Anda di halaman 1dari 2

MORALITAS HUMANISME

Moral sebagai suatu pedoman hidup menjadikan manusia sebagai pusat dalam
perputaran nilai-nilai humanistik. Dengan kemampuan penalaran yang dimilikinya manusia
mampu menentukan sesuatu sebagai benar atau salah, baik atau buruk, sehingga
kehidupannya menjadi selaras dan manusia dapat mencapai kebahagiaan yang ia harapkan.
Moralitas yang bertumpuh pada peran nalar ini kemudian menjadi cikal bakal lahirnya kaum
humanis1 yang amat mementingkan peran akal budi dalam mewujudkan nilai-nilai
kemanusiaan. Gerakan humanisme ini merupakan “pemberontakan” terhadap ortodoksi
agama-agama yang bersifat dogmatis dan lebih mementingkan kemampuan manusia, hasrat
intelektual, dan penghargaan akan disiplin intelektual.2 Humanisme pada zaman ini ditandai
dengan suatu bentuk penafsiran ulang secara rasional tentang nilai kemanusiaan atas tafsiran
tunggal dari agama dan negara yang pada abad pertengahan memiliki otoritas mutlak dalam
menafsir suatu kebenaran.3

Berdasarkan pada pemisahan ini maka nilai-nilai kemanusiaan yang semula


bertumpuh pada dogma-dogma agama kemudian disadari dan dipahami secara rasional, agar
nilai-nilai tersebut tidak dijalankan atas dasar perintah doktrinal semata melainkan berasal
dari dalam diri, yakni dari pemahaman individu secara rasional. Hal ini menjadi penting
mengingat nilai kemanusiaan yang dipahami secara doktrinal cenderung bersifat partikular
karena terbatas pada mereka yang menerima wahyu dalam suatu agama (orang-orang
beragama). Meskipun demikian, pemahaman nilai-nilai humanisme yang lahir secara
moderen ini tidak terlepas juga dari kelemahan terbesarnya dalam sejarah yang cenderung
mendewakan manusia (metafisika kemanusiaan) yang berpikir secara rasional, sehingga
timbulah pemberadaban yang melahirkan penjajahan atau kolonialisasi. Atas dasar ini kita
semestinya perlu menarik batasan tentang humanisme yang bertumpuh pada suatu moralitas
yang etis sehingga kita tidak terjerumus dalam paham humanisme yang reduktif, yang
memandang rendah sesama manusia.

1
“kaum umanis” dalam bahasa Italia dikenal dengan istilah umanista yakni suatu jargon zaman Renaisans yang
sejajar dengan artista (seniman) atau iurista (ahli hukum). Umanista adalah guru atau murid fak-fak yang
mempelajari nilai-niali kebudayaan di zaman Renaisans. Karena itu mereka menjadi orang-orang yang
terpandang dalam masyarakat karena mampu membuat sintesis antara iman kristiani dan ilmu pengetahuan,
kebudayaan antik dan tradisi kristen. Tujuannya tidak hanya memajukan seni, peradaban dan penghargaan atas
martabat manusia, melinkan juga toleransi di antara agama-agama yang ada.

2
Hardiman Budi F, Filsafat Modern, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 10.

3
Hardiman Budi F, Humanisme dan Sesudahnya, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), hlm. 8.
Moralitas yang humanistis idealnya harus bertumpuh pada paham sosialis yang
memandang manusia lebih berharga dari materi atau benda apa pun dan bahwa kehidupan
lebih bernilai daripada harta kekayaan4. Humanisme dengan ciri demikian harus berakar pada
keyakinan akan kesatuan dan solidaritas umat manusia sehingga timbul sikap saling
menghargai tanpa memandang status atau golongan tertentu. Lebih dari itu moralitas dalam
humanisme menolak segala bentuk kekerasan, penindasan, dan peperangan yang
membahayakan keselamatan jiwa dari setiap individu. Atas dasar ini paham humanisme tidak
tunduk pada dogmatisme agama yang dapat memunculkan fanatisme terhadap golongan
tertentu dan juga menolak humanisme rasionalisme yang dapat memunculkan penindasan dan
penjajahan.

DAFTAR PUSTAKA

Budi Hardiman, F., Filsafat Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Budi Hardiman, F., Humanisme dan Sesudahnya, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
2012.

Erich Fromm, Perihal Ketidakpatuhan, Yogyakarta: IRCiSoD, 2020.

4
Fromm Erich, Perihal Ketidakpatuhan, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2020), hlm. 80.

Anda mungkin juga menyukai