KLAIM TANAH ULAYAT MARGO VII KOTO : Pemetaan Konflik Multi dimensi akibat Penguasaan
Tanah di dalam Kawasan Hutan Negara 1.
1
Catatan Sharing & Diskusi dengan Bang Ismail tanggal 27 Oktober 2021 di rumah Mbah Peyang desa Sungai
Karang dan wawancara online via WA tanggal 22 & 27 Februari 2022.
2
Margo merupakan istilah untuk masyarakat persekutuan hukum adat (MPHA) Melayu Jambi. Saat ini
terdapat beberapa payung hukum di tingkat daerah terkait kelembagaan masyarakat adat diantaranya:
(1) Perda Kabupaten Tebo No. 42 Tahun 2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan
Adat-istiadat dan Lembaga Adat.
(2) Perda Kabupaten Tebo Nomor 10 Tahun 2021 tentang Lembaga Adat Melayu (LAM) Seentak Galah
Serengkuh Dayung Kabupaten Tebo.
(3) Perda Provinsi Jambi No. 2 tahun 2014 tentang Lembaga Adat Melayu (LAM) Jambi.
3
Versi lain dari 7 dusun awal (dusun asli) Marga VII Koto, yaitu: (1) Dusun Tanjung, (2) Dusun Sungai Abang, (3)
Dusun Kuamang, (4) Dusun Tabun, (5) Dusun Teluk Kepayang, (6) Dusun Bale Rajo, dan (7) Dusun Sukarame.
(musri-nauli.blogspot.com, Tebo dalam Tutur di tengah Masyarakat, 03 November 2018). Dalam versi ini,
Dusun Balai Rajo dimasukkan sebagai Dusun Asal sedangkan Dusun Paseban tidak masuk.
4
Sebelum terbitnya UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa,masyarakat mengenal Dusun sebagai
pemerintahan terendah. Dusun terdiri dari beberapa kampung.
5
Keturunan (anak laki-laki) dari Pasirah VII Koto saat ini masih ada; tinggal di Desa Tabun.
6
Demikian pula dengan jabatan (Kepala Suku) yang biasanya ada dalam masyarakat hukum adat Melayu Jambi
seperti Ninik Mamak, Dato Mangku, Dato Suku,Tuo Pengulu dan lain-lain, sekarang tidak ada lagi dalam
struktur formal pemerintah desa. Jabatan-jabatan tersebut di tingkat desa hanya digolongkan sebagai
pemuka masyarakat.
7
Risalah berjudul Syaran dan Nasihat menurut Adat seiring dengan syarak, syarak bersendikan kitabullah
(tertanggal 8 Agustus 1998).
2
batang Sialang, menandokan kok kato lah saiyo, kok rundinglah sepakat. Lazim jugo disebut dek
Adat lah tapahat – ditiang panjang, lah taukir dibendul jati.
Adapun di sebelah Utara, tanah ulayat Margo VII Koto berbatasan dengan provinsi Riau. Batas dari
Sialang balantak besi menuju ke Daerah Riau adalah sebagai berikut:
Dari pulau sepisak sepisau hanyut menuju ke alahan mati, terus ke Teluk Bungur, menuju ke
Guntung Betung, menyeberang Sungai Batanghari, mengarah ke Guntung gagah, menuju ke Sungai
Bungin - terus ke Sialang Kempeh, terus ke Payo Asau,menuju ke Cupak-masam sebelah, terus ke
kelukup lantak, menuju ke buaian bakasur, menuju ke Sungai Titian Akar, terus ke Pematang
bacabang tigo, hingga sampai ke Pematang Kayu Basibak.
Ke atas tidak berpucuk , artinyo tidak timbul dalam pikiran –orang itu untuk ingin berbuat baik
melainkan hanya berbuat buruk di tengah-tengah masyarakat.
Ke bawah tidak berurat, artinyo, tidak selangkahpun kakinya dipergunakan untuk berbuat kepado
nan baik – melainkan untuk berbuat buruk.
Di tengah digirik kumbang , artinyo, tidak ado niat di dalam hatinya untuk ingin berbuat baik,
melainkan juga berbuat buruk, atau menjadi pengacau di tengah-tengah masyarakat.
Ungkapan di atas pada intinya bermakna nenek moyang masyarakat adat di masa lalu (sebelum
berdirinya Negara Indonesia) sudah membuat kesepakatan tentang tanah ulayat, sudah menentukan
hak kekuasaannya masing-masing dan berjanji untuk bersama-sama mempertahankan tanah ulayat
tersebut. Siapa yang ingkar pada janji, dia akan mendapatkan balasan di akhir hayatnya nanti.
Dari 7 Dusun awal yang kemudian berubah menjadi desa-desa awal pembentuk kecamatan VII Koto;
sekarang telah berkembang menjadi 3 (tiga) kecamatan yaitu : kecamatan VII Koto (10 desa),
kecamatan VII Koto Ilir (6 desa) dan kecamatan Tebo Ulu (1 desa yaitu desa Sukarame). Dengan
demikian, dari 7 desa awal pembentuk wilayah Margo, sekarang telah berkembang menjadi 16 desa
8
Hak ulayat adalah wilayah adat yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan tanah Margo. Batas-
batas tanah Margo ditentukan berdasarkan batas-batas alam yang telah diwariskan secara turun-temurun
(batas-batas ini diwariskan secara lisan -dan juga tertulis- lewat Tambo). Hak ulayat dalam persekutuan adat
Margo diperuntukkan bagi kepentingan bersama anggota masyarakat, dimana setiap masyarakat yang
membutuhkan tanah dapat menggunakan tanah ulayat untuk tempat tinggal atau untuk bercocok tanam
dengan mengikuti aturan-aturan adat yang terdapat dalam persekutuan adat Margo tersebut. Dengan kata
lain, pengelolaan tanah ulayat dilakukan oleh Pengurus di tingkat Margo.
3
di 3 kecamatan. Walaupun telah terjadi banyak perubahan dalam hal batas-batas antar Desa, akan
tetapi keberadaan tanah yang menjadi hak ulayat masing-masing Desa masih bisa ditelusuri
berdasarkan dokumen adat (Tambo), tradisi penuturan lisan kaum ninik mamak dan bukti-bukti fisik
berupa batas alam (sungai, bukit,lembah, pohon) dan makam leluhur (makam keramat) yang
menjadi penanda batas/keberadaan tanah ulayat.
Wilayah (tanah) ulayat Margo VII Koto berdasarkan desa-desa yang ada saat ini di kecamatan VII
Koto, kecamatan VII Koto Ilir dan kecamatan Tebo Ulu dapat dilihat pada Tabel-tabel berikut ini.
Tabel. Wilayah Tanah Ulayat Desa-desa existing saat ini di kecamatan VII Koto
N Nama Desa Wilayah (Tanah) Ulayat Keterangan
o
1 Tanjung Pucuk Jambi Wilayah tanah ulayat Desa Wilayah ulayat Desa Tanjung
Catatan: Tanjung Pucuk Jambi sekarang Pucuk Jambi dan Desa Teluk
Pada tahun 2010 telah menjadi lokasi transmigrasi Lancang sekarang telah menjadi
wilayah Desa Tanjung lokal SP 1, SP 2 dan SP 3 yang lokasi transmigrasi (SP 1, SP 2, SP
Pucuk Jambi mengecil lokasinya terletak di perbatasan 3) yang sebagian besar didiami
9
karena sebagian dengan provinsi Sumatra Barat . warga pendatang.
wilayahnya Wilayah ulayat tersebut Batas-batas tanah ulayat Desa
dimekarkan menjadi dahulunya sudah pernah Tanjung Pucuk Jambi & Desa
Desa Teluk Lancang. diserahkan kepada pemerintah Teluk Lancang :
untuk dijadikan lokasi - Utara=provinsi Riau
transmigrasi lokal bagi warga - Selatan= kanagarian Koto Salak
desa Tanjung Pucuk Jambi. Oleh kecamatan Koto
warga transmigran, lahan dibuka Baru,kabupaten Dharmasraya,
dan dibangun menjadi kebun Sumbar.
kelapa sawit. Beberapa lama - Timur = Desa Sungai Abang
kemudian, lahan kebun sawit - Barat=Desa Pulau Mainan II,
tersebut kemudian dijual kepada kecamatan Koto Baru,
warga pendatang (suku Batak, Kabupaten Dharmasraya,
suku Jawa dll.). Penjualan Sumatera Barat
tersebut terjadi atas Adapun klaim tanah ulayat di
sepengetahuan daerah patokan Km. 48 dusun
(diketahui/disetujui) Pemerintah Rantau Jaya oleh Desa Tanjung
Desa Tanjung Pucuk Jambi. Pucuk Jambi merupakan klaim
2 Teluk Lancang Desa Teluk Lancang merupakan sepihak yang tanpa dasar /tanpa
desa hasil pemekaran dari Desa musyawarah dengan para pihak
Tanjung Pucuk Jambi terkait dalam hal ini pemuka adat
berdasarkan Perda Kab. Tebo No. di desa-desa tetangganya.
8 Tahun 2010. Wilayah desa Wilayah patokan Km. 48 yang
Teluk Lancang diambil dari diklaim sebagai tanah ulayat Desa
sebagian wilayah Desa Tanjung Tanjung Pucuk Jambi sebenarnya
Pucuk Jambi. adalah tanah ulayat Desa Sungai
Sebagai akibat dari pemekaran Abang dan Desa Dusun Baru.
tersebut maka wilayah ulayat
Desa Teluk Lancang mengambil Tumpang tindih tanah ulayat
sebagian daripada wilayah ulayat desa Tanjung Pucuk Jambi
Desa Tanjung Pucuk Jambi dengan izin konsesi perusahaan
9
Penempatan transmigran pertama kali sekitar tahun 2001 (terkenal dengan transmigrasi Kuamang Kuning)
4
Tabel. Wilayah Tanah Ulayat Desa-desa existing saat ini di kecamatan VII Koto Ilir
N Nama Desa Wilayah (Tanah) Ulayat Keterangan
o
1 Teluk Kepayang Pulau Wilayah ulayat desa TKPI Tumpang tindih tanah ulayat
Indah (TKPI) bernama Sungai Buluh Hitam; Desa TKPI /Dusun Teluk
Rimbo Tantaling yang berlokasi Cempako dengan izin konsesi
di Dusun Teluk Cempako perusahaan yaitu dengan PT LAJ
(seberang sungai Batang hari). dan PT TMA.
Batas-batas tanah ulayat:
Utara= Indra Giri Hulu, provinsi
Riau
Selatan= desa Tabun
Timur = dusun Tuo Pasir Mayang
(sekarang masuk desa Balai Rajo)
10
Dusun Teluk Cempako merupakan bagian dari Desa Teluk Kepayang Pulau Indah (TKPI).
6
Bujang.
Sumber: Data Primer Hasil Wawancara (Februari 2022)
Sebelum rezim Orde Baru mengklaim Hutan Ulayat kami menjadi Hutan
Negara, Nenek Moyang kami telah menentukan haknya masing-masing dan
berjanji baikat semayo.
Di sepanjang sejarah masa lalu, kami masyarakat adat selalu merasa terzolimi
oleh para pihak dengan kepentingannya masing-masing. Karenanya, kami
tidak akan tinggal diam…
(Ismail, aktivis Permargo VII Koto & Dewan AMAN Tebo, 27 Februari 2022)
Konteks Sejarah
Sejarah pasang surut klaim tanah ulayat dari Masyarakat Hukum Adat 12 Margo VII Koto tidak
terlepas dari dinamika beberapa hal diantaranya:
(1) Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yaitu dimulai dari penunjukan /penetapan
kawasan hutan hingga ke pemberian izin konsesi kepada perusahaan (PT IFA, PT Wanamukti
Wisesa, PT LAJ, PT WKS, PT TMA) sejak era pemerintahan Orde Baru hingga saat ini.
(2) Realitas politik-ekonomi yang terjadi di tingkat lapangan/tapak baik di tingkat masyarakat
akar rumput maupun di tingkat elite lokal setempat (pemerintah desa, tokoh/pemuka adat,
LSM lokal).
(3) Gelombang kedatangan warga pendatang dari luar kecamatan/ kabupaten/provinsi yang
kemudian memunculkan konflik baik yang manifest maupun yang laten di tingkat lapangan.
12
Menurut Pasal 1 butir 31 UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah Kelompok Masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di
wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan
lingkungan hidup. Serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum.
13
Saat SK diterbitkan tahun 1987, Menteri Kehutanan dijabat Soedjarwo Kabinet Pembangunan IV periode
1983-1988. Soedjarwo merupakan Menteri Kehutanan pertama di zaman pemerintahan Orde Baru.
8
14
Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) adalah kesepakatan bersama para pemangku kepentingan di tingkat
Provinsi untuk menentukan alokasi ruang kawasan hutan berikut fungsinya yang diwujudkan dengan
membubuhkan tanda tangan di atas peta.
15
Hak ulayat adalah hak/wewenang yang dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat (MHA) untuk mengatur dan
mengelola tanah-tanah yang berada di dalam wilayah adatnya. Keberadaan hak ulayat dijamin oleh UU Pokok
Agraria no. 5 tahun 1960 pasal 3. Adapun syarat MHA yaitu: (1) mempunyai wilayah tertentu; (2) mempunyai
anggota /warga; (3)mempunyai penguasa/pemimpin; (4) mempunyai harta kekayaan (materiil dan immateriil);
kekayaan materiil disini utamanya berupa tanah ulayat.
16
Dalam SK ini terdapat Lampiran Peta kawasan hutan di seluruh provinsi Jambi. Klaim sepihak oleh Negara
inilah yang kemudian menjadi dasar pemberian izin IUPHHK PT Wanamukti Wisesa di tahun 1992 (izin PT
Wanamukti diperluas pada tahun 1998) dan izin HPH kepada PT IFA di tahun 1993.
17
Klaim sepihak Negara atas kawasan hutan di jaman Orde baru
18
Beliau menjabat sebagai Bupati tahun 1986-1996.
19
Semua Dato’ Margo VII Koto yang bermusyawarah ketika itu, sekarang telah meninggal semua kecuali Najmi
Harun masih hidup (usia 80 tahun).
20
Desa Lembayo sekarang hilang dan berganti nama menjadi Desa Dusun Baru berdasarkan Perda Kabupaten
Tebo No. 9 Tahun 2010.
9
21
Batas antar dusun asli (Dusun lama) yang kemudia berubah menjadi Desa.
22
Klaim Desa Balai Rajo atas wilayah Payo Lebar terjadi setelah kepindahan warga Dusun Tuo Pasir Mayang ke
seberang sungai Batanghari.
23
PT Wanamukti Wisesa merupakan perusahaan patungan dimana pemegang sahamnya terdiri atas PT IFA
(60%) dan PT Inhutani V (40%).
24
IUPHHK PT Wanamukti Wisesa tergolong HTI Trans dengan status Patungan atau HTI Patungan Trans
(kepemilikan saham a.n. PT IFA dan PT Inhutani V).
25
PT IFA mulai beroperasi tahun 1993 berdasarkan izin sementara yaitu surat Menteri Kehutanan No. 608/Menhut/IV/93
yang berlaku dua tahun. Lokasi operasi di Riau dan Jambi dengan luasan total 248.100 ha. (Laporan investigasi majalah
Tempo edisi 10 Juni 2001). Lokasi eks HPH PT IFA di Tebo Jambi saat ini merupakan wilayah konsesi PT Wanamukti Wisesa,
PT LAJ dan PT TMA.
26
Komposisi daerah asal transmigran adalah 70% dari Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur) dan
30% dari Sumatera (Jambi, Riau, Sumbar).
10
30
LSM Panglima Duo Sim juga pernah mengklaim tanah ulayat di lokasi yang sekarang merupakan wilayah ijin
konsesi PT Tebo Multi Agro (TMA). Waktu itu, klaim tersebut didukung oleh Ormas LMP(Laskar Merah Putih).
31
Menurut tambo batas batas tanah ulayat: dari durian batakuk rajo sampai ke beringin yang ditanam 2
batang. [ beringinnya sekarang tinggal ada 1 pohon]
32
Batas-batas peta tanah ulayat Panglimo Duo Sim telah direkayasa sehingga tidak sesuai dengan yang
terdapat dalam Buku Tambo Margo VII Koto. Dengan rekayasa Tembo/Tambo ini berarti klaim tanah ulayat
oleh LSM Panglima Dhozim merupakan sesuatu yang tidak sah mewakili klaim tanah ulayat margo VII Koto.
33
Lokasi yang diperjual-belikan diantaranya tanah ulayat Belukar Rajo , beberapa lokasi di dusun Tuo Pasir
Mayang, dan lokasi yang sekarang merupakan wilayah konsesi PT Wanamukti Wisesa.
12
34
Wilayah Desa Tanjung Pucuk Jambi termasuk ke dalam wilayah tanah ulayat Margo VII Koto.
35
Dikutip dari dokumen : Berita Acara tentang Musyawarah Desa Menyikapi Tanah Adat serta Kependudukan
Warga Rantau Jaya Km 48 dan sekitarnya Desa Tanjung Pucuk Jambi tanggal 4 Oktober 2020. Dokumen ini
ditandatangi oleh Pimpinan Rapat Poprianto SE,MM, Notulen/sekretaris Mazulin dengan
Mengetahui/Menyetujui dari unsur : Kepala Desa Alwi, Ketua BPD Ade Putra, Supardi ( Masyarakat
Perantauan), Norman (Ninek Mamak), Ali Amran (KDS/Kadus 02), dan Diman (Kasi Pelayanan). Berdasarkan
daftar hadir diketahui bahwa musyawarah ini dihadiri 94 orang peserta dari berbagai unsur masyarakat.
36
Merupakan kalimat dalam Tambo/Tembo dari Margo VII Koto.
14
37
Dikutip dari dokumen: Berita Acara Musyawarah antara Warga Patokan Km 48 dan Masyarakat Desa Tanjung
Pucuk Jambi tanggal 10 Januari 2022. Disebutkan dalam dokumen tersebut bahwa proses pengambilan
keputusan terhadap poin keputusan di atas dilakukan secara Musyawarah Mufakat dan tidak ada unsur
paksaan dari pihak manapun. Dokumen Berita Acara ditandatangani oleh Pimpinan Acara Suhendri dan
Notulen/Sekretaris Riko Bayu Satria. Pihak yang bertanda tangan Mengetahui dan Menyetujui adalah: Mazulin
(Perangkat Desa), Jachem Siburian (Warga Patokan 48), RB Manurung (Babinsa), Dedi Wardiarto (Kanit
Binmas). Adapun total peserta yang hadir dalam pertemuan berdasarkan Daftar Hadir berjumlah 51 orang
dimana warga Patokan tercatat hanya ada 6 orang yang hadir.
16
Tanggapan Ismail mengenai klaim Tanah Ulayat oleh Desa Tanjung Pucuk Jambi:
Menurut Ismail, klaim tanah ulayat Desa Tanjung Pucuk Jambi ini masih perlu dikaji ulang
kesahihannya. Menurutnya, klaim ini tidak mempunyai dasar yang kuat, dikarenakan beberapa
alasan berikut:
1) Lokasi yang menjadi wilayah tanah ulayat Desa Tanjung Pucuk Jambi yang sebenarnya bukanlah di
daerah patokan km 48 Dusun Rantau Jaya melainkan di daerah yang sekarang telah menjadi
lokasi transmigrasi lokal SP 1 dan SP 1 (terletak di perbatasan dengan provinsi Sumatra Barat).
Wilayah tersebut dahulunya sudah pernah diserahkan kepada pemerintah untuk dijadikan lokasi
transmigrasi lokal bagi warga desa Tanjung Pucuk Jambi. Oleh warga transmigran, lahan dibuka
dan dibangun menjadi kebun kelapa sawit. Beberapa lama kemudian, lahan kebun sawit
tersebut kemudian dijual kepada warga pendatang (suku Batak, suku Jawa dll.). Penjualan
tersebut terjadi atas sepengetahuan (diketahui/disetujui) Pemerintah Desa Tanjung Pucuk Jambi.
2) Daerah patokan km 48 Dusun Rantau Jaya yang diklaim sebagai tanah ulayat Desa Tanjung Pucuk
Jambi itu sebenarnya merupakan tanah ulayat Desa Sungai Abang dan Desa Dusun Baru.
Manipulasi klaim ini diduga dilakukan oleh oknum pemuka adat (ninik mamak) dan pemerintah
desa setempat didasari adanya kepentingan tertentu.
3) Menurut Ismail, klaim daerah patokan sebagai tanah ulayat Desa Tanjung Pucuk Jambi
merupakan suatu klaim sepihak yang tidak mempunyai dasar yang kuat. Mengapa demikian?
Karena sebelum mengeluarkan klaim tanah ulayat tersebut, pihak pemerintah desa dan
pemangku adat desa Tanjung Pucuk Jambi tidak melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan
pemerintah desa dan pemangku adat dari desa-desa tetangga yang juga memegang klaim ulayat
atas wilayah tersebut. Jika dilihat dari aspek sejarah, wilayah yang diklaim tersebut merupakan
bagian dari hak ulayat desa-desa tetangga.
dalam/di sekitar kawasan hutan yang menjadi izin konsesi perusahaan (pal batas
kawasan hutan dan kawasan non-hutan/wilayah administrasi desa). Jadi dalam
hal ini ada 3 (tiga) poin ketidakjelasan yaitu: (1) batas wilayah desa dengan
kawasan hutan; (2) batas wilayah antar desa untuk desa-desa yang ada di
dalam/sekitar kawasan hutan38 (batas hanya berupa tugu di pinggir jalan; adapun
pal batas sampai ke dalam-dalam tidak ada tapal batas); (3) batas antara
kecamatan VII Koto dan kecamatan VII Koto Ilir.
3. Adanya manipulasi klaim tanah ulayat oleh segelintir elite desa (oknum
pemerintah desa, oknum pemuka adat/ninik mamak) yang terjadi di masa lalu.
Manipulasi klaim disini maksudnya adalah seseorang/sekelompok oknum
melakukan klaim sepihak atas tanah ulayat yang bukan merupakan haknya (ulayat
milik pihak lain tetapi diklaim sebagai miliknya). Disebut klaim sepihak karena
dilakukan tanpa melakukan musyawarah dengan pemuka adat yang lain; baik di
desa tersebut maupun di desa-desa tetangga. Hal ini terjadi karena adanya
motivasi /kepentingan tertentu yaitu untuk mengambil keuntungan pribadi
/kelompok atas klaim tersebut. Biasanya tidak lama setelah klaim dilakukan
kemudian diikuti dengan praktek jual-beli atas bidang tanah dalam wilayah ulayat
yang diklaim tersebut kepada warga pendatang dari luar (luar
kabupaten/provinsi). Contoh manipulasi klaim tersebut diantaranya: (1) Klaim
dan jual-beli tanah ulayat Panglima Duo Sim oleh Najmi Harun, Tepi dkk. atas
tanah ulayat yang sekarang telah menjadi Desa Sungai Karang dan beberapa petak
di sekitarnya yang sekarang menjadi konsesi PT Wana Mukti Wisesa (WMW). (2)
Klaim tanah ulayat oleh pihak Desa Tanjung Pucuk Jambi pada tahun 2020. (3)
Klaim dan jual beli tanah ulayat oleh alm Kades Tepi sekitar tahun 1995-1996
atas lokasi yang sekarang telah menjadi pemukiman dan kebun masyarakat Dusun
Sungai Bekaruk desa Pasir Mayang.
Dahulu pemerintah (kehutanan) pernah membuat aturan untuk membatasi
penguasaan lahan di kawasan hutan oleh warga pendatang dibatasi maksimal
hanya 5 hektar (kelebihan dari 5 hektar mestinya dikembalikan kepada Negara
/perusahaan dengan kompensasi berupa pembayaran ganti rugi). Dalam prakteknya
penegakan hukum oleh pihak Kehutanan dan Pemda untuk aturan tersebut di
lapangan tidak berjalan. Hal ini menimbulkan 3 (tiga) dampak yaitu:
1. Pengembalian lahan untuk kepentingan pembangunan kebun produksi
perusahaan menjadi terhambat.
2. Timbulnya kecemburuan sosial di pihak warga pribumi, termasuk pihak pemangku
adat setempat (Margo). Warga pendatang bisa menguasai tanah yang luas
38
Terdapat beberapa desa yang mempunyai konflik tapal batas antar desa yang tidak diselesaikan oleh
pemerintah hingga saat ini. Misalnya antar Desa Dusun Baru, Desa Tabun, Aur Cino. Konflik itu termasuk
wilayah desa yang ada di dalam kawasan hutan Negara (tumpang tindih dari segi tata ruang kawasan hutan
dan kawasan non-hutan). Beberapa contoh diantaranya terdapat di dusun Sungai Bekaruk desa Pasir Mayang
(WMW), dusun Kelumpang Jaya desa Balai Rajo (PT WMW), desa Pemayungan (PT ABT & PT LAJ), desa Teluk
Kembang Jambu (PT LAJ), desa Tanjung Pucuk Jambi (PT LAJ), desa Sungai Karang (PT WMW).
18
- Hak masyarakat adat atas wilayah adat bukan hak pemberian Negara, tapi hak
bawaan yang melekat dalam diri masyarakat adat. Hak adat itu tidak akan
pernah hilang atau hapus kecuali masyarakat adat punah, atau sebagai
pemangku/pemilik hak tersebut tidak mau lagi atau melepaskan hak tersebut
kepada pihak lain.
- Masyarakat adat itu sudah ada sebelum Indonesia ada dan telah diakui dan
dihormati keberadaan dan hak-hak adatnya dalam konstitusi UUD 1945. Yang
belum ada itu hanya administrasinya oleh pemerintah. (Prof Maria
Sumardjono, Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gajah Mada).
- AMAN telah mendorong agar masyarakat adat Margo VII Koto melakukan
pemetaan partisipatif atas wilayah adat (tanah ulayat) Margo VII Koto
berdasarkan sejarah asal-usul. Berdasarkan peta wilayah adat tersebut
konflik-konflik agraria akan diselesaikan. Peta wilayah adat ini juga yang akan
39
Batas ulayat kami (margo VII Koto) mengikuti batas alam yaitu dari Sungai Lang Sisip ke atas…lalu Sungai
Salak ke atas. Kemudian dari Lubuk Kayu Aro lurus ke atas hingga ke wilayah perbatasan dengan provinsi Riau.
40
Sejak tahun 2017 menjabat sebagai DEWAN AMAN (pusat). Struktur organisasi AMAN di daerah yaitu: di
tingkat provinsi ada Pengurus Wilayah sedangkan di tingkat kabupaten ada Pengurus Daerah. Ketua BPH
AMAN provinsi Jambi saat ini dijabat Datuk Usman Gumanti.
19