Pada pertemuan pertama yang merupakan sesi muqoddimah dari kajian rutin
ini, telah disampaikan mengenai fenomena telah banyaknya orang yang
berhijrah, banyaknya orang yang mendapatkan hidayah sehingga lebih suka
melangkahkan kakinya ke rumah-rumah Allah, namun tidak sedikit dari mereka
yang belum mengetahui bagaimana para ulama belajar, sedangkan kita dituntut
untuk mengikuti metode belajar tentunya sesuai dengan kemampuan kita
Kita sekarang berada di sebuah era dimana ilmu telah dibuka oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Mendapatkan hadits tinggal sejarak sentuhan jari di
smartphone. Menyimak kajian hanya sejauh jari jempol menyentuh tombol
‘play’ di gadget. Sementara para ulama terdahulu tak ayal harus safar berhari-
hari bahkan berbulan-bulan demi hanya mendapatkan satu buah hadits.
Sebagaimana
Kisah Jabir –Radhiallahu’anhu- untuk bertemu Abdillah bin unais, untuk
mendengar hadits Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam yang berbunyi:
Hisyam Ad Damasyqi
’enjual rumah demi dapat duduk di majelisnya Imam Malik. (Tahdzibul Kamal
3/1144)
“Keberkahan ilmu yang membedakan,1 hadits berkah lebih baik daripada ribuan
hadits tapi tidak berkah. Yang harus diincar oleh para penuntut ilmu, bukan
hanya mencari ilmu, tapi mencari keberkahan ilmu, mencari ilmu yang
bermanfa’at.”
Karena Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam pinta bukan hanya ilmu saja, tapi
juga sekaligus ilmu yang bermanfaat. Dan salah satu cara mendapatkan
keberkahan ilmu adalah usaha yang sungguh-sungguh, karena semakin kita
jungkir balik mendapatkan sesuatu, sesuatu itu semakin bernilai di hati kita.
Ulama terdahulu setelah mendapatkan hadits, maka mereka mengamalkannya
sehingga ilmu mereka berkahnya luar biasa, mereka kejar dan berupaya, benar-
benar kerja keras untuk ilmu.
“Kita ketika mendatangi majelisnya Ali bin Madini, kita sudah sampai di lokasi
di waktu Ashar untuk kajian besok pagi lalu kami begadang, duduk sepanjang
malam di lokasi, karena kita khawatir tidak mendapatkan tempat yang kondusif
untuk mendengarkan ucapan Ali bin Madini .” (al jaami' li akhlaqir rowi wa
aadabis sami' 2/138)
Jika upaya yang kita kerahkan demi dunia hingga jungkir balik bisa dilakukan,
sudah sepantasnya kita pun berjungkir balik demi akhirat.
Jika untuk mendapatkan yang fana harus kerja keras, lalu bagaimana dengan
yang kekal? Mustahil kita sukses di akhirat kalau tidak ada kerja keras.
ُالجنّة
َ ِ أالاِنّ سل َعةَ هللا،ًسل َعةَ هللاِ َغالِيَة
ِ َّأالاِن
”Ketahuilah bahwa apa yang Allah tawarkan sangat mahal, dan yang Allah
tawarkan untuk kalian adalah surga”. (HR Tirmidzi)ز
Mungkinkah segampang itu kita menggapai surga? Jikalau untuk dunia kita bisa
habis-habisan, kenapa akhirat tidak bisa habis-habisan? Kalau kaidah di dunia;
“tidak ada makan siang gratis” , mungkinkah untuk Surga dapat ditebus dengan
gratis? Mustahil.
Ketahuilah, jika surga itu murah, Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam tidak perlu
hijrah dari Mekkah ke Madinah. Jika surga itu murah, tidak ada penyiksaan
terhadap Bilal.
Dan pintu gerbangnya upaya kita menggapai surga adalah dengan belajar dan
belajar dan belajar. Karena Imam Bukhari mengatakan:
Kisah lainnya yang pantas dijadikan teladan dalam menjemput ilmu adalah Al
Imam Qutrub yang bernama asli Abu Ali Muhammad. Beliau adalah murid
Sibawayh. Dalam tinjauan bahasa, makna ‘qutrub’ adalah binatang yang selalu
bergerak dan tidak pernah lelah dan suka terlihat di malam hari. Julukan
’qutrub’ disematkan pada dirinya oleh Sibawayh karena saat sang guru
membuka pintunya untuk pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat subuh,
Sibawayh sudah mendapatkan sang murid berdiri di depan pintu rumahnya. Hal
ini sering dilakukan oleh Al Imam Qutrub hanya demi bisa belajar dan
bertanya kepada Sibawayh selama perjalanan ke masjid. (Akhbarun nahwiyin
albashriyyin 39).
Kisah lainnya para ulama terdahulu yang dapat dijadikan inspirasi dalam
menjemput ilmu adalah kisah Al Imam Ahmad bin Hanbal, yang senantiasa
ditahan oleh sang ibunda dengan menahan bajunya ketika hendak keluar rumah
di pagi hari. Sang Ibunda berkata; “Jangan pergi sekarang, tunggu sampai
adzan subuh.” Hingga akhirnya beliau masuk lagi seraya berkata: “Saya ingin
cepat-cepat duduk di majelisnya Abu Bakar Ayyasy dan yang
lainnya.”(Manaqib Imam Ahmad 26)
Karena mereka ingin masuk surga. Karena mereka mengetahui makna hadits
Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam:
س َّه َل هللاُ لهُ به طَ ِريقًا ُ سلَ َك طَ ِريقًايَ ْلتَ ِم
َ س فيه ِع ْل ًما َ ْو َمن
اِلَئ الجنّة
“Barangsiapa yang menuntut ilmu agama, maka Allah akan mudahkan baginya
jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
“Tidak ada satupun orang yang menuntut ilmu agama ini dengan kekayaan,
kekuasaan, harga dirinya yang tinggi, lalu sukses dengannya. Namun seseorang
yang mempelajari ilmu dengan merendahkan hati (bahkan mungkin dirinya tapi
di hadapan firman Allah) dan kehidupan yang sempit (bisa jadi dia orang kaya
tapi saking semangatnya belajar, akhirnya dia tidak sempat menikmati uangnya
sendiri, sehingga jika dibandingkan dengan orang miskin maka hampir sama),
lalu dia berkhidmat kepada ahli ilmu (melayani ahli ilmu, beradab di hadapan
mereka), mereka yang akan sukses.”
Sebenarnya ketika kita datang ke majelis, salah satu filosofinya kita tawadhu di
hadapan Allah karena kaidah umum di masyarakat, yang datang itu yang paling
kecil. Makanya berkah karena harus tawadhu di hadapan ilmu.
“Tidak akan sukses belajar ilmu agama, orang yang minder dan orang yang
sombong.”
Tugas kita bukan hanya belajar semata, namun selaras dengan Allah Subhanahu
wa Ta’ala kehendaki, yakni belajar dengan metode Rabbaani. Pertanyaan
besarnya, apa itu Rabbaani?
“Rabbaani adalah orang-orang yang mendidik manusia mulai dari hal-hal yang
_basic sebelum perkara-perkara yang besar dan sulit.”_shahih albukhari bab
al'ilmu qoblal qouli wal 'amal
“Dan dalam dunia ilmu kita butuh kelembutan, yaitu belajar sedikit demi sedikit
(step by step). Dan metode sebaliknya bisa dikategorikan kasar dalam belajar.”
Sebagai analogi, jika anak kecil yang baru memulai belajar telah menyukai
mata pelajaran matematika namun jika oleh gurunya diberikan soal algoritma,
maka besar kemungkinan kecintaan sang anak kecil pada matematika akan
luruh sekejap.
Inilah sebagai suatu kesimpulan, kalau mau sukses maka belajarlah dengan
bertahap, pelan-pelan dan pelajari satu per satu karena itu adalah metode para
ulama kita.
Karena ini adalah konsep Allah Subhanhu wa Ta’ala. Sebagaimana apa yang
telah Allah firmankan dalam menjawab metode turunnya Al Qur’an dari orang-
orang kafir:
Salah satu ilmu yang harus kita prioritaskan selain akidah, iman, ibadah-ibadah
yang wajib, adalah adab, seperti yang dikatakan Al Imam Ibnul Mubarok:
_“Dulu ulama kita belajar adab dulu sebelum belajar ilmu.”_ghoyatun nihayah
1/446
Adab akan membuat ilmu kita berjalan paralel. Ilmu yang akan membuat kita
menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah. Itu akan membuat banyak
permasalah clear dengan sendirinya karena mempunyai adab.
Contoh dalam masalah adab, telah diaplikasikan pada kisah nyata tatkala terjadi
dialog dua ulama besar dari dua madzhab yang berbeda,
Ibnu Hazm Al Andalusi (Madzhab Zhahiri) dan Abul Walid Al Baaji
(Madzhab Malikiyah). (Mu'jamul Udaba' 4/1651)
Sulit dipungkiri pertemuan perbedaan yang banyak dalam keilmuan, selain itu
perbedaan semakin diperjarak pula oleh status ekonomi dari kedua ulama besar
tersebut, Ibnu Hazm yang kaya raya dan Abul Walid yang tidak banyak harta
dengan pekerjaannya sebagai penjaga keamanan.
Dialog diskusi yang terjadi sangat menegangkan namun memiliki akhir yang
luar biasa. Di mana Abul Walid Al Baaji mengatakan di akhir argumennya:
“Ibnu Hazm, kalau aku salah, saya minta maaf karena mayoritas muroja’ah
saya ketika saya berada di bawah lampu malam yang temaram.”
”Anda juga harus memaafkan saya kalau saya ada salah dalam berdebat karena
saya belajar selama ini mayoritasnya di atas mimbar-mimbar emas dan perak.”
Abul Walid Al Baaji berdalil dengan faktor materi, artinya beliau tidak
mempunyai fasilitas yang menunjang belajar beliau. Sedangkan Ibnu Hazm
menjawab secara psikis karena fasilitas yang membuat kita nyaman rentan
membuat kita terlena. Dapatlah dibayangkan jikalau kita belajar di atas kursi
nyaman yang dapat memijat nan empuk, sungguh akan sulit sekali ilmu dapat
masuk ke dalam sanubari. Dan ketahuilah, hal tersebut justru lebih berbahaya,
karena hati di-nina-bobokan.
Point yang ingin kita petik adalah lihat bagaimana adab diantara dua ulama ini,
mereka saling meminta maaf di akhir debat. Mereka ketika saling mengkritisi,
murni karena cemburu terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.