Disusun Oleh:
ELFRIDA SIMARMATA
NIM : 200521100045
PRODI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2021
KATA PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Dalam konsep klasik istilah korupsi politik dimaknai sebagai hubungan permasalahan
antara sumber-sumber kekuasaan dan hak-hak moral penguasa. Berkaitan dengan definisi
korupsi politik UU tidak menyebutkan definisi korupsi politik secara khusus. Meskipun belum
ada definisi mengenai korupsi politik tetapi Tama S. Langkun, selaku Koordinator Divisi Hukum
& Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan beberapa kriteria
perkara disebut korupsi politik. Pertama, dilakukan oleh pihak yang memiliki pengaruh. Kedua,
dilakukan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Ketiga, dilakukan oleh memiliki kekuasaan
untuk mengendalikan sesuatu seperti proyek (Tama:2017).
Van Kleveren pada tahun 1967 mengatakan bahwa korupsi merupakan tindakan yang
menyimpang dari tugas-tugas peran publik yang formal karena terkait kepentingan pribadi
(perseroangan, keluarga dekat, dan kelompok pribadi) yang berkaitan dengan uang atau keadaan
kekayaan; atau yang melanggar peraturan terhadap pelaksanaan jenis-jenis tertentu dari pribadi
yang dapat mempengaruhi. Hal ini mencakup tindakan tertentu seperti perilaku sebagai penyuap
(yang menggunakan hadiah untuk menyesatkan penilaian seseorang yang dalam keadaan jujur),
nepotisme (memberikan bentuk dengan alasan hubungan kekerabatan daripada jasa); dan
ketidakpatutan (kepatutan yang illegal sumber daya public terhadap penggunaan kepentingan
pribadi (Fransisca Adelina 2019, hal 63).
Gibson (1985), mendefinisikan korupsi poltik berdasarkan pendekatan perilaku yang
mengatakan bahwa korupsi politik merupakan hubungan negara-masyarakat khusus dan
seseorang sebagai kejahatan akibat dari adanya ketidakjujuran yang ditemukan seperti patronage,
pemeblian suara, penyuapan, penyogokan, konflik kepentingan dan pendanaan kampanye.
Sementara Lord Acton mengkaitkan permasalahan korupsi politik dengan penyalahgunaan sifat
kekuasaan pemerintah monarchi yang lalim pada saat itu. Perhatian terbesar Lord Acton yaitu
pada sifat ambisi korupsi dalam kedudukan sebagai penguasa. Ia menyatakan bahwa semua
kekuasaan cenderung korupsi dan kekuasaan mutlak maka korupsi absolut terjadi. Namun perang
politik terhadap kekuasan yang dianalisa oleh Lord Acton yang dilakukan berdasarkan inspirasi
dari pemikiran Machiavelli, Montesquieu dan Rousseau menunjukkan bahwa korupsi politik
ditandai sebagai permasalahan moral diantara kekuasaan. Dimana Machiavelli menyatakan
bahwa korupsi politik merupakan proses dimana kebaikan warga negara diabaikan dan bahkan
dirusak. Machiavelli juga mengatakan bahkan individu terbaik dapat disuap oleh ambisi kecil
dan keserakahan karena manusia tidak pernah puas. Pada hal yang sama, Rousseau mengakui
kapasitas kesombongan manusia ketika menyatakan bahwa korupsi politik merupakan suatu
akibat perebutan kekuasaan yang tidak dapat dielakkan. Baron de Montesquieu menyatakan
korupsi politik merupakan suatu proses disfungsional terhadap perintah politik kebaikan
(monarchy) karena ketika hal ini dikorupsikan, hal ini berubah menjadi suatu kejahatan (Fransisa
Adelina 2019, hal 63-64). Berdasarka pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
korupsi politik adalah penyelewengan kekuasaan yang dilakukan politisi untuk keuntungan
pribadi dengan tujuan melanggengkan kekuasaan atau peningkatan kesejahteraan.
2.2 Penyebab terjadinya kasus korupsi politik jika dikaitkan dengan perspektif sosiologi
Jika dikaitkan dalam perspektif sosiologi penyebab dari adanya korupsi politik yang
dilakukan oleh para politisi negeri ini adalah karena adanya sugesti yang dilakukan oleh para
politisi pada rakyat. Dimana sugesti yang dilakukan sebagai bentuk interaksi antara calon politisi
dengan rakyat yang berujung pada tindakan sosial yang dilakaukan oleh masyarakat. Dalam hal
ini sugesti yang dimaksud adalah upaya yang dilakukan oleh para politisi untuk mempengaruhi
rakyat untuk memilihnya saat melakukan kampanye dengan menyuarakan sejumlah janji-janji
politik yang akan ditepati dan diwujudkan saat dirinya terpilih menjadi wakil rakyat. Sugesti
yang dilakukan bertujuan untuk meyakinkan rakyat melalui sejumlah visi misi dan janji yang
diucapkan. Tidak hanya sampai disitu saja para calon politisi juga melancarkan aksinya dengan
melakukan praktik politik uang. Hal ini juga termasuk dalam hal sugesti karena para calon
politisi berupaya untuk mempengaruhi masyarakat untuk memberikan suaranya saat pemilihan
nanti.
Pada realitanya sering ditemui wakil rakyat yang sudah terpilih dan duduk dikursi
pemerintahan lupa akan janji-janji yang dulunya diucapkan kepada rakyat dan tidak memegang
amanah rakyat sehingga mengabaikan suara dan kebutuhan rakyat. Hal ini terjadi karena setelah
terpilihnya para politisi akan memikirkan bagaimana caranya untuk mengembalikan setiap modal
yang dikeluarkan saat mencalonkan menjadi wakil rakyat seperti biaya yang digunakan saat
melakukan kampanye, biaya yang digunakan dalam praktik uang atau proses suap menyuap, dan
lain sebagainya. Sehingga tidak heran jika para politisi yang saat ini duduk dikursi pemerintahan
tidak memperhatikan nasib dan kepentingan rakyat dengan melupakan semua janji-janjinya
kepada rakyat. Untuk mengembalikan setiap modal tersebut biasanya para politisi melakukan
korupsi politik. Sama halnya seperti yang diungkapkan oleh Sarah Brich (2009), dimana korupsi
dalam politik biasanya dilakukan melalui praktik politik uang. Krena hal tersebut akan
menghasilkan orang yang ‘salah’ sebagai pemenang. Pemerintahan yang dihasilkan pun kurang
representatif dan akuntabel. Alasannya karena politisi yang terpilih tidak akan mengutamakan
kepentingan rakyat. Di sisi lain, kepercayaan kepada mereka pun rendah. Selain itu, korupsi
politik juga dapat mendorong korupsi di sektor-sektor lain.
2.3 Dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya korupsi politik terhadap pemikiran
masyarakat mengenai politik di Indonesia jika ditinjau dari perspektif sosiologi
Pada realitanya praktik politik uang ini akan menghasilkan hubungan antara pemimpin
dengan rakyatnya hanya sebatas hubungan klientelistik bukan good sitizen atau pembentukan
warga negara yang baik dengan benar-benar menjalankan amanat konstitusi suatu negara.
Dengan kata lain hubungan antara pemimpin dengan rakyat hanya sebatas saat dilakukannya
pemilihan, sementara untuk visi misi dan janji-janji yang telah diberikan kepada rakyat hanya
sebatas kata-kata saja tanpa adanya pembuktian. Hal ini dikarenakan politisi hanya akan
memikirkan kepentingan pribadinya yaitu bagaimana caranya untuk mengembalikan semua
modal yang telah dikeluarkan yaitu dengan melakukan korupsi bukan untuk memikirkan
bagaimana caranya untuk memanjukan kesejahteraan rakyat yang telah menjadikannya menjadi
wakil rakyat. Namun disisi lain rakyat harus menderima dampak dari korupsi politik yang
diakibatkan oleh para politisi. Adapun dampak yang ditimbulkan dari adanya korupsi politik
terhadap masyarakat jika ditinjau dari perspektif sosiologi diantaranya, yaitu sebagai berikut.
Ketika mendengar politik yang terlintas dipikiran masyarakat adalah kasus KKN yang
dilakukan oleh para politisi atau pejabat negeri. Hal ini dikarenakan masyarakat lebih cenderung
mendengar dan melihat berita negatif dari dunia politik Indonesia. Lahirnya stigma negatif
terhadap politik diakibatkan sistem kerja yang dilakukan oleh para politisi yang tidak transparan
terhadap masyarakat serta banyaknya politisi yang menggunakan uang rakyat untuk kepentingan
pribadi dan juga budaya suap-menyuap yang dilakukan oleh politisi yang sudah mendarah
daging di sistem perpolitikan Indonesia. Dengan demikian masyarakat menganggap bahwa
politik di Indonesia sudah mengabaikan suara masyarakat dengan tidak mementingkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat lagi akibat maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh
para politisi.
Pelabelan atau yang dikenal dengan pemberian julukan atau olok-olokan tentang politik
Indonesia begitu marak dilakukan di media sosial maupun di dunia nyata atau di kehidupan
sehari-hari masyarakat. Dengan adanya labelling yang diberikan masyarakat maka akan memicu
pertikaian, perpecahan, dan merusak moral bangsa. Selain itu labelling juga akan
mengindikasikan adanya ketimpangan antara yang semestinya (idealitas) dan yang terjadi
(realitas) (Hafiar & Rusmulyadi, 2018). Labelling yang diberikan masyarakat pada politik
Indonsia yaitu sang predator, hal ini didasarkan pada maraknya tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan di bidang politik seperti para politisi dan
parta politik akibat dari ketamakan dan kerakusan yang melekat pada para politisi Indonesia.
Seperti yang diketahui berapa tahun terakhir muncul labelling atau olok-olokan dalam
dunia politik Indonesia yaitu Kecebong vs Kampret, hal ini terjadi pada tahun 2019 menjelang
pesta demokrasi. Fenomena labelling olok-olok politik “cebong dan nyinyiers-kampret” yang
marak dimedia sosial bisa dikatakan sebagai perilaku mencari sensasi, (sensate culture)
didalamnya juga ada keterlibatan unsur meniru dan ikut-ikutan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pelabelan yang dilakukan masyarakat merupakan suatu fakta sosial yang
tidak terbantahkan dan sekaligus menjadi masalah sosial. Pelabelan disebut sebagai fakta sosial
karena proses pelabelan tersebut berdasarkan realita yang dilihat oleh masyarakat. Sedangkan
labelling disebut sebagai masalah sosial karena dapat menimbulkan konflik, perpecahan dan
merusak moral bangsa. Hal ini dikarenakan seluruh masyarakat tanpa terkecuali termasuk anak-
anak ikut-ikutan meniru untuk mengucapkan label yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Adelina, Fransiska. (2019). “Bentuk-Bentuk Korupsi Politik”. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol
6(1). 59-75 https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/256
Diakses 11 Oktober 2021 pukul 22:12.
Lestari, Yeni Sri. (2017). Kartel Politik dan Korupsi Politik di Indonesia”. Jurnal Pandecta. Vol
12(1). https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta/article/view/7820 Diakses 11
Oktober 2021 pukul 22:23.
Oktaryal Agil dan Proborini Hastuti. Desain Penegakan Hukum Korupsi Partai Politik di
Indonesia”. Jurnal Antikorupsi. Vol 7(1). 1-22.
https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/729 Diakses pada 11 Okktober
2021 pukul 30:1.
Pahlevi, Moch Edward Trias dan Azka Abdi Amrurobbi. “ Pendidikan Politik dalam Pencegahan
Politik Uang
Melalui Gerakan Masyarakat Desa”. JurnalAntikorupsi. Vol 6(1). 141-
152.https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/611 Diakses pada 11
Oktober 2021 Pukul 30:33.
Pardomuan, Gomgom Daniel, Heddy Juanda, dan Hein Prmada Endarvin. 2019. Permasalahan
Penanganan Korupsi dan Solusinya. https://osf.io/6mgcd/download Diakses pada 11
Oktober 2021 pukul 30: 15.