Anda di halaman 1dari 13

Secondary traumatic stress disorder

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah: konseling trauma

Disusun Oleh Kelompok 13:

Nur baitih (11940221826)

Siti sara juariah (11940222339)

Dosen Pengampuh: Muhammad Hafiz, M. pd

BIMBINGAN KONSELING ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2021 / 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami dari kelompok 13 panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan kasih sayang dan keridhoan-Nya sehingga kami mendapatkan kekuatan dalam
menyusun makalah ini, juga berkat segala rahmat dan karunia-Nya akhirnya tersusun jualah
makalah yang berjudul, ”Secondary traumatic stress disorder”. Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas KONSELING TRAUMA di Universitas Islam Negri sultan syarif
kasim Riau.

Kami dari kelompok 13 menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari segi isi maupun penyajiannya. Yang dari beberapa referensi saja
pastinya makalah kami banyak kekurangan, Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga Allah memberikan kemanfaatan atas makalah ini, khususnya bagi penulis dan
bagi pembaca umumnya. Amiin.
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma tidak hanya dapat menimpa seseorang yang menghadapi kejadian traumatis
secara langsung, akan tetapi juga bias mengalami stress akibat mendengar pengalaman
buruk yang dialami oleh orang lain. Dalam ranah psikologi hal ini dikenal sebagai
secondary traumatis stress disorder.

Secondary traumatis stress disorder adalah kondisi yang dapat terjadi dalam waktu
cepat maupun secara perlahan. STS yang terjadi secara perlahan disebut dengan vicarious
trauma.

Adanya suatu perasaan simpati yang mendalam dan kesedihan terhadap orang lain
yang menderita, disertai dengan keinginan yang kuat untuk meringankan penderitaan
mereka dan menghilangkan faktor penyebabnya menyebabkan seseorang mudah untuk
mengalami STS (Joinson, dalam Stamm, 1999).

STS merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan gangguan atau rasa
sakit psikologis yang berkembang pada para profesional kesehatan mental yang bekerja
dengan klien yang mengalami trauma (Chrestman dalam Stamm, 1999). Meskipun STS
merupakan suatu konsekuensi yang alamiah akibat seseorang mendampingi orang lain
yang mengalami trauma, namun tentu saja konsekuensi ini dapat menimbulkan stres yang
sangat berat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan secondary traumatis stress dissorder ?
2. Apa saja gejala dari secondary traumatis stress disorder ?
3. Apa saja factor yang mempengaruhi terjadinya secondary traumatis stress disorder?
4. Bagaimana penanganan secondary traumatis stress disorder?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui apa itu secondary trauamtis stress disorder.
2. Untuk mengetahui gejala secondary traumatis stress disorder.
3. Untuk mengetahui apa saja factor yang mempengaruhi secondary traumatis stress
disorder.
4. Untuk mengetahui bagaimana penanganan secondary traumatis stress disorder.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi secondary traumatic stress disorder (STSD)

Menurut doctor & shirmoto (2010) secondary traumatic stress disorder adalah
kondisi kesehatan mental yang mempengaruhi professional atau populasi umum yang
membantu maupun mendukung orang-orang yang terpapar peristiwa traumatic. STSD
merupakan konsekuensi alami dari kepedulian antara orang yang mengalami kejadian
mengerikan maupun peristiwa traumatic dan orang lain yang terpengaruh oleh sifat
orang yang mengalami peristiwa traumatic. STSD dapat terjadi jika identifikasi
dengan korban terlalu kuat dan intens, strategi koping dari penolong yang tidak tepat,
maupun akibat penolong yang tidak dapat menjalankan strategi penyelamat mereka
sendiri secara adaptif.1

Figley (2012) juga mengatakan bahwa ketika suatu kejadian traumatic terjadi
secara langsung pada seseorang maka gangguan kesehatan mental yang dapat muncul
disebut dengan post traumatic stress disorder, dan jika seseorang berempati secara
berlebihan terhadap orang lain yang mengalami peristiwa traumatic, maka gangguan
kesehatan mental yang terjadi disebut dengan secondary traumatic stress disorder.

2. Tanda dan gejala


Tanda dan gejala dari secondary traumatic stress disorder sangat mirip dengan
tanda dan gejala post traumatic stress disorder. Hal yang membedakan adalah bahwa
PTSD diperoleh akibat paparan langsung dari peristiwa traumatic, sedangkan STSD
diperoleh akibat paparan secara tidak langsung dari peristiwa traumatic.
Schiraldi (2009) mengatakan bahwa 3 gejala STSD saling berkaitan dan
terjadi secara berurutan. Ketiga gejala tersebut meliputi :
a. Gejala intrusive
Adalah gejala awal yang terjadi pada orang-orang yang mengalami STSD.
Gejala intrusive dapat terjadi dalam bentuk pemikiran, penglihatan, dan persepsi.
Gejala intrusive muncul secara tiba-tiba dan umumnya meliputi gangguan ingatan
atau mengingat kembali peristiwa traumatis, merasa seolah-olah peristiwa traumatis
terulang kembali, dan mengalami mimpi mengenai peristiwa truamatis.
Duffy, Avalos&dowling (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa
gejala intrusive adalah gejala yang paling banyak dialami oleh sampel penelitiannya.
Tanda-tanda yang sering muncul adalah memimpikan kejadian traumatis yang dialami
oleh korban, merasa mengalami gangguan pikiran terkait peristiwa traumatis yang
dialami korban.
b. Gejala arousal
Adalah gejala fisik yang timbul akibat adanya gejala intrusive. Gejala arousal
terjadi akibat system saraf menjadi lebih sensitive karena trauma. Gejala arousal dapat
meningkat ketika system saraf bereaksi berlebihan walaupun terhadap stressor yang
1
Administration For Children and Families. (2017). Retrieved Oktober 2021, from www.acf.hhs,gov:
https://www.acf.hhs.gov/trauma-toolkit/secondarytraumatcic-stress
kecil. Beberapa tanda dari gejala aurosal meliputi gangguan tidur, mudah marah,
kesulitan mengingat dan konsentrasi, serta memiliki respon yang berlebihan.
c. Gejala avoidance
Terjadi akibat timbulnya gejala intrusive dan arousal sehingga orang-orang
yang mengalami STSD berusaha menghin dari semua hal yang mengingatkan mereka
akan trauma yang terjadi. Gejala avoidance meliputi, upaya menghindari pikiran,
percakapan, kegiatan, tempat, maupun orang-orang yang dapat mengingatkan pada
peristiwa traumatis.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi STS


Faktor risiko yang dapat memicu terjadinya STS yaitu:
a. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko yang penting dalam
meningkatnya gejala STS pada seseorang. Risiko perempuan dua kali lebih tinggi
dibandingkan dengan laki-laki (Rosen & Frueh, 2010). Wanita lebih rentan
mengalami PTSD maupun STSD karena sintesa serotonin wanita yang lebih rendah,
dimana serotonin yang akan membawa pesan ke neurotransmitter di otak. Serotonin
yang rendah akan mempengaruhi kejadian depresi pada seseorang.
Penelitian dilakukan Agung & Ihsan (2018) dalam penelitiannya yang
menyatakan bahwa jenis kelamin perempuan memiiki presentase terbesar yang
mengalami STSD, yaitu sebanyak 58%. Hal inipun didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Kindermann & Derreza-greeven (2017) kepada para pekerja sosial
yang bekerja untuk pengungsi peperangan. Hasil menunjukkan bahwa 56% pekerja
sosial yang mengalami gejala STSD adalah seorang wanita

b. Usia
Usia saat terjadinya peristiwa traumatis sering dilihat sebagai sebuah hal yang
penting. Sadat, Abdi, & Aghajani (2015) mengatakan bahwa seseorang yang berusia
lebih tua lebih beresiko mengalami STSD dibandingkan dengan seseorang yang lebih
muda. Perubahan hormone (menopause dan testosterone) dapat meningkatkan
reaktivitas stress dan mengurangi sumber daya koping (Ford, Grasso, Elhai, &
Courtois, 2015). Status korban yang mengalami STSD sebesar 50% dengan usia 48-
56 tahun (Agung & Ihsan, 2018).
Berbeda dengan Tsujiuchi, Yamaguchi, Masuda, & Tsuchida (2016) yang
justru menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap gejala STSD
yang terjadi berdasarkan usia seseorang.

c. Riwayat mengalami trauma sebelumnya


Pengalaman adalah salah satu faktor risiko yang dapat mempengaruhi
terjadinya gejala STSD pada seseorang. Pengalaman trauma merupakan peristiwa
khusus yang berkaitan dengan trauma yang telah terjadi. Hal tersebut dapat
berpengaruh dalam jangka waktu yang lama (Townsend, 2012). Individu yang
terpapar dengan trauma masa lalu akan dapat mengakibatkan terjadinya PTSD
(Sendler, Rutkowska, & Makara-Studzinska,2016). Berbeda dengan hal tersebut,
Penelitian yang dilakukan oleh Kintzle, Yarvis, Usaf, & Bride (2013) justru
menemukan bahwa sebanyak 41% sampel dalam penelitian ini tidak mengalami
gejala STSD dan hal ini dapat disebabkan oleh beberapa sampel yang memiliki
pengalaman terkait peristiwa traumatis.

d. Frekuensi Paparan
Frekuensi paparan adalah jumlah kontak dengan korban maupun kejadian
traumatis. Penelitian yang dilakukan oleh Hensel, Ruiz, Finney, & Dewa (2016)
menemukan bahwa frekuensi paparan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
terjadinya trauma sekunder pada theraupetic work korban trauma. Intensitas dan
frekuensi trauma dapat menyebabkan terjadinya PTSD maupun STSD pada individu.
Seseorang yang terus menerus terpapar memiliki risiko yang lebih besar
dibandingkan dengan yang sudah tidak terpapar lagi (Paramitha et al., 2018). Jumlah
paparan memiliki pengaruh terhadap kejadian PTSD maupun STSD. Lebih dari sekali
paparan memiliki risiko yang lebih tinggi dibanding dengan sekali paparan (Priebe et
al., 2018).

e. Dukungan Sosial
Dukungan sosial mengacu pada subjektivitas responden. Dukungan sosial
dilihat dengan adanya orang-orang sekitar yang dapat berbagi suka duka. Rendahnya
dukungan sosial menjadi faktor terjadinya STSD (Cheng et al., 2014). Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Zang et al. (2017) pada anggota militer
yang pernah bertugas pada daerah yang berkonflik dan mengalami STSD menemukan
bahwa dukungan social yang rendah akan meningkatkan keparahan STSD. Penelitian
yang dilakukan oleh pada remaja penyintas gunung merapi juga menemukan bahwa
semakin tinggi dukungan sosial yang diterima remaja, maka akan semakin rendah
gangguan stress yang dialami (Tentama, 2014).

f. Jenis Operasi Lapangan


Operasi lapangan yang dilakukan oleh seorang tim SAR menjadikan hal
tersebut sebagai salah satu stressor. Stres merupakan respon tubuh terhadap berbagai
rangsangan-rangsangan yang mengganggu atau membahayakan. Rangsangan-
rangsangan tersebut disebut dengan stressor (Tua & Gaol, 2016). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Rahmayani, Liza, & Syah (2019) menemukan bahwa
jenis stressor sangat mempengaruhi tingkatan stress dari seseorang. Stres dapat terjadi
saat adanya proses pengevaluasian dari stressor atau sumber stress tersebut.

g. Lama Kerja
Waktu yang dihabiskan oleh seseorang korban dengan seorang tenaga medis
yang membantu korban menyebabkan seseorang lebih beresiko terkena STSD.
Semakin banyak waktu yang dihabiskan dengan korban maka akan semakin besar
kemungkinan seorang tenaga medis memiliki hubungan empatik yang tinggi atau
merasakan hal yang serupa dengan pasien alami (Figley, 2012). Kintzle et al., (2013)
dalam penelitiannya mengenai STSD menemukan bahwa 41% sampel penelitiannya
tidak mengalami gejala STSD dan hal ini berkaitan dengan durasi paparan pekerja
sosial dengan korban trauma. Sebagian sampel dalam penelitian ini merupakan orang
yang menghabiskan waktu tidak banyak dengan korban trauma.2

4. Penanganan gejala STS


Gejala dari PTSD maupun STSD yang tidak segera ditangani dapat berdampak
buruk bagi kehidupan seseorang. Gejala ini dapat berlangsung hingga bertahun-tahun
dan akan menyebabkan seseorang mengalami PTSD maupun STSD kronik.
Pemberian intervensi dini untuk mencegah perkembangan gejala STSD sangat
diperlukan bagi orang-orang yang telah terpapar peristiwa traumatis baik secara
langsung maupun tidak langsung. Beck & Sloan (2012) mengatakan bahwa intervensi
dini terhadap PTSD maupun STSD dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit
PTSD maupun STSD kronik dan terjadinya gejala berulang pada seseorang yang telah
mengalami peristiwa traumatis. Tindakan pencegahan yang dilakukan secara
universal dilakukan untuk membatasi kejadian PTSD maupun STSD pada populasi
yang beresiko terpapar peristiwa traumatis baik secara langsung maupun tidak
langsung. Terdapat beberapa intervensi yang dapat dilakukan untuk mencegah PTSD
maupun STSD kronik.
Beberapa intervensi yang dapat dilakukan untuk mencegah gejala PTSD
maupun STSD meliputi:

a. Psychological fisrt aid


Psychological First Aid (PFA) adalah salah satu tindakan pencegahan yang
dilakukan dengan membantu seseorang untuk mengurangi dampak jangka pendek dan
jangka panjang dari sebuah peristiwa traumatis. PFA merupakan salah satu tindakan
pencegahan yang dapat dilakukan kepada korban, penolong pertama, maupun orang-
orang yang berperan dalam masa pemulihan korban seperti perawat, psikiater, dan
lain sebagainya. PFA dapat dilakukan dalam beberapa jam pertama setelah peristiwa
traumatis terjadi dan dapat dilakukan di berbagai tempat seperti di tempat
pengungsian, ruang gawat darurat, ruang perawatan, dan lain sebagainya.
War Trauma Foundation and World Vision International (2011) mengatakan
bahwa PFA merupakan alternatif lain yang lebih dianjurkan untuk diterapkan pada
orang-orang yang mengalami masalah berat setelah baru saja terpapar peristiwa
traumatis. PFA melibatkan beberapa tema yang meliputi:
1) Memberikan perawatan dan dukungan yang tidak menganggu orang lain
2) Menilai kebutuhan dan kekhawatiran seseorang hingga membantu seseorang untuk
memenuhi kebutuhan dasar lainnya seperti makan dan minum.
3) Mendengarkan seseorang tapi tidak memaksa orang tersebut untuk berbicara
4) Menghibur seseorang dan membantu mereka untuk merasa tenang
5) Membantu seseorang untuk terhubung dengan layanan informasi dan pendukung
sosial lainnya
6) Melindungi seseorang dari bahaya lebih lanjut
2
Duffy, E., Avalos, G., & Dowling, M. (2014). Secondary traumatic stress among emergency nurses: a
crossectional study. International Emergency Nursing, p. 1-6.
b. Psychoeducation
Menurut Lahad & Doron (2010) psychoeducation merupakan salah satu
tindakan pencegahan PTSD maupun STSD yang bertujuan untuk membuat seseorang
merasa bahwa ada orang lain yang memahami apa yang dia alami. Tujuan lain dari
intervensi ini adalah untuk meningkatkan perasaan bahwa seseorang memiliki kontrol
terhadap situasi yang berasal dari pengetahuan mereka mengenai PTSD maupun
STSD.
Lahad & Doron (2010) juga mengatakan bahwa psychoeducationakan
membantu klien mengubah pemahaman dan tingkah laku seseorang terkait respon
fisik dan psikologis yang dapat muncul setelah terpapar peristiwa traumatis.
Intervensi ini juga dapat memperkuat hubungan antara terapis dengan klien terutama
perasaan percaya klien terhadap profesionalisme terapis dan kemampuannya untuk
membantu klien. Pokok bahasan utama dari psychoeducation adalah beberapa respon
yang mungkin muncul setelah seseorang terpapar peristiwa traumatis baik secara
langsung maupun tidak langsung.

c. Mekanisme koping yang efektif


Figley (1995) berpendapat bahwa mekanisme koping yang baik merupakan
salah satu hal yang dapat mencegah gejala PTSD maupun STSD. Seseorang yang
memiliki mekanisme koping yang buruk lebih beresiko mengalami gejala STSD
dibandingkan dengan seseorang yang memiliki mekanisme koping yang baik.
Beberapa mekanisme koping yang dapat dilakukan meliputi:3
1) Mengembangkan hubungan pribadi dengan orang sekitar yang mendukung secara
emosional
2) Meluangkan waktu untuk eksplorasi diri
3) Memperhatikan kebutuhan pribadi
4) Melakukan beberapa terapi jika diperlukan
Administration for Children and Families (2017) jugamengatakan bahwa
mekanisme koping seseorang yang beresikomengalami gejala STSD dapat
ditingkatkan melalui beberapa hal berikut:
1) Bagi individu

a) Melakukan aktivitas seperti biasanya

b) Melakukan beberapa kegiatan refreshing seperti berwisata alam

c) Melakukan beberapa hobi yang dapat memperbaiki emosional seseorang

d) Mempertahankan komunikasi interpersonal

e) Mengevaluasi pengalaman dan menerapkan teknik pemecahan masalah pada


sebuah tantangan

3
Bride, B.E., Robinson, M.M., Yegidis, B., & Figley, C.R. (2004). Development and validation of the secondary
traumatic stress scale. Sage Journal, p. 27- 35
f) Memperbaiki pola tidur yang sehat sehingga mengurangi efek stress

g) Bercerita tentang pengalaman yang dialami serta strategi pengalaman yang tepat
dengan orang lain yang uga beresiko mengalami STSD.

h) Mencari dukungan profesional seperti seorang konselor yang mengkhususkan diri


dalam penanganan STSD

2) Bagi organisasi yang bekerja menangani peristiwa traumatis

a) Menciptakan budaya organisasi yang dapat meminimalisir efek bekerja dengan


korban trauma

b) Mengadopsi beberapa kebijakan yang dapat mendukung perawatan kesehatan


anggotanya

c) Menciptakan kesempatan bagi anggotanya untuk berpartisipasi dalam perubahan


sosial dan penjangkauan masyarakat

d) Memastikan lingkungan kerja tetap aman bagi anggotanya

e) Memberikan informasi mengenai STSD serta tindakan pencegahannya

f) Membuat sumber konseling bagi anggotanya.

Penanganan yang lain ialah:4


1. Terapi fisik, musik, visual dan seni
Ada berbagai macam jenis terapi artistik yang dapat membantu menyalurkan
kemarahan, sekaligus membuang emosi negatif dan merelaksasi otak serta pikiran.
Terapi artistic memberikan penderita STSD kesempatan untuk melepaskan kekuatiran
sambil mengekspresikan diri lewat karya seni.
Contohnya adalah terapi musik, terapi visual dan seni. Mulai dari melukis, menari
sampai dengan memainkan alat musik. Atau terapi fisik lewat olahraga kickboxing
misalnya, dimana orang dengan STSD diajak untuk meluapkan emosi dan
melampiaskan amarah lewat tendangan dan pukulan kepada sak tinju.
Berbagai terapi ini bertujuan untuk membantu mengeluarkan emosi negatif yang
terpendam oleh akibat adanya trauma, sehingga perlahan-lahan penderita dapat
mengosongkan pikiran dan mulai menghapus trauma secara bertahap.
Selain itu, mulai bermeditasi, menulis jurnal, blog atau buku harian, juga
merupakan salah satu bentuk terapi yang kerap dianjurkan untuk para penderita
STSD.
Sebelum memilih akan melakukan terapi apa, sebaiknya minta bantuan tenaga
medis profesional yang dapat memberikan saran rekomendasi terbaik.

2. Perbaiki kesehatan psikis lewat sesi konseling


4
Figley, C.R. (1995). Coping with secondary traumatic stress disorder in those who treat the traumatized, [e-
book], diakses 01 Oktober 2021, dari .<Https://books.google.co.id
Sesi konseling dilakukan agar korban trauma dapat membicarakan perasaan yang
sedang dialami, gangguan stres apa yang perlu diatasi, kepada tenaga kesehatan yang
bersifat netral dan sanggup memberi saran tepat.
Sesi konseling dengan psikolog maupun psikiater, sangat dibutuhkan bagi
penyintas trauma yang kemudian terkena STSD.
Konselor juga akan sesekali berbicara kepada pendamping terdekat sang penderita
STSD agar dapat lebih maksimal membantu sang penderita dalam proses
penyembuhannya.

3. Jaga kondisi fisik agar selalu fit


Olahraga pun merupakan salah satu channel pelepasan energi. Kegiatan fisik yaitu
olahraga, merangsang pelepasan dopamin, norepinefrin dan serotonin, tiga jenis
substansi kimia dalam otak yang membantu meregulasi mood seseorang. Berolahraga
secara teratur dapat mempengaruhi tingkatan serotonin dalam otak secara positif,
membuat pelakunya merasa senang dan puas setelah selesai olahraga.
Jenis olahraga yang lembut tapi intens seperti yoga pun dapat membantu mengatur
detak jantung seseorang, melatih pernapasan jadi lebih baik dan memperbaiki syaraf-
syaraf otak. Semua ini akan sangat memberikan dukungan dari dalam tubuh untuk
proses penyembuhan stres yang terkait trauma emosional.

4. Fokus kepada hari ini, saat ini, detik ini


Ada orang dengan STSD yang, sebagai bentuk penolakannya atas masa lalu nan
traumatis, membawa sebuah totem – totem adalah sebuah benda kecil yang punya arti
bagi seseorang dan punya fungsi mengingatkan orang tersebut bahwa ia sekarang
sedang berada di masa kini, di hari, jam, menit dan detik yang sedang berlangsung.
Menggenggam erat totem yang akan mengembalikan kita ke masa sekarang,
disinyalir sangat membantu penderita STSD saat terjadi serangan flashback memori
tak menyenangkan di masa lalu.
Selain itu, ada cara lainnya seperti mengulang-ulang kalimat positif saat flashback
memori trauma datang melanda. Kalimat seperti “Saya saat ini ada di masa sekarang,
saya sehat, bahagia, aman dan nyaman, saya hempaskan masa lalu, saya buang semua
energi negatif dan fokus kepada masa depan saja” dapat diucapkan berkali-kali dalam
hati atau secara lisan, untuk mengembalikan penderita STSD ke momen saat yang
sedang berlangsung.

5. Buat rencana masa depan yang positif dan bisa buat senang
Rencanakan hal-hal kecil dan besar di masa depan yang bersifat positif dan bisa
membuat penderita STSD merasa senang.
Mulai dari rencana yang simpel seperti pergi liburan, makan makanan kesukaan di
resto favorit, hang out bareng teman-teman terdekat, sampai rencana besar seperti
kembali ke bangku kuliah maupun memulai usaha yang baru, apapun rencana itu,
pastikan efeknya positif bagi orang dengan STSD.
Punya rencana yang positif ke depannya, akan sangat menolong penderita STSD
untuk tetap mengarahkan diri untuk melangkah maju meraih masa depan dan tidak
terjebak di lingkaran kelam trauma masa lalu.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan

Secondary traumatic stress disorder adalah kondisi kesehatan mental yang


mempengaruhi professional atau populasi umum yang membantu maupun mendukung
orang-orang yang terpapar peristiwa traumatic.

Tanda dan gejala dari secondary traumatic stress disorder sangat mirip dengan
tanda dan gejala post traumatic stress disorder. Hal yang membedakan adalah bahwa
PTSD diperoleh akibat paparan langsung dari peristiwa traumatic, sedangkan STSD
diperoleh akibat paparan secara tidak langsung dari peristiwa traumatic.

Tanda-tandanya ialah:

a. Gejala intrusive
b. Gejala arousal
c. Gejala avoidance

Adanya juga factor-faktor yang mempengaruhi STS ialah:

a. Jenis kelamin
b. Usia
c. Riwayat mengalami trauma sebelumnya
d. Frekuensi paparan
e. Dukungan social
f. Jenis operasi lapangan
g. Lama kerja

Dan terakhir ada penangan gejala STS ialah:

a. Terapi fisik, music, visual, dan seni


b. Perbaiki kesehatan psikis lewat konseling
c. Jaga kondisi fisik agar selalu fit
d. Factor kepada hari ini, saat ini, detik ini
e. Buat rencana yang positif untuk kedepannya

2. Saran

Alhamdulillah telah selesai pula isi makalah dari kelompok 13, sudi kiranya
atas koreksi pembaca agar kita mudah memahaminya dan mendapatkan wawasan
yang luas.

Daftar Pustaka
Administration For Children and Families. (2017). Retrieved Oktober 2021, from www.acf.hhs,gov:
https://www.acf.hhs.gov/trauma-toolkit/secondarytraumatcic-stress
Bride, B.E., Robinson, M.M., Yegidis, B., & Figley, C.R. (2004). Development and validation of the secondary
traumatic stress scale. Sage Journal, p. 27- 35
Duffy, E., Avalos, G., & Dowling, M. (2014). Secondary traumatic stress among emergency nurses: a
crossectional study. International Emergency Nursing, p. 1-6
Figley, C.R. (1995). Coping with secondary traumatic stress disorder in those who treat the
traumatized, [e-book], diakses 01 Oktober 2021, dari .<Https://books.google.co.id

Anda mungkin juga menyukai