Epidemiologi
Insiden
Faktor resiko
Patofisiologi
Proses patologik
Perdarahan intracerebral biasanya terjadi pada lobus serebral, ganglia basal, thalamus,
batang otak (terutama pons) dan cerebellum (Gbr. 2). Perluasan kedalam vetrikel dihubungkan
dengan kedalaman dan luas hematom. Edema parenkim sering mengalami perubahan warna
disebabkan oleh pemecahan hemoglobin yang terlihat dekat dengan bekuan darah. Pada
pemeriksaan histologi tampak adanya edema, kerusakan saraf, makrofag dan neutrofil di wilayah
sekitar hematoma.
Asal hematom
Perdarahan intraparenkim berasal dari penetrasi akibat rupturnya arteri basiler,atau arteri
cerebri anterior, media atau posterior. Perubahan degeneratif pada pembuluh darah disebabkan
oleh hipertensi kronis yang mengurangi compliance dan meningkatkan kemungkinan ruptur
spontan.
Perkembangan hematom
Gejala klinis
Status neurologis
Kerusakan sekunder
Outcome (hasil)
Tingkat mortalitas 6 bulan setelah perdarahan intracerebral spontan adalah sekitar 23%-
58%. Skor GCS (Glasgow Coma Scale) yang rendah, volume hematom yang besar, dan adanya
darah di ventrikel pada awal CT-Scan merupakan faktor yang konsisten diidentifikasi sebagai
prediksi dari angka kematian yang tinggi. Broderick et al. menemukan bahwa tingkat kematian
dalam satu bulan yang terbaik diprediksi dengan menentukan nilai awal pada Glasgow Coma
Scale dan volume awal hematoma. Dalam studi mereka, pasien yang pada awalnya memiliki
skor Glasgow Coma Scale kurang dari 9 dan volume hematoma lebih dari 60 ml memiliki angka
kematian sebesar 90 % dalam satu bulan, sedangkan pasien dengan skor 9 atau lebih dan volume
hematom kurang dari 30 ml memiliki angka kematian sebesar 17%.
Diagnosis
Meskipun onset yang cepat dan tingkat gangguan penurunan kesadaran mengarah pada
diagnosis perdarahan intracerebral (Gbr. 4), namun untuk membedakan antara infark serebral
dan perdarahan intracerebral membutuhkan pencitraan otak. Pada awal CT-Scan lokasi dan
ukuran dari hematom, darah pada ventrikel dan terjadinya hidrosefalus harus diperhatikan.
Beberapa pasien harus menjalani angiografi konvensional untuk mencari penyebab sekunder
perdarahan intracerebral, seperti aneurisma, malformasi arteriovena dan vaskulitis. Zhu et al.
melaporkan terdapat kelainan pada angiografi pada 49 % pasien dengan perdarahan lobar dan
65% pada pasien dengan perdarahan intraventricular terisolasi. Para penulis ini juga melaporkan
bahwa 48 % pasien dengan tekanan darah normal dan dibawah usia 45 tahun memiliki kelainan
pada angiografi, sedangkan pasien hipertensi yang lebih tua dari 45 tahun tidak memiliki
kelainan vascular yang mendasari.
Atas dasar bukti ini, pasien dengan perdarahan lobar atau perdarahan intraventricular
primer harus menjalani angiografi tanpa memandang usia atau ada atau tidak adanya riwayat
hipertensi. Pasien dengan perdarahan cerebral, putamen atau thalamus harus menjalani
angiografi jika merka memiliki tekanan darah normal dan usia 45 tahun atau dibawah 45 tahun.
AHA merekomendasikan angiografi untuk semua pasien perdarahan tanpa sebab yang jelas yang
mempunyai indikasi untuk operasi, terutama pasien muda tanpa hipertensi yang kondisi klinisnya
stabil. Waktu untuk melakukan angiografi konvensional tergantung pada kondisi klinis pasien
dan waktu pembedahan. Magnetic Resonance Imaging dengan gadolinium sebagai media kontras
dan angiografi resonansi magnetik juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab
sekunder dari perdarahan intracerebral, walaupun sensitivitas mereka tidak baik. Angiography
konvensional juga harus dipertimbangkan pada pasien yang memiliki bekuan darah pada
subarachnoid yang berhubungan dengan parenkim dan pada pasien yang mengalami perdarahan
berulang. Pada pasien yang awalnya tidak ditemukan kelainan pada pencitraan, tetapi memiliki
kemungkinan tinggi untuk terjadinya perdarahan intracerebral sekunder pada temuan klinis,
angiografi dapat diulang dua sampai empat minggu setelah perbaikan dari hematom, ketika
kelaianan vaskular dapat terlihat.
Penatalaksanaan
Tantangan utama bagi dokter di ruang darurat adalah ketika untuk intubasi pasien.
Intubasi awal dengan mengunakan anestesi jangka pendek penting pada pasien dengan penuunan
kesadaran atau pada pasien dengan gangguan reflex pada jalan napas. Keterlambatan dalam
perlindungan jalan napas dapat menyebabakan aspirasi, hipoksemia dan hypercapnia. Adanya
deteriosasi (penurunan fungsi) secara cepat, tanda-tanda klinis herniasi transtentorial atau
hidrosefalus pada CT-Scan harus dikonsultasikan kepada Bedah saraf secepat mungkin.
Penggunaan hiperventilasi dan manitol intravena dan penempatan kateter intraventricular untuk
drainase cairan serebrospinal dapat melindungi struktur otak dari kerusakan mekanis dan iskemia
sampai dekompresi bedah dapat dilakukan. Akhirnya, mengingat ketersediaan terapi trombolitik,
diferensiasi awal antara infark serebral dan perdarahan intracerebral oleh CT scan sangat penting
untuk pengelolaan stroke akut.
Efek massa karena volume hematoma, edema jaringan yang mengelilingi hematoma, dan
hidrosefalus obstruktif dengan herniasi yang menetap menjadi penyebab sekunder kematian
dalam beberapa hari pertama setelah perdarahan intracerebral. Karena sifat lokal dari efek massa
dan adanya kompensasi ruang karena kenaikan volume oleh ruang ventrikel dan sub-arakhnoid,
peningkatan tekanan intracranial yang progresif hanya ditemui pada pasien dengan perdarahan
intracerebral masif. Lokasi kerusakan mekanis dan bahkan herniasi transtentorial dapat dilihat
pada tidak adanya peningkatan tekanan intrakranial secara keseluruhan. Pada binatang percobaan
yang diinduksi dengan perdarahan intracerebral, penggunaan hiperventilasi dan agen osmotic
meningkatkan aliran darah cerebral dan metabolisme dipengaruhi oleh herniasi transtentorial
tetapi tidak mempunyai efek pada hipertensi intracranial sedang. Oleh karena itu, pengobatan
dengan agen osmotik dan hiperventilasi direkomendasikan pada pasien dengan herniasi cerebral.
Kortikosteroid harus dihindari, karena uji coba acak telah gagal untuk menunjukkan keberhasilan
pada pasien dengan perdarahan intracerebral.
Peningkatan tekanan darah biasa terjadi setelah perdarahan intracerebral dan hal ini
dihubungkan dengan perluasan hematom. Tekanan darh tinggi juga dapat merupakan respon
nonspesidik terhadap stress. Tekanan darah tinggi juga bisa menjadi respon pelindung (disebut
Cushing-Kocher respon) yang tujuannya adalah untuk mempertahankan perfusi serebral terutama
pada pasien dengan kompresi batang otak.
Adanya darah pada ventrikel dihubungkan dengan tingginya tingkat mortalitas. Efek ini
mungkin berhubungan dengan perkembangan dari hirocephalus obstruktif atau efek massa
langsung darah ventrikel dalam struktur periventrikuler, yang berhubungan dengan hipoperfusi
global cortex. Darah pada ventrikel juga mengganggu fungsi normal cairan serebrospinal dengan
menginduksi asidosis laktat lokal. Drainase eksternal cairan serebrospinal melalui kateter
ventrikel mengurangi tekanan intracranial, efek menguntungkan pada hidrocephalus dan status
neurologis ini juga diimbangi dengan adanya bekuan pada kateter dan adanya infeksi. Untuk
memudahkan pengeluaran darah pada ventrikel dengan cepat dan efektif, upaya baru- baru ini
memfokuskan pemberian trombolitik agent intraventrikuler pada pasien dengan perdarahan
intracerebral spontan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pemberian intraventricular dari
urokinase setiap 12 jam sampai drainase eksternal cairan cerebrospinal tidak lagi diperlukan
untuk mengurangi angka kematian yang diharapkan dalam satu bulan.
Evakuasi Bedah
Tujuan dari evakuasi bedah hematoma adalah untuk mengurangi efek massa, blok
pelepasan produk neuropatik dari hematoma, dan mencegah interaksi berkepanjangan antara
hematoma dan jaringan normal yang dapat menginduksi proses patologis. Namun manfaat dari
evakuasi perdarahan pada ganglion basal, thalamus melaui open craniotomy tertutupi oleh karena
adanya kerusakan saraf dan terjadi perdarahan sebagai akibat hilangnya efek tamponade dari
jaringan sekitarnya. Meta-analisa dari tiga percobaan acak perdarahan supratentorial telah
dilaporkan bahwa, dibandingkan dengan 126 pasien yang tidak menjalani operasi, 123 pasien
dengan perdarahan intracerebral yang menjalani bedah evakuasi melalui kraniotomi terbuka
tingkat kematian lebih tinggi atau terdapat ketergantungan pada enam bulan (83% vs 70 % ).
Upay kraniotomi secara dini tidak mengubah hasilnya dan pada umumnya dikaitkan dengan
kemungkinan peningkatan perdarahan berulang.
Untuk mencegah proses patologis sekunder dan membatasi kerusakan saraf dan risiko
perdarahan berulang terkait dengan kraniotomi terbuka, penelitian sekarang difokuskan pada
evakuasi bedah awal dengan penggunaan stereotactic dan pendekatan endoskopi. Pendekatan ini
memungkinkan evakuasi dari hematoma yang menyebabkan kerusakan minimal pada jaringan
normal di atasnya (Gbr. 5). Zuccarello et al. melaporkan, evakuasi bedah, kraniotomi, atau
aspirasi stereotactic dalam waktu 24 jam setelah timbulnya gejala-gejala pada pasien dengan
perdarahan intracerebral. Kemungkinan hasil yang baik lebih tinggi pada pasien yang menjalani
operasi (56%) dibandingkan dengan mereka yang menerima pengobatan medis saja (36%). Auer
et al. melakukan penelitian pada 100 pasien yang menjalani evakuasi stereotacticguided
endoskopi dalam waktu 48 jam setelah masuk atau mendapatkan pengobatan medis saja. Dalam
enam bulan, hasilnya lebih baik pada kelompok bedah endoskopi, 40 % dari pasien tersebut tidak
memiliki defisit atau hanya defisit minimum, dibandingkan dengan 25 % pasien pada kelompok
medis. Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan pemberian trombolitik agent melalui kateter
intracranial ke dalam matriks hematom setiap enam sampai delapan jam dengan aspirasi
bersamaan menunjukkan penurunan volume hematom 50% dalam waktu 3 hari dengan tingkat
perdarahan berulang dan kematian yang rendah.
Kejang dan perdarahan berulang
Kebanyakan kejang terjadi pada awal perdarahan intracerebral atau dalam 24 jam
pertama. Antikonvulsan biasanya dapat dihentikan setelah bulan pertama pada pasien yang tidak
kejang lagi. Pasien yang mengalami kejang lebih dari dua minggu setelah awal perdarahan
intracerebral memiliki risiko tinggi untuk serangan lebih lanjut dan mungkin memerlukan
pengobatan profilaksis jangka panjang dengan antikonvulsan.
Arakawa et al. melaporkan tingkat perdarahan berulang sebanyak 2% per tahun pada 74
pasien yang mengalami perdarahan intracerebral akibat hipertensi. Lokasi perdarahan
intracerebral selanjutnya biasanya berbeda dari perdarahan yang pertama. Perdarahan berulang
terjadi sebanyak 10 % per tahun pada pasien dengan tekanan darah diastolik rata-rata lebih dari
90 mmHg dan 1,5 % pada mereka dengan tekanan darah diastolik kurang dari 90 mmHg. Para
peneliti menyimpulkan bahwa rata-rata tekanan darah diastolik lebih besar dari 90 mm Hg
dikaitkan dengan tingkat peningkatan perdarahan berulang, yang menunjukkan pentingnya
pemberian antihipertensi yang tepat.
Pendekatan yang tepat untuk masalah-masalah seperti pengobatan tekanan darah dan
indikasi untuk evakuasi bedah pada pasien dengan perdarahan intracerebral masih kontroversial.
Sebuah uji coba secara acak diperlukan untuk menentukan efek pengobatan tekanan darah pada
perluasan hematoma. Teknik pembedahan yang maksimal untuk menghilangkan hematom,
mengurangi kerusakan jaringan normal dan pencegahan perdarahan postoperasi membutuhkan
perkembangan dan penelitian selanjutnya. Akhirnya, penggunaan terapi trombolitik untuk
membantu resolusi bekuan darah ventrikel tampaknya menjanjikan, uji coba secara acak untuk
menentukan kemanjuran dan keamanan dari pendekatan ini sedang berlangsung.