Anda di halaman 1dari 35

EVALUASI PROGRAM PERSENTASE ODGJ BERAT F 20 YANG

MENDAPATKAN PENGOBATAN

Pembimbing:
dr. Magda Marana Batubara
dr Agry Ridho Cendikia

Disusun Oleh:
dr. Kelvin Pangestu

PROGRAM INTERNSIP
PUSKESMAS KELURAHAN PULO GEBANG
PERIODE 13 JANUARI s/d 12 APRIL 2021
LEMBAR PENGESAHAN

Evaluasi Program

Disusun oleh :
dr. Kelvin Pangestu

Sebagai salah satu syarat dokumentasi untuk program internsip Periode 13 Juli 2021 – 12 April
2021

Jakarta, 17 Maret 2021

dr. Magda Mariana Batubara


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang dilimpahkanNya,
sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan Evaluasi Program.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis menerima segala kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan makalah ini.
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. dr. Magda Mariana Batubara
2. dr. Agry Ridho Cendikia
Yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingannya selama Internsip di Puskesmas
Kelurahan Pulo Gebang pada periode 13 Januari 2022 – 12 April 2022
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga laporan Evaluasi
Program ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya.

Jakarta, 17 Maret 2022

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………………… 2


Daftar Isi …………………………………………………………………………………. 4
BAB I Pendahuluan ……………………………………………………………………… 5
1.1 LatarBelakang ………………………………………………………........ 5
1.2 RumusanMasalah …………………………………………………….......6
1.3 Tujuan ……………………………………………………………………. 6
1.4 Manfaat …………………………………………………………………... 6
BAB II ProfilPuskesmasPulogebang …………………………………………………… 8
2.1 ProfilPuskesmasPulogebang …………………………………………….8
2.2 Gambaran UmumPuskesmasPulogebang ……………………………..... 9
BAB III Tinjauan Pustaka ……………………………………………………………...... 10
3.1. Kesehatan Jiwa………………...………………………………………... 10
3.2. Skizofrenia…………………………. …………………………………… 12
BAB IV Evaluasi Program ……………………………………………………………… 24
4.1 Gambaran Umum Program ODGJ Berat F20 …………………………... 24
4.2 PenetapanMasalah ……………………………………………………… 24
4.3 IdentifikasiPenyebabMasalah …………………………………………. 25
4.4 PenyelesaianMasalah …………………………………………………… 29
4.5 RencanaKegiatan………………………………………………………... 30
BAB V Kesimpulan dan Saran ………………………………………………………….. 33
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………35
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan jiwa merupakan suatu keadaan individu yang secara mandiri
menyadari kemampuannya dan mampu mengembangkan kemampuan tersebut baik
secara fisik, mental, spiritual juga sosial; sanggup mengatasi tekanan sehingga individu
tersebut dapat bekerja secara produktif serta memberikan kontribusi bagi masyarakat
sekitar. Permasalahan dalam bidang kesehatan jiwa hingga kini masih menjadi beban
ekonomi terbesar di seluruh dunia, jika dibandingkan dengan masalah kesehatan lain. Hal
ini dikarenakan permasalahan kesehatan jiwa telah menelan dana sebanyak US$2,5
triliun pada tahun 2010, yang diperkirakan akan terus bertambah menjadi US$6 triliun
pada tahun 2030.1 Kesehatan jiwa menjadi beban ekonomi dunia dengan menghabiskan
2/3 dana akibat hilangnya pekerjaan dan disabilitas. Tahun 2018, Riskesdas mencatat
bahwa prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia adalah 1,7 per mil.
Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan
Jawa Tengah. Lebih lanjut juga Riskesdas menyebutkan bahwa prevalensi gangguan jiwa
emosional pada penduduk Jawa Tengah adalah 9,8% dari seluruh penduduk Indonesia.2
Berdasarkan data dari Riskesdas tahun 2018, prevalensi jumlah pasien rumah
yang mengalami skizofrenia mencapai angka 7% di Indonesia. Dari 7% pasien yang
mengalami skizofrenia, jumlah pasien yang tidak rutin berobat mencapat 15,1 persen.
Sedangkan jumlah pasien skizofrenia di Indonesia yang mendapatkan pengobatan namun
tidak berobat meminum obat secara rutin mencaapai 48,9 %
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hermiati dan Harahap (2018)
menyebutkan bahwa faktor pencetus terjadinya skizofrenia dapat dipengaruhi oleh
emotional turbulent families, stressful life events, diskriminasi, dan kemiskinan.
Lingkungan emosional yang tidak stabil dapat juga dianggap mempunyai risiko yang
besar terhadap perkembangan skizofrenia.3 Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Erlina, dkk. (2010) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi kejadian
skizofrenia pada pasien rawat jalan di Rumah Sakit Jiwa Prof. HB Saanin Padang
Sumatera Barat adalah faktor status ekonomi.
Berdasarkan data dari Puskesmas Kelurahan Pulo Gebang pada akhir tahun 2021,
jumlah pasien yang datang untuk mendapatkan pengobatan yaitu sejumlah 162 bila
digabungkan secara keseluruhan. Angka tersebut masih menunjukan minimalnya jumlah
pasien yang berobat ke puskesmas terkait masalah kesehatan jiwa (skizofrenia).

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang ingin digali dari penelitian adalah meningkatnya pencapaian jumlah
pasien yang peduli berobat ke puskesmas terkait masalah ODGJ berat (skizofrenia) untuk
mendapatkan pengobatan yang layak dan tepat selama pandemic Covid 19.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan dari evaluasi program ini adalah untuk meningkatkan jumlah pasien ODGJ Berat
(skizofrenia) yang terdeteksi, peduli dan mendapatkan pengobatan yang layak di wilayah kerja
Puskesmas Kelurahan Pulo Gebang

1.3.2 Tujuan Khusus


- Mengetahui pencapaian program persentase ODGJ Berat F20 yang mendapatkan pengobatan di
Puskesmas kelurahan Pulo Gebang
- Menentukan alternative pemecahan masalah dan solusi program ODGJ Berat F20 /yang
mendapatkan pengobatan di Puskesmas Kelurahan Pulo Gebang
- Mengetahui faktor yang menyebabkan kurangnya pasien ODGJ Berat F20 yang mendapatkan
pengobatan di Puskesmas Kelurahan Pulo Gebang
- Membuat rencana kegiatan untuk pemecahan prioritas masalah di Puskesmas Kelurahan Pulo
Gebang

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi dokter internsip
- Mengetahui lebih lanjut tentang sistem manajemen Puskesmas Kelurahan Pulo Gebang secara
keseluruhan.
- Melatih kemampuan analisis dan pemecahan terhadap masalah yang ditemukan didalam
program Puskesmas Kelurahan Pulo Gebang

1.4.2 Bagi Puskesmas


- Membantu Puskesmas untuk mengetahui pencapaian yang belum mencapai target.

- Membantu Puskesmas dalam mengidentifikasi penyebab beberapa kegiatan dipuskesmas yang


belum memenuhi target sesuai dengan SPM.

- Membantu Puskesmas dalam memberikan alternative pemecahan masalah terhadap program


puskesmas yang belum tercapai.

1.4.3 Bagi Masyarakat


- Meningkatkan kunjungan masyarakat terutama pasien jiwa untuk mau berobat ke puskesmas
kelurahan Pulo Gebang maupun adanya pemantauan ketat dari pihak petugas kesehatan di setiap
RT RW Setempat.
BAB II
PROFIL PUSKESMAS PULOGEBANG

2.1. ProfilPuskesmasPulogebang
 ProfilPuskesmasPulogebang
- Wilayah Kelurahan PuloGebangterletak di KecamatanCakung, Jakarta Timur.
berbatasandengankabupatenBekasi ,ProvinsiJawa Barat.
- Luas wilayah Kelurahan Pulo Gebang 685,81 HAatau km2
ataumerupakanKelurahandengan wilayah terluasperingakatsepuluh se DKI
Jakarta, dan terluasketiga di Jakarta Timur setelah Halim dan Cakung Timur.
Terbagi dalam 17 RW dan 201 RT.
- Berdasarkan data tahun 2021, jumlahpendudukkelurahanPuloGebangsebanyak
123.040 jiwadengan 38.660 KK dengan 61.930 laki-laki dan 61.110 perempuan

 Batas Wilayah
Utara :KelurahanCakung Barat, Cakung Timur dan Ujung Menteng
Timur :KelurahanPondok Kopi, Kecamatan Duren Sawit
Selatan :Kabupaten Bekasi
Barat :KelurahanPenggilingan

Gambar 1. Peta Wilayah KerjaPuskesmasPulogebang


Terdapatbeberapakantorpemerintahan dan fasilitasumum di
KelurahanPuloGebangdiantaranya:

 Kantor Wali Kota Jakarta Timur


 Kantor KelurahanPuloGebang
 BalaiDiklatKeagamaan
 Kantor Badan Pertanahan Nasional Jakarta Timur
 StasiunCakung
 Terminal TerpaduPuloGebang
 Rusunseruni
 RusunRawaBebek
 RusunPuloGebang

2.2. Gambaran UmumPuskesmasPulogebang


PuskesmasKelurahanPuloGebangdibawahi oleh PuskesmasKecamatanCakung dan
dipimpin oleh KepalaSatuanPelayananPuskesmasPuloGebang.
- Puskesmas Kelurahan Pulo Gebang berlokasi di Jalan StasiunCakung Km 4, RT
06, Rw 03 Kelurahan PuloGebang, Kota AdministrasiJakarta Timur Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
- Pada Tahun 2018 Puskesmas Kelurahan Pulo Gebang pindahsementarake Jalan
Rawakuning RT 03, Rw 07 KelurahanPuloGebanghinggasekarang.
- PuskesmasKelurahanPulo GebangmenerapkanPengelolaanKeuangan – Badan
LayananUmum Daerah( PK-BLUD)
- Bangunan Puskesmas Kelurahan Pulo Gebang terdiri dari 2 lantai :
1) Lantai 1 :Loket pendaftaran dan sekaligus penyimpanan buku status/rekam
medis, Kepegawaian, BPU 1, BPG, Poli Gizi, Poli KI, Poli KA,
Poli KB, Poli Tindakan, Poli Lansia.
2) Lantai 2 : BPU 2, Poli MTBS, Pelayanan Obat, Gudang Obat, Poli
TB,Kesling, Ruang Kerja Kepala Puskesmas, Poli Jiwa, Poli
PKPR. Gudang
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Gangguan Jiwa


3.1.1 Definisi
Gangguan jiwa adalah gangguan pada fungsi jiwa individu yang dapat
menimbulkan hambatan atau penderitaan individu dalam melaksanakan peran sosialnya.
Orang dengan gangguan jiwa memiliki masalah pada pola pikir, kemauan, emosi dan
tindakan. Gangguan jiwa merupakan kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal,
baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Gangguan jiwa atau mental
illness adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang karena hubungannya dengan
orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya
sendiri-sendiri.

3.1.2 Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa


Gejala-gejala gangguan jiwa adalah hasil interaksi yang kompleks antara unsur
somatic, psikologik, dan sosio-budaya. Gejala-gejala inilah sebenarnya menandakan
dekompensasi prosesadaptasi dan terdapat terutama pemikiran, perasaan dan perilaku

Tanda dan Gejala gangguan jiwa secara umum terdiri dari :


a. Gangguan kognisi: yaitu merasa mendengar atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak
hanya muncul dari dalam diri individu. Hal ini sering disebut dengan Halusinasi.
b. Ketegangan: yaitu munculnya perasaan cemas yang berlebihan, putus asa, murung, gelisah,
takut, serta pikiran-pikiran yang buruk.
c. Gangguan emosi: yaitu individu biasanya merasa senang yang berlebihan namun beberapa
menit kemudian pasien bisa merasa sangat sedih, menangis dan tak berdaya sampai ada
keinginan untuk bunuh diri.
d. Gangguan psikomotor hiperaktivitas: yaitu individu melakukan pergerakan yang
berlebihan. Misalnya melakukan gerakangerakan yang aneh seperti meloncat-loncat,
berjalan maju mundur serta menentang apa yang disuruh.
e. Gangguan kemauan: yaitu individu tidak memiliki kemauan serta sulit untuk membuat
keputusan atau memulai tingkah laku.

3.1.3 Penyebab Gangguan Jiwa


a. Faktor somatik: yaitu adanya gangguan pada neurofisiologi, neuroanatomi, dan neurokimia
termasuk pada tingkat perkembangan, kematangan, serta pre dan perinatal.
b. Faktor psikogenik: yaitu adanya interaksi ibu,anak, peranan ayah, hubungan dalam
keluarga serta pekerjaan. Selain itu adanya faktor
c. Faktor sosial budaya : yaitu cara pola asuh, ekonomi dan kelompok minoritas seperti
diskriminasi fasilitas kesehatan, kesejahteraan, ras dan keagamaan.

Faktor Penyebab Gangguan Jiwa yang lainnya yaitu :


- Faktor Biologis
- Keturunan : penyebab gangguan jiwa masih belum diketahui secara pasti akan tetapi
terjadinya gangguan jiwa sangat ditunjang oleh faktor lingkungan uyang tidak sehat.
- Jasmani: gangguan jiwa yang terjadi berhubungan dengan bentuk tubuh seseorang.
Misalnya individu yang bertubuh gemuk cenderung menderita psikosa manic depresif
sedangkan individu yang bertubuh kurus biasanya menderita skizofrenia.
- Temperamen: seseorang yang peka/sensitive biasanya memiliki masalah pada kejiwaan,
ketegangan dan cendrung mengalami gangguan jiwa.
- Cidera tubuh: seseorang yang memiliki penyakit tertentu seperti penyakit jantung, kanker
dan sebagainya dapat menyebabkan murung dan sedih. Demikian juga pada seseorang
yang memiliki cacat tubuh dapat menyebabkan rasa rendah diri.
- Faktor Psikologis: Pengalaman yang pernah dialami seperti kegagalan, frustasi, dan
keberhasilan yang merubah sikap, kebiasaan dan sifatnya.
Faktor presipitasi: situasi dimana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Misalnya lingkungan dan stressor dapat mempengaruhi gambaran diri dan
hilangnnya bagian badan, tindakan operasi, proses patologi penyakit, perubahan struktur
dan fungsi tubuh, proses tumbuh kembang dan prosedur tindakan serta pengobatan.

3.1.4 Dampak Gangguan Jiwa


Dampak gangguan Jiwa terdiri dari:
a. Penolakan : Timbul ketika ada keluarga yang menderita gangguan jiwa,
anggota keluarga lain menolak penderita tersebut. Sikap ini mengarah pada
ketegangan, isolasi dan kehilangan hubungan yang bermakna dengan anggota
keluarga yang lainnya.
b. Stigma : Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa tidak semua
dalam anggota keluarga mengetahuinya. Keluarga menganggap penderita
tidak dapat berkomunikasi layaknya orang normal lainnya. Sehingga
menyebabkan beberapa keluarga merasa tidak nyaman dengan adanya anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
c. Kelelahan dan Burn out : Sering kali keluarga menjadi putus asa berhadapan
dengan anggota keluarga yang memiliki penyakit mental. Mereka mungkin
mulai merasa tidak mampu untuk mengatasi anggota keluarga dengan
gangguan jiwa yang yang terus-menerus harus dirawat.
d. Duka : Kesedihan bagi keluarga di mana orang yang dicintai memiliki
penyakit mental. Penyakit ini mengganggu kemampuan seseorang untuk
berfungsi dan berpartisipasi dalam kegiatan normal dari kehidupan sehari-hari

3.2 Skizofrenia
3.2.1 Pengertian
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang kronik, sering mereda, namun timbul
hilang dengan manifestasi klinik yang amat luas variasinya.penyesuaian pramorbid, gejala dan
perjalanan penyakit yang amat bervariasi Definisi skizofrenia menurut Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa III menjelaskan bahwa skizofrenia adalah suatu sindrom dengan
variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit tak selalu bersifat kronis
atau (deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh
genetik, fisik, dan sosial budaya

3.2.2 Epidemiologi
The lifetime risk skizofrenia di dunia adalah antara 15 sampai 19 per 1.000 populasi
sedangkan point prevalence adalah antara 2 sampai 7 per 1000. Ada beberapa perbedaan antara
negara-negara, namun tidak signifikan ketika dibatasi oleh gejala-gejala utama
skizofrenia.Insidensi skizofrenia di UK dan US adalah 15 kasus baru per 100.000 penduduk,
dengan laki-laki memiliki onset lebih awal dibandingkan perempuan (Sample & Smith, 2013;
Tianli, L. et al 9 2014).Menurut penelitian Riskesdas (2013), prevalensi gangguan jiwa berat
pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh,
Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Prevalensi psikosis tertinggi di D.I.Y dan Aceh
(masingmasing 2,7%), artinya ada 1-2 penduduk dari 1000 peduduk yang menderita gangguan
jiwa berat danprovinsi D.I.Y merupakan provinsi dengan penderita gangguan jiwa berat tertinggi
di Indonesia dengan angka kejadian 2,7 orang per mil atau 2-3 penduduk per 1000 penduduk
(Riskesdas, 2013)

3.2.3 Etiologi

Etiologi atau penyebab skizofrenia yang lebih rinci dijelaskan sebagai berikut:
1) Model diatesis-stress Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan
lingkungan adalah model diatesis-stress. Model ini merumuskan bahwa seseorang mungkin
memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan
yang menimbulkan stress akan memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia.

2) Faktor biologis Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofiologisuntuk daerah
tertentu di otak termasuk sistem limbik, korteks frontalis dan ganglia basalis.Ketiga daerah
tersebut saling 10 berhubungan sehingga disfungsi pada salah satu daerah tersebut mungkin
melibatkan patologi primer di daerah lainnya sehingga menjadi suatu tempat potensial untuk
patologi primer pasien skizofrenik.

3) Genetika Penelitian menunjukkan bahwa seseorang kemungkinan menderitaskizofrenia jika


anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia, dankemungkinan seseorang menderita
skizofrenia adalah hubungan dengandekatnya persaudaraan.Kembar monozigotik memiliki
angka kesesuaian yang tertinggi. Penelitian pada kembar monozigotik yang
diadopsimenunjukkan bahwa kembar yang diasuh oleh orang tua angkatmempunyai skizofrenia
dengan kemungkinan yang sama besarnya seperti saudara kembarnya yang dibesarkan oleh
orang tua kandung. Temuan tersebut menyatakan bahwa pengaruh genetik melebihi pengaruh
lingkungan.

4) Faktor psikososial
a) Teori Psikoanalitik dan Psikodinamik Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari
fiksasi perkembangan, dan merupakan konflik antara ego dan dunia luar. Kerusakan ego
memberikan konstribusi terhadap munculnya simtom skizofrenia. Secara umum kerusakan ego
mempengaruhi interprestasi terhadap realitas dan control 11 terhadap dorongan dari dalam.
Sedangkan pandangan psikodinamik lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap berbagai
stimulus menyebabkan kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama anak-anak dan
mengakibatkan stress dalam hubunganinterpersonal. Simtom positif diasosiasikan dengan onset
akut sebagai respon terhadap factor pemicu/pencetus, dan erat kaitanya dengan adanya
konflik.Simtom negative berkaitan erat dengan faktor biologis, sedangkan gangguan dalam
hubungan interpersonal mungkin timbul akibat kerusakan intrapsikis, namun mungkin juga
berhubungan dengan kerusakan ego yang mendasar.
b) Teori Belajar Anak-anak yang nantinya mengalami skizofrenian mempelajari reaksi dan cara
berfikir yang tidak rasional dengan mengintimidasi orang tua yang juga memiliki masalah
emosional yang signifikan. Hubungan interpersonal yang buruk dari pasien skizofrenia
berkembang karena pada masa anakanak mereka belajar dari model yang buruk.
c) Teori Tentang Keluarga Pasien skizofrenia sebagaimana orang yang mengalami penyakit non
psikiatri berasal dari keluarga dengan disfungsi, perilaku keluarga yang pagtologis yang secara
signifikan 12 meningkatkan stress emosional yang harus dihadapi oleh pasien skizofrenia. d)
Teori Sosial Industrialisasi dan urbanisasi banyak berpengaruh dalam menyebabkan
skizofrenia.Meskipun ada data pendukung, namunpenekanan saat ini adalah dalam mengetahui
pengaruhnya terhadap waktu timbulnya onset dan keparahan penyakit.

3.2.4 Klasifikasi Skizofrenia

Penggolongan Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe yaitu sebagai berikut :

1) Skizofrenia paranoid (F 20. 0) a) Memenuhi kriteria skizofrenia. b) Halusinasi dan/atau


waham harus menonjol : halusinasi auditori yang memberi perintah atau auditorik yang
berbentuk tidak verbal; halusinasi pembauan atau pengecapan rasa atau bersifat seksual;waham
dikendalikan, dipengaruhi, pasif atau keyakinan dikejar-kejar. c) Gangguan afektif, dorongan
kehendak, dan pembicaraan serta gejala katatonik relative tidak ada.

2) Skizofrenia hebefrenik (F 20. 1) a) Memenuhi kriteria skizofrenia . b) Pada usia remaja dan
dewasa muda (15-25 tahun). c) Kepribadian premorbid : pemalu, senang menyendiri. d) Gejala
bertahan 2-3 minggu. e) Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Perilaku tanpa tujuan, dan tanpa maksud.Preokupasi dangkal dan dibuat-
buat terhadap agama, filsafat, dan tema abstrak. 20 f) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan
tak dapat diramalkan,mannerism, cenderung senang menyendiri, perilaku hampa tujuan, dan
hampa perasaan. g) Afek dangkal (shallow) dan tidak wajar (in appropriate),cekikikan, puas diri,
senyum sendiri, atau sikap tinggi hati, tertawa menyeringai, mengibuli secara bersenda gurau,
keluhan hipokondriakal, ungkapan kata diulang-ulang. h) Proses pikir disorganisasi, pembicaraan
tak menentu, inkoheren.

3) Skizofrenia katatonik (F 20. 2) a) Memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia. b) Stupor (amat


berkurang reaktivitas terhadap lingkungan, gerakan, atau aktivitas spontan) atau mutisme. c)
Gaduh-gelisah (tampak aktivitas motorik tak bertujuan tanpa stimuli eksternal). d) Menampilkan
posisi tubuh tertentu yang aneh dan tidak wajar serta mempertahankan posisi tersebut. e)
Negativisme (perlawanan terhadap perintah atau melakukan ke arah yang berlawanan dari
perintah). f) Rigiditas (kaku). g) Flexibilitas cerea (waxy flexibility) yaitu mempertahankan
posisi tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar. 21 h) Command automatism (patuh
otomatis dari perintah) dan pengulangan kata-kata serta kalimat. i) Diagnosis katatonik dapat
tertunda jika diagnosis skizofrenia belum tegak karena pasien yang tidak komunikatif.

4) Skizofrenia tak terinci atau undifferentiated (F 20. 3) a) Memenuhi kriteria umum diagnosis
skizofernia. b) Tidak paranoid, hebefrenik, katatonik. c) Tidak memenuhi skizofren residual atau
depresi pascaskizofrenia.

5) Skizofrenia pasca-skizofrenia (F 20. 4) a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia


selama 12 bulan terakhir ini. b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya). c) Gejala – gejala depresif menonjol dan mengganggu,
memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif (F32.-), dan telah ada dalam kurun
waktu paling sedikit 2 minggu. Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia,
diagnosis menjadi episode depresif (F32.-).Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol,
diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0 - F20.3).

6) Skizofrenia residual (F 20. 5) a) Gejala “negatif” dari skizofrenia yang menonjol, misalnya
perlambatan psikomotorik, aktifitas yang menurun, afek yangmenumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal
yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan posisi tubuh, erawatan
diri dan kinerja sosial yang buruk. b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas
dimasa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia. c) Sedikitnya sudah
melewati kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti
waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negatif” dari
skizofrenia. d) Tidak terdapat dementia atau gangguan otak organik lain, depresi kronis atau
institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.

7) Skizofrenia simpleks (F 20. 6) a) Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara


meyakinkankarena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalanperlahan dan
progresif dari: 23 (1) Gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului
riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik. (2) Disertai dengan
perubahan – perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan
minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
b) Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.

8) Skizofrenia lainnya (F.20.8) Termasuk skizofrenia chenesthopathic(terdapat suatu


perasaanyang tidaknyaman, tidak enak, tidak sehat pada bagian tubuh tertentu), gangguan
skizofreniform YTI.

9) Skizofrenia tak spesifik (F.20.7) Merupakan tipe skizofrenia yang tidak dapat diklasifikasikan
kedalam tipe yang telah disebutkan.
3.2.5 Gejala Klinis

Gejala Klinis Skizofrenia Menurut tentang skizofren harus ada sedikitnya satu gejala
berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam
atau kurang jelas):

1) Thought echo, Thought insertion or withdrawal, Thought broadcasting a) Thought echo adalah
isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras) dan isi
pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda. b) Thought insertion or
withdrawal adalah isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam pikirannya (insertion) atau isi
pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal). c) Thought broadcasting
adalah isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umumnya mengetahuinya

2) Delusion of control , Delusion of influence , Delusion of passivity , Delusion perception a)


Delusion of control adalah waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari
luar. b) Delusion of influenceadalahwaham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar. c) Delusion of passivity adalah waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar (tentang dirinya secara jelas, merujuk ke pergerakan
tubuh serta anggota gerak atau pikiran, tindakan atau penginderaan khusus). d) Delusion
perception adalah pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi
dirinya, biasanya bersifat mistik dan mukjizat.

3) Halusional Auditorik dapat berupa suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap prilaku pasien. Dan mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian
tubuh).

4) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar
dan sesuatu yang mustahil,misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau kekuatan
dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu 14 mengendalikan cuaca atau
berkomunikasi dengan mahluk asing atau dunia lain).
5) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang
mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari
selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.

6) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation) yang berakibat
inkoherensia atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.

7) Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu
(posturing), negativisme, mutisme, dan stupor.

8) Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons emosional yang menumpul
tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunya
kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau
medikasi neureptika.

Kriteria diagnostic berdasarkan DSM V adalah sebagai berikut


1) Karakteristik Gejala Terdapat 2 atau lebih dari kriteria dibawah ini, masingmasing terjadi
dalam kurun waktu yang signifikan selama 1 bulan 17 (atau kurang bila telah berhasil diobati).
Paling tidak salah satunya harus (1), (2), atau (3): a) Delusi/Waham b) Halusinasi c) Bicara
Kacau (sering melantur atau inkoherensi) d) Perilaku yang sangat kacau atau katatonik e) Gejala
negatif, (ekspresi emosi yang berkurang atau kehilangan minat)

2) Disfungsi Sosial/Pekerjaan Selama kurun waktu yang signifikan sejak awitan gangguan,
terdapat satu atau lebih disfungsi pada area fungsi utama; seperti pekerjaan, hubungan
interpersonal, atau perawatan diri, yang berada jauh di bawah tingkat yang dicapai sebelum
awitan (atau jika awitan pada masa anak-anak atau remaja, ada kegagalan untuk mencapai
beberapa tingkat pencapaian hubungan interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang
diharapkan).
3) Durasi Tanda gangguan berlangsung selama setidaknya 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus
mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau kurang bila telah berhasil diobati) yang memenuhi
kriteria A (gejala fase aktif) dan dapat mencakup periode gejala prodromal atau residual. Selama
periode gejala prodromal atau residual ini, tanda gangguan dapat bermanifestasi sebagai gejala
18 negatif saja atau 2 atau lebih gejala yang terdaftar dalam kriteria A yang muncul dalam
bentuk yang lebih lemah (keyakinan aneh, pengalaan perseptual yang tidak lazim).

4) Eksklusi gangguan mood dan skizoafektif Gangguan skizoafektif dan gangguan depresif atau
bipolar dengan ciri psikotik telah disingkirkan baik karena a) Tidak ada episode depresif manik,
atau campuran mayor yang terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif, maupun b) Jika episode
mood terjadi selama gejala fase aktif durasi totalnya relatif singkat dibandingkan durasi periode
aktif dan residual.

5) Eksklusi kondisi medis umum/zat Gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologis
langsung suatu zat (obat yang disalahgunakan, obat medis) atau kondisi medis umum.

6) Hubungan dengan keterlambatan perkembangan global Jika terdapat riwayat gangguan


autistik atau keterlambatan perkembangan global lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia hanya
dibuat bila waham atau halusinasi yang prominen juga terdapat selama setidaknya satu bulan
(atau kurang bila telah berhasil diobati).

3.2.6 Tatalaksana Skizofrenia

Penatalaksanaan Skizofrenia Walaupun terapi antipsikotik merupakan pengobatan yang


penting untuk skizofrenia, penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial, termasuk
psikoterapi, dapat mendukung perbaikan klinis.Modalitas psikososial harus diintegrasikan secara
cermat ke dalam regimen terapi obat dan harus mendukung regimen tersebut.Sebagian besar
pasien skizofrenia mendapatkan manfaat dari 24 pemakaian kombinasi pengobatan antipsikotik
dan psikososial.

1) Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalisasi) Indikasi utama untuk perawatan di rumah sakit
adalah untuk tujuan diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh
diri atau membunuh, dan perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai, termasuk
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian, dan tempat
berlindung. Tujuan utama perawatan di Rumah Sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif
antara pasien dan sistem pendukung masyarakat. Perawatan di rumah sakit menurunkan stres
pada pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka.Lamanya perawatan di
rumah sakit tergantung pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan
rawat jalan. Penelitian telah menunjukkan bahwa perawatan singkat di rumah sakit (empat
sampai enam minggu) adalah sama efektifnya dengan perawatan jangka panjang di rumah sakit
dan bahwa rumah sakit dengan pendekatan perilaku yang aktif adalah lebih efektif daripada
institusi yang biasanya dan komunitas terapetik berorientasitilikan. 25 Rencana pengobatan di
rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri sendiri,
kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan social. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk
mengikat pasien dengan fasilitas pascarawat, termasuk keluarganya, keluarga angkat, board-
andcare homes, dan half-way house, pusat perawatan di siang hari (day care center) dan
kunjungan rumah kadang-kadang dapat membantu pasien tetap di luar rumah sakit untuk periode
waktu yang lama dan dapat memperbaiki kualitas kehidupan sehari-hari pasien. 2)
Farmakoterapi Obat antipsikotik, diperkenalkan pada awal tahun 1950, telah mengalami
perkembangan yang revolusioner dalam pengobatan skizofrenia.Kira-kira dua sampai empat kali
banyaknya pasien yang kambuh ketika diterapi dengan plasebo dibandingkan dengan terapi
dengan obat antipsikotik.Akan tetapi obat ini menyembuhkan gejala dari penyakit dan tidak
mengobati skizofrenia (Kaplan & Sadock, 2010). Obat antipsikotik terdiri dari dua kelas mayor
seperti antagonis reseptor dopamin (misalnya chlorpromazine, haloperidol) dan SDAs (misalnya
risperidon) dan Clozapin.Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah pertama
untuk mengendalikan gejala aktif dan kedua mencegah kekambuhan.Efektivitas antipsikotik
dalam pengobatan 26 skizofrenia telah dibuktikan oleh berbagai penelitian buta ganda yang
terkontrol. Untuk antipsikotik tipikal atau generasi pertama, tidak ada bukti bahwa obat yang
satu lebih daripada yang lain untuk gejala-gejala tertentu (Maramis, 2009).
Penggunaan obat antipsikotik dalam pengobatan skizofrenia harus mengikuti lima prinsip
utama yaitu:
a) Klinis harus secara hati-hati menentukan target simptom untuk diterapi.
b) Antipsikotik yang telah bekerja dengan baik sebelumnya pada pasien harus digunakan lagi.
Pada kejadian yang tidak mendapatkan informasi, pilihan antipsikotik biasanya didasarkan pada
efek samping dari obat tersebut.
c) Waktu minimum pemberian permulaan antipsikotik adalah empat sampai enam minggu
dengan dosis yang adekuat. Jika permulaan tidak berhasil, obat antipsikotik yang berbeda,
biasanya dari kelas yang berbeda, dapat dicoba. Akan tetapi reaksi yang tidak menyenangkan
dari pasien pada pemberian dosis pertama obat antipsikotik berhubungan erat dengan
ketidaktaatan dan respon yang jelek ke depannya. d) Pada umumnya, penggunaan lebih dari satu
obat antipsikotik pada saat yang bersamaan jarang, jika pernah, atas indikasi. Akan tetapi, pada
terapi yang khusus pasien resisten kombinasi 27 obat antipsikotik dengan obat yang lain, sebagai
contoh, carbamazepin (tegretol) bisa diindikasikan.
e) Pasien harus diberikan terapi rumatan dengan dosis minimal yang efektif. Dosis rumatan lebih
rendah dibandingkan dengan dosis selama kontrol simtom selama episode psikotik. Skizofrenia
adalah suatu gangguan yang berlangsung lama dan fase psikotiknya memiliki tiga fase yaitu fase
akut, stabilisasi, dan fase stabil.Penanggulangan memakai antipsikotik diindikasikan terhadap
semua fase tersebut.

Adanya Strategi pengobatan tergantung pada fase penyakit apakah akut atau kronis.Fase
akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh) yang perlu
segera diatasi.Tujuan pengobatan di sini adalah mengurangi gejala psikotik yang parah.Dengan
fenotiazin biasanya waham dan halusinasi hilang dalam waktu dua sampai tiga minggu.Biarpun
masih ada waham dan halusinasi, penderita tidak begitu terpengaruh lagi dan menjadi lebih
kooperatif, mau ikut serta dalam kegiatan lingkungannya dan mau turut terapi kerja. Setelah
empat sampai delapan minggu, pasien masuk ke tahap stabilisasi sewaktu gejala-gejala sedikit
banyak sudah teratasi, tetapi resiko relaps masih tinggi, apalagi bila pengobatan terputus atau
pasien mengalami stres. Sesudah gejala-gejala mereda, maka dosis dipertahankan selama
beberapa bulan lagi, jika serangan itu baru yang pertama kali.Jika serangan skizofrenia itu sudah
lebih dari satu kali, maka sesudah gejala-gejal mereda, obat diberi terus selama satu atau dua
tahun. Setelah enam bulan, pasien masuk fase rumatan (maintenance) yang bertujuan untuk
mencegah kekambuhan.Kepada pasien dengan skizofrenia menahun, neuroleptika diberi dalam
jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya dengan dosis yang naik turun sesuai dengan
keadaan pasien (seperti juga pemberian obat kepada pasien dengan penyakit badaniah yang
menahun, misalnya diabetes melitus, hipertensi, payah jantung, dan sebagainya).Senantiasa kita
harus waspada terhadap efek samping obat. Strategi rumatan adalah menemukan dosis efektif
terendah yang dapat memberikan perlindungan terhadap kekambuhan dan tidak mengganggu
fungsi psikososial pasien. Hasil pengobatan akan lebih baik bila antipsikotik mulai diberi dalam
dua tahun pertama dari penyakit. Tidak ada dosis standar untuk obat ini, tetapi dosis ditetapkan
secara individual.Pemilihan obat lebih banyak berdasarkan profil efek samping dan respon
pasien pada pengobatan sebelumnya.Ada beberapa kondisi khusus yang perlu diperhatikan,
misalnya pada wanita hamil lebih dianjurkan haloperidol, karena obat ini mempunyai data
keamanan yang paling baik.
Pada pasien yang sensitif terhadap efek samping ekstrapiramidal lebih baik diberi
antipsikotik atipik, demikian pula pada pasien yang menunjukkan gejala kognitif atau gejala
negatif yang menonjol. Untuk pasien yang pertama kali mengalami episode skizofrenia,
pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu meberikan efek samping, karena pengalaman
yang buruk dengan pengobatan akan mengurangi ketaatberobatan (compliance) atau
kesetiaberobatan (adherence). Dianjurkan untuk menggunakan antipsikotik atipik atau
antipsikotik tipikal tetapi dengan dosis yang rendah.

3.2.7 Prognosis

Prognosis Maramis & Maramis (2009) menyebutkan bahwa 1/3 dari pasien skizofrenia
yang datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama akan sembuh sama sekali
(full remission/recovery), 1/3 yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih
didapati cacat sedikit dan masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya dan sisanya
biasanya, mereka tidak dapat berfungsi didalam masyarakat dan menuju kemunduran mental,
sehingga mungkin menjadi penghuni tetap rumah sakit jiwa. Pasien yang menghentikan
pengobatan disebutkan 60-70% akan mengalami kekambuhan dalam satu tahun, dan 85% dalam
2 tahun, 30 dibandingkan dengan pasien yang tetap aktif melaksanakan pengobatan yaitu 10-
30%.
Prognosis dapat ditetapkan juga dengan mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain:
1) Kepribadian prepsikotik. Bila skizoid dan hubungan antarmanusia memang kurang
memuaskan maka prognosis lebih jelek.
2) Bila skizofrenia timbul secara akut, maka prognosis lebih baik daripada bila penyakit itu
mulai secara pelan-pelan.
3) Jenis : Prognosis jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Sering penderita dengan
skizofrenia katatonik sembuh dan kembali ke kepribadian prepsikotik. Kemudian menyusul
prognosis jenis paranoid. Banyak dari penderita ini dapat dikembalikan ke masyarakat.
Skizofrenia hebefrenik/terdisorganisasi dan skizofrenia simplek mempunyai prognosis yang
sama jelek, biasanya jenis skizofrenia ini menuju kearah kemunduran mental. 31
4) Umur : makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosis.
5) Pengobatan : makin lekas diberikan pengobatan, makin baik prognosisnya.
6) Dikatakan bahwa bila terdapat faktor pencetus, seperti penyakit badaniah atau stres psikologis,
maka prognosisnya lebih baik.
7) Faktor keturunan : prognosis menjadi lebih berat bila didalam keluarga terdapat seorang atau
lebih yang juga menderita skizofrenia
BAB IV

EVALUASI PROGRAM

4.1 Gambaran Umum Program Persentase ODGJ Berat F20 yang mendapatkan
Pengobatan
Berjalannya program pelayanan Jiwa di Puskesmas tidak hanya melibatkan pihak
puskesmas yang terlibat saja. Selain itu, Para kader maupun masyarakat sekitar juga mempunyai
peran terkait masalah pengetahuan tentang penyakit jiwa, penanganan yang harus dilakukan bila
menemukan pasien jiwa, hingga peran pemikiran masyarakat tentang penyakit jiwa terkait
stigma social yang berlaku. Program yang tidak tercapai dapat disebabkan ileh faktor baik secara
internal maupun eksternal.
Berdasarkan data terakhir yang didapatkan dari puskesmas Kelurahan Pulo Gebang
hingga akhir tahun 2021, jumlah total pasien yang berobat ke puskesmas kelurahan Pulo Gebang
terkait pasien ODGJ Berat yang mendapat pengobatan sebanyak 162 orang dengan persentase
sebesar 81 persen. Persentase cakupan tersebut tidak sesuai sasaran yang diinginkan yaitu
sebanyak 200 orang.

4.2 Penetapan Msalah


Penetapan masalah dilakukan berdasarkan analisis prioritas masalah berdasarkan
kepentingan luas masalah (Magnitude), beratnya kerugian yang timbul (Severity), tersedianya
sumber daya untuk mengatasi masalah tersebut (Vulnerability), kepedulian dan dukungan politis
dan masyarakat (Community and Political Concent) dan ketersediaan dana (Affordability).

Affordabilit
Masalah Magnitude Severity Vulnerability CPC Total Skor
y

Rendahnya
Pengetahuan
4 4 3 3 1 144
Kader tentang
Penyakit Jiwa
Kurangnya
tracing serta
follow up 3 4 3 4 3 432
berlansung di
setiap tempat

Kurangnya
Tenaga kerja
4 4 3 1 4 192
(Kader di setiap
tempat)

Stigma
masyarakat dan
perlakuan
4 3 2 2 2 96
terhadap orang
dengan penyakit
jiwa

Ketidakteraturan 4 4 2 1 2 64
Berobat ke
Puskesmas

4.3. Identifikasi Penyebab Masalah

INPUT KELEBIHAN KEKURANGAN

MAN  Terdapat satu petugas  Beban kerja dan


program pemantauan status pemegang program yang
(Tenaga Kerja) merangkap
 Terdapat kader Posyandu
 Jumlah Kader yang
diperlukan lebih banyak
selama selama
pemantauan
 Kader membutuhkan
pengetahuan lebih
tetntang kesehatan jiwa
dan penanganan pada
orang yang diketahui
memiliki penyakit jiwa di
lingkungan setempat
MONEY  Tidak dipungut pembiayaan - Pembiayaan tetap
dari setiap kegiatan yang diperlukan pada
(Pembiayaan) berhubungan dengan metode kondisi penambahan
daring hingga yang tenaga kerja / kader
ditanggung oleh puskesmas yang baru
 Pembiayaan berasal dari - Pembiayaan tidak
Kelurahan Pulogebang, SPJ termasuk bila terdapat
dan dana DAK acara diluar dari
puskesmas
METHOD  Setiap penderita dengan  Kurang optimalnya
kasus ODGJ berat akan penyuluhanmelalui zoom
(Metode) didata dan ditracing oleh para (daring)
kader yang sudah terlatih  Monitoring tracing selama
pandemi Covid 19 yang
 Terdapat pelacakan kasus hanya dapat dilakukan
ODGJ Berat di tempat RT melalui media sosial
dan RW Setempat 
 Terdapat Pencatatan terhadap
identitas pasien serta rencana
pengobatan yang akan
dilakukan

 Memberikanpengetahundan
edukasi tentang Kesehatan
Jiwa, tindakan yang dapat
dilakukan dan hal yang tidak
boleh dilakukan pada orang
dengan gangguan jiwa berat
 Terdapat Grup Pelaporan
terhadap kasus yang
diketahui sudah dalam
pemantauan
MATERIAL  Partisipasi peserta
evaluasi zoom meeting
(Perlengkapan)  Terdapat buku panduan untuk yang kurang karena
para kader terkendala waktu dan
kegiatan sehari-hari
 Adanya penyuluhan online

MACHINE
(Peralatan)

PROSES KELEBIHAN KEKURANGAN

PLANNING  Jadwal diumumkan di  Penjadwalan pelayanan terhalang


(Perencanaan) melalui petugas waktu dan keperluan.
puskesmas kepada
kader melalui zoom  Penjadwalan tidak dapat bertemu
(daring) langsung dikarenakan pandemic
 Jadwal Penyuluhan Covid
dibuat oleh program
petugas puskesmas,
petugas dari
kelurahan dan kader.
 Penjadwalan
monitoring kegiatan
tracing di masing
masing tempat RT
RW
ORGANIZING  Pertemuan dengan  Kurangnya Keterlibatan masyarakat
para kader melalui terkait stigma social dan khawatir
(Pengorganisasian) daring (zoom). akan kondisi yang diketahui orang
sekitar
ACTUATING  Terdapat  Jadwal Pertemuan dengan para
Pemantauan bagi Kader yang tidak menentu
(Pelaksanaan) ODGJ yang
sudah di tracing  Para kader yang kurang aktif
oleh para kader selama kegiatan berlangsung
maupun petugas
 Terdapat follow
up bagi ODGJ
yang
membutuhkan
pengobatan lanjut
CONTROLLING  Pengawasan dan  Kurangnya monitoring,
evaluasi terhadap evaluasi dan follow up yang
dilakukan karena tidak secara
kinerja para kader langsung

 Pencatatan, pelaporan
dan dilakukan setiap
harinya

 Dilakukan evaluasi
setiap bulan

 Terdapat peraturan
pencatatan rutin dan
baku
Lingkungan
(Fisik)  Kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang penyakit
jiwa
 Stigma masyarakat di
lingkungan yang buruk tentang
(Non Fisik) penyakit jiwa.
 Kurangnya Edukasi pentingnya
pengobatan secara rutin,
teratur, dan dilakukan pada
ODGJ Berat
Gambar 2. Fishbone AnalisisPenyebabMasalah

Berdasarkan hasil dari identifikasi penyebab masalah maka didapatkan penyebab masalah
baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif sebagai berikut :

Technical Resources
C Contribution Jumlah
feasibility availability
 Pekerja Kader baru dan dana yang
dibutuhkan baik pelatihan hingga 5 3 5 75
pelaksanaan kegiatan

 Keterbatasan pengawasan dan 5 4 4 80


pemantauan selama pandemic covid 19
 Partisipasi dari pihak kader melalui zoom
yang terkendala dengan waktu dan 3 4 3 36
kegiatan kader yang lainnya.
 Stigma masyarakat yang salah tentang
masalah penyakit jiwa 5 4 3 60

 Kurangnya Penyuluhan Tentang 4 4 4 64


penyakit jiwa untuk penambahan
pengetahuan para kader tentang
masalah penyakit jiwa di
masyarakat.

- C :Kontribusipenyebabmasalah (contribution)
- T :KelayakanteknologiIptek (Technical feasibility)
- R :Ketersediaansumberdaya (Resources availability)

4.4. PenyelesaianMasalah

PenyebabMasalah Cara PenyelesaianMaslaah M I C V Jumlah


 Kurangnya Evaluasi,  Penambahan jumlah
monitoring dan follow up kader baru (bila

terutama pada pasien dengan memungkinkan)

ODGJ berat dikala pandemic  Penggunaan media


social hingga 5 5 2 5 62,5
covid 19
pencatatan untuk
dibahas di pertemuan
online setiap 3 bulan
sekali
 Kurangnya Penyuluhan • Penyuluhan melalui media
Tentang penyakit jiwa online
untuk penambahan
pengetahuan para kader • Perjanjian Penjadwalan 4 4 3 2 10,6
tentang masalah penyakit sesuai waktu para kader
jiwa di masyarakat. yang sesuai
 Partisipasi dari pihak kader
melalui zoom yang  Perjanjian penjadwalan
terkendala dengan waktu sesuai kesepakatan para 5 4 3 2 13,3
dan kegiatan kader yang
kader dengan petugas
lainnya.

Keterangan :
M = magnitude
I = importancy
V = venerability
C = cost
M × I ×V
Cara penyelesaian P =
C

4.5. Cara Penyelesaian


4.5.1. PenyusunanRencanaKerja
 Judul : Persentase ODGJ Berat F20 yang mendapatkan pengobatan
 RumusanMasalah : jumlah pasien ODGJ Berat (skizofrenia) yang tidak terdeteksi,
dan mendapatkan pengobatan yang layak di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan
Pulo Gebang
 RumusanTujuan : meningkatkan jumlah pasien ODGJ Berat (skizofrenia) yang
terdeteksi, peduli dan mendapatkan pengobatan yang layak di wilayah kerja
Puskesmas Kelurahan Pulo Gebang

4.5.2. Rencana Kegiataan


1. Penyuluhan dan pembuatan jadwal pertemuan evaluasi dan follow up bagi
para kader di setiap RT RW Setempat

Waktu: sesuai dengan perjanjian dan waktu para kader melalui WA, setiap
3 bulan sekali

2. Pelaksanaan Penyuluhan bagi masyarakat disekitar Pulo Gebang


(online/offline)
Waktu: Setiap Bulan

4.5.3. MetodePenilaian dan TolakUkur


 Penyuluhan
1. Kuesioner
2. Daftar Hadir
 Pelaksanaan Tracing, evaluasi dan follow up pasien ODGJ yang mendapatkan
pengobatan
1. Catatan follow up para kader
 EvaluasiKegiatan
1. Kuesioner
2. Capaian target

4.5.4. IndikatorKeberhasilan
1. Peningkatan minimal pada nilai pre-test dan post-test sebesar 10 poin.
2. Minimal dilakukan 3x pengecekanabsensi, denganjumlah minimal kehadiran kader
sebesar 90-100%.
3. Semua kegiatan terlaksana sesuai dengan timeline yang telah ditetapkan.
4. Meningkatnya jumlah Pasien ODGJ Berat yang terdeteksi dan yang mendapatkan
pengobatan

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis masalah yang telah dilakukan oleh penulis, maka ditetapkan
prioritas masalah terkait masalah Pasien ODGJ Berat yang mendapatkan Pengobatan di
Puskesmas Kelurahan Pulo Gebang pada Periode Januari 2021 – Desember 2021 sebagai berikut:

 Pekerja Kader baru dan dana yang dibutuhkan baik pelatihan hingga pelaksanaan
kegiatan
 Keterbatasan pengawasan dan pemantauan selama pandemic covid 19
 Partisipasi dari pihak kader melalui zoom yang terkendala dengan waktu dan kegiatan
kader yang lainnya.
 Stigma masyarakat yang salah tentang masalah penyakit jiwa
 Kurangnya Penyuluhan Tentang penyakit jiwa untuk penambahan pengetahuan para
kader tentang masalah penyakit jiwa di masyarakat.
Dengan adanya masalah tersebut, maka dilakukan penyelesaian masalah dengan
melakukan

5.2 Saran

Bagi Puskesmas
- Dapat melakukan koordinasi dengan pengurus wilayah (kader) untuk persiapan kegiatan
penyuluhan berlangsung baik kepada kader maupun kepada masyarakat nanti kedepannya saat
diadakan penyuluhan

- Dapat dipertimbangkan untuk terus membantu menghimbau kepada kader terkait pelaporan
dan pencatatan terkait perkembangan setiap RT RW yang dideteksi memiliki masalah kesehatan
jiwa paling tidak selama 3 bulan sekali

Bagi masyarakat
- Meningkatkan kepedulian akan pentingnya untuk datang dan mengikuti program
- Harapan dapat mengubah stigma sosial tetnang masalah kejiwaan di daerah Pulo
Gebang (menganggap seperti penyakit tidak menular lainnya yang dapat membaik dan
bisa sembuh dengan berobat secara rutin)
- Lebih aktif untuk bertanya kepada kader maupun kepada dokter, tentang kesehatan jiwa
- Mengikuti kegiatan penyuluhan yang diselenggarakan petugas kesehatan dengan
baik ,benar dan sesuai dengan protokol kesehatan yang belaku terkait pandemic COVID
19.
- Memahami setiap informasi yang telah disampaikan oleh petugas kesehatan
(kader/dokter).
- Menyampaikan informasi yang diketahui tentang kesehatan jiwa kepada keluarga,
tetangga, dan orang-orang terdekat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI tahun 2018.
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-
2018_1274.pdf

2. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Data/informasikesehatanprovinsi DKI


Jakarta. Jakarta:2012.

3. Sadock B.J., Sadock V.A, Ruiz Pedro. 2010. Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan dan
Perilaku Psikiatri klinis. Edisi 10:, Dr I Made Wiguna S. Jakarta: Bina Rupa Aksara

4. Sadock V.A. Sadock B.J., Ruiz Pedro. 2015. Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan dan
Perilaku Psikiatri klinis. Edisi 11:, Dr I Made Wiguna S. Jakarta: Bina Rupa Aksara

5. Maslim, Dr. dr. Rusdi, Sp. KJ, M. Kes. (2001). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan
Singkat Dari PPDGJ III dan DSM-5. Jakarta: FK Unika Atmajaya

Anda mungkin juga menyukai