Pemikirannya
dilatarbelakangi keinginan Bourdieu untuk mengatasi pertentangan antara strukturalisme dan
eksistensialisme, yakni oposisi palsu antara objektivisme dan subjektivisme . Dalam
mengembangkan teorinya, Bourdieu dipengaruhi beberapa pemikiran tokoh pendahulunya.
Di mana Bourdieu tidak setuju akan pemikiran Durkheim dan strukturalisme Althusser, Levi
Strauss, dan para Marxian yang hanya berfokus pada struktur-struktur objektif sehingga
mengabaikan proses konstruksi sosial dan agensi. Oleh karena itu, Bourdieu berusaha untuk
mengembalikan aktor-aktor kehidupan nyata yang telah lenyap ditangan para strukturalisme. Hal ini
menggerakkan Bourdieu ke arah pendirian subjektivis dengan berfokus pada praktik sebagai hasil
dari hubungan dialektis antara struktur dan agensi.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Atlantik Prancis tahun 1930 dan “menutup bukunya” pada tanggal 23 Januari 2002.
ekonomi dan politik yang keras akibat kebijakan pemerintah tentang wajib militer
yang diikutinya, turut mempengaruhi pandangan, sikap dan tingkah laku Bourdieu
dalam berteori.
Selain itu, eksistensialisme Jean Paul Sartre dan strukturalisme Claude Levi-
dirinya sebagai “strukturalis lugu”.2 Seorang Strukturalis lugu inilah yang kemudian
bahwa, “saya berniat untuk mengembalikan aktor di dunia nyata yang telah sirna di
2
eksistensialisme Sartre dengan strukturalisme Levi-Strauss. Dalam hal fakta sosial,
genetik merupakan analisis struktur-struktur objektif yang tidak bisa dipisahkan dari
sosial itu sendiri. Bourdieu menjelaskan logika praksis pelaku-pelaku sosial dalam
lingkup sosial yang tidak setara dan konfliktual. Logika ini mengatasi model Marxis
sosial dibentuk dari beragam ranah yang otonom, seperti budaya, politik, gender,
menarik untuk digunakan sebagai “kaca mata” dalam melakukan analisis struktur-
struktur mental individu yang dikategorikan sebagai nuhu duan dalam rangka
marvutun. Analisis seperti itu, sekaligus akan mendapatkan gambaran tentang apakah
mereka terdominasi oleh mel-mel, ataukan mereka terjebak dengan cara berpikir
4
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, Ibid. 579-580
3
mereka sendiri yang lebih loyal terhadap tatanan sosial budaya yang sudah terbentuk
sebagai tradisi yang harus diterima begitu saja dan tidak perlu dipertanyakan.
bagaimana mereka memandang dominasi itu. Dalam konteks seperti ini maka,
teorisasi Bourdieu yang mencoba mendamaikan “oposisi absurd antara individu dan
masyarakat”5 dengan cara berpikir rasonal6 bahwa struktur objektif dan representasi
subjektif, aktor dan pelaku terjalin secara dialektis dan saling mempengaruhi secara
timbal-balik (dualitas)7 menjadi bermakna. Cara berpikir rasional ini menjadi penting
ruang bagi setiap aktor untuk memperebutkan modal-modal dalam ranah, tanpa
Marx ketika mengembangkan teorinya tentang dominasi simbolis yang terkait dengan
disebut tindakan bermakna. Tindakan manusia terkait dengan reaksi atau perilaku
5
Pierre Bourdieu, In Other Words: Essays Towards a Reflexive Sociology, (Cambridge:
Polity Press, 1990), 31
6
David Swartz memandang bahwa metode rasional-yang ditawarkan Bourdieu merupakan
alat dasar untuk mendorong keterputusan epistemologis dengan bentuk pengetahuan subjektivis dan
objektivis. Lihat Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, (Chicago & London: The
University of Chicago Press, 1997), 62
7
Bourdieu sepakat dengan gagasan Giddens mengenai dualitas (duality). Kalau dualisme
merujuk pada pertentanan antara dua unsur – agen dan pelaku, tindakan dan struktur- yang tak bisa
dipertemukan, sedangkan dualitas mengandung pengertian adanya hubungan timbal-balik antar kedua
unsur tersebut. Anthony Giddens, Central Problem in Social Theoty, (Berkeley & Los Angeles:
University of Callifornia Press, 1997), 53; Lihat juga B. Herry Priyono, Anthony Giddens: Suatu
Pengantar, (Jakarta: KPG, 2002), 3
4
menjelaskan mekanisme-mekanisme dominasi, bahwa yang dikuasai menerima dan
merasa solider dengan yang menguasai dalam konsensus yang sama tentang tatanan
yang ada. Jadi, ada semacam persetujuan dari pihak yang dikuasai.
realitas yang terjadi pada masyarakat Ohoi Ohoiwait. Bahwa kedudukan mel dan ren
ren (nuhu duan) bahkan oleh beberapa kalangan, nuhu duan dikatakan telah punah,
tetapi realitasya beberapa orang yang bermarga Rahaningmas dan Notanubun masih
tetap mengklaim diri sebagai nuhu duan karena mereka adalah keturunan raja.8
bahasa juga mensyaratkan adanya pengetahuan yang ingin diwujutkan dalam realitas
konkrit, tujuan yang melekat dalam bahasa bisa berupa kepentingan politik. Dengan
teknik yang lebih halus, bahasa digunakan untuk merayu, membujuk orang untuk
patuh secara sukarela. Kekuasaan simbolik ini muncul dalam sistem kasta pada
masyarakat Kei. Misalnya, berdasarkan sejarah lisan (tom) yang ada pada masyaakat
8
Tidak semua rumah atau orang yang bermarga ini dapat mengklaim dri mereka sebagai nuhu
duan. Golongan mel marvutun juga ada yang bermarga Rahaningmas dan Notanubun.
9
Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol…, Ibid. 81-82
5
kekeluargaan (ren sebagai kakak dan mel sebagai adik)10 namun dalam
pintar/pandai, dan kaya, karena itu harus memimpin dan berkuasa atas ren-ren yang
adalah “orang kelas dua”, bodoh dan tidak kaya. Inilah yang dimaksudkan dengan
oposisi biner.
Renwarin dari desa Watlaar dan desa Haar disertai dengan munculnya larangan
(tomtoma) yang dibuat oleh leluhur penduduk asli bahwa para imigran ini tidak
dilarang kawin dengan mel karena ren adalah kelas bawah (rendah) dan mel adalah
kelas atas (bangsawan). Perubahan makna ini terjadi karena marvutun telah
berkuasa.11 Dalam konteks seperti ini, maka bahasa memiliki keterkaitan dengan
lingkungan sosial (field) sebagai ranah pertarungan kuasa, karena itu bahasa bisa
ini berfungsi sebagai rujukan terhadap isu-isu yang berhubungan dengan siapa yang
berkuasa dan siapa yang dikuasai. Dalam hubungannya dengan kepemilikikan, tom
10
Lihat uraian F.A.E. van Wouden, Tipe of Social Structure in Eastern Indonesia, (The Hague-
Martinus Nijhoff, 1968), 136.
11
Wawancara dengan Reinhard Rahaningmas di Surabaya, pada tanggal 28 Desember 2010; juga
dengan Kanar El Rahaningmas, Louis Notanubun, Christian Kudubun, Yeheskia Kudubun dan Anton
Notanubun, di desa Ohoiwait tanggal 19-23 Januari 2011.
6
memberikan jawaban terhadap pertanyaan siapa memiliki apa, dimana, dan kapan.
Dengan ciri seperti ini, maka habitus - tom dapat berguna sebagai sumber penggerak
tindakan.
merupakan ciptaan asli Bourdieu. Dalam bahasa Latin, habitus bisa berarti kebiasaan
(habitual), penampilan diri (appearance), atau bisa pula merujuk pada tata
pembawaan yang terkait dengan kondisi tipikal tubuh. Selain itu, istilah habitus juga
sebagai “akal sehat” (common sense) yang merefleksikan pembagian objektif dalam
struktur kelas seperti kelompk usia, jenis kelamin, dan kelas sosial. Dalam hal ini,
habitus bisa jadi merupakan fenomena kolektif, habitus memungkinkan orang untuk
memahami dunia sosial, namun keberadaan berbagai habitus berarti bahwa dunia
sosial dan strukturnya tidak menancapkan dirinya secara seragam pada setiap aktor.
Demikian pula tom pada masyarakat Kei ketika direproduksi secara terus-menerus
seperti saat sekarang ini telah menjadi sejarah yang tidak seragam dan hampir tidak
12
Uraian ini dapat dlihat pada penjelasan mendalam dari Bagus Takwin yang mengkaji pengertian
habitus-nya Bourdieu melalui pelacakan atas pemikiran Aristoteles. Bagus Takwin, “Habitus:
Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidup” dalam buku Resistensi Gaya Hidup: Teori dan
Realitas, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006),35-54
7
Pierre Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai pengkondisian yang
disposisi tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk, yang
merupakan hasil dari suatu habitus. Dengan demikian, habitus adalah merupakan
hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak selalu disadari) yang
gaya hidup dan praktik-praktik kehidupan yang diperoleh dari pengalaman individu
menjadi tiga golongan yakni, mel-mel, ren-ren, dan iri-iri. Kalsifikasi masyarakat Kei
yang kemudian dikenal dengan kasta tersebut tentunya memiliki bentuk tom
tersendiri, karena itu, teori habitus akan cukup berguna untuk menganalisis
reproduksi tom yang dimiliki oleh kelompok-kelompok ini, khususnya tom kelompok
13
Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, (Stanford-Calif: Stanford University Press, 1990), 53
8
Berdasarkan uraian di atas, maka definisi habitus yang dikemukakan
structure). Karena itu, disatu sisi habitus berperan membentuk kehidupan sosial,
namun disisi lain habitus juga dibentuk oleh kehidupan sosial.15 Dalam konteks
seperti ini, Ritzer mengungkapkan bahwa habitus dapat bermakna sebuah proses
collective practices, and hence history, in accordance whit the schemes engendered
individu maupun kelompok, terkadang pengaruh masa lalu. Prinsip keempat, habitus
14
Disposisi adalah hasil dari tindakan yang mengorganisir, menurut suatu makna yang dekat
dengan makna kata-kata seperti struktur; ia juga menunjukkan way of being (cara mengada), keadaan
kebiasaan (terutama kebiasaan tubuh), dan secara khusus menunjukkan predisposition, tendency,
propensity, atau inclination. Bourdieu, dalam H. Barnard, ”Bourdieu dan Etnografi: Refleksivitas,
Politik, dan Praksis”, di dalam Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes (Ed.), (Habitus x
Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu
(terj.), (Yogyakarta: Jalasutra,1990), 81; lihat juga Richard Harker, Cheelen Mahar, Chris Wilkes (ed),
(Habitus x modal) + Ranah = Praktik, (Yogyakarta : Jalasutra, 2009), 13
15
George Ritzer, Modern Sociological Theory, (The McGraw-Hill Companies INC, 1996), 405
16
Ibid
17
Ibid. 404
9
Kebanyakan masyarakat yang masih kuat mempertahankan nilai-nilai adat
(termasuk masyarakat Kei) akan selalu menerima suatu tradisi sebagai yang terberi,
pesan-pesan leluhur sebagai yang selalu benar dan tidak perlu diperdebatkan.
Fenomena seperti ini akan terus hidup kerena dibungkus dalam bahasa yang halus
(bujukan dan rayuan), seolah-olah semua baik adanya, namun dibalik itu terdapat
kuasa.
lalu, karena itu, habitus berfungsi sebagai matriks persepsi, apersepsi, dan tindakan.
Berdasarkan itu, maka dapat dikatakan bahwa sebuah tindakan tidak selamanya
dipengaruhi oleh kesadaran dan ketaatan pada aturan, namun habitus turut memberi
demikian, habitus memberi keleluasan bagi aktor untuk berimprovisasi, bebas, dan
otonom.
pihak teori ini tidak lepas dari suatu bentuk determinisme yang seakan-akan
memberi peluang bagi konsep individu otonom, bebas dan rasional. Setiap orang
tindakan tidak bekerja seperti halnya program yang memiliki kemampuan kreatif dan
strategis dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Pierre Bourdieu sendiri menyatakan,
10
“Sebagai sistem skema pendorong yang diperoleh, habitus memungkinkan kreatifitas
pemikiran, seluruh persepsi dan tindakan yang terpatri dalam pembatasan yang
kampung.20 Namun sejak ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1979 oleh Pemerintah Orde
Baru, Ohoi kemudian berubah nama menjadi desa, atau beberapa Ohoi disatuakn
menjadi satu desa. Karena itu, di desa Ohoiwait terdapat beberapa Ohoi yakni Ohoi
Tanan, Ohoi Ren, dan Ohoi Uun, selain itu ada juga Mataholat dan Wetuar namun
hanya memiliki satu kepala desa. Di dalam ohoi-ohoi inilah hidup secara bersama
komunitas masyarakat yang golongkan sebagai mel, ren, dan iri. Dalam konteks
seperti ini, maka Ohoi dikatakan sebagai arena pertarungan kuasa antara nuhu duan,
terstruktur dan terpadu secara objektif. Dengan model konsep ruang seperti ini
18
Haryatmoko, 2003. Ibid, 11
19
Kata field dalam bahasa Prancis berarti champ. Dalam bahasa Indonesia bisa berupan ranah,
arena atau lingkungan.
20
J. P. Rahail, Larvul Ngabal : Hukum Adat Kei Bertahan Menghadapi Arus Perubahan, (Jakarta:
Yayasan Sejati. 1983), 9
21
Walaupun demikian, ketiga Ohoi itu tidak mewakili ketiga kelas sosial yakni mel, ren, dan iri.
Karena itu, mel, ren, dan iri dalam konteks ini dapat juga dikatakan sebagai ranah (field), sebagai
mikrokosmos mandiri dalam makrokosmos social (Ohoi). Bandingkan Haryatmoko, 2003. Ibid, 14.
11
Karena itulah, pembahasan habitus tidak dapat dipisahkan dari ranah
perjuangan (champ). Dua konsep ini sangat dasariah karena saling mengandaikan
hubungan dua arah. Bourdieu lebih memandang “arena” sebagai relasional ketimbang
secara struktural. Arena adalah jaringan relasi antarposisi objektif di dalamnya, yang
menduduki posisi bisa jadi merupakan aktor atau institusi, dan mereka dihambat oleh
struktur ranah. Bourdieu melihat arena sebagai suatu tempat pertempuran, “arena juga
dalamnya terdapat berbagai jenis modal, seperti modal ekonomi, kultural, sosial dan
simbolis.
Pengertian field (s) diuraikan dalam tulisan Jenkins dari hasil wawancara Loic
tereduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Karena itu, Bourdieu
mengatakan bahwa dalam semua masyarakat ada yang mengusai dan dikuasai. Dalam
pembedaan ini terletak prinsip dasar pengorganisasian sosial, karena itu field
22
George Ritzer and Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, 2009. Ibid, 582-583
23
Jenkins, R. (1992) Pierre Bourdieu, (London dan New York: Routledge, 1992), 84
12
merupakan wadah untuk mewujudkan habitus.24 Namun, menurutnya dominasi ini
perjuangan untuk memperebutkan sumber daya (modal), dan juga demi memperoleh
akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan. Istilah modal digunakan
Modal dalam perspektif ilmu ekonomi, memuat beberapa ciri penting, yaitu: (1)
Modal terakumulasi melalui investasi; (2) Modal bisa diberikan kepada yang lain
melalui warisan; (3) Modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan
hubungan kekuasaan, seperti yang telah disebutkan di atas. Berdasarkan hal itu,
“…capital is a social relation, i.e., an energy which only exists and only
produces its effects in the field in which it is produced and reproduced,
each of the properties attached to class is given its value and efficacy by
the specific laws af each field”26
Ide Bourdieu tentang modal seperti ini, lepas dari pemahaman tradisi Marxian
dan juga konsep ekonomi formal. Konsep ini mencakup kemampuan melakukan
24
Dalam konteks ini misalnya pengorganisasian marga dengan fungsi dan perannya masing-
masing.
25
Dikutip oleh Haryatmoko dari Patrice Bonnewitz, Premieres Lecons sur la Sociologie de Pierre
Bourdieu (1998). Lihat essay Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Pengasa, (Jurnal Basis,
No. 11-12, Tahun 2003), 11
26
Dikutip oleh Fauzi Fashri dari Pierre Bourdieu, Distinction, (London: Routledge, 1984), Lihat
Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol. Ibid, 97
13
kontrol terhadap masa depan diri sendiri dan orang lain. Pemetaan itu tidak
berbentuk piramida atau tangga, tetapi lebih berupa suatu lingkup pembedaan atas
pendekatan ini, maka setiap kelas sosial tidak dapat didefinisikan secara terpisah,
menjadi: (1) Modal ekonomi, yang mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah,
buruh), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan mudah
digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi
budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, juga
sertifikat (gelar keserjanaan); (3) Modal sosial, menunjuk pada jaringan sosial yang
dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungan dengan pihak lain yang
memiliki kuasa; dan (4) Modal simbolik, mencakup segala bentuk prestise, status,
dimensi. Pertama, dimensi vertikal, hal ini dapat dipertentangkan antara para pelaku
– yang memiliki modal besar dalam hal ekonomi dan budaya – dengan mereka yang
27
Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol…, Ibid, 98-100; Ritzer, Teori…, 2009. Ibid, 583-
584; dan Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan…, 2003. Ibid, 11-13. Bandingkan juga dengan Robert
M.Z. Lawang, Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologi: Suatu Pengantar, (Depok: FISIP UI Press,
2004), 7-27
14
miskin. Kedua, susunan masyarakat menurut struktur modal. Dalam konteks ini
dipertentangkan antara mereka yang memiliki modal ekonomi yang besar dengan
mereka yang memiliki modal budaya yang besar. Pembedaan ini memungkinkan
melihat pemisahan antara keduanya dalam proses satu tangga dalam dimensi vertikal.
Model pembagian kelas tersebut mendefinisikan ruang atau jarak yang dapat
Secara lebih konkrit orang-orang yang termasuk dalam kelas atas, sedikit
kemungkinannya menikah dengan orang yang berasal dari kelas bawah.28 Pertama,
mereka bertemu, mereka tidak akan bisa dengan mudah saling memahami karena
2.2.3. Strategi
Apabila dalam ranah terjadi kompetisi antar pemain untuk memenangkan
mempertahankan dan ada pula yang ingin mengubah distribusi modal-modal dalam
kaitannya dengan hirarhki kekuasaan. Menurut Bourdieu strategi yang dipakai oleh
pelaku tergantung pada jumlah modal yang dimiliki dan struktur modal dalam
posisinya di ruang sosial. Jika mereka berada dalam posisi dominan maka strateginya
diarahkan pada usaha melestarikan dan mempertahankan status quo, maka mereka
yang didominasi berusaha mengubah distribusi modal, aturan main dan posisi-
28
Hal ini tampak dalam masyarakat Kei, misalnya larangan kawin campur antara tiga kelas yang
ada.
15
Meski mengarahkan tindakan, strategi bukan semata-mata hasil dari suatu
produk intuitif dari pemahaman para pelaku terhadap aturan-aturan permainan dalam
lintasan peristiwa atau pada ruang dan waktu tertentu. Strategi berperan sebagai
manuver para pelaku untuk meningkatkan posisi mereka dalam suatu arena
a) Strategi investasi bologis. Strategi ini mencakup dua hal, yaitu kesuburan
dari penyakit.
mungkin.
16
d) Strategi investasi ekonomi, hal ini merupakan upaya mempertahankan
nama keluarga.29
pokok. Jadi, keluarga menjadi tempat yang straegis bagi akumulasi modal dalam
ikatan hubungan yang erat dalam keluarga besar akan cukup menguntungkan karena
bukan hanya disatukan oleh habitus, tetapi juga oleh solidaritas kepentingan, baik
29
Uraian lebih lengkap tentang pola-pola strategi ini, dapat dilihat dalam, Fauzi Fashri,
Penyingkapan Kuasa Simbol... Ibid, 103-104
17
dalam hal modal ekonomi maupun modal simbolik dan terutama modal sosial.30
Pandangan ini memiliki kesamaan dengan konsep yang dikemukakan oleh Fukuyama
bahwa, hubungan kekerabatan di dalam keluarga yang lebih erat meningkatkan modal
sosial.31
yang menyengsarakan, dan meninggal tanggal 27 April 1937 pada usia 46 tahun juga
tidak pernah melihat seperti apa wajah anak bungsunya.32 Pada tahun 1934, dia
menulis sebuah makalah yang bertajuk On the Margins History: History of the
Subaltern Social Group, dalam tulisan ini Gramsci memopulerkan konsep subaltern.
terpinggir, manusia kecil yang tidak berkuasa. Istilah ini sebenarnya berarti perwira
tentang pelbagai kelompok yang didominasi dan dieksploitasi serta kurang memiliki
kesedaran kelas.33
30
Dalam hal ini misalanya, pengamatan yang pernah dilakukan oleh penulis tahun 2007
menunjukan bahwa kelompok marvutun dari desa Ohoiwait sampai dengan saat ini kebanyakan
terkonsentrasi di kota Tual,dan Kab. Maluku Tenggara, sebab beberap posisi penting dalam
pemerintahan dipegang oleh mereka yang berasal dari golongan ini. Sedangkan kelompok ren-ren
kebanyakan memilih untuk keluar dari Maluku Tenggara, sebab mereka berpikir bahwa “percuma saja
ikut tes CPNS di Tual, karena pasti tidak akan lolos”.
31
Francis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature and The Reconstitution of Social
Order, (New York: Touchstone, 2000), 36-37
32
Lihat uraian Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci: Negara & Hegemoni, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999), 42-54
33
Nyoman Kutha Ratna. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2005), 189
18
Dalam pengertian Gramsci, subaltern merujuk kepada kelompok masyarakat
yang tertakluk secara hegemoni di bawah kelas pemerintah. Seterusnya istilah ini
terpinggir dari segi kelas, usia, kasta, gender, perjawatan dan sebagainya 34 Di India,
dalam persejarahan arus perdana, lazimnya hanya elit politik yang diberi kedudukan
sebagai pelakar sejarah sedangkan rakyat kecil terpinggir lantaran kedudukan mereka
dalam hierarki paling rendah tidak diberi hak untuk melakar sejarah mereka–mereka
tunduk pada wacana dominan. Kesedaran bahawa golongan subaltern juga patut
Konsep subaltern ini akan digunakan sebagai alat analisis untuk membedah
sistem kasta pada masyarakat Kei, sebab dalam pemberlakuan sistem kasta ini telah
(penduduk asli); dan iri-iri (pembantu). Pembagian ini dipahami sebagai warisan
leluhur yang harus diterima, namun dalam perkembangannya sistem kasta yang pada
atas ren. Khususnya di desa Ohoiwait, golongan ren-ren pada umumnya tidak
memiliki posisi dalam struktur pemerintahan adat, bahkan oleh beberapa pihak
diwacanakan keturunan penduduk asli, pendiri woma telah punah. Dalam realitasnya,
34
Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin. Post‐Colonial Studies: The Key Concepts,
(London and New York: Routledge 2000), 215-216
35
Ibid. 16-17
19
subaltern dalam pandangan Gramsci, sebab keduanya berada dalam posisi
adat adalah mereka yang dikategorikan sebagai mel, dan mereka adalah mel
pendatang (mel marvutun). Hal ini dikarenakan, ada konsensus dengan para
pendatang ini untuk hidup saling mengatur dalam kehidupan bersama. Namun dalam
perkembangan kemudian mengalami perubahan menjadi mel berkuasa atas ren, dan
ham wang (pembagi). Sementara penduduk asli tetap dengan gelar asalnya yakni tuan
tan (tuan tanah).36 Hegemoni yang dilakukan oleh mel marvutun ini menjadi wacana
dominan (heterodoxa dalam bahasa Bourdieu) yang diterima, dan memperkuat posisi
Gramsci harus berpikir keras (bahkan dalam penjara sekalipun) untuk mengembagkan
sebuah pemikiran praksis - upaya mencari hubungan antara teori dan praktek dalam
36
Sejarah lisan yang berkembang di desa Ohoiwait tentang konsensus untuk saling
menjaga/mengatur hidup bersama itu adalah mencakup dua hal, yakni: ngarihi tna-nai dan ngeran tal-
tal (pembicara dan perlengkapan perang, diatur bersama), sejarah lisan inipun masih perlu
ditelusuri/dikaji sebab ham wang dan dir’u sepertinya juga telah diambil alih. Demikian juga dengan
posisi tuan tan yang saat ini dipegang oleh mereka yang bermarga Rahayaan. Jadi pertanyaannya
apakah beralihnya posisi-posisi dalam adat itu merupakan pemberian atau “diambil” oleh mel
marvutun karena kecerdikannya?
37
Bandingkan uraian Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci…, Ibid. 124-128
20
Marxisme. Salah satu hasil dari “racikan” yang dilakukan oleh Gramsci tersebut
merupakan bentuk dominasi dari Negara Kota (polis) seperti Athena dan Sparta
terhadap negara-negara lain, posisi kedua negara ini selalu dominan.38 Dalam konteks
saat ini misalnya dapat diamati posisi dominan Amerika Serikat (sebagai pemimpin
dunia) terhadap negara-negara lain, atau dalam kaitan dengan tema penelitian ini,
maka golongan mel marvutun dalam masyarakat Kei merupakan kelompok yang
jumlah (kuantitas), namun karena mereka berada pada posisi atas (pemimpin) dalam
dua hal dalam konsep hegemoninya, yakni masalah kepemiminan (direction) dan
38
Lihat Heru Hendarto, Mengenal Konsep Hegemoni Gramsci; dalam Diskursus Kemasyarakatan
dan Kemanusiaan, (Tim Redaksi Driyarkara, Jakarta : Gramedia, 1993), 73
39
Antonio Gramsci, Selectoions From The Prison Notebooks, Quintin Hoare and Nowell Smith
(ed.), (New York: International Publisher, 1976), 57-58 dalam Nezar Patria & Andi Arief, Antonio
21
Gramsci…, Ibid. 117-118
22
adalah soal konsensus awal tentang siapa yang memiliki kemampuan/kecakapan
dalam berbicara (ngarihi tna-nai atau wawaat) diberi tanggungjawab untuk mengatur
kehidupan agar tercipta harmoni dalam masyarakat. Dengan demikian tatanan sosial
(sistem kasta) yang masyarakat Kei waktu itu bersifat terbuka dalam artian
maupun memimpin. Dalam perkembangannya sistem kasta ini menjadi tertutup sebab
dalam kasta. Kecakapan dalam artian tingkat pendidikan telah menjadi “nomor
sepatu”.
Merujuk pada uraian yang dilakukan oleh Nesar Patria & Andi Arief bahwa
hubungan kedua konsep (direction dan dominance) mengisyaratkan tiga hal, yakni: 1)
aparatus negara, atau dalam pengertian sempit kekuasaan pemeritahan; dan 3) sekali
kekuasaan negara dapat dicapai, dua aspek supremasi klas ini, baik pengarahan
ataupun dominasi, terus berlanjut. Ketiga “kesimpulan” yang dilakukan oleh Patria &
Andi mempunyai kemiripan dengan sistem kasta pada masyarakat Kei seperti yang
telah diuraikan di atas. Konsep ini dianggap tepat untuk digunakan sebagai alat
analisis.
ada dalam masyarakat yang menentuan secara langsung atau tidak langsung struktur-
23
adalah cara/proses penggiringan (mempengaruhi) orang lain untuk mempercayai
wacana dominan dalam kerangka yang ditentukan oleh mereka yang berkuasa.
Pengaruh dari ‘roh’ ini membentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik dan
semua relasi sosial. Strategi mempengaruhi seperti ini hampir tidak dapat disadari
oleh orang yang dipengaruhi sebab tanpa kekerasan. Tujuannya adalah terwujudnya
rasa simpati40 yang berujung ada dukungan atau legitimasi dari orang atau kelompok
yang dipengaruhi. Jadi, hegemoni adalah rantai kemenangan yang didapat memalui
memungkinkan sebuah komunikasi bebas distorsi. Pelbagai syarat yang beralas pada
Selain itu, Habermas juga menawarkan sebuah alternatif metodologi bagi ilmu-ilmu
sosial. Metodologi yang bukan hanya melukiskan realitas sosial secara behavioral
40
Simpati merupakan proses seseorang merasa tertarik untuk memahami atau bekerjasama dengan
orang lain. Pengaruh dari rasa ini biasanya lebih mendalam dan tahan lama, karena itu simpati menjadi
dasar hubungan persahabatan. Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 1990).
Walaupun demikian, rasa simpati dapat saja berujung pada bentuk dominasi, jika rasa itu
dimanfaatkan oleh orang kita simpatik. Contohnya, yang telah diuraikan pada Bab 1, bahwa
diterimanya para pendatang oleh penduduk asli didasarkan atas rasa persahabatan atau kekeluargaan.
Karena itu panggilan kepada para pendatang ini adalah adik (mel-mel) dan penduduk asli adalah kakak
(ren-ren), namun hal ini kemudian berujung pada mel memerintah ren; mel adalah kelas atas, dan ren
adalah kelas bawah.
24
41
Badingkan dengan Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci…, Ibid. 120-125
25
khazanah sosiologi, filsafat analitik dan hermeneutik yang cukup kaya, Habermas pun
yang menjadi musuh utama semangat Pencerahan Barat yang bertopang pada
rasionalitas manusia.
dalam lingkup ’’komunikasi bebas penguasa.“ Dalam konteks ini perjuangan kelas
yang melakukan kritik lewat revolusi dan kekerasan melainkan lewat argumentasi.
Argumentasi dibedakan menjadi dua macam yakni diskursus dan kritik. Diskursus
teoretis), dan untuk mencapai konsensus atas klaim ketepatan (diskursus praktis),
42
Hermeneutika kritis ini, menurut Habermas harus mempertanyakan keabsahan tradisi. Lihat,
Donny Gahral Adian, Hermeneutik kritis Jurgen Habermas, Makalah ini disusun guna disampaikan
dalam diskusi yang diadakan IIIT (The International Institute of Islamic Thought Indonesia) tanggal 29
April 2003, http://www.dilibrary.net/images/topics/habermas.pdf diunduh 20 Oktober 2010.
43
Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan,
Yogyakarta: Kanisius, 1990), 84.
26
selanjutnya diskursus untuk mencapai konsensus tentang klaim kompherensibilitas
dalam dua bentuk yakni kritik estetis (norma-norma sosial yang objektif) dan kritik
masyarakat ideal adalah bentuk masyarakat komunikatif yang bebas dari dominasi.
itulah dalam masyarakat komunikatif perjuangan kelas dalam pandangan klasik, oleh
Habermas diganti dengan perbincangan rasional. Logika ini berkaitan dengan konsep
tentang rasio, tindakan dan masyarakat, dan bagian-bagian yang penting dari konsep
tersebut merupakan bagian dari hal-hal yang secara cultural kebenarannya tidak
dipersoalkan. Dunia kehidupan (lebenswelt) yang diciptakan dengan model ini, akan
44
Lihat Francisco Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan
‘Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009), 25-37
45
Lebenswelt ini menurut penulis mempunai kemiripan dengan konsep habitus yang
27
dikemukakan oleh Pierre Bourdieu.
28
yang terbentuk bersifat pa-reflektif, tidak dipersoalkan dan implisit. Menurut
Habermas, hubungan yang baik antara lebenswelt dan tindakan komunikatif akan
berujung pada pencapaian konsensus karena berlaku sebagai basis bersama para
konsep dalam teori komunikasi, namun juga ditempatkan sebagai konsep sosiologi
lebenswelt juga berfungsi sebagai konsep dasar teori sosial. Karena itu, pasangan
konsep ini berfungsi menjelaskan dua aspek integrasi sosial yang disebutnya sebagai
“kosep dua tingkat”. Yakni dilihat dari perspektif para peserta, bahwa masyarakat
bersama oleh para aktor sosial; dan dilihat dari perspektif para pengamat, masyarakat
tindakan ini seolah-olah terjadi secara mekanis – di luar intensi para aktor. 47 Disinilah
tetap akan melahirkan strukturnya sendiri, yang meliputi keluarga, sitem peradilan,
46
Lihat Francisco Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif… Ibid. 39
47
Jurgen Habermas, The Theory of Communiative Action. Vol. 2, Lifeworld and System: A
Criigue of Functionalist Reason, (Boston: Beacon Press, 1987a), 223
48
Bandingkan juga dengan uraian yang dilakukan George Ritzer and Douglas J. Goodman, .
29
Teori Sosiologi…, Ibid. 591-595
30
kemampuan untuk mngendalikan dunia-kehidupan. Hubungannya dengan proses
tersebut di dalam lebenswelt.49 Kaitannya dengan mel dan ren di desa Ohoiwait
cukup jelas, dimana ketika konsensus awal yang dilakukan atas dasar solidaritas kini
berubah menjadi dominasi mel terhadap ren. Hal ini bisa terjadi karena ‘uang dan
kuasa’ (yang dalam bahasa Bourdieu disebut modal) akan selalu dipakai oleh aktor
hubungan antara sistem dan lebenswelt dalam realitasnya seakan hilang.50 Dengan
demikian, konsep lebenswel dan sistem dianggap tepat untuk disandingkan dengan
adalah kelajutan tindakan komunikatif dengan memakai sarana lain, yakni sarana
bentuk komunikasi modern di mana orang tidak begitu saja menerima sesuatu dengan
meguji hal itu dengan pertimbangan rasional. Dalam kaitannya dengan penelitian ini,
maka mel-mel dan ren-ren perlu didekati secara rasional untuk menggambarkan dan
49
Habermas menyebut “solidaritas” (lebenswelt), “uang” dan “kuasa” (System) sebagai tiga
komponen integrasi masyarakat. Lihat F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif… Ibid. 41
50
Dalam konteks ini Habermas menerima teori rasionalisasi dari Max Weber. “Hilangnya
hubungan antara sistem dan lebenswelt, bersangkutan dengan evolusi sosial atau modernisasi yang
disebut Weber rasionalisasi. Habermas berpendapat bahwa sebelum proses rasionalisasi ini, terdapat
identitas antara lebenswelt dan sistem yang dalam masyarakat tradisional tentu saja masih sederhana
dan sedikit terdiferensiasi.
51
Jurgen Habermas, The Theory of Communiative Action. Vol. 1, Reason and the
Rationalization of Society, (Boston: Beacon Press, 1984), 37-38
31
mempertanyakan kesahihan dan ketepatan posisi-posisi tersebut dalam tatanan sosial
bersifat rasional sejauh alasnnya dapat dijelaskan atau diakui secara intersubjektif.
Penjelasan dan pemberian alasan dengan demikian merupakan ciri dasar dari klaim-
klaim kesahihan yang bersifat rasional. Secara umum kenyataan ini membedahkan
dua bentuk komunikasi yakni, ‘komunikasi naif’ dan ‘komunikasi reflektif’. Dalam
saja. Bentuk komunikasi ini sebenarnya menarik, jika konsensus awal antara ren-ren
(kakak) dan mel-mel (adik) pada masyarakat Kei masih tetap dipertahankan, namun
permasalahannya konsensus awal yang berdasar pada solidaritas itu telah berubah
akan memutuskan pemahaman rutin tentang lebenswelt. Dalam hal ini, aktor
kehilangan sifat naifnya, karena pertukaran informasi pada tahap ini harus diikuti
percakapan.
lanjut, Habermas tidak lagi berbicara tentang kritik. Dalam karya Habermas yang
berjudul Faktizitat und Geltung (1993) atau “Fakta dan Kesahian” dikatakan bahwa
“keterikatan pada konteks tidak lagi merupakan ciri krtik, melainkan merupakan ciri
masyarakat dan teori-teori sosial, yang tetap konsisten adalah pembedaan yang
ketepatan.
53
Lihat uraian F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif… Ibid. 45
33