Anda di halaman 1dari 53

FLASHBACK MOMENT

Tiga belas tahun yang lalu.


Seorang anak laki-laki berumur 5 tahun tengah menarik-narik motor mainannya,
terlalu semangat sampai wajah anak itu memerah padam. Motor mainan yang dapat
dikendarakan, beroda empat dengan paduan warna hitam dan hijau.
“Bunda, Arthan mau main sama Beby, ya?”
Bunda mendekati anak laki-lakinya. Memasangkan helm kecil yang pas dengan
ukuran kepala Arthan. “Jangan nakal sama Beby, kalau Arthan nakal, nanti ditinggal, loh!”
“Iya, Bunda, Arthan nggak nakal!”
Setelah itu, Arthan kecil segera naik ke atas motor beroda empat dibantu oleh Bunda.
Menyalakan mesin yang bisa ia gas perlahan, sampai motor itu mengarah ke rumah milik
teman kecilnya, Beby.
“Beby, Beby! Main yuk!” Arthan menunggu jawaban. Biasanya kalau lama seperti
ini, Beby sedang siap-siap dibantu Mami untuk memakai baju. “Beby, orang ganteng ngajak
main!”
“Iya, tunggu!”
Beby dibantu Mami untuk membuka pintu tak sabaran. Kalau Arthan tidak
mengajaknya main, pasti Beby bosan. Kini, Beby kecil memakai baju serba hitam dengan
helm berwarna hitam yang baru saja ia beli. “Aku baru beli helm dong! Kamu mah lama, ya?
Butut!”
“Kok kamu ledek-ledek aku? Besok aku beli lima!” sentak Arthan sambil mengangkat
dua jarinya. “Lima! Inget, lima!”
“Itu dua! Arthan ompong!”
Beby kecil membuang muka acuh. Tanpa menunggu Arthan, Beby meluncur
mengarah ke taman bermain. Sore-sore seperti ini, dua anak itu memang rutin keluar untuk
bermain dengan anak seusia mereka, walaupun terkadang, Arthan ngambek sendiri.
“Beby pendek, tunggu aku!”
“Masa kamu nggak bisa kejar aku? Payah kamu, Arthan ompong!”
Diledek seperti itu, Arthan kesal sendiri. Anak itu mempercepat lacu motor
mainannya yang hanya perlu menekan tombol. Sampai akhirnya ia berhasil membalap Beby
dan seperti biasanya, Arthan menatap Beby tengil. “Aku duluan!”
Arthan lebih dulu sampai, lalu beberapa detik kemudian disusul oleh Beby. “Kamu
curang, ompong!”
“Aku nggak ompong! Aku ganteng!” sentak Arthan tak terima. “Arthan paling
ganteng mirip Ayah, tapi tetep gantengan Arthan.”
Beby mengangkat bahunya acuh, ia turun dari motor mainan dan berlari ke arah
taman. Matanya menemukan teman yang kemarin baru saja bertemu dengannya. Keceriaan
wajah Beby terlihat saat teman barunya melambaikan tangan.
“Beby!” panggil teman itu.
“Kamu sendirian lagi?” tanya Beby.
Anak laki-laki seusia Beby mengangguk pelan, sorot matanya lembut sekali. “Papa
aku lagi di rumah temen, kamu sendiri?”
“Aku sama dia lagi.” Beby menunjuk Arthan yang tengah berkacak pinggang kesal,
wajah Arthan sangat tidak bersahabat.
“Kok muka dia serem?” tanya si teman.
“Dia emang serem, kayak kodok!” celetuk Beby.
Kemudian, Beby dan teman barunya saling bergandeng tangan, berjalan ke arah
ayunan kecil. Hal itu tentu membuat Arthan kecil mengembungkan pipinya sebal, wajah julid
Arthan terlihat. Ia berkacak pinggang, melangkah kasar mendekati dua sejoli yang
mendiamkannya. Arthan menendang bokong laki-laki di samping Beby, lalu menabrak kaitan
tangan dua orang itu sampai terlepas. “Kamu punya uang berapa?!”
“Uang?”
“Iya! Aku punya yang warna merah!” Arthan mengorek kantungnya lalu
mengeluarkan uang selembar berwarna merah muda. Ia lambaikan di depan wajah teman
baru Beby untuk menyombongkan diri.
Begitupun dengan laki-laki yang langsung Arthan anggap musuh, tidak mau kalah,
anak laki-laki itu meraih uang dua lembar di kantung bajunya. “Aku punya dua, warnanya
abu-abu, kamu kayak cewek! Sukanya warna pink!”
Arthan melotot emosi. Apa katanya?! Kayak cewek?! Kembali ia lirik uang selembar
berwarna merah muda di tangan mungilnya, wajah Arthan berubah sedih. Kenapa uang
miliknya hanya satu lembar sedangkan milik orang di depannya ada dua berwarna abu-abu?
“Kamu mau tukeran nggak?” tawar Arthan menyodorkan yang merah mudanya. “Aku
nggak suka warna pink.”
Musuh barunya berpikir sebentar, melirik Beby yang hanya melihat interaksi dua laki-
laki seumurannya. Setelah bertengkar dengan pikirannya masing-masing, orang di depan
Arthan menyodorkan dua lembar uang berwarna abu-abu. “Nih!”
“Yeay!” Arthan segera menarik uang dua lembar itu, lalu ia berikan uang merah
mudanya tanpa beban. “Punya aku lebih banyak dong!” Arthan menendang tulang kering
Beby. “Kamu nggak mau main sama aku aja? Uang aku ada dua loh! Dia cuma satu.”
“Nggak mau, ah! Kamu oon!” Beby segera menarik pergelangan tangan teman
barunya lalu keduanya melangkah ceria. Arthan yang ditinggal sendiri, mulai merenung,
menunduk melas, perlahan isakan tangis anak berusia 5 tahun itu terdengar. Air matanya
turun.
“HUAA, BUNDA!” Berlari kencang layaknya seorang tokoh film yang paling
tersakiti di dunia, Arthan naik ke atas motor mainannya lalu ia tekan tombol hidup dengan
kecepatan yang lumayan kencang. Jika saja cuaca mendung, Arthan sangat cocok
memerankan seorang laki-laki yang habis diselingkuhi.
Sampai di depan rumah, Arthan menendang motor mainannya sampai jatuh lalu
berlari masuk ke dalam rumah. “BUNDA!” Sesenggukan ciri khas anak kecil, Arthan
memeluk kaki bundanya. “Beby nggak mau main sama Arthan lagi, Bunda! Arthan kesel!
Kata Beby, Arthan oon!”
“Kok Beby bilang gitu?” sahut Bunda tenang, berjongkok agar menyamai tinggi anak
bungsunya. Bunda menghapus air mata Arthan kecil. “Kenapa Beby nggak mau main sama
Arthan?”
Arthan menggeleng pelan, masih menangis keras. “Arthan nggak tau! Pokoknya Beby
nyebelin, Bunda! Arthan nggak mau baikkan lagi sama si pendek!”
“Arthan, Arthan!” panggil Beby dari luar rumah.
Itu suara Beby. Untuk apa perempuan itu mendatanginya? Arthan jual mahal. Laki-
laki itu melangkah ke sofa lalu duduk dengan tangan yang melipat di depan dadanya. Arthan
mengembungkan pipi, artinya anak laki-laki itu tengah dalam mode ngambek. “Bunda,
bilangin Beby nggak boleh masuk!”
“Arthan!” pekik Beby kecil berlari ke arah Arthan. Ia membawa sebuah boneka di
tangannya, bahkan karena boneka itu terlalu besar, Beby jadi agak kesulitan melihat jalan.
“Aku punya ini!”
“Kamu nggak usah sok baik, Beby pendek!”
“Liat dulu! Aku punya boneka buat kamu,” ucap Beby menyodorkan sebuah boneka
berwarna ungu dengan ukuran yang lumayan besar. “Boneka terong!”
Arthan menoleh sebentar, matanya tertuju pada boneka besar berwarna ungu yang
Beby pegang. Setelah itu, Arthan merebut boneka ungu berbentuk terong, matanya berbinar
senang. Jatuh cinta pandangan pertama dengan boneka terong itu. “Buat aku?”
“Iya, aku juga punya di rumah. Kemarin Mami Papi beliin dua, aku kasih kamu
satunya.”
Mendengar itu, wajah Arthan kecil memerah padam. “Kenapa nggak buat temen
kamu tadi aja?!”
“Aku, kan, sukanya main sama kamu,” jawab Beby enteng.
“Berarti ini spesial dong?” pancing Arthan.
Beby mengangguk santai. “Iya, disimpen, ya, boneka terongnya. Nanti, kalau kita
udah besar, kita sombongin ke orang-orang, setuju nggak?”
“SETUJU!” pekik Arthan antusias.
Keduanya asyik bagai dunia milik bedua. Arthan kembali ceria, tidak ngambek seperti
sebelumnya. Karena memang sebenarnya, Arthan tidak bisa mendiami Beby lama-lama.
Beby juga selalu mudah untuk membujuk agar tidak marah lagi.
“Aku mau pulang, ngantuk.” Beby langsung turun dari sofa yang agak tinggi lalu
berlari keluar rumah Arthan.
Arthan tersenyum senang. Saat itu juga, ia jatuh cinta dengan boneka terong berwarna
ungu yang ukurannya sebesar tangan Arthan. Anak laki-laki itu berlari dan naik ke tangga
untuk masuk ke dalam kamarnya. “Boneka terong!” Jingkrak-jingkrak sendiri, Arthan yang
masih berusia 5 tahun memeluk boneka terong erat. “Beby ngasih buat aku? Beby suka kali,
ya, sama aku? Tapi kata Bang Rafi, Beby nggak suka sama cowok yang belum sunat.” Arthan
kembali dilema. Sudahlah, itu urusan nanti. Yang terpenting sekarang, ia punya teman
untuknya tidur. “Boneka terongnya lucu! Kayak Beby! Hihihi.”
***
“Bunda, Bunda!” Arthan berlari mendekati Bunda yang sedang menyiapkan sarapan.
Arthan meraih satu lembar roti dan langsung ia masukkan ke dalam mulut kecilnya. Arthan
segera naik ke atas kursi yang agak tinggi. “Bunda.”
“Kenapa, Sayang?”
“Bunda tau nggak? Arthan dikasih boneka terong sama Beby! Berarti, Beby suka
Arthan, ya, Bunda?”
Bunda mengerutkan keningnya bingung. “Suka? Ya ampun, kamu masih kecil jangan
suka-sukaan, ah!”
“Bunda, kata Ayah, kan, Arthan ganteng. Jadi boleh suka-sukaan,” sahut Arthan
masih tegap pada pendiriannya. “Arthan, kan, udah besar! Masa nggak boleh?”
“Kamu masih 5 tahun, ganteng!” geram Bunda sebal sendiri.
Arthan itu memang keras kepala, tengil, tidak mau diatur, dan bawel sekali. Apa lagi
kalau sudah membahas teman kecilnya bernama Beby, duh! Tidak akan ada habis dalam satu
tahun. Karena bagi Arthan, temannya hanya Beby, yang lain tidak seru.
“Eh anak ganteng Ayah?” sapa Ayah mengusap kepala anak bungsunya. “Liat dong
boneka terongnya!”
Arthan mengeleng cepat, jari telunjuk mungilnya mengayun ke kanan dan kiri. “No,
no! Itu punya Arthan dari Beby. Cuma Arthan yang boleh pegang!”
“Iya deh iya.”
“Ayah, Arthan mau helm baru. Beby sombongin helm baru kemarin ke aku!”
“Arthan, main yuk!” panggil Beby dari depan pintu rumah Arthan.
“Beby, tuh,” goda Ayah menoel pipi gembul Arthan gemas. “Suruh masuk, gih!”
Mengangguk semangat, Arthan turun dari kursi dan berlari ke pintu utama. Kaki
kecilnya membutuhkan banyak langkah untuk sampai. Pintu yang sudah terbuka sejak awal
itu memudahkan Arthan. Terlihat seorang anak perempuan dengan rambut tebal yang diikat.
“Arthan!”
“Boneka terong kamu?!” tanya Arthan saat melihat Beby membawa boneka terong
miliknya.
Beby mengangguk antusias. “Iya! Aku punya yel-yel!”
“Apa-apa?”
“Salam terong!” Beby tersenyum lebar membuat jantung Arthan kecil berdebar.
“Salam terong, Arthan!” Keduanya tertawa keras walaupun entah apa yang lucu. Dua anak
itu bergandengan tangan untuk masuk ke dalam rumah Arthan. “Tadi Ayah ajak buat mandi
bola, kamu mau ikut nggak?”
Ayah yang sedang melahap roti, melirik anak bungsunya bingung. Sejak kepan ia
mengajak untuk mandi bola? Perasaan, tidak pernah. Ya sudahlah, demi anak.
“Iya, Beby mau nggak ikut sama Ayah?” tanya Ayah.
Beby bertepuk tangan ceria, anak perempuan itu mengangkat kedua tangannya untuk
di pangku Ayah. “Beby mau! Bang Rama ikut nggak, Ayah?”
“Iku—”
“Bang Rama nggak ikut, dia jelek!” cecar Arthan tak rela. Arthan melotot pada Ayah
karena hampir mengiyakan ucapan Beby. Kenapa Arthan tidak suka kalau ada Bang Rama?
Karena jika ada Bang Rama, pasti perhatian Beby beralih untuk abangnya yang menyebalkan
itu. “Kita berdua aja sama Ayah! Orang jelek, nggak boleh ikut,” ucap Arthan.
Rama yang baru muncul, melangkah ke meja makan. Laki-laki yang menginjak umur
dua belas tahun itu hanya mengangkat bahunya acuh. Pribadi Arthan dan Rama memang
sangat berbeda. Rama acuh dan Arthan berisik.
“Bang Rama, nggak mau ikut, kan?”
“Nggak,” balas Rama.
Mendengar tolakkan itu, Beby menunduk sedih. Turun dari pangkuan Ayah lalu
meminta Rama untuk memangkunya. “Bang Rama kok nggak ikut?”
“Bang Rama banyak tugas, By.”
“Tugasnya dibuang aja. Kan, kebanyakan?”
Rama terkekeh pelan, pikiran polos anak seusia Beby memang sangat unik. Dibuang
katanya? Yang ada guru akan mengamuk. Rama mencubit pipi gembul Beby, gemas sekali.
“Anak siapa, sih, ini?”
“Anak Mami Papi!”
“Namanya siapa?’
“Beby!” seru Beby senang.
Tentu saja hal itu membuat kecemburuan Arthan muncul. Beby itu temannya, Beby
hanya boleh berteman dengan Arthan. Bagi Arthan, selain dirinya, berarti orang itu jelek, dan
Beby tidak boleh berteman dengan orang jelek. Titik tanpa koma!
“Bang Rama, sana pergi sekolah!” usir Arthan. “Beby, kan, temennya Arthan!”
“Yah, ada yang marah. Masa Bang Rama nggak boleh temenan sama Beby?”
Beby mengepalkan tangan kecilnya, ingin meninju hidung Arthan sampai berdarah.
Namun, Rama menahan kekuatan yang tidak terasa sama sekali. “Arthan ompong! Kamu
nggak boleh gitu sama Bang Rama!”
“Tapi kamu temen aku! Terus maksud kamu kasih aku boneka terong itu, apa?!”
Membuang wajahnya kesal, Beby mencibir Arthan. Beby, kan, juga mau bermain
sama yang lain, bukan Arthan saja! Anak laki-laki itu memang sangat pencemburu. Masa
tidak boleh main dengan yang lain?! Dasar ompong!
“Bang Rama?” tanya Beby tibaa-tiba.
“Iya?”
“Nikah itu, apa?”
Rama mengerutkan keningnya. “Nikah? Beby tau bahasa itu dari mana?”
“Dari dia!” tunjuknya pada Arthan. “Kemarin, habis balapan, dia ajak aku nikah.
Katanya biar kayak Mami Papi?”
“Terus, Beby mau?”
“MAU!”
“Astagfirullah,” sebut semua yang ada di ruang makan.
Pola pikir Arthan dan Beby di usia 5 tahun membuat orang di sekitar mereka sangat
pusing. Apa lagi Arthan, bisa-bisanya anak itu mengajak nikah?
“Bang Rama, liat boneka itu,” tunjuk Arthan pada boneka terong Beby. “Arthan
dikasih juga sama Beby, katanya spesial buat Arthan!”
Beby melirik boneka terong di atas meja, ia raih kembali lalu ia peluk erat. “Soalnya
Arthan bilang dia suka motor.”
“Terus, apa hubungannya?” tanya Bunda.
“Nggak ada, Bunda. Beby cuma suka sama Arthan aja.”
Mendengar itu, Arthan cepat menoleh, melirik Beby kaget. “Kamu suka aku?”
“Iya, kamu suka aku nggak?” tanya Beby balik.
Arthan senyum-senyum sendiri. Ia melipat kedua tangannya di atas meja, lalu
menundukkan kepala. “Aku juga suka Beby!”
“Heh, anak kecil! Tadi nikah, sekarang suka-sukaan, astagfirullah!” Bang Rama
menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
Hari ini, anak perempuan berumur 5 tahun itu tengah sibuk dengan dunianya sendiri.
Beby membolak-balikkan boneka terong yang dikasih oleh Mami. Boneka berwarna ungu
yang empuk, jadi bisa ia bawa tidur. Tiba-tiba, ia teringat hari kemarin ketika memberikan
boneka satunya lagi kepada Arthan. Beby tertawa kecil. “Si ompong itu pasti seneng deh!
Aku mau ajak dia main, tapi aku mulu. Aku tunggu dia ajak main aja deh!” ucap Beby
gengsi. “Masa harus aku yang ajak mulu.” Beby berdiri sambil memeluk boneka terong
miliknya, berlari kecil turun dari lantai atas. “Bang Rafi!”
“Iya, kenapa adikku?” sahut Rafi yang sedang mengetik di laptopnya dengan serius.
Beby mengangkat kedua tangannya untuk dipangku, Rafi peka sekali. “Abang lagi
ngerjain tugas, nih. Mainnya nanti, ya?”
“Beby kesel!”
“Kenapa? Arthan gangguin kamu lagi? Si anak belum sunat itu?”
Mengangguk semangat, Beby menggembungkan pipinya. Ia memperlihatkan boneka
terong berwarna ungu pada Rafi. “Bonekanya sama kayak Arthan.”
“Sama gimana? Masa muka si anak songong itu disamain sama boneka terong?”
“Iya!” seru Beby. “Muka si ompong kayak terong! Ungu, jelek, bau!”
“Kok aku dibilang jelek?!” Suara tak asing berteriak dari belakang mereka. Beby dan
Rafi menoleh, itu Arthan. Anak laki-laki itu berkacak pinggang, masih dengan raut wajah
tengil dan songong berpadu. “Aku ganteng! Kata Ayah, aku manusia paling ganteng!”
“Belum sunat juga, songong kau bocil!” sahut Rafi.
“Aku mau sunat besok sampai habis biar aku makin ganteng!” sarkas Arthan tak
terima, padahal itu belum bilang pada ayah dan bundanya. Ya, takut anak itu.
Rafi memperhatikan Arthan melangkah marah ke arahnya, tak lupa dengan boneka
terong yang ada dipelukan Arthan. “Emangnya udah berani sunat?”
“Udah! Aku sunat seratus kali!” Arthan mengangkat lima jarinya ganas. “Hebat, kan,
aku!”
Rafi melotot kaget. Seratus kali? Gila?! Ya sudahlah, terserah anak songong itu.
Berdebat dengan anak bernama Arthan memang tidak akan pernah selesai. “Kalian mau ke
pasar pagi nggak?” tawar Rafi sambil menutup laptopnya. “Kalau mau, ayo kita ke sana.”
“Pasar itu apa? Arthan taunya hotel sama mal!” ketus Arthan bersedekap dada.
Rafi segera merapikan alat belajarnya, berdiri sambil menggandeng dua anak itu.
“Naik mobil, ya? Kalau motor, nanti kalian malah terjun bebas.”
“Iyalah! Harus mobil, Arthan nggak bisa pakai motor.”
“Tengil banget, astagfirullah!”
Beby ketawa sendiri melihat abangnya kesal, tapi Beby juga ikut kesal. Ia tendang
tulang kering Arthan. “Sombong!”
“Sakit, pendek!”
“Kamu ompong!”
“Kamu pendek!” balas Arthan tak terima.
“Kamu masih ngedot! Belum sunat juga!”
Keduanya saling menatap marah. Arthan berkacak pinggang dan Beby bersedekap
dada. Layaknya orang dewasa ketika sedang bertengkar urusan rumah tangga.
“Kamu bau ayam!” Beby langsung membuang muka lalu berlari mengikuti Rafi yang
sudah menunggu di dalam mobil. Naik ke kursi tengah dan disusul oleh Arthan di
sampingnya.
“Kamu ngapain deket-deket aku?!”
“Aku nggak deket-deket kamu! Kamu aja yang deket-deket aku terus!” omel Beby tak
terima disalahkan.
Rafi mengacak rambutnya kasar. Pusing memang kalau membawa dua anak itu. Jika
mental tidak kuat, jangan harap akan selamat. Rafi mulai mengendarai mobil ke arah pasar
pagi, tak begitu jauh, hanya perlu memakan waktu sepuluh menit.
“Arthan, kamu masih takut sama pocong?” tanya Beby.
Arthan menoleh dengan alis menyatu. “Aku nggak takut pocong, tuh! Pocong yang
takut aku.”
“Tapi kata Bunda, kemarin malam kamu nangis karena mimpi pocong?”
“Nggak!” selak Arthan. Kenapa bundanya harus memberi tau Beby?!
Beby tertawa puas meledek Arthan. “Kamu penakut, pocong aja takut!”
“Kamu juga takut suntikan, payah!”
“Udah-udah, udah sampai, jangan berantem mulu,” lerai Rafi penat. Rafi
menggendong Beby lalu Arthan untuk turun dari mobil. Dua anak itu menggandeng tangan
Rafi. Wajah ceria mulai terlihat saat mereka melihat wahana kecil bentuk lingkaran.
“Aku mau naik itu!” tunjuk Beby.
“Itu namanya bianglala. Arthan mau juga?”
Arthan mengangguk semangat. “Mau!”
“Ayo!” Baru saja ingin melangkah, Arthan dan Beby sudah berlari dan terlepas dari
genggaman Rafi. Sangat membuat penat, bukan? Anak berusia 5 tahun itu menarik-narik
celana penjaga wahana.
“Aku mau naik itu, Pak!” pekik Beby.
Penjaga wahana mengangguk pelan. “Tunggu ini selesai, ya, Dek? Habis ini, baru deh
naik!”
“Kamu nggak boleh nolak permintaan, Beby!” omel Arthan galak. “Orang cantik
sama ganteng, harus duluan!”
“Pak, maaf. Aduh ini adik-adik saya,” ucap Rafi tak enak pada penjaga wahana yang
terlihat ingin meraung dua anak itu. “Nanti, tunggu giliran, sabar.”
Beby bersedekap dada kesal, mengeratkan pelukan boneka terong di tangannya.
“Males!” Di samping itu, melihat Beby sedang ngambek, Arthan berlari ke arah penjual
gulali berwarna merah muda di depan mereka. Ia mengeluarkan selembar uang berwarna
merah muda, pemberian dari ayah tadi pagi. “Aku mau dua!”
“Boleh, buat siapa, nih, dek?” tanya penjual gilali.
“Buat dia,” tunjuk Arthan pada Beby. “Dia lagi ngambek, Pak. Kalau dia ngambek,
harus dikasih makanan. Aku sama dia nanti mau nikah, loh!”
Penjual gulali itu mengerutkan keningnya bingung. “Nikah?”
“Iya, Bapak jomblo ya?”
Bapak itu hanya berdecak pelan. Ia menyiapkan dua gulali merah muda yang agak
besar. “Nih, dua puluh ribu.”
“Aku adanya satu ribu, pak?” Arthan menyodorkan uang selembar berwarna merah
muda. “Boleh nggak kalau satu ribu?”
“Ini namanya seratus ribu, anak ganteng!”
“Tapi, kan, cuma satu. Harusnya satu ribu, gimana, sih, pak?!” omel Arthan. Tanpa
menunggu kembalian, Arthan berbalik badan dan berlari ke arah Beby lagi.
Arthan menyodorkan gulali berwarna merah muda untuk Beby. “Buat kamu.”
“Buat aku?” tanya Beby. “Kok beliin aku gulali?”
“Kamu lagi ngambek, aku beli deh! Jangan ngambek lagi nanti cantik kamu ilang!”
“Astagfirullah!” Rafi hanya bisa mengusap dadanya sabar melihat keuwuan mereka.
Anak usia 5 tahun sudah seperti itu? Entahlah, Rafi juga sudah angkat tangan menjadi abang
mereka berdua.
“Kamu nanti mau naik bareng aku, kan?” tanya Arthan.
“Mau, kamu dideket aku, ya?”
“Aku bakal jagain kamu! Tuan putri Beby!”
Oke, sekarang Rafi harus apa? Harus jadi bagong? Sudahlah. Jadi dinding memang
menjadi pilihan terbaik.
“Ayo, naik, Nak.”
Mendengar instruksi dari penjaga wahana, Arthan segera meraih tangan mungil Beby
dan menggandeng sampai masuk ke dalam ruang yang disediakan. Satu kotak kecil. Rafi
mengikuti mereka dari belakang, kepalanya menunduk untuk masuk.
Arthan yang sadar akan kehadiran Rafi, langsung menutup pintu besi itu kencang
sampai terkena kepala Rafi. “Anak kecil nggak boleh ikut! Ini waktu berdua Arthan dan
Beby!”
“Heh, bocah!” amuk Rafi emosi. Rafi benar-benar diuji kesabarannya. Anak kecil?
Dasar tidak tahu umur. Dengan wajah pasrah, Rafi mundur agak jauh karena wahana kecil itu
mulai dijalankan, mulai memutar sampai seratus delapan puluh derajat.
“Beby, nanti kamu beneran mau nikah sama aku, kan?”
“Beneran, tapi janji ya? Harus kasih aku rumah pohon yang gede,” ujar Beby
membuat lingkaran dengan tangan kecilnya. “Arthan, tinggi banget!” pekik Beby bahagia
melihat ke arah bawah. “Arthan, liat deh!”
“Pegangan dulu.” Diraihnya tangan Beby lalu ia kaitkan. Dua anak kecil itu terlihat
sangat antusias saat sampai di bagian paling atas. Terutama Beby, tak henti-henti menebarkan
senyuman. Tidak begitu lama karena hanya dua putaran saja, mesin wahana bianglala
berhenti. Beby berdiri lebih dulu.
“Udah puas main berdua? Gue yang ajak, gue yang dijadiin kacang rebus!” omel Rafi.
Baru saja ingin membantu Beby turun dari wahana, Arthan langsung menyentak tangannya
kasar tanpa dosa.
“Kamu suka nggak sama wahananya?”
Beby mengangguk semangat. “Suka! Tapi lebih suka Arthan!”
Arthan melotot kaget, langsung bersembunyi di belakang badan Rafi untuk menutupi
rona di wajahnya. “Beby suka sama Arthan?”
“Suka! Kan, kita temen!”
“HAHAHA! TEMEN! TEMEN, THAN, TEMEN!” ledek Rafi puas.
Sedetik kemudian, Arthan mengembungkan pipinya ngambek. Anak laki-laki itu
membelakangi tubuhnya pada Beby sambil bersedekap dada. “Kamu nyebelin, pendek!”
Tak mau melihat keuwuan sekaligus keributan dua bocah itu, Rafi segera menarik
mereka untuk pulang. Jangan harapkan akan naik wahana lagi. Posisi Rafi di sini lebih
menjadi pengasuh anak, bukan seorang kakak yang menemani adiknya bermain. Sangat
menyebalkan, bukan?
Rafi membantu dua anak itu untuk naik ke bangku penumpang mobil. Lama-lama, ia
akan lelah menghadapi dua bocil ini.
“Beby nggak bakal ke mana-mana, kan?”
Beby menoleh. “Nggak, aku kan temen kamu.”
“Nanti kalau kita udah besar, kita harus bikin geng motor!” seru Arthan mendapat
persetujuan dari Beby. “Kamu mau geng apa?”
Beby berpikir sebentar. “Aku mau punya geng yang banyak!”
“Kalau aku, sih, maunya...”
“Apa?” sahut Beby.
“Kamu!”
***
Sehabis pulang dari pasar pagi, Rafi langsung mengantarkan Arthan pulang dan tidak
memperbolehkan anak itu untuk main bersama Beby. Kata Rafi, orang yang belum sunat,
tidak boleh dekat-dekat dengan Beby. Hal itu membuat Arthan menjadi insecure.
Arthan berlari mendekati abangnya—Rama. “Abang!”
“Hm?”
“Aku habis main sama Beby dong! Kita tadi naik biang keringat!”
Kening Rama mengerut bingung. “Biang keringat?”
“Itu loh! Mainan yang ada di pasar, yang bulat, yang muter-muter, yang tinggi itu!
Norak deh!” sentak Arthan galak, berlagak seperti orang yang paling paham.
Seperti biasa, Rama harus tetap santai. Karena tidak mungkin ia menyeludupkan adik
kecil yang imut itu ke rawa-rawa. “Bianglala, bukan biang keringat.”
“Aduh! Kok nggak kasih tau, sih!?”
“Kamu diem, ya, Than? Ini remot mau melayang ke kepala kamu.”
Arthan mengangguk paham, bocah laki-laki itu kembali diam dengan pikiran yang
entah berkelana ke mana. Arthan duduk dengan kaki yang ia silangkan. “Bang, Abang udah
disunat, belum?”
“Lah? Ya udahlah!” sentak Rama kaget.
Arthan menurunkan pandangannya. “Liat dong!”
“Heh!”
Mendengar penolakan dari Rama, Arthan menyandarkan tubuhnya di sofa, duduk di
sebelah Rama. Pipi Arthan membesar dengan bibir yang mengerucut sebal. “Aku mau main
sama Beby, tapi kata Bang Rafi yang jelek itu nggak boleh, soalnya Arthan belum disunat.”
“Ya emang, payah, sih!”
“BUNDA! ARTHAN MAU SUNAT!” Arthan segera meninggalkan Rama yang
tengah menonton televisi, naik ke anak tangga dengan kaki kecilnya lincah. “Bunda, Bunda!”
“Iya sayang, kenapa?”
“Bunda, Arthan mau sunat seratus kali!”
“Kamu, Bunda rukiyah, ya?”
***
Arthan berlari kecil menuju sebuah rumah yang setiap hari ia kunjungi. Rumah milik
temannya, Beby. Dua anak berusia 5 tahun itu tidak dapat dipisahkan. Arthan itu sangat tidak
suka kalau ada orang lain yang mengajak Beby bermain. Menurut Arthan, Beby hanya boleh
berteman dengannya.
“Arthan, bonceng aku dong!”
Arthan menoleh, mengangguk setuju lalu membiarkan Beby naik di belakang motor
mainannya. Tidak pernah sekalip un hal yang diinginkan Beby, mendapat penolakan dari
Arthan. Anak laki-laki itu selalu mengabulkan apa yang Beby minta.
“Kamu bisa bonceng aku?”
“Bisa! Kamu nantangin aku?” ucap Arthan songong.
“Iya, aku tantang kamu, aku hitung sampai dua puluh udah harus sampai. Bisa
nggak?”
Arthan berpikir sebentar. Kalau menolak, itu bukan Arthan. Akhirnya anak laki-laki
berusia itu mengangguk setuju. Mereka berdua mengarah ke TK dekat rumah untuk belajar.
“Lima belas! Tujuh belas!” hitung Beby.
“Enam belas dulu!” omel Arthan panik.
Beby menepuk dahinya lalu menyengir tanpda dosa. “Enam belas!”
“Delapan belas!”
“Tujuh belas, Beby pendek!”
Dengan kekesalan karena diprotes terus, Beby menggaplok belakang kepala Arthan.
“Kan, tadi udah!”
“SEMBILAN BELAS!”
Arthan jadi seperti cacing kepanasan karena panik, motor sudah hampir sampai, tapi
kenapa lambat sekali?! Apakah ia harus membeli motor mainan baru? Aih!
“DUA PULUH! KALAH! KAMU KALAH!” pekik Beby kegirangan. Anak
perempuan itu langsung turun dan berlari masuk ke gedung TK disusul Arthan yang
meninggalkan motor mainannya begitu saja.
“Beby pendek! Tunggu!”
“Arthan ompong! Jangan panggil aku pendek terus!” Beby berhenti lalu berbalik
badan, dua tangannya berkacak pinggang. “Kamu ompong, nggak usah ledek-ledek aku!”
“Tapi, kan, aku bener! Kamu pendek! Lebih pendek daripada aku!”
Belum sempat melakukan pertengkaran, ibu guru segera melerai keduanya. “Kok
masih pagi udah berantem?”
“Dia, Bu! Dia ledek aku pendek mulu!” tunjuk Beby pada Arthan yang hanya
memasang wajah tengilnya.
Arthan mengangkat bahunya acuh, mengikuti gerakan Rama kemarin waktu diomeli
bunda. “Aku nggak salah, kenapa aku yang dimarahin? Dia ledekin aku ompong juga, Bu!”
“Nggak, tuh!”
“Iya!”
“Nggak!”
Bagai gunung ingin mengeluarkan larva, wajah dua anak itu memerah padam hampir
mengamuk. Kalau ditanya, siapa yang suka mengganggu, jawabannya adalah Arthan, anak
laki-laki hiperaktif yang tidak bisa diam. Bahkan ketika Beby sedang malas diganggu saja,
Arthan tidak peduli.
“Aku nggak mau temen sama kamu lagi, ompong!”
“Aku juga nggak mau, pendek!” balas Arthan tak mau kalah.
Bu guru yang sedari tadi hanya memperhatikan dua anak itu, hanya bisa mengelus
dada penuh kesabaran. Tidak mungkin, kan, ia mengarungi Arthan dan Beby lalu dibuang ke
rawa-rawa?
“Udah, ya? Saling maafan dong.”
“Nggak mau!” Beby langsung membuang muka dan melangkah meninggalkan
Arthan.
Di belakangnya, Arthan juga membuang muka. “Nggak mau juga!”
“Astagfirullah.”
Beby melangkah masuk ke dalam kelas yang telah ramai dengan anak seumurannya,
diikuti oleh Arthan. Beby tidak mau duduk di tempat biasa, artinya ia harus duduk bersama
Arthan. Tanpa mau tahu siapa pemilik kursi kosong di sana, Beby memilih duduk anteng di
sana.
“Kamu kok nggak sama Arthan?” tanya teman kelas Beby.
“Dia belum mandi, bau!”
“Bohong!” sarkas Arthan. “Bohong terus kamu, pendek!”
Kesal lagi-lagi diledek, Beby melepas sepatu hitamnya lalu ia arahkan kepada Arthan.
“Sakit!”
“Sukurin!”
“HUAA, BUNDA!” Menangis keras, Arthan duduk di bangku miliknya lalu melipat
kedua tangan serta menumpu kepalanya di sana. Beby jadi merasa agak bersalah. Segera
turun dari kursi, anak perempuan itu mendekati Arthan.
“Arthan?” panggilnya mencolek-colek. “Kamu nangis?”
“Kamu nyebelin!”
Beby membeo, “Lagian kamu ejek aku terus, jangan ejek aku pendek lagi.”
“Iya, tapi jangan bilang aku bau sama lempar aku sepatu!”
Beby mengangguk mendengar menuturan Arthan, mengangkat jari kelingking
kecilnya lalu ia kaitkan dengan kelingking Arthan. “Janji!”
“Janji juga!”
***
“Beby, ayo pulang!”
Arthan mencak-mencak sendiri melihat Beby terlalu asyik dengan teman kelas laki-
laki. Rasanya, saat itu juga ingin sekali Arthan tendang bokongnya. Enak saja laki-laki itu
mendapatkan perhatian Beby!
“Beby, ayo pulang!”
“Sebentar, aku lagi main kartu!” balas Beby seadanya. Ia tengah asyik bersama dua
teman laki-laki di kelas. Lagipula kalau ajak Arthan main, tidak jauh dari motor dan
berantem. Sesekali ia ingin mencoba hal baru.
Arthan berkacak pinggang, mata tajamnya menyorot dua orang laki-laki
seumurannya. “Kalian pergi sana! Beby temen aku!”
“Apa, sih, kamu?” sahutnya membuat Arthan naik darah.
“Kamu ngajak aku berantem?!”
Lagi dan lagi, Beby gagal memiliki teman baru. Segera ia tarik tangan kecil Arthan
dan membawa temannya itu keluar kelas daripada kembali bertengkar hanya karena Beby
bermain dengan orang lain. “Kamu marah mulu kalau aku punya temen baru!” omel Beby.
Arthan mengangkat bahunya acuh. “Kan, kamu temen aku, jadi boleh temenan sama
aku doang.”
“Tapi aku juga mau temenan sama yang lain tau!”
“Nggak boleh! Cepetan, aku mau pulang. Kamu pulang sama aku, nggak boleh sama
yang lain.” Arthan melangkah lebih dulu meninggalkan Beby. Ceritanya, Arthan sedang
pura-pura ngambek, karena kalau tidak, pasti perempuan itu akan membiarkannya. Anak laki-
laki berusia 5 tahun dengan tas punggung gambar doraemon itu mulai naik ke atas motor
mainannya.
Di mana yang lain menggunakan sepeda roda empat atau diantar. Namun, Arthan
berbeda, ia menggunakan motor mainan beroda empat. “Beby cepetan, aku tinggal nih!”
“Ya udah, tinggal aja.”
“Ih, nggak! Ayo cepetan!”
Setelah Beby naik dan duduk di belakang Arthan, Arthan mulai menekan tombol
untuk bergerak. Motor beroda empat milik Arthan melaju pelan keluar dari area sekolah.
Beberapa murid menatapnya iri, hal itu membuat Arthan semakin memperlihatkan wajah
songongnya.
“Kamu mau beli cokelat?”
“Mau!”
Dua anak itu berhenti di depan toko cokelat yang biasa Arthan dan Rama datangi.
Arthan memimpin di depan, tangannya meraih sebatang cokelat. Kakinya berjinjit untuk
meletakkan cokelat di meja kasir, tapi tetap tidak bisa karena tingginya berbeda jauh. “Mbak,
aku mau ini!”
“Orangnya mana?”
“Ini! Mbak jangan bikin aku erosi dong!”
“Emosi, Arthan!” omel Beby.
Penjaga kasir itu tersenyum kecil, gemas sekali melihat dua anak kecil itu. “Ada
lagi?”
“Kamu mau apa lagi?” tanya Arthan pada Beby. “Permen mau nggak?”
Beby menggeleng, lagipula ia hanya ingin cokelat. Sudah lama tidak makan cokelat
karena kemarin diomeli oleh mami. “Kamu jangan bilang mami kalau aku makan cokelat,
ya?”
“Iya.”
“Sembilan belas ribu, Dek.”
Arthan mengorek saku celananya. Selembar uang berwarna merah muda yag selalu
ayah kasih. “Aku punyanya ini.”
“Itu seratus ribu, Dek. Ada kembaliannya.”
Kening Arthan berkerut, anak laki-laki itu menggeleng. Segera ia lompat untuk ambil
cokelat tadi lalu kembali menggenggam pergelangan tangan Beby. “Kata Ayah, kalau lebih,
kasih ke yang membutuhkan aja. Jadi lebihnya buat Mbak aja.”
Mbak kasir melotot kaget. Maksudnya? Anak kecil itu meremehkan penjaga kasir?!
Penjaga kasir hanya bisa mengelus dada, baru kali ini ia mendapatkan pelanggan yang
membuat naik darah.
“Kita makan di sini dulu, ya.”
Beby mengangguk setuju. Mereka berdua duduk di trotoar samping toko. Arthan
membantu Beby untuk membuka bungkus cokelat. “Kamu makan nya jangan jorok dong,
pendek!”
“Biarin!”
Arthan menarik bajunya, lalu ia arahkan pada ujung bibir Beby. “Jorok tau, nanti
cantiknya ilang.”
“Arthan, kamu nanti katanya mau bikin geng motor?”
“Iya, kamu nanti jadi ketua geng motor juga, kan?”
Beby mengangguk antusias. “Kita harus temenan, ya, geng motornya? Kamu harus
bantu aku kalau aku diomelin orang.”
“Yang berani omelin kamu, benjol sama aku!” ucap Arthan sambil memperlihatkan
kepalan tangan mungilnya. “Benjolnya lima!”
“Dek, maaf, saya mau parkir motor di sini. Bisa minggir sedikit nggak, ya?” tegur
pengendara motor di depan Arthan.
Arthan mendongak, meneliti penampilan orang itu lalu membuang muka. “Jangan iri,
jangan iri, iri dengki.”
“Dek, tolong jangan bikin saya naik darah.”
“Kamu, kok, gangguin kita?!” gertak Beby turun tangan yang artinya dunia sedang
tidak baik-baik saja. “Nggak boleh gitu! Kamu mau aku bilangin Papi?!”
***
“Bunda, boneka terong punya Arthan mana!?” Arthan celingak-celinguk mencari
keberadaan boneka terong yang Beby kasih. Kakinya melangkah ke kamar Rama karena
curiga. “Bang Rama, boneka terong aku mana!?”
“Abang pakai buat bantal bentar, pegel.”
Melihat boneka terongnya terhimpit, Arthan ngilu sendiri. Anak laki-laki itu berlari
lalu memukul-mukul tubuh Rama ganas. “Boneka dari Beby, awas!”
“Minjem bentar, pegel banget beneran, deh!”
Jari telunjuk Arthan bergerak ke kanan dan ke kiri. “No no no, nggak mau!”
Dengan pasrah, daripada harus menerima pukulan bertubi-tubi dari Arthan, Raffi
melempar boneka itu kesal. “Ambil, tuh!”
“Dasar bocah miskin! Beli, bukan ambil punya orang!”
“Heh!”
“Beby sebentar lagi ke sini, awas aja! Aku bilangin Beby!”
Rama menatap adiknya remeh. Memangnya kalau Beby tahu, Rama akan kenapa?
Tidak kenapa-kenapa, paling hanya cubitan maut seperti dua bulan yang lalu.
”Arthan, Arthan!” panggil Beby. Nah, orangnya sudah datang!
“Iya, Beby tunggu!” Arthan berlari semangat untuk turun ke lantai bawah. Bunda
membukakan pintu dan menampilkan Beby dengan rambut yang dikuncir dua. Beby
mencium tangan Bunda lalu mendekati Arthan, tak lupa dengan boneka terong dipelukannya.
“Aku bosen.”
“Mau main?”
“Iya! Tapi aku nggak tau mau main apa,” ucap Beby sendu.
“Gimana kalau kita bikin bentuk dari kertas?”
Kening Beby berkerut. “Dari kertas?”
“Iya, sini!” Ditariknya pergelangan tangan Beby untuk duduk di ruang tengah. Arthan
mengeluarkan sebuah kertas warna-warni. “Ini namanya origami. Kamu mau bikin apa?”
“Emm...” Beby mengetuk dagunya sok berpikir sampai matanya menyorot sebuah
bentuk unik. Pesawat dan gambar hati berwarna merah. “Aku mau ini!”
“Kamu mau aku bikin pesawat sama hati?”
“Iya!”
Keduanya fokus dengan origami masing-masing sambil melihat contoh yang ada di
kertas kecil. Beby pusing sendiri karena bentuk yang ia hasilkan hanya bulat, bulat, dan bulat
sampai kesal sendiri. Berbeda dengan Arthan yang terlihat sangat tekun, walau banyak
origami yang salah, Arthan tetap mencoba.
“Kamu bisa nggak?”
“Bisa! Nanti kalau udah selesai, aku kasih kamu,” jawab Arthan.
“Arthan, aku bosen, deh!” Beby menggembungkan pipinya, meletakkan boneka
terong itu di bawah kepalanya untuk menjadi bantal. Setelah itu, Beby terlelap damai dengan
Arthan di sampingnya. Arthan yang melihat itu, mengambil selimut miliknya. “Biar nggak
kedinginan. Selamat tidur, Beby.”
Arthan kembali tekun melihat cara membentuk pesawat dan hati dari origami. Entah
sudah berapa kali percobaan, tetap gagal. Namun, bukan Arthan jika ia berhenti di tengah
jalan. “Buat Beby, harus jadi pesawat sama hati!”
***
“Harus sekarang banget, Mami?” tanya Rafi sambil membantu merapikan baju untuk
dimasukan ke dalam koper. “Kenapa mendadak?”
Mami menepuk bahu anak sulungnya. “Perusahaan Papi yang di Singapura lagi parah
banget. Jadi sementara kita tinggal di sana. Mami kasian liat Papi bolak-balik gini, khawatir
juga naik pesawat setiap minggu.”
“Tapi apa Mami nggak kasian sama Beby sama Arthan?”
Mami paham sekali karakter anak-anaknya. Mata Mami menyorot pada Clarisa, anak
perempuan paling kecil. “Clarisa juga butuh pengobatan, Rafi. Di sini belum secanggih di
Singapura.”
“Iya, sih, ya udah, Rafi ikut yang terbaik aja. Aku ajak Beby main dulu ya, Mi?”
“Iya, hati-hati, ya, Sayang.”
Rafi melangkah keluar kamar, mencari keberadaan Beby. Sorot matanya jatuh pada
seorang anak perempuan yang tengah asyik tertawa bersama teman laki-laki seumurannya.
Melihat itu, Rafi jadi tidak tega.
“Beby, Arthan?”
“Bang Rafi jangan ganggu!” omel Arthan galak. “Pasti mau ledekin Arthan lagi!”
“Nggak, damai deh.” Rafi mengangkat jari kelingkingnya pada Arthan. “Janji.”
Dengan wajah masam, Arthan mengaitkan kelingking kecilnya. “Awas aja gangguin
Arthan lagi, nanti Arthan suruh Beby marahin bang Rafi!”
“Iya! Abang jangan ganggu Arthan terus!” sahut Beby. “Dia, kan, temen aku! Abang
cari temen aja sana!”
Daripada kena mental, Rafi menjauh, tapi tetap mengawasi keduanya. Beby dan
Arthan bermain perang-perangan dengan boneka terong sebagai pedang.
“Mundur kau, penjahat!”
“Pyar-pyar!”
“Sring!” Arthan berlagak mengeluarkan pedang. “Aku akan menang!”
Kembali saling adu boneka terong, Beby menaikkan kedua tangannya dan
mengangkat boneka terong ke atas. Setelah itu ia arahkan pada perut Arthan. “Pyar!”
“Akk!” Arthan terjatuh dramatis, anak laki-laki itu memegang perutnya. “Aku kalah!”
“YEAY!” Beby lompat-lompat kesenangan. “Aku pemenangnya!”
“Kamu hebat! Aku kalah jadinya,” ucap Arthan sok sedih, menekuk wajahnya.
“Kamu, sih! Hebat banget!”
“Iya dong! Kamu pasti kalah kalau lawan aku.” Beby memamerkan senyumannya.
“Waktu main balapan, juga, aku yang menang. Aku selalu menang dari kamu!”
Ya, beberapa hari yang lalu, Arthan dan Beby balapan motor dengan motor mainan.
Arthan sengaja memelankan kecepatan agar Beby menang. Entah apa alasannya, Arthan suka
sekali melihat Beby melompat kesenangan. Hatinya terasa gembira sekali. “Kamu seneng
banget, ya?”
Beby mengangguk semangat. “Banget! Soalnya aku menang!”
“Pokonya nanti kalau udah besar, kamu harus tetep jadi temen aku, ya?”
“Iya, bawel kamu!” omel Beby.
Keduanya tersenyum kecil, Arthan menoel perempuan itu. “Beby?”
“Iya?”
“Kalau ada yang laki-laki yang bikin kamu nangis, kasih tau aku, ya!” ucap Arthan
tegas.
Beby menatap bingung anak usia 5 tahun di depannya. “Kok gitu?”
“Iya, aku nggak suka liat kamu nangis. Bilang sama aku, ya, kalau ada yang bikin
kamu nangis?”
“Janji?”
“Janji!”
Perjanjian dua anak itu terdengar oleh Rafi. Bagaimana jika nanti Arthan dan Beby
berpisah jauh?
“Woi, bocah tengil!”
Arthan menyiniskan Rafi. “Arthan! Bukan bocah tengil!”
“Makanya ngaca, bocil! Itu muka lo tengil banget. Didiemin ngelunjak, diladenin
koma.”
Suara langkah mendekati mereka. Itu Rama, kakaknya Arthan. Rama memang sering
ke sini untuk mengerjakan tugas bersama Rafi. “Raf?”
“Hah?”
Rama memberi kode menggunakan matanya pada semuah koper besar. “Mau ke
mana?”
“Pindah, nyokap sama bokap lagi krisis ekonomi. Jadi harus fokus sama perusahaan
di Singapura,” ucap Rafi memberi penjelasan. Namun, matanya menuju pada Arthan dan
Beby. “Gue nggak tega masa mereka.”
“Gue yakin Arthan bakal nangis tujuh abad. Arthan sayang banget sama adik lo.”
Rafi mengangguk paham. “Beby juga sayang banget sama Arthan, dia selalu nanya
kalau Arthan nggak jemput dia main.” Keduanya tertawa pelan.
“Kalah kita, Bro, sama bocah.”
“Dih, t*i!” Rafi menjitak kepala Rama ganas. “Lo nggak suka sama gue, kan, nyet?!”
“Naj*s! Maksud gue, Arthan sama Beby aja udah nemuin pasangan. Nah! Lo belum
dan gue juga belum, bukan kita, kampr*t lo!”
Setelah itu, Rama dan Rafi saling menjauh sok bertengkar.
“Arthan, sini boneka terong kamu, mau aku kasih nama aku!” ucap Beby.
Arthan nurut saja, ia berikan boneka pemberian Beby. “Mau kamu tulis apa?”
“Nama aku, kamu juga, ya, tulis nama kamu di boneka aku?”
Beby meraih dua buah spidol milik Rafi yang ada di atas meja, tangan kecil Arthan
dan Beby mulai menuliskan huruf yang sangat berantakan. Ukiran hitam di boneka berwarna
ungu tua. “Kamu nulisnya apa?”
Arthan memperlihatkan boneka terong Beby. “Arthan ganteng!”
“Aku juga nulis, Beby cantik!”
“Iyalah, kan, ganteng harus sama cantik,” ujar Arthan. “Bukan kayak mereka, masa
cowok sama cowok?” tunjuknya pada Rama dan Rafi yang kini melotot keget.
Rafi ingin sekali marah, tapi entah kenapa ia malah tertawa. Sial! Arthan memang
menyebalkan, mulutnya yang ceplas-ceplos itu ingin sekali ia raung. “Sialan tuh bocah!”
“Sikat, jangan?” tawa Rama mendapat anggukkan setuju dari Rafi. Kemudian, dua
laki-laki itu mulai berdiri dan mendekat pada Arthan yang sudah memasang tubuh was-was.
Arthan tahu, pasti ia akan dipeloroti lagi celananya oleh dua abang meresahkan itu. Arthan
berlari menjauh sambil berteriak keras. Beby yang tidak tahu apa-apa malah ikut berlari di
belakang Arthan.
“Sini lo, Arthan!”
“AAAA, BUNDA!” Peluh keringat membuat Arthan ngos-ngosan. “BUNDA!” Anak
laki-laki itu berlari kencang keluar dari rumah Beby menuju rumahnya. Arthan berjanji akan
mengadu pada Ayah dan Bunda agar Rama kena marah. Anak laki-laki itu paling kesal kalau
Rafi dan Rama sudah bekerja sama untuk mempeloroti celananya. Kan, ada Beby! Mau
diletakkan di mana harga dirinya?
***
“Papi, kita mau jalan-jalan, ya?” tanya Beby pada Papi yang tengah mendorong koper
bersama Mami. “Asyik!”
Rafi tidak tega melihat respons Beby yang sangat ceria. Beby turun dari gendongan
Papi lalu menggandeng tangan Rafi. “Kita jalan-jalan, kok, nggak ajak Arthan, Bang?”
“Arthan lagi tidur. Nanti, ya?”
Beby mengerucutkan bibirnya sedih. “Aku nggak ikut, deh! Mau ke rumah Arthan
aja.”
Secepat kilat, Rafi menahan Beby. Rafi berjongkok untuk menyamai tinggi adiknya,
ia usap rambut tebal Beby penuh kelembutan. “Beby, kalau Arthan bangun terus liat kamu,
nanti makin susah.”
“Susah? Kan, Arthan temen Beby.”
“Iya, kapan-kapan lagi, ya, main sama Arthan-nya.”
Beby menggeleng tidak setuju. Ia memberontak dari pegangan Rafi. “Aku mau main
sama Arthan aja, nggak mau ikut jalan-jalan.”
“Beby, dengerin Abang. Kamu mau Papi sama Mami sedih kalau nggak nurut?”
Menggeleng pelan, Beby melirik Mami dan Papi yang sedang menaikkan koper ke
bagasi mobil. “Tapi Beby mau main sama Arthan.”
“Kapan-kapan bisa, kok. Sekarang, kita berangkat, naik pesawat, loh!”
“Beneran?!” sahut Beby antusias.
Dari dulu, Beby selalu bercerita pada Rafi, anak itu ingin sekali merasakan naik
pesawat agar bisa melihat pemandangan dari atas. Beby akan menyombongkan diri pada
Arthan besok. Membayangkan hal itu, Beby senyum-senyum sendiri. “Pasti si ompong itu
bakal iri, deh!”
Papi dan Mami telah memanggil mereka untuk masuk ke dalam mobil. Segera Rafi
gandeng tangan mungil adiknya lalu masuk, tak lupa memangku Beby karena anak itu senang
sekali dipangku. Beby melihat ke arah rumah Arthan yang tertutup rapat. “Dadah, ompong!
Besok aku sombongin ke kamu, aku mau naik pesawat!”
Rafi mengusap kepala adiknya penuh rasa sayang. “Beby mau Abang cariin temen
baru, nggak?”
“Nggak!” tolak Beby mentah-mentah. “Aku, kan, temennya Arthan, kata Arthan, aku
nggak boleh temenan sama orang lain.”
Rafi sengaja mencubit pipi Beby. “Adiknya ciapa ci, gemes banget?”
“Adiknya Bang Rama!”
“Heh!” tegur Rafi. “Salah server!”
Beby memeletkan lidahnya, meledek Rafi lalu buang muka ke arah jendela untuk
melihat pemandangan luar. “Habisnya, gantengan Bang Rama.” Asyik dengan boneka terong
miliknya tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang Rafi berikan, Beby memutar boneka
itu, keningnya mengerut bingung saat melihat tulisan di samping nama Arthan. Namun,
sayangnya Beby belum terlalu mahir membaca.
“Bang! Ini bacanya apa?”
Rafi memperhatikan boneka terong milik Beby. “Arthan ganteng, punya Beby. Kita
temen, jadi nggak boleh pergi!” Sedetik kemudian, Rafi terdiam. “Beby mau tidur nggak?”
“Nggak boleh pergi? Ya udah, aku mau pulang aja, deh!” ucap Beby. “Aku bosen,
mau main sama Arthan.”
“Suatu hari nanti, kalian bakal ketemu lagi, okay?”
“Kok suatu hari nanti? Emangnya besok nggak bisa?”
“Nggak, Beby,” jawab Rafi sambil mengusap kepala adiknya. “Arthan nggak akan
lupa sama kamu, dia akan selalu inget kamu.”
Beby yang berada di pangkuan Rafi, hanya bisa menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Otaknya tidak mengerti sama sekali dengan apa yang Rafi katakan. Bahasa Rafi terlalu tinggi
untuk anak seumuran Beby.
***
“Bunda! Aku mau main sama Beby!” Arthan berlari kencang mendekati Bunda yang
sedang berbincang dengan Ayah. Arthan naik ke pangkuan Ayah. “Ayah! Liat ini!”
“Wow! Pesawat kertas bikinan siapa itu?”
“Bikinan Arthan buat Beby! Arthan mau kasih ini ke Beby, Ayah. Pasti Beby suka!”
Wajah sumringah serta gigi kecil itu membuat Ayah dan Bunda saling berpandangan.
Bagaimana caranya bilang ke Arthan tentang kepindahan Beby?
“Ayah! Arthan juga bikin ini,” titah Arthan menyodorkan sebuah origami berbentuk
hati.
“Arthan mau kasih ke Beby?”
“Iya! Pasti Beby seneng liat ini, kan, Ayah?” Arthan langsung turun dari pangkuan
Ayah, berlari dengan membawa kertas origami berbentuk pesawat dan hati di dua tangan
kecilnya. Kaki kecil Arthan melangkah sangat cepat. “Beby! Beby! Beby pendek! Aku punya
sesuatu!” Teriakan Arthan tidak mendapatkan jawaban. Karena tangannya penuh, Arthan
menendang-nendang pintu rumah yang terdapat tempelan kertas. “Ih! Mana, sih, anak itu?!
Beby! Aku pegel tau!”
“Arthan!” panggil Rama dari belakang. Rama menarik pelan tangan Arthan lalu
menyamai tinggi keduanya. “Mau dengerin Abang nggak?”
“Nggak mau, aku mau kasih ini buat Beby dulu!” omel Arthan ganas. “Bang Rama,
itu bacanya apa?” Tunjuknya pada kertas bertinta hitam yang di tempat pada pintu.
RUMAH DI JUAL.
“Beby pindah.”
“Pindah? Pindah ke taman?” beo Arthan masih tidak mengerti.
Rama menggeleng, laki-laki yang berperan sebagai kakak dari Arthan memandang
adiknya tidak tega. “Beby, Bang Rafi, Mami, Papi dan adik Clarisa pindah. Itu artinya
mereka nggak di sini lagi.”
“Kok gitu? Kan Beby udah bilang nggak bakal pergi,” sentak Arthan sebal. “Bang
Rama bohongin aku mulu!” Arthan kembali menendang-nendang pintu rumah Beby. Mata
Arthan juga sudah memerah. “Beby! Aku bikin pesawat sama hati, kan, kamu kemarin minta!
Ih si pendek, nyebelin banget! Bang Rama! Beby mana?! Jangan diumpetin!” pekik Arthan.
Anak laki-laki itu masih menahan air matanya. Kepalanya menoleh pada jendela kamar Beby.
Tidak seperti biasanya. Kenapa jendela itu ditutup? Kenapa Beby tidak keluar untuk
menemuinya?
“Bang! Bilangin Bang Rafi suruh Beby keluar dong! Ini aku udah bikinin pesawat
yang dia mau,” ucap Arthan.
“Arthan, sini. Beby pindah, pindah rumah. Lain waktu kalian bakal ketemu lagi, tapi
nggak sekarang, ya?”
“Nggak tuh! Beby, kan, udah janji nggak ninggalin Arthan. Arthan, kan, temennya
Beby!” bentak Arthan. Perlahan, tubuh anak laki-laki itu bergetar. Isak tangis yang sedari ia
tahan, akhirnya keluar juga. Arthan memperhatikan origami bentuk pesawat dan hati yang ia
buat dengan susah payah semalaman. “Bang, Beby ninggalin Arthan?”
“Sebentar aja, Arthan. Nanti kalau urusan mami sama papi selesai, Beby bakal balik
lagi.”
Arthan menggeleng sedih, menunduk sambil mengusap air matanya kasar. “Kemarin,
Beby bilang temenan sama Arthan. Kok sekarang Beby malah pergi? Arthan terlalu nyebelin
ya, Bang?”
Tanpa menunggu jawaban dari Rama, Arthan berlari kembali ke rumahnya,
membuang pesawat dan hati yang terbuat dari origami. Arthan sedih sekali, anak laki-laki
berusia 5 tahun itu merasa kehilangan. “Beby jahat, Bunda! Beby ninggalin Arthan! Dia
bohongin, Arthan! Kata Beby, kita temenan tapi dia malah ninggalin Arthan! Arthan nggak
suka sama Beby!”
Arthan memeluk Bunda yang kini tengah menenangkannya. Bunda paham sekali
karakter anak bungsunya, Arthan terlalu perasa, terlalu penyayang.
“Arthan nggak mau temenan sama Beby lagi!”
***
Tiga belas tahun kemudian.
Seorang laki-laki dengan seragam putih abu-abu tengah bermain bola basket. Bulir
keringat membasahi baju seragamnya, membuat para kaum hawa membulatkan mata. Arthan
bergerak lincah melawan teman barunya—Gentha. Susah sekali, sepertinya Gentha
menguasai banyak teknik permainan basket. Namun, Arthan tetap dapat mengimbangi
walaupun akhirnya ia kalah juga.
“Gila, jago juga lo, Tha.”
“Hm.”
“Udah seminggu jadi anak SMA, masih aja irit omong,” sindir Arthan sambil
membuka tutup botolnya. Laki-laki itu meneguk air mineral sehingga jakunnya bergerak naik
turun. Tak lupa menyiram sedikit ke rambutnya agar lebih segar. Arthan menoleh pada
Jingga, menyipratkan air minumnya. “Jing! Lo diliatin tuh!”
“Ya elah, Than. Gue lagi berak aja, ibu penjaganya sampe pingsan liat ketampanan
gue,” ucap Jingga langsung menyisir rambutnya dengan sela jari. “Jangan bilang, lo juga
terpesona sama gue?!”
“Naj*s!”
“Balik sekolah, mau nongkrong, nggak?” tawar Alby.
Semuanya mengangguk setuju kecuali Arthan. “Gue disuruh balik cepet, Bunda minta
beliin cokelat.”
“Anjir? Anak Bunda, nih?”
“Ya iyalah, daripada anak bagong kayak lo!” ketus Arthan menggaplok kepala Gazza
kesal. Arthan memang sangat memanjakan bunda, tak peduli orang-orang mengatakan ia
anak mami atau anak manja. Lagipula, wajar saja kalau Arthan sangat dekat dengan bunda.
Daripada dekat dengan istri orang, kan, bahaya.
Segera ia buka kemeja seragamnya yang basah, menyisakan kaos hitam yang melekat
di tubuhnya. Tanpa ia sadari, kalau hal itu membuat kaum hawa menjerit dalam hati. Bahkan
tak sedikit juga yang berteriak histeris. “Gue balik duluan.”
“Iye, hati-hati diculik om-om.”
Arthan tertawa kecil. “Nggak apa-apa, lumayan, dapet Iphone!” Langkah demi
langkah milik Arthan tidak pernah luput dari sorotan siswi SMA Sakura, walaupun laki-laki
itu masih menginjak kelas 10, tapi Arthan sudah mendapat banyak perhatian. Baju
seragamnya ia letakkan di bahu, dengan kaos hitam tipis yang menyetak bagian perutnya.
Arthan mengacak rambutnya pelan.
“Bunda tadi minta berapa, ya, cokelatnya? Empat, nggak, sih?” Arthan meraih ponsel
di saku celana untuk melihat pesan bunda beberapa jam yang lalu. “Oh, tiga.” Mengangguk
santai, ia memakai helm serta menghidupkan motor hitam berpadu dengan warna hijau. Tak
butuh waktu lama, Arthan segera keluar dari area sekolah untuk berangkat menuju toko
cokelat yang selalu ia datangi seminggu sekali untuk bunda.
Angin sepoi terasa sangat menyejukkan, tumben sekali cuaca mendukung. Motor
miliknya, Arthan arahkan ke kanan lalu memarkirkan di tempat biasa.
“Cokelat yang bunda beli biasanya... em, nah! Tiga? Lima aja, kali ya?” tanyanya
pada diri sendiri. “Iya, deh! Demi bunda, apa, sih yang nggak.” Arthan meraih lima batang
cokelat, tersenyum simpul mengingat bunda si pecinta coklat. Sama seperti seseorang yang
masih selalu ia tunggu kehadirannya. Ia melangkah ke kasir tanpa menyadari bahwa dirinya
sudah menjadi pusat perhatian para kaum hawa remaja.
“Ini aja, Mas?”
“Sama es krim satu, nanti saya ambil yang di luar.”
“Baik!”
Menunggu proses perhitungan untuk total pembayaran, Arthan menyorot matanya ke
seluruh pandangan sampai suara pintu terbuka sehingga menampilkan seorang perempuan
yang sangat tidak asing untuknya. Arthan mengerutkan kening. Mata perempuan itu... kenapa
ia seperti mengingat sesuatu?
Seorang perempuan dengan jaket berwarna hitam dan rambut yang diikat satu itu
melangkah ke dekatnya. Arthan gugup sendiri, padahal perempuan itu hanya ingin mengantre
untuk membayar cokelat yang ia beli.
“Ngapain liatin gue?” cerca perempuan itu galak. “Mesum lo, ya?!”
“Eh!”Arthan panik sendiri. “Enak aja! Gue, anu...”
“Anu apa?! Dasar mesum kampr*t!”
Arthan terdiam. “Nama lo siapa?”
“Urusannya sama lo?”
“Gue cuma nanya, nama lo siapa?” tanya Arthan lagi. Namun, tetap tidak
mendapatkan jawaban, perempuan itu malah mangantongkan kedua tangannya di saku jaket
sambil mendongak menatap Arthan songong.
Arthan mengangkat bahunya acuh, siapa pun perempuan itu, ia tidak peduli.
“Enam puluh lima ribu, Mas.”
Arthan meraih uang di sakunya, meletakkan selembar uang berwarna merah muda.
“Sekalian bayarin yang di belakang saya, tapi jangan bilang kalau saya yang bayar.” Setelah
itu, tanpa kembali berbicara, Arthan melangkah keluar toko cokelat, duduk di tempat yang
telah disediakan dengan berbagai rencana di kepalanya. Arthan masih penasaran dengan
perempuan tadi, karena rasanya, ia seperti pernah melihat dan tidak asing sekali.
“Gue ikutin kali, ya? Tapi kayak penculik, njir! Tapi kenapa tuh cewek, kenapa nggak
asing banget, ya?”
Suara bel orang membuka pintu toko terdengar, Arthan menoleh dan ternyata benar,
perempuan tadi keluar. Ia melangkah ke arah motor besar, bahkan lebih besar dari pada
tubuhnya.
“Masa bodo! Gue harus ikutin tuh cewek!” Segera ia lari ke motornya dan mengikuti
arah motor perempuan di depannya. Lincah sekali. Motor perempuan itu mengarah pada
sebuah perumahan besar.
“Mami!”
“Iya, Beby? Udah beli cokelatnya?”
Deg.
A-apa Arthan salah dengar? Sebentar... Beby? Tubuhnya tiba-tiba menegang setelah
mendengar nama yang sejak beberapa tahun lalu ia cari. Benarkah? Saat Arthan hampir
menyerah, perempuan itu kembali dengan sendirinya?
“Udah, nih! Mami, tadi Beby ketemu sama cowok, mesum! Masa dia liatin Beby
kayak om-om dapet mangsa,” ucap Beby geli sendiri. “Udah gitu, segala bayarin cokelat, sok
royal banget.”
“Siapa? Kamu kenal?”
Beby menggeleng pelan. “Tapi, aku kayak kenal sama dia.”
“Siapa?”
Beby terdiam, berusaha mengingat, tapi tetap tidak mendapat gambaran sama sekali.
“Nggak tau, lupa.”
“Pelupa! Masih muda juga!”
Setelahnya, dua perempuan itu masuk ke dalam rumah. Arthan mematung dengan
pikiran yang berkelana. Masih tidak dapat mencerna apa yang baru saja terjadi. Jadi, benar?
“By, itu lo?”
***
“Muka lo suntuk amat, nyet?”
Arthan menabok kepala Jingga sebal. Jingga itu pengganggu, teman baru yang paling
bawel. Arthan memiliki delapan teman dekat. Ada yang paling dewasa, ada yang jahil, ada
yang menyebalkan, ada yang penasihat, dan ada yang paling emosional, namanya Aksa. Anak
baru beberapa hari yang lalu masuk ke SMA Sakura.
“Gue mau nanya.”
“Curhat dong, Mah!” sahut Rafdy berisik.
Arthan menoleh pada Biru dan Gentha, yang paling waras. “Kalau kalian ketemu
sama orang yang kalian cari selama bertahun-tahun, gimana?”
“Dia ngutang, ya, sama lo?”
“Jing! Lo diem bisa nggak?!” Emosi sekali memang kalau sudah berhadapan dengan
manusia bernama Jingga. “Bacot banget kayak cewek.”
“Idih? Kamu? Iri?”
Biru menepuk bahu Arthan pelan, untuk meredakan emosi teman barunya karena ulah
kembarannya. “Tujuan lo cari dia bertahun-tahun karena apa?”
“Gue sayang sama dia.”
“Sebagai?”
“Laki-laki ke perempuan pada umumnya.”
Gentha tersenyum tipis. Laki-laki paling sedikit ekspresi itu menyorot Arthan tajam.
Tidak, memang seperti itu tatapannya. “Dia masih kenal sama lo?”
Arthan menggeleng tragis membuat suara tawa menggelegar. Rafdy dan Jingga saling
menabok. Menyebalkan, bukan?
“Kayaknya, dia lupa.”
“Itu artinya, lo bukan siapa-siapa bagi dia,” jelas Gentha.
Singkat, padat, dan jelas. Menusuk hati Arthan sampai ubun-ubun.
“Tha, lo tau nggak bedanya lo sama bulan?” tanya Arthan.
Gentha melirik sebentar. “Sama kayak lo dan cewek itu, berjarak, dan nggak bisa
sama-sama.”
“HAHAHA!”
“Sialan lo, Tha!”
Arthan mengembungkan pipinya kesal dan melangkah keluar kelas. Ngambek
ceritanya.
“Arthan!”
“Apaan?”
“Nih! Buat lo!” Silvi namanya. Perempuan seumuran Arthan yang selalu mengejar
laki-laki itu. “Nasi goreng, gue yang bikin, loh!”
“Gue nggak bisa makan nasi goreng.”
“Loh?”
Mendelik acuh, Arthan kembali melangkah ke kantin. Daripada di kelas, diejek dan
dihina, Arthan memilih ke kantin untuk mengisi perut laparnya. Memesan semangkuk mi
ayam dan es teh manis, lalu duduk di salah satu meja yang selalu ia tempati. Arthan
mengotak-atik ponselnya, mengetik sebuah nama di aplikasi Instagram.
“Be-by-Tu-lip-Ar-by-na.”
Terdapat dua akun. Arthan tekan yang paling atas. Ada lima foto dan sepertinya akun
itu sudah mati. Yang kedua, ada sebuah foto pasangan. Seperti tidak asing dengan tubuh laki-
laki itu. “Gue dejavu atau gimana, sih? Ini si Beby, kan? Ini cowok... siapa, ya?” Keningnya
berkerut. Foto seorang laki-laki dan perempuan dengan khas seragam anak SMP. “Jadi,
selama ini Beby ada di sekitar gue? Kayak kenal sama seragamnya? Anjir! Seragam sekolah
tetangga!” Arthan melotot kaget.
“Woi!” Gazza menepuk bahu Arthan keras. “Ngapain hayo? Nonton apa tuh?”
“Astagfirullah, Arthan.” Jingga menggeleng. “Miris banget anak muda zaman
sekarang.”
Arthan berdecak kesal, lagi-lagi diganggu. Matanya jatuh pada pergelangan tangan
Aksa, sebuah gelang melingkar di tangan laki-laki itu, persis sekali dengan gelang yang
dipakai oleh laki-laki yang berada di dalam foto Instagram Beby.
“Sa?”
“Hah?”
“Lo pernah punya pacar?”
Yang ditanya mengerutkan keningnya. “Pernah, kenapa?”
“Namanya siapa?”
“Urusannya sama lo apa?” tanya Aksa balik, terdengar agak sewot.
Arthan terdiam sebentar sambil menatap mata Aksa untuk mencari jawaban. Namun,
Aksa mengalihkan pandagannya. “Lo kenal Beby?”
“Nggak.”
“Beby Tulip Arbyna.”
“Batu banget dah! Gue bilang nggak kenal!”
Jingga yang merasa sebentar lagi ada pertengkaran, langsung mengarahkan kamera
ponselnya untuk mengabadikan momen itu. “Ayo ribut!”
“Lo admin gosip sekolah, ya, Jing?” tanya Alby.
Jingga menggaruk tenguknya yang tak gatal, cengar-cengir sendiri tanpa memberikan
jawaban sebenarnya. Ia kembali duduk dan melipat kedua tangannya seperti anak SD yang
meminta ditunjuk agar pulang lebih dulu.
“By the way, mana nih anak baru yang lagi rame?”
Arthan mengangkat bahunya acuh. “Mana saya tau, saya kan ganteng.”
“Naj*s!”
“Eh, itu anak barunya!” pekik Rafdy menunjuk seorang perempuan yang baru saja
masuk ke area kantin. Arthan mengerutkan keningnya, kembali tidak asing. Kenapa
semuanya seperti pernah ia alami?
“Beby Tulip Arbyna.”
***
“Ikut gue.” Arthan menarik pergelangan tangan Beby sampai seluruh pandangan
mengarah pada dua sejoli yang melangkah ke area belakang sekolah.
“Lo mau bawa gue ke mana, sih!?”
Membuka pintu gudang sekolah, Arthan menarik Beby masuk ke dalam. Mengunci
pintu rapat-rapat. “Ke mana aja lo selama ini?”
“Lah?”
“Kenapa nggak ada kabar? Kenapa hilang? Kenapa nggak ada kejelasan? Kenapa
nggak pernah bilang sama gue? Lo ke mana? Apa alasan lo bisa pergi dari gue sedangkan lo
udah pernah janji untuk selalu jadi temen gue?”
Pertanyaan bertubi-tubi itu membuat Beby pusing sendiri. “Lo wartawan apa
gimana?”
“Gue serius, jawab pertanyaan gue.”
“Ya udah! Satu-satu nanyanya!”
“Pertama, kenapa nggak ada kabar?”
Beby memutar bola matanya malas, kakinya melangkah untuk duduk di kursi yang
penuh debu. “Gue nggak tau harus ngabarin lo lewat mana.”
“Kedua, kenapa hilang?”
“Gue pindah dan saat itu gue nggak ngerti apa-apa. Jadi, gue nggak bisa protes.”
Arthan mendekati Beby, kakinya menekuk dan menunduk di bawah Beby yang
tengah duduk. “Ketiga, kenapa nggak ada kejelasan?”
“Bahkan untuk inget alasan gue pindah aja, gue nggak tau, Than.”
“Keempat, kenapa nggak pernah bilang sama gue?” tanya Arthan lagi seakan tidak
puas dengan jawaban sebelumnya. “Jawab yang jelas.”
“Waktu itu Bang Rafi bilangnya pergi sebentar, ternyata lama. Dan gue juga belum
ngerti apa-apa.”
“Kelima, lo ke mana?”
“Gue pindah ke Singapura.”
“Keenam, apa alasan lo bisa pergi dari gue sedangkan lo udah pernah janji untuk
selalu jadi temen gue?” Laki-laki itu menatap Beby. “Jawab.”
“Gue, kan, udah bilang. Gue masih umur 5 tahun dan nggak ngerti apa-apa.”
“Boleh gue meluk lo?” ucap Arthan tiba-tiba.
Belum sempat ia jawab, Arthan menarik tubuhnya untuk masuk ke dalam pelukannya.
Pelukan hangat penuh rasa nyaman dari Arthan. Napas laki-laki itu tidak teratur, terdengar
gelisah. “Jangan tinggalin gue, lagi.”
“Lo kanapa, sih?”
“I miss you, gue kangen sama lo. Salah kalau gue kangen sama lo?” tanya Arthan. Ia
melepaskan pelukan dan matanya menatap Beby llebih tajam dari sebelumnya. Arthan
merapikan anak rambut yang menghalangi wajah Beby, memandang wajah perempuan di
depannya seakan itu adalah objek paling indah yang pernah ia lihat. “Waktu tau lo pindah,
gue nangis. Gue nggak suka ditinggal dan lo ninggalin gue.”
Hal itu membuat rasa bersalah dari Beby. “Lo beneran sekangen itu sama gue?”
“Bukti apa yang harus gue kasih biar lo percaya?” tanya Arthan balik. “Terakhir gue
liat lo, waktu masih kecil. Sekarang, udah secantik ini. Ada laki-laki yang pernah bikin lo
nangis?”
Beby segera menggeleng santai. “Nggak.”
“Lagi bohong, ya?”
“Hah? Nggak!”
“Siapa yang bikin lo nangis?” tanya Arthan tegas.
Mata laki-laki itu tidak dapat berbohong kalau ia khawatir. Seperti janjinya saat masa
kecil dulu, siapapun laki-laki yang membuat Beby menangis, maka harus ia datangi. “Siapa,
Beby?”
“Nggak ada.”
Arthan mengangguk saja walaupun ia sedikit tidak percaya. Biarlah ia yang cari tahu
sendiri nanti. Arthan melangkah untuk duduk di meja rapuh penuh debu. Mengarahkan
tubuhnya pada Beby, matanya tak lepas dari mata perempuan itu. Sedetik kemudian,
kepalanya menunduk dengan senyum yang tak dapat ia tahan. Rasanya bahagia sekali.
Kenapa bisa perempuan yang meninggalkannya selama belasan tahun itu bisa menjadi sangat
cantik?
“Lo pernah pacaran?”
“Pernah,” jawab Beby tanpa mengelak.
Hal itu terasa nyeri pada bagian dada Arthan. Ternyata Beby pernah menaruh nama
laki-laki lain sedangkan ia masih sama dari awal, tetap nama Beby di dalamnya. Alasannya
untuk tidak berpacaran adalah ia hanya ingin Beby. Bukan yang lain.
“Kalau lo?” tanya Beby balik.
Arthan menggeleng. “Buang-buang waktu doang.”
“Sama kayak lo nyari gue dong? Buang-buang waktu.”
“Beda, lo penting dan karena lo segalanya buat gue.”
Beby menganggap hal itu sebuah candaan. Sama seperti belasan tahun yang lalu. Bagi
Beby, Arthan adalah seorang teman yang selalu melontarkan candaan. “Sekarang, lo suka
sama siapa? Atau ada perempuan yang lo incar, gitu?”
“Ada.”
“Siapa?”
“Lo.”
***
“Dih?! Kesambet lo?!”
Semuanya menatap Arthan horor. Sejak masuk ke dalam kelas beberapa menit yang
lalu, Arthan tersenyum tanpa henti. Entah apa alasannya sampai bisa seperti itu. Intinya,
Arthan membuat mereka semua merinding.
Jingga menendang tulang kering kembarannya. “Ru! Lo, kan alim. Rukiyah si Arthan
dong! Serem banget!”
Biru hanya mengangkat bahunya acuh sambil menulis beberapa materi untuk
mendaftar menjadi anggota OSIS. Berbeda sekali, bukan? Jingga yang tingkahnya sangat
abstrak dan Biru sangat teladan.
“Kayaknya gara-gara cewek tadi?” seru Gazza membuat Alby di sampingnya
mengangguk setuju. “Lo bawa ke mana cewek tadi, Than?”
Mendengar pertanyaan yang ambigu itu, Rafdy melotot kaget, lalu menggeleng
seakan manusia paling suci di dunia. “Astagfirullah!”
“Itu perempuan yang gue omongin.”
“Maksudnya?” sahut Pandu.
Arthan meraih ponselnya dan memperlihatkan satu album di galeri yang penuh
dengan foto seorang perempuan. “Perempuan yang selama belasan tahun gue cari.”
“Beby?” tanya Aksa.
Arthan menoleh pada Aksa, suara yang agak tidak setuju itu membuat kening Arthan
berkerut bingung. “Kenapa?”
“Dia perempuan yang lo maksud?”
“Iya, Beby.”
Melihat ketegangan di antara mereka, Pandu langsung berdiri di antara mereka agar
tidak terjadi sesuatu. Walaupun sebenarnya ia tidak begitu paham, tapi aura menyeramkan
mulai terlihat. “Kerjain tugas fisika, gih!”
“Nih!” Rafdy meletakan buku tulisnya di meja Arthan. Rafdy itu memang
kelihatannya saja bodoh, padahal Rafdy adalah murid yang paling jenius, tidak jarang ia
diberi tanggung jawab oleh guru untuk mengajarkan teman-temannya yang tidak bisa.
Bahkan ia sering sekali mengerjakan tugas kakak kelas HESPEROS. Bisnis, agar dapat uang.
“Daripada bertikai, mending nyontek!”
Arthan menoleh pada jam dinding, sebentar lagi bel pulang. Ia harus melaksanakan
keinginannya dengan segera. Kakinya bergerak tak sabaran menunggu waktu berjalan.
Rasanya, lama sekali.
Kring kring!
“YES!”
Arthan meraih tas punggungnya dan berlari ke parkiran. Gerakan kakinya berhenti
ketika mendengar suara yang sangat ia kenal, kepalanya menoleh ke kanan. Seorang
perempuan tengah dipojokan oleh kumpulan laki-laki.
Mata elang, sebuah geng motor. Musuh HESPEROS. Arthan berlari kencang dan
langsung mendorong laki-laki kurang hajar itu.
“Gila, lo?!”
Arthan melirik perempuan yang wajahnya tertutupi masker hitam. Ia tarik masker itu
ke bawah sehingga matanya membelak lagi. “Beby?”
“Lo ngapain di sini?!”
“Ngurusin hama,” jawab Beby singkat.
Mengalihkan pandagannya kembali pada laki-laki kurang hajar tadi. Namanya
Farhan, katanya sih, calon pemimpin geng motor Mata Elang tahun depan. Arthan
mendorong laki-laki itu kasar. “Ngapain lo?!”
“Kenapa? Sewot banget?”
“Iya lah, anj*ng!”
“Emangnya dia siapa lo?” tunjuknya pada Beby.
Arthan tersenyum miring, mendekatkan tubuhnya pada Farhan. Berbisik tepat di
telinga Farhan, “Lo nanya, dia siapanya gue?”
“Iya.”
“Calon istri gue.”
Bugh!
Melihat Farhan tersungkur di aspal, Arthan tertawa kecil. Laki-laki itu meraih kerah
seragam Farhan. “Sekali lo sentuh dia, mati lo di tangan gue.” Kepalanya menoleh pada Beby
yang terlihat tidak takut sama sekali, malah terlihat biasa saja. Apakah perempuan itu tidak
takut dikelilingi para laki-laki haus wanita seperti itu?
Ia tarik pergelangan tangan Beby untuk menjauh dan membawa Beby ke parkiran
motor. “Lo gila? Kenapa lo nggak kabur aja, sih?!”
“Urusan gue sama dia belum selesai.”
“Urusan apa? Biar gue yang urus.”
Beby menggeleng pelan. “Farhan selalu ganggu gue dan maksa gue untuk jadi
pacarnya. Tapi gue nggak mau.”
Mendengar penjelasan itu, Arthan naik darah. Tangannya mengepal keras dengan
kepala kembali menoleh ke arah Farhan tadi. Belum sempat kakinya melangkah, Beby
menahan Arthan. “Mau ke mana?”
“Gue nggak suka ada yang ganggu lo.”
“Gue bisa urus itu.”
Arthan menyorot Beby tajam. “Mulai detik ini, urusan lo, urusan gue juga.”
“Lah? Nggak bisa gitu, dong!” protes Beby.
“Tentu bisa. Karena lo, milik gue.” Setelah itu, Arthan menarik pergelangan tangan
Beby untuk naik ke atas motornya tanpa mau mendengar alasan apapun. Daripada semakin
runyam, Beby nurut saja. Ia naik ke atas motor besar milik Arthan. Warnanya sama seperti
dulu, hitam berpadu hijau.
“Pake.” Arthan menyodorkan jaket hitamnya. “Tutupin paha lo.” Dengan asal, Arthan
meraih helm yang terletak di motor orang yang tidak ia kenal. Ia pakaikan helm itu pada
kepala Beby. Arthan belum naik ke atas motor, baru Beby saja. “Pake.”
“Helm siapa?”
“Nggak tau.”
“Lo nyuri dong?!”
“Nyuri demi kebaikan, nggak apa-apa.”
Beby tak dapat menahan tawanya sedangkan Arthan tidak tahu di mana letak lucunya.
Arthan hanya tahu kalau Beby yang tengah tertawa itu cantik sekali.
“Lo nyuri, bego! Masih aja kayak dulu! Kalau orang yang punya marah, gimana?”
tanya Beby menghentikan tawanya tadi.
Arthan mengangkat bahunya acuh. “Gue marahin balik.”
“Kalau dia marahnya ke gue, gimana?”
“Siapa yang ngizinin untuk marahin lo?”
***
Arthan berlari masuk ke dalam rumah tanpa merapikan sepatu yang ia lempar asal.
Laki-laki dengan seragam putih abu itu mencari Bunda. “Bunda?”
“Cuci tangan dulu! Jorok banget!” omel Bunda.
Menuruti ucapan Bunda, Arthan langsung mencuci tangannya. Setelah itu, ia duduk di
meja makan. “Bunda, Arthan ketemu sama Beby.”
Mendengar itu, Bunda langsung menghentikan racikan bumbu dapur. Membalikkan
tubuhnya mengadap Arthan. Kening Bunda berkerut bingung. “Beby?”
“Iya, temen kecil Arthan dulu.”
“Ketemu di mana?”
“Kemarin, Arthan ketemu dia di toko cokelat. Hari ini, dia jadi anak baru di SMA
Sakura,” ucap Arthan memberikan penjelasan.
Bunda mengelap kedua tangannya lalu melangkah mendekati meja makan. Duduk di
depan Arthan dengan wajah serius. “Keluarganya pindah ke sini lagi?”
“Iya, dari Beby SMP.”
“DEMI APA?!”
Arthan mengangguk pasti. Bunda pasti senang karena bisa bertemu dengan teman
lamanya lagi. Arthan meraih ponselnya, lalu mengarahkan pada Bunda, menunjuk sebuah
foto perempuan yang tengah tersenyum ke arah kamera. “Ini Beby.”
“MASYAALLAH! CANTIK BANGET!”
“Arthan mau Beby, Bunda.”
Bunda mendongak, menatap bingung anak bungsunya. “Mau Beby?”
“Arthan nggak mau pacaran. Bunda, jodohin Arthan sama Beby, ya?”
Pletak!
“Kamu pikir gampang?! Kamu izin ke orangtuanya, lah!” omel Bunda galak.
Arthan mengangguk paham. Ia juga tagu apa yang harus ia lakukan. Semua telah
tertata rapi di otak cerdiknya. Segalanya telah ia siapkan dari beberapa tahun yang lalu dan
hari ini, adalah awal dari semuanya. Setelah berhasil meyakinkan Bunda, Arthan segera
berganti pakaian. Awal dari semuanya, harus ia mulai dari hari ini.
Ia menggunakan baju kaos hitam dengan jaket. “Bunda, Arthan berangkat dulu.”
“Iya, titip salam, ya! Bilangin, main ke sini!”
Mengacungkan jempol tanda setuju, Arthan segera meraih kunci motor dan keluar
dari rumah. Senyumnya mengembang perlahan walau rasa gugup juga melanda kepercayaan
dirinya. Tapi, itu semua ia usahakan tidak terlihat. Ia masih mengingat jalan waktu
mengantartkan Beby tadi. Perumahan besar di komplek sebelah, ternyata selama ini, jarak
mereka tidak jauh.
Arthan melihat seorang perempuan baru saja keluar dengan motor besar hitam
pekatnya. Ia tahu itu siapa, tentu saja Beby. Namun, bukan waktunya ia mengikuti Beby, ada
hal yang lebih penting dari itu. Rasa gugupnya membuat Arthan keringat dingin. Ia ketuk
pintu sehingga terdengar suara berat dari dalam.
“Sebentar!” Pintu terbuka menampilkan seorang laki-laki dengan pakaian rumah
santai. Itu Bang Rafi. “Nyari siapa?”
“Mau ketemu sama Papi dan Mami, Bang.”
Laki-laki di depan Arthan itu terlihat bingung. “Bang? Lo kenal gue?”
“Gue Arthan, temen kecil Beby.”
Rafi melotot kaget mendengar itu. Arthan?
“Arthan yang ompong itu?”
“Udah nggak kali, Bang!” protes Arthan galak.
“Gila, gila! Lo beda banget!” Rafi merangkul Arthan untuk masuk ke dalam rumah.
Membawa laki-laki yang dulu masih setinggi kaki, kini tingginya sudah melewati Rafi. “Lo
udah ketemu Beby?”
“Udah. Cantik banget dia, ya.”
“Iyalah! Siapa dulu abangnya?!”
“Ada yang mau gue omongin. Ada Mami sama Papi?”
Rafi mengerutkan keningnya. Wajah Arthan serius sekali. Rafi mengangguk. “Gue
panggilin dulu, sebentar.”
Melihat kepergian Rafi, Arthan semakin gelisah. Apakah orangtua Beby akan
menyetujui keinginannya? Keringat dingin semakin membuatnya gugup. Arthan ingin kabur,
tapi itu menghambat rencananya.
Seorang wanita dan pria yang tidak muda lagi itu turun dari tangga, ditemani Rafi.
Arthan hampir pingsan detik itu juga.
“Loh, siapa ini?”
“Arthan, Mi.”
“Arth... ARTHAN SI BONEKA TERONG ITU?!”
Senyum Arthan mengembang. Ternyata Mami masih ingat. Arthan mengangguk.
“Iya, Mi.”
“Ya ampun! Kok, kamu jadi ganteng banget gini?!”
Rafi geli sendiri mendengarnya, laki-laki itu meminta Mami dan Papi untuk duduk.
Tiga orang di depannya seakan sedang menginterogasi. Arthan meremas jemarinya sendiri
untuk menetralkan rasa gugup.
“Ada yang mau Arthan omongin, Mi, Pi, Bang.”
“Iya, ngomong aja!” sahut Mami semangat. Matanya masih berbinar melihat
perubahan wujud Arthan. “Kenapa?”
Arthan membasahi bibirnya yang terasa kering. Mendongak sampai matanya beradu
dengan mata Papi. “Arthan suka sama Beby. Sampai sekarang, Arthan selalu berusaha untuk
lupain Beby karena menurut Arthan, kita emang nggak akan ketemu lagi. Ternyata salah, kita
ketemu, saat Arthan mau nyerah nyari Beby.” Arthan mengambil napas sebentar. “Satu
alasan kenapa Arthan nggak pernah mau pacaran, itu karena Beby. Arthan mau Beby dan
cuma Beby yang Arthan mau.”
Papi, Mami, dan Rafi memandang Arthan serius, menunggu kelanjutan yang akan
Arthan ucapkan.
“Arthan ada satu permintaan,” ucapnya setelah mengontrol degup jantungnya sendiri.
“Jodohin Beby sama Arthan.”
Hening.
Semuanya terdiam mendengar penuturan Arthan yang sangat spontan, terlihat percaya
diri tanpa keraguan. Hal itu tentu membuat Mami, Papi maupun Rafi kebingungan. Mereka
saja baru bertemu lagi, kenapa semudah itu Arthan berucap?
“Kamu mau main-main sama anak saya?” balas Papi tegas.
Arthan menggeleng. “Nggak, Pi. Papi boleh berbuat semau Papi kalau seandainya ada
hal yang nggak sesuai sama yang Papi harapkan. Arthan berani bilang gini karena ini tujuan
Arthan dari awal. Arthan mau Beby, Pi.”
“Beby masih kelas 1 SMA, bercanda kamu?!”
Dengan tenang tanpa keraguan, Arthan tersenyum simpul. Laki-laki itu mengangguk
pelan. “Arthan tau bukan sekarang, tapi di umur Beby yang ke delapan belas tahun. Arthan
tau, kok, sekarang belum waktunya.”
“Papi nggak mau pernikahan dini,” tolak Papi. Ia segera berdiri dengan wajah marah,
melangkah berat naik ke lantai atas tanpa berpamitan pada Arthan. Arthan tahu Papi pasti
marah. Arthan paham. Namun, ia hanya ingin Beby.
“Arthan akan buktiin kalau Arthan bisa. Besok Arthan yakinin Papi lagi. Kalau dari
Mami dan Bang Rafi?”
“Gue ikut Beby aja, kalau dia mau, ya, kenapa nggak?”
Lampu hijau.
“Kalau Mami?”
Mami berpikir sebentar, lalu membuang napas. “Mami ikut Papi.”
Pernyataan berusan tetap tidak meruntuhkan pertahanan dan tujuan awal Arthan.
Arthan segera berpamitan sebelum Beby tahu kedatangannya. Setelah pamit, ia merasa
sedikit lega. Sebenarnya, Arthan gugup setengah mati, hampir saja ia pingsan saat mendengar
penolakan Papi. Tapi tak apa, semua berawal dari kegagalan.
Arthan mengarahkan motornya ke basecamp HESPEROS. Tak sengaja matanya
melihat sebuah basecamp yang tidak jauh dari basecamp-nya. Memicingkan mata
menangkap objek yang ia kenal, itu Beby. Perempuan itu tengah bercanda ria dengan satu
laki-laki.
“Beby anak geng motor juga?” tanyanya. “Itu... Ahlul? Anj*ng!” Tanpa berpikir
panjang, Arthan mengarahkan motornya ke sana. Turun dan meraih pergelangan tangan Beby
secara tiba-tiba untuk menjauh dari Ahlul. Laki-laki berbahaya yang pernah ia kenal, lebih
berbahaya dari Farhan.
“Lo kenal sama Ahlul?”
“Lo apaan, sih!?” Beby menggertak kesal. “Tau sopan santun nggak?!”
“Jawab, lo kenal sama Ahlul?”
“Ya lo pikir aja, kalau nggak kenal, buat apa gue ngobrol!?” sentak Beby.
Arthan menajamkan matanya mengarah pada Ahlul yang kini menyinggungkan
senyum sinis. Menyebalkan sekali. Ditambah dengan satu alis laki-laki itu naik, seakan
menantangnya.
“Jauh-jauh dari Ahlul.”
“Hak lo ngelarang gue apa?”
Arthan menarik kerah Beby agar mendekat, berbisik di telinga perempuan itu dengan
suara berat miliknya yang membuat Beby merinding. “Gue cuma ngingetin lo, dia nggak
sebaik kelihatannya. Ahlul, munafik. Dan lo, akan dalam bahaya kalau ada di deket dia.”
Setelah mengatakan hal itu, Arthan berharap Beby akan mendengarkannya.
Melepaskan tarikan kerah Beby lalu melangkah menjauh untuk meninggalkan basecamp
AGGASA. Ternyata, Beby sudah direkrut menjadi anggota di sini, padahal perempuan itu
masih anak baru.
Beby mengerutkan keningnya bingung, entah apa maksud Arthan tadi ia juga tidak
paham. Mengangkat bahunya acuh, Beby kembali duduk di depan Ahlul dan beberapa teman
barunya untuk berbincang.
“Tadi Arthan bilang apa sama lo? Serius banget kayaknya, lo kenal dia?” tanya Dhifa.
“Temen kecil gue.”
Mendengar itu, Dhifa, Rachel, dan Layla membelak kaget. “Temen kecil? Demi apa?
Si Arthan?!”
“Hm, kenapa? Biasa aja kali.”
“Gila! Si Arthan itu inceran anak SMA Sakura, By! Asal lo tau, dia masih kelas 10
tapi udah mau direkrut jadi ketua HESPEROS,” ucap Layla antusias. “Udah gitu ganteng,
andai dia pacar gue...”
Beby bergidik geli, teman kecilnya, si ompong itu ternyata berubah menjadi seorang
remaja laki-laki yang digemari banyak perempuan? Mereka tidak tahu saja bagaimana Arthan
yang sebenarnya, kelihatannya saja berwibawa, padahal mah, pencinta boneka terong.
Omong-omong boneka terong, apakah Arthan masih menyimpan boneka terong yang
pernah ia kasih saat kecil dulu?
“Beby, Arthan suka sama lo, ya?” tanya Rachel.
Beby melirik Rachel. “Suka sama gue?”
“Iya, keliatan banget tau! Apa lagi kemarin di sekolah yang tiba-tiba meluk lo.
Beruntung banget nasib lo, By.”
“Apa yang bikin beruntung, sih? Biasa aja padahal,” sarkas Beby.
Dhifa, Rachel, dan Layla saling melirik seakan berbicara menggunakan suara hati.
Senyum-senyum memandang Beby. Beby jadi takut, apakah teman barunya tidak waras?
Atau terkena virus?
“Serem, anjir! Jangan liatin gue gitu!”
“Lo suka sama Arthan?” Ahlul buka suara. “Kayaknya, lo ladenin dia.”
“Nggak, ngapain suka sama orang kayak dia!?”
Mendengar itu, Ahlul tersenyum tipis, semoga apa yang Beby lakukan sesuai dengan
ucapannya barusan. Karena sebenarnya, Ahlul bergabung menjadi anggota AGGASA karena
adanya Beby. Meskipun perempuan itu baru saja direkrut, Beby sudah diincar sejak beberapa
waktu lalu oleh anggota AGGASA. Desas-desus anak baru yang memiliki kepintaran dalam
bela diri.
“Kenapa lo senyum-senyum gitu, Lul? Suka lo, ya, sama Beby?”
“Apaan, dah!?”
***
“Bunda! Susu mana, Nda?” Arthan ketar-ketir sendiri karena terlambat. Walaupun
sudah sering, tapi hari ini ada ulangan harian dan guru yang mengajar juga tegas. Segera ia
pasangkan sepatu di kedua kakinya lalu berlari kecil untuk meraih gelas susu di atas meja.
Tak lupa mendatangi Bunda untuk mengecup pipi Bunda, sudah menjadi kebiasaannya.
“Arthan berangkat dulu, Nda.”
“Hati-hati! Jangan ngebut!”
Langsung saja ia naik ke atas motor dan mengarahkan pada SMA Sakura, tidak terlalu
macet jadi tidak perlu memakan banyak waktu di jalan. Sampai pada depan gerbang, ternyata
telah ditutup. Sial! Arthan kembali terlambat. Namun, hal itu tidak menghambat prestasinya
dalam kecurangan, Arthan memarkirkan motor di warung belakang sekolah dan bergerak ke
area belakang, tempat biasanya masuk diam-diam.
“Aku balik ke sini, untuk nemuin kamu lagi.”
Seorang laki-laki dan perempuan tengah berhadapan, berdiri di dekat dinding. Tidak
asing sekali, matanya memicing untuk mendapatkan jawaban. Arthan bergerak pelan,
mengendap-endap.
“Buat apa? Sedangkan gue udah nggak peduli lagi sama lo.”
“Aku tau kamu bohong, cara kamu natap aku masih sama.”
Perempuan itu berdecih sinis. “Sok tau lo!”
“Beby, aku nggak akan lepasin kamu lagi.”
Sebentar, Beby? Apakah Arthan tidak salah dengar? Suara laki-laki tadi juga sangat
tidak asing sekali. Kembali menajamkan penglihatan sampai dua orang itu agak berjauhan,
terlihat jelas siapa mereka. Mata Arthan membulat kaget. Aksa dan Beby? Ada hubungan apa
antara dua orang itu?
“Lo yang ninggalin gue dan sekarang dengan nggak tau malunya, lo bilang kayak
tadi?” Beby tertawa sinis. “Lebih baik lo sadar diri.”
Setelah itu, Beby mendorong Aksa dan meninggalkan Aksa sendirian. Arthan mundur
dan bersembunyi di balik pohon rindang. Otaknya kembali berpikir apa yang telah terjadi
antara Beby dan Aksa? Tidak itu saja, setiap Arthan menceritakan Beby, pasti Aksa diam.
Tidak pernah ikut dan mata laki-laki itu tidak bisa berbohong kalau Aksa tidak suka Arthan
membicarakan Beby.
Setelah kepergian Aksa dan Beby, Arthan masih ingat dengan ulangan harian. Manjat
ke pohon besar yang menjadi alat bantu ia menerobos dinding tinggi sekolah. Matanya
menatap seluruh penjuru arah, mencari aman. Dirasa semuanya tidak ada yang mencurigakan,
Arthan melompat.
“ASTAGFIRULLAH!”
“Heh, geblek!” Arthan melotot kaget saat melihat Rafdy tengah mojok bersama
seorang perempuan. “Mojok di tempat yang bagus dong! Masa di belakang sekolah!?”
“Diem lo! Ganggu aja!”
Rafdy menarik perempuan itu menjauh. Melihat kepergian Rafdy, Arthan hanya bisa
elus dada. Kenapa laki-laki itu masih saja bermain perempuan? Apakah tidak ada niatan
untuk bertaubat? Tidak menghiraukan hal tadi, Arthan berlari kecil masuk ke dalam kelas.
Keningnya berkerut karena tidak melihat guru sama sekali. Tangannya terangkat untuk
memberi kode pada Gentha.
“Tha! Guru mana?”
Yang dipanggil menoleh. “Rapat.”
“Anjir?! Nggak jadi ulangan?!”
“Nggak.”
“SIALAN! TAU GITU GUE TIDUR AJA DI RUMAH!” Arthan mencak-mencak
sendiri. Daripada semakin kesal, Arthan segera meletakkan tas hitamnya di bangku dan
keluar dari kelas untuk mencari udara segar. Sorot matanya jatuh pada seorang perempuan
yang sedang melahap bakso, duduk sendirian. “Beby!”
Dengan semangat empat lima, Arthan duduk di samping perempuan itu, menoel pipi
Beby yang penuh dengan bakso. “Bagi dong!”
“Beli!”
“Suapin, laper nih belum sarapan.”
“Salah sendiri!”
Tak putus semangat, Arthan mengambil alih arah sendok ke mulutnya dan ia lahap.
Menyinggung senyum puas sehingga Beby menatapnya tajam, tidak menyeramkan, malah
membuat perempuan itu terlihat sangat menggemaskan.
“Lo tau nggak, sih, kalau lo cantik?”
“Tau.”
“Anjir!” umpat Arthan. “Percaya diri banget lo, Beby ngepet!”
Spontan, Beby menoleh kasar. “Bilang apa lo tadi?!”
“Apa?” tantang Arthan. “Beby ngepet?”
Dengan emosi yang ingin sekali ia limpahkan, Beby berkacak pinggang. Mata
perempuan itu tajam sekali, emosi yang sudah di ubun-ubun harus ia selesaikan pada Arthan.
Si pengganggu, masih sama dengan Arthan belasan tahun yang lalu. “Lo tuh nyebelin banget,
sih!”
“Makanya, jangan gemesin jadi orang.”
“Dasar, Arthan sethan!”
Ya, dari situlah awal mula panggilan bersejarah dimulai. Arthan sethan dan Beby
ngepet.
***
Kelincahan Arthan bukanlah suatu hal yang dapat diremehkan. Kini, para anggota
baru HESPEROS sedang dilatih dan dipantau siapa yang berhak memegang kuasa
berikutnya. Begitupun dengan anggota AGGASA yang berlatih di samping mereka.
Anggota AGGASA tidak sebanyak HESPEROS. Namun, tetap menjadi patokan para
geng motor di sekitar karena ketangguhan atas pimpinan ketua mereka. Arthan dan Beby kini
disatukan menjadi lawan bertanding. Sebuah kegiatan yang dapat mengingatkan mereka
dengan kenangan saat kecil dulu, di mana Arthan dan Beby selalu balapan dengan motor
mainan.
“Gue mau ajak lo taruhan,” ucap Arthan.
Beby menoleh. “Berani apa?”
“Yang kalah, harus turutin satu permintaan pemenang.”
“Deal!”
“Siap?”
Suara derum motor terdengar, Arthan dan Beby saling melirik dari dalam pelindung
kepala. Motor besar berwarna hitam berpadu hijau milik Arthan dan motor besar hitam pekat
milik Beby membuat seluruhnya terpesona.
“One!”
“Two!”
“Three!”
“Go!”
Setelah mendengar pelatuk pistol yang diarahkan ke atas langit, Arthan dan Beby
mulai menjalankan motor mereka masing-masing. Walau terlihat baru, tapi keduanya sangat
lincah, berbagai teknik gerakan ternyata sudah mereka pahami. Tak jarang keduanya saling
melewati. Beby dengan cerdik menyalip Arthan dan Arthan membalas hal itu tak kalah tajam.
Pertarungan keduanya membuat suasana tegang, tidak ada yang mau mengalah sama sekali.
Sampai beberapa saat, Arthan berhasil melewati garis akhir lebih dulu beberapa detik
sebelum disusul oleh Beby.
“WOOOO, ARTHAN!”
Arthan dengan kilat melepaskan pelindung kepala, melangkah angkuh ke arah Beby
yang kini sedang memaki Arthan dalam hati. Beby tahu, Arthan pasti akan menyombongkan
diri.
“Teknik lo, oke juga. Ya... walaupun gue pemenangnya.”
“Apa permintaan lo?”
Arthan menyinggungkan senyum miringnya, menarik Beby agar lebih dekat, berbisik
tepat pada telinga perempuan itu, “Izinin gue ke rumah lo.”
“Ke rumah gue?”
“Hm.”
“Ngapain? Kurang kerjaan banget!”
“Yang kalah harus turu—”
“Iya!” sentak Beby memotong ucapan Arthan. “Tapi nggak sekarang.”
Kening Arthan berkerut tak terima. “Gue maunya sekarang.”
“Kenapa maksa banget, sih!?”
“Karena tanpa paksaan, lo nggak akan jadi milik gue.”
Sejujurnya, Beby kesal setengah mati. Andai saja membunuh itu tidak berdosa, Beby
berjanji akan membunuh laki-laki itu sekarang juga. Dengan kekesalan yang sudah melewati
batas, ia lempar kunci motornya pada Arthan. “Ayo.”
“Good girl.”
Arthan memperhatikan gerak-gerik Beby yang tengah memakai helm, matanya tak
lepas menatap kagum perempuan itu. Setelah dirasa siap, Arthan mulai naik dan
mengarahkan motor milik Beby ke rumah milik perempuan itu. Tidak memikirkan bagaimana
nasib motornya yang ditinggal, ini adalah kesempatan besar yang tidak dapat dilewatkan.
“By?”
“Hah?”
“Lo pernah pacaran, kan?”
“Pernah.”
Hal itu semakin meyakinkan. “Udah putus atau masih pacaran?”
“Udah selesai,” jawab Beby malas. Walaupun tidak pernah ada yang mengucapkan
bahwa hubungan keduanya telah usai, Beby mengambil keputusan sepihak. “Emangnya
kenapa?”
“Itu artinya, gue bisa milikin lo.”
Keduanya tidak lagi membuka percakapan karena sudah sampai di halaman rumah
Beby. Beby turun lebih dulu diikuti Arthan yang mengikuti langkah Beby dari belakang
seperti seorang anak yang takut ditinggal ibunya.
“Assalamualaikum!”
“Mau minum apa?” tanya Beby.
Arthan menggeleng. “Nggak usah, thanks. Cuma mau ke sini aja.”
Beby mengangkat bahunya acuh. Ya sudah, bagus. Beby duduk di sofa sebelah
Arthan, bersandar lalu memainkan ponselnya. Biarkan Arthan bosan agar laki-laki itu segera
pergi dari rumahnya.
Suara langkah kaki terdengar, ternyata Mami, Papi dan Rafi diikuti oleh Clarisa.
Wajah galak Papi membuat jantung Arthan berdebar keras layaknya seorang pacar yang ingin
meminta restu. Belum lagi Rafi ikut memasang wajah galak.
“Ngapain kamu ke sini?” tanya Papi.
Keringat dingin mulai bermunculan. “Anu, mau anter Beby pulang, Pi.”
“Pa-pi-pa-pi, emangnya saya Papi kamu?!”
Arthan tersenyum kikuk. “Maaf, om.”
“Om?! Kamu pikir saya om kamu?!”
Salah lagi. Entahlah Arthan harus apa juga ia tidak tahu. Sepertinya posisi kali ini, ia
serba salah. Papi menyuruh Beby untuk masuk kamar tanpa mau mendengar bantahan, jadi
hanya tersisa Papi dan Rafi.
“Masih tetep mau dijodohin sama anak saya?” tanya Papi membuat Arthan
mengangguk pasti. Papi memicingkan mata, menyodorkan satu tangannya pada Arthan.
“Pijitin.”
“Loh?”
“Apa? Mau bantah?” tantang Papi.
Rafi ikut menyelonjorkan kakinya pada Arthan. “Gue juga, pegel habis main futsal.
Kalau nolak, restu gue cabut.”
Dengan wajah pasrah, Arthan menyentuh tangan Papi dan kaki Rafi, mulai memijat
penuh tertekan dalam dirinya. Tapi tidak apa, demi Beby, disuruh membuat candi juga akan
Arthan lakukan alam satu malam.
“Kepalanya dong, yang benar pijitnya!”
“Tapi, Pi—”
“Oh mau protes?”
“Nggak, kok. Mau sekalian Arthan bunyiin nggak jarinya?”
“Ya iyalah! Pake nanya lagi!” omel Papi.
Elusan dada penuh kesabaran, padahal niat awalnya ingin modus pada Beby. Ternyata
semesta tidak berpihak padanya, keluarga Beby masih sama, tetap suka menistakannya. Tapi
tak apa, demi restu, semua akan ia lakukan.
“Kalau bukan gara-gara lo, By. Ogah gue.”
“Ngomong apa lo?”
“Nggak, Bang.”
***
Pagi hari yang cerah, Arthan sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Satu hal yang
membuat Bunda ternganga karena Arthan bangun pagi sekali, dan seragam yang Arthan
pakai juga terbilang rapi, tidak seperti biasanya. Laki-laki remaja yang masih duduk di
bangku kelas 10 SMA itu meraih potongan roti yang baru saja Bunda olesi selai cokelat.
“Kamu kesambet, ya? Rapi banget, pagi juga lagi berangkatnya?”
Arthan senyum-senyum sendiri. “Aduh! Bunda nggak pernah muda, ya? Arthan mau
mengejar cinta pertama dan terakhir Arthan. Nggak mau kelolosan lagi, Nda.”
“Maksud kamu Beby?”
“Iya! Cantik banget dia, Nda, sekarang. Arthan sampai pangling liatnya, rasanya ya,
Nda, Arthan mau nikahin Beby sekarang juga.”
Pletak!
“Masih kelas 1 SMA nggak usah mikirin nikah-nikah! Masih kecil!”
Arthan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Hehehe, kelas dua belas,
bakal ada ucapan gini. Sah!”
“Ngadi-ngadi kamu!” Bunda melotot galak. “Emangnya udah dikasih izin sama Mami
dan Papi?”
“Belum, sih, tapi semua butuh proses, Nda. Liat aja nanti, Arthan pasti bakal berhasil
milikin si my bebeb.”
Bunda geleng-geleng heran dengan tingkah anaknya, entah bahasa apa lagi yang
Arthan pakai. Bunda kembali fokus membuat sarapan pagi untuk ayah dan anak sulungnya.
Matanya menangkap tangan Arthan. “Ngapain?”
“Salim, Nda.”
“Beliin Bunda cokelat, enam!”
“Iya, Bunda. Ya udah, Arthan berangkat dulu.”
Setelah mendapat anggukan setuju dari Bunda, kakinya melangkah ke parkiran motor
rumah. Tak lupa membawa satu helm lagi untuk modus, ya apa lagi kalau bukan menjemput
Beby. Dengan senyum lebar yang tidak luntur, Arthan mulai mengendarai motor keluar dari
perumahannya menuju perumahan Beby yang tidak begitu jauh.
Sapaan hangat dari satpam membuat paginya kembali cerah. Sampai pada sebuah
rumah yang sangat ia kenali, Arthan berdoa terlebih dahulu karena ia melihat mobil milik
Rafi, sudah pasti kakak dari Beby itu akan menyusahkan pendekatannya kali ini.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” sahut perempuan dari dalam. Bibi melangkah untuk membuka
pintu utama. “Loh? Ini Den Arthan temen kecilnya Non Beby?!”
“Iya, Bi. Masih inget aja sama orang ganteng?”
Bola mata Bibi berbinar, mana mungkin ia lupa dengan anak itu. Anak laki-laki yang
paling susah diatur, bahkan untuk menyuapi makanan saja butuh pengejaran ekstra selama
satu jam lebih. Bibi menepuk pundak Arthan. “Kangen banget sama kamu, Den Arthan! Pasti
makin bikin Bunda kamu pusing, ya?”
“Aduh! Nggak dong, Arthan sekarang anak baik, suka pengajian.”
“Wow! Keren dong?”
“Bibi gampang diculik, deh. Ya kali Arthan beneran.”
Tuh, kan. Baru saja pertemuan pertama, Bibi sudah dibuat naik darah oleh anak itu.
Daripada umurnya tak panjang, Bibi mempersilakan Arthan untuk masuk dan duduk di meja
makan. Di mana Mami, Papi, Beby, Clarisa dan Rafi tengah berkumpul sarapan.
Sorot mata Papi bagaikan film horor, mata tajamnya menatap Arthan galak. Ingin
ngompol di celana sebenarnya, tapi tidak mungkin. Arthan tersenyum kikuk lalu duduk di
samping Rafi, karena ia paham, jika duduk di samping Beby, maka tamatlah riwayatnya.
“Assalamualaikum, Pi, Mi, Bang, dan Clarisa.”
“Sok kenal banget kamu panggil Papi?” balas Papi sewot. “Percaya diri banget
kamu!”
Rafi yang melihat itu hanya menahan tawa tanpa membantu Arthan. Arthan yang
sekarang dan Arthan saat usia 5 tahun dulu masih tetap sama, wajah tengil dan songong
berubah menjadi satu. Tak lupa dengan tingkat laki-laki itu yang selalu percaya diri dengan
ketampanannya.
“Arthan mau ajak Beby berangkat sekolah bareng, boleh nggak?”
“Gimana, ya, cara jawabnya? Gimana saya bisa jawab pertanyaan yang nggak jelas!”
Papi membuang muka, ia duduk di samping Mami tanpa mau melihat Arthan sedikit pun.
Kali ini, Arthan benar-benar seperti makhluk halus yang hanya menunggu pemilik rumah
pergi. Tidak dianggap, bahkan diberikan piring untuk makan saja tidak.
“Lo mau makan apa? Kangkung? Ayam gulai?”
Arthan mendongak. Beby menawarkan makanan?! Dengan antusias yang terlewat
batas, Arthan mengangguk bahagia. “Bol—”
“Siapa yang izinin kamu makan di sini? Kamu, kan, punya rumah. Balik sana!”
“Tau tuh!” sahut Rafi membenarkan perkataan Papi. “Masa orang kaya, numpang di
rumah orang?”
“Papi, Bang Rafi, udah. Nanti aku telat kalau kalian nyahut mulu,” tegur Beby.
Arthan berusaha menyembunyikan senyuman mautnya. “Mau ayam gulai aja, By.”
Mendengar itu, Beby mengangguk. Tangan mungilnya mulai meraih piring serta nasi
dan meletakkan ayam gulai di atas nasi. Arthan yang melihat itu tidak dapat menahan detak
jantung yang kini benar-benar hampir lepas dari tempat asalnya. Beby meletakkan lauk yang
ia sediakan di depannya.
“Makan. Mau berangkat bareng gue, kan?”
“Ma-mau.”
“Ya udah, makan.”
Arthan mengangguk pelan seperti anak kecil yang mematuhi ucapan ibunya. Hal itu
membuat Rafi ingin muntah sekarang juga, menggelikan sekali melihat Arthan si tengil itu.
Semuanya sibuk dengan makanan masing-masing, Clarisa dan Papi berangkat lebih dulu
kemudian diikuti Rafi. Tersisa Beby, Arthan, dan Mami.
“Kalian mau berangkat bareng?”
“Iya, Mami,” jawab Arthan. “Boleh?”
“Loh kok tanya Mami? Tanya Beby aja.”
Sorot mata Arthan beralih, menatap Beby yang kini terlihat agak gugup. “By?”
“Apa?”
“Mau berangkat bareng gue?”
“Iya, mau.”
Bukan Arthan atau pun Beby, melainkan Mami senyum-senyum gemas, bahagia
sekali rasanya melihat dua teman masa kecil itu kembali bersama, rasa bersalahnya dulu
sudah tidak begitu membekas. Arthan dan Beby kembali seperti semula, itu tujuan utamanya
kembali ke sini.
***
“Arthan! Rafdy! Bayar uang kas!” Seorang perempuan bertubuh gempal mengamuk,
mengejar Arthan dan Rafdy yang berusaha menghindar dari tangkapan menagih uang kelas
itu.
Rafdy cekikikan sendiri melihat bendahara kelas kewalahan. “Ngutang dulu!”
“Heh, miskin! Cewek doang banyak, bayar uang kas aja nggak mampu!”
Mendengar hinaan itu, Rafdy melotot kaget. Sial! Harga dirinya dipertaruhkan, belum
lagi ada seorang perempuan di kelas yang sedang ia dekati, buaya buntung macam Rafdy
memang tidak akan pernah bisa hanya satu perempuan. Arthan menertawakan Rafdy yang
sedang kebingungan. “Ah, Rafdy mah miskin! Sini gue bayarin.” Arthan mengorek sakunya
lalu menyodorkan uang lembar berwarna biru pelan-pelan.
Pletak!
Kan, benar. Rafdy menepis tangan Arthan, langsung saja ia berikan dua lembar uang
berwarna merah muda pada bendahara kelas. “Gue bayar sekalian punya Arthan, nggak usah
kembalian!”
“Kembalian? Stres lo? Kurang sepuluh ribu! Lo nggak inget pernah minjem uang kas
buat jalan sama cewek lo?!”
“Heh!” Rafdy tergagap panik. “Diem, njir!”
Drama seperti ini sudah sering terlihat, bahkan sepertinya menjadi keseharian Rafdy
dan si bendahara kelas. Arthan cuma takut si bendahara kelas menjadi korban selanjutnya.
Daripada pusing sendiri, Arthan melangkah keluar kelas, hari ini guru sedang melakukan
rapat untuk kurikulum, jadi seluruh siswa-siswi diizinkan untuk tidak melakukan pelajaran
asal tidak keluar dari area sekolah. Jadi Arthan memilih untuk menemui pujaan hatinya.
Senyum sumringah yang terlihat sangat menawan itu membuat para kaum hawa, meneguk
ludah kasar. Belum lagi kancing yang sengaja dilepas.
“Layla!”
Yang dipanggil menoleh. “Hah?”
“Beby mana?”
“Di dalem kelas, kenapa? Suka, ya, lo sama si anak baru?” selidik Layla.
Layaknya tidak punya malu, Arthan malah mengangguk percaya diri. “Calon istri gue,
tuh!”
“Idih? Emangnya dia mau sama lo?”
“Ngeremehin gue? Liat aja nanti kelas 3, lo bakal dapet undangan,” ucap Arthan
tengil. Arthan membuang muka, melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kelas Beby.
Matanya menangkap seorang perempuan yang tengah bercengkrama dengan seorang laki-
laki, tapi tidak begitu jelas karena hanya punggung yang ia lihat.
“Beby!”
Keduanya menoleh. Beby bersama... Ahlul. Hal itu membuat Arthan berdecak malas,
laki-laki itu lagi, entah apa yang sedang Ahlul rencanakan berikutnya sampai harus
mendekati Beby. “Kantin mau nggak?”
“Nggak deh, belum laper.”
“Lo pikir, gue suka ditolak?” decak Arthan kesal. Tanpa meminta izin, Arthan meraih
pergelangan tangan Beby dan menarik perempuan itu keluar dari kelas. Arthan paham sekali
dengan raut wajah Ahlul, pasti laki-laki tadi sangat kesal. “Lo masih deket sama Ahlul?
Padahal udah gue peringatin untuk nggak deket sama orang itu, tapi lo ngeyel, terserah lo.”
“Dia temen gue, anggota AGGASA juga. Jadi, buat apa gue jauhin dia?” tanya Beby
tak terima. “Lo kalau nggak suka sama Ahlul, bukan berarti lo bisa jelekin dia kayak gini.”
Arthan menoleh, melirik Beby yang tengah kesal. Susah sekali diberi tahu.
Mengangkat bahu acuh, keduanya kembali melangkah ke kantin sekolah, tak sedikit dari
siswa-siswi melirik mereka penasaran.
“Beby?” Arthan duduk di depan perempuan itu. “Gue mau nanya.”
“Tanya aja.”
“Kalau misalnya, ada yang mau serius jalin hubungan sama lo, gimana?”
Beby mengangkat satu alisnya bingung. “Lo percaya sama cinta? Gue, sih, nggak.
Ujung-ujungnya cuma putus, saling sindir, gagal move on, dan berantem. Itu doang fasenya.”
Mendengar itu, Arthan benar-benar kebingungan, entah apa yang pernah perempuan
itu alami sampai berani mengatakan hal itu.
“Tapi nggak semua laki-laki, sama kayak masa lalu lo. Jangan pernah bikin tolak ukur
sendiri sebelum lo bener-bener tau,” selak Arthan. “Nggak semua orang sama.”
Tawa kecil terdengar di telinga Arthan, lebih tepatnya tawa meremehkan ucapan
Arthan barusan. “Iya beda, beda cara nyakitinnya.”
“Apa yang pernah dia lakuin sampai lo mikir kayak gitu? Diselingkuhin?”
“Apa yang gue dapetin kalau gue jawab pertanyaan lo?” tantang Beby balik.
Beby adalah seorang perempuan yang paling tidak suka ditanya tentang hal yang
berbau masa lalu. Karena menurutnya, itu terlalu mengganggu dan tidak pentas untuk
dipertanyakan, hanya membuatnya kembali mengingat hal yang tidak pernah ingin ia ingat.
“Nggak bisa jawab? Jadi untuk apa gue jawab pertanyaan lo? Harusnya lo paham apa itu,
privasi.”
“Lo belum selesai sama masa lalu lo, kan? Apa itu artinya, gue nggak bisa masuk
untuk gantiin posisi orang itu?”
“Ucapan lo ngelantur!” sentak Beby tak suka. Meraih ponsel yang ia letakkan di meja,
dan memainkan asal, entah apa yang ia buka yang penting bisa menghalangi pandangannya
dari Arthan. Kesal sekali rasanya. Arthan terlalu lancang untuk bertanya hal itu.
“Apapun alasan lo, gue nggak akan mundur, By.”
Beby berdecak malas. “Nggak usah dilanjutin, males dengernya.”
“Woi, bro!”
Ck. Pengganggu.
Rafdy, Jingga, Gazza, Gentha, Biru, Alby, Aksa, dan Pandu langsung duduk tanpa
izin mengelilingi Arthan dan Beby. Wajah tanpa dosa dari mereka berdelapan benar-benar
ingin sekali Arthan musnahkan dalam sekejap. Tapi ada satu hal yang membuatnya bingung,
perubahan raut wajah Beby sangat terlihat saat anggota HESPEROS duduk di sini. Entah apa
maksudnya, tapi Beby terlihat menghindar dari seseorang.
“Apa orang yang lo maksud, ada dari salah satu mereka?”
***
Arthan gugup sekali. Kini, di depannya ada Papi dan Rafi yang menatap wajahnya.
Pulang sekolah tadi, Rafi menghubunginya untuk datang ke rumah, entah apa yang akan yang
terjadi, Arthan hanya bisa pasrah dengan semuanya. Belum lagi melihat wajah songong dari
Rafi yang seakan tengah mengejeknya.
“Hal apa yang bisa saya percaya untuk melepas anak perempuan saya untuk kamu?”
tanya Papi spontan.
Arthan terdiam sebentar. “Saya nggak bisa menjamin apapun, tapi saya akan
melakukan yang terbaik untuk Beby. Katakan saya masih terlalu remaja untuk bilang ini, tapi
saya benar-benar serius. Saya laki-laki, Papi bisa pegang omongan saya.”
“Beby mau sama kamu?”
“Baru proses, Pi. Jadi sebelum saya lebih gencar deketin Beby, saya tunggu jawaban
dari Papi dulu.”
Papi bersandar pada sofa, matanya menatap Arthan untuk mencari kebohongan di
dalamnya. Papi mengangguk pelan, walau agak berat rasanya, tapi Papi paham dengan
karakter Arthan. “Saya titip Beby untuk kamu jaga. Jaga Beby dan jangan sampai ada air
mata. Saya nggak suka liat anak kesayangan sedih. Sekali aja saya liat Beby sedih, saya cari
kamu.”
“Ma-maksud Papi?”
“Saya setuju sama permintaan kamu.”
END.

Anda mungkin juga menyukai