Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dengan menggunakan
lambang-lambang yang bermakna dari komunikator kepada komunikan dengan suatu
tujuan tertentu (Siregar, 2020). Tujuan proses komunikasi yaitu perubahan berupa
penambahan pengetahuan, merubah pendapat, memperkuat pendapat serta merubah sikap
dan perilaku komunikan atau dikenal dalam tiga tingkatan perubahan atau efek dari suatu
proses komunikasi yaitu: perubahan pada pengetahuan (kognitif) perubahan pada
perasaan (afektif) dan perubahan pada perilaku (behavioral) (Nela et al., 2021).
Komunikasi dapat berbentuk verbal, elektronik, atau tertulis. Komunikasi yang buruk
dapat membahayakan pasien. Komunikasi yang rentan terjadi kesalahan adalah saat
perintah lisan atau perintah melalui telepon, komunikasi verbal, saat menyampaikan hasil
pemeriksaan kritis yang harus disampaikan lewat telepon. Hal ini dapat disebabkan oleh
perbedaan aksen dan dialek. Pengucapan dapt juga menyulitkan penerima perintah untuk
memahami perintah yang diberikan, misalnya nama-nama obat yang rupa dan ucapannya
mirip (look alike, sound alike) (Siregar, 2020).
Rumah Sakit yang bermutu adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
melalui penyelenggaraan pelayanan secara paripurna pada unit unit gawat darurat, rawat
jalan, rawat inap, ruang tindakan dan ruang perawatan khusus. Didalam sebuah Rumah
Sakit terdiri dari berbagai profesi; yaitu medik (dokter umum, dokter spesialis),
keperawatan (perawat klinik, bidan) dan profesi lainnya (farmasi, analis, radiografer,
dll.) yang memilki kebiasaan dan latar belakang masing-masing profesinya. Namun
untuk bekerja dalam melayani kebutuhan pasien dengan prinsip "patient centre care",
masing-masing profesi tidak bisa bekerja sendiri-sendiri, tetapi harus menjadi sebuah tim
yang solid, kompak, serta bekerjasama (Pangerapan et al., 2018). Untuk mewujudkan
teamwork yang solid, kompak, saling bekerjasama, dibutuhkan komunikasi yang baik
diantara sesama anggotanya. Komunikasi efektif dapat diterapkan untuk menjadi solusi
sehingga masing-masing anggota saling memahami dan menghargai demi tercapainya
tujuan bersama. Berkomunikasi efektif berarti bahwa komunikator dan komunikan sama-
sama memiliki pengertian yang sama tentang suatu pesan. Oleh karena itu, dalam bahasa
asing orang menyebutnya “the communication is in tune”, yaitu kedua belah pihak yang
berkomunikasi sama-sama mengerti apa pesan yang disampaikan (Hayward et al., 2014).
Kolaborasi interprofesi adalah kerja sama antar profesi kesehatan dari latar
belakang profesi yang berbeda dengan pasien dan keluarga pasien untuk memberikan
kualitas pelayanan yang terbaik (Digregorio et al., 2019). Upaya meminimalisir
terjadinya kesalahan medis atau yang terkait dengan aspek keselamatan pasien, maka
manajemen rumah sakit perlu menciptakan sistem keselamatan pasien. Hubungan
kolaborasi interprofesi dalam pelayanan kesehatan melibatkan sejumlah profesi
kesehatan, namun kolaborasi antara dokter dan perawat merupakan factor penentu yang
sangat penting bagi kualitas proses perawatan (Andriyanto & Hidayati, 2021). Perawat
merupakan profesi yang memberikan pelayanan kepada pasien di rumah sakit selama 24
jam dalam sehari, sehingga perannya dalam penerapan keselamatan pasien sangat
diharapkan. Pelayanan yang ada di rumah sakit merupakan pelayanan yang multidisilpin
sehinga bisa berpotensi terjadinya pelayanan yang tumpang tindih, terjadinya konflik
interprofesional dan juga keterlambatan pemeriksaan dan tindakan (Yulita et al., 2019).
Pada suatu kolaborasi, dibutuhkan komunikasi yang baik antar sesama. Melakukan
percakapan dengan pasien dan anggota keluarga mereka merupakan bagian integral dari
kerja klinis Perawat Praktek Lanjutan (APN), dan selama itu APN harus mengenali dan
mengelola komunikasi verbal dan nonverbal dengan terampil (Dawson et al., 2020).
Komunikasi dapat efektif apabila pesan diterima dan dimengerti sebagaimana
dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan oleh
penerima pesan dan tidak ada hambatan untuk hal itu. Komunikasi yang efektif terjadi
bila pendengar menangkap dan menginterpretasikan ide yang disampaikan dengan tepat
seperti apa yang dimaksud oleh pembicara (Dawson et al., 2020). Strategi efektif sangat
dibutuhkan jika melihat pelayanan kesehatan di rumah sakit yang memiliki banyak
profesi yang berbeda. Strategi dalam menyusun membuath sesuatu yang akan
membangkitkan kerja sama diantar profesi dengan professional. Sama halnya ketika
menjalan tugas dari masing-masing profesi , harus menggunakan komunikasi yang
efektif. Kemampuan untuk bekerja dengan profesional dari disiplin lain untuk
memberikan kolaboratif, patient centred care dianggap sebagai elemen penting dari
praktek profesional yang membutuhkan spesifik perangkat kompetensi (Merrill et al.,
2018).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian
Komunikasi efektif adalah komunikasi yang tepat sasaran dan mencapai tujuan.
Komunikasi dikatakan efektif jika, informasi, ide atau pesan yang disampaikan dapat
diterima dan dipahami dengan baik sehingga terbentuk kesamaan persepsi, perubahan
perilaku atau saling mendapatkan informasi atau menjadi paham (Hoerunnisa et al.,
2019). Komunikasi efektif adalah komunikasi yang mampu menghasilkan perubahan
sikap (attitude change) pada orang yang terlibat dalam komunikasi. proses komunikasi
efektif artinya proses dimana komunikator dan komunikan saling bertukar informasi, ide,
kepercayaan, perasaan dan sikap antara dua orang atau kelompok yang hasilnya sesuai
dengan harapan. Meningkatkan komunikasi yang efektif merupakan sasaran yang kedua
dari 6 (enam) sasaran keselamatan pasien (Setiawati et al., 2021).

2.2 Strategi Penerapan


Komunikasi Efektif yang diterapkan di Rumah Sakit Krakatau Medika adalah
dengan menggunakan Strategi SBAR yang terdiri dari :
1. S : Situation; Yakni penjelasan situasi terkini yang terjadi pada pasien.
2. B : Background; Yakni informasi penting apa yang berhubungan dengan kondisi dan
latar belakang pasien terkini.
3. A : Assessment; Yakni hasil pengkajian kondisi pasien terkini/ terakhir.
4. R : Recommendation; Yakni rekomendasi apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi
masalah terhadap pasien yang bersangkutan.
Hal lain yang diterapkan dalam komunikasi efektif antara lain penyampaian
informasi tentang hal kritis. Jika diperoleh hasil atau data pemeriksaan yang bersifat
"kritis" (memenuhi kriteria kritis); setiap profesi terkait harus segera menyampaikannya
kepada yang berkepentingan dan berwenang dalam bidangnya (Barratt, 2018). Beberapa
aktifitas yang membutuhkan komunikasi efektif antar profesi antara lain adalah :
komunikasi/ instruksi dalam bentuk lisan atau telepon, penyampaian data/ hasil periksaan
kritis, sistem rujukan, serta aktifitas serah terima pasien.
Komunikasi yang efektif ini akan membuat para Profesional Pemberi Asuhan
(PPA) yang bekerjasama akan mampu mendeteksi masalah kesehatan lebih awal,
meningkatkan akurasi diagnosis, mencegah krisis medis dan intervensi yang mahal, serta
menghindari long stay perawatan. Selain itu juga dapat meningkatkan pengetahuan
pasien terhadap masalah kesehatannya, juga meningkatkan kepatuhan pasien terhadap
proses terapi dan pencegahan penyakit (Iskandar et al., 2020). Komunikasi yang efektif
antar profesi pemberi asuhan, akan sangat membantu peran integrasi dan coordinative
care pada para pasien. Pada akhirnya, hal ini akan meningkatkan kepuasan pasien,
penggunaan sumber dana kesehatan yang cost effective, mencegah terjadinya insiden
keselamatan pasien, meningkatkan mutu pelayanan, meningkatkan image pelayanan dan
menurunkan kemungkinan tuduhan pelayanan yang kurang baik (Merrill et al., 2018).

2.3 Definisi Praktisi Perawat Tingkat Lanjut (APN)


Untuk memahami sepenuhnya konteks peran keperawatan tingkat lanjut dalam
konsultasi, penting untuk mendefinisikan praktisi perawat tingkat lanjut. Di Inggris
Raya, Royal College of Nursing (2012) memandang praktisi perawat tingkat lanjut
sebagai perawat terdaftar yang melakukan praktik keperawatan pada tingkat yang lebih
tinggi dari yang telah disiapkan oleh pelatihan awal mereka, dan yang telah dipersiapkan
lebih lanjut melalui universitas berbasis program pendidikan praktik klinis lanjutan.
Biasanya, program pendidikan untuk praktik klinis lanjutan di Inggris terdiri dari modul
akademik klinis yang berkaitan dengan praktik klinis lanjutan, seperti penilaian
kesehatan, patofisiologi, penalaran klinis, dan farmakologi terapan (Barratt, 2018).
Praktisi perawat tingkat lanjut, dan perawat yang bercita-cita untuk peran ini,
diperlukan untuk memahami bagaimana berkomunikasi secara efektif dan secara
kolaboratif dengan pasien dan perawat selama konsultasi, dengan tujuan meningkatkan
hasil pasien seperti peningkatan kepuasan pasien, kemampuan untuk mengelola
perawatan kesehatan sendiri. kebutuhan dan kepatuhan terhadap rencana perawatan
(Iskandar et al., 2020).

2.4 Lima fase interaksi konsultasi Interaksi sosial


1. Fase awal (pembuka)
Penelitian observasional tentang proses komunikasi dan interaksi sosial dalam
konsultasi telah menunjukkan bahwa interaksi gaya yang berpusat pada pasien lebih
sering digunakan secara signifikan pada fase pembukaan konsultasi daripada interaksi
gaya biomedis. Jenis interaksi khas yang terjadi pada fase pembukaan adalah
komentar pribadi atau percakapan sosial dan pertanyaan terbuka, yang digunakan oleh
praktisi perawat tingkat lanjut untuk menetapkan agenda konsultasi. Berbagai agenda
dapat ditimbulkan oleh praktisi perawat tingkat lanjut menggunakan pertanyaan
terbuka, seperti “Bagaimana saya bisa membantu?”, diperkuat dengan mendengarkan
dengan penuh perhatian atau dorongan ketika pasien berbicara. Ini mendorong pasien
untuk mengangkat masalah apa pun yang ingin mereka diskusikan dan memastikan
bahwa praktisi perawat tingkat lanjut siap dan menerima kekhawatiran pasien.
Fase pembukaan juga merupakan waktu yang penting bagi mereka yang
berpartisipasi dalam konsultasi untuk membangun kedekatan sosial satu sama lain,
seperti mengingat dan mengomentari pertemuan sebelumnya, jika ada. Telah dicatat
bahwa ketika praktisi perawat tingkat lanjut mengingat pasien pada tingkat pribadi,
ada rasa kesinambungan perawatan yang terkoordinasi, dengan hubungan yang
mendukung dan kepercayaan yang dikembangkan selama periode waktu tertentu.
2. Fase memahami
Penelitian observasional dari konsultasi praktisi perawat tingkat lanjut telah
menunjukkan bahwa interaksi gaya yang berpusat pada pasien terjadi lebih sering
daripada interaksi gaya biomedis dalam fase riwayat konsultasi. Praktisi perawat
tingkat lanjut menggunakan interaksi gaya yang berpusat pada pasien secara
signifikan lebih sering daripada yang dilakukan pasien. Contoh interaksi gaya
berpusat pada pasien yang digunakan oleh praktisi perawat tingkat lanjut termasuk
menunjukkan persetujuan atau pemahaman dan mendengarkan atau mendorong
dengan penuh perhatian, yang semuanya merupakan strategi komunikasi yang
digunakan untuk mendorong pasien untuk terus berbicara. Strategi ini gaya interaksi
yang berpusat pada pasien, sangat penting bagi dokter untuk praktisi perawat tingkat
lanjut dalam fase riwayat konsultasi, ketika mencoba untuk memperoleh riwayat
koheren dari pasien atau pengasuh mereka. Mendorong pasien untuk berbicara
memungkinkan mereka untuk sepenuhnya menghubungkan informasi tentang masalah
yang mereka hadapi. Fase riwayat juga merupakan waktu ketika pasien harus diberi
ruang untuk mengangkat beberapa item agenda yang mungkin ingin mereka
diskusikan dalam konsultasi. Menanggapi memunculkan beberapa item agenda dalam
fase pembukaan konsultasi, pasien akan sering menggunakan gaya interaksi biomedis
lebih sering dalam fase sejarah daripada praktisi perawat tingkat lanjut; terutama
untuk memberikan informasi tentang kondisi medis mereka dan obat-obatan terkait.
3. Tahap pemeriksaan
Penelitian observasional telah menunjukkan bahwa dalam fase pemeriksaan
konsultasi, praktisi perawat tingkat lanjut dan pasien menggunakan frekuensi yang
sama dari interaksi gaya yang berpusat pada pasien, seperti menunjukkan persetujuan
atau pemahaman. Praktisi perawat tingkat lanjut; Namun, interaksi gaya biomedis
semakin banyak digunakan dalam fase pemeriksaan, khususnya memberikan orientasi
atau instruksi untuk membimbing pasien selama pemeriksaan klinis. Pemeriksaan ini
sering secara bersamaan didukung oleh apa yang dikenal sebagai “komentar online”,
di mana praktisi perawat tingkat lanjut secara lisan melaporkan kepada pasien apa
yang mereka lakukan dan apa yang mereka identifikasi. selama pemeriksaan fisik.
Pelaporan temuan pemeriksaan negatif, yaitu temuan di mana minimal atau tidak ada
tanda-tanda klinis dicatat, dapat membantu dalam meyakinkan pasien.
4. Fase konseling
Dalam fase konseling konsultasi, di mana diagnosis, jika diperlukan, dan
perencanaan perawatan terjadi, interaksi gaya yang berpusat pada pasien lebih sering
terjadi secara keseluruhan daripada interaksi gaya biomedis. Ini biasanya melibatkan
praktisi perawat tingkat lanjut dan pasien yang menunjukkan persetujuan atau
pengertian, atau komentar pribadi dan percakapan sosial. Dibandingkan dengan
pasien, praktisi perawat tingkat lanjut menggunakan interaksi gaya biomedis lebih
sering dalam fase konseling untuk memberikan informasi tentang kondisi medis dan
perawatan. Ini tampaknya bertentangan dengan kalimat pertama yang menyatakan
bahwa interaksi yang berpusat pada pasien terjadi lebih sering daripada interaksi
biomedis? Mohon klarifikasi, atau maksud Anda bahwa APN lebih sering
menggunakan interaksi gaya biomedis dalam fase konseling daripada fase lainnya?
Saya telah membuat beberapa perubahan kecil untuk mengklarifikasi. Maksud saya
bahwa secara keseluruhan dalam fase konseling, interaksi yang berpusat pada pasien
lebih sering digunakan, tetapi sebagai perbandingan, praktisi perawat tingkat lanjut
menggunakan interaksi biomedis lebih sering daripada pasien, dan konseling
mengenai rejimen terapeutik, seperti mendiskusikan obat yang akan diresepkan.
5. Fase penutupan
Penelitian observasional menunjukkan bahwa pada fase penutupan konsultasi
dan seperti fase pembukaan, gaya interaksi yang berpusat pada pasien mendominasi.
Gaya interaksi yang berpusat pada pasien tersebut termasuk komentar pribadi atau
percakapan sosial yang terkait dengan gerakan ramah dan salam perpisahan. Beberapa
interaksi gaya biomedis masih harus terjadi pada fase penutupan, terutama yang
terkait dengan saran mengenai kondisi dan perawatan medis, tindak lanjut, dan gejala
yang memburuk dan menetap, dan kapan dan di mana harus mencari saran lebih
lanjut.
BAB 3
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Komunikasi yang baik, ikhlas, tulus, dan penuh perhatian merupakan metode
yang sangat efektif untuk mewujudkan suasana yang saling mempercayai, saling
menghargai, dan saling menghormati antara tenaga kesehatan dengan pasien. Hal ini
bermakna keadaan pasien sangat tergantung terpaan komunikasi interpersonal tenaga
kesehatan. Komunikasi tenaga kesehatan yang baik bisa memberikan kepuasan bagi
pasien, sedangkan komunikasi yang buruk bisa menimbulkan kekecewaan atau kurang
puas bagi pasien, untuk itu diharapkan tenaga kesehatan agar selalu memperhatikan cara
berkomunikasinya dengan pasien agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
DAFTAR PUSTAKA

Andriyanto, A., & Hidayati, R. N. (2021). Improving collaboration skills among nursing
students through disaster preparedness simulation. Enfermeria Clinica, 31, S644–S648.
https://doi.org/10.1016/j.enfcli.2021.07.010
Barratt, J. (2018). Collaborative communication: learning from advanced clinical practice
patient consultations. Nursing Standard, 33(1), 27–32.
https://doi.org/10.7748/ns.2018.e11094
Dawson, R., Davis, V., Gibbs, S., & Graham, C. (2020). Teaching Communication Skills to
Advanced Practice Nursing (APN) Students Using Linguistic-Based Communication
Training. Nursing Education Research Conference, 21–27.
Digregorio, H., Graber, J. S., Saylor, J., & Ness, M. (2019). Assessment of interprofessional
collaboration before and after a simulated disaster drill experience. Nurse Education
Today, 79(May), 194–197. https://doi.org/10.1016/j.nedt.2019.05.023
Hayward, M. F., Curran, V., Curtis, B., Schulz, H., & Murphy, S. (2014). Reliability of the
Interprofessional Collaborator Assessment Rubric (ICAR) in multi source feedback
(MSF) with post-graduate medical residents. BMC Medical Education, 14(1).
https://doi.org/10.1186/s12909-014-0279-9
Hoerunnisa, A., Suryani, N., & Efendi, A. (2019). the Effectiveness of the Use of E-Learning
in Multimedia Classes To Improve Vocational Students’ Learning Achievement and
Motivation. Kwangsan: Jurnal Teknologi Pendidikan, 7(2), 123.
https://doi.org/10.31800/jtp.kw.v7n2.p123--137
Iskandar, A. M., Hairuddin, K., & Halim, H. (2020). Komunikasi Interpersonal Tenaga
Keperawatan Dengan Tingkat Kepuasan Pasien. Jurnal Ilmiah Umum Dan Kesehatan
Aisyiyah, 5(2), 96–102.
Merrill, K. G., Merrill, J. C., Hershow, R. B., Barkley, C., Rakosa, B., DeCelles, J., &
Harrison, A. (2018). Linking at-risk South African girls to sexual violence and
reproductive health services: A mixed-methods assessment of a soccer-based HIV
prevention program and pilot SMS campaign. Evaluation and Program Planning,
70(March), 12–24. https://doi.org/10.1016/j.evalprogplan.2018.04.010
Nela, A. S., Machmud, R., & Susanti, M. (2021). Hubungan Kompetensi Perawat
Penanggung Jawab Asuhan (PPJA) Dengan Kualitas Handover Pasien. Jurnal
Endurance: Kajian Ilmiah Problema Kesehatan, 6(1), 1–10.
Pangerapan, D. T., Palandeng, O. E. L. I., & Rattu, A. J. M. (2018). Hubungan Antara Mutu
Pelayanan Dengan Kepuasan Pasien di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum
Gmim Pancaran Kasih Manado. Jurnal Kedokteran Klinik, 2(1), 9–18.
Setiawati, Rohayani, L., & Akmaludin, I. (2021). Pengetahuan Perawat Pelaksana Dengan
Penerapan Model Asuhan Keperawatan Profesional Penyakit Dalam dan Bedah. Journal
of Telenursing (JOTING), 3(2), 423–428.
https://doi.org/https://doi.org/10.31539/joting.v3i2.2095 PENGETAHUAN
Siregar, N. S. S. (2020). Komunikasi Terapeutik Tenaga Kesehatan Terhadap Pasien Rawat
Inap Dalam Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Rumah Sakit Haji Medan. Inovasi,
17(1), 21–30. https://doi.org/10.33626/inovasi.v17i1.191
Yulita, L., Elisabeth, H., & Akto, Y. (2019). Hubungan Penerapan Metode Asuhan
Keperawatan Profesional (MAKP) Dengan Kinerja Perawat. Chmk Nursing Scientific
Journal, 3(2), 126–133.

Anda mungkin juga menyukai