Anda di halaman 1dari 5

1.

Resume materi budaya dalam perspektif marxian


A. Karl Marx (1818 – 1883)
Konsepsi Karl Marx tentang dinamika perkembangan masyarakat dikenal dengan
istilah materialisme historis, yakni pandangan sejarah dialetik dalam proses kerja dan laju
perkembangan ekonomi. Dalam materialisme historis sejarah peradaban manusia berubah
seiring dengan perubahan mode of production. Adapun mode of production sejarah manusia,
yaitu: (1) komunis primitif, Pada tahap ini masyarakat memproduksi apa yang dibutuhkan
dengan menggunakan alat-alat yang sederhana; (2) kuno, pada tahap ini masyarakat telah
menemukan alat-alat produksi yang medorong terjadinya lompatan hasil produksi, yang
berimbas pada lahinya masyarakat baru yaitu perbudakan akibat dari adanya relation of
production antara pemilik alat-alat produksi dengan kaum buruh yang hanya mengandalkan
tenaganya. Pada tahap inilah, masyarakat mulai terpecah kedalam kelas-kelas sosial, yaitu
pemilik alat produksi dan budak; (3) feodal, pada tahap ini masyarakat terbagi kedalam dua
kelas pokok yakni tuan tanah yang memiliki tanah yang banyak dan kaum tani yang harus
menyewa tanah dari tuan tanah agar bisa hidup; (4) kapitalis, pada masyarakat kapitalis
modenya adalah alat-alat produksi maka orang yang memiliki alat-alat produksi adalah
orang-orang yang berkuasa;(5)komunis, pada tahap ini, masyarakat tidak ada hak milik, kelas
sosial, dan pembagian kerja. Namun semuanya dikelola secara bersama (kolektif).
Kemajuan teknologi telah memunculkan mesin, yang membawa banyak perubahan
baik pada pengorganisasian produksi maupun sifat produksi itu sendiri. Namun mesin
membuat tenaga manusia menjadi kurang diperlukan dalam pekerjaan. Hal ini memicu
naiknya permintaan terhadap buruh yang dibayar murah. Namun, kondisi keluarga-keluarga
tidak makin membaik karena upah buruh menurun sejalan dengan naiknya ketergantungan
pada mesin. Dengan adanya mesin, para kapitalis menambah jumlah jam kerja buruh dan
buruh menghasilkan lebih banyak barang dalam jumlah jam kerja yang sama tetapi dengan
upah yang rendah. Dengan adanya kondisi seperti ini buruh akan kehilangan jati dirinya
karena dalam kapitalisme, buruh tidak lagi memiliki kontrol atas tenaga kerjanya, karena
telah ditukarkan dengan benda abstrak yang terdapat dalam upah kepada kapitalis. Pertukaran
tersebut menyebabkan tenaga kerja menjadi komoditas sehingga manfaat tenaga kerja tidak
lagi ditemukan pada kemampuan untuk menghasilkan objek yang dapat memenuhi dan
mengembangkan kebutuhan para pekerja, namun sebagai benda abstrak yang dapat
dipertukarkan dengan upah. Dengan demikian, sistem upah-kerja pada kapitalisme telah
memisahkan kerja dengan kebutuhan sehingga produksi tidak lagi menjadi tindak pemenuhan
kebutuhan.
Akibat dari adanya mode of production dalam industri kapitalisme muncul kelas
sosial yakni borjuis dan proletar. Kelas borjuis merupakan pemilik modal atau tuan tanah
yang mempunyai kuasa atas alat produksi sehingga borjuis mengeksploitasi kelas pekerja seperti
membuat keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan modal yang sedikit. Sedangkan Kelas buruh
atau proletariat mengabdikan hidupnya untuk bekerja pada para pemilik modal dengan membuat
jasa atau produk dari hasil buah tenaga dan pikirannya. Dengan demikian, kelas yang diuntungkan
dalam ideologi kapitalisme adalah kelas borjuis sebagai pemilik alat produksi, meskipun tidak
melakukan aktivitas produksi. Sementara kelas yang tidak diuntungkan adalah kelas proletar yang
tidak memiliki alat produksi tetapi melakukan aktivitas produksi. Akibat jam kerja buruh yang
Panjang membuat kelas proletar menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan aktivitas
produksi yang berdampak pada terasingnya kaum proletar dari esensi hidupnya sebagai
manusia karena tugasnya menjadi alat produksi bagi kapitalisme. Menurut Marx budaya
memiliki peranan penting dalam mendukung kapitalisme melalui cara kerja basis
ekonomi/materi sekaligus ditopang oleh suprastruktur yakni nilai-nilai, norma, negara,
keluarga.
Kelas proletar merupakan subjek perubahan untuk menciptakan masyarakat tanpa
kelas sehingga melahirkan semangat pembentukan kultur yang baru di masyarakat. Hal ini
didasarkan pada pemikiran Marx yakni materialistis yakni hubungan manusisa dengan sistem
sosial, dan budaya dijadikan sebagai persoalan ekonomi. Untuk mencapai cita-cita tersebut
Marx menggunakan metode dialetika Hegel yaitu dengan thesis, antithesis, dan sinthesis.
Dalam hal ini terdapat hubungan antara kelas proletar dengan filsuf, yang mana filsuf sebagai
subjek menyadarkan eksistensi kaum proletar sebagai subjek yang tidak sadar dengan tujuan
untuk membebaskannya. Sejalan dengan pemikiran Marx yang dipengaruhi dialetika Hegel,
dimana thesisnya adalah kaum proletar dinegasikan oleh kapitalisme, kemudian antithesisnya
kaum proletary dinegasikan oleh filsuf yang menyadarkan masyarakat tanpa kelas. Sementara
sinthesisnya yaitu meleburkan pertentangan antara thesis dengan antithesis sehingga menjadi
kondisi baru. Dalam hal ini terdapat sebuah kritik, dimana analisis Marx dianggap kurang
luas karena hanya memfokuskan analisisnya pada mode of production saja.
B.Neo Marxian
1. Vladimir llyich Ulyanov/ Lenin (1870-1924)
Lenin merupakan seorang tokoh revolusioner Rusia yang berkeinginan mewujudkan
cita-cita Marx yakni terciptanya kultur baru dalam mengatur dunia ekonomi melalui kekuatan
buruh yang terlembaga dalam partai buruh. Ajaran Lenin dikenal sebagai marxisme-
leninismse atau Leninisme atau Bolshevisme. Revolusi Bolshevik merupakan doktrin Lenin sebagai
kekuatan untuk mengganti atau menjatuhkan tahta Tsar dengan memunculkan dewan buruh. Dalam
hal ini filsuf dan proletar berserta kepentingannya terlembaga dalam partai politik yakni partai buruh
sebagai partai tunggal yang memimpin revolusi tersebut. Partai tunggal membimbing kaum proletar
untuk mempunyai kesadaran kelas melalui masyarakat sosialis dimana alat produksi dimiliki
bersama dan ekonomi di bawah kendali negara. Adapun kritik Lenin yaitu kebudayaan
menjadi nonhumanis, dengan adanya diktator proletariat.
2. George Lukacs (1885-1971)
George Lukacs merupakan seorang pemikir marxis dari Hungaria, yang menjabat
sebagai menteri kebudayaan Hungaria pada pemerintahan Republik Soviet Hongaria pada
tahun 1919. Lukacs memiliki sebuah karya penting yakni History and Class Conciousness.
Lukacs menyajikan marxisme sebagai filsafat humanistik yang menekankan pada reifikasi yang
melaluinya kapitalisme mendehumanisasi pekerja dengan mereduksi kaum proletar hanya menjadi
objek pasif atau komoditas yang dapat dipasarkan sehingga hubungan antara manusia selalu
diarahkan pada komoditi, barang yang dapat diperjual belikan. Kemudia ia memperluas gagasan
tersebut dengan mengungkapkan konsep fetisisme komoditas, yaitu proses ketika komoditas dan
pasar diyakini memiliki eksistensi objektif oleh para aktor dalam masyarakat kapitalis sehingga
masyarakat akan terobsesi yang menimbulkan sikap pemujaan terhadap benda.
Lukacs mengatakan bahwa kapitalisme telah memiskinkan makna hidup akibat
adanya komodifikasi, yakni pertukaran uang mengakibatkan keterasingan pada kaum
proletar. Dapat disimpulkan bahwa yang diuntukan oleh kapitalisme adalah kaum borjuis.
Dengan adanya kapitalisme yang mengakibatkan masyarakat proletar di eksploitasi dan
terealienasi memunculkan sebuah solusi untuk mengatasi kondisi kapitalisme tersebut yakni
melalui kesadaran kelas yang berproses pada dialektis antara proletar dengan filsuf yang
terwujud pada partai komunis sebagai totalitas konkret yang akan menyingkap ketimpangan
kelas dan pembebasan dari fetitisme komoditas. Pemikiran Lukacs berperan untuk
memperkuat ajaran leninisme-marxisme
3. Antonio Gramsci (1891-1937)
Antonio Gramsci merupakan seorang intelektual besar di kalangan kaum kiri yang
dipenjara pada rezim Mussolini yang berkuasa melalui partai Fasis Nasional dengan faham
fasismenya. Gramsci menyadari bahwa analisis Marx memiliki kekurangan dalam melihat
kekuasaan yang fasisme Italia karena Gramsci berpikir bahwa dominasi kekuasaan tidak
hanya bersumber dari kekuatan ekonomi saja melaikan dari budaya dan politik yang
mengakar sehingga ekonomi, politik, dan budaya menjadi absolut. Dengan demikan fasisme
berhasil meraih kemenangan karena didukung oleh infrastruktur seperti kaum intelektual
yang secara politik dan budaya telah mengakar. Kaum intelektual berperan dalam
mengarahkan pola pikir masyarakat agar sesuai dengan kehendak penguasa dengan tujuan
untuk melancarkan proses hegemoni, yaitu kepemimpinan budaya yang dijalankan oleh kelas
penguasa. Maka fasisme dapat memantapkan status quo politiknya. Oleh karena itu ekonomi,
politik, dan budaya telah menjadi absolut.
Melihat kondisi tersebut, cita-cita Marx menuju masyarakat tanpa kelas sulit untuk
terwujud. Maka Gramsci menawarkan gerakan blok solidaritas untuk melawan rezim fasis,
yakni dengan tidak menggunakan kekerasan tapi dengan cara mendapatkan kekuatan yang
banyak dengan tujuan untuk mendukung kebebasan serta membedakan kaum intelektual
tradisional dan intelektual organik yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat,
memperkuatnya menjadi civil society blok solidaritas dari kekuatan hegemoni fasisme untuk
mende-ligitimasi rezim fasis. Kritik dalam pemikiran Gramsci yaitu mengajarkan budaya
nonperlawanan untuk melakukan perubahan sosial dan meninggalkan ortodoksme marxian.
Teori Gramsci menghilangkan analisis marxis dengan mempertimbangkan analisis kultur dan
politik dominan akan penguasaan dimensi ekonomi, bukan sebaliknya.
4. Walter Benjamin (1892-1940)
Walter Benjamin dilahirkan di dalam sebuah keluarga Yahudi di Berlin. Kapitalisme
bekerja pada bidang seni, dengan cara mereproduksi suatu karya secara massa sehingga
mengurangi nilai estetika dan esensi dari karya itu sendiri dengan melibatkan kapitalisme
teknologi reproduksi karya dan berorientasi pada ekonomi. Hal ini dikarenakan ketika seni
diproduksi secara massa, keaslian dan individualitas karya seni menjadi diabaikan sehingga
karya seni akan kehilangan nilai kultusnya dan akan menjadi sebagai nilai pertunjukan.
Benjamin mengkritik budaya kapitalisme dengan dua konsep yakni aura dan flaneur.
Aura yang dimaksud adalah bahwa budaya reproduksi secara massal dalam masyarakat
industri kapitalisme telah menghilangkan kekuatan aura seni dan kedalaman astetis dari hal-
hal yang diproduksi. Aura karya seni lenyap karena kegiatan reproduksi dimaknai sebagai
kegiatan teknis belaka untuk mengejar tujuan-tujuan ekonomis-kapitalistis. Dengan demikian,
seniman terjebak pada instrumen kapitalis yang berujung terjadinya alienasiseni. Padahal,
dengan adanya aura memberi makna yang dalam terhadap suatu produk yang dihasilkan. Kita
dapat melihat kekuatan aura pada seseorang yang menghasilkan patung ukiran dari kayu.
Karena dari situlah pancaran aura estetis akan terlihat sebagai keterkaitan antara pematung
sebagai sang pencipta seni dan patung yang dihasilkannya. Kemudian flaneur, yakni
munculnya manusia yang mengembara dan tidak memiliki jati dirinya secara total, selalu di
ikat kondisi yang terombang-ambing pada suatu kerumunan dalam fenomena industri
kapitalisme. Keberadaan manusia dalam fenomena ini memudahkan dirinya teracuni oleh apa
saja sehingga jati dirinya yang otentik terpedam dan pada akhirnya lenyap.
5. Theodor Adorno (1903 – 1969) dan Max Horkheimer (1895 – 1973)
Dialectic of Enlightenment merupakan buku karangan Adorno dan Horkheimer, yang
berisi kritik terhadap mayarakat modern. Enlightenment merupakan peristiwa pencerahan akal
budi manusia, yang menandai lahirnya masyarakat modern yang bercirikan rasional. Namun
pencerahan masyarakat kapitalis mengalami kebuntuan karena adanya b irokrasi, yakni
penghambat atau pendorong ilmu pengetahuan, birokrasi merupakan aturan dan penentuan
benar atau salah; pragmatisme, yakni segalanya harus bernilai ekonomi; teknokrasi yakni
industri bertemu dengan negara; dan perang ideologi, dimana manusia terjebak dalam
dialetika manusia sebagai subjek yang menguasai alam, akhirnya menjadi objek penguasaan
dari alam itu sendiri. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang bekerja atas dasar rasionalitas
instrumental, yang awalnya diperuntukkan untuk pembebasan agar manusia dapat keluar dari
belenggu mitos ternyata membuat masyarakat masuk ke dalam mitos lain.
Industri budaya terbelenggu pada aspek keuntungan dan mengabaikan nilai-nilai
hakikat manusia. Hal ini terjadi karena industri budaya terus-menerus menciptakan kesadaran
palsu tentang dunia di sekitar masyarakat berdasarkan mitos dan distorsi yang sengaja ditanamkan
oleh penguasa. Para pemilik modal secara tidak langsung menghegemoni sudut pandang masyarakat
terhadap budaya untuk mengonsumsi kenikmatan semu agar mendapatkan keuntungan. Namun hal
itu justru mengabaikan nilai-nilai hakikat manusia karena hal tersebut termasuk jenis
kapitalisme yang dimodifikasi sehingga konsumen bersedia membeli atau mengonsumsi industri
budaya tersebut dan larut dalam keterasingan. Melalui industri budaya berupa seni, manusia
terjebak dalam arus fetisisme komoditas
Produksi yang dihasilkan industri kapitalis secara massa menjadi kehilangan
keotentikannya, karena produksinya hanya untuk pasar dan hanya memenuhi kebutuhan
konsumen saja. Dengan demikian manusia dipaksa untuk mengikuti produk budaya massa yang
menghasilkan kepuasan dan kebahagiann semu. Akibat konsep esensi dan penampakan dunia
semu untuk analisis komoditas masyarakat kapitalis. Yang sebenarnya hadir, tapi memiliki
sifat ilusi sehingga manusia terjebak pada kesadaran yang dipalsukan. Dalam konteks ini
kebenaran yang ada hanyalah kebenaran yang dibelenggu oleh sistem dan budaya kapitalis.
Dalam pemikirannya Adornof dan Horkheimer memberikan kritik, yaitu analisis ini memiliki
sifat skeptis untuk membuka selubung cara kerja kapitalisme, yang terkesan objektif dan
rasional. Namun, di satu sisi, keterbukaan ini menimbulkan frustasi dan sphoria (kebuntuan).
6. Jurgen Habermas
Habermas menawarkan alternatif pemikiran yang dihadapi oleh pendahulunya yakni
dari Frankfurt School, yakni dengan menggunakan 3 pokok pikirannya. Dalam pemikiran
Habermas, di dalam ruang publik kehadiran masyarakat sipil sangat diperlukan untuk
membicarakan kepentingannya dengan cara berbicara didepan umum terkait dengan
kepentingan yang membentuk pengetahuan dalam masyarakat.
Pengetahuan pada ilmu pasti cenderung menguasai alam sehingga tidak dapat
digunakan pada manusia karena dalam konteks politik dan kultur hanya akan menghasilkan
dimensi manusia yang terbatas menjadi intrumen atau alat belaka. Namun kepentingan
praktis ilmu pengetahuan manusia seringkali menggunakan argumentasi ilmu pasti yang
bebas nilai sehingga analisis tentang manusia juga bersifat bebas nilai alih-alih ilmiah, namun
hal ini menutup struktur sosial, poliyil, budaya yang timpang sehingga ilmu tentang manusia
hendaknya memiliki sifat kritis, dari klaim bebas nilai, sehingga menstimuli daya imansipatif
yang rasional. Tujuan ilmu adalah pencapaian kebenaran abadi melalui pernyataan-pernyataan
tentang hal-hal yang pasti terjadi. Sedangkan kepentingan praktis hanyalah berkaitan dengan yang
mungkin, namun dengan kadar teoritisnya yang justru memberikan kadar kepastian yang lebih tinggi
dalam kehidupan praktis.
Habermas menegaskan, bahwa masyarakat pada hakikatnya komunikatif dan yang
menentukan perubahan sosial bukanlah semata-mata perkembangan kekuatan-kekuatan
produksi atau teknologi, melainkan proses belajar dalam dimensi praktis-etis. Oleh karena itu,
komunikasi publik sangat penting untuk menuju perubahan yang emasnsipatif yakni melalui
media komunikasi yang rasional dan efektif yang kita kenal sebagai media massa. Dalam hal
ini Habermas ingin mempertahankan isi normatif yang terdapat dalam modernitas dan
pencerahan kultural. Yang dimaksud dengan isi normatif modernitas adalah rasionalisasi
dunia-hidup dengan dasar rasio komunikatif. Dunia-hidup terdiri dari kebudayaan,
masyarakat dan kepribadian. Dalam pemikiran Habermas terdapat sebuah kritik bahwa ruang
publik, pengetahuan, dan media massa dapat dijadikan sebagai alat kapitalis untuk membuat
ilusi kesetaraan demi kepentingan kapitalis itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai