Anda di halaman 1dari 5

ESSAI PANCASILA DALAM DIMENSI ONTOLOGIS,

EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGIS

DISUSUN OLEH :
NAMA : REZA SHOLAHUDIN
NIM : 215060400111061
JURUSAN : TEKNIK PENGAIRAN

DOSEN MATAKULIAH :
ABDULLAH, S.sos., M.Hub.Int

TAHUN AJARAN
2021/2022

SEMARANG
Pancasila Dalam Ontologis
Secara ontologis, penyelidikan Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk
mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap
sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, malainkan memiliki satu kesatuan
dasar ontologism. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki
hakikat mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis, karena itu juga disebut sebagai dasar
antropologis. Subyek pendukung pokok dari sila-sila Pancasila adalah manusia.
Manusia sebagai pendukung sila-sila dalam pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang
mutlak dimana tersusun atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Sifat kodrat
manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial serta sebagai makhluk pribadi
dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Maka secara hirarkis sila pertama mendasari dan
menjiwai sila-sila Pancasila lainnya. (lihat Notonagoro, 1975: 53).
Ciri-ciri dasar dalam setiap pancasila mencerminkan sifat-sifat dasar manusia yang bersifat
‘dwi-tunggal’. Artinya eksistensi, sifat dan kualitas pancasila amat bergantung pada manusia
indonesia. Selain ditemukan adanya manusia Indonesia sebagai pendukung pokok pancasila,
secara ontologis, realitas yang menjadikan sifat-sifat melekat dan dimiliki pancasila dapat
diungkap sehingga identitas dan entitas pancasila itu menjadi sangat jelas. Landasan sila -sila
pancasila yaitu Tuhan, Manusia, Rakyat, dan Adil adalah sebagai sebab dan negara adalah
akibat.
Pancasila juga memenuhi syarat sebagai dasar filsafat negara. Mengacu kepada filsafat
aristotelian, ada empat macam sebab yang menurut notonegoro dapat digunakan untuk
menetapkan pancasila sebagai dasar filsafat negara yaitu :
a. Sebab berupa materi (causa material)
b. Sebab berupa bentuk (causa formalis)
c. Sebab berupa tujuan (causa finalis)
d. sebab berupa karya (causa efisien)
Notonegoro menjelaskan lebih rinci keempat causa tersebut adalah :
1. Pertama bangsa Indonesia sebagai asal mula bahan terdapat dalam adat kebiasaan,
kebudayaan, dan dalam agama-agamanya.
2. Kedua, seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia yaitu Bung Hatta menjadi bentuk Pembentuk Negara, sebagai asal mula
bentuk atau bangun.
3. Ketiga, asal mula tujuan dari pancasila calon dasar filsafat negara yaitu sejumlah
sembilan orang, diantarannya kedua tokoh sukarno dan hatta, ditambah dengan semua
anggota BPUPKI yang terdiri atas golongan-golongan kebangsaan dan agama, dengan
menyusun rencana Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dimana terdapat
pancasila dan juga Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
yang menerima rencana tersebut dengan perubahan sebagai asal mula sambungan,
baik dalam arti asal mula bentuk maupun dalam arti asal mula tujuan dari pancasila
sebagai calon dasar filsafat negara.
4. Keempat, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai asal mula karya, yaitu
yang menjadikan Pancasila sebagai dasar filsafat negara yang sebelumnya ditetapkan
sebagai calon dasr filsafat negara.
Pancasila Dalam Epistemologis
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, dan
validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses dan syarat
terjadinya pengetahuan, batas dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi adalah ilmu
tentang ilmu atau teori terjadinya ilmu atau science of science. Menurut Titus (1984:20)
terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:
a. Tentang sumber pengetahuan manusia
b. Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia
c. Tentang watak pengetahuan manusia
Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar
ontologisnya. Maka, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep
dasarnya tentang hakikat manusia.Pancasila sebagai suatu obyek pengetahuan pada
hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan dan susunan pengetahuan Pancasila.
Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama adalah nilai-
nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai tersebut merupakan kausa materialis
Pancasila.Susunan kesatuan sila-sila pancasila adalah bersifat hierarkis dan berbentuk
pyramidal.
Sifat hirarkis dan bentuk piramidal itu nampak dalam susunan Pancasila, di mana sila
pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya, sila kedua didasari sila
pertama dan mendasari serta menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima, sila ketiga didasari
dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima,
sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan
menjiwai sila kelma, sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga dan keempat.
Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal, yaitu:
1) Isi arti Pancasila yang umum universal, yaitu hakikat sila-sila Pancasila yang merupakan
inti sari Pancasila sehingga merupakan pangkal tolak dalam pelaksanaan dalam bidang
kenegaraan dan tertib hukum Indonesia serta dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang
kehidupan konkrit.
2) Isi arti Pancasila yang umum kolektif, yaitu isi arti Pancasila sebagai pedoman kolektif
negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia.
3) Isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan konkrit, yaitu isi arti Pancasila dalam realisasi
praksis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki sifat khhusus konkrit serta
dinamis (lihat Notonagoro, 1975: 36-40)
Dengan demikian kebenaran dan pengetahuan manusia merupapakan suatu sintesa yang
harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia
untuk mendapatkankebenaran yang tinggi.Selanjutnya dalam sila ketiga, keempat, dan
kelima, maka epistemologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama dalam
kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Sebagai suatu paham epistemologi, maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa
ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka
moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu
tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.
Selain itu dilihat dari sisi epistemologi terkait sumber pengetahuan, teori, dan watak
pengetahuan yang dihasilkan manusia, maka sumber pertama pengetahuan pancasila adalah
berasal dari nilai-nilai, adat-istiadat dan religiusitas bangsa sendiri. Karena pancasila
didasarkan pada nilai- nilai budaya sendiri, maka pancasila memiliki sistem pengetahuan
yang berkesesuaian atau bersifat korespondensi. Selain itu, watak pengetahuan pancasila
bersifat formal dan logis, baik dalam pengertian arti susunan sila-silanya maupun isi sila-sila
yang bersifat hierarkis piramidal sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Pancasila Dalam Dimensi Aksiologis
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan.
Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila.
Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang
artinya pikiran, ilmu atau teori. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan,
disukai atau yang baik. Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai, dan
kedudukan metafisika suatu nilai.
Nilai (value dalam Inggris) berasal dari kata Latin valere yang artinya kuat, baik, berharga.
Dalam kajian filsafat merujuk pada sesuatu yang sifatnya abstrak yang dapat diartikan
sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness). Nilai itu sesuatu yang berguna.
Nilai juga mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan.
Nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan
manusia (dictionary of sosiology an related science). Nilai itu suatu sifat atau kualitas yang
melekat pada suatu obyek. Ada berbagai macam teori tentang nilai.
1. Max Scheler mengemukakan bahwa nilai ada tingkatannya, dan dapat dikelompokkan
menjadi empat tingkatan, yaitu:
a. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat nilai yang mengenakkan dan nilai yang
tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita.
b. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang penting dalam kehidupan,
seperti kesejahteraan, keadilan, kesegaran.
c. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang
sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam
ini misalnya, keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.
d. Nilai-nilai kerokhanian: dalam tingkat ini terdapat moralitas nilai yang suci dan tidak suci.
Nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi. (Driyarkara, 1978)
2. Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusia ke dalam delapan kelompok:
a. Nilai-nilai ekonomis: ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat
dibeli.
b. Nilai-nilai kejasmanian: membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan
badan.
c. Nilai-nilai hiburan: nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan
pada pengayaan kehidupan.
d. Nilai-nilai sosial: berasal mula dari pelbagai bentuk perserikatan manusia.
e. Nilai-nilai watak: keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan.
3. Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam,, yaitu:
a. Nilai material, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia.
b. Nilai vital, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakana kegiatan
atau aktivitas.
c. Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani
Pancasila juga memiliki nilai intrinsik dan ekstrinsik atau instrumental. Pancasila
mengandung nilai, baik intrinsik maupun ekstrinsik atau instrumental. Nilai intrinsik
pancasila adalah hasil perpaduan dan konvergensi antara nilai asli milik bangsa Indonesia dan
nilai yang diambil dari budaya luar Indonesia, baik yang diserap pada saat Indonesia
memasuki masa sejarah abad IV masehi, masa imperealis, maupun yang diambil oleh para
kaum cendekiawan seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan kawan-
kawan pejuang kemerdekaan Indonesia lain yang mengambil nilai-nilai modern saat belajar
ke negara Belanda. Kekhasan nilai yang melekat dalam pancasila sebagai nilai intrinsik
terletak pada diakuinya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
keadilan sosial sebagai satu kesatuan.
Pancasila sebagai nilai instrumental mengandung imperatif dan menjadi arah dalam proses
mewujudkan cita-cita negara bangsa. Kehidupan berbangsa seharusnya menyesuaikan dengan
sifat-sifat yang ada dalam pancasila, yakni nilai ketuhanan, kemanusiaan,persatuan,
kerakyatan dan keadilan sosial. Sebagai intrumental, pancasila tidak hanya mencerminkan
identitas manusia Indonesia, melainkan juga berfungsi sebagai cara dalam mencapai tujuan,
bahwa dalam mewujudkan cita-cita negara, bangsa Indonesia menggunakan cara-cara yang
berketuhanan, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan, berkerakyatan yang
menghargai musyawarah mufakat dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai