2021 / 2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami dari kelompok 13 panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan kasih sayang dan keridhoan-Nya sehingga kami mendapatkan kekuatan dalam
menyusun makalah ini, juga berkat segala rahmat dan karunia-Nya akhirnya tersusun jualah
makalah yang berjudul, ”Secondary traumatic stress disorder”. Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas KONSELING TRAUMA di Universitas Islam Negri sultan syarif
kasim Riau.
Kami dari kelompok 13 menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari segi isi maupun penyajiannya. Yang dari beberapa referensi saja
pastinya makalah kami banyak kekurangan, Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga Allah memberikan kemanfaatan atas makalah ini, khususnya bagi penulis dan
bagi pembaca umumnya. Amiin.
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma tidak hanya dapat menimpa seseorang yang menghadapi kejadian traumatis
secara langsung, akan tetapi juga bias mengalami stress akibat mendengar pengalaman
buruk yang dialami oleh orang lain. Dalam ranah psikologi hal ini dikenal sebagai
secondary traumatis stress disorder.
Secondary traumatis stress disorder adalah kondisi yang dapat terjadi dalam waktu
cepat maupun secara perlahan. STS yang terjadi secara perlahan disebut dengan vicarious
trauma.
Adanya suatu perasaan simpati yang mendalam dan kesedihan terhadap orang lain
yang menderita, disertai dengan keinginan yang kuat untuk meringankan penderitaan
mereka dan menghilangkan faktor penyebabnya menyebabkan seseorang mudah untuk
mengalami STS (Joinson, dalam Stamm, 1999).
STS merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan gangguan atau rasa
sakit psikologis yang berkembang pada para profesional kesehatan mental yang bekerja
dengan klien yang mengalami trauma (Chrestman dalam Stamm, 1999). Meskipun STS
merupakan suatu konsekuensi yang alamiah akibat seseorang mendampingi orang lain
yang mengalami trauma, namun tentu saja konsekuensi ini dapat menimbulkan stres yang
sangat berat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan secondary traumatis stress dissorder ?
2. Apa saja gejala dari secondary traumatis stress disorder ?
3. Apa saja factor yang mempengaruhi terjadinya secondary traumatis stress disorder?
4. Bagaimana penanganan secondary traumatis stress disorder?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui apa itu secondary trauamtis stress disorder.
2. Untuk mengetahui gejala secondary traumatis stress disorder.
3. Untuk mengetahui apa saja factor yang mempengaruhi secondary traumatis stress
disorder.
4. Untuk mengetahui bagaimana penanganan secondary traumatis stress disorder.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut doctor & shirmoto (2010) secondary traumatic stress disorder adalah
kondisi kesehatan mental yang mempengaruhi professional atau populasi umum yang
membantu maupun mendukung orang-orang yang terpapar peristiwa traumatic. STSD
merupakan konsekuensi alami dari kepedulian antara orang yang mengalami kejadian
mengerikan maupun peristiwa traumatic dan orang lain yang terpengaruh oleh sifat
orang yang mengalami peristiwa traumatic. STSD dapat terjadi jika identifikasi
dengan korban terlalu kuat dan intens, strategi koping dari penolong yang tidak tepat,
maupun akibat penolong yang tidak dapat menjalankan strategi penyelamat mereka
sendiri secara adaptif.1
Figley (2012) juga mengatakan bahwa ketika suatu kejadian traumatic terjadi
secara langsung pada seseorang maka gangguan kesehatan mental yang dapat muncul
disebut dengan post traumatic stress disorder, dan jika seseorang berempati secara
berlebihan terhadap orang lain yang mengalami peristiwa traumatic, maka gangguan
kesehatan mental yang terjadi disebut dengan secondary traumatic stress disorder.
b. Usia
Usia saat terjadinya peristiwa traumatis sering dilihat sebagai sebuah hal yang
penting. Sadat, Abdi, & Aghajani (2015) mengatakan bahwa seseorang yang berusia
lebih tua lebih beresiko mengalami STSD dibandingkan dengan seseorang yang lebih
muda. Perubahan hormone (menopause dan testosterone) dapat meningkatkan
reaktivitas stress dan mengurangi sumber daya koping (Ford, Grasso, Elhai, &
Courtois, 2015). Status korban yang mengalami STSD sebesar 50% dengan usia 48-
56 tahun (Agung & Ihsan, 2018).
Berbeda dengan Tsujiuchi, Yamaguchi, Masuda, & Tsuchida (2016) yang
justru menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap gejala STSD
yang terjadi berdasarkan usia seseorang.
d. Frekuensi Paparan
Frekuensi paparan adalah jumlah kontak dengan korban maupun kejadian
traumatis. Penelitian yang dilakukan oleh Hensel, Ruiz, Finney, & Dewa (2016)
menemukan bahwa frekuensi paparan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
terjadinya trauma sekunder pada theraupetic work korban trauma. Intensitas dan
frekuensi trauma dapat menyebabkan terjadinya PTSD maupun STSD pada individu.
Seseorang yang terus menerus terpapar memiliki risiko yang lebih besar
dibandingkan dengan yang sudah tidak terpapar lagi (Paramitha et al., 2018). Jumlah
paparan memiliki pengaruh terhadap kejadian PTSD maupun STSD. Lebih dari sekali
paparan memiliki risiko yang lebih tinggi dibanding dengan sekali paparan (Priebe et
al., 2018).
e. Dukungan Sosial
Dukungan sosial mengacu pada subjektivitas responden. Dukungan sosial
dilihat dengan adanya orang-orang sekitar yang dapat berbagi suka duka. Rendahnya
dukungan sosial menjadi faktor terjadinya STSD (Cheng et al., 2014). Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Zang et al. (2017) pada anggota militer
yang pernah bertugas pada daerah yang berkonflik dan mengalami STSD menemukan
bahwa dukungan social yang rendah akan meningkatkan keparahan STSD. Penelitian
yang dilakukan oleh pada remaja penyintas gunung merapi juga menemukan bahwa
semakin tinggi dukungan sosial yang diterima remaja, maka akan semakin rendah
gangguan stress yang dialami (Tentama, 2014).
g. Lama Kerja
Waktu yang dihabiskan oleh seseorang korban dengan seorang tenaga medis
yang membantu korban menyebabkan seseorang lebih beresiko terkena STSD.
Semakin banyak waktu yang dihabiskan dengan korban maka akan semakin besar
kemungkinan seorang tenaga medis memiliki hubungan empatik yang tinggi atau
merasakan hal yang serupa dengan pasien alami (Figley, 2012). Kintzle et al., (2013)
dalam penelitiannya mengenai STSD menemukan bahwa 41% sampel penelitiannya
tidak mengalami gejala STSD dan hal ini berkaitan dengan durasi paparan pekerja
sosial dengan korban trauma. Sebagian sampel dalam penelitian ini merupakan orang
yang menghabiskan waktu tidak banyak dengan korban trauma.2
3
Bride, B.E., Robinson, M.M., Yegidis, B., & Figley, C.R. (2004). Development and validation of the secondary
traumatic stress scale. Sage Journal, p. 27- 35
f) Memperbaiki pola tidur yang sehat sehingga mengurangi efek stress
g) Bercerita tentang pengalaman yang dialami serta strategi pengalaman yang tepat
dengan orang lain yang uga beresiko mengalami STSD.
5. Buat rencana masa depan yang positif dan bisa buat senang
Rencanakan hal-hal kecil dan besar di masa depan yang bersifat positif dan bisa
membuat penderita STSD merasa senang.
Mulai dari rencana yang simpel seperti pergi liburan, makan makanan kesukaan di
resto favorit, hang out bareng teman-teman terdekat, sampai rencana besar seperti
kembali ke bangku kuliah maupun memulai usaha yang baru, apapun rencana itu,
pastikan efeknya positif bagi orang dengan STSD.
Punya rencana yang positif ke depannya, akan sangat menolong penderita STSD
untuk tetap mengarahkan diri untuk melangkah maju meraih masa depan dan tidak
terjebak di lingkaran kelam trauma masa lalu.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Tanda dan gejala dari secondary traumatic stress disorder sangat mirip dengan
tanda dan gejala post traumatic stress disorder. Hal yang membedakan adalah bahwa
PTSD diperoleh akibat paparan langsung dari peristiwa traumatic, sedangkan STSD
diperoleh akibat paparan secara tidak langsung dari peristiwa traumatic.
Tanda-tandanya ialah:
a. Gejala intrusive
b. Gejala arousal
c. Gejala avoidance
a. Jenis kelamin
b. Usia
c. Riwayat mengalami trauma sebelumnya
d. Frekuensi paparan
e. Dukungan social
f. Jenis operasi lapangan
g. Lama kerja
2. Saran
Alhamdulillah telah selesai pula isi makalah dari kelompok 13, sudi kiranya
atas koreksi pembaca agar kita mudah memahaminya dan mendapatkan wawasan
yang luas.
Daftar Pustaka
Administration For Children and Families. (2017). Retrieved Oktober 2021, from www.acf.hhs,gov:
https://www.acf.hhs.gov/trauma-toolkit/secondarytraumatcic-stress
Bride, B.E., Robinson, M.M., Yegidis, B., & Figley, C.R. (2004). Development and validation of the secondary
traumatic stress scale. Sage Journal, p. 27- 35
Duffy, E., Avalos, G., & Dowling, M. (2014). Secondary traumatic stress among emergency nurses: a
crossectional study. International Emergency Nursing, p. 1-6
Figley, C.R. (1995). Coping with secondary traumatic stress disorder in those who treat the
traumatized, [e-book], diakses 01 Oktober 2021, dari .<Https://books.google.co.id