Anda di halaman 1dari 16

MUNAKAHAT

Tugas Mata Kuliah Fiqh/ Ushul Fiqh


Dosen Pengampu: Askolan Lubis, MA, Drs
Bagus Ramadi, MH

Disusun Oleh :
Kelompok 9

1. Dwi Agustia Kurnianingsih (0303213070)


2. Nurhayati Harahap (0303213085)
3. Siti Nurhaliza Muda (0303213101)
4. Zachra Aulia (0303213102)

A. Pendahuluan
Fiqih Munakahat adalah aturan hukum tentang pernikahan (mulai dari aqad nikah hingga
aturan tentang berumah tangga). Urgensitas Fiqih Munakahat sangat besar, selain untuk
mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dah rahmah, juga untuk mewujudkan dan
memperlancar pelaksanaan ibadah dan ketaatan manusia kepada Allah. Oleh karena itu, tidak
salah jika dikatakan bahwa pernikahan termasuk ke dalam kategori ibadah yang berbentuk
muamalah.
Fiqih Munakahat meliputi uraian ketentuan tentang, antar lain: syarat-rukun nikah, perjanjian
nikah, hak dan kewajiban suami istri, dan putusnya perkawinan serta akibat hukumnya. Dalam
hal ketentuan tentang putusnya pernikahan tidak dimaksudkan bahwa setiap pernikahan yang
diawali dengan khitbah dan aqad nikah nantinya pasti akan sampai pada fase putusnya
pernikahan. Sebaliknya, putusnya pernikahan/ perceraian sangat atau harus dihindari ( ‫أبغض الحالل‬
‫)إلى هللا الطالق‬. Namun ironisnya, angka perceraian saat ini sangat bombastis. Tidak lain, hal ini
disebabkan oleh pemaknaan Fiqih Munakahat yang kurang tepat atau diperlukan pemahaman/
pembacaan ulang Fiqih Munakahat sesuai dengan konteks (fakta) saat ini, demi mengurangi/
menurunkan tingginya angka perceraian. Di samping itu, jika terpaksa “perceraian” menjadi
pilihan, maka bagaimana perceraian ini tidak menimbulkan problem baru atau preseden buruk.
B. Pengertian, Hukum, Rukun, Dan Syarat Nikah
Secara etimologi nikah berasal dari bahasa Arab yang bermakna bersetubuh, berkumpul, dan
akad. Kata nikah merupakan kata asli syar’iy atau Al Qur’an yang diadopsi oleh bahasa Arab itu
senidri sehingga menjaddi kata kebiasaan bagi kaum Muslimin untuk menyatakan perkawinan.
Secara terminologi nikah adalah suatu aqad yang mengandung unsur pembolehan dalam
melakukan hubungan badan (wath) dengan (terlebih dahulu mengucapkan) lafaz nikah atau tazwij
(perkawinan), atau ber-jima' (berkum pul) antara keduanya (suami istri). Dengan kata lain, suatu akad
suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami-istri
dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan untuk mencapai keluarga sakinah, mawaddah,
dan warahmah.1
Pengertian nikah secara Bahasa berarti mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan akan sebuah
hubungan intim dan akad sekaligus, yang di dalam syari’at dikenal dengan akad nikah. Sedangkan
secara syari’at berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan
perempuan, dengan berhubungan intim, menyentuh, mencium, memeluk, dan sebagainya, jika
perempuan tersebut bukan termasuk mahrom dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga.2

Ada beberapa hukum yang berlaku pada pernikahan, yaitu:


1. Wajib
Pernikahan diwajibkan bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan
untuk menikah dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya dia tidak
kawin.
2. Sunah (Mustahab)
Pernikahan menjadi sunah bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untukmelangsungkan pernikahan, akan tetapi jika dia tidak melaksanakan
pernikahan tidak dikhawatirkan akan jatuh ke perbuatan maksiat (perzinaan).
3. Makruh
Pernikahan dikategorikan makruh bila bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukan perkawinan ia juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga
tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang
ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri
dengan baik.
4. Mubah.

1
Nurhayati, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2019), hlm.121
2
Wahbah Az-Zuhaili, fiqih islam wa adilatuhu (Jakarta, 2011), P 38.
Pernikahan dikategorikan mubah bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan
apabila melakukannya juga tidak akan menerlantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya
didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan untuk menjaga kehormatan agama dan
membina keluarga.
5. Haram
Pernikahan diharamkan bagi orang yang dapat dipastikan bahwa ia tidak akan mampu
memberi nafkah istri, baik lahir maupun batin. Nafkah lahir yang dimaksudkan di sini adalah:
membayar mahar dan segala konsekuensi-konsekuensi dalam berumah tangga (papan,
sandang dan pangan). Sedangkan nafkah batin di nataranya adalah kemampuan untuk
melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Termasuk juga hukumnya haram perkawinan
bila seseorang kawin dengan maksud untuk menerlantarkan orang lain atau menyakiti
istrinya.3

Rukun menurut para ulama hanafiah adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu, mejadi
bagian di dalam esensinya.Sedangkan syarat menurut mereka adalah hal yang menentukan
keberadaan sesuatu, dan bukan merupakan bagian di dalam esensinya.Rukun menurut jumhur ulama
adalah hal yang menyebabkan berdiri dan keberaadaan sesuatu. Sesuatu tersebut tidak akan terwujud
melainkan dengannya. Atau dengan kata lain merupakan hal yang harus ada. Dalam perkataan mereka
yang masyhur : rukun adalah hal yang hukum syar’i tidak mungkin ada melainkan dengannya. Atau
hal yang menentukan esensi sesuatu, baik merupakan bagian darinya maupun bukan. Sedangkan
syarat menurut mereka adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu dan bukan merupakan bagian
darinya.
Rukun pernikahan menurut para ulama hanafiah hanya ijab dan qabul saja.Sedangkan menurut
jumhur ulama ada 4, yaitu sighat (ijab dan qabul), istri, suami, dan wali.Suami dan wali dua orang
yang mengucapkan akad. Sedangkan hal yang dijadikan adalah al-istimtaa’(bersenang-senang) yang
merupakan tujuan kedua mempelai dalam melangsungkan pernikahan. Sedangkan mahar bukan
merupakan suatu yang sangat menentukan dalam akad. Mahar hanyalah merupakan syarat seperti
saksi. Itu dengan dalil yang bolehnya menikah dengan caradiwakilkan. Sedangkan saksi adalah
merupakan syarat dalam akad nikah. Dengan demikian, saksi dan mahar dijadikan rukun menurut
istilah yang beredar dikalangan sebagian ahli fiqih.4
• Sighat (Redaksi) Nikah

3
Rusdaya, Fiqh Munakahat (Jakarta: CV. KAAFFAH LEARNING CENTER, 2019) hlm. 12-16.
4
Wahbah Az-Zuhaili, fiqih islam wa adilatuhu, (Jakarta, 2011), P 45.
Bagi yang bisa berbahasa Arab, syighat nikah harus diucapkan secara jelas (sharih), lengkap
dengan ijab dan qabul sebagaimana akad lainnya. Sighat yang diucapkan wali adalah “ aku
nikahkan kamu dengan putriku.” (misalnya) atau “aku nikahkan kamu dengannya.” Sedangkan
sighat yang suami ucapkan adalah ‘aku kawini’, ‘aku nikahi’, atau ‘aku terima nikahnya,’ atau
kawinnya.’ Akad nikah tidak sah kecuali dengan kata ‘ kawinkan,’ atau ‘ nikahkan’ 5. Nikah
adalah bagian dari ibadah karena Nabi SAW menganjurkannya. Segala bentuk dari ucapan dalam
ibadah itu berasal dari tuntunan syara’, dan dalam masalah nikah , syara’ hanya menuntunkan dua
kata, yakni “ kawin” dan “nikah”
Akad perkawinan yang menggunakan bahasa non – Arab (‘ ajam) hukumnya sah, menurut
pendapat yang ashah, meskipun yang lebih baik adalah menggunakan bahasa Arab. Yang jadi
patokan adalah maknanya. Karena “nikah” bukanlah kata yang mengandung kemu’jizatan maka
menggunakan terjemahan kata itupun sudah cukup. Akan tetapi adapun lafal-lafal ijab dan qabul,
diantaranya ada yang disepakati sah untuk menikah, ada yang disepakati tidak sah, dan ada juga
yang masih diperselisihkan.6 Seandainya seorang wali berkata, “ saya kawinkan kamu,” lalu si
peminang menjawab, “saya terima,” tanpa tambahan kata lain, menurut mazhab Syafi’i, nikahnya
tidak sah. Sebab, tidak ada pengungkapan salah satu dari kata “nikah” atau “kawin” secara tegas.
Hanya niat dalam hati saja tidak cukup.
Seandainya si peminang berkata “kawinkanlah aku,” lalu wali menjawab, “ saya kawinkan
kamu,” atau si wali berkata, “kawinilah dia”. Lantas sipeminang menjawab, “saya kawini
dia,”maka dalam dua kasus ini, hukum akad nikahnya tetap sah.
Akad nikah hanya sah jika menggunakan kalimat ijab (persyaratan menikahkan) yang
sempurna (tidak ditaklik atau digantungkan dengan sesuatu). Misalnya seseorang berkata, “jika
fulan pulang haji, aku kawinkan kamu dengan putriku.” Ketentuan ini sama dengan jual beli dan
transaksi lain yang mengandung unsur serah terima. Demikian pula jika berkata, “saya nikahkan
kamu, insyaallah,” dan diabermaksud menggantungkan pernikahan, tanpa maksud apa-apa,
akadnya tidak sah.
Adapun lafal-lafal yang telah di sepakati oleh para ahli fiqih akan keabsahannya dalam
menikah, seperti lafal aku nikahkan dan aku kawinkan. Itu karena keduanya telah termaktub
didalam teks Al- Qur’an dalam firman Allah SWT yang artinya, “dan kami telah mengawinkan

5
Menurut mazhab syafi’i, tidak ada akad yang disyaratkan menggunakan lafazh tertentu selain nikah dan transaksi
salam (pesanan), ini bukan pengulangan pernyataan sebelumnya bahwa akad nikah hanya bisa sah dengan ijab dan
qabul. Mengingat pernyataan pertama adalah tentang syarat shighat, sedang pernyataan ini mengenai ketentuan
syighat.
6
Ad. Duhur al-mukhtaar. 2/ 361-372 al-badaai’; 2/ 229 dan setelahnya, al- lubaab, 3/ 3, mawaahibul jaliil, 3/ 419-423,
asy-syarhul kabiir; 2/ 221, asy-syarhush ahagiir; 2/ 334 dan setelahnya, al-qawaaniin al-fiqhiyyah, hlm. 195, mughnil
muhtajj; 3 / 139, al-muhadzdzab; 2/ 41, bidayatul mujtahid; 2/ 4, kasysyaaful qinaa’; 5/ 36.
dia” (Al-ahzab 37).7 sedangkan lafal-lafal yang telah disepakati akan ketidakabsahannya oleh
para ahli fiqih adalah lafal-lafal ysng tidak menunjukan akan pemberian hak milik sepanjang
hidup, seperti membolehkan, meminjamkan, menyewakan, bersenang-senang sementara, wasiat,
menggadaikan, menitipkan dan semisalnya.
Adapun lafal-lafal yang masih dipersilisihkan adalah seperti lafal, menjual, memberi,
menjual, menghadiahkan, sedekah, memberi atau sejenisnya. Yang menunjukan akan pemberian
hak milik di waktu sekarang dan kelanggengan hak milik seumur hidup.
Adapun jika siwali bermaksud mengharap berkat kalimat ‘insyaallah’ tadi, atau karena
keimanannya dia yakin bahwa segala sesuatu itu atas kehendak Allah SWT maka nikahnya sah.
Jika wali mengawinkan dengan syarat khiyar (pilihan), akadnya batal, karena pernikahan
merupakan akad yang bisa batal dengan adanya batasan waktu. Akad nikah juga batal sebab
khiyar yang batil, seperti halnya akad jual beli.
Selain itu, membatasi lamanya perkawinan dengan batasan waktu tertentu, seperti bilangan
bulan, atau batasan yang tidak jelas seperti datangnya seseorang (zaid misalnya), juga tidak sah.
Itulah yang disebut nikah mut’ah, yang dilarang Syariat. Pada awalnya Islam, nikah semacam ini
dibolehkan bagi orang yang amat butuh, sebagaimana hukum makan bangkai, tetapi kemudian
diharamkan pada perang khaibar.
Syighat qabul (persyaratan menerima pernikahan atau jawaban ijab) harus diucapkan dengan
segera, yakni peminang berkata, “saya kawini....,” atau, “saya nikahi....,” atau, “saya terima
nikahnya....,”atau, “...kawinnya.” seandainya dia hanya mengucapkan, “saya terima,” akadnya
tidak sah. Jika dia berkata, “kawinkalah saya dengan putrimu, fulanah,” lalu wali berkata, “saya
kawinkan kamu....,” maka akadnya sah.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa syarat shighat nikah itu ada empat yaitu:
1. Diucapkan dengan sharih (jelas); bagi yang bisa bahasa Arab, akad nikah tidak sah
menggunakan kata kiasan.
2. Menggunakan kata, “....kawinkan” atau “...nikahkan.” tidak sah selain menggunakan dua kata
itu.
3. Shighat ijab (pernyataan menikahkan) diucapkan secara sempurna, dan shighat qabul
(pernyataan menerima pernikahan) harus disampaikan segera setelah pernyataan ijab. Tidak
sah menaklik pernikahan dengan syarat sesuatu di masa yang akan datang.Mengakhirkan
qabul (pernyataan penerimaan) berdasarkan ukuran kebiasaan juga tidak sah.

7
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 598.
4. Nikah harus dinikahkan untuk selamanya. Artinya, tidak sah membatasi pernikahan dengan
batas waktu tertentu.8

Syarat-syarat Sah Pernikahan

Ada sepuluh syarat yang disyaratkan demi keabsahan sebuah pernikahan, sebagian sudah
menjadi kesepakatan para ulama, dan sebagiannya lagi masih di perselisihkan.

1. Objek cabang
2. Mengekalkan shighat akad
3. Persaksian
4. Ridha dan ikhtiyar (memilih)
5. Menentukan pasangan
6. Tidak sedang ihram haji dan umroh
7. Harus dengan mahar
8. Tidak bersepakat untuk saling merahasiakan
9. Hendaknya salah satu atau keduanya sedang mengidap penyakit yang mengkhawatirkan
10. Wali.9

C. Perwalian Dalam Nikah

• Jenis Perwalian

Keberadaan wali adalah syarat sahnya pernikahan, sebagaimana keberadaan saksi, nikah tidak
sah tanpa wali laki-laki, mukallaf, merdeka, muslim, adil, dan berakal sempurna. Namun,
perkawinan kafir dzimmi tidak butuh keislaman wali, dan orang islam tidak bisa menjadi wali
baginya, kecuali pemerintah. Pemerintah boleh menikahkan wanita-wanita kafir dzimmi jika
mereka tidak mempunyai wali senasab, sesuai ketentuan perwalian yang berlaku.
Seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, meski dengan izin walinya. Dia juga
tidak boleh menikahkan wanita lainnya, meski ditunjuk sebagai wakil atau diberi kuasa oleh wali
wanita tersebut. Dia juga tidak boleh menerima (atau membaca qabul) atas pernyataan ijab
seseorang, demi menjaga tradisi yang baik dan melestarikan sikap malu. Allah SWT berfirman,
“laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri),” (QS. An-Nisa’ [4]: 34).10

8
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), P 456.
9
Wahbah Zuhaili, fiqih islam wa adilatuhu, (Jakarta, 2011), P 67.
10
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 108.
Para fuqoha telah bersepakat syarat bagi sahnya perkawinan adalah dilaksanakannya oleh wali
yang memegang hak memeliharanya, baik dia lakukan sendiri maupun orang lain. Jika terdapat
perwalian yang seperti ini, maka sah dan terlaksana akad perkawinannya. Jika tidak ada maka
akadnya batal menurut jumhur, dan menurut madzhab Hanafi adalah mauqud (terkantung). Jika
akad berlangsung dari seseorang laki-laki dengan pelaksanaan dari dirinya sendiri, maka sah
akadnya menurut kesepakatan fuqaha.11
Asy-Syafi’i berkata, “Firman Allah SWT, ‘maka jangan kalian halangi mereka menikah (lagi)
dengan calon suaminya,’ (QS. AL-Baqarah [2]; 232)12 merupakan dalil yang tegas tentang
pentingnya wali dalam pernikahan. Jika tidak demikian, tentu pemboikotan wali tidak ada artinya.
Ini dipertegas lagi dengan sabda Nabi SAW, ‘tidak ada nikah kecuali dengan wali.13
Akan tetapi, seandainya wali dan hakim tidak ada, lalu siwanita dan peminangnya
menyerahkan perwalian kepada seorang pria yang mampu berijtihad untuk menikahkan mereka,
perwaliannya sah. Sebab pria tersebut berposisi sebagai muhakkam, dan muhakkam itu sama
dengan hakim. Begitu pula, seandainya siwanita beserta peminangnya mengangkat sendiri yang
adil, menurut pendapat yang mukhtar, perwalian ini sah, meskipun wali itu tidak bisa berijtihad.
Alasannya karena mempelai dalam kondisi sangat membutuhkan wali.
Pengakuan wali tentang pernikahan seseorang wanita yang ada dibawah perwaliannya bisa
diterima dengan hadirnya dua saksi yang adil, meski tidak sesuai dengan kemauan si wanita yang
sudah baligh dan berakal jika: (a) hanya wali itu sendiri yang mengajukan bukti tertulis saat ikrar,
(b) dia wali mujbir, dan (c) calon suami sekufu dengan siwanita. Sebab, orang yang mempunyai
bukti tertulis biasanya juga mempunyai pengakuan. Bila tidak ia hanya mengajukan bukti tertulis
tentang pernikahan saat ikrar karena dia bukan wali mujbir, maka pengkunnya tidak diterima,
sebab dia tidak bisa mengajukan bukti tertulis, kecuali atas izin wanita tersebut.
Menurut qaul jadid asy-syafi’i, pengakuan wanita baligh dan berakal bahwa dia telah kawin
dan laki-laki itu membenarkannya, walaupun keduanya tidak sekufu, pengakuan ini bisa diterima,
meski wali dan kedua saksinya – bila wanita itu menunjuk keduanya – membantah pengakuan
tersebut. Alasannya, akad nikah merupakan hak pasangan suami istri. Jadi, akad itu tetap sah
dengan kesepakatan keduannya, seperti halnya akad lain.14

11
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), P 459.
12
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 46.
13
Diriwayatkan al-khamsah ( imam ahmad dan empat imam lain penyusun kitab sunan ), kecuali an-nasa’i, dari abu
musa al-asy’ari.; juga di riwayatkan ibnu hibban dan al-hakim, keduanya mushahikannya, al-hakim berkata,” riwayat
ini shahih, di riwayatkan dari para istri rasulullah, aisyah, ummu salamah, dan zainab binti jahsyi, kemudian menyebar
ke tiga puluh sahabat.’’
14
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), P 461.
• Menurut madzhab Syafi’i Ada dua jenis perwalian, yaitu perwalian yang memiliki hak
memaksa ( wali ijbar ) dan perwalian sukarela ( ikhtiyar ) dan perwalian ( ijbar ) hanya dimiliki
ayah dan kakek saja. Artinya, seorang ayah boleh mengawinkan putrinya yang perawan,
masih kecil maupun sudah besar, berakal penuh maupun kurang, tanpa seizin wanita tersebut.
Namun iya dianjurkan meminta izin putrinya. Seorang ayah tidak boleh menikahkan putrinya
yang janda dan baligh tanpa seijinnya.

Dalil penetapan perwalian ijbar bagi ayah adalah hadist riwayat ad-Daruquthni, “wanita janda
lebih berhak atas dirinya dari pada walinya; sedangkan perawan di nikahkan oleh ayahnya,”juga
riwayat muslim, “wanita perawan di pinangkan oleh ayahnya.”riwayat ini di arahkan pada
pemahaman bahwa meminangkan wanita itu hukumnya sunah, dengan pertimbangan wanita
perawan itu sangat pemalu.
Dalil tidak adanya perwalian ijbar untuk ayah atas janda adalah hadist ad-Daruquthni di
depan, selain juga hadist,”janganlah kalian menikahkan para janda sebelum kalian meminta saran
kepada mereka.”15 Di samping itu, seorang janda telah mengetahui tujuan perkawinan, jadi dia
tidak perlu di paksa, beda halnya degan perawan.
Janda yang baligh hanya dapat dinikahkan bila sudah menyatakan persetujuannya dengan
jelas. Sedangkan perawan baligh dan berakal, menurut pendapat yang ashah, diamnya saja sudah
menunjukkan persetujuan, meskipun di bumbui tangisan. Hal ini sejalan hadist muslim,” janda
lebih berhak atas dirinya dari pada walinya. Sedangkan perawan adalah di pinangkan, dan
persetujuannya adalah diamnya.” Namun jika perawan itu menangis sambil menjerit atau
memukul pipi, ini tidak bisa dianggap sebagai persetujuan, sebab sikap seperti ini menunjukan
ketidak mauan. Adapun hak janda memberikan persyaratan setuju atau tidaknya secara jelas
adalah didasarkan pada hadist, “tidak ada urusan bagi wali atas janda.”16
Adapun status perwalian sukarela (ikhtiyar) diberikan kepada saudara senasab ashabah dari
garis keturunan tepi, seperti saudara laki-laki, paman dari ayah kandung-atau seayah-dan anak
laki-laki keduanya. Mereka sama sekali tidak boleh menikahi wanita dibawah umur, baik masih
perawan atau janda, berakal atau tidak. Sebab, menikahkan mereka harus dengan persetujuan
wanita yang bersangkutan, sedangkan, persetujuan dari kelompok wanita tersebut (yakni saudara
wanita, bibi, dll.) tidak diperhitungkan.Saudara laki-laki dari garis tepi itu boleh menikahkan
wanita baligh dan berakal. Dalam hal ini, kedudukan pemerintah sama dengan saudara laki-laki.17

15
Hr.at-tirmdzi, menurutnya, hadist ini hasan shahih
16
HR. Abu Daud dan yang lain, Al- Baihaqi berkomentar bahwa para riwayatannya tsiqoh.
17
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), P 463.
D. Al-Muharramat (orang orang yang tidak boleh dinikahi)
Sebab-sebab tahrim muaqqad (pengharaman selamanya) ada tiga: pertama karena nasab, kedua
haram mushaharah (ikatan perkawinan) dan ketiga karena penyusuan.

Pertama: perempuan-perempuan yang haram dinikahi karena nasab adalah :


1. Ibu
2. Anak perempuan
3. Saudara perempuan
4. Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah)
5. Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu)
6. Anak perempuan saudara laki-laki (kepnakan)
7. Anak perempuan (saudara perempuan)

Kedua : perempuan-perempuan yang haram diwakin karena mushaharah adalah :

1. Ibu istri (ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami harus dukhul ”bercampur”
lebih dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan puterinya, maka sang ibu menjadi
haram atau menantu tersebut.

2. Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena itu, manakala akad
nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum sempat (mengumpulinya), maka
anak perempuan termasuk halal bagi mantan suami ibunya itu. Hal ini didasarkan pada firman
Allah, ”Tetapi kalian belum bercampur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian campur),
maka tidak berdosa kalian menikahinya.” (An-Nisaa:23).
3. Isteri anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya sekedar
dilangsungkannya akad nikah.

4. Isteri bapak (ibu tiri) diharamkan ats anak menikahi isteri bapak dengan sebab hanya sekedar
terjadinya akad nikah dengannya.

Ketiga : perempuan-perempuan yang haram dikawini karena sepersusuan.18

Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu kalian yang pernah menyusui kalian; saudara
perempuan sepersusuan.” (an-Nisaa’:23).19

18
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta,2010), P 493.
19
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 105.
Nabi saw. bersabda, ”Persusuan menjadikan haram sebagaimana yang menjadi haram karena
kelahiran.” 20
Oleh karena itu, ibu sepersusuan menempati kedudukan ibu kandung, dan semua orang yang
haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu kandung, haram pula dinikahi bapak sepersusuan,
sehingga anak yang menyusui kepada orang lain haram kawin dengan:

1. Ibu susu (nenek)

2. Ibu Ibu susu (nenek dari pihak Ibu susu)

3. Ibu Bapak susu (kakek)

4. Saudara perempuan ibu susu (bibi dari pihak ibu susu)

5. Saudara perempuan bapak susu

6. Cucu perempuan dari Ibu susu

7. Saudara perempuan sepersusuan.21

Persusuan Yang Menjadikan Haram


Dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah saw. Bersabda, ”Tidak bisa menjadikan haram, sekali
isapan dan dua kali isapan.” 22
Dari Aisyah r.a berkata, ”Adalah termasuk ayat Qur’an yang diwahyukan. Sepuluh kali penyusuan
yang tertentu menjadi haram. Kemudian dihapus (ayat) ayat yang menyatakan lima kali penyusuan
tertentu sudah menjadi haram. Kemudian Rasulullah saw wafat, dan ayat Qur’an itu tetap di baca
sebagai bagian dari al-Qur’an.”23 Dipersyaratkan hendaknya penyusuan itu berlangsung selama dua
tahun, berdasar firman Allah,

20Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:139 no:5099, Muslim II:1068 no:1444, Tirmidzi II:307 no:1157, ’Aunul Ma’bud VI:53
no:2041 dan Nasa’i VI:99).Hal.570.

21
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), P 495.
22
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2148, muslim II: 1073 no:1450,Tirmidzi II: 308 no: 1160’Aunul Ma’bud VI: 69 no: 2049,
Ibnu Majah I: 624 no:1941, Nassa’i VI:101).
23
(Shahih: Mukhtashar Muslim no:879m Muslim II:1075 no:1452, ’Aunul Ma’bud VI:67 no:2048, Tirmidzi II:308
no:1160, Ibnu Majah II:625 no:1942 sema’na dan Nasa’i VI:100).
َ‫اعة‬
َ‫ض‬ َّ ‫ْي لِ َم ْن أ ََر َاد أَ ْن يُتِ َّم‬
َ ‫الر‬ ِ ْ َ‫ْي َك ِامل‬
ِ ْ َ‫ات يُر ِض ْعن أ َْوََل َد ُه َّن َح ْول‬ ِ
َ ْ ُ ‫…… َوالْ َوال َد‬

“Para Ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan.” (QS. al-Baqarah :233)24
Dari Ummu Salamah r.anha bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Tidak menjadi haram karena
penyusuan, kecuali yang bisa membelah usus-usus di payudara dan ini terjadi sebelum disapih.”25

Perempuan-Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk Sementara Waktu26


1. Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara

Allah SWT berfirman, ”Dan menghimpun (dalam pernikahan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada mada lampau.” (An-Nisaa’:23).27

2. Mengumpulkan seorang isteri dengan bibinya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya.

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Tidak boleh dikumpulkan (dalam
pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak ayah dan tidak (pula) dari ibunya.”28
3. Isteri orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah.

ِ ِ ِ ‫… والْمحصن‬..
ْ ‫ات م َن الن َساء إََِّل َما َملَ َك‬
‫ت أ َْيَانُ ُك ْم‬ ُ ََ ْ ُ َ
”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu
miliki.” (An-Nisaa’ :24).29
Yaitu diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita yang berstatus sebagai isteri orang
lain, terkecuali wanita yang menjadi tawanan perang. Maka ia halal bagi orang yang menawannya
setelah berakhir masa iddahnya meskipun ia masih menjadi isteri orang lain. Hal ini mengacu pada
hadits dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus pasukan negeri Authas. Lalu mereka
berjumla dengan musunya, lantar mereka memeranginya. Mereka berhasil menaklukkan mereka dan
menangkap sebagian di antara mereka sebagai tawanan. Sebagian dari kalangan sahabat Rasulullah
saw merasa keberatan untuk mencampuri para tawanan wanita itu karena mereka berstatus isteri

24
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 47.
25
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2150 dan Tirmidzi II:311 no:1162).
26
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta,2010), P 498.
27
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 105.
28
(Muttafaqun ’alaih: II:160, Tirmidzi II:297 no:11359 Ibnu Majah I:621 no:1929 dengan lafadz yang sema’na dan
Nasa’i VI:98).
29
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 106.
orang-orang musyrik. Maka kemudian Allah SWT pada waktu itu menurunkan ayat, ”Dan
(diharamkan pula kamu mengawini) wanita-wanita bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki.
’Yaitu mereka halal kamu campuri bila mereka selesai menjalani masa iddahnya.30
4. Wanita yang dijatuhi talak tiga

Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama sehingga ia kawin dengan orang lain dengan
perkawinan yang sah. Allah SWT berfirman,
ِ‫اَّلل‬
َّ ‫ود‬ ِ ِ َ ‫فَإِ ْن طَلَّ َق َها فَ ََل ََِت ُّل لَهُ ِمن ب ْع ُد َح ََّّت تَ ْنكِح َزْو ًجا َغ ْْيهُ فَإِ ْن طَلَّ َق َها فَ ََل ُجنَاح َعلَْي ِهما أَ ْن ي ََت‬
َ ‫يما ُح ُد‬
َ ‫اج َعا إ ْن ظَنَّا أَ ْن يُق‬
ََ َ َ َ َ َْ
‫اَّللِ يُبَ يِنُ َها لَِق ْوٍم يَ ْعلَ ُمو َن‬
َّ ‫ود‬ َ ْ‫َوتِل‬
ُ ‫ك ُح ُد‬
”Kemudian jika si suami mentalaqnya (ssudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal
lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin
kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-
hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Al-Baqarah :230).31

5. Kawin dengan wanita pezina

Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga tidak halal bagi
seorang perempuan kawian dengan seorang laki-laki pezina, terkecuali masing-masing dari keduanya
tampak jelas sudah melakukan taubat nashuha. Allah menegaskan,

‫ك َعلَى الْ ُم ْؤِمن‬ ِ


َ ‫الزانِيَةُ َل يَْنكِ ُحها إَِلَّ ز ٍان أ َْو ُم ْش ِرٌك َو ُح ِرَم ذل‬
َّ ‫الزاين َل يَْنكِ ُح إَِلَّ زانِيَةً أ َْو ُم ْش ِرَكةً َو‬
َّ
“Laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini kecuali perempuan berzina atau perempuan musryik;
dan perempuan yang berzina tidak boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berzina atau laki-laki
yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (An-Nuur : 3).32

30
(Shahih: Mukhtashar Muslim no:837, Muslim II:1079 no:1456, Trimidzi IV: 301 no:5005, Nasa’i 54 VI:110 dan ’Aunul
Ma’bud VI:190 no:2141).
31
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 46.
32
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 488.
E. Putus Perkawinan dan Akibat-Akibatnya.

1. Talak

Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan alasan bahwa seorang
laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu
daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan pertimbangan yang demikian
tadi diharapkan kejadian perceraian akan lebih kecil, kemungkinannya daripada apabila hak talak
diberikan kepada isteri. Di samping alasan ini, ada alas an lain yang memberikan wewenang/hak
talak pada suami, antara lain:

a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari pihak isteri waktu
dilaksanakan akad nikah.
b. Suami wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah dan dianjurkan
membayar uang mu’tah (pemberian sukarela dari suami kepada isterinya) setelah suami
mentalak isterinya.
c. Suami wajib memberi nafkah isterinya pada masa iddah apabila ia mentalaknya.
d. Perintah-perintah mentalak dalam Al-Quran dan Hadist banyak ditujukan

2. Khuluk
Talak khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan
jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri dengan
tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu.
Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk mengimbangi hak talak yang
ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan
perkawinan dengan cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri pada suaminya
disebut juga dengan kata “iwald”.
3. Syiqaq
Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti perselisihan suami-isteri yang
diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri.
4. Fasakh
Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu
diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama.
5. Taklik Talak
Arti daripada ta’lik ialah menggantungkan, jadi pengertian ta’lik talak ialah suatu talak yang
digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang
telah diperjanjikan lebih dahulu.
Di Indonesia pembacaan ta’lik talak dilakukan oleh suami setelah akad nikah. Adapun sighat
ta’lik talak yang tercantum dalam buku nikah dari Departemen Agama adalah sebagai berikut:
6. Ila’
Arti daripada ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan
bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni
suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri
tidak ditalak ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang
menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.
7. Zhihar
Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila’. Arti zhihar ialah seorang suami
yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah
demikian itu berarti suami telah menceraikan isterinya. Masa tenggang serta akibat zhihar sama
dengan ila’. Ketentuan mengenai zhihar ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 2-4, yang
isinya:
8. Li’an
Arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima
laknat Tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya perkawinan
antara suami-isteri untuk selama-lamanya.
9. Kematian
Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami atau isteri. Dengan
kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta peninggalan yang meninggal.

Akibat Perceraian
Hal-hal apa yang perlu dilakukan oleh pihak isteri maupun suami setelah terjadi perceraian
diatur dalam pasal 41 Undang-Undang Perkawinan yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memlihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya.
b. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggungjawab pihak bapak, kecuali
dalam kenyataannya bapak dalam keadaan tidak mampu sehingga tidak dapat melakukan
kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.

Kesimpulan
Dari penjelasan munakahat diatas maka dapat disimpulkan bahwa munakahat tidak hanya
sekedar membahas perkawinan saja, akan tetapi membahas tentang adanya rukun-rukun nikah,
syarat serta aturan-aturan lain yang berkenaan dengan pernikahan secara mendetail dan jelas
sesuai dengan rujukan Qur’an dan Hadis.
DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam 9. Al-Kattanie, AH, dkk, Penerjemah. Muhajir, Arif,
Penyunting. Jakarta: Gema Insani.

Basri, Rusdaya. 2019. Fiqh Munakahat. Jakarta: CV. KAAFFAH LEARNING CENTER.

Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006)

Nurhayati, Ali Imran. 2019. Fiqh dan Ushul Fiqh Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP

Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Imam Syafi’i. Afifi, Muhammad, Hafiz Abdul, Penerjemah.
Fachruddin, Alif, Solihin, Editor. Jakarta: Almahira.

Anda mungkin juga menyukai