Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MARAKNYA KASUS KORUPSI POLITIK DI INDONESIA AKIBAT ADANYA


PRAKTIK POLITIK UANG

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Politik


Dosen pengampu : MOHAMMAD AFIFUDDIN, M.A

Disusun Oleh:
ELFRIDA SIMARMATA
NIM : 200521100045

PRODI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2021
KATA PENGANTAR
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Perkembangan dan kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan
kebehasilannya dalam melaksanakan pembangunan dalam rangka meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakatnya. Efektivitas dan keberhasilan suatu pembangunan negara
ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia dan pembiayaan atau dana yang
digunakan dalam pembangunan tersebut. Sumber daya manusia yang dimaksud dalam hal ini
adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
hingga berhasilnya pembangunan tersebut. Oleh karena itu, SDM merupakan faktor utama
atau faktor terpenting dalam pembangunan karena SDM menjadi kunci keberhasilan dari
pembangunan tersebut. Namun pada realitanya Indonesia merupakan salah satu negara yang
kualitas SDM nya tergolong masih rendah. Rendahnya kualitas SDM tersebut bukan hanya
dari segi pengetahuan atau intelektualnya saja melainkan menyangkut kualitas moral dan
kepribadianya. Dengan semakin kurangnya moral dan rendahnya kejujuran yang dimiliki
oleh SDM Indonesia khusunya para pemimpin yang memiliki jabatan dan kekuasaan tidak
jarang melakukan penyalahgunaan kekuasaan atas dasar kepentingan pribadi atau
kepentingan kelompoknya seperti melakukan korupsi. Khususnya tindakan korupsi politik
yang dilakukan oleh para pejabat negeri atau para politisi.
Robin Hodess (2004) mendefinisikan korupsi politik sebagai penyelewengan
kekuasaan yang dilakukan politisi (political leaders or elected officials) untuk memperoleh
keuntungan pribadi dengan tujuan meningkatkan kekuasaan atau kekayaan. Adapun yang
menjadi bentuk-bentuk dari korupsi politik, yaitu penyuapan, trading in influence, pembelian
suara, nepotisme, dan pembiayaan kampanye. Oleh karena itu, politik uang merupakan salah
satu bentuk dari korupsi politik karena termasuk dalam hal penyuapan dan pembelian suara
dengan memberikan uang kepada masyarakat. Saat ini, Indonesia darurat akan tindakan
korupsi politik dimana korupsi politik telah menjadi fenomena dan penyakit sosial yang
sangat berbahaya karena telah menjamur dan seakan-akan menjadi budaya pada
pemerintahan Indonesia yang dapat mengancam seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Korupsi politik bukan hal yang baru lagi bagi Indonesia hampir setiap hari berita tentang
korupsi yang dilakukan oleh politisi disiarkan di televisi dan di koran. Hal ini dikarenakan
para politisi yang terlibat dengan tindakan korupsi atau yang disebut sebagai koruptor tidak
lagi memiliki rasa malu ataupun rasa takut untuk memamerkan hasil korupsinya secara
demonstratif. Ironisnya pada saat ini partai politik bukan dijadikan alat untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat secara umum, melainkan menjadi ajang atau tempat
untuk mengeruk harta atau mencari keuntungan pribadi. Hal tersebut terjadi karena adanya
pemerintahan yang koprol, dimana para pemimpin dan ahli politik saling membenarkan
persepsi sendiri dan mementingkan kepentingan pribadi sehingga menghambat pembangunan
negara yang berimbas pada kualitas kehidupan masyarakat yang rendah yang menyebabkan
terjadinya kemiskinan.
Ketika pemerintah dan para ahli politik atau politisi saling bertentangan dalam
persepsinya maka akan menimbulkan sikap egois dalam hal ingin mengembalikan setiap
modal yang digunakan dan dikeluarkan sebelum para politisi terpilih menjadi wakil rakyat
dan duduk dikursi pemerintahan. Hal tersebut terjadi karena biaya politik yang tinggi akibat
dari adanya praktik politik uang yang dilakukan oleh para politisi sebelum terpilih menjadi
wakil rakyat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan dari politisi negara ini
melakukan yang namanya politik uang (money politic) yang bertujuan untuk menyuap
masyarakat untuk memberikan suaranya dengan cara memberikan hak pilihnya dengan
memberikan uang sebagai imbalannya. Dengan kata lain telah terjadi praktik jual beli suara
dalam pemilihan umum. Fransiska Adelina (2019) menjelaskan bahwa salah satu penyebab
atau potensi dari praktik korupsi politik ialah politik uang yang digunakan untuk praktik jual
beli suara pemilih. Hal ini lah yang menciptakan para pejabat ataupun politisi yang
nantinya akan melakukan korupsi karena dengan terpilihnya sebagai wakil rakyat tentunya
akan ada rasa ingin mengembalikan setiap modal yang dikeluarkan saat mencalonkan
menjadi wakil rakyat seperti biaya yang digunakan saat melakukan kampanye, biaya yang
digunakan dalam praktik uang atau proses suap menyuap, dan lain sebagainya. Sehingga
tidak heran jika para politisi yang saat ini duduk dikursi pemerintahan tidak memperhatikan
nasib dan kepentingan rakyat dengan melupakan semua janji-janjinya kepada rakyat sebelum
terpilih.
Menurut Sarah Brich (2009) korupsi dalam politik biasanya dilakukan melalui praktik
politik uang. Dengan demikian, hal tersebut akan menghasilkan orang yang ‘salah’ sebagai
pemenang. Pemerintahan yang dihasilkan pun kurang representatif dan akuntabel. Alasannya
karena politisi yang terpilih tidak akan mengutamakan kepentingan rakyat. Di sisi lain,
kepercayaan kepada mereka pun rendah. Selain itu, korupsi politik juga dapat mendorong
korupsi di sektor-sektor lain. Akan tetapi, jika dilihat pada realitanya politik uang seakan-
akan telah menjadi budaya masyarakat Indonesia baik dalam acara pemilu, pilkada, maupun
pilkades. Hal ini disebabkan karena masyarakat menganggap politik uang sebagai suatu hal
yang wajib dilakukan oleh para calon kandidat pejabat atau wakil rakyat saat pesta demokrasi
atau pemilu dilakukan. Selain itu kondisi perekonomian masyarakat yang terbilang pas-pasan
mengakibatkan masyarakat tidak menolak adanya politik uang tersebut tanpa
mempertimbangkan dampak negatif apa yang akan ditimbulkan dari politik uang tersebut
kedepannya. Sama halnya seperti yang diungkapkan oleh Winters dalam konteks politik
uang, bahwa politik uang dapat dipahami bagaimana warga negara Indonesia pada akhirnya
berfokus pada satu-satunya hal konkret yang lebih dapat dipastikan, yaitu imbalan materiil
secara langsung. Hal ini dilakukan dengan mengesampingkan hal-hal seperti rekam jejak dan
janji-janji kampanye. Secara garis besar, pemilih telah mengetahui bahwa visi dan misi calon
pejabat politik seringkali hanya menjadi kata-kata hambar dan kosong yang tidak banyak
dilaksanakan (Winters, 2016, hal. 407).
Pada realitanya praktik politik uang ini akan menghasilkan hubungan antara pemimpin
dengan rakyatnya hanya sebatas hubungan klientelistik bukan good sitizen atau pembentukan
warga negara yang baik dengan benar-benar menjalankan amanat konstitusi suatu negara.
Dengan kata lain hubungan antara pemimpin dengan rakyat hanya sebatas dalam
dilakukannya pemilihan, sementara untuk visi misi dan janji-janji yang telah diberikan
kepada rakyat hanya sebatas kata-kata saja tanpa adanya pembuktian. Hal ini dikarenakan
politisi hanya akan memikirkan kepentingan pribadinya yaitu bagaimana caranya untuk
mengembalikan semua modal yang telah dikeluarkan yaitu dengan melakukan korupsi bukan
untuk memikirkan bagaimana caranya untuk memanjukan kesejahteraan rakyat yang telah
menjadikannya menjadi wakil rakyat.
Dengan adanya korupsi politik yang dilakukan oleh para politisi akan menyebabkan
hubungan yang tidak seimbang dengan terjadinya ketimpangan sosial atau kesenjangan sosial
yang mengakibatkan masyarakat menjadi tidak berdaya. Hal ini dapat dilihat dari kasus
korupsi yang akhir-akhir ini mewarnai tanah air, salah satunya kasus korupsi yang dilakukan
oleh Wahyu Setiawan Komisioner Pemilihan Umum (KPU). Dimana Wahyu Setiawan
melakukan korupsi politik yang dilakukan menggunakan jabatan atau kekuasaan demi
kepentingan pribadi yaitu melakukan kasus korupsi politik dalam bentuk penyuapan. Dengan
tersebarnya berita korupsi politik yang dilakukan oleh Wahyu Setiawan ini mengakibatkan
masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap KPU. Hal tersebut merupakan dampak dari
dilakukannya korupsi politik yang dilakukan oleh para politisi. Selain itu yang menjadi
dampak dari adanya korupsi politik dalam perspektif sosiologi yaitu timbulnya stigma negatif
masyarakat terhadap suatu lembaga politik, partai politik ataupun terhadap seorang politisi
yang berimbas pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap politik di Indonesia.
Kemudian dampak negatifnya yaitu muncullnya labelling atau olok-olokan terhadap politik
Indonesia.
Dengan semakin maraknya tindak pidana korupsi politik dan banyaknya dampak
negatif yang ditimbulkan oleh korupsi politik tidak mengakibatkan pemerintah tinggal diam.
Akan tetapi, pemerintah telah membuat suatu terobosan dengan menetapkan berbagai upaya
dianyaranya, yaitu melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari
yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk
komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di
lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki
Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa
Inspektorat. Fungsi Inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan
pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar
kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Di
samping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan
yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan
Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain lembaga internal dan eksternal, lembaga
swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan
pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara.
Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang
dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW),
Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI). Dengan
diterapkannya berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam memberantas dan
menekan jumlah korupsi yang dilakukan seharusnya sudah dapat mengurangi atau
meminimalisir jumlah korupsi setiap tahunnya. Akan tetapi, hal tersebut malah berbanding
terbalik dengan apa yang diharapkan, dimana kasus korupsi politik setiap tahunnya bukannya
berkurang melainkan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Berdasarkan uraian diatas menunjukkan, bahwa korupsi politik menjadi masalah yang
sangat serius bagi suatu negara. Hal ini dikarenakan banyaknya pihak-pihak yang
menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi. Namun setiap tindak korupsi
politik yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan di negeri ini menimbulakn
dampak yang sangat serius bagi masyarakat. Sama halnya seperti praktik politik uang yang
dilakukan demi membeli suara rakyat disaat pemilihan. Tentunya hal ini dapat dikatakan
sebagai penipuan, pembodohan dan merupakan tindakan yang tidak terpuji karena pada
dasarnya akan merugikan masayarakat sendiri akibat pengabain yang dilakukan oleh orang-
orang yang memiliki jabatan dengan mengabaikan kepentingan masyarakat. Untuk itu judul
makalah yang dibuat dan ditentukan oleh penulis adalah “Maraknya Kasus Korupsi Politik di
Indonesia Akibat Adanya Praktik Politik Uang”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun yang menjadi masalah yang akan dikaji dalam
makalah ini adalah:
1. Apa pengertian korupsi politik?
2. Apa yang menjadi bentuk-bentuk dari korupsi politik di Indonesia?
3. Apa yang menyebabkan terjadinya kasus korupsi politik jika dikaitkan dengan
perspektif sosiologi?
4. Bagimana dampak yang ditimbulkan dari adanya korupsi politik terhadap masyarakat
jika ditinjau dari perspektif sosiologi?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun yang menjadi tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui mengetahui pengertian korupsi politik.
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dari korupsi politik di Indonesia.
3. Untuk mengetahui penyebab terjadinya kasus korupsi politik jika dikaitkan dengan
perspektif sosiologi.
4. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari adanya korupsi politik terhadap
masyarakat jika ditinjau dari perspektif sosiologi.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Korupsi Politik

Dalam konsep klasik istilah korupsi politik dimaknai sebagai hubungan permasalahan
antara sumber-sumber kekuasaan dan hak-hak moral penguasa. Berkaitan dengan definisi
korupsi politik UU tidak menyebutkan definisi korupsi politik secara khusus. Meskipun belum
ada definisi mengenai korupsi politik tetapi Tama S. Langkun, selaku Koordinator Divisi Hukum
& Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan beberapa kriteria
perkara disebut korupsi politik. Pertama, dilakukan oleh pihak yang memiliki pengaruh. Kedua,
dilakukan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Ketiga, dilakukan oleh memiliki kekuasaan
untuk mengendalikan sesuatu seperti proyek (Tama:2017).
Van Kleveren pada tahun 1967 mengatakan bahwa korupsi merupakan tindakan yang
menyimpang dari tugas-tugas peran publik yang formal karena terkait kepentingan pribadi
(perseroangan, keluarga dekat, dan kelompok pribadi) yang berkaitan dengan uang atau keadaan
kekayaan; atau yang melanggar peraturan terhadap pelaksanaan jenis-jenis tertentu dari pribadi
yang dapat mempengaruhi. Hal ini mencakup tindakan tertentu seperti perilaku sebagai penyuap
(yang menggunakan hadiah untuk menyesatkan penilaian seseorang yang dalam keadaan jujur),
nepotisme (memberikan bentuk dengan alasan hubungan kekerabatan daripada jasa); dan
ketidakpatutan (kepatutan yang illegal sumber daya public terhadap penggunaan kepentingan
pribadi (Fransisca Adelina 2019, hal 63).
Gibson (1985), mendefinisikan korupsi poltik berdasarkan pendekatan perilaku yang
mengatakan bahwa korupsi politik merupakan hubungan negara-masyarakat khusus dan
seseorang sebagai kejahatan akibat dari adanya ketidakjujuran yang ditemukan seperti patronage,
pemeblian suara, penyuapan, penyogokan, konflik kepentingan dan pendanaan kampanye.
Sementara Lord Acton mengkaitkan permasalahan korupsi politik dengan penyalahgunaan sifat
kekuasaan pemerintah monarchi yang lalim pada saat itu. Perhatian terbesar Lord Acton yaitu
pada sifat ambisi korupsi dalam kedudukan sebagai penguasa. Ia menyatakan bahwa semua
kekuasaan cenderung korupsi dan kekuasaan mutlak maka korupsi absolut terjadi. Namun perang
politik terhadap kekuasan yang dianalisa oleh Lord Acton yang dilakukan berdasarkan inspirasi
dari pemikiran Machiavelli, Montesquieu dan Rousseau menunjukkan bahwa korupsi politik
ditandai sebagai permasalahan moral diantara kekuasaan. Dimana Machiavelli menyatakan
bahwa korupsi politik merupakan proses dimana kebaikan warga negara diabaikan dan bahkan
dirusak. Machiavelli juga mengatakan bahkan individu terbaik dapat disuap oleh ambisi kecil
dan keserakahan karena manusia tidak pernah puas. Pada hal yang sama, Rousseau mengakui
kapasitas kesombongan manusia ketika menyatakan bahwa korupsi politik merupakan suatu
akibat perebutan kekuasaan yang tidak dapat dielakkan. Baron de Montesquieu menyatakan
korupsi politik merupakan suatu proses disfungsional terhadap perintah politik kebaikan
(monarchy) karena ketika hal ini dikorupsikan, hal ini berubah menjadi suatu kejahatan (Fransisa
Adelina 2019, hal 63-64). Berdasarka pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
korupsi politik adalah penyelewengan kekuasaan yang dilakukan politisi untuk keuntungan
pribadi dengan tujuan melanggengkan kekuasaan atau peningkatan kesejahteraan.

2.2 Penyebab terjadinya kasus korupsi politik jika dikaitkan dengan perspektif sosiologi

Jika dikaitkan dalam perspektif sosiologi penyebab dari adanya korupsi politik yang
dilakukan oleh para politisi negeri ini adalah karena adanya sugesti yang dilakukan oleh para
politisi pada rakyat. Dimana sugesti yang dilakukan sebagai bentuk interaksi antara calon politisi
dengan rakyat yang berujung pada tindakan sosial yang dilakaukan oleh masyarakat. Dalam hal
ini sugesti yang dimaksud adalah upaya yang dilakukan oleh para politisi untuk mempengaruhi
rakyat untuk memilihnya saat melakukan kampanye dengan menyuarakan sejumlah janji-janji
politik yang akan ditepati dan diwujudkan saat dirinya terpilih menjadi wakil rakyat. Sugesti
yang dilakukan bertujuan untuk meyakinkan rakyat melalui sejumlah visi misi dan janji yang
diucapkan. Tidak hanya sampai disitu saja para calon politisi juga melancarkan aksinya dengan
melakukan praktik politik uang. Hal ini juga termasuk dalam hal sugesti karena para calon
politisi berupaya untuk mempengaruhi masyarakat untuk memberikan suaranya saat pemilihan
nanti.

Pada realitanya sering ditemui wakil rakyat yang sudah terpilih dan duduk dikursi
pemerintahan lupa akan janji-janji yang dulunya diucapkan kepada rakyat dan tidak memegang
amanah rakyat sehingga mengabaikan suara dan kebutuhan rakyat. Hal ini terjadi karena setelah
terpilihnya para politisi akan memikirkan bagaimana caranya untuk mengembalikan setiap modal
yang dikeluarkan saat mencalonkan menjadi wakil rakyat seperti biaya yang digunakan saat
melakukan kampanye, biaya yang digunakan dalam praktik uang atau proses suap menyuap, dan
lain sebagainya. Sehingga tidak heran jika para politisi yang saat ini duduk dikursi pemerintahan
tidak memperhatikan nasib dan kepentingan rakyat dengan melupakan semua janji-janjinya
kepada rakyat. Untuk mengembalikan setiap modal tersebut biasanya para politisi melakukan
korupsi politik. Sama halnya seperti yang diungkapkan oleh Sarah Brich (2009), dimana korupsi
dalam politik biasanya dilakukan melalui praktik politik uang. Krena hal tersebut akan
menghasilkan orang yang ‘salah’ sebagai pemenang. Pemerintahan yang dihasilkan pun kurang
representatif dan akuntabel. Alasannya karena politisi yang terpilih tidak akan mengutamakan
kepentingan rakyat. Di sisi lain, kepercayaan kepada mereka pun rendah. Selain itu, korupsi
politik juga dapat mendorong korupsi di sektor-sektor lain.

2.3 Dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya korupsi politik terhadap pemikiran
masyarakat mengenai politik di Indonesia jika ditinjau dari perspektif sosiologi

Pada realitanya praktik politik uang ini akan menghasilkan hubungan antara pemimpin
dengan rakyatnya hanya sebatas hubungan klientelistik bukan good sitizen atau pembentukan
warga negara yang baik dengan benar-benar menjalankan amanat konstitusi suatu negara.
Dengan kata lain hubungan antara pemimpin dengan rakyat hanya sebatas saat dilakukannya
pemilihan, sementara untuk visi misi dan janji-janji yang telah diberikan kepada rakyat hanya
sebatas kata-kata saja tanpa adanya pembuktian. Hal ini dikarenakan politisi hanya akan
memikirkan kepentingan pribadinya yaitu bagaimana caranya untuk mengembalikan semua
modal yang telah dikeluarkan yaitu dengan melakukan korupsi bukan untuk memikirkan
bagaimana caranya untuk memanjukan kesejahteraan rakyat yang telah menjadikannya menjadi
wakil rakyat. Namun disisi lain rakyat harus menderima dampak dari korupsi politik yang
diakibatkan oleh para politisi. Adapun dampak yang ditimbulkan dari adanya korupsi politik
terhadap masyarakat jika ditinjau dari perspektif sosiologi diantaranya, yaitu sebagai berikut.

a.Munculnya stigma negatif masyarakat terhadap politik di Indonesia

Ketika mendengar politik yang terlintas dipikiran masyarakat adalah kasus KKN yang
dilakukan oleh para politisi atau pejabat negeri. Hal ini dikarenakan masyarakat lebih cenderung
mendengar dan melihat berita negatif dari dunia politik Indonesia. Lahirnya stigma negatif
terhadap politik diakibatkan sistem kerja yang dilakukan oleh para politisi yang tidak transparan
terhadap masyarakat serta banyaknya politisi yang menggunakan uang rakyat untuk kepentingan
pribadi dan juga budaya suap-menyuap yang dilakukan oleh politisi yang sudah mendarah
daging di sistem perpolitikan Indonesia. Dengan demikian masyarakat menganggap bahwa
politik di Indonesia sudah mengabaikan suara masyarakat dengan tidak mementingkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat lagi akibat maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh
para politisi.

Masyarakat juga menganggap bahwa lembaga-lembaga yang dibentuk untuk


memberantas korupsi tidak efektif karena kasus korupsi yang terjadi di Indonesia bukannya
menuruh melainkan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal tersebut memicu masyarakat
cenderung untuk membanding-bandingakan kebijakan atau sistem yang berlaku di Indonesia
dengan negara lain yang kondisi politiknya lebih stabil tanpa diwarnai kasus korupsi. Misalnya
sikap masyarakat yang membanding-bandingkan dengan negara Cina. Dimana dalam
penanganan kasus korupsi Cina mengambil tindakan yang tegas dengan menghukum mati bagi
yang melakukan tindak pidanakorupsi atau melakukan penyalahgunaan kekuasaan demi
kepentingan pribadi. Sementara Indonesia berlindung dibalik kata Hak Azazi Manusia, jika
dilihat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para politisi lebih melanggar HAM sesorang
karena merenggut hak-hak rakyat. Dengan adanya stigma negatif masyarakat terhadap politik
Indonesia mengakibatkan hilangnya kepercayaan yang diberikan masyarakat terhadap politik
Indonesia baik terhadap partai politiknya maupun para politisi yang duduk dikursi pemerintahan.

b. Munculnya labelling pada politik Indonesia

Pelabelan atau yang dikenal dengan pemberian julukan atau olok-olokan tentang politik
Indonesia begitu marak dilakukan di media sosial maupun di dunia nyata atau di kehidupan
sehari-hari masyarakat. Dengan adanya labelling yang diberikan masyarakat maka akan memicu
pertikaian, perpecahan, dan merusak moral bangsa. Selain itu labelling juga akan
mengindikasikan adanya ketimpangan antara yang semestinya (idealitas) dan yang terjadi
(realitas) (Hafiar & Rusmulyadi, 2018). Labelling yang diberikan masyarakat pada politik
Indonsia yaitu sang predator, hal ini didasarkan pada maraknya tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan di bidang politik seperti para politisi dan
parta politik akibat dari ketamakan dan kerakusan yang melekat pada para politisi Indonesia.

Seperti yang diketahui berapa tahun terakhir muncul labelling atau olok-olokan dalam
dunia politik Indonesia yaitu Kecebong vs Kampret, hal ini terjadi pada tahun 2019 menjelang
pesta demokrasi. Fenomena labelling olok-olok politik “cebong dan nyinyiers-kampret” yang
marak dimedia sosial bisa dikatakan sebagai perilaku mencari sensasi, (sensate culture)
didalamnya juga ada keterlibatan unsur meniru dan ikut-ikutan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pelabelan yang dilakukan masyarakat merupakan suatu fakta sosial yang
tidak terbantahkan dan sekaligus menjadi masalah sosial. Pelabelan disebut sebagai fakta sosial
karena proses pelabelan tersebut berdasarkan realita yang dilihat oleh masyarakat. Sedangkan
labelling disebut sebagai masalah sosial karena dapat menimbulkan konflik, perpecahan dan
merusak moral bangsa. Hal ini dikarenakan seluruh masyarakat tanpa terkecuali termasuk anak-
anak ikut-ikutan meniru untuk mengucapkan label yang sama.
DAFTAR PUSTAKA

Adelina, Fransiska. (2019). “Bentuk-Bentuk Korupsi Politik”. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol
6(1). 59-75 https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/256
Diakses 11 Oktober 2021 pukul 22:12.
Lestari, Yeni Sri. (2017). Kartel Politik dan Korupsi Politik di Indonesia”. Jurnal Pandecta. Vol
12(1). https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta/article/view/7820 Diakses 11
Oktober 2021 pukul 22:23.
Oktaryal Agil dan Proborini Hastuti. Desain Penegakan Hukum Korupsi Partai Politik di
Indonesia”. Jurnal Antikorupsi. Vol 7(1). 1-22.
https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/729 Diakses pada 11 Okktober
2021 pukul 30:1.
Pahlevi, Moch Edward Trias dan Azka Abdi Amrurobbi. “ Pendidikan Politik dalam Pencegahan
Politik Uang
Melalui Gerakan Masyarakat Desa”. JurnalAntikorupsi. Vol 6(1). 141-
152.https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/611 Diakses pada 11
Oktober 2021 Pukul 30:33.
Pardomuan, Gomgom Daniel, Heddy Juanda, dan Hein Prmada Endarvin. 2019. Permasalahan
Penanganan Korupsi dan Solusinya. https://osf.io/6mgcd/download Diakses pada 11
Oktober 2021 pukul 30: 15.

Anda mungkin juga menyukai