Sebagai sebuah khas agama, istilah syariat selalu identik dengan teologi Islam. Seperti
kalimat, Al-Quran adalah sumber pertama dari syariat Islam. Meskipun sebenarnya istilah ini
sudah ada sejak sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, namun di
lingkungan masyarakat Indonesia istilah syariat lebih populer identik dengan Islam.
Untuk mendapatkan definisi lebih jelas tentang makna syariat dalam Islam, maka kita perlu
merujuk kepada kamus literatur bahasa Arab.
Syariat berasal dari kata dasar sya-ra-‘a (ع – يَشرعَ )ش ََرyang artinya memulai, mengawali,
memasuki, memahami. Atau diartikan juga dengan membuat peraturan, undang-undang,
syariat. Syar’un ( )شَرعdan syir’atan ( ) ِشر َعةmemiliki arti yang sama: ajaran, undang-
undang, hukum, piagam.
Ibnu Manzhur berkata: “Syari’at, syara’, dan musyarra’ah adalah tempat-tempat di mana air
mengalir turun ke dalamnya. Syir’ah dan syari’ah dalam percakapan bangsa Arab memiliki
pengertian syir’atul ma’, yaitu sumber air, tempat berkumpulnya air, yang didatangi manusia
lalu mereka meminum airnya dan mengambil airnya untuk minum…. Bangsa Arab tidak
menamakan tempat-tempat berkumpulnya air tersebut syari’at sampai air tersebut banyak,
terus mengalir tiada putusnya, jelas dan bening, dan airnya diambil tanpa perlu menggunakan
tali.” (Lisanul ‘Arab, 8/174)
Masih dalam tinjauan etimologi, syariat juga diartikan dengan mazhab atau ath-Thariqah al-
Mustaqimah: metode yang lurus. (Al-Mukhtar min Shihhatil Lughah, 265; Al-Madkhal li
Dirasati asy-Syari’ah, Abdul Karim Zaidan, 38)
Ternyata, kata syariat juga terdapat dalam al-Quran. Dalam al-Quran, kata syariat
baik berbentuk kata kerja (verb), kata benda, ataupun kata sifat terdapat dalam
beberapa ayat dalam surat Al-Jatsiyah, Al-Maidah, Al-A’raf, Asy-Syura
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama
itu)…” (QS. Al-Jatsiyah: 18)
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS. Al-
Maidah: 48)
“…ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-
ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari
yang bukan Sabtu…” (QS. Al-A’raf: 163)
1
STUDI ISLAM 3
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu…” (QS. Asy-Syura: 13)
Dalam khazanah ilmiah Islam, para Ulama mendefinisikan istilah syariat Islam dengan
kalimat yang cukup beragam. Imam Al-Qurthubi mendefinisikan syariat Islam sebagai agama
yang Allah syariatkan kepada hamba-hamba-Nya.” (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 19/154)
Ibnu Taimiyah mendefinisikan syariat Islam sebagai menaati Allah, menaati Rasul-Nya,
dan para pemimpin dari kalangan kita (orang-orang beriman). Pada hakekatnya syariat
adalah menaati para rasul dan berada di bawah ketaatan kepada mereka. (Majmu’
Fatawa, Ibnu Taimiyah, 19/309)
Imam Ibnu Atsir Al-Jazari menitikberatkan definisi Syara’ dan syariat kepada agama yang
Allah syariatkan atas hamba-hamba-Nya, yaitu agama yang Allah tetapkan bagi mereka dan
Allah wajibkan atas diri mereka. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 2/460)
Sementara Dr. Umar bin Sulaiman Al-Asyqar mengungkapkan definisi yang lebih rinci
bahwa syariat adalah hukum-hukum yang Allah tetapkan di dalam kitab-Nya atau datang
kepada kita melalui jalan rasul-Nya di dalam sunnah beliau, tidak ada bedanya apakah
hukum-hukum tersebut dalam bidang akidah, amal, ataupun akhlak.” (Al-Madkhal ila Asy-
Syari’ah wa Al-Fiqh Al-Islami, 14)
Doktor Athiyah Fayyadh dalam tulisannya yang berjudul Kaidah dan Neraca dalam
Memahami Syariat dan Filsafatnya membagi terminologi syariat ke dalam dua definisi
makna umum dan khusus
Menurut Athiyah Fayyadh, dari segi makna umum, syariat adalah seluruh hukum-hukum
yang dibebankan Allah ‘azza wajalla kepada hamba-Nya yang telah dijelaskan kepada
mereka dalam wahyu-Nya dan oleh lisan rasul-Nya.
Definisi ini beliau simpulkan melalui hasil penelitian (Istiqra’) terhadap beberapa definisi
yang telah dijelaskan oleh para Ulama seperti Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Manna’ Qathan,
dan Abdul Karim Zaidan.
Keluasan cakupan definisi syariat yang menjangkau seluruh aktivitas manusia (akidah, moral,
ibadah, pekerjaan, politik, hukum, kekuasaan, dan warisan atau pemberian) ini
mengindikasikan bahwa syariat itu adalah sempurna dan dengan sumber yang sudah jelas-
jelas valid; firman Allah ‘azza wajalla dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh sebab itu, Syaikh Abdul Karim Zaidan menyebut syariat sebagai padanan dari kata al-
Millah dan kata ad-Diin. Hukum-hukum yang disyariatkan Allah ‘azza wajalla adalah
sebagai syariat dari segi sumber, deskripsi, dan kelurusannya, dan disebut ad-Diin dari segi
kepada siapa ketundukan dan peribadatan ditujukan, dan disebut al-Millah dari segi perintah
pelaksanaannya bagi manusia.
2
STUDI ISLAM 3
Sebagian ulama menggunakan istilah syariat secara lebih khusus yang hanya mencakup
makna sebagian saja dari hukum-hukum syar’i karena sebab dan kebutuhan tertentu.
Ada ulama yang menggunakan istilah syariat untuk dihadapkan dengan istilah akidah (al-
Aqidah) sehingga dalam konteks tersebut definisi syariat bergeser sedikit menjadi hukum-
hukum fisik (al-Ahkam al-‘Amaliyah) dan definisi akidah menjadi persoalan-persoalan
keyakinan (al-I’tiqad) dan iman (al-Iman).
Contoh penggunaan definisi ini adalah nama kitab yang ditulis oleh syaikh Syaltut, “Al-Islam
‘Aqidatan wa syari’atan”. Dalam buku tersebut, Syaikh Syaltut mendefinisikan syariat
sebagai aturan (nidzam) yang disyariatkan oleh Allah ‘azza wajalla sebagai sebuah aturan
untuk dirinya dalam merawat hubungan antara diri manusia dengan Rabbnya, hubungan
manusia dengan saudara sesama muslim, hubungan manusia dengan sesama manusia (non-
muslim), hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan kehidupan.
Selain itu, ada pula yang menggunakan istilah syariat untuk dihadapkan dengan istilah fikih
(Al-Fiqh) sehingga dalam konteks ini syariat didefinisikan dengan hukum-hukum yang
diturunkan oleh Allah ‘azza wajalla, sementara fikih bermakna hukum hasil ijtihad para
mujtahid. Definisi seperti ini digunakan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah (Asy-Syar’u al-
Mu’awwalu).
Istilah syariat juga digunakan oleh sebagian ulama dalam definisi sebagai hukum-hukum
yang sumbernya adalah wahyu, ketika istilah syariat ini dihadapkan dengan istilah Qanun
dimana dalam konteks ini Qanun didefinisikan sebagai hukum-hukum yang dibuat oleh
manusia dan diterapkan untuk diri mereka pula.
Syaikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa (19/309) menjabarkan dengan kalimat yang
cukup menarik tentang hakikat syariat :
“Manusia tidak lepas dari syariat dalam urusan apapun sepanjang kehidupannya, bahkan
setiap hal yang mengantarkannya kepada kebaikan semua ada dalam syariat. Mulai dari
perkara ushul, perkara furu’, persoalan kehidupan, pekerjaan, politik, muamalah, dan
lainnya.”
Pertama, memelihara atau melindungi agama dan sekaligus memberikan hak kepada
setiap orang untuk memilih antara beriman atau tidak, karena, “Tidak ada paksaan
dalam memeluk agama Islam” (QS. Al Baqaarah, 2:256). Manusia diberi kebebasan
mutlak untuk memilih, “…Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman,
dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS. Al Kahfi, 18:29).
3
STUDI ISLAM 3
Pada hakikatnya, Islam sangat menghormati dan menghargai hak setiap manusia, bahkan
kepada kita sebagai mu’min tidak dibenarkan memaksa orang-orang kafir untuk masuk Islam.
Berdakwah untuk menyampaikan kebenaran-Nya adalah kewajiban. Namun demikian jika
memaksa maka akan terkesan seolah-olah kita butuh dengan keislaman mereka, padahal
bagaimana mungkin kita butuh keislaman orang lain, sedangkan Allah SWT saja tidak butuh
dengan keislaman seseorang. Tetapi bila seseorang dengan kesadarannya sendiri akhirnya
masuk Islam, maka wajib dipaksa oleh Ulul Amri untuk melaksanakan Syariat Islam.
Dengan memilih muslim, maka tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak melaksanakan
kewajibannya. Seandainya ada seorang muslim tidak shalat, hal ini “bukan hanya” urusan
pribadi tapi menjadi urusan semua muslim terutama Ulul Amri. Jika ada seorang muslim
tidak melaksanakan kewajiban shalat karena dia tidak yakin akan kewajiban shalat, maka
Empat Mahzab dan jumhur (mayoritas) ulama sepakat menyatakan yang bersangkutan kafir.
Yang karenanya harus dihukumkan kafir, artinya bila dalam tiga hari dia tidak segera sadar,
maka dihukumkan sebagai murtad yang halal darahnya sehingga Ulul Amri bisa menjatuhkan
hukuman mati. Tapi, seandainya tidak shalatnya yang bersangkutan bukan karena tidak
yakin, tapi karena alasan malas misalnya, maka dalam hal ini “tiga” mazhab (Syafi’i, Hanafi,
Maliki) menyatakan yang bersangkutan berdosa besar, sementra Mazhab Hambali tetap
mengkafirkannya.
Lalu bagaimana Ulul Amri menerapkan hukum bagi muslim yang tidak shalat karena malas?
Pertama, Ulul Amri tentu saja berkewajiban mengingatkannya. Andaikata yang bersangkutan
tetap tidak mau shalat padahal sudah diingatkan oleh Ulul Amri, menurut Mahzab Syafei dan
Maliki, yang bersangkutan wajib dihukum mati. Imam Hanafi, sependapat dengan Mahzab
Syafei dan Maliki, bahwasanya yang bersangkutan tidak bisa dihukumkan kafir, karena
memang alasannya malas bukan mengingkari hukum Allah. Tetapi Imam Hanafi tidak
sependapat dengan hukuman mati, karena selama tidak kafir berarti haram darahnya.
Pandangan beliau, Ulul Amri harus memberikan hukuman kepada yang bersangkutan dengan
dipenjara sampai yang bersangkutan sadar dan mau shalat. Sedangkan Mahzab Hambali,
berpendapat dan berkeyakinan, bahwa seorang yang mengaku muslim lalu tidak shalat apa
pun alasannya apakah karena tidak yakin atau malas, maka yang bersangkutan harus
dihukumkan kafir. Beliau berpegang teguh kepada hadits Rasulullah Saw yang menyatakan,
“Perbedaan antara muslim dan kafir adalah meninggalkan shalat”.
Yang kedua, “melindungi jiwa”. Syariat Islam sangat melindungi keselamatan jiwa seseorang
dengan menetapkan sanksi hukum yang sangat berat, contohnya hukum “qishash”. Di dalam
Islam dikenal ada “tiga” macam pembunuhan, yakni pembunuhan yang “disengaja”,
pembunuhan yang “tidak disengaja”, dan pembunuhan “seperti disengaja”. Hal ini tentunya
dilihat dari sisi kasusnya, masing-masing tuntutan hukumnya berbeda. Jika terbukti suatu
pembunuhan tergolong yang “disengaja”, maka pihak keluarga yang terbunuh berhak
menuntut kepada hakim untuk ditetapkan hukum qishash/mati atau membayar “Diyat”
(denda). Dan, hakim tidak punya pilihan lain kecuali menetapkan apa yang dituntut oleh
pihak keluarga yang terbunuh. Berbeda dengan kasus pembunuhan yang “tidak disengaja”
atau yang “seperti disengaja”, di mana Hakim harus mendahulukan tuntutan
hukum membayar “Diyat” (denda) sebelum qishash.
Bahwasanya dalam hukum qishash tersebut terkandung jaminan perlindungan jiwa, kiranya
dapat kita simak dari firman Allah SWT: “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan)
hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah,
2:179). Bagaimana mungkin di balik hukum qishash dapat disebut, “ada jaminan
4
STUDI ISLAM 3
kelangsungan hidup”, padahal pada pelaksanaan hukum qishash bagi yang membunuh maka
hukumannya dibunuh lagi ? Memang betul, bila hukum qishash dilaksanakan maka ada “dua”
orang yang mati (yang dibunuh dan yang membunuh), tapi dampak bila hukum ini
dilaksanakan, maka banyaklah jiwa yang terselamatkan. Karena seseorang akan berfikir
beribu kali bila mau membunuh orang lain, sebab risikonya dia akan diancam dibunuh lagi.
Kalau seorang pencuri terbukti benar bahwa dia mencuri, maka hukuman yang dijatuhkannya
adalah potong tangan, maka seumur hidup orang akan mengetahui kalau dia mantan pencuri.
Demikian pula, kalau seorang perampok dijatuhi hukuman potong tangan kanan dan kaki kiri
secara bersilang, maka dia seumur hidupnya tidak akan dapat membersihkan dirinya bahwa
dia mantan perampok. Dampak dari hukuman ini akan dapat membawa ketenangan dan
kenyamanan hidup bermasyarakat dan bernegara.
Yang keempat, “melindungi akal”. Permasalahan perlindungan akal ini sangat menjadi
perhatian Islam. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah Saw menyatakan, “Agama adalah
akal, siapa yang tiada berakal (menggunakan akal), maka tiadalah agama baginya”. Oleh
karenanya, seseorang harus bisa dengan benar mempergunakan akalnya. Seseorang yang
tidak bisa atau belum bisa menggunakan akalnya atau bahkan tidak berakal, maka yang
bersangkutan bebas dari segala macam kewajiban-kewajiban dalam Islam. Misalnya dalam
kondisi lupa, sedang tidur atau dalam kondisi terpaksa. Kesimpulannya, bahwa hukum Allah
hanya berlaku bagi bagi orang yang berakal atau yang bisa menggunakan akalnya.
Betapa sangat luar biasa fungsi akal bagi manusia, oleh karena itu kehadiran risalah Islam di
antaranya untuk menjaga dan memelihara agar akal tersebut tetap berfungsi, sehingga
manusia bisa menjalankan syariat Allah dengan baik dan benar dalam kehidupan ini.
Demikian pula, agar manusia dapat mempertahankan eksistensi kemanusiaannya, karena
memang akallah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk Allah yang lain.
Untuk memelihara dan menjaga agar akal tetap berfungsi, maka Islam mengharamkan segala
macam bentuk konsumsi baik makanan, minuman atau apa pun yang dihisap misalnya, yang
dapat merusak atau mengganggu fungsi akal. Yang diharamkan oleh Islam adalah khamar.
Yang disebut khamar bukanlah hanya sebatas minuman air anggur yang dibasikan seperti di
zaman dahulu, tapi yang dimaksud khamar adalah, “setiap segala sesuatu yang membawa
akibat memabukkan” (Al Hadits).
Keharaman Khamar sudah sangat jelas, di dalam QS. Al Maidah ayat 90 Allah SWT
menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
5
STUDI ISLAM 3
Kalau khamar sudah dinyatakan haram, maka keberadaannya baik sedikit maupun banyak
tetap haram. Suatu saat salah seorang sahabat mau mencoba mencampur khamar dengan obat,
namun karena kehati-hatiannya maka ditanyakanlah tentang hal ini kepada Nabi Saw
sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Nabi Saw bersabda:
“Thariq bin Suwaid Ra bertanya kepada Nabi Saw tentang khamar dan beliau melarangnya.
Lalu Thariq berkata, “Aku hanya menjadkannya campuran untuk obat”. Lalu Nabi Saw
berkata lagi, “Itu bukan obat tetapi penyakit”. Bahkan lebih tegas lagi Nabi Saw menyatakan,
“Allah tidak menjadikan penyembuhanmu dengan apa yang diharamkan” (HR Al Baihaqi).
Dalam hadits lain yang diriwayatkan Abu Daud, Nabi Saw menyatakan, “Sesungguhnya
Allah menurunkan penyakit sekaligus dengan obatnya, oleh karena itu carilah obatnya,
kecuali satu penyakit yaitu penyakit ketuaan”. Sedangkan, dalam hadits Riwayat Bukhari dan
Muslim, Nabi saw menyatakan, “Allah menurunkan penyakit dan menurunkan obatnya,
diketahui oleh yang mengetahui dan tidak akan diketahui oleh orang yang tidak mengetahui”.
Betapa kerasnya peringatan ini yang dinyatakan, bahwa berjudi dan minum khamar adalah
perbuatan syaitan, karena dia lambat laun dapat menghilangkan fungsi akal sehingga tidak
mungkin yang bersangkutan bisa melaksanakan kewajibannya sebagai hamba-Nya.
Sebaliknya, Allah SWT sangat menghargai orang-orang yang berhasil mengembangkan
fungsi akalnya dengan benar sesuai dengan syariat-Nya. Allah SWT berfirman: “Adakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS.Az Zumar,39:9).
Juga dalam firman-Nya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-
Nya hanyalah ‘Ulama” (QS. Faathir, 35:9).
Yang kelima, “melindungi harta”. Yakni dengan membuat aturan yang jelas untuk bisa
menjadi hak setiap orang agar terlindungi hartanya di antaranya dengan menetapkan hukum
potong tangan bagi pencuri. “Laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Qs. Al Maa-idah, 5:38). Juga
peringatan keras sekaligus ancaman dari Allah SWT bagi mereka yang memakan harta milik
orang lain dengan zalim, “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka Jahannam) (QS. An Nisaa, 4:10).
6
STUDI ISLAM 3
“Sampainya seorang mukallaf kepada suatu batasan, yang mana jika dia tidak tidak
mengambil hal yg dilarang (diharamkan) maka ia akan binasa atau mendekati binasa”
(Qooidatud Dhoruuraat Tubiihul Mahdzuuraat Watathbiiquha Al-Mu’aashiroh Fil Fiqhil
Islamiy,Doktor Hasan As-Sayyid khottob,hal : 155,Majallatul Ushuul Wan-Nawaazil)
Berkata Al-Imam Asy-Syathibiy :
” Darurat adalah sesuatu yang harus dilakukan demi terciptanya maslahat agama dan
dunia,yang mana jika tidak maka tidak didapatkan kemaslahatan dunia lurus,justru malah
timbul kerusakan dan kegaduhan serta hilangnya jiwa,disisi lain hilangnya kejayaan dan
kenikmatan,dan kembali dengan kerugian yang nyata (Al-Muwafaqqot,Asy-Syathibiy,jilid
II,Hal : 17 – 18,cet,Darul Ibnil Qoyyim)
Berikut juga defenisi Dhorurat menurut Syaikh Doktor Sa’ad bin Naashir bin Abdul Aziz
Asy-Syitsriy Hafidzohullah :
“Apa saja yang jika seorang hamba meninggalkannya maka ia akan terkena
mudhorot,dimana tidak ada jalan lain selain itu” (Syarhul Mandzumah As-Sa’diyyah Fil
Qowaa’idil Fiqhiyyah,Syaikh Doktor Sa’ad bin Naashir bin Abdul Aziz Asy-Syitsriy,Hal :
70,cet,Daarul Kunuuz Isybiiliya)
Dari defenisi-defenisi diatas teranglah bagi kita bahwa darurat adalah suatu keadaan
dimana seseorang tidak mendapatkan jalan lain kecuali jalan harom,contoh simpelnya :
7
STUDI ISLAM 3
Seseorang tidak makan berhari-hari sebab tidak memiliki makanan kecuali daging babi,maka
dia boleh memakan daging babi tersebut,dengan alasan darurat,dengan syarat memakan
sekedarnya saja.
Tentunya ini berseberangan dengan apa yang difahami oleh sebagian orang awam yang suka
berbuat dosa dengan dalil darurat.
Ada yang kerja di Mall, rela buka aurat atau kerja di Bank ribawiy atau juga melacur tiap
malam dengan alasan darurat, maka kita katakan ini harom, sama sekali itu bukan darurat
,kenapa ? Karena disana masih bisa didapatkan kerja halal selain itu.
Apakah anda mati jika tidak kerja di Mall yg wajib buka aurat ? Apa anda mati jika tdk kerja
di bank ribawiy ? apa anda mati jika tidak tidak melacur ? tentunya nggak kan ?? Kalau
begitu itu bukan darurat.
Kalau boleh saya sederhanakan “DARURAT” itu hanya ada jika anda tidak menemukan cara
lain selain cara harom,jika anda masih mendapatkan cara yang halal maka tidak ada kata
“Darurat”.
“Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang Dia haramkan, kecuali
yang terpaksa kalian makan.”[QS. Al-An’am 119]
“Siapa yang dalam kondisi terpaksa memakannya sedangkan ia tidak menginginkannya dan
tidak pula melampaui batas, maka ia tidak berdosa. Sesungguhnya Allah Maha pengampun
lagi Maha penyayang.”[Q S. Al-Baqarah 173]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ketika mengomentari kaidah ini,
beliau mengutip dalil yang menjadi dasar kaidah ini atau dasar bolehnya melakukan hal yang
terlarang dalam keadaan darurat, dengan firman Allah,
“Siapa yang terpaksa mengonsumsi makanan yang diharamkan karena lapar, bukan karena
ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[QS. Al-
Ma’idah:3]
8
STUDI ISLAM 3
1. Darurat tersebut benar-benar terjadi atau diprediksi kuat akan terjadi, tidak
semata-mata praduga atau asumsi belaka.
Contohnya, seorang musafir di tengah perjalanan merasa sedikit lapar karena belum
makan siang. Padahal ia akan tiba di tempat tujuan sore nanti. Ia tidak boleh mencuri
dengan alasan jika ia tidak makan siang, ia akan mati, karena alasan yang ia
kemukakan hanya bersandar pada prasangka semata.
Misalnya, seorang musafir kehabisan bekal di tengah padang pasir. Ia berada dalam
kondisi lapar yang sangat memprihatinkan.Di tengah perjalanan, ia bertemu seorang
pengembala bersama kambing kepunyaannya. Tak jauh dari tempatnya berada
tergolek bangkai seekor sapi. Maka ia tak boleh memakan bangkai sapi tersebut karena
ia bisa membeli kambing atau memintanya dari si pengembala.
3. Kondisi darurat tersebut benar-benar memaksa untuk melakukan hal tersebut karena
dikhawatirkan kehilangan nyawa atau anggota badannya.
Jika seseorang dalam keadaan darurat dan terpaksa dihadapkan dengan dua pilihan:
memakan bangkai atau mencuri makanan, maka hendaknya ia memilih memakan
bangkai. Hal itu dikarenakan mencuri termasuk perbuatan yang menzalimi orang lain.
Kecuali jika ia tidak memiliki pilihan selain memakan harta orang lain tanpa izin,
maka diperbolehkan dengan syarat ia harus tetap menggantinya.
Sama halnya dengan orang yang sangat kelaparan di tengah perjalanan. ia boleh memakan
bangkai sekadar untuk menyambung hidupnya saja. Dengan kata lain tidak boleh
mengonsumsinya hingga kenyang, melewati kadar untuk menghilangkan mudarat yang
dialaminya. Di antara pengecualian kaidah ini adalah apabila seseorang dipaksa untuk
kafir, membunuh orang lain, atau berzina, maka ia tidak boleh melakukannya.
9
STUDI ISLAM 3
Apabila perbuatan seseorang mengambil atau mengonsumsi perkara yang haram itu
menyebabkan hilang atau rusaknya harta orang lain? Apakah ia wajib menggantinya ataukah
tidak? Inilah yang dibahas dalam kaidah ini. Kaidah ini menjelaskan bahwa keadaan darurat
meskipun menjadikan seseorang mendapatkan udzur untuk mengambil perkara yang haram
dan tidak berdosa ketika ia melakukannya namun tidak berarti bahwa itu juga menjadi sebab
diperbolehkannya menggugurkan (atau menghilangkan) hak orang lain. Sehingga apabila
keadaan darurat menyebabkan seseorang terpaksa mengambil atau memanfaatkan harta orang
lain maka ia tetap harus mengganti harta yang telah ia manfaatkan dari harta orang lain
tersebut.
Dalilnya
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama kamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu. [An-Nisâ’/4:29]
Setiap orang Muslim terhadap Muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya dan
kehormatannya (HR. Muslim no. 2564.)
Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan darinya. (HR. Ahmad. Lihat
Kunûz al-Haqâiq fi Hadîts Khair al-Khalâ’iq karya al-Munawi 2/175.)
Kaidah ini mengharuskan adanya dhoman (ganti rugi) atas harta yang diambil dan
dimanfaatkan oleh orang yang sedang mengalami keadaan darurat. Jika tidak demikian,
berarti itu adalah betuk menghilangkan madharat dengan madharat lainnya, atau dengan
madharat semisal, atau bahkan dengan madharat yang lebih besar dari madharat pertama, dan
ini bertentangan dengan kaidah tersebut.
Banyak permasalahan fiqih yang tercakup dalam kandungan kaidah ini. Berikut ini beberapa
contoh darinya :
1. Jika seseorang dalam keadaan lapar sehingga terpaksa memakan makanan orang lain,
maka ia wajib mengganti makanan itu atau membayar ganti rugi kepada pemiliknya.
Karena keadaan darurat tidak menggugurkan hak orang lain.
10
STUDI ISLAM 3
Dalam perkembangan medis, vaksin memang sudah ada sejak dahulu demi menjaga
kesehatan dan mencegah penyakit yang membahayakan keselamatan bahkan nyawa banyak
orang. Namun beredarnya vaksin MR yang mengandung bahan haram masih saja
diperdebatkan.
Menanggapi fenomena ini, Nawala Kantor Staf Presiden RI telah merumuskan hukum figh
untuk hal ini. Perumusan hukum fiqh dimaksudkan sebagai cara untuk mendapatkan
pencapaian maksud disyariatkan agama yang mencakup 5 hak dasar manusia (al-dlaruriyyat
al-khamsah) yakni hifdzh al-din (menjaga agama), hifdzh al-nafs (menjaga jiwa), hifdzh al-
'aql (menjaga akal sehat), hifdzh al-nasl wa al-'irdl (menjaga keturunan dan harga diri) dan
hifdzh al-mal (menjaga harta benda).
Ada banyak keadaan obyektif yang menunjukkan tingkat bahaya penyakit rubella yang
akan dialami anak usia 9-15 tahun, jika tidak mendapatkan imunisasi vaksin MR.
Dalam pandangan madzhab Hanafi dan Maliki, keadaan perubahan dari daging babi
ke dalam bentuk lain, sudah menjadi alasan perubahan sebuah hukum dari semula
haram menjadi halal. Adanya sebuah kekhawatiran tentang sebuah kejadian penyakit
berat, itu sendiri sudah termasuk menjadi prasyarat keadaan darurat.
"Sedangkan dalam pandangan madzhab Syafii, mengingat potensi dan bukti bahaya
pengabaian vaksin MR, maka keadaan tersebut sudah termasuk keadaan darurat,"
jelasnya.
Dalam fatwa yang akhir-akhir ini dikeluarkan Bin Baz, juga menyatakan penggunaan
vaksin MR adalah darurat.
Dalam posisi yang memenuhi prasyarat darurat, maka pemerintah bukan hanya saja
diperbolehkan memberikan vaksin MR kepada warga negara, melainkan bila merujuk kepada
pendapat mayoritas adalah wajib.
Keadaan darurat adalah keadaan ad hoc (sementara) dan akan hilang bilamana alasan
daruratnya telah hilang. Oleh karena itu, pemerintah harus mengusahakan agar komponen
babi dalam vaksin MR dapat digantikan unsur lain yang halal.
11
STUDI ISLAM 3
Vaksin MR memberi pembelajaran penting bagi umat Islam bahwa pembuatan vaksin MR
dan berbagai vaksin lain banyak dilakukan di negara-negara dan orang-orang yang memang
tidak berkaitan dengan tingkat hukum halal dan haram.
"Ini tantangan umat Islam yang sungguh penting dicermati. Sedangkan pembelajaran yang
perlu dipetik adalah perkembangan fiqh yang kian luas dan membutuhkan kompetensi,"
pungkasnya.
Daftar Pustaka
-oOo-
12