Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

A.UJI MAERIILL (JUDICIAL REVIEW) TERHADAP


UNDANG-UNDANG NO.30 TAHUN 2002 (Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
Nomor perkara : Nomor 37-39/PUU-VIII/2010 Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia
1. Pokok Perkara
Pokok perkara mengenai uji materiil (judicial review) atas Undang-undang
no 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Krupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250, selanjutnya disebut
UU KPK) pada pasal 29 angka 4 dan angka 5 terkait dengan sayarat
pencalonan ketua KPK.
Bahwa Pasal 29 UU KPK berbunyi:
Untuk dapat diangkat sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Warga negara Republik Indonesia;
2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
3. Sehat jasmani dan rohani;
4. Berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian
dan “pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas)
tahun” dalam bidang hukum,ekonomi, keuangan, atau perbankan;
5. Berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan
setinggitingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses
pemilihan;
6. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
7. Cakap,jujur,memiliki integritas moral yang tinggi dan memiliki
reputasi yang baik;
8. Tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
9. Melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama
menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi;

PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 1


10. Tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi dan;
11. Mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
Selanjutnya kedudukan pasal 29 UU KPK dikaitkan dengan Hak Asasi
Manusia (HAM) dalam UUD 1945 dan asas equality before the law dan
alasan yuridis lainya.

2. Pihak-pihak yang berpekara


M. Farhat Abbas, S.H., M.H.(Pemohon I) beserta Prof. Dr. (Jur). O.C.
Kaligis, S.H. (Pemohon II) tidak dapat atau tidak berkenan menjadi
kadidat calon Ketua KPK karena tidak memenuhi prasyarat yang diajukan
oleh Undang-undang KPK. Para pemohon tersebut mengajukan judicial
review kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang di pimpin oleh Moh.
Mahfud MD sebagai hakim ketua majelis.

3. Uraian kasus posisi


Lembaga Negara yaitu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK) menyatakan membuka peluang untuk menjadi ketua KPK dengan
persyaratan seperti yang di atur dalam Undang-undang no. 30 tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang
mengatur prasayaratnya dalam pasal 29.
Dalam persyaratan tersebut terdapat 2 (dua) hal penting yaitu angka 4
(empat) dan angka 5 (lima) yaitu :
• Berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian
dan “pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas)
tahun” dalam bidang hukum,ekonomi, keuangan, atau perbankan.
• Berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan
setinggitingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses
pemilihan.
Hal-hal tersebut menjadi penting karena menjadi bahan judicial review
bagi Para Pemohon yang tidak dapat melengkapi persyaratan tersebut.

PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 2


M. Farhat Abbas, S.H., M.H.(Pemohon I) menginginkan Mahkamah
Konstitusi untuk mengubah atau membatalkan pasal 29 angka 4 dan
angka 5 karena usia dan pengalaman dalam profesinya masih kurang dari
15 tahun profesi dan usia harus lebih dari 40 tahun dan kurang dari 65
tahun. Alasan mengajukan judicial review berdasarkan alasan
diskriminatif.
Prof. Dr. (Jur). O.C. Kaligis, S.H. (Pemohon II) menginginkan
Mahkamah Konstitusi mengubah atau membatalkan pasal 29 angka 5 dan
memundurkan pengumuman hasil sleksi ketua KPK, karena pada saat
tersebut Pemohon II berusia mendekati 68 tahun dan pengumuman hasil
seleksi yang terlebih dahulu terpublikasikan dari pada putusan Mahkamah
Konstitusi yang masih harus menunggu beberapa waktu lagi. Alasan
mengajukan judicial review berdasarkan asas equality before the law yang
dikaitkan dengan usia pejabat Negara (mentri).

B. KASUS POSISI
Berawal dari perubahan status Ketua KPK (Antasari Azhar) yang menjadi
terdakwa dalam kasus prmbunuhan Nasrudin Zulkarnain. Sehingga KPK
membuka kesempatan untuk menggantikan kedudukan Ketua KPK.
Pendaftaran disertai pengumuman akan berlangsung pada tanggal 24-26
Juni 2010, dengan prasayarat yang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (UU no. 30 tahun 2002).
Bahwa M. Farhat Abbas, S.H., M.H.(Pemohon I) telah mengajukan
permohonan dengan surat permohonan bertanggal 27 Mei 2010, yang
didaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut
Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Rabu, tanggal 2 Juni 2010 dengan
registrasi perkara Nomor 37/PUU-VIII/2010, yang telah diperbaiki dan
diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 21 Juni 2010. Prof. Dr.
(Jur). O.C. Kaligis, S.H. (Pemohon II) mengajukan permohonan dengan
surat permohonan bertanggal 31 Mei 2010, yang didaftar di Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada
hari Rabu, tanggal 3 Juni 2010 dengan registrasi perkara Nomor 39/PUU-

PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 3


VIII/2010, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah
pada tanggal 18 Juni 2010 dan tanggal 21 Juni 2010.

BAB 2
ISU HUKUM
Isu Hukum dari : M. Farhat Abbas, S.H., M.H. (Pemohon I)
DALAM POKOK PERKARA:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menguatkan putusan provisi yang dimohonkan Pemohon;
3. Menyatakan Pasal 29 angka 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250),
khususnya frasa pengalaman sekurangkurangnya 15 (lima belas)
tahun bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1),
dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
4. Menyatakan Pasal 29 angka 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250),
khususnya frasa pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas)
tahun tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala
akibat hukumnya;
5. Menyatakan Pasal 29 angka 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945;
6. Menyatakan Pasal 29 angka 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137,

PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 4


Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat
hukumnya;
7. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
sebagaimana mestinya.

Isu Hukum dari : Prof. Dr. (Jur). O.C. Kaligis, S.H. (Pemohon II)
DALAM POKOK PERKARA:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pihak Terkait ini untuk
seluruhnya;
2. Memberi Penafsiran Yang Tegas terhadap Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 Pasal 29 angka 5, yakni menyatakan bahwa
penafsiran berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun
dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses
pemilihan lalah seseorang yang akan diangkat menjadi Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi wajib memenuhi kriteria berumur
sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya
65 (enam puluh lima) tahun pada akhir proses pemilihan. Untuk itu
jika usia Pihak Terkait dihitung belum mencapai 40 (empat puluh)
tahun pada awal proses seleksi, tetapi pada akhir proses seleksi
atau proses pemilihan telah mencapai umur 40 (empat puluh)
tahun, maka bendasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Pasal 29 ayat 5, Pihak Terkait telah memenuhi persyaratan umur
untuk mengikuti seleksi atau pemilihan Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi;
3. Menyatakan bahwa apabila tidak adanya penafsiran sebagaimana
angka 2 Petitum ini, maka akan sangat merugikan hak
konstitusional Pemohon, sehingga bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik 52 Indonesia Tahun 1945, terutama
Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3); Pasal 28C ayat (1), ayat (2);
Pasal 28D ayat (1), ayat (2), ayat (3); Pasal 28G ayat (1); Pasal 28H
ayat (2); Pasal 28I ayat (1), ayat (2); dan Pasal 28J ayat (1);

PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 5


4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.

BAB 3
ISI DAN PERTIMBANGAN PUTUSAN
• Menimbang bahwa permasalahan utama dari permohonan para
Pemohon a quo adalah menguji Pasal 29 angka 4 dan angka 5
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4250, selanjutnya disebut UU KPK) terhadap Pasal 27 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945);
• Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok
permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah)
terlebih dahulu akan mempertimbangkan:
a. kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo; dan
b. kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon;

Kewenangan Mahkamah
 Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal
10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah 53 Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358),
Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 6


yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap UUD 1945;
 Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah untuk
menguji konstitusionalitas norma Pasal 29 angka 4 dan angka 5 UU
KPK terhadap UUD 1945, oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo; Kedudukan
Hukum Legal Standing) Pemohon
 Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang
dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945
dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang
yang mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih
dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51
ayat (1) UU MK;
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
 Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20
September 2007, serta Putusan-putusan selanjutnya, berpendirian
bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional

PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 7


sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima
syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus)
dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan,
maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi;
 Menimbang, para Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusional
para Pemohon yang telah diberikan oleh Pasal 27 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 telah
dilanggar dengan berlakunya Pasal 29 angka 4 dan angka 5 UU KPK;
 Menimbang bahwa dari ketentuan hukum mengenai syarat
kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud Pasal 51
ayat (1) UU MK junctis Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005
dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 serta dihubungkan dengan fakta-
fakta hukum atas diri Pemohon, Mahkamah berpendapat para
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan pengujian Pasal 29 angka 4 dan angka 5 UU
KPK;
 Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus permohonan a quo, serta para Pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing), oleh karena itu
Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan;

PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 8


Pendapat Mahkamah
Dalam Provisi
 Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya
mengajukan permohonan provisi sebagai berikut:
1. Memerintahkan Panitia Seleksi calon Pengganti Pimpinan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk menerima berkas
pendaftaran Pemohon dan menyatakan Pemohon lolos dalam
proses seleksi administratif.
2. Memerintahkan Panitia Seleksi Calon Pengganti Pimpinan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengikutsertakan
Pemohon pada semua tahapan pelaksanaan seleksi calon pengganti
Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
3. Memutuskan menunda batasan waktu seleksi pendaftaran calon
Ketua KPK sampai dengan diputuskannya Putusan Akhir atas
Permohonan Uji Materiil Pasal 29 angka 5 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137.
Terhadap permohonan provisi para Pemohon a quo, Mahkamah
mempertimbangkan dengan beberapa alasan sebagai berikut:
• bahwa permohonan provisi tersebut bukanlah merupakan
kewenangan Mahkamah Konstitusi, karena kewenangan Mahkamah
Konstitusi sudah diatur secara tegas dalam Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 yang kemudian diulang kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf
a sampai dengan huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk 1) Menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945; 2) Memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3)
Memutus pembubaran partai politik, dan; 4) Memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum”;

PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 9


• bahwa selain itu, permohonan provisi yang diajukan Pemohon tidak
tepat menurut hukum karena tidak terkait langsung dengan pokok
permohonan a quo dengan beberapa alasan:
i) dalam Pengujian Undang-Undang (judicial review), putusan
Mahkamah hanya menguji norma abstrak, tidak mengadili kasus
konkret. Oleh karena permohonan provisi Pemohon sudah masuk ke
kasus konkret maka Mahkamah tidak dapat mengabulkannya;
ii) sejalan dengan alasan yang pertama maka Mahkamah harus
menolak permohonan putusan provisi terkait perintah penerimaan
berkas pendaftaran dari Pemohon dan mengikutsertakan Pemohon
pada semua tahapan pelaksanaan seleksi calon pengganti Pimpinan
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena putusan
Mahkamah tentang norma dalam kasus Pengujian Undang-Undang
(judicial review) bersifat erga omnes. Artinya, berlaku umum dan
mengikat untuk semua kasus di seluruh Indonesia. Oleh sebab itu,
Mahkamah tidak dapat memutus kasus konkret yang tertuju hanya
terhadap satu kasus seperti dalam permohonan a quo karena kalau
itu dilakukan berarti bertentangan dengan sifat erga omnes
tersebut;
iii) putusan Mahkamah bersifat prospektif sesuai dengan ketentuan
Pasal 58 UU MK serta Pasal 38 dan Pasal 39 Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang, sehingga apa pun amar putusan
Mahkamah dalam perkara a quo tidak berlaku surut terhadap
perkara konkret yang sudah berlangsung;
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, permohonan provisi a
quo tidak tepat menurut hukum karena tidak terkait langsung dengan
pokok permohonan a quo, sehingga Mahkamah berpendapat menolak
permohonan provisi yang dimohonkan Pemohon;

Dalam Pokok Permohonan


 Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan mengenai pokok
permohonan, Mahkamah perlu mempertimbangkan bahwa terhadap
PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 10
permohonan a quo, Mahkamah memandang permohonan dan
keterangan Pemohon yang telah diberikan pada sidang pendahuluan
sudah mencukupi, sehingga Mahkamah tidak perlu mendengar
keterangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah. Hal tersebut
sejalan dengan ketentuan Pasal 54 UU MK yang menyatakan
“Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah
rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan
Daerah, dan/atau Presiden.”
 Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mempersoalkan
konstitusionalitas frasa “pengalaman sekurang-kurangnya 15
(lima belas) tahun” sebagai termuat dalam Pasal 29 angka 4 UU
KPK, dan batas umur minimal sekurang-kurangnya 40 tahun dan batas
umur maksimal setinggi-tingginya 65 tahun sebagai syarat bagi
seseorang untuk menjadi Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 angka 5 UU
KPK. Menurut para Pemohon ketentuan tersebut bertentangan dengan
UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat
(1), dan Pasal 28I ayat (2);
 Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya para Pemohon
mengajukan bukti yang diberi tanda Bukti PI-1 sampai dengan Bukti PI-
15 dan Bukti PII-1 sampai dengan Bukti PII-4;
 Menimbang bahwa terhadap persoalan hukum tersebut Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut: · Bahwa Komisi Pemberantasan
Korupsi adalah lembaga negara yang bersifat independen yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan
manapun, yang Pimpinannya terdiri dari 5 (lima) orang yang
merangkap sebagai anggota yang terdiri atas unsur pemerintah dan
unsur masyarakat dengan tujuan agar sistem pengawasan yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi

PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 11


Pemberantasan Korupsi. Di dalam UU KPK khususnya Pasal 29 telah
ditentukan syarat-syarat untuk menjadi Pimpinan KPK, yaitu:
“Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. …..;
2. .....;
3. ….;
4. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki
keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas)
tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan;
5. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan
setinggitingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses
pemilihan;
6. ...... dst.;
· Bahwa persyaratan “pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas)
tahun”, harus dibaca secara keseluruhan yaitu, berijazah sarjana
hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman
sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum,
ekonomi, keuangan, atau perbankan. Hal tersebut merupakan syarat
yang harus dipenuhi untuk
menduduki jabatan publik (public office) in casu persyaratan untuk
menjadi Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam
Penjelasan Umum UU KPK dinyatakan, “Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai anggota yang
semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur
pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
Pengalaman tersebut penting mengingat lembaga yang akan dipimpin
merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.
PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 12
Oleh karena itu, syarat pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima
belas) tahun merupakan syarat yang harus dipenuhi seseorang jika ingin
menjadi Pimpinan
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Walaupun UUD 1945
memberikan jaminan hak bersamaan dalam hukum dan pemerintahan
serta hak atas pekerjaan bagi setiap orang tetapi hak-hak tersebut juga
dapat dibatasi oleh ketentuan Undang-Undang menurut ketentuan Pasal
28J ayat (2) UUD 1945. Dalam ketentuan a quo pembatasan ini diperlukan
dalam rangka menjamin berjalannya fungsi lembaga KPK yang
independen untuk kepentingan publik. Dengan demikian, menurut
Mahkamah Pasal 29 angka 4 UU KPK tidak bertentangan dengan Pasal 27
ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
· Bahwa Pasal 29 angka 5 UU KPK merupakan persyaratan untuk
menduduki jabatan publik (public office) in casu persyaratan untuk
menjadi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemenuhan hak untuk
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan bukan berarti
negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat-syaratnya,
sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan
kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang
bersangkutan dan tidak mengandung unsur diskriminasi. Jabatan maupun
aktivitas pemerintahan banyak macamragamnya, sehingga kebutuhan
dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda di antara
bermacam-macam jabatan atau aktivitas pemerintahan tersebut. Dalam
kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia
minimal atau maksimal tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum
untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD
1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk
Undang-Undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal
itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy)
pembentuk Undang-Undang. Oleh sebab itulah, persyaratan usia minimal
untuk masingmasing jabatan atau aktivitas pemerintahan diatur secara
berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundang-undangan sesuai
dengan karakteristik kebutuhan jabatan masing-masing;
PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 13
· Persyaratan tersebut tidak hanya berlaku untuk Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi, tetapi juga untuk jabatan publik lainnya yang
telah diatur dalam Undang-Undang, seperti persyaratan untuk menjadi
Hakim Konstitusi, “berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun
pada saat pengangkatan”, [vide Pasal 16 ayat (1) huruf c UU MK],
persyaratan untuk menjadi Hakim Agung, berusia sekurang-kurangnya 45
(empat puluh lima) tahun”, (vide Pasal 7 huruf a angka 1 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung), batas usia minimal
untuk berhak memilih dalam pemilihan umum ditentukan 17 tahun atau
sudah kawin atau sudah pernah kawin (vide Pasal 1 angka 22 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden). Dapat saja
batas usia minimal ataupun maksimal bagi keikutsertaan warga negara
dalam jabatan atau kegiatan pemerintahan itu diubah sewaktu-waktu oleh
pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan
perkembangan yang ada. Hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan
pembentuk Undang-Undang yang tidak dilarang. Bahkan, seandainya pun
suatu Undang-Undang tidak mencantumkan syarat usia minimal (maupun
maksimal) tertentu bagi warga negara untuk dapat mengisi suatu jabatan
atau turut serta dalam kegiatan pemerintahan tertentu, melainkan
menyerahkan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan di
bawahnya, hal demikian pun merupakan kewenangan pembentuk
Undang-Undang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa
ketetapan pembentuk Undang-Undang mengenai syarat usia seseorang
pejabat adalah suatu kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) yang
berapa pun usia minimal dan
maksimal yang ditetapkan tidak dapat dikategorikan sebagai ketentuan
yang tidak konstitusional;
· bahwa persyaratan untuk menduduki jabatan publik (public office) in
casu persyaratan untuk menjadi Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak
PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 14
Pidana Korupsi merupakan bagian dari hak-hak sipil dan politik (civil and
political rights) sehingga tidak dapat dicampur aduk dengan persyaratan
untuk mendapatkan pekerjaan (beroep), karena hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak adalah bagian dari hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya (economic,
social, and cultural rights). Oleh karena itu, dalil para Pemohon a quo
adalah tidak tepat;
 Menimbang bahwa syarat pengalaman maupun syarat pembatasan
usia bukanlah sesuatu yang bersifat diskriminasi,
 Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang
diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat, kendatipun Mahkamah
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo dan
para Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing)
berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK untuk mengajukan permohonan
Pengujian Undang-Undang a quo terhadap UUD 1945, namun pokok
permohonan tidak beralasan hukum;
KONKLUSI
Menimbang bahwa berdasarkan penilaian hukum dan fakta tersebut di
atas,
Mahkamah berkesimpulan:
1. Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo;
2. Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing);
3. Permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan hukum;
4. Dalil-dalil para Pemohon tidak berdasar dan tidak beralasan hukum.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 98,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4316), Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076);
PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 15
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
Dalam Provisi
· Menolak provisi para Pemohon;
Dalam Pokok Permohonan
· Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

Dalam hal ini pada pokoknya hakim berpendapat bahwa batasan usia dan
pengalaman dalam prasayarat sleksi Pimpinan KPK bukan merupakan
perbuatan yang diskriminatif dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

BAB 4
ANALISIS PUTUSAN
Jika dicermati lebih dalam terkait rasa diskriminatif dalam hak warga
negara dalam mencari pekerjaan yang layak dengan adanya batasan usia
dan lamanya pengalaman terdapat bentuk atau pola piker hakim. Pola
pikir terhadap Undang-Undang yang berlaku (UUD 1945) dengan Undang-
Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Krupsi (KPK) dapat
dikategorikan dalam beberapa bentuk interpretasi.
Dalam pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 menyebutkan : “Hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat”. Artinya seorang Hakim
harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum
(Recht vinding). Yang dimaksud dengan Recht vinding adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam
penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Dan
hasil penemuan hukum menjadi dasar baginya untuk mengambil
keputusan.1

1
Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
1993.
PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 16
Berdasarkan hal tersebut, putusan Hakim MK (Mahfud MD) dapat di
kategorikan dalam 3 (tiga) klasifikasi.
1. Metode Interprestasi secara historis yaitu menafsirkan Undang-
undang dengan cara melihat sejarah terjadinya suatu Undang-undang.
Penafsran historis ini ada 2 yaitu :
a. Penafsiran menurut sejarah hukum (Rechts historische interpretatie)
adalah suatu cara penafsiran dengan jalan menyelidiki dan
mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang
berhubungan dengan hukum seluruhnya.
Contoh : KUHPerdata (BW) yang dikodifikasikan pada tahun 1848 di
Hindia Belanda. Menurut sejarahnya mengikuti code civil Perancis
dan di Belanda (Nederland) di kodifikasikan pada tahuan 1838.
b. Penafsiran menurut sejarah penetapan suatu undang-undang
(Wethistoirsche interpretatie) yaitu penafsiran Undang-undang
dengan menyelidiki perkembangan suatu undang-undang sejak
dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi dilegislatif, maksud
ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk Undang-undang
pada waktu pembentukannya.2
Jika di tinjau dari segi historis lahirnya UUD 1945 merupakan bentuk
induk dari peraturan di bawahnya, sehingga bersifat umum. Peratuaran
UU no. 30 tahun 2002 (KPK) merupakan bentuk khusus dari kodifikasi
Negara Indonesia.
2. Metode interpretasi secara sistematis yaitu penafsiran yang
menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu
per Undang-undangan yang bersangkutan, atau dengan Undang-
undang lain, serta membaca penjelasan Undang-undang tersebut
sehingga kita memahami maksudnya.3
Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan persamaan UU KPK dengan MK
yang memiliki prasyarat untuk menjadi ketua KPK / MK terkait batasan

2
LIZA ERWINA, SH.M.HUM, Makalah PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM (RECHT
VINDING), Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara, 2002.
Hlm. 3
3
Ibid. 4
PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 17
umur dan pengalaman kerja di bidang khusus selama waktu-waktu
tertentu.
3. Metode Interpretasi Restriktif yaitu penafsiran yang
membatasi/mempersempit maksud suatu pasal dalam Undang-undang
seperti : Putusan Hoge Road Belanda tentang kasus Per Kereta Api
“Linden baum” bahwa kerugian yang dimaksud pasal 1365
KUHPerdata juga termasuk kerugian immateril yaitu pejalan kaki harus
bersikap hati-hati sehingga pejalan kaki juga harus menanggung
tuntutan ganti rugi separuhnya (orang yang dirugikan juga ada
kesalahannya)4
Dalam hal ini hakim memberikan batasan terhadap perluasan
beberapa pasal yang mengatur HAM dan diskriminatif. …UUD 1945
memberikan jaminan hak bersamaan dalam hukum dan pemerintahan
serta hak atas pekerjaan bagi setiap orang tetapi hak-hak tersebut
juga dapat dibatasi oleh ketentuan Undang-Undang menurut
ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945…5
Sehingga kurang baik bentuk permohonan yang diajukan oleh Para
Pemohon karena hal tersebut tidak dilandasi oleh suatu pertentangan
dengan pasal-pasal terkait judicial review yang akan diajukan.

BAB 4
KESIMPULAN
Hakim bersikap baik dan bersifat campuran antara hetronom dan otonom
seperti yang dianut dalam asas hukum di Indonesia. Dalam pasal 27 UU
No. 14 Tahun 1970 menyebutkan : “Hakim sebagai penegak hukum dan
keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup didalam masyarakat”.6 Dalam intepretasi hakim telah melakukan
4
C. Asser, Mr/Paul Scholtes, Mr., Penuntun Dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda,
Gajah Mada University Press, 1986. Hlm. 84-85
5
Pertimbangan hakim MK UJI MAERIILL (JUDICIAL REVIEW) TERHADAP UNDANG-UNDANG
NO.30 TAHUN 2002 (Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) Nomor perkara :
Nomor 37-39/PUU-VIII/2010
6
LIZA ERWINA, SH.M.HUM, Makalah PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM (RECHT
VINDING), Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara, 2002.
PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 18
recht vinding dengan baik tanpa melanggar asas-asas dan nilai yang
berlaku dalam fungsi, tugas dan wewenang hakim.

DAFTAR PUSTAKA
Hlm. 1
PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 19
C. Asser, Mr/Paul Scholtes, Mr., Penuntun Dalam Mempelajari Hukum
Perdata Belanda, Gajah Mada University Press, 1986.

Sudikno Merto Kusumo, Prof, Dr, SH, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum,
PT. Citra Aditya Bakti, 1993.

LIZA ERWINA, SH.M.HUM, Makalah PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM


(RECHT VINDING), Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Pidana Universitas
Sumatera Utara, 2002.

C.S.T. Kansil, Drs., SH, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Balai Pustaka Jakarta, 1986

PUTUSAN_MK _OC. Kalingis_&_Farhat_Abas | 20

Anda mungkin juga menyukai