Anda di halaman 1dari 4

#1

Perpustakaan kota tampak lenggang sore itu. Mitha merasabosan melihat buku-buku ilmu
alam di hadapanku dan menghampiri deretan buku desain. Mitha tidak takut jika sendirian di
sore hari karena ini sudah menjadi kebiasaannya sedari dulu. Berpetualang di perantauan dan
menghabiskan senja sambil menepi sejenak adalah hal favoritnya di akhir pekan.
“Eh, Mita. Kamu disini juga? Kok nggak bilang, sih?” sapa Oni dengan suaranya yang agak
manja dan cempreng. “Iya, nih. Nyari buku buat matkul, susah amat. Akhirnya melipir deh,
nyari ide buat desain konten. Haha...,” jawabnya ringan sambil mencermati isi buku yang ia
pegang.
“Iya, paham. Si kreator konten gacoannya Panji, nih,” godanya dengan senyum receh. Panji?
Panji ini siapa lagi coba? Dasar ya, orang-orang ini! Mentang-mentang aku single, seenaknya
saja menjodohkan aku.*pikirnya dalam batin*
“Tapi dia benar-benar suka lho, sama kamu, Mit. Coba deh, kapan-kapan jalan berdua gitu.
Siapa tahu cocok,” kata Oni lagi, berusaha jadi mak comblang di senja kala. “Sorry, ya, Oni.
Kayaknya omonganmu ngelantur, deh. Kenal aja, nggak,” Mita benar-benar merasa dihakimi
kalau sudah menyangkut topik seperti ini.
“Makanya kenalan. Tak kenal maka tak sayang, dong. Aku cabut dulu, ya. Ada si Panji di
pojok sana kalau mau kenalan. Hehe. See you!” kepergian Oni membuat Mita bisa bernapas
lega. Siapa juga yang butuh seorang cowok untuk bahagia? Tugas-tugas ini cepat selesai saja
aku sudah senang!
Sayup-sayup, terlihat bayangan seorang pria duduk membelakangi Mita di bangku besar
yang jaraknya sekitar tiga meter darinya. Entah mengapa, kehadirannya begitu mengusik.
Mita memandangnya lama sekali. Sosoknya seperti tidak asing. Apa aku mengenalnya?
“Oh, ya. Sebentar, ya. Ini aku masih di perpuskot,” kata pria itu sambil memegang ponsel di
telinganya. Wajahnya tampak sekilas. Deg...deg...deg...deg. Tidak salah lagi, itu dia! Bang
Evan!
Senyumku merekah seketika, tapi aku juga gugup. Bagaimana kalau dia melihatku? Apa yang
harus aku lakukan? Oke, sepertinya aku harus berpindah ke deretan buku sejarah di ujung
sana. Salah tingkah is a big no for now!
Tanpa mengalihkan pandangan, aku berjalan ke belakang. Maksud hati ingin segera pergi
darinya, tetapi... brakkk! Aku terjatuh setelah menabrak rak buku di samping kananku.
Belasan buku di rak bagian atas jatuh ke lantai, sebagian mengenai kepalaku. Hiks, rasanya
sakit sekali!
“Ada apa ini? Oh, kamu! Cepat bereskan, segera keluar kalau sudah. Jangan buat onar lagi!”
teriak salah satu penjaga perpustakaan. Ya, Tuhan. Mukaku mau ditaruh dimana? Mengapa
ini terjadi di hadapan laki-laki yang kusukai? Hilang sudah harga diriku.

#2
Setelah angkat kaki dari perpustakaan kota, Mita berlari ke halte terdekat. Tidak, aku tidak
berencana untuk pulang kampung. Hanya saja, aku butuh tempat untuk berteduh di tengah
hujan yang deras ini. Kilat menyambar dimana-mana, jalanan juga sepi.
Brum... brum. Sebuah sepeda motor tampak mendekat. Pengemudinya turun dan
memarkirkan motornya tepat pinggir kanan Mita. “Permisi, saya boleh duduk disitu setelah
ini?” tanya pengemudi misterius itu sambil menunjuk sebelah kiriku. Mita mengangguk
sambil tersenyum, “Ya, silakan.”
Resah, Mita kembali mengecek ponselnya. Mita bingung tidak ada ojek online yang
merespon. Ia bingung bagaimana dia bisa pulang? Mita merasakan pengemudi tadi sudah
duduk disampingnya. “Maaf, kalau nggak salah kamu Mita, ya?” tanyanya dengan nada sok
akrab.
“Bagaimana Anda bisa tahu nama saya?” tanyan Mita kembali dengan mata masih tertuju
pada ponselku. Dia tertawa kecil, “Makanya lihat aku, dong. Apa kamu lupa sama aku?” Mita
beranikan diri untuk menoleh ke arahnya. Benar saja, dia...
“Maaf, Bang Evan. Saya nggak tahu kalau itu Abang. Beneran. Maaf banget, lho,” jawab
Mita sambil menunduk dan menyatukan tangan. Tolol, aku benar-benar tolol sampai tidak
menyadari kehadirannya. “Iya, nggak apa-apa. Sudah, nggak usah begitu juga. Aku maafin,
kok,” ucapnya sambil terkekeh. Duh! Kalau melihatnya sekarang, sepertinya Mita akan
semakin tersipu.
Tiba-tiba saja semuanya menjadi hening, canggung. Jujur saja, Mita bingung ingin berbicara
apa kepadanya. Sesekali, dia berdehem. Mita memilih untuk memalingkan wajahku dan
melihat ke arah jalan raya. “Apa kamu lagi nunggu jemputan, Mita?” Bang Evan membuat
Mita kaget dengan pertanyaannya.
“Nggak, Bang. Saya berteduh disini. Kebetulan barusan dari perpuskot,” jawab Mita pelan.
“Abang sendiri apa nggak jemput Vivi? Biasanya jemput dia di kampus,” ku lihat dia sekilas,
ternyata dia juga melihatku. Deg... deg... deg. Kini, aku tak bisa melepaskan pandangan
darinya.
“Maunya sih, begitu. Tapi dia sudah pulang duluan katanya. Pas aku yang mau pulang, tiba-
tiba hujan. Hehe. Ya nggak apa-apa, dinikmati aja,” Mita tersenyum mendengar
perkataannya. “Iya, benar. Dinikmati aja,” ucap Mita spontan. Dia tersenyum.
“Masih suka nulis, kan?” tanya Bang Evan lagi. Mita mengangguk. “Kalau Abang gimana?
Saya masih menyimpan cerpen yang Abang kasih waktu itu, lho,” dia terdiam, berpikir. “Oh,
yang aku kirim ke kamu lewat e-mail itu, ya? Iya sih, pengennya gitu. Tapi ada banyak
urusan lah yang perlu aku selesaikan. Jadinya nggak sempat.”
Selebihnya adalah sejarah. Mereka tertawa dan berdiskusi, walau tidak pernah sedekat itu
sebelumnya. Ada banyak kesamaan dan argumen yang membuatnya seru, sampai Mita tidak
sadar hujan sudah mereda. Bang Evan melihat ke jalan dan langit, “Alhamdulillah, sudah
mulai reda hujannya. Mita, aku antar pulang, ya.”
“Nggak usah, Bang. Saya bisa pulang sendiri. Lagian, bapak kosnya galak, lho, Bang,” kata
Mita menakut-nakutinya. Dia tergelak dan menghidupkan mesin motornya. “Ah, sudahlah!
Daripada nanti kamu kenapa-kenapa. Jalannya sepi, lho. Ayo naik!”
#3
“Lho! Abang kok malah ngomong gitu, sih?” tanya Mita dengan sedikit takut. Dia menghela
napas. “Makanya, ayo naik. Keburu hujan lagi, nih,” tanpa pikir panjang lagi, Mita
menurutinya. ‘Hitung-hitung juga hemat ongkos, kapan lagi juga aku bisa dibonceng sama
Bang Evan?’ Pikir Mita begitu. Mesin motornya menderu, memecah jalanan kota yang masih
dibasahi oleh rinai hujan. Berlindung dibalik jas hujannya terasa seperti mimpi.
“Maaf, Mita. Aku buru-buru, ada urusan soalnya. Aku pulang dulu, ya,” ucapnya cepat
setelah menurunkan Mita di depan pagar kos. Mita masih mematung di tengah rintik hujan
hingga sepeda motornya tak nampak lagi. Seperti ada yang kurang, tapi Mita tidak yakin.
Sesampainya di kamar, Mita tertegun. ‘Ya ampun! Kenapa tadi aku nggak minta nomornya
juga sekalian? Nyesel kan, sekarang? Nyesek banget rasanya, huhu...’ gumamnya.
Entah mengapa sejak pertemuan di sore kesambet gledek itu (iya, aku tahu julukannya
absurd), aku terus saja memikirkannya. Apalagi, Bang Evan juga hampir setiap hari
menjemput Vivi di parkiran. Gokilnya lagi, ini terjadi di jam makan siang. Apakah dia
melihatku? Aku benar-benar tidak tahu. Yang jelas, aku melihatnya. Berdua, bersama
Vivi.*Pikirnya tak henti-henti.
“Oni, aku mau tanya. Emangnya si Vivi tuh pacaran ya, sama Bang Evan?” tanyanya kepada
Oni yang lagi menyantap bakso favoritnya di hadapan Mita “Wah! Kurang tahu juga, sih.
Tapi sepertinya begitu,” jawab Oni seadanya sambil menikmati makanannya. Huh! Begitu
minim informasi. Mau tanya langsung, aku sungkan. Mengapa aku jadi kesal begini? Rasa
green tea yang ku minum berubah menjadi pahit. Pikiran Mita yang terlalu berbelit-belit
membuat jengkel entah mengapa.
Berhari-hari juga, Mita membaca ulang cerita pendek karya Bang Evan sebelum tidur.
Judulnya Kala Sang Surya Tenggelam. Ceritanya begitu mengalir, dengan alur yang cerdas
dan membuat pembaca bertanya-tanya: kira-kira apa yang terjadi kepada Kimiko setelah
mengetahui bahwa kekasihnya memalsukan kewarganegaraannya untuk menikahinya? Gaya
tulisannya seperti Agatha Christie dan Pramoedya Ananta Toer yang digabungkan menjadi
satu. Misterius, penuh intrik, menarik, mengusik, dan mengetuk hasrat terdalam di dalam
jiwa.
Mita terpesona oleh sifat dan kharismanya. Pemikirannya, keteguhan hatinya, dan masih
banyak lagi. Setelah memastikan tethering ponselnya mati, Mita memencet tombol reply di e-
mail tersebut. Jarinya mengetik perasaanku dengan begitu cepat. Mita membiarkan semua
pikirannya tertuang disitu. Tidak akan ia kirim, jadi dia tak akan mengerti perasaan Mita
kepadanya. “Ah, selesai!” sorak Mita dengan riang.
Tak sengaja, mouse-ku mengklik sebuah tombol yang membuat e-mail itu hilang. Panik, aku
mengucek mata. “Hah?!” aku terkejut. Bagaimana tidak, tulisan pertama yang terbaca olehku
adalah mengirim! Saat aku benar-benar tersadar, ini yang ku lihat: Terkirim. DUARRRR!!!
Rasanya duniaku runtuh, tersambar petir yang menggelegar di pikiranku. Memang benar,
terkirim menuju e-mail pribadinya beberapa detik yang lalu. “Tidak!” teriakku setengah
tertahan. Huaaaa... Betapa cerobohnya diri ini!
Beruntungnya, Mita tidak punya nomornya dan tidak punya alasan untuk bertemu dengannya.
Setiap dia menjemput Vivi, Mita langsung memalingkan wajahnya. Menganggap e-mail itu
tidak pernah terkirim dan dia tak pernah menerimanya ataupun membacanya. Sejak kejadian
itu juga, Mita mengusahakan untuk selalu membawa bekal. Jadi setiap diajak ke kantin sama
Oni atau yang lainnya, Mita punya alasan. Lagipula, Oni selalu memaksanya untuk menerima
traktiran makan siang dari Panji. Belum ada hubungan, sudah berlagak jadi orang penting
saja! *Pikir Mita dengan kesal
Hingga suatu hari, Oni tidak masuk kelas. Mita juga lupa membawa bekal untuk makan
siang. Dengan gontai, Mita berjalan menuju kantin yang jauhnya na’udzubillah itu. Habis
mau bagaimana lagi? Daripada perut keroncongan.
“Mita! Bisa berbicara sebentar saja?” teriak Bang Evan. Aku memandangnya dengan
bingung. Melihatku terdiam, ia menghampiri Mita yang sedang terpaku diam. “Bisa bicara
sebentar? Kita kesana, yuk!” ulangnya lagi sambil berjalan ke arah sepeda motornya. Ada apa
lagi ini? *Pikir mita
“To the point aja, aku sudah menerima dan membaca e-mail yang kamu kirim ke aku. Mau
tanya aja, apakah itu emang buat aku atau salah kirim?” lagi-lagi Mita hanya terpaku dan
tidak bisa berkata-kata. “Apakah kamu selalu sediam ini? Nggak apa-apa, cerita aja sama
aku,” ucapnya dengan getir, seperti tertahan untuk mengucapkan maksudnya yang
sebenarnya.

#4
Bang Evan benar. Terkadang kita perlu memberanikan diri. Aku menghela napas. “Maaf,
Bang. Itu sebuah kesalahan, nggak seharusnya saya mengirim e-mail itu. Saya juga tahu
kalau Abang sudah ada yang punya, kan? Saya khilaf. Tolong anggap ini nggak pernah
terjadi, ya,” terangku panjang lebar dengan kepala tertunduk. Aku tidak berani melihat
matanya. Aku takut akan segala konsekuensi yang akan aku terima, karena aku tampak bodoh
sekarang. Setidaknya, aku lega.
“Sekarang, aku tanya lagi. Emangnya kalau aku nggak ada yang punya, apakah itu akan
mengubah segalanya?” tanyanya kembali. Terkejut mendengar tanggapannya, aku melihat ke
arahnya. Dia tersenyum, aku kembali tertunduk untuk menyembunyikan kegelisahanku.
Tiba-tiba, dia menghidupkan sepeda motor dan mengarahkannya keluar parkiran. “Abang
mau kemana?” tanyaku kebingungan. Dia naik dan menoleh sejenak ke arahku, “Aku mau
pulang. Aku tunggu jawabanmu di e-mail, ya.”
“Tapi, saya belum selesai ngomong, Bang!” teriakku. Asap mengepul menjadi jawabannya.
Ya, kurasa satu-satunya cara untuk menjawabnya adalah mengirimkan pesan, maksudku e-
mail, kepadanya. Akan ku lakukan dengan benar kali ini!

Anda mungkin juga menyukai