai agama yang terbaik bagi
para hamba-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ۚ ُةnَ aَ o
ِ Oْ ُ} ُ^ اOَ ن
َ Hَ آHَp ۗ ُرHَfo
ْ Wَ ُء َوHَWَ Hَp
ُ Jُo
ْ Wَ
َ
َو َر
“Dan Rabb-mu menciptakan segala apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.
Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” (al-Qashash: 68)
Dengan demikian, identitas muslim adalah sebuah kehormatan. Sungguh bahagia orang
yang mendapatkan hidayah Islam dalam hidupnya. Kenikmatan sepanjang masa yang
tidak dapat dirasakan oleh semua orang. Sungguh berbeda kondisi orang yang
mendapatkan hidayah Islam dengan yang tidak mendapatkannya. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
Fenomena Berislam di Era Globalisasi Modern Globalisasi modern adalah era yang
sedang melingkupi kita dewasa ini. Ragam sarana di bidang informasi, komunikasi,
transportasi, dan penopang kehidupan lainnya kian hari semakin modern. Dunia bak
kampung-kampung yang berdekatan. Tukar informasi, komunikasi, dan interaksi dapat
dilakukan dengan mudah walaupun dari tempat yang berjauhan. Fenomena ini, tentu
saja memberikan kemudahan tersendiri bagi manusia dalam menjalankan roda
kehidupan ini. Dengan ragam sarana modern itu, berbagai aktivitas mereka dapat
berjalan secara lebih baik. Kalau dahulu tukar informasi dengan cara berkirim surat atau
telegram, di zaman ini cukup dengan SMS atau email. Kalau dahulu komunikasi dengan
orang lain di tempat yang berjauhan dengan menggunakan telepon rumah atau pergi ke
wartel, di zaman ini dapat dijalin dengan telepon genggam (HP).
Dahsyatnya arus godaan itu dapat menggerus agama seorang muslim walau setahap
demi setahap. Bukankah fitnah wanita, harta, dan kedudukan, yang merupakan bagian
dari godaan syahwat itu merajalela di sekitar kita? Wanita dengan berbagai model
menjadi ikon utama di dunia iklan, baik di media cetak maupun media elektronik.
Persaingan bisnis yang tidak sehat, korupsi uang negara, perjudian, perampokan, dan
pindah agama demi harta menjadi realitas kehidupan. Di sudut-sudut kota tidak jarang
didapati baliho-baliho berukuran besar yang memajang foto grup musik tertentu dengan
aksen masing-masing beserta jadwal konsernya.
Sementara itu, di kiri dan kanan jalan raya tak lengang dari baliho-baliho berukuran
kecil yang memajang foto calon bupati/wakilnya dan gubernur/wakilnya yang sedang
berkompetisi berebut kedudukan. Belum lagi kasus “tembak” jabatan alias suap yang
turut mewarnai realitas godaan syahwat. Berbagai godaan syahwat itu pun semakin
dahsyat dengan keberadaan fasilitas internet dan televisi. Pornografi dan pornoaksi telah
menjadi hak asasi yang diperjuangkan atas nama seni. Wanita penjaja seks komersial
dengan praktik prostitusinya berkeliaran di mana-mana, bahkan merambah dunia
kampus dan selebritas. Kasak-kusuk perselingkuhan dengan segala likulikunya sering
menimpa rumah tangga. Ingar-bingarnya kehidupan malam di bar/kafe/diskotek dengan
pesta, musik, dan dentingan gelas-gelas minuman keras mewarnai hari-hari sebagian
kawula muda. Kriminalitas pun sering kali terjadi, yang tidak jarang motifnya adalah
urusan dunia. Hal ini mengingatkan kita akan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
َ ْ َهWَ َوnُ gْ o
َ Oْ ب ا
َ nَ
ْ Wُ َوHَi¢ِّ O اmَ ُ £ْ Wَ َ وv
ُ }ْ ¤
َ Oْ اnَ }َ ¥
ْ Wَ ُ^ َوJْ hِ Oْ َ¦ اtَ ْnWُ ْ ِ َأنU
َ HROط ا
ِ َاn ْ ْ َأVpِ ن R ِإ
ٌS
ِ ^ٌ وَاaX|َ َأ ًةnَ pْ اVَ aِgْ o َ Oِ ن َ mُ_Wَ Rf َ ُءHَTXOَ اxwْ jَ ل َو
ُ Hَ~nِّ Oا
“Sesungguhnya, di antara tanda (datangnya) hari kiamat adalah dicabutnya ilmu agama,
tampak (tersebarnya) kebodohan, merajalelanya perzinaan, dan diminumnya (baca:
dipestakannya) minuman khamr. Kaum lelaki semakin berkurang dan kaum wanita
semakin bertambah. Sampai-sampai lima puluh orang wanita dikepalai oleh satu orang
lelaki.” (HR . Muslim no. 2671, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Dalam riwayat Muslim lainnya (no. 2672), dari sahabat Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu dan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
Demikianlah realita dari godaan syahwat yang mengitari kita. Hempasannya tidak
hanya menerpa orang awam atau anak jalanan semata, tetapi orang berilmu pun nyaris
terancam manakala orientasi hidupnya adalah dunia. Di mana ada ‘lahan basah’, dia pun
ada di sana, walaupun harus mengikuti keinginan big boss nya yang kerap kali tak
sesuai dengan hati nuraninya. Syahdan, ketika hawa nafsu telah membelenggu fitrah
sucinya, ayat-ayat Allah Subhanahu wata’ala (agama) dia jual dengan harga yang
murah; manhaj (prinsip agamanya) pun dia korbankan demi meraih kelayakan hidup
atau kemapanan ekonomi. Dengan tegas Allah Subhanahu wata’alamemperingatkan
orang-orang berilmu dari perbuatan tersebut, sebagaimana firman-Nya,
Para pembaca, sesungguhnya agama Islam tidak melarang seseorang mencari sumber
penghidupan, namun hendaknya semua itu tidak sampai membuatnya lupa mencari
kebahagiaan negeri akhirat. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
Qُ JRO اV
ََ
ْ َأHَg َآVِ
ْ ۖ َوَأHَaiْ S O اV
َ pِ َ wَ aِiَ ³َ Tَj HَO َة ۖ َوnَ r
ِ sْOا َر اRSO اQُ JROك ا
َ Hَj Hَgaِt zِ fَ
ْ وَا
V
َ WِS ِ £ْ gُ Oْ ا
´
ِ Wُ HَO Qَ JROن ا
R ض ۖ ِإ
ِ ْ َرOْ اeِt َدHَ£َ Oْ اzِ wْ jَ HَO ۖ َو
َ aْ Oَِإ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu (kebahagian)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (al-Qashash: 77)
Adapun godaan syubhat yang berupa kerancuan berfikir, tidak kalah dahsyatnya dengan
godaan syahwat. Aliran-aliran sesat bermunculan, kesyirikan dipromosikan tanpa ada
halangan, para dukun alias orang pintar dijadikan rujukan, ngalap berkah di kuburan
para wali menjadi tren wisata religius, dan praktik bid’ah (sesuatu yang diada-adakan)
dalam agama meruak dengan dalih bid’ah hasanah. Semua itu mengingatkan kita akan
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
ْe
ِ gْ Wُ ًا َوntِ Hَْ آe
ِ gْ Wُ َوHًTpِ ْ¶pُ v
ُ~ُ nR O· ا
ُ wِ
ْ Wُ ،ِ^Jِ¥
ْ gُ Oْ اv
ِ aْ JRO ِ¦ ا
َ xِ َآHًTfَ tِ ل
ِ HَgU
ْ َ Oْ Hِ
ِدرُواHَ
Majalah asy Syariah Edisi 89 Page 9
Hَaiْ S O اV
َ pِ ض
ٍ nَ hَ
ِ Qُ Tَ Wْ ُ¦ ِدaْ wِ Wَ ،ًاntِ Hَ· آ
ُ wِ
ْ Wُ َوHًTpِ ْ¶pُ
“ Bergegaslah kalian untuk beramal, (karena akan datang) fitnahfitnah (godaan/ujian)
yang seperti potongan-potongan malam. Di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman
dan sore harinya dalam keadaan kafir; di sore hari dalam keadaan beriman dan keesokan
harinya dalam keadaan kafir. Dia menjual agamanya dengan sesuatu dari (gemerlapnya)
dunia ini.” (HR . Muslim no. 118, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
terpercaya, telah memberitakan kepada kita dalam banyak haditsnya, termasuk hadits
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (di atas, -pen.) tentang bermunculannya berbagai ujian
di tengah-tengah umat ini. Sungguh, telah datang berbagai ujian besar yang sangat kuat
empasannya terhadap akidah dan manhaj (prinsip beragama) umat Islam,
mencabik-cabik keutuhan mereka, menyebabkan pertumpahan darah di antara mereka,
dan menjatuhkan kehormatan mereka. Bahkan, benarbenar telah menjadi kenyataan
(pada umat ini) apa yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
¸ b
َ nَ ´
ْ~
ُ اmُJr
َ ْ َدmOَ Rf
َ ع
ٍ ِ
ِرَاHً U َو ِذرَاnٍ wْ
ِ
ِ ًاnْw
ِ ْ^_ُ Jَwْ |َ ن
َ Hَْ آVpَ V
َ Tَ L
َ V R hُ wِ fRfَ Oَ
ْ^ْ ُهmgُ fُ hْ wِ fَ Oَ
“Sungguh, kalian akan mengikuti jalan/jejak orang-orang sebelum kalian (Yahudi dan
Nasrani, -pen.) sejengkal dengan sejengkal dan sehasta dengan sehasta1. Sampai-sampai
jika mereka masuk ke liang binatang dhab (sejenis biawak yang hidup di padang pasir,
-pen.) pasti kalian akan mengikutinya.”
Lebih lanjut, asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Saat ini di
berbagai negeri kaum muslimin telah bermunculan berbagai musibah/ujian, seperti
komunisme, liberalisme, sekulerisme, ba’ts (sosialisme), dan demokrasi dengan segala
perangkatnya. Kelompok sesat Syi’ah Rafidhah dan Khawarij pun semakin gencar
mengembuskan racunracun yang dahulu mereka sembunyikan, sebagaimana muncul
pula kelompok sesat Qadiyaniyah dan Bahaiyah.” (Haqiqah al-Manhaj al-Wasi’ ‘Inda
Abil Hasan, hlm. 2)
Di antara dampak modernisasi di era globalisasi ini adalah munculnya sikap minder
dalam berislam. Dengan banyaknya opini yang menyudutkan Islam di media massa baik
cetak maupun elektronik, sebagian umat muslim tidak punya percaya diri untuk sekadar
menampakkan identitas muslimnya, apalagi untuk menjalankan rincian ajaran agama
yang berkonsekuensi mendapat cibiran atau gunjingan orang. Dalam benaknya,
cukuplah identitas muslim itu dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau dalam
ritual-ritual di momen penting seperti shalat Jum’at, shalat tarawih, dan shalat hari raya
saja.
ٌVaِwp »وSُ U
َ ْ^_ُ Oَ Qُ iRن ۚ ِإ
ِ Hَaْ
R Oت ا
ِ َاm
ُr
ُ اmُhwِ fR jَ HَO ً َوtR Hَ ِ^ آJْ
X O اeِt اmُJr
ُ ْا ادmُTpَ V
َ WِOR اHَ}W َأHَW
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara total, dan
janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang
nyata bagi kalian.” (al-Baqarah: 208)
ٌnaِ
َ ن
َ mُJgَ hْ jَ Hَg
ِ Qُ iRْا ۚ ِإm¯َ
ْ jَ HَO َو
َ hَ pَ ب
َ Hَj Vَpت َو
َ ْnpِ ُأHَg^ْ َآxِ fَ L
ْ Hَt
“Istiqamahlah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
(juga) orang yang telah tobat beserta kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Hud: 112)
ن
َ mُgJَۡhWَ HَO V
َ WِORٓا َء ٱmَ ۡ¦ۡ َأهwِ fRjَ HَO َوHَ}ۡhwِ jRَﭑt nِ ۡpَ ۡO ٱV
َ pX ٍ۟ hَ Wِn
َ ٰJَU
َ
َ ٰـTَ ۡJhَ ~
َ ^R ¬ُ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (rincian aturan hidup yang
harus dijalani) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu
ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (al-Jatsiyah: 18)
ل
ُ mُ´Wَ Qَ JROن ا
R ا َأmُgJَU
ْ ُ_^ْ ۖ وَاaِa´
ْ Wُ HَgOِ ْ^ ُآHَUل ِإذَا َد
ِ mُLnR JِO َوQِ JROِ اmُwaِ¤fَ L
ْ ا اmُTpَ V
َ WِOR اHَ}W َأHَW
Majalah asy Syariah Edisi 89 Page 11
ن
َ ُوn
َ´ْ jُ Qِ aْ Oَ ِإQُ iR َوَأQِ wِ Jْ |َ ْ ِء َوngَ Oْ اV
َ aْ
َ
“Hai orang-orang yang beriman, sambutlah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian. Ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya
kepada- Nyalah kalian akan dikumpulkan.” (al- Anfal: 24)
V
َ WِOR اÂ
َ Jَo ْ fَ L
ْ اHَgض َآ ِ ْ َرOْ اeِt ْ^}ُ TR£َ Jِo
ْ fَ ْ aَ Oَ ت
ِ Hَ´OِHROا اmُJgِ U َ ُ_^ْ َوTِp اmُTpَ V َ WِOR اQُ JRO اSَ U َ َو
HَO eِTiَ ُوSwُ hْ Wَ ۚ HًTpْ ِ}^ْ َأtِ ْmr
َ Sِ hْ
َ VXp ^ُ}TROَSX wَ aُ Oَ ُ}^ْ َوOَ ٰ± َ jَ ِْي ارOR ُ} ُ^ اTَ Wِ ُ}^ْ دOَ V R Tَ _X gَ aُ Oََ ِ}^ْ وJِwْ |َ Vِp
ن
َ mُxL
ِ Hَ£Oْ ُه ُ^ ا َ ِ Oَُٰوtَ
َ Oَِٰ ذSَ hْ
َ nَ £َ َآVَp ۚ َوHًaْ
َ eِ
ن َ mُآnِ ْ Wُ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan
mengerjakan berbagai amalan saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah hanya
kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku.” (an-Nur: 55)
Akhir kata, mengingat betapa mahalnya nilai istiqamah di tengah kuatnya badai fitnah
baik syubhat maupun syahwat di era globalisasi modern ini, sudah saatnya bagi kita
untuk kembali kepada Allah Subhanahu wata’ala. Kembali kepada-Nya dengan
memegang erat-erat agama Islam dan meniti jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para sahabatnya, kemudian bersatu di atasnya. Itulah satu-satunya jalan
keselamatan di dunia dan di akhirat. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
Â
َ ORَ tَ َا ًءSU
ْ ^ْ َأfُ Tُ ُ_^ْ ِإذْ آaْ JَU
َ Qِ JRO` اَ gَ hْ ِi ُواnا ۚ وَاذْ ُآmُ|nR £َ jَ HَO َوHًhaِg~ َ Qِ JRO اv ِ ْw´َ
ِ اmُg ِ fَ U ْ وَا
َ Oَِٰ ۗ َآH}َ Tْ pX ^ُ َآxَ iَtَ ِرHRTO اV
َ pX ٍةnَ £ْ
ُ Hَ£َ ٰJَU َ ْ^fُ Tُ َوآHًiَاmr ْ ِإQِ fِ gَ hْ Tِ
ِ ^ُf´
ْ wَ
ْ َ tَ ْ^_ُ
ِ mُJ|ُ Vَ aْ
َ
ن
َ ُوSfَ }ْ jَ ْ^_ُ JRhَ Oَ Qِ jِ HَW ْ^_ُ Oَ Qُ JRO اV
ُ aXَwWُ
“Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali (agama) Allah secara bersama-sama dan
jangan berceraiberai. Ingatlah akan nikmat Allah yang telah dicurahkan kepada kalian,
ketika kalian dahulu bermusuhan lalu Allah menyatukan hati-hati kalian sehingga kalian
menjadi bersaudara dengan nikmat tersebut, dan (juga) kalian dahulu berada di tepi
jurang neraka lalu Allah selamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah Subhanahu
wata’ala menerangkan tanda-tanda kekuasaan- Nya kepada kalian agar kalian mendapat
hidayah.” (Ali Imran: 103)
ن
َ ُوSfَ }ْ jَ ْ^_ُ JRhَ Oَ ُ mُhwِ jRوَا
Majalah asy Syariah Edisi 89 Page 12
“Dan ikutilah dia (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam) supaya kalian
mendapatkan petunjuk.” (al-A’raf: 158)
Semoga ampunan, taufik dan hidayah ilahi selalu mengiringi perjalanan hidup kita.
V
َ Wِntِ Hَ_Oْ ْ ِم اmxَ Oْ َ اJU
َ Hَiْn
ُ i وَاHَTpَ َاSْ|`ْ َأwX¬َ َوHَinِ pْ َأeِt HَTtَ َاnL
ْ َوِإHَT
َ mُi ُذHَTOَ ْn£ِ y
ْ اHَT
Rَر
“Wahai Rabb kami ampunilah dosadosa kami dan tindak-tanduk kami yang keterlaluan
dalam urusan kami, dan teguhkanlah pendirian kami, serta tolonglah kami atas kaum
yang kafir.” (Ali Imran: 147). Wallahu a’lam.
Nikmat Allah Subhanahu wata’ala yang dilimpahkan kepada para hamba-Nya tiada
terkira banyaknya, baik nikmat lahiriah maupun batiniah. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
H|ً۟ ۡت ِرزِ َٲngَ ªR O ٱVَ pِ ِۦQ
ِ ج َ nَ ۡrَ tَ ً۟ءHٓpَ ِءHَٓg
R O ٱV
َ pِ ل َ ¢َ iَض َوأ َ ۡۡ َرOت وَٱ ِ َٲmٰـgَ R O ٱ َ Jَr َ ِىOR ٱQُ JROٱ
³
َ ۡg R O ُ_ ُ^ ٱOَ nَ o
RLَ ) ( َوnَ ٰۡ َ}ـiَ ۡO ُ_ ُ^ ٱOَ nَ o
RL
َ ِۦۖ َوnِ ۡpَ
ِ nِ ۡ´wَ ۡOِ ٱt ىَ nِ ۡ¤fَ Oِ َ ۡJ£ُ ۡO ُ_ ُ^ ٱOَ nَ RoL َ ُ_ ۖ^ۡ َوOR
`
َ gَ ۡhiِ ْواShُ jَ ُۚ َوإِنmُgfُ ۡOَ L
َ Hَp v X Êُ VXp ^ُ_ٰÈjَ َر ) ( َوءَاHَﮩTRO وَٱv َ ۡaOR ُ_ ُ^ ٱOَ nَ o
RL َ ۖ َوV ِ ۡawَ Èِٕ َدٓاnَ gَ xَ ۡOوَٱ
ٌ۟رHR£Êَ ٌ۟مmُJ¥
َ Oَ Vَ ٰـَ iِNۡOن ٱ R ۗ ِإHٓ َهmُۡ´jُ HَO Qِ JROٱ
“Allahlah yang telah menciptakan langit dan bumi, serta menurunkan air hujan dari
langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi
rezeki untukmu. Dia juga telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu
berlayar di lautan dengan kehendak-Nya. Dia telah menundukkan (pula) bagimu
sungai-sungai. Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang
terus-menerus beredar (dalam orbitnya); serta telah menundukkan bagimu malam dan
siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu
mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari
(nikmat Allah).” (Ibrahim: 32—34)
Semua yang ada di muka bumi ini adalah halal serta mubah (boleh) digunakan dan
dinikmati selama tidak ada unsur kemudaratan atau nash pelarangan. Allah Subhanahu
wata’ala menyatakan,
ۚت
ٍ وَاHَgL
َ ¦َ wْ L
َ V
R ا ُهRm
َ tَ ِءHَg
R Oَ اOىٰ ِإmَ fَ L
ْ ^ اR ¬ُ Hًhaِg~
َ ض
ِ ْ َرOْ اeِt HRp ^ُ_Oَ
َ Jَr
َ ِيOR اmَ ُه
ٌ^aِJU
َ ْ ٍءeَ vX _ُ
ِ mَ َو ُه
“Dialah Allah, yang menjadikan Busana Takwa Syar’i atau Trendi? segala yang ada di
bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al- Baqarah: 29)
Firman-Nya,
ن
َ ُوn_R £َ fَ Wَ ٍ۟ۡمmxَ OX ٍ۟`ٰـWَ َ Oَ
َ Oِِ ذَٲt ن
R ۚ ِإQُ ۡTpX H۟hً aِg~
َ ض
ِ ۡۡ َرOِ ٱt Hَpت َو
ِ َٲmٰـgَ
R Oِ ٱt HRp ^ُ_Oَ nَ o
RL
َ َو
“Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (al-Jatsiyah: 13)
Hgً ´
ْ Oَ نَ mُJْ ُآjَ vُ̧ آVِpجٌ ۖ َوHَ~·ٌ ُأJْ pِ َوهََٰاQُ
ُ َاn َ ٌzÍِ HَL ٌَاتntُ ٌْبU َ ن َٰهَا ِ َاn´
ْ َwOْ ِي اmfَ ْ Wَ Hَpَو
ْ^_ُ JRhَ Oَ َوQِ Jِ±
ْ tَ Vِp اmُ¯fَ wْ fَ Oِ nَ r
ِ َاmpَ Qِ aِt
َ Jْ £ُ Oْ َى اnjَ ۖ َوHَ}iَ mُwَ Jْ jَ ً aَ Jْ
ِ ن
َ mُ~nِ o ْ fَ
ْ jَ َوHËWnِ Ìَ
ن
َ ُوn_ُ ْ jَ
“Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain
asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang
segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang kamu dapat memakainya. Dan pada
masing-masingnya kamu lihat kapalkapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat
mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur.” (Fathir: 12)
Bahkan, bangkai hewan laut juga dihukumi halal. Hal ini sebagaimana dalam hadits
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
tentang laut,
Qُ fُ fُ aْ pَ v
´ِ Oْ ُؤ ُ َاHَp ٌْرm}ُ Ì
َ mَ ُه
“Laut itu suci airnya lagi halal bangkainya.” ( HR. Abu Dawud no. 83, at-Tirmidzi no.
69, dll.)
ۗ Hًpnُ
ُ ْ^fُ pْ ُدHَp nX wَ Oْ اSُ aْ
َ ْ^_ُ aْ JَU
َ َمnX
ُ َر ِة ۖ َوHRa
R JِO ُ_^ْ َوOR HًUHَfpَ Qُ pُ HَhÌ
َ َ وnِ ´ ْ wَ Oْ اSُ aْ
َ ْ^_ُ Oَ v
Rِ ُأ
ن
َ ُوn َ´ْ jُ Qِ aْ Oَِي ِإOR اQَ JROا اmُxjRوَا
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai
makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan. Diharamkan
pula atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu dalam ihram.
Bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (al-Maidah:
96)
^ُ_Oَ `
ُ wِ TُW (10) ن َ mُgaِjُ Qِ aِt ٌn¤َ
َ Qُ Tْ pِ َابٌ َوnَ Qُ Tْ pX ^ُ_OR ۖ ًءHَp ِءHَgR O اV
َ pِ ل َ ¢َ iَِي أOR اmَ ُه
ن
َ ُوn_R £َ fَ Wَ ْ ٍمmxَ OX ً Wَ sَO
َ Oَِٰ ذeِt ن
R ت ۗ ِإ
ِ َاngَ ªRO اv X ُآVِpب َو
َ HَTU ْ َ Oْ وَاv
َ aِoTR Oن وَا
َ mُfWْ ¢R Oع وَا َ ْر¢R O اQِ
ِ
“Dialah yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi
minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat
tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan
air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, kurma, anggur, dan segala macam buah-buahan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah)
bagi kaum yang memikirkan.” (an-Nahl: 10—11)
Hukum asal kemanfaatan yang diambil dari hewan ternak adalah halal, baik bulu, kulit,
maupun dagingnya, baik dimanfaatkan untuk membuat baju, alas, permadani, maupun
rumah. Begitu pula digunakan untuk hewan tunggangan yang membawa kita dan
barang-barang kita ke tempat tujuan yang dikehendaki. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
ن
َ mُ´Wِnjُ V َ aِ ٌلHَg~ َ Hَ}aِt ْ^_ُ Oَ( َو5) ن َ mُJْ ُآjَ Hَ}Tْ pِ ُ¦ َوtِ HَTpَ ِدفْءٌ َوHَ}aِt ْ^_ُ Oَ ۗ Hَ}xَ Jَr
َ َمHَhiْ َ Oْ َوا
ْ^_ُ
R ن َر
R ۚ ِإ³ِ £ُ iَOْ ا
X ِ
ِ HRO ِإQِ aِ¯OِHَ
اmُimُ_jَ ْ^OR Sٍ Jَ
َ ٰOَ ُ_^ْ ِإOَHَx¬ْ َأv
ُ gِ ´
ْ jَ ( َو6) ن َ mُnَ ْ jَ V
َ aَِو
ن
َ mُgJَhْ jَ HَO Hَp ُ Jُo
ْ Wَ ً ۚ َوTَ Wِ َوزHَهmُwْ َآnfَ Oِ nَ aِg´ َ Oْ ل وَاَ Hَ¯wِ Oْ وَاvَ aْ o
َ Oْ ( وَا7) ٌ^aِرR ٌءُوفnَ Oَ
“Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu. Padanya ada (bulu) yang
menghangatkan dan beragam manfaat, yang sebagiannya kamu makan. Dan kamu
memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke
kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul
bebanbebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan
dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Rabbmu
benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda,
bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan
Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (an- Nahl: 5—8)
Hukum asal makanan, apa pun jenis, ragam, bentuk, dan rasanya
adalah halal
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
»وSُ U
َ ْ^_ُ Oَ Qُ iRن ۚ ِإ
ِ H
َ aْ
R Oت ا
ِ َاm
ُr
ُ اmُhwِ fR jَ HَO َوHًwaXÌ
َ HًOHَJَ ض
ِ ْ َرOْ اeِt HRgpِ اmُJس ُآ
ُ HRTO اHَ}W َأHَW
ٌVaِwp
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang Busana Takwa
Syar’i atau Trendi? terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah:
168)
َJU
َ ْ ُ_^ْ ۖ َأمOَ ن
َ َأ ِذQُ JRO ْv|ُ HًOHَJ
َ َوHًpَاn
َ Qُ Tْ pX ^ُfJْ hَ ¤
َ tَ ق
ٍ ْرزX VpX ^ُ_Oَ Qُ JROل ا
َ ¢َ iَ أHRp ^ُfWْ ْ َأ َرَأv|ُ
ن
َ ُوnfَ £ْ jَ Qِ JROا
Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu,
lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah, “Apakah
Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah?” (Yunus: 59)
V
َ wَ JRO وَاv
َ
ْ hَ Oْ َ وَاaْ wِ TRO َء وَاHَgOْ َا:Qُ JR ُآÒ
ِ لا
َ ْmL
ُ ` َر
ُ aْ xَ L
َ ْSxَ Oَ ب
َ اnR
R Oح ا
ِ Sَ xَ Oْ ِ
َ}َا ا
“Sungguh, aku telah memberi minum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan
bejana ini segala jenis minuman: air, nabidz (air rendaman anggur), madu, dan susu.”
(HR. Muslim no. 2008)
Begitu pula segala jenis air, baik air hujan, air laut, air sumur, air sungai, air oasis, dan
yang lainnya, hukum asalnya adalah suci dan halal. Al – ‘ Allamah asy – Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam kitabnya, al-Qawa’id al-Jami’ah (hlm.
74),—dengan syarahnya—menjelaskan, “Adapun segala ragam adat (kebiasaan), seperti
makanan, minuman, pakaian, rutinitas, muamalah (transaksi), dan barang-barang
produksi, hukum asalnya adalah mubah dan mutlak.
Barang siapa mengharamkan sesuatu darinya yang tidak diharamkan oleh Allah
Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, dia adalah mubtadi’ (ahli bid’ah). Hal ini seperti
tindakan musyrikin yang mengharamkan sebagian hewan ternak yang dimubahkan oleh
Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Demikian pula orang yang dengan
kebodohannya hendak mengharamkan sebagian jenis pakaian atau barang-barang
produksi dan teknologi masa kini, tanpa ada dalil syar’i yang mengharamkannya.” Yang
diharamkan dari hal-hal di atas adalah yang keji atau memudaratkan, semuanya telah
dijelaskan secara rinci dalam al-Kitab dan as-Sunnah.
ْVpِ
َ Oٌَِٰ ۚ ذnaْ r
َ
َ Oَِٰىٰ ذmَ xْ fROس ا
ُ HَwOِ ۖ َوHًWِ_ُ^ْ َورjِ ْmL
َ َارِيmWُ HًLHَwOِ ْ^_ُ aْ JَU
َ HَTOْ ¢َ iَْ أS|َ َد َمeِT
َ HَW
ن
َ ُوnآR R Wَ ْ^}ُ JRhَ Oَ Qِ JROت ا
ِ HَW
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk
menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan, dan pakaian takwa itulah yang
paling baik. Hal itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan
mereka selalu ingat.” (al-A’raf: 26)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wata’ala menjelaskan bahwa pakaian ada dua macam,
1. Pakaian zahir yang menutupi tubuh. Pakaian zahir ada dua fungsi:
b.Pakaian yang tidak hanya untuk menutup aurat, tetapi untuk keindahan dan
perhiasan, yaitu risy.
2. Pakaian batin, yaitu “pakaian takwa”, yang menutupi bani Adam dari dosa dan
kemungkaran. Pakaian takwa, itulah yang lebih baik, sedangkan pakaian zahir (yang
tampak) mencerminkan ketakwaan seorang insan. Apabila pakaiannya sesuai dengan
syariat, hatinya penuh dengan takwa. Akan tetapi, jika pakaiannya melanggar ketentuan
syariat, ada yang kurang pada ketakwaannya. Dalam Islam, kita diperbolehkan
mengenakan pakaian dari bahan apa pun. Hukum asalnya halal. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
nR ´
َ Oْ ُ_ ُ^ اaِxjَ v
َ aِ
َاnL
َ ْ^_ُ Oَ v
َ hَ ~
َ َوHًiHَTل َأ ْآ
ِ Hَw¤ِ Oْ اV َ pX ^ُ_Oَ v َ hَ ~ َ َوHًOHَJÔ ِ َ Jَr
َ HRgpX ^ُ_Oَ v َ hَ ~
َ Qُ JROوَا
ن
َ mُgJِ ْ jُ ْ^_ُ JRhَ Oَ ْ^_ُ aْ JَU
َ Qُ fَ gَ hْ iِ ^ fِ Wُ
َ Oَِٰ ُ_^ْ ۚ َآL
َ ْ
َ ^ُ_aِxjَ v
َ aِ
َاnLَ َو
“Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan
Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu
pakaian yang memeliharamu dari panas dan yang memeliharamu dalam peperangan.
Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri
(kepada-Nya).” (an-Nahl: 81)
Qُ Tْ pِ V
ََ
ْ َأÕ
ْ |َ Hًaْ
َ `
ُ Wْ َرَأHَp َا َءngْ
َ ٍ JR
ُ eِt Qُ fُ Wْ ْ َرَأSxَ Oَ َوHًUْm
ُ ْnpَ Ò
ِ لا
ُ ْmL
ُ ن َر
َ Hَآ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seseorang yang berbadan sedang (tidak
tinggi tidak pula pendek, -pen.). Sungguh, saya pernah melihat beliau mengenakan
busana indah berwarna merah. Saya tidak pernah melihat sesuatu pun yang lebih indah
daripada beliau.” (HR. al-Bukhari no. 5848 dan Muslim no. 2337)
Di dalam Shahih Muslim (no. 1358) dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu
disebutkan bahwa pada waktu Fathu Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
memasuki kota Makkah dengan menggunakan serban hitam. Di kitab yang sama (no.
2081) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dijelaskan bahwa suatu pagi beliau Shallallahu
‘alaihi wasallam keluar rumah memakai baju luar bercorak pelana unta dari kain
berwarna hitam. Abu Rimtsah Rifa’ah at-Taimi radhiyallahu ‘anhu, menuturkan, “Saya
pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengenakan dua baju berwarna
hijau.” (Sahih, HR. Abu Dawud no. 4065 dan at-Tirmidzi no. 2812)
Kita juga diperbolehkan menggunakan pakaian bergam model dan bentuk, baik jubah,
gamis, dan yang lainnya selama tidak ada pelanggaran syariat. Dalam Shahih al-Bukhari
(no. 350) dan Shahih Muslim (no. 273 [77]) dari Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu
‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengenakan jubah dari
Syam yang sempit bagian pergelangan tangannya. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha
menuturkan,
Ø
ُ aِgxَ Oْ اÒ
ِ لا
ِ mُLَ َرOب ِإ
ِ HَaªXO ا
R
َ ن َأ
َ Hَآ
“Pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
gamis.” (HR. Abu Dawud no. 4025 dan at-Tirmidzi no. 1762)
Bahkan Allah Subhanahu wata’ala mengecam siapa saja yang mengharamkan perhiasan
pakaian yang Allah Subhanahu wata’ala halalkan, dalam ayat-Nya,
eِt اmُTpَ V
َ WِJROِ e
َ ْ ِهv|ُ ۚ ق
ِ ْزnX O اV َ pِ ت ِ HَwaX
R O ِد ِ وَاHَwhِ Oِ ج
َ nَ r
ْ َأeِfOR اQِ JRO َ اTَ Wِمَ زnR َ ْVpَ ْv|ُ
ن
َ mُgJَhْ Wَ ْ ٍمmxَ Oِ ت
ِ HَWsْO اvُ
X £َ iُ َ Oَِِٰ ۗ َآpَ Hَaxِ Oْ ْ َم اmWَ ً
َ OِHَr Hَaiْ S O ِة اHَa´
َ Oْ ا
Katakanlah,“Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
Walaupun Islam memberikan kelonggaran dan keleluasaan dalam hal berpakaian, baik
dari sisi warna, bahan, maupun jenis dan bentuknya, Islam menetapkan rambu-rambu
dan aturan-aturan yang harus diperhatikan dan yang tidak boleh dilanggar.
Rambu-rambu tersebut menjadi pembeda antara pakaian syar’i yang menandakan
ketakwaan dan keteguhan agama seseorang, dan pakaian nonsyar’i yang melambangkan
kecenderungan dan karakter masing-masing orang. Rambu-rambu tersebut ada yang
sifatnya anjuran wajib atau sunnah, ada pula yang bersifat larangan haram atau makruh.
Berikut ini ada beberapa rambu umum yang patut diperhatikan.
V
َ aِtnِ
ْ gُ Oْ ا
´
ِ Wُ HَO Qُ iRا ۚ ِإmُtnِ
ْ jُ HَOا َوmُ
َn
ْ ا وَاmُJ َو ُآSٍ ¤
ِ
ْ pَ v
X ُآSَ TِU ْ^_ُ fَ Tَ Wُِوا زr
ُ َد َمeِT
َ HَW
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid! Makan
dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan! Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan.” (al-‘Araf: 31)
Dari Abdullah bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
ٌ Jَaِopَ Ù
َ َافٌ َوnL
ْ ِإQُ
ْ OِHَoWُ ْ^Oَ Hَp ْاm
ُ nَ
ْ ْا وَاmJُُآ
“Makanlah, minumlah, dan berpakaianlah, selama tidak tercampur dengan sikap israf
dan kesombongan.” (Hasan, HR. an-Nasa’i no. 2559 dan Ibnu Majah no. 3605)
Yang dianjurkan adalah bersikap tawadhu’ (rendah hati) dalam hal berpakaian karena
Allah Subhanahu wata’ala semata, bukan karena ingin disebut sebagai orang zuhud.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memuji dengan sabdanya,
Rf
َ
ِ Íِ Ú
َ o
َ Oْ س ا
ِ َ ُرءُوJU
َ ِ pَ Hَaxِ Oْ ْ َم اmَW Ò
ُ ُ اHَU َدQِ aْ JَU
َ ُرSِ xْ Wَ mَ َو ُهHًhbُ َاmjَ س َ HَwJِّOكَ اnَ jَ ْVpَ
Hَ}
ُ wَ Jْ Wَ َءHَ ن ِ HَgWِNOْ اv
ِ Jَ
ُ يX ْ َأVpِ ُ nَ aXo
َ Wُ
Majalah asy Syariah Edisi 89 Page 21
“Barang siapa meninggalkan pakaian (kemewahan) karena tawadhu untuk Busana
Takwa Syar’i atau Trendi? Allah Subhanahu wata’ala semata padahal dia mampu, maka
Allah Subhanahu wata’ala akan memanggilnya di hari kiamat nanti di hadapan seluruh
makhluk untuk bebas memilih perhiasan (pakaian) surga yang diberikan kepada Ahlul
Iman yang diinginkan untuk dia pakai.” (Hasan, HR. at-Tirmidzi [no. 2481] dari
Mu’adz bin Anas radhiyallahu ‘anhu)
Tidak berarti Islam melarang berpakaian indah dan bagus, namun yang terpenting
adalah tidak ada unsur kesombongan. Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah(2819)
meriwayatkan, Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ِ Sِ wْ U
َ َJU
َ Qِ fِ gَ hْ iِ nُ ¬َ َى َأnWُ ْ َأن
´
ِ Wُ Ò
َ نا
R ِإ
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menyukai ditampakkannya kebaikan
nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.” (Shahih lighairihi, HR. at-Tirmidzi no. 2819,
Ahmad 3/372, dari Abul Ahwash, dari ayahnya, dan dari Imran bin Hushain
radhiyallahu ‘anhu, al- Hakim, serta Ibnu Majah)
2. Kewajiban menutup aurat dalam berpakaian adalah tujuan utama syariat berpakaian.
Para ulama juga bersepakat tentang kewajibannya. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
ْVpِ
َ Oٌَِٰ ۚ ذnaْ r
َ
َ Oَِٰىٰ ذmَ xْ fROس ا
ُ HَwOِ ۖ َوHًWِ_ُ^ْ َورjِ ْmL
َ َارِيmWُ HًLHَwOِ ْ^_ُ aْ JَU
َ HَTOْ ¢َ iَْ أS|َ َد َمeِT
َ HَW
ن
َ ُوnآR R Wَ ْ^}ُ JRhَ Oَ Qِ JROت ا
ِ HَW
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk
menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Pakaian takwa itulah yang paling
baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tandatanda kekuasaan Allah.
Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (al-A’raf: 26)
3 . Tidak diperbolehkan menggunakan pakaian yang terbuat dari kulit binatang buas
seperti singa, harimau, dan yang lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
َرHَgTXO اÙ
َ َو¢R o
ِ Oْ ْا اmwُ ْ َآnjَ Ù
َ َو
“Janganlah kalian beralas sutra, jangan pula kulit harimau.” (Sahih, HR. Abu Dawud
no. 4125 dan Ibnu Majah no. 3656 dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu)
Larangan di atas umum mencakup hewan buas yang disembelih atau belum. Meskipun
sangat mungkin, mayoritas penggunaannya ialah saat hewan tersebut telah mati karena
menangkapnya dalam keadaan hidup tergolong sulit.
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
ِةnَ r
ِ Û اeِt Qُ
ْ wَ Jْ Wَ ْ^Oَ Hَaiْ S O اeِt Qُ
َ wِ Oَ ْVpَ Qُ iRNِ tَ nَ Wِn´
َ Oْ ا اmُwَ Jْ jَ Ù
َ
“Janganlah kalian menggunakan pakaian sutra, sebab barang siapa menggunakannya di
dunia, dia tidak akan menggunakannya di akhirat.” (HR. al-Bukhari no. 5834 dan
Muslim no. 2069/11)
ْ^}ِ ¬ِ HَiNِ Oِ v
R
ِ َوُأeِfpR ِر ُأmَُ ُذآJU
َ
ِ َهR O وَاnِ Wِn´
َ Oْ س ا
ُ HَwOِ َمnِّ
ُ
“Diharamkan pakaian sutra dan perhiasan emas bagi lelaki dari umatku dan dihalalkan
bagi kaum wanitanya.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi no. 1720, beliau berkata, “Hadits hasan
sahih”)
Al-Imam Abu ‘Isa at-Tirmidzi Rahimahullah menjelaskan, pada bab ini (hadits-hadits
yang mengharamkan sutra dan emas atas pria, -pen.) diriwayatkan dari Umar, Ali,
Uqbah bin Amir, Anas, Hudzaifah, Ummu Hani, Abdullah bin ‘Amr, Imran bin
Hushain, Abdullah bin Zubair, Jabir Abu Raihan, Ibnu Umar, dan Watsilah bin
al-Asqa’. (Tuhfatul Ahwadzi 5/315—316, cet. Darul Fikr tahun 2003M/1424H) Ada
beberapa hal yang dikecualikan dari larangan, di antaranya:
a. Seseorang mengidap penyakit kulit, kusta, dan semisalnya yang bisa menjadi lebih
ringan dengan menggunakan pakaian sutra. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
dia berkata,
Hَg}ِ
ِ ٍ _R ´
ِ Oِ nِ Wِn´
َ Oْ ا³
ِ wْ Oُ eِt V
ِ gَ
ْ nR O اSِ wْ U
َ َوnِ aْ
َ ¢ JِO e
wِ TRO اØ
َ r
R َر
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memberi rukhsah kepada Zubair dan Abdurrahman
memakai sutra karena penyakit hikkah yang menimpa mereka.” (HR. al-Bukhari no.
5839] dan Muslim no. 2076/25)
Hikkah adalah penyakit kulit sejenis kusta, demikian disebutkan dalam Syarah Shahih
Sebagian ulama mazhab Syafi’i berpendapat, keringanan ini khusus ketika safar
(berpergian) saja, karena riwayat Muslim yang lain (no. 2076/24) ada lafadz nِ £َ
R O اeِt
“saat safar.” Namun, yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur (mayoritas) bahwa
rukhshah (keringanan) tersebut berlaku umum, baik saat mukim maupun safar, karena
riwayat di atas sifatnya kondisional. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah juga
melemahkan pendapat sebagian ulama mazhab Syafi’i di atas. (Lihat Syarh Shahih
Muslim 14/46, cet. I, Darul Kutub Ilmiah, 1995M/1415H)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menyatakan setelah meriwayatkan hadits di atas,
َا ٍة¢y
َ eِt Hَg}ِ aْ JَU
َ Qُ fُ Wْ َأnَ tَ
“Saya melihat sutra tersebut mereka pakai dalam sebuah pertempuran.” (HR. al-Bukhari
no. 2919) Al-Imam Muhammad bin Ismail al- Bukhari rahimahullah membuat bab
dengan judul: بِ ْn´
َ Jْ Oِ nُ Wْ nِ ´
َ Oْ “ اSutra untuk Peperangan.” Al-Imam Muhammad bin ‘Isa
at- Tirmidzi rahimahullah juga membuat bab,
ب
ِ ْn´
َ Oْ اeِt nِ Wِn´
َ Oْ ا³
ِ wْ Oُ eِt ِ
َ r
ْ n O اeِt َءHَ~ Hَp
“Rukhshah Memakai Sutra dalam Peperangan.”
c. Diperbolehkan memakai sutra dalam keadaan darurat. Al-Imam Yahya bin Syaraf an-
Nawawi rahimahullah ber-istinbath, “Hadits di atas mengandung dalil diperbolehkannya
memakai sutra ketika kondisi darurat, seperti seseorang yang dikejutkan dengan
pertempuran dan tidak ada pakaian lain selain sutra.” (Syarah Shahih Muslim 14/45)
Di antara dalil amali yang menunjukkan bolehnya hiasan sutra untuk pakaian pada
kerah, lengan, bagian tepian, benik (kancing), dan semisalnya adalah hadits Asma binti
Abi Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma tatkala menyanggah Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhuma yang tidak memperbolehkan hiasan pakaian, Asma radhiyallahu
‘anha berkata,
Ò
ِ لا
ِ mُL ُ َرwR~
ُ ِ ِ َه
“Ini adalah jubah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
ج
ِ HَwWXSOHِ
V
ِ aْ tَ mُ£_ْ pَ Hَ}aْ ~
َ ْntَ ج َو
ٍ HَwWُِ دTَ wْ Oِ Hَ}Oَ ً aRiِ وَاnَ
ْ ٍ ِآ
َ OَHَaÌ
َ َ wR~
ُ
R Oَ~`ْ ِإ
َ nَ r
ْ َ tَ
“Asma pun menunjukkan kepadaku sebuah jubah Thayalisah dari Kisra Persia pada
bagian kerahnya terbuat dari sutra Dibaj dan kedua tepinya dijahit dengan sutra Dibaj.”
Hَ}Jُ
ِ ¯ْ iَ V
ُ´ْ Tَ tَ Hَ}
ُ wَ Jْ Wَ
wِ TROن ا
َ Hَ َوآHَ}fُ ±
ْ wَ |َ ْ`±
َ wِ |ُ HRgJَtَ ْ`±
َ wِ |ُ Rf
َ َ
َ Íِ HَU Sَ Tْ U
ِ ْ`iَ Hََه ِ ِ آ
Hَ}
ِ َ£ ْ fَ ْ Wُ َbْngَ Jْ Oِ
“Jubah ini dahulunya dipegang Aisyah hingga beliau tiada. Ketika beliau tiada, akulah
yang memegangnya. Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa memakainya.
Kami sekarang menggunakannya untuk membasuh orang sakit mengharap kesembuhan
(kepada Allah Subhanahu wata’ala, -pen.) dengan (berkah) jubah ini.” (Shahih Muslim
no. 2069)
َمÚ
َ U
ْ َ Oْ اeِThْ Wَ Qُ iR َأHَTgْ JِU
َ Hَgaِt
“Sepengetahuan kami, yang beliau maksud adalah hiasan-hiasan pakaian.” (HR.
Qُ ±
َ xَ iَ Ù
R ِإ
ُ aِOHَjَ Qِ aِt Hًaْ
َ Qِ fِ aْ
َ eِt ك
ُ nُ fْ Wَ ْV_ُ Wَ ْ^Oَ e
R wِ TROن ا
R َأ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membiarkan sesuatu pun di rumahnya yang
berbentuk salib melainkan beliau musnahkan.” ( HR. al-Bukhari no. 5952)
Beliau menjawab, “Kewajiban kita adalah bertanya tentang tulisan atau huruf/simbol
yang ditulis dengan selain bahasa Arab tersebut, bisa jadi mengandung makna yang
merusak dan menghancurkan moral.” Tidak diperbolehkan memakai sesuatu yang ada
tulisan berbahasa Inggris atau lainnya yang bukan bahasa Arab kecuali setelah orang itu
memastikan kebersihan (makna) tulisan tersebut. Tulisan itu tidak mengandung sesuatu
yang mengotori kemuliaan, tidak pula berisi pengagungan terhadap orang kafir. Bisa
jadi, tulisan tersebut mengandung unsur pengagungan terhadap orang kafir baik itu
olahragawan, artis, penemu, maupun yang semisal itu. Apabila tulisan tersebut
mengandung pengagungan terhadap orang kafir, maka hukumnya haram, tidak boleh.
Begitu pula tulisan yang mengandung makna murahan dan merusak, juga tidak
diperbolehkan. Oleh sebab itu, dia harus memastikan makna tulisan tersebut sebelum
pakaian tersebut dia kenakan.” (Lihat al-Fatawa fii Ziinati binti Hawa, hlm. 78, karya
Ummu Salamah as-Salafiyah al-‘Abbasiyah hafizhahallah)
7. Tidak diperbolehkan memakai pakaian yang bergambar makhluk bernyawa, baik itu
gambar manusia, hewan, maupun burung. Di dalam Shahih al-Bukhari (no. 5949) dan
Shahih Muslim (no. 3933) dari Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
nُ WِوHَjَ Ù
َ َو،ٌ Jْ َآQِ aِt Hًfaْ
َ ُ _َ Íِ Ú
َ gَ Oْ اv
ُrُ ْSjَ Ù
َ
“Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar
(makhluk bernyawa).” Dari Abul Hayyaj Hayyan bin Hushain, dia berkata, “Ali bin Abi
Qُ fَ Wْ mR L
َ Ù
R ِإHًtnِ
ْ pُ ًاnwْ |َ Ù
َ َوQُ fَ
ْ gَ Ì
َ RÙ ِإÙ
ً Hَªgْ jِ ْ َر ًةm
ُ ْعSَ jَ Ù
َ َْأن
‘Janganlah engkau biarkan ada gambar melainkan engkau musnahkan, atau kuburan
yang ditinggikan melainkan engkau ratakan’.” (Shahih Muslim no. 969)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan hafizhahullah berfatwa, “Tidak diperbolehkan
membeli pakaian yang terdapat gambar makhluk bernyawa, baik gambar manusia (bani
Adam), hewan, maupun burung. Sebab, gambar dan penggunaannya diharamkan
dengan dasar hadits-hadits sahih yang (tegas) melarang hal tersebut dan mengecam
dengan ancaman yang keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaknat
tukang gambar dan beliau memberitakan bahwa mereka adalah orang yang paling keras
azabnya di hari kiamat nanti. Maka dari itu, tidak diperbolehkan memakai pakaian yang
ada gambar (bernyawa) dan tidak diperbolehkan pula mengenakannya kepada anak
kecil. Yang wajib adalah membelikan (untuk mereka) pakaian-pakaian polos yang tidak
ada gambarnya, dan itu banyak (di pasaran), walhamdulillah.” (al-Muntaqa min Fatawa
asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, 3/437, cet. Daar al-Imam Ahmad tahun 2005M/1426H)
Dalam kitab yang sama (3/455), asy-Syaikh Shalih al-Fauzan juga berfatwa, tidak
diperbolehkan memakai pakaian atau sesuatu yang bergambar alat musik, sebab alat
musik wajib dimusnahkan. Mengenakan pakaian atau sesuatu yang bergambar alat
musik merupakan upaya menyebarluaskan dan ajakan untuk menggunakannya,
(minimalnya) mengingatkan orang lain tentangnya. Allahu a’lam.
Laki-laki tidak diperbolehkan memakai pakaian mu’ashfar, yaitu pakaian yang dicelup
dengan bahan nabati khusus bernama ‘ushfur yang menghasilkan warna kuning oranye.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat aku mengenakan dua baju mu’ashfar,
beliau pun bersabda,
Hَ}
ْ wَ Jْ jَ Ú
َ tَ ِرHR£_ُ Oْ ب ا
ِ Hَa¬ِ ْVpِ ِ ِ ن َه
R ِإ
‘Ini adalah pakaian orang kafir, jangan kamu pakai!’.” (Shahih Muslim no. 2077)
ِ
َ}َا؟
َ jْ nَ pَ َأ
َ p َأُأ
“Apakah ibumu yang menyuruhmu memakai baju ini?” Abdullah berkata, “Biar saya
cuci saja.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan,
Hَg}ُ |ْ nِ
ْ ْ َأv
َ
“Tidak, bakar saja dua baju tersebut!”
Makna hadits di atas, mu’ashfar termasuk pakaian wanita, model, dan tabiat mereka.
Tentang perintah membakar baju tersebut, ada yang berpendapat bahwa hal itu sebagai
hukuman dan hardikan keras terhadap beliau dan yang lainnya atas tindakan seperti itu.
Demikian penjelasan al-Imam Yahya an-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih
Muslim (14/47).
nِ £َ
ْ hَ gُ Oْ وَاe
ِّ
ِّ xَ Oْ ا³
ِ wْ Oُ ْVU
َ َ}iَ Ò
ِ لَ اmُLن َر
R َأ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memakai qassi (pakaian sutra
bergaris, -pen.) dan mu’ashfar.” (HR. Muslim no. 2078, at-Tirmidzi no. 264)
Adapun pakaian warna merah bagi lelaki, pendapat yang rajih adalah boleh. Ini adalah
pendapat ulama mazhab Maliki dan Syafi’i, dengan dasar hadits al-Bara’ bin ‘Azib
radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan pada awal pembahasan (lihat hlm. 17
majalah ini).
Adapun hadits yang dijadikan hujah oleh pendapat yang memakruhkannya adalah dhaif.
Di antaranya adalah hadits Abdullah bin ‘Amr riwayat Abu Dawud (no. 4069).
Pada sanadnya ada Abu Yahya al-Qaffat, seorang yang dhaif, Israil meriwayatkan
darinya. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Israil meriwayatkan dari Abu Yahya
al-Qaffat banyak hadits yang sangat mungkar.” (Tahdzibut Tahdzib)
Adapun hadits al-Bara’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami tujuh perkara…. dan melarang kami
dari…. (di antaranya:):
ةnَgْ ´
َ Oْ اnِ ¬ِ Hَagَ Oْ ا
(HR. al-Bukhari no. 5849 dan Muslim no. 2066)
Kata n
ُ ¬ِ Hَapَ adalah bentuk jamak dari ٌَةnªَ aْ pِ , artinya bantal kecil berwarna merah yang
orang ‘ajam (Persia/Romawi) menjadikannya sebagai alas duduk pada saat
berkendaraan.
Apabila dia isbal disertai dengan kesombongan, ancamannya lebih keras lagi. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ًاn
َ
َ ُ ِإزَا َرnR ~
َ ْVpَ َO ِ ِإpَ Hَaxِ Oْ ْ َم اmWَ اnُ ¥
ُ Tْ Wَ Ù
َ
“Pada hari kiamat nanti, Allah Subhanahu wata’ala tidak akan melihat seseorang yang
menjulurkan sarungnya karena sombong.” (HR. al-Bukhari no. 5785 dan Muslim no.
2087)
Isbal itu sendiri sudah menunjukkan kesombongan, sebagaimana disebutkan oleh hadits
Jabir bin Sulaim radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
V
َ pِ Hَ}iRNِ tَ زَا ِرß
ِ لا
َ HَwL
ْ ك َوِإ
َ HRW َوِإV
ِ aْ wَ hْ _َ Oْ َ اONِ tَ `
َ aْ
َ نْ َأNِ tَ ق
ِ HRO اÂ ِ ْ iِ َOك ِإ
َ ¦ْ ِإزَا َرtَ ْار
َ Jَaِogَ Oْ ا
´
ِ Wُ Ù
َ نا R ِ َوِإJَaِogَ Oْ ا
“Angkat sarung mu hingga pertengahan betis. Apabila engkau enggan, sampai (atas)
mata kaki. Waspadalah engkau dari isbal sarung, karena hal itu adalah kesombongan,
dan Allah Subhanahu wata’ala tidak menyukai kesombongan.” (Shahih lighairihi, HR.
Abu Dawud no. 4084 dan Ahmad 5/63)
Yang menjelaskan masalah ini adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ن
َ Hَ آHَp V
ِ aْ wَ hْ _َ Oْ اV َ aْ
َ َوQُ Tَ aْ
َ Hَgaِt -ح َ HَT~
ُ Ù َ ْج َأو َ nَ
َ Ù
َ ق َو
ِ HRO اÂِ ْ iِ َOِ^ ِإJ ْ gُ Oْ ِإزْ َر ُة ا
Qِ aْ Oَ ِإÒ
ُ اnِ ¥ ُ Tْ Wَ ْ^Oَ ًاn
َ
َ ُ ِإزَا َرnR ~
َ ْVpَ ،ِرHRTO اeِt mَ }ُ tَ V
ِ aْ wَ hْ _َ Oْ اV
َ pِ v َ £َ Lْ َأ
“Sarung seorang muslim sampai pertengahan betis dan tak mengapa antara itu dan
kedua mata kaki. Adapun yang di bawah mata kaki tempatnya di neraka. Barang siapa
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berfatwa, “Tidak boleh bagi laki-laki menjulurkan (isbal)
pakaiannya di bawah kedua mata kaki. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
melarangnya dan mengancam dengan neraka, isbal termasuk dosa besar. Jika isbal
dilakukan karena sombong dan angkuh, dosanya lebih keras lagi. Adapun jika tidak ada
unsur sombong dan angkuh, hukumnya juga haram karena keumuman larangan (dalam
hadits).” (al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan 3/436)
Adapun wanita dianjurkan menjulurkan pakaiannya di bawah kedua mata kaki hingga
tidak tampak kedua telapak kakinya, namun tidak boleh lebih dari satu hasta (dzira’).
Jika ditambah dengan memakai kaos kaki, itu lebih bagus lagi. Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah boleh memanjangkan pakaian wanita
5 cm di bawah telapak kaki?” Beliau menjawab, “Ya, diperbolehkan bagi wanita
menjulurkan pakaiannya hingga di bawah kedua mata kaki. Bahkan, hal ini termasuk
disyariatkan bagi kaum wanita dengan tujuan menutup kedua telapak kakinya.
Sebab, menutup kedua telapak kaki wanita termasuk hal yang syar’i, bahkan wajib
menurut kebanyakan ulama. Seyogianya wanita menutupi kedua telapak kakinya, bisa
dengan pakaian panjang, memakai kaos kaki, atau yang semisalnya.” Asy-Syaikh Shalih
bin Fauzan hafizhahullah juga menjelaskan, “Yang dituntut dari seorang wanita
muslimah adalah menutup seluruh tubuhnya dari pandangan laki-laki. Karena itulah, dia
diberi rukhshah memanjangkan pakaiannya seukuran satu hasta dari pertengahan betis
untuk menutupi kedua telapak kakinya. Adapun laki-laki dilarang memanjangkan
pakaiannya di bawah kedua mata kaki. Ini semua menunjukkan, yang dituntut bagi
wanita adalah menutup badannya secara sempuna. Memakai kaos kaki termasuk
tindakan ekstra hati-hati dalam menutupi tubuh termasuk hal yang bagus, namun tetap
disertai dengan pakaian yang dipanjangkan, sebagaimana yang tertera dalam hadits.”
(lihat Fatwa al-Mar’ah al-Muslimah hlm. 244, dikumpulkan oleh Abu Malik
Muhammad bin Hamid bin Abdul Wahhab, cet. Darul Bashirah Mesir, tanpa tahun)
Hadits yang dimaksud adalah hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4117) dengan sanad yang sahih, dikuatkan oleh
hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Abu Dawud juga (no.
4119) dan Ibnu Majah (no. 3581). Ibnu Raslan rahimahullah menjelaskan, “Yang
tampak (dari lafadz hadits) adalah bahwa yang dimaksud satu jengkal (syibr) dan satu
hasta (dzira’) adalah ukuran lebih dari gamis laki-laki, bukan ukuran yang lebih dari
tanah.” (‘Aunul Ma’bud 11/138)
Dalam ‘Aunul Ma’bud 11/137 disebutkan bahwa tambahan satu jengkal atau satu hasta
dari mulai pertengahan betis karena itu adalah posisi sarung/ pakaian laki-laki yang
sunnah. Oleh karena itu, tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam manambahkan
satu jengkal untuk wanita, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menyatakan,
Hَ}Tْ U
َ Â
ُ
ِ _َ Tْ Wَ ِإذًا
(kalau demikian, akan terbuka [telapak kaki]nya ketika berjalan).”
ٌ^aِOَابٌ َأU
َ V
َ Wِntِ Hَ_Jْ Oِا ۗ َوmُhgَ L
ْ وَاHَiْn¥
ُ iا اmُOmُ| َوHَTU
ِ ا رَاmُOmُxjَ HَO اmُTpَ V
َ WِOR اHَ}W َأHَW
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad),
“Raa’ina”, tetapi katakanlah, “Unzhurna”, dan “Dengarlah.” Dan bagi orang-orang yang
kafir siksaan yang pedih.” (al-Baqarah: 104)
Ibnu Katsir juga menegaskan tatkala menafsirkan surat al-Hadid ayat16, “Oleh sebab
itulah, Allah Subhanahu wata’ala melarang kaum mukminin tasyabuh dengan mereka
dalam segala urusan ushul dan ahkam.” Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma
berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Para ulama berkata, “Apabila seseorang menyerupai orang kafir dalam hal pakaian dan
meyakini bahwa dengan itu dia seperti orang kafir tersebut, dia kafir. Namun, apabila
tidak ada keyakinan demikian, ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Ada yang
berpendapat bahwa dia kafir, dan itu adalah zahir (teks) hadits. Ada pula yang
berpendapat tidak kafir, hanya saja perlu diberi pelajaran.” (Subulus Salam 4/321 cet. I,
Darul Fikr Beirut, 1992 M/1411 H)
Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah mengirim surat kepada
salah seorang panglima perang Islam di Adzar Bailam bernama ‘Utbah bin Farqad. Di
antara isi suratnya,
ك
ِ ْn
ِّ O اv
ِ ي َأ ْه
R َ^ َو ِزh Tَ fRO ُآ^ْ وَاHRWَوِإ
Majalah asy Syariah Edisi 89 Page 33
“Janganlah kalian bermewah-mewah dan waspadailah model pakaian orang musyrik.”
(Shahih Muslim no. 2069/12)
Dalam riwayat al-Isma’ili (al-Fath 11/465) dan Abu ‘Awanah al-Isfirayini (Syarah
Muslim 14/41) dengan sanad yang sahih, kata an-Nawawi t, disebutkan dengan lafadz,
^ِ~HَUَ Oْ ي ا
R َ^ َو ِزh Tَ fRO ُآ^ْ وَاHRWَوِإ
“Janganlah kalian bermewah-wewah dan waspadailah model pakaian orang ‘ajam
(Persia dan Romawi).”
Telah kita sebutkan sebelumnya hadits tentang larangan pakaian mu’ashfar yang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa itu adalah pakaian orang
kafir. A l – ‘ Allamah al – Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani Rahimahullah
dalam kaset (no. 671) dari Silsilah al-Huda wan Nur menjelaskan tentang ketentuan
tasyabuh yang dilarang. Beliau menyebutkan ada dua hal penting yang harus
diperhatikan.
1. Semua tindakan orang kafir yang merupakan syiar khusus mereka diharamkan atas
umat Islam untuk melakukan dan menggunakannya. Inilah larangan yang masuk di
dalam hadits:
2. Apabila orang kafir melakukan sesuatu walaupun bukan syiar khusus mereka dan
memungkinkan bagi umat Islam untuk menyelisihi mereka, wajib bagi kita menyelisihi
mereka. Masalah satu ini yang jarang diperhatikan oleh para pencari ilmu bahkan oleh
sebagian ulama, padahal
nَ r
َ ْءٌ َأe
َ Qِ w
َ fROك ا
ُ ْnjَ ْءٌ َوe
َ ُ £َ OَHَogُ Oْ َا
“Menyelisihi mereka adalah satu perkara, dan tidak tasyabuh dengan mereka adalah
perkara yang lain.”
Di antara pakaian yang menjadi syiar dan lambang orang kafir adalah “jeans” yang
dikenal dewasa ini, celana masa kini yang superketat, membentuk lekak-lekuk tubuh
Pertanyaannya, apakah menggunakan kain ini dengan ragam bentuk dan motif selain
pantalon ketat, yakni digunakan karena kain dan kualitasnya, apakah termasuk
tasyabuh?” Beliau menjawab, “Makna tasyabuh adalah seseorang melakukan sesuatu
yang menjadi kekhususan orang yang ditiru. Apabila dia menggunakan bahan kain
tersebut atau bahan lainnya dengan sisi dan bentuk yang menyerupai pakaian orang
kafir, termasuk tasyabuh. Namun, apabila semata-mata menggunakan bahannya dengan
model lain yang berbeda dengan pakaian orang kafir, tidak masalah, selama menyelisihi
cara orang kafir dalam berpakaian. Walaupun mereka dikenal dengan bahan tersebut,
(tidak masalah) selama bentuk dan modelnya tidak seperti bentuk dan model yang
dipakai oleh orang kafir.” (Majmu’atul as-Ilah Tahummu al-Usrah al-Muslimah)
Pakaian yang marak dipergunakan di zaman sekarang adalah pantalon. Apabila pantalon
tersebut ketat dan sempit sehingga membentuk lekuk tubuh, hukumnya haram, sama
seperti jeans, karena tasyabuh dengan orang kafir dan membentuk aurat. Al-‘Allamah
Samahatul Mufti Abdul Aziz bin Abdillah ibnu Baz rahimahullah menjelaskan, “Kami
menasihatkan agar pantalon tidak dipakai karena termasuk pakaian orang kafir….”
(Majmu’ Fatawa wa Maqoolat Mutanawwi’ah 9/43, lihat al-Mausu’ah al-Baziah fil
Masail an-Nisa’iyah 3/1543 tartib al-‘Umran cet. Daar Ibnu Katsir KSA, 2010 M/1431
H)
Dalam kaset no. 6 dari Silsilah Huda wan Nuur, asy-Syaikh al-Albani ditanya tentang
hukum memakai pantalon. Beliau menjawab, “Saya tidak mengatakan haram. Akan
tetapi, saya katakan ‘makruh’ (dengan makna) haram untuk memerhatikan perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Sebab, masalah ini dibangun di atas dalil yang
mengharamkan bab tasyabuh, di sisi lain dibangun di atas kenyataan bahwa pantalon
membentuk aurat.” (Lihat al-Fatwa fii Zinati binti Hawa hlm. 71)
Namun, apabila pantalon tersebut lapang dan lebar hingga tidak membentuk lekuk
tubuh, biasa dikenal dengan sarawil atau sirwal, hukumnya diperbolehkan. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
v
َ WَِاوnL
َ ْ³wَ Jْ aَ Jْ tَ ْ ِإزَارًاS¤
ِ Wَ ْ^Oَ ْVpَ
“Siapa yang tidak mendapati sarung, silakan dia memakai sarawil.” (HR. al- Bukhari
no. 1841 dan 5804) Suad bin Qais radhiyallahu ‘anhu berkata,
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam al-Fath (11/448) menjelaskan, “Beliau tidak
membelinya untuk urusan yang sia-sia walaupun beliau sering (terbiasa) memakai
sarung.”
Yang sunnah, demi menyelisihi ahli kitab pula, adalah memakai sarawil tertutup dengan
sarung. Para sahabat Anshar pernah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ahli
kitab memakai sarawil dan tidak memakai sarung.”
Beliau bersabda, “Pakailah sarawil dan sarung, selisihilah ahli kitab….” (HR. Ahmad
5/264 dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ath-Thabarani dalam al-Ausath dari Jabir
bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu secara
makna riwayat ath-Thabarani rahimahullah. Hadits ini shahih lighairih, lihat Jilbab
al-Mar’ah al-Muslimah hlm. 184—185 karya al-Albani)
1. Pakaian yang menjadi lambang dan syiar umat Islam, seperti jubah, gamis, serban,
sarung, sarawil, jilbab, dan semisalnya. Umat Islam dianjurkan memakai dan
memasyarakatkannya, di samping menunjukkan jati diri individunya, juga sebagai
upaya islamisasi pakaian di tengah umat.
2. Pakaian yang menjadi lambang dan syiar orang kafir atau biasa mereka pakai dan
memungkinkan umat Islam menyelisihinya, seperti seragam pendeta, biarawati, biksu,
dan pakaian kebesaran lain dari umat non-Islam. Demikian pula jeans, pantalon, dan
pakaian semisalnya yang menjadi ikon kebebasan orang kafir. Umat Islam diharamkan
tasyabuh dengan mereka dalam hal ini dan diperintahkan menyelisihi mereka.
3. Pakaian yang bersifat umum yang dipakai oleh semua pihak dan tidak ada unsur
pelanggaran syariat, seperti kemeja, kaos dalam, dan semisalnya. Umat Islam
diperbolehkan memakainya karena hukum asalnya adalah boleh. Namun, mereka
dianjurkan membedakan diri dengan orang kafir dengan tambahan pakaian Islam.
Misalnya, kemeja dipadukan dengan sarung plus songkok, peci, atau serban. Wallahu
Majalah asy Syariah Edisi 89 Page 36
a’lam.
Laki-laki tidak diperbolehkan memakai pakaian wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata,
v
ِ~ُ nR O َ ا
َ wْ Oِ ³
ُ wَ Jْ jَ َْأ َةngَ Oْ َْأ ِة وَاngَ Oْ َ ا
َ wْ Oِ ³
ُ wَ Jْ Wَ v
َ~
ُ nR O اÒ
ِ لا
ُ mُL َرV
َ hَ Oَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat lelaki yang berpakaian seperti model
pakaian wanita dan (melaknat) wanita yang berpakaian seperti lelaki.” (HR. Abu
Dawud no. 4098, Ahmad 2/325)
Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah (no. 1903) dengan lafadz, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam melaknat wanita yang menyerupai lelaki dan (melaknat) lelaki yang
menyerupai wanita.” Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
ل
ِ Hَ~nِّ OHِ
ِءHَTXO اV
َ pِ ت
ِ Hَ}wX
َ fَ gُ Oْ ِء وَاHَTXOHِ
ل
ِ Hَ~nِّ O اV
َ pِ V
َ aِ}wX
َ fَ gُ Oْ اÒ
ِ لا
ُ mُLَ رV
َ hَ Oَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat lelaki yang menyerupai wanita dan
(melaknat) wanita yang menyerupai lelaki.” (HR. al-Bukhari no. 5885)
Al – Imam ath – Thabari Rahimahullah menjelaskan, “Makna (hadits) ini adalah kaum
lelaki tidak diperbolehkan menyerupai perempuan dalam hal berpakaian dan berhias
yang menjadi kekhususan wanita, begitu pula sebaliknya.” (al-Fath, 11/521)
Abu Muhammad ibnu Abi Jamrah rahimahullah menguraikan, “Zahir (teks) lafadz
hadits ini adalah kecaman keras terhadap tindakan tasyabuh (menyerupai) dalam segala
hal. Namun, telah diketahui dari dalil-dalil lain bahwa yang dimaksud adalah (larangan)
tasyabuh dalam hal model pakaian, gaya, dan semisalnya; bukan tasyabuh dalam urusan
kebaikan.” (al-Fath, 11/521) Dalam hal ini terbagi menjadi tiga.
1. Pakaian khusus kaum lelaki Seperti jubah laki laki, gamis laki laki, sarung laki laki,
serban, peci/songkok, sirwal, dan semisalnya.
2. Pakaian khusus kaum wanita Seperti abaya, jubah wanita, gamis wanita, jilbab,
khimar (kerudung), niqab (cadar), dan semisalnya.
Ketentuan yang membedakan antara pakaian lelaki dan wanita dijelaskan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Yang membedakan antara pakaian lelaki dan
pakaian wanita kembali kepada apa yang khusus untuk kaum lelaki dan apa yang
khusus untuk kaum wanita, yaitu sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada kaum
lelaki dan sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada kaum wanita yaitu wanita
diperintahkan berhijab dan tertutup, tidak boleh tabarruj dan menampakkan (aurat).”
Beliau juga menjelaskan, “Apabila diperselisihkan tentang pakaian lelaki dan pakaian
Majalah asy Syariah Edisi 89 Page 38
wanita, jika pakaian tersebut lebih mendekati maksud (tujuan) hijab berarti pakaian
wanita. Jika sebaliknya, berarti pakaian lelaki.” Beliau menguraikan pula, “Jika pada
umumnya sebuah pakaian dipakai oleh kaum pria, wanita dilarang memakainya
walaupun menutupi (satir), seperti pakaian ‘faraji’ (semacam syal) yang di sebagian
negara biasanya dipakai oleh kaum pria bukan wanita. Larangan dari pakaian seperti ini
bisa berubah dengan adanya perubahan adat kebiasaan. Adapun apabila pembedanya
kembali kepada masalah satir (yang menutupi), wanita dianjurkan memakai pakaian
yang lebih menutupi….” (al-Kawakib 93/132— 134, Ibnu ‘Urwah al-Hambali. Lihat
Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah hlm. 150—159, al-Albani)
رًاHَi Qِ aِt
َ }َ Oْ ^ َأR ¬ُ ،ِpَ Hَaxِ Oْ ْ َم اmWَ ٍ ROَ pَ ب
َ ْm¬َ Ò
ُ اQُ
َ wَ Oْ َأHَaiْ S O اeِt ٍةnَ }ْ
ُ ب
َ ْm¬َ ³
َ wِ Oَ ْVpَ
“Barang siapa memakai baju (untuk) kemasyhuran di dunia, kelak di hari kiamat Allah
Subhanahu wata’ala akan memakaikan kepadanya baju kehinaan, kemudian Allah
Subhanahu wata’ala mengobarkan api di dalamnya.” (HR. Ibnu Majah no. 3606—3607
dan ini adalah lafadz beliau, Abu Dawud no. 4029)
Hadits ini dikuatkan oleh hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz, “Barang
siapa memakai baju (untuk) kemasyhuran, Allah Subhanahu wata’ala berpaling
darinya hingga dia melepaskannya, kapan pun dia lepaskan.” (HR. Ibnu Majah no. 3608
dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 4/190—191)
Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma oleh
ath-Thabarani rahimahullah, namun pada sanadnya ada perawi yang tertuduh
memalsukan hadits. Al-Imam al-Baihaqi rahimahullah dalam Sunan-nya (3/273)
meriwayatkan dari jalur Kinanah bin Nu’aim rahimahullah bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam melarang dua kemasyhuran: (seseorang) memakai baju mewah yang
dengan itu dipandang (menarik oleh orang lain), atau (memakai) baju jelek yang dengan
itu diperhatikan (oleh orang lain). Sanadnya sahih namun mursal karena Kinanah,
seorang tabi’in, tidak berjumpa dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Walhasil,
hadits di atas hasan lighairihi dengan penguat yang ada. (Lihat Jilbab al- Mar’ah
al-Muslimah hlm. 213—215)
Al-Imam Muhammad bin Ali asy- Syaukani rahimahullah menjabarkan, “Hadits ini
menunjukkan haramnya memakai pakaian kemasyhuran. Namun, hadits ini tidak hanya
berlaku untuk pakaian yang mewah. Bisa jadi terjadi pada seseorang yang memakai
pakaian orang fakir yang berbeda dengan keumuman orang, supaya dipandang oleh
orang lain sehingga takjub dengan pakaiannya dan meyakini (kezuhudan)nya. Demikian
yang dijelaskan oleh Ibnu Raslan rahimahullah.”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, apabila ada seorang laki-laki memakai pakaian
sunnah, seperti jubah, gamis, dan semisalnya, dengan tujuan mengamalkan dan
menghidupkan sunnah di tengah masyarakat yang tidak memakainya, atau dalam
kondisi masyarakat justru tasyabuh dengan pakaian orang kafir, hal ini tidaklah
termasuk berpakaian syuhrah yang terlarang. Justru ia yang mendapatkan pahala atas
perbuatannya. Begitu pula seorang muslimah yang keluar rumah dengan pakaian syar’i,
berhijab, menutup seluruh tubuhnya dengan jilbab syar’i di tengah-tengah masyarakat
yang tidak mengenal hal tersebut, bahkan cenderung merasa asing dan aneh, dengan
tujuan menjalankan kewajiban menutup aurat, mengamalkan sunnah hijab, dan menjaga
kehormatan diri, hal ini tidaklah termasuk berpakaian syuhrah.
Sebaliknya, seorang laki-laki atau wanita yang memakai pakaian masa kini, model
terkini, yang sedang tren di masyarakat luas saat ini, dengan harga mahal, supaya
disanjung dan dipuji, karena mirip atau bergaya hidup layaknya selebritas, seperti artis
pujaan hatinya, dia termasuk dalam ancaman hadits ini. Apalagi jika pakaian tersebut
mengumbar aurat dan tasyabuh dengan pakaian orang kafir, dosa dan ancamannya lebih
berat lagi.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
ن
ُ Hَaْ
R O اHَ}tَ nَ
ْ fَ L
ْ `ا
ِ ~
َ nَ r
َ ذَاNِ tَ ،ٌْ َرةmU
َ َْأ ُةngَ Oْ ا
“Wanita adalah aurat, apabila dia keluar, setan menghiasinya (pada pandangan lelaki,
-pen.).” ( HR. at- Tirmidzi no. 1176, beliau berkata, “Hadits ini hasan sahih.”)
Suatu kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat seorang wanita, lalu
beliau masuk ke rumah Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha lantas menunaikan
hajatnya. Kemudian beliau keluar menemui para sahabatnya seraya bersabda,
Hَ}hَ pَ ن
R Nِ tَ Qُ Jَت َأ ْه
ِ ْaَ Jْ tَ Qُ fْ wَ ¤
َU
ْ َ tَ َأ ًةnَ pْ ُآ ُ^ اSُ
َ ذَا َرأَى َأNِ tَ ن
ٍ Hَaْ
َ َر ِةmُ eِt v
ُ wِ xْ jُ َْأ َةngَ Oْ ن ا
R ِإ
Hَ}hَ pَ ِيOR اv َ ªْ pِ
“Sesungguhnya wanita datang (menghadap) dalam bentuk setan. Apabila salah seorang
dari kalian melihat wanita dan mengaguminya, hendaknya ia mendatangi istrinya.
Sebab, apa yang ada pada wanita tersebut seperti apa yang ada pada istrinya.” (HR.
Muslim no. 1403/9, Abu Dawud no. 2151, dan at-Tirmidzi no. 1161 dari Jabir
radhiyallahu ‘anhu) Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ِءHَTXO اV
َ pِ ل
ِ Hَ~nِّ Oَ اJU
َ nR b
َ ً َأTَ fْ tِ ِيShْ
َ `
ُ ْآnَ jَ Hَp
“Tidaklah ada sepeninggalku nanti suatu fitnah (ujian/cobaan/godaan) yang lebih
berbahaya bagi kaum lelaki melebihi (fitnah) wanita.” (HR. al-Bukhari no. 5096 dan
Muslim)
Riwayat-riwayat di atas dan banyak lagi yang semisalnya, menjelaskan kepada kita
bahwa wanita adalah aurat yang harus ditutupi fisiknya. Mereka dijadikan alat oleh
setan, jin, dan manusia untuk merusak anak Adam. Di sisi lain, mereka adalah ujian
yang sangat dahsyat bagi kaum Adam yang mampu meluluhlantakkan keteguhan
seorang anak Adam yang kuat imannya sekalipun, kecuali orang yang dirahmati Allah
Majalah asy Syariah Edisi 89 Page 42
Subhanahu wata’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam secara khusus
memperingatkan kaum Adam agar waspada dan berhati-hati dari ujian yang ditebarkan
oleh para setan melalui kaum wanita. Karena sebab-sebab di atas dan yang lainnya,
Islam secara khusus memberikan rambu-rambu ketat bagi kaum wanita agar setan tidak
meperalat mereka untuk menyesatkan bani Adam. Di antara rambu-rambu tersebut
adalah ketentuan khusus bagi wanita dalam masalah berpakaian. Berikut ini rinciannya.
Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan kaum hawa tatkala di luar rumah atau
di hadapan lelaki yang bukan mahramnya, di antaranya:
Dalam Lisanul ‘Arab (3/33) dijelaskan bahwa tabarruj adalah seorang wanita
menampilkan perhiasannya serta menampakkan wajah dan keindahan tubuhnya di
hadapan lelaki. Begitu pula (menampakkan) segala sesuatu yang bisa membangkitkan
syahwat mereka (lelaki) dan berlenggak-lenggok di dalam berjalan. (Ini semua termasuk
tabarruj, -pen.) selama bukan untuk suaminya. Fadhilatusy Syaikh Abu Nashr
Muhammad bin Abdillah al-Imam— hafizhahullahu ta’ala—menjabarkan hadits
tabarruj.
Tabarruj terjadi dengan salah satu dari dua hal atau dengan keduanya sekaligus:
• Menampakkan semua atau sebagian keindahan (tubuhnya), seperti wajah, leher, kedua
telapak tangan, dan kedua lengan. Karena itu, Allah Subhanahu wata’ala
memerintahkan kaum wanita dengan firman-Nya,
V
R }ِ fِ Tَ Wِ زVِp V
َ aِ£o
ْ Wُ Hَp ^َ Jَhْ aُ Oِ V
R }ِ Jِ~
ُ ْ ِ
َرV
َ
ْ nِ ±
ْ Wَ HَOَو
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan.” (an-Nur: 31)
• Wanita yang berpakaian mini baik tampak bagian atasnya saja, seperti rambut, leher,
bagian dada, lengan, dan semisalnya, lebih parah lagi yang tampak bagian antara dada
dan lutut; dan lebih parah lagi tampak bagian kehormatannya; maupun tampak bagian
bawahnya, seperti kaki, betis, atau pahanya.
• Wanita yang berpakaian panjang menutupi seluruh tubuh, namun tipis menerawang
hingga tubuh dalamnya kelihatan. Para wanita seperti inilah yang diancam oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan neraka. Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ٌتÚَ Íِ Hَp ٌتÚ َ aِgpُ ٌتHَW ِرHَU ٌتHَaL ِ Hَءٌ آHَiِ َ و:(nَ ) َو َذ َآHَg^ْ َأ َر ُهOَ ِرHRTO اv ِ ْ َأ ْهVpِ ن ِ Hَ£Tْ
ِ
ْVpِ Sُ ~
َ mُaOَ Hَ}´َ Wِن ر
R َوِإHَ}´
َ Wِن رَ ْS¤
ِ Wَ Ù
َ َ َوTR¤
َ Oْ اV
َ Jْ r
ُ ْSWَ Ù
َ ِ JَÍِ HَgOْ ` ا
ِ o
ْ wُ Oْ ِ اgَ Tِ Lْ َ َآV
R }ُ L
ُ ُرءُو
َ ِة َآ َا َو َآnَ aِpَ
“Dua jenis ahli neraka aku belum pernah melihat mereka (sebelumnya)…” lalu beliau
menyebutkan, “Dan wanita wanita yang berpakaian namun telanjang, menyimpangkan
(orang yang melihatnya), berlenggak-lenggok (jalannya), dan kepala mereka seperti
punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak akan mencium
aromanya, padahal aroma surga dapat dicium dari jarak sekian dan sekian….” (HR.
Muslim no. 2128)
nَ }َ Ô
َ Hَp HRO ِإV
R }ُ fَ Tَ Wِ زV
َ WِSwْ Wُ HَO َوV
R }ُ ~
َ ُوntُ V
َ¥ْ £َ ´
ْ Wَ َوV
R ِر ِهHَ
ْ ْ َأVpِ V
َ±ْ ±
ُ ¯ْ Wَ ت
ِ HَTpِ ْ¶gُ Jْ OX vُ|َو
Hَ}Tْ pِ
Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya
dan kemaluannya, serta janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
ٰ أَن
ٓ iَ ۡ َأد
َ Oِۚ ذَٲRV}ِ wِ aِwٰـJَ~
َ Vِp V
R ۡ ِﮩaJَU
َ V
َ aِiۡSWُ V
َ aِTpِ ۡ¶gُ ۡO ِء ٱHٓ
َ iِ َو
َ jِ HَT
َ َو
َ~ِ َزۡوَٲOِّ vُ| wِ TRO ٱHَﮩWَ ٰٓـWَ
٥٩) H۟gً aِرR رً۟اmُ£y َ Qُ JROن ٱ َ Hََۗ َوآVۡW¶ۡ َذWُ HَJtَ Vَ ۡtnَ ۡhWُ )
Hai Nabi, katakanlah kepada istri istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang
mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Hal itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Ahzab: 59)
Para ulama bersepakat bahwa wanita merdeka berkewajiban menutup seluruh anggota
tubuhnya, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, kecuali wajah dan kedua telapak
tangan. Para ulama berbeda pendapat tentang wanita yang berstatus budak. Sebagian
ulama tidak membedakan antara wanita merdeka dan wanita budak dalam hal kewajiban
menutup seluruh anggota tubuhnya. Ini adalah pendapat Abu Hayyan al-Andalusi
rahimahullah dalam tafsirnya, al-Bahr al-Muhith (7/250), al-Hafizh Ibnul Qaththan
Rahimahullah dalam Ahkam an-Nazhar, Ibnu Hazm rahimahullah dalam al-Muhalla
(3/218—219), dan yang dianggap kuat oleh al-‘Allamah al-Albani rahimahullah dalam
Jilbab al-Mar’atul Muslimah (hlm. 92—96).
Para ulama juga berbeda pendapat tentang wajah dan kedua telapak tangan. Ada yang
berpendapat wajib ditutup dan ada pula yang berpendapat tidak wajib.
Pembicaraan tentang masalah ini sangat panjang, namun yang terpenting adalah
beberapa hal yang harus diperhatikan, di antaranya:
• Ulama yang tidak mewajibkan menutup wajah dan kedua telapak tangan sangat
menganjurkan kaum wanita terutama di zaman sekarang ini untuk menutupnya, demi
mencapai keafdalan dan upaya meredam fitnah.
• Tidak ada perhiasan/riasan pada wajah dan kedua telapak tangan berdasarkan
keumuman ayat,
ۖ Hَ}Tْ pِ nَ }َ Ô
َ Hَp HRO ِإV
R }ُ fَ Tَ Wِ زV
َ WِSwْ Wُ HَOَو
“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya.”
(an-Nur: 31)
Apabila terdapat perhiasan/riasan, wajib ditutup dengan dalil ayat di atas, terutama pada
wanita masa kini yang menghiasi wajah dan tangan mereka dengan ragam hiasan dan
warna, tidak ada seorang muslim pun yang ragu akan keharamannya. Kecuali celak
mata dan semir kuku dengan daun pacar, demikian diingatkan oleh asy-Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam Jilbab al-Mar’atul Muslimah
(hlm. 89).
Maka dari itu, sudah semestinya para ulama, dai, dan tokoh masyarakat menganjurkan
ۖ Hَ}Tْ pِ nَ }َ Ô
َ Hَp HRO ِإV
R }ُ fَ Tَ Wِ زV
َ WِSwْ Wُ HَOَو
“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya.”
(an-Nur: 31)
Keumuman ayat ini mencakup pakaian lahir, jika penuh perhiasan yang membuat
pandangan lelaki tertuju padanya. Demikian uraian asy-Syaikh al-Albani rahimahullah
dalam Jilbab (hlm. 119). Beliau membawakan penjelasan al- Imam adz-Dzahabi
rahimahullah dalam kitabnya al-Kabair (hlm. 131),
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang wanita yang
memakai abaya (sehelai pakaian terusan yang menutup kepala hingga kaki, mirip
dengan mukena tertentu) penuh motif dan hiasan. Beliau menjawab, “Kewajiban semua
wanita untuk mewaspadai tabarruj dengan pakaian indah (penuh hiasan), baik itu abaya
V
R }ُ fَ Tَ W ِزV
َ WِSwْ Wُ HَO ۖ َوV
R }ِ
ِ mُa~
ُ ٰJَU
َ V
R ِهnِ gُ o
ُ
ِ V
َ
ْ nِ ±
ْ aَ Oْ ۖ َوHَ}Tْ pِ nَ }َ Ô
َ Hَp HRO ِإV R }ُ fَ Tَ Wِ زV َ WِSwْ Wُ HَOَو
V
R }ِ Íِ Hَ
ْ َأوV R }ِ fِ Oَmُhwُ Oِ HROِإ
‘Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak
darinya, hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami atau ayah mereka.”
Juga firman-Nya,
Para ulama menafsirkan ayat ini dengan menampakkan keindahan dan hal-hal yang
menimbulkan fitnah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ۚV
R }ِ
ِ mُJ|ُ ِ
ُ_^ْ َوmُJxُ Oِ nُ }َ Ì
ْ ُ_^ْ َأOَِٰبٍ ۚ ذHَ¤
ِ َورَا ِءVِp V
R ُهmُOَ L
ْ Hَt HًUHَfpَ V
R ُهmُgُfOْ َ L
َ َوِإذَا
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam), mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi
hatimu dan hati mereka.” Wallahu waliyyut taufiq. (al-Mausu’ah al-Baziyah,
3/1540—1541)
Yang perlu diingatkan di sini, pakaian wanita yang berwarna selain putih atau hitam
tidaklah termasuk perhiasan. Sebab, wanita boleh berpakaian selain warna hitam, karena
hitam bukan syarat pakaian muslimah, walaupun lebih afdal memakai pakaian hitam.
Al-Lajnah ad-Daimah pernah ditanya, “Apakah hijab muslimah khusus dengan warna
hitam atau umum pada semua warna?” Mereka menjawab, “Pakaian wanita muslimah
tidak khusus berwarna hitam. Mereka boleh memakai pakaian warna apa saja selama
menutup auratnya, tidak tasyabuh (menyerupai) dengan lelaki, tidak ketat yang
membentuk tubuhnya, tidak tipis (transparan/menerawang), dan tidak pula mengundang
godaan.” (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 17/108)
V
R ُهmُThَ Oْ ا،ِ`o
ْ wُ Oْ ِ اgَ Tِ L
ْ َ َآV
R }ِ L
ِ َ ُرءُوJU
َ ،ٌتHَW ِرHَU ،ٌتHَaL
ِ Hَءٌ آHَiِ eِfpR ُأnِ r
ِ eِt ن ُ mُ_aَ Lَ
ٌتHَimُhJْ pَ VR }ُ iRNِ tَ
Majalah asy Syariah Edisi 89 Page 47
“Akan ada di generasi akhir umatku, wanita-wanita berpakaian tapi telanjang. Kepala
mereka seperti punuk-punuk unta, laknatlah mereka! Karena mereka adalah
wanita-wanita terlaknat.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam ash- Shaghir hlm. 232,
dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Jilbab hlm. 125)
Ibnu Abdil Barr rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah kaum wanita yang memakai pakaian tipis yang membentuk (tubuh)
dan tidak menutup (aurat). Secara istilah, mereka berpakaian, namun hakikatnya
telanjang.” (Tanwirul Hawalik 3/103 karya as-Suyuthi dan lihat pula Fatawa al-Lajnah
ad-Daimah 17/106)
Ummu Salamah as-Salafiyah dalam kitabnya, al-Fatwa fi Zinati binti Hawa (hlm.
61—68), menyebutkan lima alasan diharamkannya pakaian ini.
1. Tasyabuh dengan orang kafir karena model pakaian seperti ini datang dari mereka.
2. Membuka/menampilkan aurat.
3. Mayoritas pemakainya adalah wanita yang sudah tidak punya rasa malu dan wanita
fasik.
4. Menghamburkan uang hanya demi memenuhi selera mendapatkan ragam model dan
bentuk pakaian tersebut.
2. Ada pula yang memakai pakaian mini sampai betis lalu memakai kaos kaki yang
membentuk betisnya dan hanya menggunakan kerudung (khimar) tanpa jilbab. (Jilbab
hlm. 133—134) Masih banyak lagi fenomena lain yang serupa atau lebih parah di
zaman sekarang. Tragisnya, masyarakat muslim menganggapnya sebagai busana
muslimah dan simbol Islam, padahal hakikatnya adalah busana fitnah yang merupakan
makar besar musuh-musuh Islam. Wallahul musta’an.
e. Tanpa berparfum.
Banyak sekali hadits yang melarang wanita memakai parfum ketika keluar rumah
walaupun menuju masjid untuk shalat berjamaah. Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu
‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ٌ aَ iِ زَاe
َ }ِ tَ Hَ}´
َ Wُِوا رS¤
ِ aَ Oِ ْ ٍمm|َ َJU
َ ْتnR gَ tَ ، ْتnَ
َ hْ fَ L
ْ َأ ٍة اnَ pْ اHَgWَأ
“Wanita mana pun yang memakai parfum lalu melewati suatu kaum supaya mereka
mencium aromanya maka dia adalah pezina.” (HR. Ahmad 4/400, 413, Abu Dawud no.
4173, dan at- Tirmidzi no. 2786; dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Jilbab hlm.
137) Zainah ats-Tsaqafiyah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda kepada kaum wanita,
HًwaِÌ ³
R gَ jَ Ú
َ tَ Sَ ¤
ِْ gَ Oْ اV
R َا ُآS
ْ تْ ِإSَ }ِ
َ ِإذَا
“Jika salah seorang dari kalian datang ke masjid, janganlah dia memakai parfum.” (HR.
Muslim no. 443)
Apabila pergi menuju ke masjid untuk beribadah (shalat berjamaah) saja seorang wanita
dilarang memakai parfum, lalu bagaimana halnya dengan keluar ke mal, jalan umum,
dan tempat keramaian lainnya?! Tentu larangannya lebih keras lagi, terutama apabila
keluar rumah di malam hari karena fitnahnya lebih dahsyat. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
َةnَ r
ِ Û َء اHَhِ Oْ اHَThَ pَ ْS}َ
ْ jَ Ú
َ tَ رًاmُo
َ ْ`
َ Hََأ ٍة َأnَ pْ اHَgWَأ
“Siapa pun wanita yang memakai parfum, dia tidak boleh menghadiri jamaah shalat isya
لا
ُ mُL َرV
َ hَ Oَ ِءHَTXO اV
َ pِ َ Jَ~
ُ nR Oا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat wanita yang menyerupai pria.” (HR.
Abu Dawud no. 4099, dinyatakan sahih oleh al- Albani dalam Jilbab hlm. 146 dengan
penguat-penguatnya)
Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan dalam al-Kabair (hlm. 129) dan Ibnu
Hajar al-Haitami rahimahullah dalam az-Zawajir (1/126) memasukkan perbuatan wanita
yang menyerupai pria sebagai dosa besar. Al – Imam al – Albani rahimahullah
menerangkan setelah membawakan riwayat dari keterangan sejumlah ulama di atas
menyatakan, “Dari apa yang telah diuraikan sebelumnya, menjadi pasti bahwa seorang
wanita tidak diperbolehkan berpakaian menyerupai model pakaian lelaki. Jadi, tidak
halal bagi wanita mengenakan rida (semacam pakaian atas kain ihram), sarung, dan
pakaian pria lainnya, seperti yang dilakukan sebagian wanita muslimah zaman ini.
Mereka memakai apa yang disebut ‘jaket’2 dan ‘pantalon’ walaupun secara kenyataan
lebih menutupi (kulitnya)….” (Jilbab hlm. 150)
Al-Lajnah ad-Daimah pernah ditanya, “Apakah boleh seorang wanita memakai baju
putih?” Jawab, “Tidak boleh bagi seorang wanita memakai pakaian putih apabila
pakaian putih di negaranya menjadi simbol dan kekhususan kaum lelaki, karena ada
unsur tasyabuh dengan kaum lelaki. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat
wanita yang tasyabuh dengan pria!” (Fatawa al-Lajnah 17/94—5)
Al-Lajnah ad-Daimah juga ditanya, “Apa hukum seorang wanita meletakkan kain
abayanya di pundak?” Jawab, “Tidak diperbolehkan bagi seorang wanita meletakkan
abayanya di kedua pundaknya ketika keluar rumah karena ada unsur tasyabuh dengan
lelaki. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat wanita yang berpakaian seperti
pakaian lelaki dan (melaknat) lelaki yang berpakaian seperti pakaian wanita.” (Fatawa
al- Lajnah 17/107)
Dalam surat an-Nur ayat 31, tatkala Allah Subhanahu wata’ala melarang kaum wanita
menampakkan perhiasannya kepada orang lain, Allah Subhanahu wa ta’ala
mengecualikan,
V
R }ِ Èِٕ Hٓ
َ iِ أَو
“Atau wanita-wanita mereka.”
Pendapat yang rajih dalam masalah ini, tidak ada perbedaan antara wanita muslimah
dan wanita kafir. Al-‘Allamah asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah
menjelaskan, “Pendapat yang sahih, seorang wanita diperbolehkan menampakkan yang
di atas pusar dan di bawah lutut di hadapan wanita lain, baik muslimah maupun kafirah.
Adapun antara pusar dan lutut, termasuk aurat yang tidak boleh diperlihatkan kepada
siapa pun. Seorang wanita tidak boleh melihatnya dari wanita lain, baik muslimah
maupun kafirah, orang dekat maupun jauh, sebagaimana halnya aurat lelaki di hadapan
lelaki lainnya. Seorang wanita diperbolehkan melihat bagian dada, kepala, betis dan
semisalnya dari wanita lainnya, sebagaimana seorang lelaki boleh melihatnya dari lelaki
lainnya bagian dada, kepala, dan betisnya. Adapun pendapat sebagian ulama yang
menyatakan bahwa muslimah tidak boleh menampakkan (bagian tersebut) di hadapan
wanita kafir, adalah pendapat yang lemah menurut yang sahih dari dua pendapat ulama.
Sebab, para wanita Yahudi dan wanita penyembah berhala di masa Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam biasa masuk menemui para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
untuk menunaikan keperluan. Tidak ada juga (riwayat) yang menyebutkan bahwa para
istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berhijab dari mereka, padahal istriistri beliau
adalah wanita yang paling bertakwa dan paling mulia.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 5/44.
Lihat al-Fatwa hlm. 99 dan al-Mausu’ah al-Baziiyah 3/1498—1501)
Ini tidak berarti bahwa seorang wanita diperbolehkan memakai sesuatu yang hanya
menutupi antara pusar dan lututnya. Tidak ada seorang pun yang berpandangan
demikian. Yang dimaksud adalah tatkala seorang wanita memakai pakaian longgar dan
panjang, lantas tersingkap bagian dada atau betisnya, maka wanita lain tidak
diharamkan melihatnya. Contohnya, ada seorang wanita menyusui bayinya dan terlihat
payudaranya karena menyusui.
Kita tidak menyatakan kepada wanita lain, ‘Haram hukumnya engkau melihat
payudaranya,’ sebab bukan termasuk aurat. Adapun wanita yang mengatakan, ‘Aku
tidak akan memakai sesuatu kecuali celana yang menutupi antara pusar dan lutut,’ tidak
Apabila mereka keluar ke pasar, sudah diketahui dari hadits Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anha bahwa wanita memanjangkan pakaiannya. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam juga membolehkan wanita memanjangkan pakaiannya satu hasta
supaya tidak terlihat kedua telapak kakinya bila berjalan.” (Majmu’ As-ilah Tahummu
al-Usrah al-Muslimah, lihat al-Fatwa hlm. 100—101) Kaum wanita juga tidak
diperbolehkan memakai pakaian ketat atau pakaian mini walaupun di hadapan wanita
lain atau mahram dan anaknya sendiri karena termasuk menampilkan aurat selain di
hadapan suaminya. (lihat Muntaqa Fatawa al-Fauzan 3/475)
ِ pُ Ú
َ y
ُ ك َو
ِ mُ
َأmَ ُهHَgiR َ
ْسٌ ِإ
ِ aْ JَU
َ ³
َ ْaOَ Qُ iRِإ
‘Tidak apa-apa, orang yang (engkau malu padanya) hanyalah ayah dan budak lelakimu.’
(HR. Abu Dawud no. 4106 dengan sanad hasan)”
Namun, perlu diperhatikan bahwa hukum ini khusus bagi budak dan tidak berlaku untuk
pembantu, pelayan, dan karyawan lelaki karena mereka bukanlah budak. Asy-Syaikh
Shalih al-Fauzan menjelaskan, “Sopir dan pembantu lelaki hukumnya seperti lelaki
bukan mahram yang lainnya. Seorang wanita wajib berhijab dari keduanya apabila
bukan mahramnya. Seorang wanita tidak boleh menampakkan aurat dan berduaan
dengannya karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Tidak ada seorang
laki-laki yang berduaan dengan wanita melainkan yang ketiga adalah setan’.” Seorang
wanita tidak boleh menaati ibunya atau yang lain dalam hal bermaksiat kepada Allah
Subhanahu wata’ala. (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah tartib Abu Malik hlm. 357)
ۖ ِءHٓ
َ TXOت ٱ
ِ ۡرَٲmU
َ ٰJَU
َ ُْواn}َ ۡ¥Wَ ۡ^Oَ V
َ WِORِ ٱvۡ£
X Oَأ ِو ٱ
“Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (an-Nur: 31)
nُ ۡay
َ ۡ^ ُﮩiR Nِ tَ ۡ^ ُﮩTُ ٰـgَ ۡW َ_`ۡ َأJَpَ Hَp ۡ~ ِ}^ۡ َأو
ِ ٰ َأزۡوَٲ
ٓ JَU َ HRO( ِإ٥) ن َ mُ¥£ِ ٰـَ ۡ^}ِ ~ ِ ُوn£ُ Oِ ۡ^ ُهVَ WِORوَٱ
٧) ن َ دُوHَhۡO ُه ُ^ ٱَ Èِٕ ٰٓـOَُْوtَ
َ Oِ َ¯ٰ َو َرٓا َء ذَٲfَ ۡ
ٱV
ِ gَ tَ (٦) V َ aِpmُJpَ
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istriistri mereka
atau budak-budak yang mereka miliki, sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Barang siapa mencari yang di balik itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui
batas.” (al-Mukminun: 5—7)
Dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu
‘anhu, berkata, “Wahai Rasulullah, aurat kami, apa yang boleh kami lakukan, apa pula
yang tidak boleh?” Beliau menjawab,
َ Tُ aْ gِ Wَ ْ`_َ Jَpَ Hَp ْ َأو
َ~ِ ْْ َزوVpِ Ù
R ِإ
َ َjْ َرmU
َ ç
ْ £َ r
ْا
“Jagalah auratmu kecuali dari istri dan budak wanitamu.” ( HR. Abu Dawud no. 4017,
at-Tirmidzi no. 2769, Ibnu Majah no. 1920, dan Ahmad 5/3 dengan sanad hasan)
Argumen di atas menunjukkan, tidak ada batasan aurat antara pasangan suami istri.
Masing-masing boleh menampakkan dan melihat seluruh badan pasangannya dengan
syahwat ataupun tidak. Masing-masing boleh memakai atau melepas pakaian apa pun.
Masing-masing boleh berhias dengan ragam dandanan dan hiasan dengan ketentuan:
Wallahu a’lam.
Semoga Allah Subhanahu wata’ala membimbing kita, keluarga, dan putra-putri kita
kepada jalan yang benar dalam segala aspek kehidupan kita. Wallahul muwaffiq
lish-shawab.
Ketika langkah pertama tidak mendapatkan hasil yang memuaskan walaupun memakan
banyak korban di kalangan muslimin, mereka melakukan langkah berikutnya, yaitu
memerangi hijab dengan kekerasan. Di antara cara yang mereka lakukan adalah:
• Memerintahkan pihak keamanan untuk melepas paksa jilbab dan hijab yang
dikenakan oleh wanita muslimah. Ini mereka lakukan di tempat-tempat umum
dan di jalan-jalan, sebagai bentuk penghinaan terhadap hijab muslimah.
• Melarang pelajar dan guru muslimah yang berhijab memasuki tempat studi
mereka, serta mengusir pelajar dan guru yang berhijab dari sekolah.
Ini adalah upaya terakhir yang mereka lakukan setelah upaya sebelumnya menuai protes
dan reaksi keras dari ulama dan tokoh Islam. Tujuan dan target mereka adalah
mengubah secara perlahan makna dan hakikat jilbab dan hijab yang syar’i hingga
menjadi jilbab dan hijab fitnah. Mereka pun bisa memperdaya kaum muslimah tanpa
ada protes dan reaksi. Atas nama mode dan perkembangan zaman, mereka
membelokkan jilbab dan hijab menjadi ragam bentuk dan model. Muncullah jilbab dan
hijab warna-warni, satu hijab dengan dua sampai empat warna. Tampil pula mode baru
yang mengklasifikasi fungsi hijab; ada hijab sekolah, hijab kuliah, hijab kerja, hijab
dokter, hijab pengantin, dan hijab santai, bahkan hijab untuk begadang dan hijab
belasungkawa.
Ditambah lagi dengan hiasan-hiasan hijab yang beragam, potongan hijab yang ketat dan
kecil hanya menutupi kepala dan leher. Semua ini mengubah hakikat hijab yang syar’i.
Langkah ini tampaknya berjalan mulus. Hampir tidak ada penentangan dari kaum
muslimin. Bahkan, kaum hawa era sekarang justru tersibukkan oleh model hijab modern
ini. Padahal, secara syar’i, bentuk yang ada sekarang tidak bisa lagi dikatakan hijab,
tetapi pakaian fitnah. Apalagi ketika sang wanita mengenakan atasan ketat dipadu
dengan jeans ketat yang membentuk lekuk tubuh. (Lihat Majmu’ Rasail Ilmiyah wa
Da’awiyah hlm. 359—394, asy-Syaikh al-Imam, cet. I, Darul Atsar, Shan’a, 2012
M/1433 H)
1. Jilbab ٌبHَwJْ ~
ِ
Ada tujuh pendapat di kalangan ulama tentang maknanya. Pendapat yang rajih (kuat)
adalah kain yang digunakan oleh wanita menutupi badannya di atas pakaiannya.
Al-Baghawi rahimahullah dalam Tafsir-nya menyatakan, “Jilbab adalah kain yang
digunakan oleh wanita menutupi badannya di atas dir’ (gamis) dan khimar-nya.” (Tafsir
al-Baghawi 3/544, al-Ahzab: 59) Pernyataan senada juga disampaikan oleh al-Qurthubi
rahimahullah dan Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya. Asy – Syaikh al – Albani
rahimahullah menyatakan, “Bisa jadi, yang dimaksud adalah ‘aqaah yang biasa dipakai
oleh wanita Nejed dan Irak saat ini.” (Jilbab al-Mar’atul Muslimah hlm. 83)
2. Khimar ٌرHَgr
ِ
Maknanya adalah (kerudung) yang digunakan untuk menutup kepala, demikian
disebutkan dalam an-Nihayah Ibnul Atsir, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir asy- Syaukani,
Mishbahul Munir al-Fayumi, dan yang lainnya. Ibnu Hajar Rahimahullah dalam al-Fath
8/490 menyatakan, “Khimar bagi wanita kedudukannya seperti imamah (serban) bagi
lelaki.” Asy – Syaikh al – Albani rahimahullah menegaskan, “Kami tidak mengetahui
3. Hijab ٌبHَ¤
ِ
Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali al-Fayumi al-Muqri rahimahullah menjelaskan,
“Makna asal hijab adalah benda yang memisahkan antara dua jasad.” (Mishbahul
Munir, al-Fayumi hlm. 121) Dalam istilah berpakaian, hijab adalah sesuatu yang
menghalangi lelaki melihat wanita, baik satir (tirai), tembok, pintu, maupun pakaian
yang menutupi seluruh tubuh. Asy – Syaikh al – Albani rahimahullah menjelaskan,
“Setiap jilbab adalah hijab dan tidak setiap hijab disebut jilbab….” (Jilbab hlm. 21)
Beliau lalu menukil pernyataan Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Ayat jilbab (al-Ahzab
ayat 59, -pen.) ketika keluar dari rumah, sedangkan ayat hijab (al-Ahzab ayat 53, -pen.)
ketika berbincang di dalam rumah.” (Jilbab hlm. 21)
4. Dir’un ٌِدرْع
Al-Fayumi Rahimahullah dalam Mishbakhul Munir al-Fayumi (hlm. 192) menukil
penjelasan Ibnul Atsir rahimahullah bahwa dir’un bagi wanita adalah gamisnya. Lihat
juga Mukhtar ash-Shihah (hlm. 113) karya Muhammad bin Abi Bakr ar-Razi
rahimahullah. Ketika keluar rumah atau di hadapan lelaki yang bukan mahramnya,
wanita muslimah dianjurkan memakai dir’un (gamis) panjang yang menutupi tubuh dan
kedua telapak kakinya. Boleh juga sampai isbal sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya. Lebih bagus lagi jika dia memakai kaos kaki, dan lebih sempurna lagi
apabila dia memakai celana panjang khusus wanita karena lebih menutupi aurat.
Adapun bagian atas tubuhnya dia tutup dengan khimar (kerudung) lalu ditambah jilbab
panjang di atasnya yang menutup anggota tubuhnya. Bahkan, asy-Syaikh al-Albani
rahimahullah berpendapat wajib bagi wanita memakai jilbab dan khimar sekaligus.
Beliau mengatakan, “(Pendapat) yang benar sesuai dengan konsekuensi pengamalan
ayat 31 surat an-Nur dan ayat 59 surat al-Ahzab, adalah apabila seorang wanita keluar
rumah, dia wajib memakai khimar (kerudung) lalu memakai jilbab di atas khimarnya.
Sebab, hal ini lebih menutupi baginya sebagaimana yang telah kami jelaskan, dan jauh
dari menampakkan bentuk kepala dan pundaknya….” (Jilbab hlm. 85)
Memadukan antara khimar dan jilbab bagi wanita yang keluar rumah tidak lagi
diperhatikan oleh mayoritas wanita muslimah masa kini. Kenyataan yang ada, mereka
terkadang hanya memakai jilbab saja atau khimar saja. Itu pun sering kali tidak secara
sempurna menutupi, karena masih terlihat tengkuk, rambut ubunubun, atau lainnya yang
diharamkan oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk ditampakkan.” (Jilbab hlm. 85)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjawab, “Yang dituntut adalah
menutup (aurat), baik itu abaya maupun yang lainnya. Apabila masyarakat Anda
memiliki pakaian panjang dan lebar yang biasa mereka pakai untuk menutup aurat,
seperti ajillah atau semisalnya, tercapailah maksudnya. Tidak dipersyaratkan harus
Kakek menikah lagi dengan janda beranak dua (laki-laki). Apakah kedua anak tersebut
mahram bagi saya (perempuan)? Kemudian dari pernikahan tersebut lahir anak
laki-laki. Apakah dia mahram bagi saya? 085215XXXXXXX
Anak lelaki dari janda yang dinikahi kakek Anda bukan mahram Anda. Adapun anak
lelaki yang lahir dari pernikahan kakek dan janda itu adalah paman Anda yang
merupakan mahram.
Jika kita memakan sesuatu yang belum pasti halal (haram), apakah diri (tubuh) kita
tetap tidak suci lagi hingga hari akhir kelak? Bagaimana cara menyucikan tubuh kita
dari makanan haram yang telah kita makan? 085767XXXXXX
Cara membersihkan diri dari makanan yang haram adalah dengan bertobat kepada
Allah Subhanahu wata’ala.
Hukum Merokok
Bagaimana hukum merokok atas seseorang yang sudah berusaha berhenti tetapi tidak
mampu? Kalau sehari saja tidak merokok, dia akan merasa pusing dan menderita.
Mohon nasihatnya. 089693XXXXXX
Tetap haram atasnya. Dia wajib menahan diri dan berhenti dari rokok, walaupun ia
merasa pusing dan menderita tanpa merokok. Hal itu jauh lebih ringan daripada
mudarat penyakit akibat rokok. Lagi pula hal itu akan berlalu dengan berjalannya
waktu, bahkan mungkin teratasi dengan mengisap permen khusus. Konsultasikan ke
dokter.
Apa yang harus dilakukan jika ada pembeli yang tidak sengaja meninggalkan barangnya
di toko saya dalam jangka waktu yang lama? 0811XXXXXX
Umumkan di depan toko Anda atau di tempat umum lainnya tanpa menyebut semua
ciri-ciri dan wujud barangnya agar jika ada yang datang mengaku, Anda bisa
mengujinya. Jika dalam setahun pemiliknya tidak datang, Anda punya beberapa
pilihan:
2. Memanfaatkannya, dengan catatan jika setelah itu pemiliknya datang, Anda ganti.
3. Menyedekahkannya atas nama pemiliknya. Jika setelah itu ia datang dan tidak ridha,
wajib Anda ganti, dan pahalanya untuk Anda.
Jika rambut seseorang berwarna pirang, apakah ia boleh menyemirnya dengan warna
hitam, karena warna asli rambutnya memang bukan hitam? 085740XXXXXX
Saya sudah menikah, tetapi saya tidak melakukan kewajiban sebagai istri, karena saya
tidak mencintai suami saya lagi. Apakah saya berdosa? 082267XXXXXX
Anda berdosa jika tidak melaksanakan kewajiban sebagai istri kepada suami. Jika
Anda tidak mencintainya dan tidak sanggup bersabar bersamanya menjalankan
kewajiban sebagai istri, mintalah khulu’ dengan menebus bayaran senilai mahar atau
semisalnya yang disepakati bersama. Ajukan permohonan khulu’ ke KUA atau
pengadilan agama.
Apakah anak angkat berhak mendapatkan harta warisan orang tua angkatnya?
082136XXXXXX
Anak angkat tidak berhak mendapat warisan dari orang tua angkatnya. Namun, ia bisa
diberi wasiat harta maksimal 1/3 jumlah warisan.
Boleh diberikan kepada anak-anak pondok yang miskin. Adapun anak pondok yang
tercukupi nafkahnya oleh orang tuanya, tidak boleh.
Dalam bulan Ramadhan kemarin, bapak tidak puasa kurang lebih dua minggu karena
sakit jantung. Setelah Idul Adha, bapak meninggal dan belum sempat mengganti
puasanya. Bolehkah ahli waris menggantikan? Dengan berpuasa atau membayar fidyah?
Jazakumullah khairan. 081359XXXXXX
Apakah boleh menghadiri suatu hajatan yang diperdengarkan musik yang berasal dari
VCD atau semisalnya? Jazakumullah khairan. 081542XXXXXX
Tidak boleh menghadiri hajatan yang ada acara maksiatnya, seperti musik atau
kemungkaran lainnya.
Empat tahun yang lalu saya pernah berjima’ waktu bulan puasa. Bagaimana kafaratnya?
082141XXXXXX
Kafaratnya adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, memberi
makan 60 fakir miskin dengan cara:
- masing-masing diberi nasi satu porsi yang mengenyangkan. Baik cara pertama
maupun kedua, sebaiknya dilengkapi lauk-pauk, tetapi tidak wajib. Keterangan lebih
lengkap, lihat buku kami “Fikih Puasa Lengkap”.
Bagaimana tata cara shalat bagi seseorang yang sedang koma? 085383XXXXXX
Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama dalam masalah hukum qadha shalat
orang yang pingsan atau koma. Yang dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin dalam asy-Syarh
al-Mumti’ (pada awal Kitab ash-Shalah) dan difatwakan al-Lajnah ad-Da’imah
(diketuai oleh Ibnu Baz) adalah tidak ada kewajiban qadha atasnya, lantaran ia bukan
mukallaf saat pingsan/komanya. Masalah ini tidak bisa diqiyas dengan orang tidur,
karena dua perbedaan:
2. Tidur adalah keadaan yang banyak terjadi dan terulang-ulang setiap hari,
sedangkan pingsan/koma adalah hal yang jarang terjadi pada diri seseorang. Jadi,
tidak ada kewajiban qadha shalat hari-hari koma yang dialami oleh bapak Anda.
Wallahu a’lam.
Hitungan Talak
Ada seorang lelaki menalak istrinya dua kali. Setiap kali talak, diikuti rujuk setelahnya.
Majalah asy Syariah Edisi 89 Page 63
Setelah talak yang kedua, istrinya bertanya kepada salah seorang ustadz, “Apakah dua
talak yang diikuti rujuk tersebut masih terhitung dan tersisa satu talak?” Ustadz tersebut
menyatakan terhapus/dihitung dari awal lagi. Istrinya pun menyampaikan hal ini kepada
suaminya. Setelah beberapa lama, terjadi pertikaian yang berujung kepada jatuhnya kata
talak dengan kalimat, “Saya menalakmu dengan talak satu,” karena menyangka jawaban
ustadz tersebut benar. Namun, ketika ditanyakan kepada ustadz yang lain, ternyata dua
talak yang lalu masih terhitung, dan sekarang telah jatuh talak tiga. Apakah talak
tersebut benar-benar jatuh ataukah ini merupakan kesalahan yang bisa dimaafkan?
083150XXXXXX
Dengan itu, talak tiga (talak ba’in) telah jatuh. Jawaban yang diberikan kepadanya
adalah kesalahan fatal, karena tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama bahwa
talak yang diselingi rujuk tetap berlanjut hitungannya sampai jatuh talak tiga.
Ketidaktahuan dia akan hukum tersebut tidak ada pengaruhnya. Hal ini sebagaimana
tidak tahunya sahabat yang menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan
tentang konsekuensi perbuatannya yang mengharuskan kafarat, tetapi tetap dikenakan
kafarat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Begitu pula dalam hal ini,
ketidaktahuan akan konsekuensi talak yang dijatuhkannya tidak berarti dia tidak
terkena konsekuensi tersebut.
ْVpِ
َ Oٌَِٰ ۚ ذnaْ r
َ
َ Oَِٰىٰ ذmَ xْ fROس ا
ُ HَwOِ ۖ َوHًWِ_ُ^ْ َورjِ ْmL
َ َارِيmWُ HًLHَwOِ ْ^_ُ aْ JَU
َ HَTOْ ¢َ iَْ أS|َ َد َمeِT
َ HَW
ن
َ ُوnآR R Wَ ْ^}ُ JRhَ Oَ Qِ JROت ا
ِ HَW
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk
menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang
paling baik. Hal itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan
mereka selalu ingat.” (al-A’raf: 26)
Telah terjadi silang pendapat di kalangan para ulama tentang makna “Kami menurunkan
pakaian” dalam ayat di atas. Ada yang berkata bahwa yang dimaksud adalah Allah
Subhanahu wata’ala menurunkan hujan yang kemudian menumbuhkan kapas dan pohon
katun, serta memberi penghidupan kepada hewan-hewan yang di antaranya
menghasilkan wol dan bulu-bulu lainnya. Ada pula yang berkata, yang dimaksud
“menurunkan” adalah menurunkan sebuah pakaian bersama turunnya Adam dan Hawa
untuk dijadikan contoh bagi yang lainnya. Ada pula yang berkata, menurunkan di sini
bermakna menciptakan, seperti halnya firman Allah Subhanahu wata’ala,
ج
ٍ َ َأزْوَاaَ iِ Hَg¬َ ِمHَhiْ َ Oْ اV
َ pX ^ُ_Oَ ل
َ ¢َ iََوأ
“Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak.”
(az-Zumar: 6)
Sau’aat adalah jamak dari sau’ah, maksudnya adalah aurat. Aurat dinamakan sau’ah,
dari asal kata suu’ yang berarti buruk. Artinya, keburukan bagi seseorang jika ia
Yang dimaksud riisy di dalam ayat ini adalah pakaian luar yang menjadi hiasan. Lafadz
yang pertama (libas) adalah pakaian inti yang menutup aurat, sedangkan riisy adalah
pakaian penyempurna dan penghias. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Tafsir Ayat
Ayat ini menerangkan tentang salah satu kenikmatan yang Allah Subhanahu wata’ala
anugerahkan kepada para hamba-Nya, yaitu pakaian yang menutupi aurat mereka dan
melindungi tubuh mereka dari berbagai hal yang memudaratkan, seperti dingin, panas,
debu; baju besi yang digunakan dalam pertempuran, dan lainnya. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menerangkan ayat ini, “Allah Subhanahu wata’ala
mengatakan kepada orang-orang Arab yang jahil, yang dahulu melakukan thawaf dalam
keadaan telanjang karena mengikuti perintah setan dan meninggalkan ketaatan
kepada-Nya. Allah Subhanahu wata’ala mengingatkan mereka tentang tipu daya setan
yang membuat mereka teperdaya sehingga berhasil menguasai mereka dengan
menghilangkan kenikmatan yang menjadi pelindung mereka. Akhirnya, mereka
menampakkan dan saling memperlihatkan auratnya di antara mereka. Setan berhasil
menggiring mereka sebagaimana ia berhasil menggiring kedua orang tua mereka, yaitu
Adam dan Hawa, yang diperdaya oleh setan hingga Allah Subhanahu wata’ala
menghilangkan penutup yang Dia berikan kepada keduanya sehingga tampaklah
auratnya. Mereka pun bertelanjang.” (Tafsir ath-Thabari, 12/261)
َ Tُ aِgWَ ْ`_َ Jَpَ Hَp ْ َأو
َ fِ ~
َ ْْ َزوVpِ Ù
R ِإ
َ jَ ْ َرmU
َ ç
ْ £َ
ْا
“Jagalah auratmu kecuali dari istri atau budak wanitamu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
Ibnu Majah, dll, dari Bahz bin Hakim bin Muawiyah, dari ayahnya, dari kakeknya.
Hadits ini dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 203)
Tentang batasan aurat laki-laki, bagian kemaluan depan dan belakang disepakati oleh
para ulama dan tidak ada perselisihan tentangnya. Adapun bagian paha, terjadi silang
pendapat di kalangan para ulama. Yang benar, paha termasuk aurat. Pendapat inilah
yang dikuatkan oleh mayoritas para ulama. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Jarhad radhiyallahu ‘anhu tatkala pahanya
tersingkap,
ٌْ َرةmU
َ َ o
ِ £َ Oْ ن ا
R ِإ
“Sesungguhnya paha itu aurat.” (HR. al-Bukhari secara ta’liq, Ahmad, at-Tirmidzi, Abu
Dawud, dari Jarhad radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani
dalam Shahih al-Jami’ no. 7906)
Pusar dan lutut tidak termasuk aurat, menurut pendapat yang lebih kuat. Al- Imam
asy-Syafi’i Rahimahullah mengatakan, “Pusar dan lutut tidak termasuk aurat, menurut
pendapat yang benar.” (Tafsir al-Qurthubi, 9/182)
Pendapat ini dikuatkan oleh riwayat dari Umair bin Ishaq yang berkata, “Suatu ketika,
aku bersama al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
menemui kami lalu berkata, ‘Perlihatkan kepadaku, aku ingin mencium bagian tubuhmu
yang dicium oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Al- Hasan mengangkat
gamisnya, maka Abu Hurairah mencium pusarnya.” (HR. Ahmad, 2/493, dinyatakan
hasan oleh al-Albani dalam ats-Tsamar al- Mustathab hlm. 282)
Al–Qurthubi rahimahullah berkata, “Seandainya pusar adalah aurat, tentu Abu Hurairah
Tentang aurat wanita di hadapan lelaki yang bukan mahram, tidak ada perselisihan di
kalangan para ulama bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, selain wajah dan telapak
tangan. Yang menjadi perselisihan adalah wajah dan telapak tangan. Dalam hal ini ada
dua pendapat:
2. Pendapat yang mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan termasuk aurat yang
harus ditutup.
Yang perlu dipahami, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat tidak boleh
menutup wajah dan telapak tangan. Yang kuat di antara kedua pendapat di atas adalah
wajibnya menutup seluruh tubuh wanita, termasuk wajah dan telapak tangan. Di antara
dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha sebagai
berikut. Ia berkata, “Semoga Allah Subhanahu wata’ala merahmati para wanita yang
pertama kali berhijrah, ketika Allah Subhanahu wata’ala menurunkan firman-Nya,
V
R }ِ
ِ mُa~
ُ ٰJَU
َ V
R ِهnِ gُ o
ُ
ِ V
َ
ْ nِ ±
ْ aَ Oْ َو
‘Hendaknya mereka menutupkan kerudung-kerudung mereka di atas dada-dada
mereka.’ (an-Nur: 31)
Mereka pun segera merobek kainkain sarung mereka lalu ‘berkhimar’ dengannya.” (HR.
al-Bukhari no. 4480)
Mereka yang hidup di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentu lebih
mengerti tentang makna dan pengamalan ayat tersebut dibandingkan dengan generasi
yang setelah mereka. Demikian pula sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
ن
ُ Hَaْ
R O اHَ}tَ nَ
ْ fَ L
ْ `ا
ِ ~
َ nَ r
َ ِإذَاHَ}iR ْ َرةٌ َوِإmU
َ َْأ ُةngَ Oْ ا
“Wanita adalah aurat. Sesungguhnya, jika ia keluar, setan menjadikan pandangan lelaki
merasa indah tertuju kepadanya.” (HR. at-Tirmidzi dari Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 6690)
ٌnaْ r
َ
َ Oَِٰىٰ ذmَ xْ fROس ا
ُ HَwOَِو
“Pakaian ketakwaan itu lebih baik.”
Pakaian terbaik adalah bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala, dengan berserah
ْ ِءngَ Oْ س ا
ِ HَwOِ nُ aْr
َ َوHً aِLHَْ آV_ُ Wَ ْ^Oَ ْ َوِإنHً iHَWْnUُ َ JRxَ jَ َxfO اV
َ pِ Hً
Hَa¬ِ ْ³wَ Jْ Wَ ْ^Oَ ْ ُءngَ Oْ ِإذَا ا
Hً aِHَU Qِ JِO ن َ Hَْ آVgَ aْ tِ nَ aْ r
َ HَO َوQِ
ِّ ُ َرU َ HَÌ
Jika seseorang tidak memakai pakaian ketakwaan, dia telanjang meskipun sedang
berpakaian Sebaik-baik pakaian seseorang adalah taat kepada Rabb-nya Dan tiada
kebaikan bagi seseorang yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Ada beberapa riwayat dari ulama salaf tentang makna pakaian ketakwaan di dalam ayat
ini. Ibnul Anbari rahimahullah berkata, “Pakaian takwa adalah rasa malu.” Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Yang dimaksud adalah amalan saleh.” Diriwayatkan pula
dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rupa yang baik pada wajah.”
Ada pula yang berkata, “Apa yang diajarkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan
menjadi hidayah-Nya.” Urwah bin Zubair rahimahullah berkata, “Yang dimaksud
adalah rasa takut kepada Allah Subhanahu wata’ala.” Abdurrahman bin Zaid bin Aslam
rahimahullah berkata, “Ia bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala lalu menutup
auratnya, itulah pakaian ketakwaan.” Ibnu Katsir rahimahullah berkata,“Semua
pendapat ini berdekatan maknanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/279)
ن
َ ُوnآR R Wَ ْ^}ُ JRhَ Oَ Qِ JROت ا
ِ HَW ْVpِ
َ Oَِٰذ
“Hal itu adalah sebagian dari tandatanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka
selalu ingat.”
Isim isyarat pada ayat ini (kata dzalika) kembali kepada pakaian ketakwaan yang
merupakan sebaik-baik pakaian. Apa yang diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala
adalah tanda-tanda kekuasaan-Nya yang menunjukkan bahwa Dialah satusatunya
Pencipta alam semesta, seperti perkataan seorang penyair,
Sarung, celana, jubah, atau yang semisal, biasanya dikenakan oleh kaum musbil hingga
menutupi mata kaki. Kebiasaan yang perlu dikritisi secara tinjauan syariat Islam.
Mengapa hal “remeh” semacam ini dibahas? Itulah kesempurnaan ajaran Islam. Cara
berpakaian pun ada aturannya.
Takhrij Hadits
Hadits dengan lafadz di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5450), an-Nasa’i (no.
5330), dan Ahmad (2/498), dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Seluruhnya
dari riwayat Syu’bah, dari Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Hadits lain yang lafadznya senada cukup banyak, antara lain,
2. Hadits Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu riwayat an-Nasa’i dan Ibnu
Majah (no. 3572).
4. Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu riwayat Ahmad dan lainnya. (ash-
Shahihah, no. 2037) Isbal dan Musbil Isbal artinya menggunakan pakaian yang
menutupi mata kaki, baik dalam bentuk sarung, celana, maupun jubah. Musbil adalah
sebutan untuk orang yang melakukan isbal. Isbal telah menjadi pandangan sehari-hari
dari kalangan kaum muslimin. Ada yang sama sekali tidak mengerti tentang
keharamannya, ada yang sekadar mengikuti mode dan tren, juga ada yang tidak
menaruh perhatian sedikit pun tentang hal ini. Sebenarnya, bagaimanakah hukum isbal
itu? Hukuman apa yang diancamkan atas kaum musbil? Apakah hal ini termasuk
masalah furu’—menurut kalangan tertentu—, sehingga tidak layak untuk
diperdebatkan? Benarkah hal ini hanya masalah adat dan budaya orang Arab yang tidak
berlaku di negeri kita, Indonesia? Adakah perbedaan antara musbil yang sombong dan
musbil yang tidak sombong? Simaklah penjelasan ringkas berikut ini, barakallahu
fikum.
Hukum Isbal
ب
ِ ِذHَ_Oْ اÂ
ِ Jِ´
َ Oْ Hِ
Qُ fَ hَ Jْ L
ِ
ُ £ِّ Tَ gُ Oْ ن وَا
ُ HRTgَ Oْ وَاv
ُ wِ
ْ gُ Oْ ا
“Orang musbil, orang yang selalu mengungkit-ungkit kebaikan, dan orang yang menjual
barang dagangan dengan sumpah palsu.” (Fatwa al-Utsaimin, Nur ‘alad Darb)
Artinya, masalah isbal bukanlah masalah kecil. Tidak tepat juga jika masalah isbal
dinilai sebagai masalah furu’. Anggapan sebagian kalangan bahwa masalah isbal
hanyalah adat dan budaya orang Arab juga tidak benar. Ternyata, isbal termasuk dosa
besar sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hukum isbal
hanya berlaku untuk kalangan laki-laki. Sebab, ada hukum tersendiri bagi kaum wanita.
Kekhususan hukum ini untuk kaum laki-laki telah dinukilkan ijma’ ulama oleh Ibnu
Raslan dalam Syarah Sunan. (Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abi Dawud)
Kata mereka, “Larangan isbal hanya berlaku untuk orang yang sombong saja! Jika tidak
disertai sikap sombong, tidak mengapa.” Jika berdasarkan ilmu kita berbicara, bukan
hawa nafsu; jika di atas sikap hormat kepada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
kita berhukum, tidak dengan menurutkan kesenangan hati; jika tidak mengambil sikap
seenaknya kita sendiri, menerima satu hadits dan menolak hadits yang lain, walau tidak
diakui secara lisan; tentu setiap hadits dapat diposisikan sebagaimana mestinya. Lihat
dan teladanilah sikap para ulama. Mengenai hal ini, mereka merincinya menjadi dua
masalah.
Orang semacam inilah yang dimaksud oleh hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu di atas.
Orang seperti inilah yang diancam dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ada
tiga golongan manusia pada hari kiamat nanti. Allah Subhanahu wata’ala tidak
berbicara kepada mereka, tidak memandang ke arah mereka, dan tidak menyucikan
mereka. Untuk mereka azab yang pedih.”
Orang semacam ini siksanya di bawah tingkatan siksa jenis orang pertama. Orang
seperti inilah yang dimaksud dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas.
Orang semacam inilah yang diancam dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Sarung yang berada di bawah kedua mata kaki, ada di dalam neraka.” (Fatwa
al-Utsaimin, Nur ‘alad Darb)
Pendapat para ulama di atas didukung oleh sebuah riwayat dari Abu Sa’id radhiyallahu
‘anhu yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4093), an-Nasa’i (no. 9714—9717),
Ibnu Majah (no. 3573), dan yang lain, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam
ash-Shahihah (no. 2017). Di dalam riwayat tersebut, dua keadaan di atas disabdakan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam secara berbeda dalam satu konteks. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Qِ aْ Oَ ِإÒ
ُ اnِ ¥
ُ Tْ Wَ ْ^Oَ ًاn
َ
َ ُ ِإزَا َرnR ~
َ ْVpَ ،ِرHRTO اeِt mَ }ُ tَ V
ِ aْ wَ hْ _َ Oْ اV
َ pِ v
َ £َ L
ْ ن َأ
َ Hَ آHَp
“Pakaian yang berada di bawah mata kaki, ada di dalam neraka. Barang siapa menyeret
pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong, Allah Subhanahu wata’ala tidak akan
memandangnya.”
Jadi, sabda Nabi, “Barang siapa menyeret pakaiannya (melebihi mata kaki) karena
sombong, Allah Subhanahu wata’ala tidak akan memandangnya”, tidak berarti apabila
isbal tidak disertai sikap sombong maka boleh. Bukan seperti itu hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam dipahami! Hal lain yang perlu dicermati juga adalah Abdullah bin
Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah sahabat yang meriwayatkan hadits larangan
isbal dengan disertai sikap sombong. Bagaimanakah praktik Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhu dalam hal ini? Bukankah beliau lebih layak untuk diteladani dalam
memahami hadits tersebut? Ternyata, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang
Majalah asy Syariah Edisi 89 Page 73
meriwayatkan hadits tentang larangan musbil dengan disertai sikap sombong, pada
praktiknya menggunakan kain sarung di atas mata kaki, bahkan di pertengahan betis.
Al-Imam Muslim rahimahullah (no. 2086) meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu, beliau bercerita, “Aku pernah bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
sedangkan kain sarungku turun. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menegur, ‘Wahai Abdullah, tinggikan kain sarungmu!’ Aku pun mengangkatnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap mengatakan, ‘Naikkan lagi!’ Aku pun
mengangkatnya lebih tinggi. Setelah itu, aku selalu menjaga kain sarungku dalam posisi
seperti itu.” Ada yang bertanya, “Sampai batas mana?” Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhuma menjawab, “Sampai pertengahan betis.” Bagaimana dengan Atsar tentang
Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu? Sekelompok kecil orang di atas ternyata
masih berusaha mencari alasan dan pembenaran, walau sangat dipaksakan. Kata
mereka, “Abu Bakr juga terkadang musbil dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menyatakan kepada beliau, ‘Sungguh, engkau tidak termasuk yang melakukan isbal
dengan disertai sikap sombong’.” Mereka memahami, “Jadi, larangan itu hanya berlaku
pada orang musbil yang bersikap sombong. Jika tidak, boleh-boleh saja!” Pembaca,
semoga Allah Subhanahu wata’ala menjaga Anda, marilah kita mencermati hadits
tentang Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu lebih dekat. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata,
¦ُ Tَ
ْ jَ Ò
ِ لا
ُ mُLل َر
َ Hَxtَ Qُ Tْ pِ
َ Oِ َذ: `
َ
ْ Oَ
َ iR ِإSَ َهHَhjَ َأنْ َأHRO ِإeِrْnfَ
ْ Wَ eِ
ْm¬َ ْexR
ِ Sَ َ ن َأ
R ِإ
َءHَJaَ r
ُ َ Oَِذ
“Sungguh, salah satu bagian pakaianku selalu turun, namun aku selalu menjaganya agar
tidak turun.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya
engkau tidak termasuk yang melakukannya karena sikap sombong.” (HR. al- Bukhari
no. 5447)
Ada beberapa hal yang harus dicermati tentang keadaan Abu Bakr di atas:
1. Tidak ada faktor kesengajaan isbal dari Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu.
2. Upaya Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu untuk selalu menaikkan kembali pakaiannya jika
turun menutupi mata kaki.
3. Yang terkadang turun menutupi mata kaki Abu Bakr adalah salah satu sisi
pakaiannya. Artinya, sisi pakaian yang lain berada di atas mata kaki.
V
ِ aْ wَ hْ _َ Oْ ْ اetِ زَا ِرNِ Jْ Oِ
R
َ Ú
َ tَ ،َ`aْ
َ نْ َأNِ tَ ،ُv£َ L
ْ َ tَ `
َ aْ
َ نْ َأNِ tَ ،ِزَارNِ Oْ ُ¦ اb
ِ ْmpَ َهَا
‘Di sinilah letak sarung. Jika engkau tidak ingin, bisa di bawahnya sedikit. Jika engkau
masih juga tidak ingin, tidak ada hak untuk sarung berada tepat pada mata kaki’.” (HR.
at-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah dan dinyatakan sahih oleh al-Albani no. 99)
ةٌ؟mَ L
ْ ُأe
R tِ
َ Oَ Hَpَأ
“Apakah engkau tidak ingin meneladani diriku?” Aku pun memerhatikan sarung beliau,
ternyata sampai di pertengahan betis. (HR. at-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah
dan dinyatakan sahih oleh al-Albani no. 97)
Sekarang, kita bisa menyampaikan kepada siapa saja yang bertanya tentang hukum
isbal, “Apakah engkau tidak ingin meneladani diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan pakaian di atas mata
kaki, bahkan hingga di tengah betis.” Wallahu a’lam.
Islam dengan konsep, aturan, dan jalannya telah meletakkan jurang pemisah antara
kekafiran dan keimanan, kesyirikan dan ketauhidan, kebatilan dan kebenaran,
kebid’ahan dan sunnah. Jurang pemisah ini sesungguhnya menjadi ujian besar bagi
manusia dalam hidup. Maukah mereka tunduk pada aturan itu atau mereka lebih
memilih kebebasan dari semua tuntutan itu? Islam, sebagai agama yang telah
disempurnakan, menjunjung tinggi nilai-nilai ketinggian dan kesakralan, melindungi
kehormatan, darah, dan harta benda manusia. Islam sebagai agama yang penuh kasih
sayang mengajak orang-orang kafir untuk meninggalkan agama mereka dan masuk ke
dalam Islam. Islam pun mengobarkan peperangan kepada siapa pun yang menolak dan
memeranginya. Jurang pemisah ini menjadi lampu merah bagi kaum muslimin dan
mukminin agar tidak meniru gaya hidup orangorang kafir, musyrik, dan ahlul batil.
اmُj أُوV
َ Wِ ORHَا آmُimُ_Wَ HَO َو
X´َ Oْ اV
َ pِ ل َ ¢َ iَ Hَpِ َوQJRO اnِ ِ ْآOِ ْ^}ُ
ُ mُJ|ُ ¦َ َo ْ jَ ا أَنmُTpَ Vَ WِJROِ ن
ِ ْWَ ْ^Oََأ
ن
َ mُxLِ Hَt ْ^}ُ Tْ pX ٌnaِª ُ
ُ}^ْ ۖ َو َآmُJ|ُ ْ`
َ xَ tَ Sُ pَ َ Oْ ِ} ُ^ اaْ JَU
َ ل
َ Hَtَ v
ُ wْ |َ Vِp ب َ Hَf_ِ Oْ ا
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). Janganlah
mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras.
Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al- Hadid: 16)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Kalimat: Dan jangan mereka
seperti ahli kitab, ini adalah larangan yang bersifat mutlak dalam hal meniru mereka.
Ayat ini lebih khusus menekankan larangan menyerupai mereka dalam hal kekerasan
hati. Kerasnya hati adalah salah satu buah kemaksiatan.” (Iqtidha’ ash-Shirathil
Mustaqim hlm. 81)
Berita yang Pasti, Umat Ini Pasti Meniru Mereka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam telah memberitakan,
ُ mُgfُ _ْ Jَ
َ Oَ
¸ b
َ nَ ´
ْ~ُ اmُ_JَL
َ ْmOَ Rf
َ عٍ ِ
ِرَاHًU َو ِذرَاnٍ wْ
ِ
ِ ًاnwْ
ِ ْ^_ُ Jَwْ |َ ْVpَ V
َ Tَ L
َ V
R hُ wِ fRfَ Oَ
ْ؟Vgَ tَ ل
َ Hَ| رَى؟HَTRO َد وَاmُ}aَ Oْ ا،ِÒل ا َ mُL َرHَW :HَTJْ |ُ
“Sungguh, kalian akan mengikuti langkah orang-orang sebelum kalian sejengkal demi
sejengkal, dan sehasta demi sehasta. Kalaupun mereka menempuh jalur lubang dhabb
(binatang sejenis biawak), niscaya kalian akan menempuhnya.” Kami mengatakan, “Ya
Rasulullah, apakah jalan orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa
lagi kalau bukan mereka?” (HR. al-Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 4822 dari sahabat
Abu Sa’id al- Khudri radhiyallahu ‘anhu)
اnً wْ
ِ Hَ}Jَwْ |َ ن
ِ ُوnxُ Oْ ِ اr
ْ َ
ِ eِfpR َ ُأr
ُ ْjَ Rf
َ ُ U
َ HRO ُم اmُxjَ HَO Qُ Tْ U
َ Ò
ُ اe َb ِ َة َرnَ Wْ nَ ُهeِ
ْ َأVU َ
َِ؟Oَ أُوHROس ِإ ُ HRTO اV
X pَ َو:ل َ Hَxtَ ومِ؟nOس وَا َ ِرHَ£ َآ،ِÒل ا َ mُL َرHَW :v َ aِxtَ .ع
ٍ ِ
ِرَاHًU َو ِذرَاnٍ wْ
ِ
ِ
“Tidak akan terjadi hari kiamat, hingga umatku mengambil langkah generasi
sebelumnya sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta.” Lalu dikatakan
kepada beliau, “Ya Rasulullah, apakah bangsa Persi dan Romawi?” Beliau bersabda,
“Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. al-Bukhari no. 6774)
Allah Subhanahu wata’ala telah melarang keras kaum muslimin meniru mereka,
sebagaimana firman-Nya,
Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan kita untuk berdoa agar tidak
termasuk golongan mereka dalam banyak ayat. Di antaranya,
Oleh karena itu, dalam al-Qur’an Allah Subhanahu wata’ala sering menampilkan
sosok manusia yang bisa dijadikan teladan di dalam hidup, teladan yang tidak akan
mengecewakan. Mereka adalah orang-orang yang telah teruji dalam segala kondisi.
Mereka telah berjuang dengan segala kemampuan, siang dan malam, tanpa mengenal
lelah dan patah semangat. Mereka telah berkorban dengan segala yang dimilikinya,
tanpa mengharapkan imbalan dari manusia sedikit pun. Mereka hanya mengejar ridha
Allah Subhanahu wata’ala yang mengutus mereka. Allah l telah menceritakan sosok
Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad, dan nabi-nabi yang
lain. As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Tidaklah setiap orang bisa menjadikan
mereka teladan. Yang mendapatkan kemudahan untuk meneladani mereka adalah orang
yang mengharapkan Allah Subhanahu wata’ala dan ganjaran pada hari akhirat.
Keimanan dan harapan akan pahala akan memudahkan setiap hamba menghadapi segala
kesulitan dan mengurangi beban hidup yang banyak. Selain itu, keimanan akan
mendorong untuk meneladani hamba-hamba Allah Subhanahu wata’ala yang saleh,
para nabi dan rasul. Dia pun akan melihat dirinya sangat membutuhkannya.” (Tafsir
as-Sa’di hlm. 794)
Dalam bersikap terhadap orang kafir, Allah Subhanahu wata’ala telah menceritakan di
dalam al-Qur’an sikap dua khalil-Nya agar kita meneladani mereka berdua.
HRgpِ ُ_^ْ َوTِp َ ُءn
ُ HRi ِ}^ْ ِإpِ ْmxَ Oِ اmُOHَ| ْ ِإذQُ hَ pَ V َ WِOR َ^ وَاaَِاهn
ْ ِإeِt ٌ Tَ ََ ٌةmَ Lْ ُ ُ_^ْ أOَ ْ`iَ Hَْ آS|َ
Qِ JROHِ
اmُTpِ ْ¶jُ ٰfR
َ ًاS
َ ُء َأHَ±¯ْ wَ Oْ َا َو ُة وَاShَ Oْ ُ_ ُ^ اTَ aْ
َ َوHَTTَ aْ
َ َاS
َ ِ
ُ_^ْ َوHَiْn£َ َآQِ JROن ا
ِ دُوVِp ن َ ُوSwُ hْ jَ
ُ Sَ
ْ َو
Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang
yang bersamanya ketika mereka berkata kepada kaum mereka, “Sesungguhnya Kami
berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah. Kami ingkari
(kekafiran)mu serta telah nyata antara Kami dengan kalian permusuhan dan kebencian
buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (al-Mumtahanah: 4)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bercerita dalam hadits yang dikeluarkan
oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullahdari sahabat Abu Sa’id
al- Khudri radhiyallahu ‘anhu tentang seseorang yang telah membunuh 99 jiwa. Karena
kejahilannya tentang pintu tobat, dia mencari seseorang yang akan bisa membimbing
dirinya keluar dari lumuran dosa tersebut. Bertemulah dia dengan seorang pendeta. Ia
pun mengutarakan hajatnya dan menceritakan dosa yang telah diperbuatnya. Dengan
kejahilan, sang pendeta memberitahukan bahwa pintu tobat sudah tertutup baginya.
Dengan spontan, jiwa sang pendeta melayang di tangannya, sekaligus menggenapkan
bilangan yang ganjil, dari 99 menjadi 100. Sungguh karena ketidaktahuan itu, telah
terenggut nyawa seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mengetahui
hal itu, beliau marah dengan kemarahan yang sangat. Abdullah ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu bercerita tentang peristiwa tersebut,
Setelah menjelaskan kondisi para perawi haditsnya, beliau mengatakan, “Hukum yang
paling ringan (dalam meniru orang kafir) di dalam hadits ini adalah keharaman,
kendatipun lahiriah haditsnya menunjukkan kafirnya orang yang menyerupai mereka,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
Ini semakna dengan ucapan Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, “Barang siapa
tinggal di negeri kaum musyrikin dan melakukan hari ulang tahun mereka, pesta besar
mereka, dan meniru mereka sampai meninggal dunia, dia akan dibangkitkan bersama
mereka pada hari kiamat.” Terkadang, hal ini dibawa kepada hukum tasyabuh yang
bersifat mutlak, yaitu tasyabuh yang menyebabkan seseorang kafir dan sebagiannya
mengandung hukum haram. Bisa juga dibawa pada makna bahwa dia seperti mereka
sebatas apa yang dia tiru. Jika yang dia tiru itu dalam hal kekafiran (dia menjadi kafir,
-pen.), dan jika maksiat, (ia telah bermaksiat). Jika dalam hal syiar kekufuran mereka
atau syiar kemaksiatan mereka, hukumnya semisal itu.” (Lihat al-Iqtidha hlm. 82—83)
Kita juga telah mengetahui bahwa hukum-hukum dalam agama tidak keluar dari lima
hal. Ibnu Qayyim Rahimahullah menjelaskan, “Hukum-hukum yang terkait dengan
ubudiyah itu ada lima, yaitu wajib, mustahab, haram, makruh, dan mubah.” (Madarijus
Salikin 1/109) Telah dijelaskan di atas tentang haramnya meniru orang kafir secara
mutlak. Namun, ada pembolehan, yakni jika hal yang akan kita tiru tersebut tidak ada
sangkut pautnya dengan urusan agama dan keyakinan, serta tidak ada kaitannya dengan
ciri khas dan adat istiadat mereka. Hal itu bukan perilaku dan kebiasaan mereka,
melainkan sebatas ursan dunia yang tidak ada keharaman padanya. Yang seperti ini
dibolehkan. Misalnya, orang-orang kafir bisa membuat motor, mobil, pesawat, atau
peranti teknologi lain yang hukumnya secara zat tidak haram, lalu kaum muslimin
menirunya. Hal ini tidak mengapa.
ن
َ mُJtِ Hَ¯Oْ ُه ُ^ ا
َ ِ Oَٰ ۚ أُوv
b
َ ْ ُه^ْ َأv
َ ِمHَhiْ َ Oْ Hَ آ
َ ِ Oَٰأُو
“Mereka bagaikan binatang ternak, bahkan lebih jelek dari itu. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.” (al-A’raf: 179)
HًJaِwL
َ v
b
َ ْ ُه^ْ َأv
َ ۖ ِمHَhiْ َ Oْ Hَ آHROِإنْ ُه^ْ ِإ
“Tiadalah mereka itu melainkan seperti binatang ternak dan bahkan mereka lebih jelek
jalannya.” (al-Furqan: 44)
V
َ aِL
ِ Hَr َد ًةnَ |ِ اmُimُ ُ}^ْ آOَ HَTJْ xُ tَ `
ِ wْ
R O اeِt ْ^_ُ Tِp وْاSَ fَ U
ْ اV
َ WِOR ُ^ اfُ gْ JِU
َ ْSxَ Oََو
“Sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari
Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, ‘Jadilah kamu kera yang hina’.”
(al-Baqarah: 65)
V
َ aِL
ِ Hَr َد ًةnَ |ِ اmُimُ ُ}^ْ آOَ HَTJْ |ُ Qُ Tْ U
َ اmُ}iُ HRp VَU ْاmfَ U
َ HRgJَtَ
Tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya,
Kami katakan kepadanya, “Jadilah kamu kera yang hina.” (al-A’raf: 166)
^ُ }ُ Tْ pِ v
َ hَ ~
َ َوQِ aْ JَU
َ َ ±
ِ y
َ َوQُ JRO اQُ Tَ hَ OR Vَp ۚ Qِ JRO اSَ TِU ً
َ mُªpَ
َ Oَِٰ ذVXp ņَ
ِ ^ُ_ُ wX iَ ْ ُأvْ َهv|ُ
v
ِ aِwR Oَا ِء اmL َ VَU vbَ َوَأHًiHَ_pR n» َ َ ِ Oَٰت ۚ أُو
َ mُyHRO اSَ wَ U َ َوnَ WِزHَTo
َ Oْ َد َة وَاnَ xِ ْOا
Katakanlah, “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orangorang yang lebih
buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang
dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan
(orang yang) menyembah thaghut?” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih
tersesat dari jalan yang lurus. (al-Maidah: 60)
Kerendahan dan kehinaan hidup— kendatipun mereka orang yang paling kaya, paling
tinggi kedudukan dan pangkatnya, dan bisa jadi paling kuat— adalah stempel yang
tidak akan berubah, cap yang terus melekat, tidak akan hilang dan sirna. Allah
Subhanahu wata’ala telah menghancurkan dan membinasakan mereka ketika mereka
menantang kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala, yaitu saat mereka menolak dan
ingkar terhadap syariat yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Allah Subhanahu
wata’ala juga telah mempersiapkan pintu kehancuran dan kebinasaan untuk mereka, di
dunia dan di akhirat. Setelah ini semua, pantaskah seseorang yang beriman kepada
Allah Subhanahu wata’ala, para rasul-Nya, dan hari kiamat, meneladani, meniru, dan
mencontoh mereka? Adakah akal dan hati jika seorang yang beriman meniru gaya hidup
binatang yang tidak berakal, bahkan lebih jelek dari binatang ternak? Adakah pintu bagi
orang-orang beriman untuk masuk lalu hidup bermesraan bersama orang-orang yang
rendah, hina, jelek, keji, dan terkutuk? Pantaskah orang-orang yang beriman
Bercanda atau bersenda gurau adalah salah satu bumbu dalam pergaulan di
tengah-tengah masyarakat. Ia terkadang diperlukan untuk menghilangkan kejenuhan
dan menciptakan keakraban, namun tentunya bila disajikan dengan bagus sesuai
porsinya dan melihat kondisi yang ada. Sebab, setiap tempat dan suasana memang ada
bahasa yang tepat untuk diutarakan. Khalil bin Ahmad berkata, “Manusia dalam penjara
(terkekang) apabila tidak saling bercanda.” Pada suatu hari, al-Imam asy-Sya’bi
rahimahullah bercanda, maka ada orang yang menegurnya dengan mengatakan, “Wahai
Abu ‘Amr (kuniah al-Imam asy-Sya’bi, -red.), apakah kamu bercanda?” Beliau
menjawab, “Seandainya tidak seperti ini, kita akan mati karena bersedih.” (al-Adab
asy-Syar’iyah, 2/214) Namun, jika sendau gurau ini tidak dikemas dengan baik dan
menabrak norma-norma agama, bisa jadi akan memunculkan bibit permusuhan, sakit
hati, dan trauma berkepanjangan. Pada dasarnya, bercanda hukumnya boleh, asalkan
tidak keluar dari batasanbatasan syariat.
Sebab, Islam tidak melarang sesuatu yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh manusia
sebagaimana Islam melarang hal-hal yang membahayakan dan tidak diperlukan oleh
manusia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bergaullah kamu dengan manusia
(namun) agamamu jangan kamu lukai.” (Shahih al-Bukhari, Kitabul Adab)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Para Sahabat Bercanda Manakala kita
membuka kembali lembaran sejarah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, kita akan
mendapati bahwa beliau adalah sosok yang bijak dan ramah dalam pergaulan. Beliau
bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya dan mendudukkan orang sesuai
kedudukannya. Beliau berbaur dengan sahabat dan bercanda dengan mereka. Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bergaul (dekat) dengan kita. Sampai-sampai beliau mengatakan kepada adikku yang
masih kecil, ‘Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh an-Nughair?’.” (Shahih
al-Bukhari no. 6129)
An-Nughair adalah burung kecil sebangsa burung pipit. Alkisah, Abu Umair ini dahulu
bermain-main dengan burung kecil miliknya. Pada suatu hari burung itu mati dan
bersedihlah dia karenanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengetahui hal itu
mencandainya agar tenteram hatinya dan hilang kesedihannya. Maha benar Allah
Subhanahu wata’ala ketika berfirman,
^ٍ aِ¥U
َ
ٍ Jُr
ُ ٰJَhَ Oَ
َ iRَوِإ
“Dan sesungguhnya kamu benarbenar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)
Memang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat dekat dengan para sahabatnya
sehingga tahu persis kebutuhan dan problem yang mereka hadapi, kemudian beliau
“Sungguh, ada seorang lelaki meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah
kendaraan untuk dinaiki. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, ‘Aku akan
memberimu kendaraan berupa anak unta.’ Orang itu (heran) lalu berkata, ‘Apa yang
bisa saya perbuat dengan anak unta itu?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Bukankah unta betina itu tidak melahirkan selain unta (juga)?’.”(HR. Abu Dawud dan
at-Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-
Misykat no. 4886)
Orang ini menyangka bahwa yang namanya anak unta mesti kecil, padahal kalau sedikit
berpikir, dia tidak akan menyangka seperti itu, karena unta yang dewasa juga anak dari
seekor unta. Dalam hadits ini, di samping mencandai orang tersebut, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam juga memberi bimbingan kepadanya dan yang lainnya agar
orang yang mendengar suatu ucapan seyogianya mencermati lebih dahulu dan tidak
langsung membantahnya, kecuali setelah tahu secara mendalam maksudnya. (Tuhfatul
Ahwadzi 6/128)
2. Dahulu, ada seorang sahabat bernama Zahir bin Haram radhiyallahu ‘anhu. Dia biasa
membawa barang-barang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dari badui
(pedalaman) karena dia seorang badui. Apabila Zahir ingin pulang ke kampungnya,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersiapkan barang-barang yang dibutuhkan
Zahir di tempat tinggalnya. Zahir ini jelek mukanya, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam menyenanginya. Pada suatu hari ia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk menjual barang dagangannya. Diam-diam, Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam mendekapnya dari belakang. Zahir berkata,“Siapa ini? Lepaskan saya!” Zahir
lalu menoleh, ternyata ia adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Zahir pun
menempelkan punggungnya pada dada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Siapa yang mau membeli budak ini?” Zahir
berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, kalau begitu, niscaya engkau akan
mendapatiku sebagai barang (budak) yang tidak laku dijual (karena jeleknya wajah).”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Akan tetapi, engkau di sisi Allah
Subhanahu wata’ala bukan orang yang tidak laku dijual.”—atau beliau
bersabda—”Akan tetapi, engkau di sisi Allah Subhanahu wata’ala itu mahal.” (HR.
Ahmad dalam al-Musnad 3/161 dan al-Baghawi dalam Syarhu as-Sunnah)
Di sini, di samping bercanda dengan ucapan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga
bercanda dengan perbuatan. Ini adalah sebagian contoh senda guraunya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan, perlu diketahui bahwa senda gurau beliau adalah haq,
bukan kedustaan. At-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dari jalan Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa para sahabat bertanya,“Wahai Rasulullah, Anda mencandai
kami?” Beliau bersabda,
HËx
َ HROل ِإ
ُ ْm|ُ َأHَO eXiِإ
Majalah asy Syariah Edisi 89 Page 84
“Saya tidak berkata selain kebenaran.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1990)
Seolah-olah, mereka ingin mengatakan bahwa tidak pantas bagi beliau yang membawa
risalah (tugas) dari Allah Subhanahu wata’ala dan mulia kedudukannya di sisi Allah
Subhanahu wata’ala untuk bercanda. Beliau pun mengatakan bahwa beliau memang
bercanda, namun tidak mengatakan kecuali kebenaran. (lihat Syarhul Misykat karya
ath-Thibi, 10/3140) Demikian juga para sahabat. Bakr bin Abdullah mengisahkan,
“Dahulu para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (bercanda dengan) saling
melempar semangka. Tetapi, ketika mereka dituntut melakukan sesuatu yang serius,
mereka adalah para lelaki.” (lihat Shahih al-Adabul al-Mufrad no. 201)
Bolehnya bercanda juga tidak bisa menjadi alasan untuk menjadikannya sebagai profesi
(sebagai pelawak/ komedian, -red.). Ini adalah sebuah kekeliruan. (Fathul Bari 10/527)
1. Tidak bercanda dengan ayat ayat Allah Subhanahu wata’ala dan hukum syariat-Nya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman tentang Nabi Musa ‘Alahissalam ketika menyuruh
kaumnya (bani Israil) untuk menyembelih sapi.
V
َ pِ ن
َ mُ َأنْ َأآQِ JROHِ
ُذmُUل َأ
َ Hَ| ۖ وًا¢ُ ُهHَiُ o
ِ fR jَ ا َأmُOHَ| ۖ ًةnَ xَ
َ اmُ´
َ ْjَ ُآ^ْ أَنnُ ُpْWَ Qَ JROن ا
R ِإ
V
َ aِJ ِهHَ¤Oْ ا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” Mereka
berkata, “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” Musa menjawab, “Aku
berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.”
(al- Baqarah: 67)
Maksudnya, aku (Musa) tidaklah bercanda dalam hukum-hukum agama karena hal itu
adalah perbuatan orang orang yang bodoh. (Faidhul Qadir 3/18)
Sebab, hal ini bertentangan dengan adab kesopanan dan bisa jadi mengakibatkan
kejelekan bagi pelakunya atau orang lain.
Sebab, hal ini bisa menimbulkan permusuhan dan memutus tali persaudaraan.
َ Jْ xَ Oْ ` ا
ُ aْ gِ jُ
ِ´ِ±
R O َة اnَ ªْ ن َآ
R Nِ tَ
َ´ِ±
R O اnِ ªِ _ْ jُ Ù
َ
“Janganlah engkau sering tertawa, karena sering tertawa akan mematikan hati.” (Shahih
Sunan Ibnu Majah no. 3400)
Terkadang, ada orang yang bercanda dengan mengacungkan senjatanya (pisau atau
senjata api) kepada temannya. Hal ini tentu sangat berbahaya karena bisa melukai,
bahkan membunuhnya. Sering terjadi, seseorang bermainmain menodongkan pistolnya
kepada orang lain. Ia menyangka pistolnya kosong dari peluru, namun ternyata masih
ada sehingga mengakibatkan kematian orang lain. Akhirnya dia pun menyesal karena
ternyata masih tersisa padanya “peluru setan” yang mematikan. Namun, apa mau dikata,
nyawa orang lain melayang karena kedunguannya. Ini akibat menyelisihi bimbingan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda, “Janganlah salah seorang kalian
menunjuk kepada saudaranya dengan senjata, karena dia tidak tahu, bisa jadi setan
mencabut dari tangannya, lalu dia terjerumus ke dalam neraka.” (Muttafaqun ‘alaih dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Demikian pula sabda beliau (yang artinya), “Barang siapa mengacungkan besi kepada
¦َ pَ Qَ JROن ا
R ا َأmُgJَU
ْ وَاQَ JROا اmُxjR ُ_^ْ ۚ وَاaْ JَU
َ ٰىSَ fَ U
ْ اHَp v
ِ ªْ gِ
ِ Qِ aْ JَU
َ ُواSfَ U
ْ Hَt ْ^_ُ aْ JَU
َ ٰىSَ fَ U
ْ اV ِ gَ tَ
V
َ aِxfRgُ Oْ ا
“Barang siapa menyerang kamu, seranglah ia seimbang dengan serangannya
terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah bersama
orang-orang yang bertakwa.” (al- Baqarah: 194)
Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita dari bercanda dengan senjata
kecuali karena khawatir dari (godaan) setan kepada orang yang beriman. Setan telah
mengarahkan perangkapnya kepada orang yang beriman agar terjerumus dalam perkara
yang menyeretnya kepada neraka dan kemurkaan Allah Subhanahu wata’ala. Demi
menutup jalan yang berbahaya ini, kita dilarang bercanda= yang bisa menimbulkan
kejelekan dan menakut-nakuti muslimin atau bahkan mengakibatkan hilangnya nyawa.
Betapa banyak petaka yang kita saksikan karena candaan yang seperti ini. Misalnya,
seseorang bercanda dengan berteriak keras dari belakang punggung saudaranya yang
sedang santai atau di sisi telinganya sehingga dia terkejut. Semisal ini pula adalah
mengejutkan seseorang dengan memuntahkan peluru di atas kepala saudaranya untuk
menakutnakuti. Demikian pula mengejutkan orang dengan membunyikan klakson mobil
sekeras-kerasnya ketika lewat di sisinya sehingga berdebar-debar jantungnya dan
hampir copot. Ada juga mainan ular-ularan yang mirip ular sungguhan yang
dilemparkan kepada orang lain yang tidak mengetahuinya. Ia sangka itu ular sungguhan
sehingga terkejut dan takut tidak kepalang. Sungguh, candaan yang tersebut di atas dan
semisalnya telah banyak menyisakan kepiluan dan trauma yang mendalam.” (lihat
Ishlahul Mujtama’ hlm. 36—37)
Tidak dibenarkan menurut agama seseorang bercanda dengan mengambil harta atau
barang milik saudaranya, lalu dia sembunyikan di suatu tempat. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
Qِ aْ JَU
َ HَدهR nُ aَ Jْ tَ Qِ wِ
ِ Hَ HَU
َ َ r
َ ا وَِإنْ َأËدHَ~ HَO َوHًwU
ِ HَO Qِ wِ
ِ Hَ ع
َ Hَfpَ ْ^ ُآSُ
َ َن أ
R َ r
ُ ْWَ HَO
“Janganlah salah seorang kalian mengambil barang temannya (baik) bermain-main
maupun serius. Meskipun ia mengambil tongkat temannya, hendaknya ia kembalikan
kepadanya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim. Asy-Syaikh al-Albani
Majalah asy Syariah Edisi 89 Page 87
Rahimahullah menyatakan hasan dalam Shahih al-Jami’)
Sisi dilarangnya mengambil barang saudaranya secara serius itu jelas, yaitu itu adalah
bentuk pencurian. Adapun larangan mengambil barang orang lain dengan bergurau
karena hal itu memang tidak ada manfaatnya, bahkan terkadang menjadi sebab
timbulnya kejengkelan dan tersakitinya pemilik barang tersebut. (Aunul Ma’bud
13/346—347)
Apabila seorang bercanda dengan kedustaan, ia telah keluar dari batasan mubah (boleh)
kepada keharaman. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Ia celaka karena dusta sendiri adalah pokok segala kejelekan dan cela, sehingga apabila
digabungkan dengan hal yang mengundang tawa yang bisa mematikan hati,
mendatangkan kelalaian, dan menyebabkan kedunguan, tentu hal ini lebih buruk.
(Faidhul Qadir 6/477) Akhirnya, kita memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala
agar diberi taufik dan bimbingan- Nya untuk selalu lurus dalam berbuat dan
berkata-kata.
Masih ingatkah Anda akan kisah tentang seorang petani dermawan? Seorang hamba
yang saleh dan memahami arti syukur kepada Allah Subhanahu wata’ala. Di saat yang
lain sedang kekeringan, sawah ladangnya diairi oleh air hujan yang khusus turun
untuknya. Amalan apa yang dilakukannya? Bayangkan, sepertiga hasil panen, dia
gunakan untuk modal menanam kembali, sepertiga lagi untuk dia dan keluarga yang
ditanggungnya, serta sepertiga sisanya adalah untuk sedekah? Andaikata hasil panennya
tiga ton, berarti satu ton diserahkannya untuk sedekah, kalikan dengan kelipatannya.
Tentu, jumlah yang cukup besar, di saat tabiat manusia itu sangat kikir dan suka
menahan harta. Tetapi, karena keikhlasannya, dia keluarkan sebesar itu demi mengharap
ridha Allah Subhanahu wata’ala.
Ketulusan yang murni, sehingga karena itulah Allah Subhanahu wata’ala memberi
balasan yang berlipat ganda. Namanya harum, menjadi sebutan di bumi dan di langit.
Dia tidak perlu bersusah payah mencari air untuk menyirami tanamannya. Nun, di
belahan bumi yang lain, masih sebuah kisah nyata yang dialami oleh sebagian anak
Adam dan diabadikan— secara global—di dalam kitab suci paling mulia, ada kejadian
yang sangat bertolak belakang dengan kisah petani yang tanahnya diberi hujan secara
khusus dari langit. Kisah tentang beberapa tuan tanah dan kebun yang sangat kikir.
Kisah ini sudah dikenal oleh masyarakat Arab (Quraisy) ketika itu. Menurut berita yang
dinukil dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, mereka adalah sebagian dari
orang-orang ahli kitab. Namun, itu bukan hal yang penting, karena yang jelas, kisah ini
sudah pernah didengar oleh orang-orang Quraisy. Inilah kisah selengkapnya, wallahul
muwaffiq.
Pemilik Kebun yang Saleh Dharwan, sebuah desa di belahan Yaman, ada yang
mengatakan dekat kota Shan’a. Hiduplah di desa itu seorang lelaki tua yang saleh
bersama tiga orang putranya. Dia bekerja sebagai petani, mengelola kebun kurma dan
anggur yang cukup berhasil. Setiap musim panen, anggur dan kurma yang diperolehnya
berlimpah. Tetapi, hasil tersebut bukan sematamata karena kepandaiannya mengelola
kebun tersebut, melainkan murni karena karunia dan pertolongan Allah Subhanahu
wata’ala. Lelaki tua itu sangat memahami bahwa di dalam kebun itu ada hak-hak lain
yang harus ditunaikannya. Hak Allah Subhanahu wata’ala dan hak sesama manusia
yang ada di sekelilingnya. Seperti biasa, di pagi yang cerah itu, lelaki tua itu berangkat
ke kebunnya. Angin bertiup lembut, membelai wajahnya yang keriput. Dengan perlahan
dia berjalan memasuki kebunnya dan berkeliling. Dia mulai memeriksa isi kebunnya,
dari satu sudut ke sudut lainnya. Dia membayangkan alangkah senangnya orang-orang
yang fakir dan miskin menikmati rezeki Allah Subhanahu wata’ala ini.
Itulah yang mungkin dipikirkannya. Hasil panen kebunnya memang selalu disiapkannya
untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Setelah puas berkeliling, sambil
bersyukur kepada Allah Subhanahu wata’ala, dia bersiap untuk kembali ke rumahnya.
Dua di antara putranya ingin membantah dan menentang tetapi tidak berani. Ayah yang
baik itu mengingatkan pula bahwa usianya sudah lanjut, merekalah yang akan
meneruskan pengelolaan tanaman anggur tersebut. Dia menceritakan pula bahwa itu
semua telah dilakukannya sejak masih muda. Allah Subhanahu wata’ala
melipatgandakan hasilnya karena dia selalu berbagi dengan sesama. Dengan cara itulah
panennya semakin bertambah. Sebagian putranya masih tetap tidak menerima uraian
sang ayah. Hari-hari berlalu, sang ayah semakin tua dan mulai berkurang kekuatannya.
Di masa-masa ‘pensiun’ itu, dia selalu menasihati anak-anaknya agar jangan lupa
berbagi dengan sesama. Sebab, apa yang ada di tangan kita, tidak murni milik kita atau
hak kita. Di situ masih ada hak yang lain yang wajib kita tunaikan. Ada hak Allah
Subhanahu wata’ala, dengan menzakatkan atau menyedekahkannya, dan ada hak
sesama manusia yang tidak mampu. Allah Subhanahu wata’ala tidak memerlukan harta
yang dititipkan-Nya kepada kita. Berapa pun yang kita zakatkan atau sedekahkan, itu
tidak memberi keuntungan atau manfaat apa pun kepada Allah l. Akan tetapi
keuntungan dan manfaat itu justru kembali kepada kita yang dititipi harta tersebut.
Beberapa waktu kemudian, lelaki tua yang saleh itu meninggal dunia. Ketiga anak
laki-lakinya sama-sama merasakan kesedihan ditinggal oleh ayah yang mereka hormati
dan mereka cintai. Tetapi, itu tidak lama. Kini, mereka mulai berusaha menghidupi diri
dan keluarga mereka.
Masing-masing telah mengambil bagian dari kebun anggur yang diwariskan oleh ayah
mereka. Suatu kali, mereka berkumpul dan bermusyawarah bagaimana tindakan
selanjutnya mengatur kebun tersebut. Setelah berbincang lama, mereka mulai
membahas sikap ayah mereka yang menurut—sebagian—mereka salah. “Mulai musim
panen ini, kita harus menghalangi orang-orang yang miskin itu ikut mengambil bagian.
Keberadaan dan keikutsertaan mereka hanya mengurangi perolehan kita. Padahal
kebutuhan kita semakin meningkat,” itulah usulan salah satu di antara mereka dan
disepakati oleh salah seorang di antara mereka. Adapun yang ketiga, sejak tadi
mendengarkan. Melihat kebulatan tekad mereka, dia mulai angkat bicara. “Lupakah
kalian, apa yang dikatakan ayah kita sebelum beliau wafat? Kebun ini beliau kelola
dengan cara seperti ini sejak beliau masih muda seperti kita. Allah Subhanahu wata’ala
lah yang menyuburkannya, sebagai karunia dan ujian, apakah disyukuri atau dikufuri
nikmat tersebut. Janganlah kita melanggar nasihat ayah, meskipun beliau sudah
meninggal dunia.” “Sudah. Kau diam saja. Kalau kau mau rugi, rugilah sendiri. Kami
tetap tidak akan mengizinkan orang-orang yang miskin itu ikut menikmati hasil keringat
Musim panen mulai tiba. Dua orang anak lelaki tua yang saleh itu sudah bersiap sejak
dini hari, sebelum fajar menyingsing mereka harus sudah tiba di kebun dan segera
memetik hasil kebun mereka. Sambil bersiap, mereka saling mengingatkan agar jangan
sampai ada orang-orang yang miskin yang masuk ke kebun mereka. “Kita akan ke
kebun dan memanen hasilnya,” kata mereka. Saudara mereka mengingatkan,
”Ucapkanlah insya Allah.” Tetapi , mereka tidak mengacuhkannya. Mereka berjalan
dengan terburuburu dan melihat-lihat apakah ada yang mengetahui keadaan mereka?
Tiba-tiba. Mereka terperanjat luar biasa. “Jangan-jangan kita salah jalan. Ini bukan
kebun kita. Bukankah kemarin masih kita lihat hijau dan rimbun, serta siap dipanen?”
kata salah seorang dari mereka. Saudara mereka yang bijak, yang selalu menasihati
mereka berkata, “Itu memang kebun warisan ayah kita. Tetapi, kalian dihalangi
memperoleh hasilnya. Bukankah aku sudah mengingatkan agar kalian bertasbih kepada
Allah Subhanahu wata’ala?” Mereka memeriksanya, dan sadarlah mereka bahwa itu
memang kebun mereka. Ternyata Allah Subhanahu wata’ala telah memberi balasan atas
niat buruk mereka, yaitu ingin menghalangi orang-orang yang miskin memperoleh jatah
mereka yang ada di dalam hasil kebun tersebut.
Mereka segera sadar dan menyesali sikap mereka, tetapi semua telah terjadi. Kebun
mereka telah hancur luluh, tidak ada yang tersisa. Mereka gagal menikmati apa yang
ingin mereka nikmati. Itu baru di dunia, bagaimana pula azab di akhirat yang lebih
dahsyat? “Mahasuci Allah, sungguh kami telah menzalimi diri kami sendiri. Alangkah
celakanya kami. Sungguh, kami telah melampaui batas. Mudah-mudahan Allah
Subhanahu wata’ala memberi kami ganti yang lebih baik. Sungguh, kami benar-benar
berharap kepada Allah l.” Demikianlah sepenggal kisah mereka. Penyesalan memang
datang terlambat, tetapi masih terasa manfaatnya jika hal ini terjadi di dunia dan bisa
diperbaiki. Seperti yang mereka alami. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, kisah ini
diabadikan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam Kitab-Nya yang mulia, yang tidak
dihinggapi kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang. Turun dari Yang
Mahabijaksana lagi Maha Terpuji. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
{} ن َ mُTªْ fَ
ْ Wَ HَO }{ َوV َ aِ´wِ ْ pُ Hَ}TR pُ nِ ْ aَ Oَ اmُg َ |ْ ِ ِإذْ َأTR¤
َ Oْ ب ا َ Hَ´ ْ َأHَiْmJَ
َ Hَg ُه^ْ َآHَiْmJَ
َ HRiِإ
V
َ aِ´wِ ْ pُ َدوْاHَTfَ tَ {} ^ِ Wِn R OHَ´`ْ آ َ wَ
ْ َ tَ {} ن َ mُgÍِ Hَi ْ^ َو ُه َ
XرR VXp ٌÂÍِ HَÌ Hَ}aْ JَU َ ف َ Hَtَ
HRO ن }{ أَن َ mُftَ Hَofَ Wَ ْ^ا َو ُهmُxJََ iHَt {} V َ aِp ِرHَ ْ^fُ Tُْ ِ¬ ُ_^ْ إِن آn َ ٰJَU َ واSُ y ْ نا ِ }{ َأ
HRiا ِإmُOHَ| Hَ َرَأوْهHRgJَtَ {} V َ Wِ ِدرHَ| ْ ٍدnَ ٰJَU َ وْاSَ y َ ٌ }{ َوVaِ_ ْ pX ^ُ_aْ JَU
َ ْ َمmaَ Oْ اHَ}TR Jَr
ُ ْSWَ
اmُOHَ| {} ن َ mُ´wX َ jُ HَOْmOَ ْ^_ُ OR vُ|^ْ َأOَ ُ}^ْ َأُLَ ْل َأو َ Hَ| {} ن َ mُpُوn´ ْ pَ Vُ´ْ iَ ْv
َ {} ن َ mOHَ±Oَ
HRi ِإHَTJَWْ َوHَW اmُOHَ| {} ن َ mُp َوHَJfَ Wَ ì
ٍ hْ
َ ٰJَU َ ْ^}ُ ± ُ hْ
َ v َ wَ |ْ َ tَ {} Vَ aِgOِHَÔ HRT ُآHRi ِإHَT
Xن َر َ Hَ´wْ L ُ
ۖبُ َاhَ Oْ ا َ Oَِٰن }{ َآ َ mُwy ِ رَاHَT
X ٰ َرOَ ِإHRi ِإHَ}Tْ pX ًاnaْ r َ HَTOَSِ wْ Wُ أَنHَT
ٰ َر َU َ {} V َ aِyHَÌ HRTُآ
ن
َ mُgJَhْ Wَ اmُiHَْ آmOَ ۚ nُ wَ ِة َأ ْآnَ r
ِ sْOب ا ُ َاhَ Oََو
“Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami
Majalah asy Syariah Edisi 89 Page 91
telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka
sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari, Dan mereka tidak menyisihkan
(hak fakir miskin), Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu ketika
mereka sedang tidur, Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita.
Lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari, “Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu
jika kamu hendak memetik buahnya.” Pergilah mereka saling berbisik. “Pada hari ini
janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu”. Dan berangkatlah
mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orangorang miskin) padahal mereka
mampu (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata,
“Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi
(dari memperoleh hasilnya).” Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara
mereka, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih
(kepada Rabbmu)?” Mereka mengucapkan, “Mahasuci Rabb kami, sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang zalim.” Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain
seraya cela-mencela. Mereka berkata, “Aduhai celakalah kita, sesungguhnya kita ini
adalah orangorang yang melampaui batas.” Mudah-mudahan Rabb kita memberikan
ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita
mengharapkan ampunan dari Rabb kita.” Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya
azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui.” (al-Qalam: 17—33)
Mahabenarlah Allah Subhanahu wata’ala dengan segala firman-Nya, dan tidak ada yang
lebih benar perkataannya selain Allah Subhanahu wata’ala. Di dalam kisah ini terdapat
pelajaran berharga sebagai bekal untuk menghadapi kedahsyatan suasana di seberang
kematian. Keadaan yang saat itu tidak ada lagi gunanya harta dan anak, kecuali mereka
yang datang membawa hati yang selamat. (insya Allah bersambung)
Apabila shalat ‘id jatuh pada hari Jumat, apakah kita harus tetap shalat jumat atau
hanya shalat zuhur saja?
Pendapat pertama, shalat jumat tetap wajib atas seluruh kaum muslimin, baik yang
melakukan shalat ‘id maupun yang tidak. Dalilnya adalah keumuman makna dalil-dalil
yang mewajibkan shalat jumat. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik. Pendapat
ini lemah dan terbantah oleh hadits-hadits yang akan kami sebutkan.
Pendapat kedua, shalat jumat tetap wajib bagi kaum muslimin di perkotaan dan ada
keringanan bagi penduduk perdesaan untuk tidak menghadirinya, tetapi wajib shalat
zuhur di rumah masingmasing. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i rahimahullah yang
berdalil dengan atsar ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Atsar tersebut
diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid maula Ibnu Azhar yang meriwayatkan bahwa dirinya
pernah menghadiri shalat ‘id bersama Khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, kemudian
Khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, kemudian Khalifah ‘Ali radhiyallahu ‘anhu. Kata
Abu ‘Ubaid meriwayatkan dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu,,
َ
َr َ ^R ¬ُ ،ِwَ ْ o
ُ Oْ اv َ wْ |َ RJ
َ tَ ِ hَ gُ ¤
ُ Oْ ْ َم اmWَ َ Oِن َذ
َ Hَ_tَ ،َنHR£U َ V ِ
ْ نَ Hَgªْ U
ُ ¦َ pَ Sَ aِhOْ ت ا ُ ْS}ِ َ ^R ¬ُ
َ hَ gُ ¤
ُ Oْ اnَ ¥
ِ fَ Tْ Wَ ْ َأن R
َ ْ َأVgَ tَ ،َِانSaِU Qِ aِt ْ^_ُ Oَ ¦َ gَ fَ ~ ْ اSِ |َ ٌْمmWَ ن َهَاR ِإ،ُسHRTO اHَ}W َأHَW :ل َ Hَxtَ
Qُ Oَ `
ُ iْ ْ َأ ِذSxَ tَ ¦َ ~
ِ ْnWَ ْ َأن
R َ ْ َأVpَ ْ َوn¥ ِ fَ Tْ aَ Jْ tَ eِOَاmhَ Oْ اv
ِ ْ َأ ْهVpِ .
Kemudian aku menghadiri shalat ‘id bersama ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu,
yang ketika itu jatuh pada hari Jumat. Beliau shalat sebelum berkhutbah. Kemudian
beliau berkhutbah dan berkata (dalam khutbahnya), “Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya ini adalah hari yang terkumpul padanya dua ‘id bagi kalian. Maka dari
itu, barang siapa dari penduduk ‘Awali1 yang suka menanti shalat Jumat, silakan
menanti. Barang siapa ingin pulang, sesungguhnya aku telah mengizinkannya.” (HR.
al-Bukhari)
Pendapat ini juga lemah meskipun lebih baik daripada pendapat pertama, dan terbantah
oleh hadits-hadits yang akan disebutkan.
Pendapat ketiga, wajib bagi imam (penguasa) kaum muslimin untuk menyelenggarakan
shalat jumat di hari itu, agar dihadiri oleh kaum muslimin yang ingin melaksanakannya.
Adapun keumuman kaum muslimin yang telah hadir shalat ‘id, ada keringanan untuk
tidak hadir shalat Jumat, tetapi wajib shalat zuhur di rumah masing-masing. Ini adalah
riwayat yang paling masyhur dari al-Imam Ahmad rahimahullah yang menjadi mazhab
fuqaha Hanbali. Inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz, dan
Ibnu ‘Utsaimin. Dalilnya adalah:
Majalah asy Syariah Edisi 89 Page 93
1. Hadits an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu,, ia berkata,
ك
َ Hَjْ َأvَ{ َو} َهJU ْ َ Oْ ا
َ
X َ^ َرL ْ ·ا ِ wXL
َ }ب ِ ِ hَ gُ ¤ ُ Oْ ْ اetِ َوVِ Wْ Sَ aِhOْ ْ اetِ ُأnَ xْ Wَ Ò
ِ لاُ mُLن َر َ Hَآ
V
ِ aْ jَ Ú
َR Oْ اetِ Hً±Wْ َأHَg}ِ
ِ ُأnَ xْ Wَ Sٍ
ِ ْ ٍم وَاmWَ ْetِ ُ hَ gُ ¤
ُ Oْ وَاSُ aِhOْ َ¦ اgَ fَ ~
ْ ِ { َوِإذَا اaَ
ِ Hَ¯Oْ اí
ُ WِS
َ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada dua shalat ‘Id (Idul Fitri dan ‘Idul
Adha) dan shalat Jumat membaca surat al-A’la dan surat al-Ghasyiah. Jika ‘Id dan
jumat berkumpul di hari yang sama, beliau membaca dua surat tersebut pada shalat ‘id
dan shalat Jumat.” (HR. Muslim)
Hadits ini secara gamblang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
selaku imam kaum muslimin tetap mengadakan shalat Jumat bersama kaum muslimin
yang suka menghadirinya.
2. Beberapa sabda Rasulullah n: Hadits Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
telah berkumpul dua hari raya (‘id dan jumat) pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam, lantas beliau shalat ‘id dan memberi rukhshah (keringanan) untuk tidak
menghadiri shalat jumat, beliau bersabda,
v
ِّ
َ aُ Jْ tَ e
َ Jِّ
َ Wُ ْ َء َأنHَ ْVpَ .
“Barang siapa ingin shalat Jumat, shalatlah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan
Ibnu Majah)
Hadits ini dinyatakan sahih oleh ‘Ali bin al-Madini, al-Hakim, adz-Dzahabi, dan
an-Nawawi rahimahumullah. Namun, pada sanadnya ada Iyas bin Abi Ramlah
asy-Syami yang majhul ‘ain (tidak dikenal). Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ن
َ mُhgX ¤
َ pُ HRi ِ َوِإhَ gُ ¤
ُ Oْ اV
َ pِ ُ َأ¢َ ~
ْ َء َأHَ ْVgَ tَ ن
ِ َاSaِU ُ_^ْ َهَاpِ ْmَW ِt ¦َ gَ fَ ~
ْ اSِ |َ .
“Sungguh, telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Oleh karena itu, barang
siapa hendak mencukupkan diri dengan shalat ‘id, hal itu telah mewakili shalat jumat.
Adapun kami, akan tetap mengadakan shalat jumat.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Dalam sanadnya ada Baqiyyah bin al-Walid, pelaku tadlis taswiyah dari Syu’bah dan
selainnya, sedangkan dalam sanad ini dia meriwayatkannya dari Syu’bah tanpa
mempertegas bahwa dirinya telah mendengarnya dari syaikhnya dan bahwa syaikhnya
telah mendengarnya dari syaikhnya. Oleh karena itu, sanad ini dianggap dha’if (lemah).
Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
َ hَ gُ ¤
ُ Oْ اe
َ jِ ْWَ ْ َء َأنHَ ْVpَ :ل
َ Hَ| ^R ¬ُ س
ِ HRTOHِ
Ò
ِ لا
ِ ْmLُ َرSِ }ْ U َ َJUَ ن ِ َاSaْ U
ِ ¦َ gَ fَ ~
ْ اRJ َ tَ
ْÂJRoَ fَ aَ Jْ tَ Â
َ JRo
َ fَ Wَ ْ َء َأنHَ ْVpَ َوHَ}jِ ْaَ Jْ tَ .
Telah berkumpul dua hari raya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
Dalam sanadnya ada Jabbarah bin al- Mughallis dan Mandal bin ‘Ali, keduanya dha’if
(lemah). Alhasil, sanad hadits-hadits ini memiliki kelemahan, tetapi kelemahannya
ringan dan bisa saling menguatkan. Bahkan, hadits yang pertama telah dinyatakan sahih
oleh sebagian ahli hadits. Oleh karena itu, al-Imam al- Albani menyatakan bahwa
hadits-hadits ini sahih. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam selaku imam kaum muslimin tetap mengadakan shalat Jumat bersama kaum
muslimin yang suka menghadirinya, tetapi memberi keringanan bagi mereka yang tidak
ingin hadir lantaran mencukupkan dengan shalat ‘id yang telah dihadirinya. Pendapat
inilah yang terkuat seandainya tidak datang atsar ‘Abdullah bin Zubair radhiyallahu
‘anhuma dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang akan kami sebutkan pada
keterangan pendapat keempat.
Pendapat keempat, terdapat keringanan bagi imam dan seluruh kaum muslimin yang
telah melaksanakan shalat ‘id untuk tidak menyelenggarakan shalat Jumat, karena telah
terwakili dengan shalat ‘id. Namun, wajib shalat zuhur di rumah masing-masing. Ini
adalah salah satu riwayat dari al-Imam Ahmad rahimahullah. Pendapat ini yang dipilih
oleh ash-Shan’ani, al-Albani, dan guru besar kami, Muqbil al-Wadi’i rahimahumullah.
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah juga menguatkan pendapat ini. Dalilnya adalah atsar
‘Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhuma dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dengan sanad sahih
dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, ia berkata,
ْ^Jَtَ ،ِhَ gُ ¤
ُ Oْ َ اO ِإHَTْ ^ ُرR ¬ُ ،ِرHَ}TROل اَ وR ٍ َأhَ gُ ~
ُ ْ ِمmWَ ْetِ Sٍ aْ U
ِ ْ ِمmWَ ْetِ nِ aْ
َ ¢ O اV ُ
ْ اHَT
ِ RJ
َ
:لَ Hxَ tَ
َ Oِ َذHَiْn َم َذ َآSِ |َ HRgJَtَ ،ِÂÍِ HROHِ
ٍسHRwU َ ،ُQOَ V ُ
ْ ن ا
َ Hَ َوآ،HًiَاS ْ ُوHَTaْ JRَ tَ ،HَTaْ Oَجْ ِإnُ oْ Wَ
َ TR
Oب ا َ Hَ َأ.
Ibnu Zubair shalat ‘Id bersama kami pada hari ‘id yang bertepatan dengan hari Jumat di
awal siang, kemudian kami berangkat untuk menghadiri shalat jumat. Tetapi, beliau
tidak keluar untuk shalat Jumat bersama kami. Akhirnya kami shalat zuhur
sendiri-sendiri. Ketika itu Ibnu ‘Abbas sedang berada di Tha’if. Tatkala dia pulang,
kami menceritakan peristiwa itu kepadanya. Ibnu ‘Abbas lantas berkata, “Ibnu Zubair
telah menepati sunnah.”
Hadits ini dinyatakan hasan atau sahih menurut syarat Muslim oleh an- Nawawi
rahimahullah pada al-Majmu’ (4/359). Al-Albani menyatakan sahih pada Shahih Sunan
Abi Dawud (no. 1071) dan al-Wadi’i menyatakan sahih menurut syarat Muslim pada
al-Jami’ ash-Shahih (2/168).
Atsar Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhuma menunjukkan secara jelas bahwa tidak wajib
bagi imam dan seluruh kaum muslimin untuk mengadakan shalat Jumat setelah
melaksanakan shalat ‘id. Sebab, Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhuma adalah amirul
mukminin (penguasa tertinggi) pada masa itu, dan para sahabat yang masih hidup di
masa itu tidak ada yang mengingkarinya. Justru, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
1. Tujuan berkumpul untuk perayaan ‘id (hari raya) Islam telah tercapai dengan shalat
‘id yang dianggap telah mewakili shalat Jumat.
2. Syariat ini biasa menyatukan dua ibadah yang jenisnya sama dalam satu amalan yang
mewakili yang lainnya. Contoh lainnya: • Disatukannya wudhu dalam mandi sehingga
mandi sudah mewakili wudhu. • Disatukannya dua mandi dalam satu mandi sehingga
satu kali mandi sudah mewakili mandi lainnya. Inilah pendapat yang terbaik dalam
masalah ini. Namun, tentu saja mengadakan shalat Jumat lebih utama, berdasarkan
hadits-hadits di atas yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
selaku imam kaum muslimin tetap mengadakan shalat Jumat bersama kaum muslimin
yang suka menghadirinya, tetapi memberi keringanan bagi mereka yang tidak ingin
hadir lantaran mencukupkan dengan shalat ‘id yang telah dihadirinya.
Pendapat kelima, gugur kewajiban shalat Jumat dan shalat zuhur sekaligus bagi imam
dan seluruh kaum muslimin yang telah menghadiri shalat ‘id. Ini pendapat yang dipilih
oleh asy- Syaukani. Pendapat ini jelas keliru. Sebab, telah terjadi ijma’ (kesepakatan) di
antara ulama bahwa jika shalat Jumat luput, wajib shalat zuhur. Ijma’ tersebut bersama
ucapan ‘Atha’—pada atsar Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhuma di atas—“Akhirnya kami
shalat zuhur sendiri-sendiri” sangat jelas menunjukkan gugurnya pendapat ini.
Berdasarkan inilah, al-Imam ash- Shan’ani rahimahullah dan para ulama lainnya
menegaskan diwajibkannya shalat zuhur bagi mereka yang tidak melaksanakan shalat
Jumat di hari itu. Adapun mengenai tidak keluarnya Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhuma
ke masjid untuk shalat Jumat, hal itu tidak berarti ia tidak shalat zuhur. Sebab, bisa
dipastikan bahwa ia shalat zuhur di rumahnya, seperti halnya kaum muslimin lainnya.
Alhasil, pendapat terbaik adalah pendapat keempat yang telah berhasil memadukan
seluruh dalil yang ada dan tsabit (tetap/sahih) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Inilah yang dapat kami jabarkan sebagai jawaban masalah ini, wal ’ilmu
‘indallah.
Khutbah Pertama:
Ò
ُ اÙ R إQَ Oَ ِإHَO ْ َأنSُ }َ
ْ َوَأ،ًاnWْ Sِ xْ jَ ُ َرSR xَ tَ ْ ٍءeَ v R ُآ َ Jَr
َ ًاnaْ ªِ َآHًwaX Ìَ ًاSgْ َ V َ aْ gِ OَHَhOْ ب ا X َرSُ gْ ´َ Oْ ا
Ò
ِ اSُ wْ U َ ًاSgR ´َ pُ نR َأSُ }َ
ْ َوَأ،ًاnaْ wِ ا َآËmJُU ُ نَ ْmgُ OِHR¥Oل ا ُ ْmxُ Wَ HRgUَ Qُ iَ Hَ´wْ L
ُ َوQُ Oَ َ Wْ nِ َ Ùَ ُ Sَ ْ َو
RJ ًاnaْ Tِ pُ Hً~َاnL ِ َوQِ iِ ْذNِ
ِ Ò
ِ َ اO ِإHًaU ِ َودَا،ًاnWْ ِ iَ ًا َوnaْ ِ
َ ِ U
َ HROي ا ِ Sَ Wَ V
َ aْ
َ ُQªَ hَ
َ ،ُQOُmُLَو َر
Hَ}W َأ:Sُ hْ
َ HRp َأ،ًاnaªِ َآHً gْaJِْ jَ ^َ JRL
َ َو،ٍنHَ ْ Nِ
ِ ْ^}ُ Oَ V
َ aْ ِh
ِ HRfOب وَاِ Hَ´ ْ َ Oْ وَاQِ Oِ َJU َ َوQِ aْ JَU
َ Ò ُ ا
ْ^_ُ xَ Jَr
َ ْ^ َوWnِ _RfO ِم وَاHَhiْ Nِ Oْ اV
َ pِ Qِ
ِ ْ^_ُ R r َ Hَp َJU َ ُ ْوnُ _ُ ْ َى وَاmxْ fRO ا Rَ Ò َ ا اmُxjR ا،ُسHRTOا
^ٍ Wْ mِ xْ jَ V
َِ ْ ْ َأetِ
Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala, penguasa alam semesta yang telah
menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada
sesembahan yang berhak untuk diibadahi selain Allah Subhanahu wata’ala semata, dan
saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan
utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah Subhanahu wata’ala curahkan
kepada pemimpin para nabi, Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabatnya, dan
kaum muslimin yang senantiasa mengikuti petunjuknya.
Hadirin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala dan bersyukur
kepada- Nya atas karunia dan nikmat-Nya yang tidak terbilang jumlahnya. Sungguh,
dengan bersyukur dan menaati-Nya, seseorang akan terus memperoleh kebaikan di
dunia dan akhirat. Adapun berbuat maksiat kepada-Nya akan menjatuhkan dirinya ke
dalam siksa api neraka.
Hadirin rahimakumullah,
ن
َ mُ_Wَ ْ َأن
´
ِ Wُ v
َ~ُ nR Oن ا
R ِإ:ٌv~
ُ ل َر
َ Hَ| .nٍ wْ ْ ِآVpِ ر ٍةR ل َذ
ُ Hَxªْ pِ Qِ wِ Jْ |َ eِt ن
َ Hَْ آVَp َ TR¤
َ Oْ اv
ُrُ ْSWَ Ù
َ
Hadirin rahimakumullah,
Di antara penjelasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terkait dengan berhias dan
memperindah diri adalah hadits,
ب
ِ ِرHRO اØ
|َ َو،ِÕ
ْ Nِ Oْ اÂ
ُ fْ iَ َو،ِرHَ£Ô
ْ î
َ ْ^ُ اaِJxْ jَ َو،َُادS´
ْ fِ L
ْ Hِ Oْ وَا،ُنHَfo
ِ Oْ ا: ِةnَ
ْ £ِ Oْ اV
َ pِ ٌ³gْ r
َ
“Lima hal yang termasuk fitrah: khitan, membersihkan rambut di sekitar kemaluan,
memotong kuku, menghilangkan bulu ketiak, dan memotong kumis.” (Muttafaqun
’alaih)
nَ ªَ ك َأ ْآ
َ nُ fْ iَ Ù
َ ْ َأن،ِiَ HَhOْ ا
ِ Jْ
َ َوÕ
ِ
ْ ß
ِ ْ اÂ
ِ fْ iَ ِر َوHَ£Ô
ْ î
َ ْ^ اaِJxْ jَ ب َو
ِ ِرHRO اØ
ِّ َ| eِt HَTOَ ` َ |ِّ ُو
ً Jَaْ Oَ V
َ aِh
َ ْْ َأرVpِ
“Telah ditetapkan jangka waktu bagi kami dalam merapikan kumis, memotong kuku,
mencabut bulu ketiak, dan mencukur rambut di sekitar kemaluan, agar tidak kami
biarkan sampai melebihi empat puluh hari.” (HR. Muslim)
َ´JXOا اmُ£U
ْ وَأ
“Dan biarkan lah jenggot .” (Muttafaqun ’alaih)
Begitu pula, dianjurkan ketika jenggot atau rambut kepala sudah berwarna putih atau
beruban untuk mengubahnya dengan warna merah atau yang semisalnya, namun tidak
boleh mengubahnya menjadi warna hitam. Dikisahkan dalam sebuah hadits, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat sahabat Abu Quhafah radhiyallahu ‘anhu dalam
keadaan rambut dan jenggotnya berwarna putih. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
Majalah asy Syariah Edisi 89 Page 98
َا َدm
R Oا اmُwTِ fَ ~
ْ ُوا َهَا وَاnaXy
َ
“Ubahlah ini, dan jauhi dengan warna hitam.” (HR. Muslim)
Adapun mengubah rambut yang berwarna hitam dengan warna merah atau lainnya, hal
itu dilarang dan termasuk perbuatan meniru-niru orang kafir.
Demikian beberapa hal yang berkaitan dengan memperindah badan. Ada yang harus
dibuang atau dirapikan. Ada pula yang justru harus dibiarkan dari yang tumbuh di
badan. Jadi, apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan membiarkan kumisnya
memanjang hingga menutupi bibirnya, bukanlah berhias meskipun barangkali sebagian
orang menganggapnya indah. Begitu pula membiarkan kuku memanjang, bukanlah
memperindah badan yang sesuai syariat. Justru perbuatan tersebut adalah bentuk
penyerupaan dengan hewan dan akan membuat badan menjadi kotor sehingga terancam
terjangkit penyakit. Begitu pula apa yang dilakukan oleh sebagian wanita yang
mencukur rambut alisnya untuk kemudian diubah bentuknya, juga bukan berhias yang
dibolehkan oleh syariat. Sesungguhnya, perbuatan tersebut adalah mengubah ciptaan
Allah Subhanahu wata’ala dan menuruti ajakan setan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam melaknat perbuatan tersebut. Allah Subhanahu wata’ala berfirman
mengisahkan perkataan setan,
ۚ Qِ JRO ا
َ Jْ r
َ ن
R nُ aX¯َ aُ Jَtَ ْ^}ُ iR nَ pُ sَOَو
“Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benarbenar mereka
mengubahnya.” (an- Nisa: 119)
Hadirin rahimakumullah,
Khutbah Kedua
Ù
R إQَ Oَ ِإÙ
َ ْ َأنSُ }َ
ْ َوَأ، í
ِ Íِ Hَwo
َ O اHَTaْ JَU
َ َمRn
َ ت َو
ِ HَwaX
R O اHَTOَ v
R
َ َأ،ِQiِ Hَ
ْ َوِإQِ Jِْ±tَ َJU
َ Sُ gْ ´
َ Oْ ا
Majalah asy Syariah Edisi 89 Page 99
Qِ Oِ َJU
َ َوQِ aْ JَU
َ Ò
ُ اRJ ،ِQOُmُL َو َرÒ ِ اSُ wْ U
َ ًاSRg´ َ pُ ن
R َأSُ }َ
ْ َوَأ،ُQOَ َ Wْ nِ َ Ù َ ُ Sَ
ْ َوÒ ُ ا
Sُ hْ
َ HRp َأ،ًاnaª آHً gْaJِ
ْ jَ ^َ JRL
َ ن َو
ٍ Hَ ْ Nِ
ِ ْ^}ُ Oَ V
َ aْ hِ
ِ HRfOب وَا
ِ Hَ´ ْ َ Oْ وَا
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
ْVpِ
َ Oٌَِٰ ۚ ذnaْ r
َ
َ Oَِٰىٰ ذmَ xْ fROس ا
ُ HَwOِ ۖ َوHًWِ_ُ^ْ َورjِ ْmL
َ َارِيmWُ HًLHَwOِ ْ^_ُ aْ JَU
َ HَTOْ ¢َ iَْ أS|َ َد َمeِT
َ HَW
ن
َ ُوnآR R Wَ ْ^}ُ JRhَ Oَ Qِ JROت ا
ِ HَW
“Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk
menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Pakaian takwa itulah yang paling
baik. Hal itu adalah sebagian dari tanda kekuasaan Allah agar mereka selalu ingat.” (al-
A’raf: 26)
Di dalam ayat ini, Allah Subhanahu wata’ala menjelaskan fungsi pakaian, yaitu untuk
berhias dan menutup aurat. Allah Subhanahu wata’ala tidak menjadikan pada manusia
penutup aurat yang tumbuh dari badannya, agar senantiasa ingat bahwa dirinya
membutuhkan pakaian atau semisalnya untuk menutup auratnya. Allah Subhanahu
wata’ala juga menyebutkan bahwa ada pakaian yang tidak bisa dilihat atau dirasa oleh
tangan, namun tidak kalah pentingnya dengan pakaian yang sebelumnya. Pakaian
tersebut adalah takwa yang fungsinya bukan untuk menutup aurat yang ada di badan,
melainkan untuk menutup kekurangan agama dan akhlak seseorang.
Hadirin rahimakumullah,
Sٍ ¤
ِ
ْ pَ v
X ُآSَ TِU ْ^_ُ fَ Tَ Wُِوا زr
ُ َد َمeِT
َ HَW
“Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.”
(al-A’raf: 31)
Hadirin rahimakumullah,
Maka dari itu, sudah sepantasnya kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wata’ala atas
nikmat pakaian dengan menggunakannya untuk menutup aurat atau untuk memperindah
penampilan, terutama ketika hendak berdiri menghadap-Nya dalam shalat. Bukan malah
sebaliknya, yaitu menggunakannya untuk meniruniru model orang kafir yang tidak
memedulikan aurat atau menggunakannya untuk menyombongkan diri. Karena itu,
seseorang harus senantiasa menjaga batas-batas syariat dalam hal berpakaian. Sebab,
ada beberapa larangan yang telah disebutkan dalam beberapa hadits. Di antaranya
adalah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan melalui jalan sahabat
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,
ٌءHَiِ س َو
َ HRTO اHَ}
ِ ن َ mُ
nِ ±
ْ Wَ nِ xَ wَ Oْ ب ا
ِ Hَiْط َآ َذ ٌ HَaL ِ ْ^}ُ hَ pَ ٌْمm|َ :Hَg^ْ َأ َر ُهOَ ِرHRTO اv
ِ ْ َأ ْهVpِ نِ Hَ£Tْ
ِ
Ù
َ َ َوTR¤
َ Oْ اV
َ Jْ r
ُ ْSWَ Ù
َ ،ِJَÍِ HَgOْ ` ا
ِ o ْ wُ ْO ِ اgَ Tِ L
ْ َ َآVR }ُ L
ُ تٌ ُرءُوÚ َ Íِ Hَp ٌتÚ َ aِgpُ ٌتHَW ِرHَU ٌتHَaL ِ Hَآ
ِة َآَا َو َآَاnَ aِpَ ْVpِ Sُ ~ َ mُaOَ Hَ}´ َ Wِن ر R ِ َوإHَ}´َ Wِن رَ ْS¤ ِ Wَ
“Ada dua jenis manusia penghuni neraka yang aku belum pernah melihat keduanya: (1)
sekelompok orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi, mereka mencambuk
manusia dengannya; dan (2)wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berjalan
berlenggak lenggok dan menjauh dari kebaikan. Kepala mereka seperti punuk onta yang
miring. Mereka tidak akan mencium bau surga padahal sesungguhnya baunya akan
tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)
Hadirin rahimakumullah,
Dalam kedua hadits di atas jelaslah adanya larangan bagi laki-laki untuk mengenakan
kain, baik sarung, jubah maupun semisalnya, yang memanjang hingga menutup mata
kaki. Begitu pula, ada peringatan bagi wanita agar tidak menampakkan auratnya ketika
berpakaian. Bahkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutnya dengan berpakaian
tetapi telanjang. Masih banyak hadits lain yang berisi larangan yang harus diperhatikan
kaitannya dengan berpakaian dan berhias. Di antaranya, hadits yang melarang laki-laki
memakai baju yang terbuat dari kain sutra, dan yang melarang laki-laki memakai cincin
atau yang semisalnya yang terbuat dari emas. Ada pula hadits yang melarang laki-laki
meniru pakaian model wanita dan sebaliknya, serta hadits-hadits yang lainnya.
Akhirnya, marilah kita berusaha untuk senantiasa bertakwa sekuat kemampuan kita
dengan menjaga batas-batas syariat Allah Subhanahu wata’ala dalam hal berpakaian
atau memperindah diri dengannya.
***
Alhamdulillah
www.asysyariah.com
http://islamicandmedicalupdates.blogspot.com
baharudinwahida@gmail.com