Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ESKALASI FENOMENA GOLONGAN PUTIH (GOLPUT) DALAM PEMILIHAN


UMUM DI INDONESIA

Disusun guna memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Sosiologi Politik

Dosen Pengampu : MOHAMMAD AFIFUDDIN, M.A

Disusun Oleh:
ELFRIDA SIMARMATA
NIM : 200521100045

PRODI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat yang meliputi stuktur
sosial gejala-gejala sosial, dan perubahan sosial dalam masyarakat. Sosiologi mempelajari
gejala-gejala yang ada dalam masyarakat seperti norna, kelompok sosial, lembaga
masyarakat, proses sosial, perubahan sosial dan budaya serta manifestasinya. Terjadinya
gejala abnormal yang diharapkan masyarakat, yaitu gejala abnormal atau gejala patologis
yang disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak dapat berfungsi secara normal di masyarakat
sehingga menimbulkan kekecewaan dan rasa sakit. Gejala yang tidak normal tersebut disebut
masalah sosial. Salah satu contoh masalah sosial politik di Indonesia adalah meningkatnya
golput dalam pemilu di Indonesia setiap tahunnya.

Golput atau golongan putih adalah istilah yang merujuk pada orang yang tidak mau
menggunakan hak pilihnya dalam suatu pemilu, atau biasanya diartikan sebagai sekelompok
orang yang tidak mau memilih partai peserta pemilu. Pada hakikatnya golput adalah sebutan
kepada sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilih untuk menentukan
pemimpinnya dalam pemilihan umum (Badri Khaeruman, 2004:69). Secara umum
pengertian golput adalah orang yang telah memenuhi syarat dapat mengikuti pemilihan
umum dan terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), tetapi tidak memberikan suara atau
abstain dalam pemilihan umum. Parameter abstain tidak hanya pertimbangan ideologis,
tetapi juga berbagai alasan logis seperti masalah administratif, seperti tidak diundang untuk
memilih, sakit parah, bepergian, tekanan dari pihak lain dan apatis.

Golput adalah kelompok yang secara sadar menyatakan tidak memilih. Golput
pertama kali muncul dalam politik Indonesia pada pemilu tahun 1971 yang diprakarsai
oleh Arief Budiman, Imam Malujo Sumali, dan Julius Usman. Arief bersama dengan
rekan-rekannya memboikot pemilu sebagai bentuk rasa kecewa terhadap pemerintahan
Soeharto yang dianggap tidak demokratis dengan membatasi partai politik. Dengan
membatasi jumlah partai politik, pemerintah melanggar prinsip demokrasi yang paling
mendasar, yaitu kebebasan berserikat dan kebebasan berpolitik (Arief Budiman,
2006:105). Menurut Demos, golput ini setidaknya menjelaskan tiga hal. Pertama,
rasionalitas pemilih mulai tampak, pemilu relatif aman, damai, dan demokratis, serta
rakyat dapat lebih leluasa mengekspresikan kebebasan dan kedaulatannya. Elit politik
dianggap hanya peduli pada kelompok dan partainya. Kedua, partai alternatif belum
memadai. Kebebasan memang membuka peluang bagi perpecahan kaum reformis dan
sekaligus menjadi ancaman karena munculnya partai baru “berpikiran ganda” dengan
ragam interes primordialnya, sehingga menjadi kendala tersendiri bagi pembentukan
konsolidasi demokrasi. Ketiga, partai politik gagal, terutama dalam fungsi perwakilan.
Partai politik tidak bisa mengagregasi kepentingan rakyat. Pemilu di negara demokrasi
sudah menjadi rutinitas dalam penentuan regenerasi kepemimpinan. Para ahli teori klasik,
dari Alexis Tocquiville hingga Thomas Jefferson percaya bahwa partisipasi politik,
khususnya pemungutan suara dalam pemilu, adalah kunci dari pemerintahan yang
demokratis (Badri Khaeruman, dkk, 2004: 67). Pada saat pemilihan masyarakat dapat
berpartisipasi dalam menentukan pemimpinnya. Namun, di balik cerita pilkada, masih
banyak masyarakat yang belum melakukan kewajibannya untuk memilih (golput).

Meskipun diketahui bahwa politik dan partisipasi warga negara tidak dapat
dipisahkan namun tetap saja banyak masyarakat yang golput. UU No 12 Tahun 2015 adalah
tentang perlindungan negara dan perlindungan hak sipil dan politik warga negara, seperti hak
untuk menyatakan pendapat, hak untuk berserikat, hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk
persamaan didepan hukum, dan pemerintah, pelaksanaan partisipasi politik, serta hak atas
keadilan. Menurut Hantington dan Nelson (1990: 9-10), partisipasi politik adalah partisipasi
warga negara biasa dalam membuat keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi
kehidupannya. Partisipasi politik pada dasarnya adalah kegiatan sekelompok orang yang ikut
serta dalam kegiatan politik. Karena partisipasi politik, masyarakat dalam pemilihan umum
dapat dilihat sebagai kontrol publik terhadap pemerintah. Kontrol yang diberikan berbeda-
beda sesuai dengan tingkat partisipasi politik masing-masing individu. Selain sebagai inti
demokrasi, partisipasi politik juga erat kaitannya dengan perwujudan hak-hak politik warga
negara.

Partisipasi masyarakat yang rendah dapat diasumsikan berarti masyarakat tidak


memperhatikan isu-isu nasional, juga dapat diasumsikan bahwa partisipasi masyarakat yang
rendah merupakan bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap hasil pemilihan umum dan
akan membawa perubahan. Fenomena golput umumnya dianggap sebagai ancaman
demokrasi, karena dianggap tidak mendukung eksistensi partai. Hal ini dikarenakan
partisipasi masyarakat yang rendah dapat mempengaruhi proses politik dan pemerintahan.
Tingginya angka golput akan menguntungkan calon politisi yang belum tentu berkualitas
atau tidak disukai masyarakat. Artinya calon politisi bisa menang dengan perolehan suara
yang sedikit, atau memiliki basis massa yang kecil karena banyak masyarakat yang golput.
Hal ini mengakibatkan legitimasi kekuasaan calon terpilih akan berkurang. Dalam pemilihan
langsung, calon politisi yang terpilih akan merasa bahwa dirinya adalah pilihan “rakyat” dan
bebas melakukan apa yang diinginkannya, yang justru akan menjadi bumerang bagi yang
abstain.

Eskalasi fenomena golput di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya,


yaitu faktor sosial ekonomi, menyangkut latar belakang sosial, dan status ekonomi pemilih;
faktor psikologis, menyangkut masalah ciri kepribadian masyarakat atau kedekatan
kepribadian masyarakat terhadap calon atau kandidat politisi, perilaku golput dalam faktor
psikologis disebabkan oleh orientasi perilaku para pemilih. Perilaku pemilih secara umum
memiliki 3 karakteristik, yaitu apatis yang disebabkan rendahnya sosialisasi politik kepada
masyarakat, kemudian anomi berpikir bahwa kegiatan politik itu sia-sia, selanjutnya aliensi,
yaitu perasaan teralienasi aktif, bahwa pemerintah dianggap tidak berdampak bagi kehidupan
masyarakat; faktor rasional, menyangkut rasionalitas dan pertimbangan yang cermat atas
pilihan pemilih berdasarkan untung rugi; faktor teknis, menyangkut keterbatasan teknis,
seperti masyarakat yang sakit atau memiliki kegiatan lain pada hari pemilihan; dan faktor
administratif, menyangkut ketidakmampuan pemilih untuk menggunakan hak pilihnya.
Aspek administrasi hak, seperti tidak terdaftar sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu
pemilihan dan tidak memiliki status penduduk (KTP).

Eskalasi golongan putih akan terus meningkat setiap adanya pemilu apabila
masyarakat secara terus menerus mengalami kekecewaan dalam setiap pemilihan.
Kepercayaan dan kekecawaan rakyat kepada elit politik hampir mencapai titik terendah,
karena pemimpin tidak lagi berpihak pada rakyat. Akibatnya, rakyat apriori atau rakyat jemu
dengan kejadian-kejadian di mana persoalan yang dihadapinya akan tetap sama setiap kali
diadakan pemilihan umum. Oleh karena itu, pemerintah berusaha untuk meminimalisir
angka golput dalam pemilu di Indonesia melalui berbagai upaya seperti menerapkan dan
mensukseskan pendidikan politik; sosialisasi dan penyadaran masyarakat akan pentingnya
pemilihan pemimpin; peningkatan kesadaran hukum; penunjukan calon kandidat pemimpin
sikap yang dapat di percaya; dan para politisi harus lebih jujur dengan janji yang diberikan
kepada masyarakat pada saat kampanye.Perilaku golput masyarakat dipengaruhi oleh adanya
konstruksi sosial yang dilakukan masyarakat dalam pemilu di Indonesia. Dalam konstruksi
sosial, terdapat proses dialektis dari analisis individu dan teoritis, yang digambarkan dari
perspektif teori konstruksi sosial Peter L. Berger, dimana Berger mengeksploasi makna
realitas objektif dan dimensi realitas subjektif, serta dimensi dialketika proses obyektivasi,
internalisasi, dan eksternalisasi.

Menyadari masih banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih dalam
pemilihan umum, penulis tertarik untuk memahami dan memfokuskan permasalahannya
pada fenomena golput di Indonesia. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul “Eskalasi
Fenomena Golongan Putih (Golput) dalam Pemilihan Umum di Indonesia”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, adapun permasalahan yang akan dikaji dalam makalah
ini adalah:
1. Faktor-faktor apa saya yang menyebabkan terjadinya eskalasi golput dalam pemilu di
Indonesia?
2. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi tingginya angka
golput dalam pemilu di Indonesia?
3. Bagaimana konstruksi sosial tentang golput yang dilakukan oleh masyarakat dalam
setiap pemilu di Indonesia?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun yang menjadi tujuan dari makalah ini
adalah:
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan faktor-faktor penyebab terjadinya eskalasi
golput dalam pemilu di Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk
mengurangi tingginya angka golput dalam pemilu di Indonesia.
3. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan konstruksi sosial tentang golput yang dilakukan
oleh masyarakat dalam setiap pemilu di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Eskalasi Golput dalam Pemilu di

Indonesia

Berikut akan dipaparkan beberapa penjelasan teoritis beberapa faktor yang


mempengaruhi seseorang memilih untuk golput, yang terdiri dari sosial ekonomi, faktor
sosiologis, faktor kepercayaan politik, faktor teknis, dan faktor administratif.

1) Faktor Sosial Ekonomi


Faktor sosial ekonomi meliputi kondisi sosial dan kondisi ekonomi. Tingginya
tingkat kehadiran pemilih yang berpendidikan dan bepenghasilan tinggi merupakan
faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum. Hal ini
dikarenakan tingkat pendidikan masyarakat yang cukup tinggi membuat masyarakat
lebih kritis dan rasional terhadap isu politik sehingga membuat masyarakat acuh
terhadap pemilu dan isu politik yang berimbas pada keputusan masyarakat untuk
golput. Serta mempunyai penolakan yang cukup tinggi terhadap calon atau kandidat
yang menurut masyarakat tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik untuk
menjadi seorang pemimpin. Sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan
seseorang, semakin rendah pula tingkat kepeduliannya terhadap masalah politik.
2) Faktor Psikologis
Kampanye adalah usaha yang dilakukan oleh para calon politisi untuk
meyakinkan masyarakat untuk mendapatkan dukungan sebesar-besarnya dengan
memberikan dan menyerukan program-programnya, dengan harapan para calon
pemilih merasa percaya dan memberikan mandatnya. Bagi masyarakat, kampanye
pemilu merupakan sarana untuk memeriksa, mengamati, dan menentukan calon
politisi yang akan dipilih. Demikian pula, berkampanye bukan hanya sekedar
kebutuhan para kandidat politisi, tetapi juga kebutuhan pemilih untuk menentukan
pilihannya dan memutuskan apakah akan menggunakan hak pilihnya atau tidak.
Pada realitasnya kesadaran masyarakat terhadap kampanye belum begitu
tinggi. Artinya pasrtisipasi masyarakat dalam pemilu tidak menentukan apakah
masyarakat akan ikut serta dalam pemilu. Sebagian besar masyarakat yang
mengikuti pemilu hanyalah orang-orang yang menikmati hiburan yang disediakan
atau diberikan oleh parpol atau calon politisi.
Setiap calon politisi akan selalu berusaha mendekatkan diri kepada masyarakat
untuk memperoleh simpati masyarakat, dengan harapan masyarakat akan
memilihnya dalam pemilu. Setiap calon akan berusaha untuk lebih dekat dengan
masyarakat melalui kampanye langsung di lapangan, media massa, televisi, radio
atau kampanye melalui spanduk. Selain itu, para calon politisi juga memberikan
donasi kepada korban bencana di daerahnya saat pemilu sudah dekat. Meskipun para
calon politisi berusaha mendekatkan diri dengan masyarakat melalui kampanyenya
namun masyarakat menilai para calon politisi hanya menggunakannya sebagai citra
dan strategi untuk merebut hati masyarakat dan memperoleh suara sebanyak-
banyaknya.
Faktor psikologis juga menyebabkan masyarakat tidak memilih (golput),
melihat perilaku golput disebabkan oleh orientasi kepribadian pemilih, yang secara
konseptual menunjukkan karakteristik apatis, anomali, dan alienasi. Secara teori,
perasaan apatis sebenarnya merupakan manifestasi atau perkembangan lebih lanjut
dari kepribadian otoriter, yang ditandai dengan kurangnya minat masyarakat
terhadap isu-isu politik. Hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi atau rangsangan
politik atau keyakinan bahwa kegiatan politik tidak mengarah pada kepuasan
terhadap hasil pemilu. Anomi mengarah pada perasaan tidak berguna karena
masyarakat melihat bahwa aktivitas politik sia-sia, karena masyarakat merasa tidak
mungkin dapat mempengaruhi politik Indonesia. Menurut masyarakat memilih atau
tidak memilih, tidak akan berpengaruh karena keputusan politik seringkali diluar
kontrol pemilih. Hal tersebut disebabkan karena para pemilih biasanya menggunakan
logikanya sendiri ketika mengambil keputusan politik, dan dalam banyak kasus,
masyarakat berada diluar jangkauan pemilih. Sementara alienasi merupakan
perasaan keterasingan yang aktif. Seseorang merasa dirinya tidak banyak terlibat
dalam urusan politik. Pemerintah dianggap tidak memiliki pengaruh terhadap
kehidupan seseorang.
3) Faktor Rasional
Faktor rasional ini melihat visi dan misi yang diberikan partai politik harus
jelas, begitu juga dengan program rencananya agar menarik simpati para pemilih.
Namun, jika para calon politisi mensosialisasikan visi misi dan program-programnya
kepada masyarakat yang memilih, maka pilihan untuk tidak memilih (golput)
rasional bagi pemilih. Masyarakat melihat bahwa visi dan misi yang diberikan partai
politik sangat mempengaruhi partisipasi masyarakat untuk ikut atau tidak dalam
pemilu. Jika visi dan misi yang diberikan calon politisi dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, maka masyarakat akan berpartisipasi dalam pemilu.
Sebaliknya, jika masyarakat merasa bahwa visi dan misi yang diberikan oleh seorang
calon politisi atau partai politik gagal atau tidak sesuai dengan keinginan
masyarakat, maka masyarakat tidak akan berpartisipasi dalam pemilu.
Faktor pilihan rasional yang diungkapkan oleh Olson (1971) dan Down
(1957), dipengaruhi oleh kurangnya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pemilu, bukan merupakan tanda kebodohan melainkan rasionalitas sosial.
Pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat yang rasional ketika mempertimbangkan
pilihannya untuk berpartisipasi dalam pemilu: Apa yang akan saya peroleh dari
partisipasi semacam ini, dan jika saya tidak berpartisipasi, apa yang tidak saya
dapatkan? Dalam jutaan masyarakat, jawabannya hampir selalu sama yaitu “Tidak
ada”, hal ini adalah skenario “freerider” (pengguna layanan publik yang tidak ingin
memenuhi kewajibannya) ketika non- partisipasi adalah pilihan yang paling rasional.
Hal ini membuatnya masuk akal untuk menyimpulkan bahwa individu yang rasional
akan mementingkan kepentingan sendiri tidak akan mengambil tindakan untuk
mencapai atau mewujudkan kepentingan umum dan kelompok.
Faktor rasional juga mempengaruhi perilaku masyarakat untuk tidak
memilih dalam pemilu (golput). Karena masyarakat merasa masih tidak puas
dengan hasil pemilu yang tidak memperjuangkan kemaslahan masyarakat,
masyarakat merasa memilih atau tidak berpengaruh pada kehidupannya, karena
keputusan politik seringkali berada di luar kontrol para pemilih.Oleh karena itu,
masyarakat merasa tidak perlu, bahkan ada yang tidak mau ikut berpartisipasi
dalam pemilu. Kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilih cukup
rendah, karena masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan janji-janji calon
politisi yang hanya memberikan janji-janji palsu pada saat kampanye pemilu
untuk mempengaruhi masyarakat agar memilihnya pada saat pemilu. Padahal
setelah pemilu berlangsung dan para politisi telah memegang kekuasaan,
kebijakan yang dihasilkan jauh dari kata memuaskan, atau janji-janji yang dibuat
oleh elit politik kepada publik yang mendukungnnya tidak terealisasi. Hal ini
dikarenakan para calon politisi maupun partai politik yang mengusungnya
cenderung mengutamakan kepentingan pribadi ataupun kelompoknya daripada
kepentingan masyarakat ketika sudah terpilih dan berkuasa. Disaat para politisi
lebih mementingkan dirinya sendiri atau kepentingan kelompoknya akan
mengakibatkan merosotnya integritas moral aktor-aktor politik (elit politik) yang
berperilaku koruptif dan lebih mengejar kekuasaan/kedudukan daripada
memperjuangkan aspirasi publik.
Faktor politik adalah alasan mengapa masyarakat tidak mau memilih.
Misalnya ketidakpercayaan terhadap partai, tidak ada pilihan di antara calon yang
ada, atau ketidakpercayaan bahwa para calon politisi dapat membawa perubahan
dan kemajuan. Situasi ini mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak
pilihnya. Stigma politik itu kotor, jahat, dan tidak bermoral memperburuk
kepercayaan masyarakat terhadap politik yang membuat masyarakat tidak mau
menggunakan hak pilihnya. Terbentuknya stigma ini karena sifat Sebagian
politisi yang masuk dalam kategori politik instan. Dimana masyarakat akan
berpartisipasi dalam pemilu apabila terdapat agenda politik. Oleh karena itu,
situasi ini menggerogoti kepercayaan publik terhadap politisi. 
Yang menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap perilaku
politisi yang lebih banyak berkonflik mulai dari konflik perebutan posisi strategis
partai, kemudia konflik dengan politisi lain dari partai lain. Konflik seperti ini
dapat menimbulkan kekesalan masyarakat terhadap partai politik. Politik
pragamatis, para politisi dan komunitas tertentu semakin kuat. Politisi mencari
keuntungan sementara hanya dengan mendapatkan suara rakyat. Sementara itu,
sebagian orang akan ikut berpolitik jika mendapat keuntungan materi, demikian
ungkapan yang muncul, jika tidak sekarang, ketika terpilih, para politisi akan
melupakan janjinya. Inilah sebabnya mengapa masyarakt tidak mempercayai
partai politik atau kandidat/kandidat. Ketika masyarakat melihat perilaku
sebagian besar elit politik dan elit partai yang mengutamakan kepentingan
pribadi, perilaku masyarakat tidak lepas dari mentalitas yang menganggapnya
sebagai gambaran perilaku keseluruhan politisi dan partai politik di Indonesia.

4) Faktor Teknis
Dalam hal ini, faktor teknis yang dimaksud adalah kendala teknis yang
dihadapi pemilih yang menghalangi para pemilih untuk menggunakan hak
pilihnya. Seperti halnya pemilihyang sakit pada hari pemungutan suara, pemilih
memiliki aktivitas lain yang bersifat pribadi bagi pemilih. Situasi ini secara teknis
menghalangi pemilih untuk datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya.
Faktor teknis dalam pengertian ini dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
absolute technicality dan tolerable technicality. Teknis mutlak menjadi kendala
yang langsung menghalangi pemilih untuk berpartisipasi di TPS, seperti penyakit
yang membuat pemilih tidak bisa keluar rumah. Sementara kendala teknis yang
dapat di tolerir adalah persoalan sederhana yang melekat pada pemilih sehingga
tidak bisa datang ke TPS, seperti ada keperluan keluarga, berencana berlibur di
hari pencoblosan. Namun hal ini masih dapat disiasati, yakni dengan cara
mendatangi TPS lebih awal untuk menggunakan hak pilihnya, baru melakukan
aktivitas atau keperluan yang bersifat pribadi.
5) Faktor Administratif

Faktor adminisistratif berkaitan dengan faktor administratif yang


menghambat pemilih dalam menggunakan hak pilihnya seperti tidak terdata
sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan. Isu selanjutnya yang
menjadi kendala administrasi adalah persoalan KTP. Masih banyak masyarakat
yang sudah memenuhi syarat untuk memiliki KTP tetapi belum memiliki KTP.
Jika masyarakat tidak memiliki KTP maka tidak akan terdaftar dalam DPT
(Daftar Pemilih Tetap), karena secara administratif KTP menjadi acuan untuk
mendaftar dan membuat DPT. Oleh karena itu, masyarakat hanya dapat
mendaftar sebagai pemilih jika tinggal di satu tempat minimal selama 6
bulan. Jika petugas pendaftaran pemilih melakukan pendataan dengan benar dan
maksimal mengunjungi rumah pemilih, maka Golput yang disebabkan oleh faktor
administratif dapat diminimalisir. Selain itu, inisiatif masyarakat mengharuskan
petugas pendataan mendaftarkan diri sebagai pemilih. Langkah selanjutnya,
Daftar Pemilih Sementara (DPS) harus dipasang di tempat yang penting agar
dapat dibaca oleh masyarakat. Masyarakat juga harus aktif menelusuri namanya
sampai ke DPS, dan jika tidak terdaftar harus segera melapor ke pengelola RT
atau pendata.

2.2 Upaya yang Dilakukan oleh Pemerintah untuk Mengurangi Tingginya Angka Golput
dalam Pemilu di Indonesia

Golput tidak dapat dibendung lagi dalam pemilu di Indonesia karena sudah terjadi dan
melekat didalam diri masyarakat yang sering abstain. Namun pemerintah dan masyarakat
harus bahu membahu mengatasi hal ini yang sebenarnya dianggap sepele. Seperti yang kita
ketahui bersama, abstain yang mengalami eskalasi di Indonesia adalah kesalahan semua
pihak. Kita tidak mungkin menghilangkannya begitu saja namun masyarakat dan pemeritah
harus menekan jumlah masyarakat yang golput.

Penyebab rendahnya partisipasi politik masyarakat Indonesia yaitu banyak kasus yang
menggambarkan partai politik, minimnya figur partai politik yang potensial, dan
merosotnya citra partai politik. Untuk menekan tingginya angka golput dalam pemilu di
Indonesia, KPU merekrut agen sosial dengan memasang poster dan spanduk, melakukan
kegiatan bersama dengan agen sosialisasi, dan menambah jumlah TPS. KPU menyebarkan
informasi ke media massa untuk dipublikasikan. Tujuannya adalah untuk melibatkan
masyarakat dan berkontribusi langsung dalam menyukseskan pemilu di Indonesia. Media
massa elektronik perlu membuat rencana-rencana yang membantu mensosialisasikan
pemilu, seperti mengajak semua parpol peserta pemilu untuk membicarakannya secara
terbuka dalam jangka waktu khusus yang disediakan pemerintah, kemudian menjelaskan
rencana dan janji yang ramah terhadap rakyat. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah
untuk mengatasi golput antara lain: (1) penyederhanaan aturan bagi pemilih dalam
menggunakan hak pilihnya, (2) perbaikan sistem pendataan dan pendaftaran pemilih agar
lebih muda; (3) Mengubah hak memilih menjadi kewajiban memilih (4) Sistem pemilihan
yang digunakan harus mudah dipahami oleh pemilih (misalnya jumlah partai sedikit, tata
cara pemungutan suara sederhana, dan desain surat suara sederhana); (5) Waktu sosialisasi
dan anggaran yang cukup harus disediakan (anggaran yang disediakan untuk pemilu
legislatif 2009 sangat tidak mencukupi (Munawar M 207:1).
Beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi tingginya angka
golput dalam pemilu di Indonesia antara lain:

1) Menerapkan dan Mensukseskan Pendidikan Politik

Pendidikan politik adalah kegiatan yang bertujuan untuk membentuk dan


mengembangkan orientasi politik pada masyarakat dengan tujuan untuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat Indonesia agar dapat berpartisipasi dengan
baik dalam sistem politiknya. Menurut konsep kedaulatan rakyat atau demokrasi,
rakyat Indonesia harus mampu menyelesaikan tugas-tugas partisipasi. Pendidikan
politik mengharuskan mengandung unsur-unsur nuansa moral, seperti kepatuhan
terhadap hukum atau aturan main, keindahan kepentingan publik, kebijakan
pemrosesan prosedural, kedekatan dengan rakyat, demonstrasi penuh, pencerahan
publik, dan implementasi populisme. Pendidikan politik memiliki muatan politik,
antara lain loyalitas dan sentimen politik, Pengetahuan dan wawasan politik yang
memungkinkan seseorang memiliki kesadaran akan isu-isu politik dan sikap politik.

Di Indonesia, penyelenggaraan pendidikan politik mengacu pada landasan


hukum UUD, yakni Pancasila dan UUD 1945, tidak terkecuali penyelenggaraan
pendidikan politik bagi generasi muda. Di Indonesia, materi dan kursus proses
pendidikan politik bagi generasi muda diatur dalam Inpres No. 1. Dalam dokumen
pendidikan politik pemuda nomor 12 tahun 1982 disebutkan bahwa materi
pendidikan politik meliputi: a) penanaman ideologi, kesadaran berbangsa dan
bernegara; b) kehidupan beragama dan kerukunan; c) motivasi berprestasi; d)
persamaan hak dan kewajiban, masyarakat Pengalaman keadilan dan penghormatan
terhadap martabat manusia e) Pengembangan kemampuan politik dan pribadi untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginan berpartisipasi dalam politik f) Disiplin pribadi,
sosial dan nasional; ) disiplin pribadi, sosial dan nasional; g) kepercayaan pada
pemerintah; h) kepercayaan pada pembangunan berkelanjutan. 

2) Sosialisasi dan Kesadaran Masyarakat Pentingnya Memilih Pemimpin

Sudianto, Rusmini, dan Eldin H Zainal mengatakan harus ada metode


sosialisasi dan pendekatan calon politisi dengan masyarakat. Rusmini
menambahkan sosialisasi kesadaran masyarakat akan pentingnya memilih
pemimpin. Karena pemilihan pemimpin dan wakil rakyat memang menjadi
kewajiban setiap rakyat Indonesia yang telah memenuhi syarat untuk memilih.
Namun, jika tidak ada partisipasi masyarakat dalam pemilu, maka pemilu akan
menjadi inkompeten dan tidak pro terhadap rakyat.

Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu di


Indonesia, KPU telah mensosialisasikan kepada masyarakat akan pentingnya
memberikan hak suaranya dalam pemilu, ada beberapa bagian, antara lain: Kegiatan
sosialisasi bagi pemilih pemula, kegiatan sosialisasi kepada kelompok marjinal,
Kegiatan sosial dengan kelompok agama, kegiatan sosialisasi dengan kelompok
perempuan, kegiatan sosialisasi penyandang disabilitas dan masyarakat
berkebutuhan khusus. Karena 1 suara memiliki pengaruh yang besar dalam pemilu.
Pada tahap baru, personel formasi akan melakukan verifikasi aktual, langsung
melakukan verifikasi data berdasarkan data yang diperoleh dari catatan sipil dan
melakukan penyesuaian setelah TPS ditetapkan. Pemilih agar bisa menggunakan
KTP-nya. Namun, pada hari-H pemilu, masyarakat bisa menggunakan hak pilihnya
karena akan mendapatkan kesempatan memilih satu jam sebelum pemilu berakhir.
Inilah yang KPU lakukan agar masyarakat bisa memilih tapi kembali ke masyarakat
lagi.

3) Meningkatkan Kesadaran Hukum

Pemerintah harus meningkatkan kesadaran hukum masyarakat terhadap


pemilihan umum dengan bekerja keras untuk mensejahterakan dan mensejahterakan
masyarakat. Hal itu dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap
politik Indonesia. Jika calon yang terpilih nanti harus membuktikan setiap janji
yang telah diberikan kepada rakyat, yaitu kesejahteraan rakyat, dengan begitu
rakyat pasti akan memilih dan menggunakan hak suaranya setiap adanya pemilu
sehingga tidak akan golput. Jika tidak memiliki kesadaran hukum, masyarakat yang
tidak memilih atau abstain otomatis akan mempengaruhi anggota keluarganya.
Yang lebih mengerikan adalah ia tidak mau tahu lagi dengan peilu, karena ia merasa
tidak ada gunanya memilih pemimpin. Oleh karena itu, masyarakat harus memiliki
kesadaran politik dan hukum.

4) Menunjukkan Bahwa Sikap Calon-Calon Kandidat Pemimpin dapat di Percaya


Sebenarnya kerja keras seorang calon yang benar-benar menunjukkan
sikapnya sebagai pemimpin yang amanah. Tingkah laku dan sikap politikus masa
depan sangat sesuai dengan pesan para pendidik saat kampanye, dia sangat jujur.
Membangun kepercayaan publik melalui pemerintahan yang bersih, adil dan
transparan. Oleh karena itu, sebuah pemerintahan yang bertanggung jawab,
kredibel, amanah dan transparan yang kepemimpinannya akan merekrut atau
memberikan nilai tambah, dan partisipasi masyarakat diharapkan dapat melibatkan
pembangunan pemerintahan yang bersih. Dan untuk mengedukasi masyarakat
tentang politik, jika orang tidak mengerti politik, maka tidak akan memiliki peran
dalam dunia politik.
5) Para Politisi Harus Bersikap Lebih Jujur terhadap Janji-Janji
Kandidat yang mencalonkan diri sebagai pemimpin di Indonesia harus
memenuhi atau menepati setiap janjinya kepada rakyat selama kampanye pemilu,
dan harus menjadi memimpin yang baik, amanah, dan jujur, dengan tidak ikut serta
dalam melakukan korupsi atau penyalagunaan kekuasaan.

2.3 Konstruksi Sosial tentang Golput yang Dilakukan Oleh Masyarakat dalam Setiap

Pemilu di Indonesia

Dalam hal ini, terjadi proses dialektis antara individu dan analisis teoritis yang
diuraikan dalam perspektif teori konstruksi sosial Peter L. Berger. Oleh karena itu, hal ini
dapat menjelaskan terjadinya fenomena golput dalam pemilu di Indonesia.

Menurut Berger, manusia menciptakan realitas sosial objektif melalui proses


eksternalisasi, karena realitas objektif mempengaruhi manuisa melalui proses internalisasi.
Kemampuan berpikir secara dialektis tentang tesa, antitesa dan sintesa. Berger percaya
bahwa masyarakat adalah produk manusia dan manusia adalah produk masyarakat. Berger
membahas tentang makna dimensi realitas objektif dan realitas subjektif, serta proses
dialektika objektifikasi, internalisasi dan eksternalisasi (produk manusia), objektifikasi
(interaksi sosial).

Dialektika berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, yakni
eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia),
obyektivasi (interaksi sosial dalam dunia intersubyektivasi yang dilembagakan atau
mengalami proses institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentivikasikan diri
dengan lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya).

Pada tahapan internalisasi, masyarakat sudah mengetahui tentang golput dalam


pemilu di Indonesia, tetapi tidak berdasarkan apa yang dilakukan masyarakat di
lingkungannya. Melainan stock of knowledge yang masyarakat miliki secara umum.
Memperoleh kepemilikan bangunan masyarakat di lingkungannya, Atau masyarakat
mendefinisikan dirinya berdasarkan pengalaman. Pada dasarnya internalisasi ini
merupakan hasil dari pengalaman, yang kemudian dipadukan dengan pemahaman umum
masyarakat tentang golput. Kemudian, ketika melihat golput yang terjadi dalam pemilu itu
sendiri, proyeksikan ke publik

Internalisasi adalah tahapan dimana setiap aktor yang terlibat memperoleh persepsi
mengenai baik buruk, benar salah dari orang terdekatnya (keluarga), orang yang dicintai,
orang yang dipercayai, orang yang protektif, dan orang yang dihormati atau orang yang
penting. Dalam proses internalisasi, persepsi masyarakat tentang baik buruknya,
masyarakat sebagai subjek akan memilih untuk golput karena adanya paksaan dari
keluarga yang juga memaksa dirinya untuk menentukan pilihan golput. Hal ini disebabkan
karena kekecewaan keluarga tersebut kepada salah satu calon pasangan politisi. Disini
fungsi keluarga adalah sebagai wadah terbentuknya sosialisasi primer, penerapan nilai,
norma dan aturan sosial.

Menurut Berger, proses internalisasi menentukan tahapan bagi para aktor. Ketika
proses trasnformasi atau identifikasi kondisi sosial dan budaya dan proses pemahaman
aktor dalam proses implementasi dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, memungkinkan
masyarakat untuk mencerminkan bahwa ketika pilihan abstainnya. Hal ini memang sudah
menjadi pilihan yang terbaik karena masyarakat merasa bahwa ketika masyarakat memilih
calon politisi tidak akan memberikan dampak yang signifikan kepada masyarakat. Hal ini
dikarenakan masyarakat kecewa dengan pemerintah dan politisi karena tidak berdampak
signifikan terhadap kehidupan masyarakat.

Selanjutnya adalah tahapan objektivasi, yang merupakan hasil dari tahap


internalisasi. Objektivasi ini berkenaan dengan apa yang masyarakat alami yakni sebagai
tahapan pengalaman pribadi dari individu dalam mengartikan sebuah realitas. Dalam
realitas masyarakat yang memilih golput dalam pemilu memiliki pengalaman terkait kasus
golput yang terjadi. Pengalaman tidak diartikan sebagai apa yang masyarakat alami. Tetapi
apa yang dilihat atau dirasakan dengan panca indera yang dimiliki. Dalam kasus golput
yang dilakukan oleh masyarakat di Indonesia, menunjukkan bahwa masyarakat akan sering
melihat kondisi dimana tindakan-tindakan yang sebenarnya merujuk pada golput dianggap
sebagai hal yang wajar. Pengalaman-pengalaman seperti inilah yang kemudian
mempengaruhi konstruksi masyarakat dalam mengartikan atau mendeskripsikan golput
yang telah terjadi dalam dirinya.

Terakhir, merupakan tahapan eksternalisasi dimana masyarakat akan memiliki


konstruksi tentang golput dalam pemilu di Indonesia yang dimiliki sendiri sesuai dengan
pengalaman yang ada (masyarakat alami). Pada tahapan ini, masyarakat akan memiliki
struktur golput yang berbeda tentang golput dalam setiap pemilu di Indonesia. Masyarakat
yang memilih golput dalam pemilu awalnya menganggap segala sesuatu sebagai bentuk
golput dalam pemilu yang berkaitan dengan pengaruh dari keluarga maupun pengaruh dari
lingkungan dan dari penilain masyarakat sendiri mengenai pasangan calon politisi sebagai
bentuk golput pada pemilu presiden. Defenisinya sangat luas, karena apa yang
dikonstruksikan secara sosial didasarkan pada apa yang diketahui masyarakat. Struktur ini
berubah ketika orang mendapatkan pengalaman di lingkungan mereka dan beradaptasi
dengan keluarga, teman, dan tetangga mereka.

Tahapan internalisasi, objektivasi dan eksternalisasi ini merupakan rangkaian


tahapan yang merupakan struktur yang ada dalam masyarakat, yang kemudian
dikonstruksi oleh individu untuk membentuk definisi baru tentang peristiwa atau
menghasilkan makna baru. konstruksi dimulai dengan pengetahuan yang diketahui secara
umum, dan kemudian berlanjut ke pembangunan. Struktur selanjutnya dapat ditafsirkan
berbeda untuk setiap orang. Pemaknaan yang berbeda ini dipengaruhi oleh objektifikasi
yang ada, dan kemudian memasuki tahap eksternalisasi.

Ketika makna yang berbeda memasuki tahap eksternalisasi ini, konstruksi ini akan
menjadi “pengetahuan pribadipublik”. Intinya adalah bahwa apa yang diketahui seseorang
atau individu akan menjadi pengetahuan baru bagi orang lain. Proses ini kemudian menjadi
hal yang wajar bagi individu baru. Pengetahuan umum individu baru ini merupakan bagian
dari internalisasi. Makna setiap orang akan memiliki pengalaman yang akan berdampak
pada makna barru tersebut. Begitu pula dengan konstruksi masyarakat yang memilih
golput atau abstain dalam pemilu di Indonesia.

Proses konstruksi tentang masyarakat yang abstain dalam pemilu akan terus
mengikuti pengalaman masyarakat masing-masing. Setiap masyarakat memiliki alasan
yang berbeda , hal ini sesuai dengan konstruksi yang dimiliki oleh masyarakat. Proses ini
bersifat siklus yang akan berputar secara terus menerus dan tidak akan berhenti. Mulai
dengan saling mengetahui, yaitu internalisasi-objektivasi-eksternalisasi-kembali ke
internalisasi baru- mengalami kembali proses objektivasi - hingga pada proses
eksternalisasi-dan seterusnya.
BAB III

PENUTUP

3. 1 Kesimpulan
Pada bagian akhir ini, penulis mengemukakan kesimpulan yang didapatkan pada temuan
data hasil analisis, mengenai eskalasi fenomena golput dalam pemilu di Indonesia. Angka
masyarakat yang tidak memilih atau golput dalam pemilu di Indonesia mengalami eskalasi
setiap dilaksanakannya pemilihan umum di Indonesia. Eskalasi fenomena golput dalam
pemilihan umum di Indonesia dipengaruhi oleh lima faktor yang terdiri dari faktor sosial
ekonomi, menyangkut masalah latar belakang sosial dan kondisi ekonomi pemilih; faktor
psikologis, menyangkut masalah karakteristik kepribadian atau keintiman kepribadian seseorang
dengan calon politisi; faktor rasional, menyangkut rasionalitas dan pertimbangan yang cermat
atas pilihan pemilih berdasarkan untung dan rugi; faktor teknis, menyangkut keterbatasan teknis,
seperti masyarakat yang sakit atau memiliki kegiatan lain pada saat hari pemungutan suara;dan
faktor administratif, menyangkut aspek adminstrasi yang menghalangi pemilih untuk tidak
menggunakan hak pilihnya seperti tidak terdaftar sebagai pemilih, tidak memperoleh kartu
pemilihan dan tidak memiliki identitas kependudukan (KTP).

Melihat menurunnya partisipasi masyarakat dalam politik yang berdampak pada besarnya
angka golput pada setiap pemilu di Indonesia, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk
mengoptimalkan upaya meminimalisir eskalasi fenomena golput. Adapun upaya pemerintah
yaitu Menyelenggarakan dan mensukseskan pendidikan politik; sosialisasi dan penyadaran
masyarakat akan pentingnya pemilihan pimpinan; penyadaran hukum; menunjukkan bahwa
sikap calon pemimpin dapat dipercaya; politisi perlu lebih jujur tentang masa kampanye
Komitmen yang dibuat untuk publik.

Perilaku golput masyarakat dipengaruhi oleh konstruksi sosial yang dilakukan masyarakat
Indonesia dalam pemilu. Dalam konstruksi sosial semacam ini, terjadi proses dialektika analisis
individu dan teoretis, dengan menggunakan perspektif teori konstruksi sosial Peter L. Berg
untuk mengeksplorasi berbagai makna objektivitas dan subjektivitas, serta objektivitas,
internalisasi, dan eksternalisasi. Pada fase internalisasi, masyarakat sudah mengetahui tentang
golput dalam pemilu Indonesia, tetapi tidak berdasarkan apa yang dilakukan masyarakat di
lingkungannya. Ini adalah cadangan pengetahuan yang umumnya dimiliki oleh publik. Makna
literal atau intelektual masyarakat adalah mutlak universal. Kemudian pada tahap objektifikasi,
masyarakat yang memilih abstain dalam pemilu memiliki pengalaman terkait kasus golput,
yakni pengalaman yang mereka lihat atau rasakan dengan panca inderanya. Dalam kasus abstain
orang Indonesia, hal itu menunjukkan bahwa orang sering melihat perilaku yang benar-benar
melibatkan golput dianggap normal. Konstruksi komunitas yang dimiliki diperoleh dalam
lingkungannya, atau komunitas mendefinisikan dirinya berdasarkan pengalaman.

Selanjutnya adalah tahap eksternalisasi, dimana masyarakat akan mengkonstruksi sendiri


golput pemilu di Indonesia berdasarkan pengalaman yang ada (natural society). Pada tahap ini,
masyarakat akan memiliki struktur golput yang berbeda dalam setiap pemilu di Indonesia.
Mereka yang memilih abstain dalam pemilihan umum awalnya menganggap segala sesuatu yang
berkaitan dengan dampak keluarga dan lingkungan serta penilaian masyarakat sendiri terhadap
calon politik sebagai bentuk golput dalam pemilihan presiden. Definisinya sangat luas, karena
apa yang dikonstruksi secara sosial didasarkan pada apa yang diketahui masyarakat. Struktur ini
berubah ketika orang memperoleh pengalaman di lingkungan dan beradaptasi dengan keluarga,
teman, dan tetangga.

Tahapan internalisasi, objektifikasi, dan eksternalisasi merupakan rangkaian tahapan yang


merupakan struktur masyarakat yang ada, yang kemudian dikonstruksi oleh individu untuk
membentuk definisi baru tentang peristiwa atau menghasilkan makna baru. Konstruksi dimulai
dengan pengetahuan yang diketahui secara umum, dan kemudian berlanjut ke pembangunan.
Struktur selanjutnya dapat ditafsirkan berbeda untuk setiap orang. Pemaknaan yang berbeda ini
dipengaruhi oleh objektifikasi yang ada, dan kemudian memasuki tahap eksternalisasi.

3.2 Saran

Berdasarkan analisis data ilmiah yang telah dilakukan tentang eskalasi fenomena golput
dalam pemilu di Indonesia, maka penulis mencoba memberikan saran bagi berbagai pihak yang
ada kaitannya dengan analisis ilmiah ini:

1. Masyarakat seharusnya dapat berperan lebih aktif, salah satunya dengan menghadiri
tempat pemungutan suara untuk memberikan hak suaranya.

2. Untuk para calon politisi jangan memberikan janji-janji hanya pada saat masa
kampanye saja. Akan tetapi semua politisi yang menjadi wakilrakyat beserta partai
politik yang mengusungnya harus benar-benar menjalankan semua program-program
kerjanya dengan baik yang diberikan pada saat kampanye agar semua janji-janji dan
program kerjanya dapat terealisasi. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat
terhadap pelaksanaan pemilu akan meningkat dan juga meningkatkan partisipasi
masyarakat untuk aktif dan ikut dalam pemilihan.

3. Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga independen penyelenggara pemilihan


umum di Indonesia perlu memperbaiki dan menyempurnakan sistem pelaksanaan
pemilu yang ada di Indonesia. Sistem Pelaksanaan Pemilu yang dirasa rumit dan
panjang bagi kebanyakan pemilih juga perlu diperhatikan secara lebih serius oleh
KPU. Konsep Pemilu Serentak yang telah dilaksanakan juga perlu dikaji ulang oleh
KPU karena justru konsep ini lebih rumit dan melelahkan. KPU juga perlu menimbang
dan mempelajari kemungkinan untuk diselenggarakannya pemilu secara online, yang
didasarkan pada kemajuan teknologi informasi yang semakin canggih di masa kini dan
melihat kondisi geografis dan demografi masyarakat Indonesia. KPU juga sebaiknya
semakin giat melaksanakan sosialisasi pemilu yang efektif kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Arianto, Bismar. 2011. “Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu”. Jurnal

Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan. 1(1).


Fadillah, Nisaul. 2012. “Golput dalam PILGUB Jambi; Sebuah Fenomena Gunung Es”. Jurnal

Nazharat.12(2)

Jatmiko, Brian Andry. 2009. “Fenomena Golput Di Indonesia”. Makalah.

Nurhidayat, Acu. 2009. “Fenomena Golput Di Indonesia Pasca Orde Baru”. Skripsi. Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat.Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah: Jakarta.

Priyanto, Hary. 2017. “Kebijakan Pemerintah Tentang pemilihan Umum Ditinjau Darisuksesi

Pendidikan Politikdan Golongan Putih”. Jurnal Ilmiah dan Ilmu-Ilmu Sosial dan
Humaniora. 14(2).

Rabbani, Muhammad. 2013. “Fenomena Golongan Putih Di Kota Makassar Pada Pemilihan

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Sulawesi selatan 2013”. Skripsi.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Hasanuddin: Makassar.

Wulandary Roro Merry Chornelia. 2016. “Persepsi Masyarakat Terhadap Golput Pada
Pemilukada

Kabupaten Ponorogo Tahun 2010”. Jurnal Reformasi. 6(1).

Sagala, Mas Rizal Ricardo. 2020. “FEnomena Golput Di Kalangan Mahasiswa Pada Pemilu

Serentak 2019”.

Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sumatera Utara: Medan.

Yanuarti, Sri. “Golput dan Pemilu di Indonesia”.

Anda mungkin juga menyukai