Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KEWAJIBAN MENUNTUT DAN MENGAMALKAN ILMU

DOSEN PEMBIMBING
Cian ibnu Sina M.Sos

DISUSUN OLEH

Kelompok I
Alya Atari
Dayang Azura
Eriska Purwasih
Ermia Citra
Fitriana
Jelina Jini

STIKES HANG TUAH TANJUNGPINANG


PRODI D3 KEPERAWATAN
T.A. 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “KEWAJIBAN
MENUNTUT DAN MENGAMALKAN ILMU” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas bapak Cian

ibnu Sina M.Sos mata kuliah pendidikan agama islam. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Cian ibnu Sina M.Sos
selaku dosen mata kuliah pendidikan agama Islam yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Tanjungpinang, 15 november 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................................


i
DAFTAR ISI ..........................................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
A…Latar Belakang Masalah ....................................................................................
B…Rumusan Masalah ..............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A perintah menuntut ilmu dalam Islam …............................................................
B… keutamaan orang berilmu..........................................................................................
C… kedudukan ulama dalam Islam................................................................................
BAB III PENUTUP
A…Kesimpulan ............................................................................................................
B…Saran .......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai umat muslim (orang yang beragama Islam) kita memerlukan belajar secara teratur
(long live education). Belajar dalam Islam bertujuan agar kita dapat ilmu untuk hidup di
dunia dan memperoleh bekal untuk di akhirat. Hal-hal penting tentang ilmu yang harus kita
pelajari nantinya akan berpengaruh dan InsyaAllah dapat menjadi pegangan kita selama
hidup di dunia yaitu dengan ilmu kita dapat mencari nafkah untuk kebutuhan hidup.
Ilmu Adalah Bunga-bunga Ibadah . Kita harus memahami juga untuk apa kita hidup di dunia
ini. Allah menciptakan makhluknya hanya untuk beriman dan bertakwa kepadaNya. Jadi
semua hal di dunia yang telah dan akan kita lakukan, semua ditujukan hanya pada Allah.
Setiap hal di dunia memerlukan ilmu. Sebab kelebihan yang dimiliki manusia adalah akal.
Dengan akal maka manusia dapat berpikir dan mempergunakan pikirannya untuk
memperoleh dan mengamalkan ilmu.
Menuntut ilmu sebaiknya jangan dianggap kewajiban tetapi sebuah kebutuhan yang asasi dan
sangat penting. Menuntut ilmu dapat mengembangkan pola berpikir seseorang sehingga dapat
memudahkan dalam menjalani kehidupan. Orang yang menghargai ilmu dan
mengamalkannya dengan baik maka hidupnya akan menjadi damai dan sejahtera. Tak jarang
manusia menyepelekan ilmu sebab untuk menuntut ilmu memerlukan biaya dan waktu yang
lama. Mereka adalah orang-orang yang tidak bisa membuka hati dan pikirannya untuk
menerima ilmu. Apabila kita telah membuka hati dan pikiran kita untuk menerima bahwa
ilmu itu ada dan berguna, maka dengan sendirinya diri kita akan terbiasa menuntut ilmu
karena kebutuhan hidup selalu berkaitan dengan ilmu.
Mencari ilmu adalah kebutuhan yang akan menjadi kewajiban bila sudah ditanamkan dalam
hati. Hal tersebut sangat penting karena akan menjadi bekal manusia di dunia dan di akherat.
Islam dianggap sebagai agama pemersatu bangsa dan agama Islam sebagai rahmatan lil
alamin. Kita sebagai umat muslim akan menjadi orang yang merugi bila tidak menuntut ilmu.
Sebab Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : “Tuntutlah ilmu meskipun sampai ke negeri
Cina”. Sabda nabi tersebut menunjukkan bahwa ilmu sangatlah berharga. Ilmu yang kita
miliki baru akan berharga bila sudah diamalkan di jalan Allah. Dengan demikian kita akan
mampu meningkatkan amal ibadah kita kepada Allah SWT.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengambil judul makalah “Kewajiban Menuntut
Ilmu, Mengembangkan dan Mengamalkannya”

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perintah menuntut ilmu dalam Islam ?
2. Bagaimana keutamaan orang berilmu ?
3. Bagaimana kedudukan ulama dalam Islam ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. mengetahui bagaimana perintah menuntut ilmu dalam Islam
2. mengetahui Bagaimana keutamaan orang berilmu
3. mengetahui Bagaimana kedudukan ulama dalam Islam

D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai sumber pengetahuan serta sebagai
tambahan materi khususnya bagi penulis.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perintah Menuntut Ilmu Dalam Islam


Pada dasarnya kita hidup didunia ini tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah.
Tentunya beribadah dan beramal harus berdasarkan ilmu yang ada di Al-Qur’an dan Al-
Hadist. Tidak akan tersesat bagi siapa saja yang berpegang teguh dan sungguh-sungguh
perpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Disebutkan dalam hadist, bahwasanya ilmu yang wajib dicari seorang muslim ada 3,
sedangkan yang lainnya akan menjadi fadhlun (keutamaan). Ketiga ilmu tersebut adalah
ayatun muhkamatun (ayat-ayat Al-Qur’an yang menghukumi), sunnatun qoimatun (sunnah
dari Al-hadist yang menegakkan) dan faridhotun adilah (ilmu bagi waris atau ilmu faroidh
yang adil)
Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda :

)‫ (رواه ابن مجاه‬.‫َب‬ َّ ‫ض ُع ا ْل ِع ْل ِم ِع ْن َد َغ ْي ِر اَ ْهلِ ِه َك ُمقَلِّ ِد ا ْل َخنَا ِز ْي ِر ا ْل َج ْوه ََر َو للُّؤْ لُ َؤ َو‬
َ ‫الذه‬ ْ ‫ضةٌ َعلَى ُك ِّل ُم‬
ِ ‫سلِ ٍم َو َو‬ َ ‫ب ا ْل ِع ْل ِم فَ ِر ْي‬
ِ َ‫طَل‬

“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan orang yang meletakkan ilmu kepada
orang yang bukan ahlinya (orang yang enggan untuk menerimanya dan orang yang
menertawakan ilmu agama) seperti orang yang mengalungi beberapa babi dengan beberapa
permata, dan emas. (H.R. Ibnu Majah,Al-Baihaqi,Anas bin Malik dan lain lain serta Al-
Mundiri 28/1)
Juga pada hadist rasulullah yang lain,”carilah ilmu walau sampai ke negeri cina”. Dalam
hadist ini kita tidak dituntut mencari ilmu ke cina, tetapi dalam hadist ini rasulullah menyuruh
kita mencari ilmu dari berbagai penjuru dunia. Walau jauh ilmu haru tetap dikejar.
Dalam kitab “ Ta’limul muta’alim” disebutkan bahwa ilmu yang wajib dituntut terlebih
dahulu adalah ilmu haal yaitu ilmu yang seketika itu pasti digunakan dn diamalkan bagi
setiap orang yang sudah baligh. Seperti ilmu tauhid dan ilmu fiqih. Apabila kedua bidang
ilmu itu telah dikuasai, baru mempelajari ilmu-ilmu lainya, misalnya ilmu kedokteran, fisika,
matematika, dan lainya.
Kadang-kadang orang lupa dalam mendidik anaknya, sehingga lebih mengutamakan ilmu-
ilmu umum daripada ilmu agama. Maka anak menjadi orang yang buta agama dan
menyepelekan kewajiban-kewajiban agamanya. Dalam hal ini orang tua perlu sekali
memberikan bekal ilmu keagamaan sebelum anaknya mempelajari ilmu-ilmu umum.
Dalam hadist yang lain Rasulullah bersabda, “sedekah yang paling utama adalah orang islam
yang belajar suatu ilmu kemudian diajarkan ilmu itu kepada orang lain.”(HR. Ibnu Majah)
Maksud hadis diatas adalah lebih utama lagi orang yang mau menuntut ilmu kemudian ilmu
itu diajarkan kepada orang lain. Inilah sedekah yang paling utama dibanding sedekah harta
benda. Ini dikarenakan mengajarkan ilmu, khususnya ilmu agama, berarti menenan amal
yang muta’adi (dapat berkembang) yang manfaatnya bukan hanya dikenyam orang yang
diajarkan itu sendiri, tetapi dapat dinikmati orang lain.

B. Keutamaan Orang Berilmu


Orang yang berilmu mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah dan
masyarakat. Al-Quran menggelari golongan ini dengan berbagai gelaran mulia dan terhormat
yang menggambarkan kemuliaan dan ketinggian kedudukan mereka di sisi Allah SWT dan
makhluk-Nya. Mereka digelari sebagai “al-Raasikhun fil Ilm” (Al Imran : 7), “Ulul al-Ilmi”
(Al Imran : 18), “Ulul al-Bab” (Al Imran : 190), “al-Basir” dan “as-Sami' “ (Hud : 24), “al-
A'limun” (al-A'nkabut : 43), “al-Ulama” (Fatir : 28), “al-Ahya' “ (Fatir : 35) dan berbagai
nama baik dan gelar mulia lain.
Dalam surat ali Imran ayat ke-18, Allah SWT berfirman: "Allah menyatakan bahwasanya
tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para
Malaikat dan orang- orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada
Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Dalam ayat ini ditegaskan pada golongan orang berilmu bahwa mereka amat istimewa di sisi
Allah SWT . Mereka diangkat sejajar dengan para malaikat yang menjadi saksi Keesaan
Allah SWT. Peringatan Allah dan Rasul-Nya sangat keras terhadap kalangan yang
menyembunyikan kebenaran/ilmu, sebagaimana firman-Nya: "Sesungguhnya orang-orang
yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang
jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka
itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati." (Al-
Baqarah: 159)
Rasulullah SAW juga bersabda: "Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, akan dikendali
mulutnya oleh Allah pada hari kiamat dengan kendali dari api neraka." (HR Ibnu Hibban di
dalam kitab sahih beliau. Juga diriwayatkan oleh Al-Hakim. Al Hakim dan adz-Dzahabi
berpendapat bahwa hadits ini sahih) Jadi setiap orang yang berilmu harus mengamalkan
ilmunya agar ilmu yang ia peroleh dapat bermanfaat. Misalnya dengan cara mengajar atau
mengamalkan pengetahuanya untuk hal-hal yang bermanfaat.

C. Kewajiban Mengamalkan Ilmu


Banyak orang menuntut ilmu yang tidak diamalkan,ilmunya menjadi sia-sia hanya digunakan
untuk menunjukan kehebatan dan keutamaan dirinya,serta untuk tujuan yang berbau
keduniaan.
Amalkan ilmumu bila engkau ingin selamat dari adzab Allah. Dalam mengamalkan ilmu kita
harus memperhatikan hal-hal berikut,diantaranya :
1. Jangan melihat tempat dan waktu dalam mengamalkan ilmu
2. Meskipun sedikit amalkan ilmumu,
Dikisahkan ,sesungguhnya Al – Junaid setelah meninggal dunia ada seorang yang bermimpi
bertemu dia,lalu ia bertanya kepada Al – junaid : “Wahai Abu Qasim (imam junaid),
bagaimana keadaanmu setelah meninggal? ,Al – Junaid menjawab,”Aduh … kebaikan yang
aku lakukan hilang semuanya,dan seluruh isyarah amal-amal itu juga hilang tidak ada
manfa’atnya sedikitpun ,kecuali beberapa rakaat yang aku lakukan di tengah malam”.
Keterangan Al- Junaid membuktikan bahwa derajat seseorang disisi Allah itu tidak dilihat
dari banyaknya ilmu yang dipelajari dan dikuasai,melainkan dilihat dari pengamalannya.
Meskipun ilmunya sedikit lalu diamalkan itu lebih baik dan berarti dari pada memiliki ilmu
yang banyak tetapi tidak diamalkan.
3. Janganlah menunggu masa tua dalam mengamalkan ilmu.
4. Jangan beranggapan ilmu itu bisa mengangkat derajat mu bila tanpa diamalkan.
Ali ra berkata : “Barangsiapa menyangka bahwa tanpa jerih payah beribadah dirinya bisa
mencapai derajat yang tinggi,itu berarti dia mengharapkan perkara yang sulit datangnya.
Barangsiapa menyangka bahwa dengan menyepelekan ibadah dirinya bisa mencapai derajat
tinggi,itu menunjukan kesombongan dirinya (ia sudah merasa cukup amal ibadahnya)
Al Hasan berkata : “Mencari surga tanpa beramal adalah suatu dosa,dari jenis dosa-dosa yang
lain
Nabi Isa bersabda: “Orang yang mempelajari suatu ilmu tetapi tidak mau
mengamalkannya,bagaikan seorang wanita yang berbuat zina ditempat tersembunyi,lalu ia
hamil dan perut wanita itu semakin besar,yang akhirnya ketahuan dia hamil. Begitu juga
dengan orang yang tidak mau mengamalkan ilmunya,pada hari kiiamat nanti Allah akan
memperlihatkan dia dihadapan semua makhluk yang hadir di Makhsyar”
D. Kedudukan Ulama Dalam Islam
Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya
kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka sebagai teladan dan
pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama
bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang
membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang
yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya para
ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya.

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

ْ َ‫قُ ْل َه ْل ي‬
َ‫ستَ ِوي الَّ ِذينَ يَ ْعلَ ُمونَ َوالَّ ِذينَ اَل يَ ْعلَ ُمون‬

Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” (QS. az-Zumar: 9) Dan firman-Nya Azza wa Jalla:

ٍ ‫يَ ْرفَ ِع هَّللا ُ الَّ ِذينَ آَ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذينَ أُوتُوا ا ْل ِع ْل َم د ََر َجا‬
‫ت‬

Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. al-Mujadilah: 11)
Diantara keutamaannya adalah para malaikat akan membentangkan sayapnya karena tunduk
akan ucapan mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan yang berada di airpun ikut
memohonkan ampun baginya. Para ulama itu adalah pewaris Nabi, dan sesungguhnya para
Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyala ilmu, dan
pewaris sama kedudukannya dengan yang mewariskannya, maka bagi pewaris mendapatkan
kedudukan yang sama dengan yang mewariskannya itu. Di dalam hadits Abi Darda
radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa
yang meniti suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan
menuju surga. Sesungguhya para malaikat akan membuka sayapnya untuk orang yang
menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang
yang alim akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga
ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti
keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para
Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka
wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sesungguhnya ia
telah mendapatkan bagian yang paling banyak.” (Shahih, HR Ahmad (V/196), Abu Dawud
(3641), at-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah (223) dan Ibnu Hibban (80/al-Mawarid). Para ulama
telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh para Nabi, dan melanjutkan peranan dakwah di
tengah-tengah umatnya untuk menyeru kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Juga
melarang dari perbuatan maksiat serta membela agama Allah. Mereka berkedudukan seperti
rasul-rasul antara Allah dan hamba-hamba-Nya dalam memberi nasehat, penjelasan dan
petunjuk, serta untuk menegakkan hujjah, menepis alasan yang tak berdalih dan menerangi
jalan.
Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Sesungguhnya orang alim itu perantara antara Allah
dan hamba-hamba-Nya, maka perhatikanlah bagaimana dia bisa masuk di kalangan hamba-
hamba-Nya.”
Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Manusia yang paling agung kedudukannya adalah yang
menjadi perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya, yaitu para Nabi dan ulama.”
Sahl bin Abdullah berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat majlisnya para Nabi, maka
hendaklah dia melihat majelisnya para ulama, dimana ada seseorang yang datang kemudian
bertanya, ‘Wahai fulan apa pendapatmu terhadap seorang laki-laki yang bersumpah kepada
istrinya demikian dan demikian?’ Kemudian dia menjawab, ‘Istrinya telah dicerai.’
Kemudian datang orang lain dan bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang
bersumpah pada istrinya demikian-demikian?’ Maka dia menjawab, ‘Dia telah melanggar
sumpahnya dengan ucapannya ini.’ Dan ini tidak dimiliki kecuali oleh Nabi atau orang alim.
(maka cari tahulah tentang mereka itu).”
Maimun bin Mahran berkata, “Perumpamaan seorang alim disuatu negeri itu, bagaikan mata
air yang tawar di negeri itu.”
Jikalau para ulama memiliki kedudukan dan martabat yang tinggi seperti itu, maka wajib atas
orang-orang yang awam untuk menjaga kehormatan serta kemuliaannya. Dari Ubadah bin
Ashomit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Bukan termasuk
umatku orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih
muda, dan tidak tahu kedudukan ulama.”
Dan di antara hak para ulama adalah mereka tidak diremehkan dalam hal keahlian dan
kemampuannya, yaitu menjelaskan tentang agama Allah, serta penetapan hukum-hukum dan
yang semisalnya dengan mendahului mereka, atau merendahkan kedudukannya, serta
sewenang-wenang dengan kesalahannya, juga menjauhkan manusia darinya atau perbuatan-
perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahil yang tidak tahu akan kedudukan dan
martabat para ulama. Satu hal yang sudah maklum bagi setiap orang, bahwa mempercayakan
setiap cabang-cabang ilmu tidak dilakukan kecuali kepada para ahli dalam bidangnya. Jangan
meminta pendapat tentang kedokteran kepada makanik, dan jangan pula meminta pendapat
tentang senibena kepada para dokter, maka janganlah meminta pendapat dalam suatu ilmu
kecuali kepada para ahlinya. Maka bagaimana dengan ilmu syariah, pengetahuan tentang
hukum-hukum dan fiqh kontemporer? Bagaimana kita meminta pendapat kepada orang yang
tidak terkenal alim mengenainya dan tidak pula punya kemampuan memahaminya jauh sekali
sebagai ulama yang mujtahid dan para imam yang kukuh ilmunya serta ahli fiqh yang
memiliki keupayaan sebagai ahli istimbath?
Allah Ta’ala berfirman:

ُ‫ستَ ْنبِطُونَه‬ ْ َ‫ول َوإِلَى أُولِي اأْل َ ْم ِر ِم ْن ُه ْم لَ َعلِ َمهُ الَّ ِذينَ ي‬ ِ ‫س‬ُ ‫ف أَ َذاعُوا بِ ِه َولَ ْو َردُّوهُ إِلَى ال َّر‬
ِ ‫َوإِ َذا َجا َء ُه ْم أَ ْم ٌر ِمنَ اأْل َ ْم ِن أَ ِو ا ْل َخ ْو‬
‫ش ْيطَانَ إِاَّل قَلِياًل‬ ْ َ‫ِم ْن ُه ْم َولَ ْواَل ف‬
َّ ‫ض ُل هَّللا ِ َعلَ ْي ُك ْم َو َر ْح َمتُهُ اَل تَّبَ ْعتُ ُم ال‬

"Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka (langsung) menyiarkannya, (padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul
dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya
(akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya
bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali
sebagian kecil saja (di antara kamu). (QS. an-Nisa`: 83)
Dan yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat ini adalah para ulama yang 'Alim dan
cermat dalam beristimbath hukum-hukum syariat baik dari kitab maupun sunnah, karena
nash-nash yang jelas tidaklah cukup untuk menjelaskan seluruh permasalahan kontemporer
dan hukum-hukum terkini, dan tidaklah begitu mahir untuk beristimbath serta mengerluarkan
hukum-hukum dari nash-nash kecuali para ulama yang berkelayakan. Abul ‘aliyah
mengatakan tentang makna “Ulil Amri” dalam ayat ini, “Mereka adalah para ulama, tidakkah
kamu tahu Allah berfirman, ‘(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”
Dari Qatadah, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di
antara mereka”, dia mengatakan, “Kepada ulamanya.” “Tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan
Ulil Amri).”, tentulah orang-orang yang membahas dan menyelidikinya mengetahui akan hal
itu.”
Dan dari Ibu Juraij, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul” sehingga
beliaulah yang akan memberitakannya “dan kepada Ulil Amri” orang yang faqih dan faham
agama.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam Fath al-Bari: Ibnu Attin menukil dari ad-Dawudi,
bahwasanya beliau menafsirkan firman Allah Ta’ala “Dan Kami turunkan az-Zikir (al-
Qur`an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka.”
An-Nahl : 44,: Allah Ta’ala banyak menurunkan perkara-perkara yang masih bersifat global,
kemudian ditafsirkan oleh Nabi-Nya apa-apa yang diperlukan pada waktu itu, sedangkan apa-
apa yang belum terjadi pada saat itu, penafsirannya di wakilkan kepada para ulama.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala : (padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul
dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya
(akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka. (QS. an-Nisa`: 83)
Al-’Allamah Abdurrahman bin Sa’di rahimahullahu menafsirkan ayat ini: Ini merupakan
pelajaran tentang adab dari Allah untuk para hamba-Nya, bahwa perbuatan mereka tidak
layak, maka sewajarnya bagi mereka, apabila ada urusan yang penting, juga untuk
kemaslahatan umum, yang berkaitan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum mukminin,
atau ketakutan yang timbul dari suatu musibah, maka wajib bagi mereka untuk memperjelas
dan tidak tergesa-gesa untuk menyebarkan berita itu, bahkan mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan Ulil Amri dikalangan mereka, yang ahli dalam hal pemikiran ilmu, dan
nasehat , yang faham akan permasalahan, kemaslahatan dan mafsadatnya. Jikalau mereka
memandang pada penyebaran berita itu ada maslahat dan sebagai penyemangat bagi kaum
mukminin, yang membahagiakan mereka, serta dapat melindungi dari musuh-musuhnya
maka hal itu dilakukan, dan apabila mereka memandang hal itu tidak bermanfaat, atau ada
manfaatnya akan tetapi mudhorotnya lebih besar dari manfaatnya maka tidak menyebarkan
berita itu, oleh karena itu Allah berfirman : “tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka.” Yaitu: mengerahkan
pikiran dan pandangannya yang lurus serta ilmunya yang benar.
Dan dalam hal ini ada kaidah tentang etika (adab) yaitu: apabila ada pembahasan dalam suatu
masalah hendaknya di berikan kepada ahlinya dan tidak mendahului mereka, karena itu lebih
dekat dengan kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan. Juga ada larangan untuk tergesa-
gesa menyebarkan berita tatkala mendengarnya, yang patut adalah dengan memperhatikan
dan merenungi sebelum berbicara, apakah ada maslahat maka disebarkan atau mudharat
maka dicegah. Selesai ucapan syaikh rahimahullahu. Dengan penjelasan ini diketahui wahai
teman-teman semua, bahwa perkara yang sulit dan hukum-hukum yang kontemporer serta
penjelasan hukum-hukum syariatnya tidak semua orang boleh campur tangan dalam masalah
itu, kecuali para ulama yang memiliki bashirah dalam agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu berkata, “Jabatan dan kedudukan tidaklah
menjadikan orang yang bukan alim menjadi orang yang alim, kalau seandainya ucapan dalam
ilmu dan agama itu berdasarkan kedudukan dan jabatan niscaya khalifah dan sulthan
(pemimpin negara) lebih berhak untuk berpendapat dalam ilmu dan agama. Juga dimintai
fatwa oleh manusia, dan mereka kembali kepadanya pada permasalahan yang sulit difahami
baik dalam ilmu ataupun agama. Apabila pemimpin negara saja tidak mengaku akan
kemampuan itu pada dirinya, dan tidak memerintahkan rakyatnya untuk mengikuti suatu
hukum dalam satu pendapat tanpa mengambil pendapat yang lain, kecuali dengan al-Qur`an
dan as-Sunnah, maka orang yang tidak memiliki jabatan dan kedudukan lebih tidak dianggap
pendapatnya.” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu Adalah Bunga-bunga Ibadah . Kita harus memahami juga untuk apa kita hidup di dunia
ini. Allah menciptakan makhluknya hanya untuk beriman dan bertakwa kepadaNya. Jadi
semua hal di dunia yang telah dan akan kita lakukan, semua ditujukan hanya pada Allah.
Setiap hal di dunia memerlukan ilmu. Sebab kelebihan yang dimiliki manusia adalah akal.
Dengan akal maka manusia dapat berpikir dan mempergunakan pikirannya untuk
memperoleh dan mengamalkan ilmu
Menuntut ilmu sebaiknya jangan dianggap kewajiban tetapi sebuah kebutuhan yang asasi dan
sangat penting. Menuntut ilmu dapat mengembangkan pola berpikir seseorang sehingga dapat
memudahkan dalam menjalani kehidupan. Orang yang menghargai ilmu dan
mengamalkannya dengan baik maka hidupnya akan menjadi damai dan sejahtera. Tak jarang
manusia menyepelekan ilmu sebab untuk menuntut ilmu memerlukan biaya dan waktu yang
lama. Mereka adalah orang-orang yang tidak bisa membuka hati dan pikirannya untuk
menerima ilmu. Apabila kita telah membuka hati dan pikiran kita untuk menerima bahwa
ilmu itu ada dan berguna, maka dengan sendirinya diri kita akan terbiasa menuntut ilmu
karena kebutuhan hidup selalu berkaitan dengan ilmu.
Mencari ilmu adalah kebutuhan yang akan menjadi kewajiban bila sudah ditanamkan dalam
hati. Hal tersebut sangat penting karena akan menjadi bekal manusia di dunia dan di akherat.
Islam dianggap sebagai agama pemersatu bangsa dan agama Islam sebagai rahmatan lil
alamin. Kita sebagai umat muslim akan menjadi orang yang merugi bila tidak menuntut ilmu.

B. Saran
Untuk menuntut dan mengamalkan Ilmu Pengetahuan harus kita dasar dengan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah swt. agar dapat memberikan jaminan kemaslahatan bagi kehidupan
serta lingkungan sekitar kita.
DAFTAR PUSTAKA

http://ustazmokhtar.blogspot.com/2009/07/kedudukan-ulama-dalam-islam.html
http://iipkasipulqulub.blogspot.com/2014/03/makalah-hadits-pentingnya-menuntut-ilmu.html

Anda mungkin juga menyukai