Disusun guna memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Sosiologi Politik
Disusun Oleh:
ELFRIDA SIMARMATA
NIM : 200521100045
PRODI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat yang meliputi stuktur
sosial gejala-gejala sosial, dan perubahan sosial dalam masyarakat. Sosiologi mempelajari
gejala-gejala yang ada dalam masyarakat seperti norna, kelompok sosial, lembaga
masyarakat, proses sosial, perubahan sosial dan budaya serta manifestasinya. Terjadinya
gejala abnormal yang diharapkan masyarakat, yaitu gejala abnormal atau gejala patologis
yang disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak dapat berfungsi secara normal di masyarakat
sehingga menimbulkan kekecewaan dan rasa sakit. Gejala yang tidak normal tersebut disebut
masalah sosial. Salah satu contoh masalah sosial politik di Indonesia adalah meningkatnya
golput dalam pemilu di Indonesia setiap tahunnya.
Golput atau golongan putih adalah istilah yang merujuk pada orang yang tidak mau
menggunakan hak pilihnya dalam suatu pemilu, atau biasanya diartikan sebagai sekelompok
orang yang tidak mau memilih partai peserta pemilu. Pada hakikatnya golput adalah sebutan
kepada sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilih untuk menentukan
pemimpinnya dalam pemilihan umum (Badri Khaeruman, 2004:69). Secara umum
pengertian golput adalah orang yang telah memenuhi syarat dapat mengikuti pemilihan
umum dan terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), tetapi tidak memberikan suara atau
abstain dalam pemilihan umum. Parameter abstain tidak hanya pertimbangan ideologis,
tetapi juga berbagai alasan logis seperti masalah administratif, seperti tidak diundang untuk
memilih, sakit parah, bepergian, tekanan dari pihak lain dan apatis.
Golput adalah kelompok yang secara sadar menyatakan tidak memilih. Golput
pertama kali muncul dalam politik Indonesia pada pemilu tahun 1971 yang diprakarsai
oleh Arief Budiman, Imam Malujo Sumali, dan Julius Usman. Arief bersama dengan
rekan-rekannya memboikot pemilu sebagai bentuk rasa kecewa terhadap pemerintahan
Soeharto yang dianggap tidak demokratis dengan membatasi partai politik. Dengan
membatasi jumlah partai politik, pemerintah melanggar prinsip demokrasi yang paling
mendasar, yaitu kebebasan berserikat dan kebebasan berpolitik (Arief Budiman,
2006:105). Menurut Demos, golput ini setidaknya menjelaskan tiga hal. Pertama,
rasionalitas pemilih mulai tampak, pemilu relatif aman, damai, dan demokratis, serta
rakyat dapat lebih leluasa mengekspresikan kebebasan dan kedaulatannya. Elit politik
dianggap hanya peduli pada kelompok dan partainya. Kedua, partai alternatif belum
memadai. Kebebasan memang membuka peluang bagi perpecahan kaum reformis dan
sekaligus menjadi ancaman karena munculnya partai baru “berpikiran ganda” dengan
ragam interes primordialnya, sehingga menjadi kendala tersendiri bagi pembentukan
konsolidasi demokrasi. Ketiga, partai politik gagal, terutama dalam fungsi perwakilan.
Partai politik tidak bisa mengagregasi kepentingan rakyat. Pemilu di negara demokrasi
sudah menjadi rutinitas dalam penentuan regenerasi kepemimpinan. Para ahli teori klasik,
dari Alexis Tocquiville hingga Thomas Jefferson percaya bahwa partisipasi politik,
khususnya pemungutan suara dalam pemilu, adalah kunci dari pemerintahan yang
demokratis (Badri Khaeruman, dkk, 2004: 67). Pada saat pemilihan masyarakat dapat
berpartisipasi dalam menentukan pemimpinnya. Namun, di balik cerita pilkada, masih
banyak masyarakat yang belum melakukan kewajibannya untuk memilih (golput).
Meskipun diketahui bahwa politik dan partisipasi warga negara tidak dapat
dipisahkan namun tetap saja banyak masyarakat yang golput. UU No 12 Tahun 2015 adalah
tentang perlindungan negara dan perlindungan hak sipil dan politik warga negara, seperti hak
untuk menyatakan pendapat, hak untuk berserikat, hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk
persamaan didepan hukum, dan pemerintah, pelaksanaan partisipasi politik, serta hak atas
keadilan. Menurut Hantington dan Nelson (1990: 9-10), partisipasi politik adalah partisipasi
warga negara biasa dalam membuat keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi
kehidupannya. Partisipasi politik pada dasarnya adalah kegiatan sekelompok orang yang ikut
serta dalam kegiatan politik. Karena partisipasi politik, masyarakat dalam pemilihan umum
dapat dilihat sebagai kontrol publik terhadap pemerintah. Kontrol yang diberikan berbeda-
beda sesuai dengan tingkat partisipasi politik masing-masing individu. Selain sebagai inti
demokrasi, partisipasi politik juga erat kaitannya dengan perwujudan hak-hak politik warga
negara.
Eskalasi golongan putih akan terus meningkat setiap adanya pemilu apabila
masyarakat secara terus menerus mengalami kekecewaan dalam setiap pemilihan.
Kepercayaan dan kekecawaan rakyat kepada elit politik hampir mencapai titik terendah,
karena pemimpin tidak lagi berpihak pada rakyat. Akibatnya, rakyat apriori atau rakyat jemu
dengan kejadian-kejadian di mana persoalan yang dihadapinya akan tetap sama setiap kali
diadakan pemilihan umum. Oleh karena itu, pemerintah berusaha untuk meminimalisir
angka golput dalam pemilu di Indonesia melalui berbagai upaya seperti menerapkan dan
mensukseskan pendidikan politik; sosialisasi dan penyadaran masyarakat akan pentingnya
pemilihan pemimpin; peningkatan kesadaran hukum; penunjukan calon kandidat pemimpin
sikap yang dapat di percaya; dan para politisi harus lebih jujur dengan janji yang diberikan
kepada masyarakat pada saat kampanye.Perilaku golput masyarakat dipengaruhi oleh adanya
konstruksi sosial yang dilakukan masyarakat dalam pemilu di Indonesia. Dalam konstruksi
sosial, terdapat proses dialektis dari analisis individu dan teoritis, yang digambarkan dari
perspektif teori konstruksi sosial Peter L. Berger, dimana Berger mengeksploasi makna
realitas objektif dan dimensi realitas subjektif, serta dimensi dialketika proses obyektivasi,
internalisasi, dan eksternalisasi.
Menyadari masih banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih dalam
pemilihan umum, penulis tertarik untuk memahami dan memfokuskan permasalahannya
pada fenomena golput di Indonesia. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul “Eskalasi
Fenomena Golongan Putih (Golput) dalam Pemilihan Umum di Indonesia”.
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun permasalahan yang akan dikaji dalam makalah
ini adalah:
1. Faktor-faktor apa saya yang menyebabkan terjadinya eskalasi golput dalam pemilu di
Indonesia?
2. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi tingginya angka
golput dalam pemilu di Indonesia?
3. Bagaimana konstruksi sosial tentang golput yang dilakukan oleh masyarakat dalam
setiap pemilu di Indonesia?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun yang menjadi tujuan dari makalah ini
adalah:
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan faktor-faktor penyebab terjadinya eskalasi
golput dalam pemilu di Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk
mengurangi tingginya angka golput dalam pemilu di Indonesia.
3. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan konstruksi sosial tentang golput yang dilakukan
oleh masyarakat dalam setiap pemilu di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Indonesia
4) Faktor Teknis
Dalam hal ini, faktor teknis yang dimaksud adalah kendala teknis yang
dihadapi pemilih yang menghalangi para pemilih untuk menggunakan hak
pilihnya. Seperti halnya pemilihyang sakit pada hari pemungutan suara, pemilih
memiliki aktivitas lain yang bersifat pribadi bagi pemilih. Situasi ini secara teknis
menghalangi pemilih untuk datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya.
Faktor teknis dalam pengertian ini dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
absolute technicality dan tolerable technicality. Teknis mutlak menjadi kendala
yang langsung menghalangi pemilih untuk berpartisipasi di TPS, seperti penyakit
yang membuat pemilih tidak bisa keluar rumah. Sementara kendala teknis yang
dapat di tolerir adalah persoalan sederhana yang melekat pada pemilih sehingga
tidak bisa datang ke TPS, seperti ada keperluan keluarga, berencana berlibur di
hari pencoblosan. Namun hal ini masih dapat disiasati, yakni dengan cara
mendatangi TPS lebih awal untuk menggunakan hak pilihnya, baru melakukan
aktivitas atau keperluan yang bersifat pribadi.
5) Faktor Administratif
2.2 Upaya yang Dilakukan oleh Pemerintah untuk Mengurangi Tingginya Angka Golput
dalam Pemilu di Indonesia
Golput tidak dapat dibendung lagi dalam pemilu di Indonesia karena sudah terjadi dan
melekat didalam diri masyarakat yang sering abstain. Namun pemerintah dan masyarakat
harus bahu membahu mengatasi hal ini yang sebenarnya dianggap sepele. Seperti yang kita
ketahui bersama, abstain yang mengalami eskalasi di Indonesia adalah kesalahan semua
pihak. Kita tidak mungkin menghilangkannya begitu saja namun masyarakat dan pemeritah
harus menekan jumlah masyarakat yang golput.
Penyebab rendahnya partisipasi politik masyarakat Indonesia yaitu banyak kasus yang
menggambarkan partai politik, minimnya figur partai politik yang potensial, dan
merosotnya citra partai politik. Untuk menekan tingginya angka golput dalam pemilu di
Indonesia, KPU merekrut agen sosial dengan memasang poster dan spanduk, melakukan
kegiatan bersama dengan agen sosialisasi, dan menambah jumlah TPS. KPU menyebarkan
informasi ke media massa untuk dipublikasikan. Tujuannya adalah untuk melibatkan
masyarakat dan berkontribusi langsung dalam menyukseskan pemilu di Indonesia. Media
massa elektronik perlu membuat rencana-rencana yang membantu mensosialisasikan
pemilu, seperti mengajak semua parpol peserta pemilu untuk membicarakannya secara
terbuka dalam jangka waktu khusus yang disediakan pemerintah, kemudian menjelaskan
rencana dan janji yang ramah terhadap rakyat. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah
untuk mengatasi golput antara lain: (1) penyederhanaan aturan bagi pemilih dalam
menggunakan hak pilihnya, (2) perbaikan sistem pendataan dan pendaftaran pemilih agar
lebih muda; (3) Mengubah hak memilih menjadi kewajiban memilih (4) Sistem pemilihan
yang digunakan harus mudah dipahami oleh pemilih (misalnya jumlah partai sedikit, tata
cara pemungutan suara sederhana, dan desain surat suara sederhana); (5) Waktu sosialisasi
dan anggaran yang cukup harus disediakan (anggaran yang disediakan untuk pemilu
legislatif 2009 sangat tidak mencukupi (Munawar M 207:1).
Beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi tingginya angka
golput dalam pemilu di Indonesia antara lain:
2.3 Konstruksi Sosial tentang Golput yang Dilakukan Oleh Masyarakat dalam Setiap
Pemilu di Indonesia
Dalam hal ini, terjadi proses dialektis antara individu dan analisis teoritis yang
diuraikan dalam perspektif teori konstruksi sosial Peter L. Berger. Oleh karena itu, hal ini
dapat menjelaskan terjadinya fenomena golput dalam pemilu di Indonesia.
Dialektika berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, yakni
eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia),
obyektivasi (interaksi sosial dalam dunia intersubyektivasi yang dilembagakan atau
mengalami proses institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentivikasikan diri
dengan lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya).
Internalisasi adalah tahapan dimana setiap aktor yang terlibat memperoleh persepsi
mengenai baik buruk, benar salah dari orang terdekatnya (keluarga), orang yang dicintai,
orang yang dipercayai, orang yang protektif, dan orang yang dihormati atau orang yang
penting. Dalam proses internalisasi, persepsi masyarakat tentang baik buruknya,
masyarakat sebagai subjek akan memilih untuk golput karena adanya paksaan dari
keluarga yang juga memaksa dirinya untuk menentukan pilihan golput. Hal ini disebabkan
karena kekecewaan keluarga tersebut kepada salah satu calon pasangan politisi. Disini
fungsi keluarga adalah sebagai wadah terbentuknya sosialisasi primer, penerapan nilai,
norma dan aturan sosial.
Menurut Berger, proses internalisasi menentukan tahapan bagi para aktor. Ketika
proses trasnformasi atau identifikasi kondisi sosial dan budaya dan proses pemahaman
aktor dalam proses implementasi dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, memungkinkan
masyarakat untuk mencerminkan bahwa ketika pilihan abstainnya. Hal ini memang sudah
menjadi pilihan yang terbaik karena masyarakat merasa bahwa ketika masyarakat memilih
calon politisi tidak akan memberikan dampak yang signifikan kepada masyarakat. Hal ini
dikarenakan masyarakat kecewa dengan pemerintah dan politisi karena tidak berdampak
signifikan terhadap kehidupan masyarakat.
Ketika makna yang berbeda memasuki tahap eksternalisasi ini, konstruksi ini akan
menjadi “pengetahuan pribadipublik”. Intinya adalah bahwa apa yang diketahui seseorang
atau individu akan menjadi pengetahuan baru bagi orang lain. Proses ini kemudian menjadi
hal yang wajar bagi individu baru. Pengetahuan umum individu baru ini merupakan bagian
dari internalisasi. Makna setiap orang akan memiliki pengalaman yang akan berdampak
pada makna barru tersebut. Begitu pula dengan konstruksi masyarakat yang memilih
golput atau abstain dalam pemilu di Indonesia.
Proses konstruksi tentang masyarakat yang abstain dalam pemilu akan terus
mengikuti pengalaman masyarakat masing-masing. Setiap masyarakat memiliki alasan
yang berbeda , hal ini sesuai dengan konstruksi yang dimiliki oleh masyarakat. Proses ini
bersifat siklus yang akan berputar secara terus menerus dan tidak akan berhenti. Mulai
dengan saling mengetahui, yaitu internalisasi-objektivasi-eksternalisasi-kembali ke
internalisasi baru- mengalami kembali proses objektivasi - hingga pada proses
eksternalisasi-dan seterusnya.
BAB III
PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
Pada bagian akhir ini, penulis mengemukakan kesimpulan yang didapatkan pada temuan
data hasil analisis, mengenai eskalasi fenomena golput dalam pemilu di Indonesia. Angka
masyarakat yang tidak memilih atau golput dalam pemilu di Indonesia mengalami eskalasi
setiap dilaksanakannya pemilihan umum di Indonesia. Eskalasi fenomena golput dalam
pemilihan umum di Indonesia dipengaruhi oleh lima faktor yang terdiri dari faktor sosial
ekonomi, menyangkut masalah latar belakang sosial dan kondisi ekonomi pemilih; faktor
psikologis, menyangkut masalah karakteristik kepribadian atau keintiman kepribadian seseorang
dengan calon politisi; faktor rasional, menyangkut rasionalitas dan pertimbangan yang cermat
atas pilihan pemilih berdasarkan untung dan rugi; faktor teknis, menyangkut keterbatasan teknis,
seperti masyarakat yang sakit atau memiliki kegiatan lain pada saat hari pemungutan suara;dan
faktor administratif, menyangkut aspek adminstrasi yang menghalangi pemilih untuk tidak
menggunakan hak pilihnya seperti tidak terdaftar sebagai pemilih, tidak memperoleh kartu
pemilihan dan tidak memiliki identitas kependudukan (KTP).
Melihat menurunnya partisipasi masyarakat dalam politik yang berdampak pada besarnya
angka golput pada setiap pemilu di Indonesia, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk
mengoptimalkan upaya meminimalisir eskalasi fenomena golput. Adapun upaya pemerintah
yaitu Menyelenggarakan dan mensukseskan pendidikan politik; sosialisasi dan penyadaran
masyarakat akan pentingnya pemilihan pimpinan; penyadaran hukum; menunjukkan bahwa
sikap calon pemimpin dapat dipercaya; politisi perlu lebih jujur tentang masa kampanye
Komitmen yang dibuat untuk publik.
Perilaku golput masyarakat dipengaruhi oleh konstruksi sosial yang dilakukan masyarakat
Indonesia dalam pemilu. Dalam konstruksi sosial semacam ini, terjadi proses dialektika analisis
individu dan teoretis, dengan menggunakan perspektif teori konstruksi sosial Peter L. Berg
untuk mengeksplorasi berbagai makna objektivitas dan subjektivitas, serta objektivitas,
internalisasi, dan eksternalisasi. Pada fase internalisasi, masyarakat sudah mengetahui tentang
golput dalam pemilu Indonesia, tetapi tidak berdasarkan apa yang dilakukan masyarakat di
lingkungannya. Ini adalah cadangan pengetahuan yang umumnya dimiliki oleh publik. Makna
literal atau intelektual masyarakat adalah mutlak universal. Kemudian pada tahap objektifikasi,
masyarakat yang memilih abstain dalam pemilu memiliki pengalaman terkait kasus golput,
yakni pengalaman yang mereka lihat atau rasakan dengan panca inderanya. Dalam kasus abstain
orang Indonesia, hal itu menunjukkan bahwa orang sering melihat perilaku yang benar-benar
melibatkan golput dianggap normal. Konstruksi komunitas yang dimiliki diperoleh dalam
lingkungannya, atau komunitas mendefinisikan dirinya berdasarkan pengalaman.
3.2 Saran
Berdasarkan analisis data ilmiah yang telah dilakukan tentang eskalasi fenomena golput
dalam pemilu di Indonesia, maka penulis mencoba memberikan saran bagi berbagai pihak yang
ada kaitannya dengan analisis ilmiah ini:
1. Masyarakat seharusnya dapat berperan lebih aktif, salah satunya dengan menghadiri
tempat pemungutan suara untuk memberikan hak suaranya.
2. Untuk para calon politisi jangan memberikan janji-janji hanya pada saat masa
kampanye saja. Akan tetapi semua politisi yang menjadi wakilrakyat beserta partai
politik yang mengusungnya harus benar-benar menjalankan semua program-program
kerjanya dengan baik yang diberikan pada saat kampanye agar semua janji-janji dan
program kerjanya dapat terealisasi. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat
terhadap pelaksanaan pemilu akan meningkat dan juga meningkatkan partisipasi
masyarakat untuk aktif dan ikut dalam pemilihan.
DAFTAR PUSTAKA
Arianto, Bismar. 2011. “Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu”. Jurnal
Nazharat.12(2)
Nurhidayat, Acu. 2009. “Fenomena Golput Di Indonesia Pasca Orde Baru”. Skripsi. Fakultas
Priyanto, Hary. 2017. “Kebijakan Pemerintah Tentang pemilihan Umum Ditinjau Darisuksesi
Pendidikan Politikdan Golongan Putih”. Jurnal Ilmiah dan Ilmu-Ilmu Sosial dan
Humaniora. 14(2).
Rabbani, Muhammad. 2013. “Fenomena Golongan Putih Di Kota Makassar Pada Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Sulawesi selatan 2013”. Skripsi.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Hasanuddin: Makassar.
Wulandary Roro Merry Chornelia. 2016. “Persepsi Masyarakat Terhadap Golput Pada
Pemilukada
Sagala, Mas Rizal Ricardo. 2020. “FEnomena Golput Di Kalangan Mahasiswa Pada Pemilu
Serentak 2019”.
Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sumatera Utara: Medan.