Anda di halaman 1dari 29

KETERANGAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

ATAS

PERMOHONAN PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM

TERHADAP

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

DALAM PERKARA NOMOR: 92/PUU-XVI/2018

Jakarta, Januari 2019

Kepada Yth:
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Di Jakarta

Dengan hormat,

Berdasarkan Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor 25/PIMP/III/2015-


2016 tanggal 18 Januari 2016, telah menugaskan kepada Anggota Komisi
III DPR RI yaitu : Drs.Kahar Muzakir (No.Anggota A-245) ; Trimedya
Panjaitan, SH., MH. (No. Anggota A-127) ; Desmon Junaidi Mahesa, SH.,
MH. (No. Anggota A-376) ; Mulfachri Harahap, SH. (No. Anggota A-459) ;
Erma Suryani Ranik, SH (No. Anggota A-446) ; Arteria Dahlan, ST., SH.,
MH. (No. Anggota A-197); Dr. Ir. H. Adies Kadir, SH., M.Hum. (No. Anggota
A-282) ; Dr. Ir. Sufmi Dasco Ahmad, SH., MH., (No. Anggota A-377) ; Didik
Mukrianto, SH., MH., (No. Anggota A-437) ; H. Muslim Ayub, SH.MM (No.
Anggota A-458) ; Dr. H.M. Anwar Rachman, SH.,MH (No. Anggota A-73) ; H.
Aboe Bakar Al Habsy (No. Anggota A-119) ; H. Arsul Sani, SH., M.Si. (No.
Anggota A-528) ;Drs. Taufiqulhadi, M.Si. (No. Anggota A-19) ; Samsudin
Siregar, SH (No. Anggota A-547) ; dalam hal ini baik secara bersama-sama

1
maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, untuk selanjutnya disebut ---------------DPR RI

Sehubungan dengan surat dari Mahkamah Konstitusi Republik


Indonesia (selanjutnya disebut MK), perihal kepada DPR RI untuk
menghadiri dan menyampaikan keterangan di persidangan MK terkait
dengan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD Tahun 1945) yang diajukan oleh:

Nama : Deri Darmawansyah


Tempat/Tanggal lahir : Jakarta, 28 Oktober 1989
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Buncit Raya, RT. 12 RW.05 No. 2
Kalibata Pancoran, Jakarta Selatan 12740

Untuk selanjutnya disebut sebagai--------------------------------PEMOHON

Dengan ini DPR RI menyampaikan keterangan terhadap permohonan


pengujian UU Pemilu terhadap UUD Tahun 1945 dalam perkara nomor
92/PUU-XVI/2018 sebagai berikut:

A. KETENTUAN UU PEMILU YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN


TERHADAP UUD TAHUN 1945

Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian


atas ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang berketentuan sebagai berikut:

Pasal 222
“Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai
Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh
25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu
Anggota DPR sebelumnya”

2
B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP
PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 222 UU
PEMILU

Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak


konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya
ketentuan Pasal 222 UU Pemilu sebagaimana dikemukakan dalam
permohonannya yang pada intinya sebagai berikut:

Bahwa menurut Pemohon ketentuan Pasal 222 bertentangan dengan


Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28C, dan Pasal 28D UUD Tahun 1945. Karena
dengan adanya ketentuan a quo, Pemohon tidak dapat mengakses
menjadi Presiden dari calon mandiri dikarenakan adanya ketentuan
yang mengharuskan diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik. Adanya ketentuan a quo mengakibatkan tidak tercapainya
kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan bagi
Pemohon. Ketentuan a quo menurut Pemohon juga mempersulit dan
sangat berbeda dengan pemilihan Kepala Daerah yang dapat diusulkan
tidak hanya oleh partai politik dan gabungan partai politik, tetapi juga
dapat diusulkan melalui jalur perseorangan.
(Vide perbaikan permohonan hlm. 5 dan 6)

Bahwa pasal a quo oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan


ketentuan Pasal 27 ayat (1) sampai dengan ayat (3), Pasal 28, Pasal 28C
ayat (1) dan (2) dan Pasal 28D ayat (1) sampai dengan ayat (4) UUD
Tahun 1945 yang beketentuan sebagai berikut:

Pasal 27
(1) Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.
(3) Setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan Negara.

Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh

3
manfaat dan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia.
(2) Setiap oranag berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

Bahwa berdasarkan uraian permohonannya, Pemohon dalam


petitumnya memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Pembentukan Undang-Undang Pasal 222 Nomor 7 Tahun 2017
tentang ambang batas presiden (Presidential Threshold (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109)) tidak memenuhi
ketentuan pembentukan Undang-Undang berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan


yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

4
C. KETERANGAN DPR RI

Bahwa terhadap dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam


permohonannya yang diajukan kepada Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi, DPR RI dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu
menguraikan mengenai kedudukan hukum (legal standing) dapat
dijelaskan sebagai berikut:

1. Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon.

Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai Pihak


telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah
Konstitusi), yang menyatakan bahwa “Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara”.

Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud


ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya,
bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah “hak-hak
yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan,
bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD Tahun
1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”.

Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar


seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang
memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan
pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945, maka terlebih
dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana
dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah
dirugikan olehberlakunya undang-undang a quo.

5
Mengenai batasan kerugian konstitusional, Mahkamah
Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang
kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu
undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan
Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-
V/2007) yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD Tahun 1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu
undang-undang yang diuji;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam


perkara pengujian undang-undang a quo, maka Pemohon tidak
memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai
Pemohon. Terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon,
DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 batasan
kerugian konstitusional sebagai berikut:

a) Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon


yang diberikan oleh UUD Tahun 1945

Bahwa Pemohon dalam permohonannya menyatakan bahwa


hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dijamin
dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28C dan Pasal 28D UUD Tahun
1945 yang pada intinya mengatur tentang persamaan kedudukan
dalam hukum dan pemerintahan, kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, dan jaminan atas kepastian hukum yang adil.
Namun, hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut telah
dirugikan atas pemberlakuan ketentuan a quo karena Pemohon
menyatakan tidak dapat mendaftar sebagai Presiden dari calon
mandiri (perseorangan).

6
Terhadap pandangan Pemohon tersebut, DPR RI
berpandangan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (2)
UUD Tahun 1945 telah ditegaskan bahwa pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum. Sehingga berdasarkan ketentuan
Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 memang tidak terbuka bagi
calon mandiri untuk Presiden. Selain itu hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon sebagaimana Pasal 27,
Pasal 28, Pasal 28C dan Pasal 28D UUD Tahun 1945 tersebut
tidak tepat dan tidak memiliki relevansinya untuk dijadikan
sebagai batu uji dari pengujian ketentuan a quo. Karena
ketentuan a quo telah menegaskan bahwa yang memiliki
kedudukan hukum pada ketentuan tersebut adalah partai politik
atau gabungan partai politik sesuai dengan amanat konstitusi
Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945.

b) Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut


dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-
undang yang diuji

Bahwa Pemohon dalam permohonannya beranggapan bahwa


ketentuan a quo telah merugikan karena mengakibatkan tidak
tercapainya keadilan kedudukan di dalam hukum dan
pemerintahan bagi Pemohon sehingga Pemohon tidak dapat
mengakses menjadi Presiden dari calon mandiri.

Terhadap kerugian yang didalilkan Pemohon tersebut, DPR RI


berpandangan bahwa ketentuan a quo tidak menimbulkan
kerugian konstitusional bagi Pemohon karena tidak memiliki
pertautan. Hal ini dikarenakan tidak adanya hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD
Tahun 1945 karena berdasarkan Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun
1945 telah menegaskan tidak membuka kesempatan calon
mandiri bagi pencalonan Presiden. Sehingga patut dinyatakan
bahwa tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Para
Pemohon yang dirugikan atas berlakunya ketentuan a quo.

c) Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon


yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi

7
DPR RI berpandangan bahwa Pemohon jelas tidak memiliki
kerugian konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi. Selain karena dalam
ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 telah
mempersyaratkan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden dari partai politik atau gabungan partai politik, Pemohon
juga tidak memenuhi syarat calon Presiden berdasarkan UU a
quo. Syarat menjadi Presiden menurut Pasal 169 huruf q UU a
quo harus berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun,
sementara Pemohon masih berusia 29 (dua puluh sembilan)
tahun. Sehingga dengan usia Pemohon tersebut, Pemohon tidak
memenuhi syarat usia untuk menjadi calon Presiden. Maka,
dapat dinyatakan bahwa kerugian konstitusional Pemohon hanya
berupa asumsi dan tidak ada kerugian konstitusional Pemohon
yang bersifat spesifik dan aktual.

d) Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara


kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;

Bahwa selain Pemohon tidak memiliki hak konstitusional


calon mandiri untuk menjadi Presiden sebagaimana diatur dalam
Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945, Pemohon juga belum
memenuhi syarat umur untuk menjadi calon Presiden
sebagaimana yang diatur Pasal 169 huruf q UU a quo. Maka,
tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian konstitusional yang dimaksudkan Pemohon dengan
berlakunya ketentuan a quo.

e) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya


permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional yang didalilkan tidak terjadi lagi;

Bahwa dengan berlakunya ketentuan pasal a quo sama sekali


tidak mengakibatkan kerugian hak konstitusional bagi Pemohon,.
Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah
Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo,
karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak
mempertimbangkan pokok perkara, dan menyatakan permohonan
Pemohon tidak dapat diterima.

8
Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut
DPR RI berpandangan bahwa Pemohon secara keseluruhan dari
kelima syarat tersebut tidak memenuhi kedudukan hukum (legal
standing). Sehingga DPR RI berpandangan mengacu pada Putusan
MK Nomor 22/PUU-XVI/2016 yang diucapkan dalam sidang Pleno
MK terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada
pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa:

“Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada


kepentingan maka tiada gugatan yang dalam Bahasa Perancis
dikenal dengan point d’interes, point d’action dan dalam Bahasa
Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal
tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op
de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut
ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum (no action
without legal connection)”

Namun, berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas terhadap


kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI juga
menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi
Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor
006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007
mengenai parameter kerugian konstitusional.

2. Pengujian Pasal 222 UU PEMILU Terhadap UUD Tahun 1945

a. Pandangan Umum

Bahwa pembentukan undang-undang a quo sudah sejalan dengan


amanat UUD Tahun 1945 dan telah memenuhi syarat dan ketentuan
sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (selanjutnya disebut UU 12 Tahun 2011) dengan
argumentasi sebagai berikut:

1) Bahwa dalam pembukaan alinea ke-3 (ketiga) UUD Tahun 1945


memuat pernyataan kemerdekaan oleh rakyat Indonesia.
Selanjutnya dalam batang tubuh pada Pasal 1 ayat (2) UUD
Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan

9
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Selanjutnya untuk memanifestasikan kedaulatan rakyat tersebut
dalam penyelenggaraan pemerintahan, rakyat memilih para
wakilnya (anggota DPR, DPR, Presiden dan Wakil Presiden, dan
DPRD) untuk duduk dalam pemerintahan melalui suatu
pemilihan umum (Pemilu). Pemilihan umum dilaksanakan secara
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Pemilu tersebut diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum
yang bersifat nasional.

2) Bahwa visi, misi, dan tujuan dibentuknya UU Pemilu adalah


untuk menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan nasional
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD Tahun 1945
dalam menyelenggarakan Pemilu sebagai sarana perwujudan
kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan
pemerintahan negara yang demokratis; sebagai pengaturan
pemilu yang mewujudkan sistem ketatanegaraan yang demokratis
dan berintegritas demi menjamin konsistensi dan kepastian
hukum serta pemilu yang efektif dan efisien; menjamin
tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil; serta perlunya menyatukan dan
menyederhanakan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagai landasan hukum pemilu
secara serentak. (vide Ketentuan Menimbang UU Pemilu).

3) Bahwa UU Pemilu adalah ketentuan organik dari Pasal 22E ayat


(6) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa ketentuan lebih
lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Penjelasan umum UU Pemilu paragraf 2 juga menyatakan bahwa
pengaturan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam
UU Pemilu juga dimaksudkan untuk menegaskan sistem
presidensil yang kuat dan efektif, di mana Presiden dan Wakil
Presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat
dari rakyat, namun dalam rangka mewujudkan efektifitas
pemerintahan juga diperlukan basis dukungan dari DPR. Guna
mendukung sistem presidensiil dalam sistem multipartai, maka
dibuatlah pengaturan tentang ambang batas partai politik yang
dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden,
sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu. Partai politik
atau gabungan partai politik yang memenuhi ambang batas yang
ditetapkan Pasal 222 UU Pemilu yang berhak mengusulkan

10
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 222 UU
Pemilu merupakan ketentuan organik dari Pasal 6A ayat (2) UUD
Tahun 1945. Dengan demikian, UU Pemilu (termasuk frasa
penjelasan pasal a quo) telah memenuhi unsur sinkronisasi dan
harmonisasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011.

4) Keberadaan pemilu dan partai politik merupakan komponen


penting dari negara demokrasi. Pemilu adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam NKRI
berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Pemilihan umum
dalam sebuah negara yang demokratis menjadi kebutuhan yang
tidak terelakan. Salah satu perwujudan keterlibatan rakyat dalam
proses politik adalah adanya pelaksanaan pemilihan umum.
Dalam mekanisme Pemilu ini salah satu metode pengisian jabatan
lembaga negara tersebut diisi oleh keberadaan partai-partai
politik.

5) Bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 dengan jelas dan tegas
menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam
satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan Calon
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau
Gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan Pemilihan Umum.

b. Pandangan Terhadap Pokok Permohonan

Sebelum kami menyampaikan keterangan terhadap pengujian


materiil atas pasal a quo yang dimohonkan oleh Pemohon,
perkenankan kami menyampaikan secara ringkas berkaitan dengan
konsep negara demokrasi, hak memilih dan dipilih, pengaturan
pemilu di Indonesia:

1) Bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang telah diakui


dan dipraktikkan sejak lama. Istilah demokrasi berasal dari
penggalan kata Yunani “demos” yang berarti rakyat dan kata
“kratos” atau kata “cratein” yang berarti pemerintahan, sehingga
kata demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. (Konsep Negara
Demokrasi: Munir Fuady: hlm.1). Dalam sistem demokrasi, rakyat
memiliki hak dan kedudukan sebagai penentu dalam
penyelenggaraan pemerintahan, suara rakyat adalah suara Tuhan

11
“Vox Populei Vox Dei”. (Konsep Negara Demokrasi: Munir Fuady:
hlm.47). Rakyat memilih para wakilnya untuk menyelenggarakan
pemerintahan. Konsep negara demokrasi di Indonesia dinyatakan
dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 dinyatakan bahwa
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.”

2) Bahwa hak memilih dan hak dipilih adalah bentuk


pengejawantahan dari konsep negara demokrasi. Hak memilih dan
hak dipilih merupakan hak konstitusional yang harus
dilaksanakan untuk memberikan kesempatan yang sama dalam
hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27
ayat (1) dan Pasal 28D UUD Tahun 1945. Hak ini juga secara
spesifik dimuat dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU 39
Tahun 1999) yang berketentuan, “Setiap warga negara berhak
untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan
persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.” Hak memilih juga tercantum dalam
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang
telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on
Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil Dan Politik). Berdasarkan prinsip hak asasi manusia, hak
memilih dan dipilih melekat pada setiap individu. Pemilihan calon
Presiden dan Wakil Presiden merupakan salah satu mekanisme
pelaksanaan hak memilih dan dipilih dalam suatu negara yang
demokratis.

3) Bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sebuah keniscayaan


bagi sebuah negara yang mengaku dirinya demokratis. Hal ini
dikarenakan melalui Pemilu sebuah pemerintahan ditentukan dan
dipilih secara langsung oleh rakyat untuk mendapatkan mandat
mengurus bangsa dan negara ini demi kesejahteraan bersama.
Disebut sebagai pilar demokrasi, karena Pemilu seperti ini tidak
akan pernah dijumpai dalam sebuah negara monarki atau
kerajaan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Prof. Jimly
Asshiddiqie, bahwa secara teoritis, tujuan penyelenggaraan
Pemilihan Umum dalam sebuah negara adalah untuk:
a. memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan
pemerintahan secara tertib dan damai;

12
b. memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan
mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;
c. melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan
d. melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga Negara.

4) Bahwa begitu pentingnya peranan Pemilu dan hubungannya


dengan perwujudan demokrasi adalah sesuai dengan konsepsi
Joseph Schumpeter (mazhab Schumpeterian) yang menempatkan
penyelenggaraan Pemilu yang bebas dan berkala sebagai kriteria
utama bagi suatu sistem politik untuk dapat disebut demokrasi.
Jikalau hal ini dihubungkan dengan sistem pemerintahan kita
yakni presidensial, baik jabatan kepala negara maupun jabatan
kepala pemerintahan dipegang oleh seorang presiden, maka kita
akan memahami bahwa demokrasi dalam Pemilu ini hanya akan
terwujud bilamana Presiden (begitu juga wakil presiden) dipilih
secara langsung oleh rakyat. Adapun bentuk pemerintahan
presidensial biasanya diadopsi oleh negara Republik yang
memandang negara merupakan milik seluruh warga negara
sehingga kepala negara dan kepala pemerintahannya harus dipilih
oleh seluruh rakyat. Oleh karena itu, Indonesia hingga saat ini
dengan teguh dan konsisten menganut sistem presidensial karena
hingga kini dirasakan adalah yang terbaik. Sejalan dengan hal
tersebut adalah tepat bilamana presiden yang merupakan
panglima tertinggi dipilih langsung oleh rakyat.

5) Bahwa amanat pemilu untuk memilih Presiden begitu juga


wakilnya selain diatur secara umum dalam Pasal 22E ayat (2)
UUD Tahun 1945 juga diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun
1945 berbunyi bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 memiliki tiga maksud yakni
Pertama, yang menjadi Peserta Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden bukan partai politik atau gabungan partai politik
melainkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua,
partai politik atau gabungan partai politik berperan sebagai
pengusul pasangan calon presiden dan wakil presiden. dan Ketiga,
pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden dilakukan
sebelum pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, dan DPD,
pemilihan umum pasangan calon presiden dan wakil presiden.

6) Bahwa mewujudkan demokrasi dalam Pemilu bukanlah hal yang


mudah. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Arend Lijphart yang

13
menyatakan bahwa upaya untuk membentuk sebuah negara
demokratis bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi Lipjhart juga
menyatakan bahwa, dalam sistem pemerintahan presidensial di
mana terdapat Pemilu legislatif untuk memilih parlemen dan
Pemilu eksekutif untuk memilih Presiden, faktor waktu
penyelenggaraan berpengaruh besar terhadap keterpilihan
Presiden dan parlemen. Selama ini penyelenggaraan untuk
memilih eksekutif dan legislatif dilaksanakan secara terpisah,
walaupun di Pasal 22E ayat (2) UUD Tahun 1945 kedua jenis
Pemilu tersebut dinyatakan dalam satu pengaturan. Ketika
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dalan
Pasal 6A UUD Tahun 1945, maka untuk Pemilu legislatif diatur
langsung di Pasal 22E dan juga Pasal 19 ayat (1) UUD Tahun
1945. Dalam hal kaitannya dengan Pemilu legislatif juga
pesertanya pun jelas, yakni partai politik bagi Pemilu legislatif
untuk memilih anggota “Dewan Perwakilan Rakyat” dan ”Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah”, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
22E ayat (3) UUD Tahun 1945 dan pesertanya adalah
perseorangan untuk memilih “Dewan Perwakilan Daerah”.

7) Bahwa pelaksanaan Pemilu di Indonesia sangat unik, karena


walaupun sistem pemerintahan kita adalah presidensial namun
kita memiliki banyak partai politik peserta Pemilu (multi partai).
Oleh, karena itu potensi tantangan yang dapat terjadi selama 5
(lima) dalam rangka perwujudan demokrasi di Indonesia hal yang
sulit dihindari. Hal ini pula sesuai dengan pendapat Lijphart yang
menyebutkan bahwa, “It is not a sistem of government that fully
embodies all democratic ideals, but one that approximates them to a
reasonable degree.” Bagi Lijphart seluruh ide mengenai
demokratisasi hanyalah konsep imajinatif yang utopis (angan-
angan) apabila diterapkan secara kaku, namun kehendak
terhadap bentuk negara demokratis itu akan dapat diwujudkan
apabila diletakan kepada tingkatan paling mungkin (a reasonable
degree).

8) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan sebagaimana


kutipan Pemohon berikut ini:

“Bahwa pemberlakuan ketentuan a quo telah bertentangan


dengan Pasal 27, 28, 28C, dan 28D UUD Tahun 1945 dan telah
merugikan Pemohon karena Pemohon tidak dapat mengakses
menjadi presiden dari calon mandiri dikarenakan ketentuan a
quo yang mengharuskan “diusulkan oleh partai politik atau

14
gabungan partai politik”. Hal ini mengakibatkan Pemohon tidak
memperoleh haknya khususnya dalam hal kesamaan
kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana
yang telah dijamin dalam UUD Tahun 1945. Pemberlakuan
ketentuan a quo terkait pencalonan presiden sangat dipersulit
dan hal tersebut sangat berbeda dalam pemilihan Kepala
Daerah yang dapat mendapatkan pengumpulan suara melalui
jalur mandiri (perseorangan) tanpa harus dari partai politik atau
gabungan partai politik sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2015
tentang Pemilihan Umum Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati,
Calon Wakil Walikota yang dalam pengaturannya disebutkan
dapat diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik atau
perseorangan.” (vide perbaikan permohonan hlm. 5-6)

Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI memberikan


pandangan sebagai berikut:

a) Bahwa Pemohon mendalilkan pengujian pasal a quo terhadap


Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945 mengenai kesamaan
kedudukan hukum dan pemerintahan. Dalam permohonan ini,
Pemohon sama sekali tidak mengelaborasi lebih lanjut
keterkaitan pengujian pasal a quo terhadap Pasal 27 ayat (1)
UUD Tahun 1945. DPR RI berpandangan bahwa pasal a quo
sama sekali tidak menghalangi hak Pemohon dalam kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, akan tetapi UUD
Tahun 1945 dan UU Pemilu telah mengatur dengan jelas syarat
menjadi calon Presiden. Sebagaimana telah DPR RI jelaskan
pada bagian legal standing bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun
1945 mempersyaratkan pengusulan pasangan calon Presiden
dan wakil Presiden harus dari partai politik atau gabungan
partai politik, selain itu syarat menjadi Presiden berdasarkan
Pasal 169 huruf q UU Pemilu harus berusia paling rendah 40
(empat puluh) tahun. Sementara Pemohon hendak maju
menjadi calon Presiden melalui jalur mandiri dan belum
memenuhi syarat umur. Pasal a quo memberikan kesamaan
kedudukan hukum dan pemerintahan sebagai calon Presiden
yang tentunya harus memenuhi persyaratan terlebih dahulu
menjadi calon Presiden menurut peraturan perundang-
undangan. Jika Pemohon telah memenuhi syarat dan dapat
membuktikan ada kerugian konstitusional yang bukan sebatas
asumsi saja, baru dapat diujikan terhadap Pasal 27 ayat (1)
UUD Tahun 1945.

15
b) Bahwa Pemohon mendalilkan pengujian pasal a quo terhadap
Pasal 27 ayat (2) UUD Tahun 1945 mengenai hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dalam permohonan ini,
Pemohon sama sekali tidak mengelaborasi lebih lanjut
keterkaitan pengujian pasal a quo terhadap Pasal 27 ayat (2)
UUD Tahun 1945. DPR RI berpandangan bahwa pasal a quo
sama sekali tidak menghalangi hak Pemohon dalam
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Telah DPR
RI jelaskan bahwa Pemohon tidak memenuhi syarat menurut
peraturan perundang-undangan untuk saat ini mencalonkan
diri menjadi Presiden, namun tidak berarti Pemohon terhalangi
hak nya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang
layak di bidang lain. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak tidak terbatas hanya pada profesi menjadi Presiden saja.

c) Bahwa Pemohon mendalilkan pengujian pasal a quo terhadap


Pasal 27 ayat (3) UUD Tahun 1945 mengenai hak dan
kewajiban ikut bela negara. Dalam permohonan ini, Pemohon
sama sekali tidak mengelaborasi lebih lanjut keterkaitan
pengujian pasal a quo terhadap Pasal 27 ayat (3) UUD Tahun
1945. DPR RI berpandangan bahwa pasal a quo sama sekali
tidak menghalangi hak dan kewajiban Pemohon dalam bela
negara. Hak dan kewajiban bela negara tidak sebatas hanya
menjadi Presiden saja, karena hak dan kewajiban bela negara
dimiliki oleh setiap warga negara sebagaimana yang ditegaskan
dalam Pasal 30 ayat (1) UUD Tahun 1945.

d) Bahwa Pemohon mendalilkan pengujian pasal a quo terhadap


Pasal 28 UUD Tahun 1945 mengenai kemerdekaan berserikat
dan berkumpul. Dalam permohonan ini, Pemohon sama sekali
tidak mengelaborasi lebih lanjut keterkaitan pengujian pasal a
quo terhadap Pasal 28 UUD Tahun 1945. DPR RI berpandangan
bahwa syarat menjadi Presiden sebagaimana diatur dalam pasal
a quo tidak ada kaitannya dengan kemerdekaan berserikat dan
berkumpul. Tanpa menjadi Presiden pun, Pemohon tetap
memiliki hak berserikat dan berkumpul.

e) Bahwa Pemohon mendalilkan pengujian pasal a quo terhadap


Pasal 28C ayat (1) UUD Tahun 1945 mengenai hak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya.
Dalam permohonan ini, Pemohon sama sekali tidak
mengelaborasi lebih lanjut keterkaitan pengujian pasal a quo
terhadap Pasal 28C ayat (1) UUD Tahun 1945. DPR RI

16
berpandangan bahwa syarat menjadi Presiden sebagaimana
diatur dalam pasal a quo tidak ada kaitannya dengan hak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya.
Pemohon tanpa menjadi Presiden pun, selalu dapat
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya
di berbagai bidang.

f) Bahwa Pemohon mendalilkan pengujian pasal a quo terhadap


Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945 mengenai hak untuk
memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif. Dalam permohonan ini, Pemohon sama sekali tidak
mengelaborasi lebih lanjut keterkaitan pengujian pasal a quo
terhadap Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945. DPR RI
berpandangan bahwa syarat menjadi Presiden sebagaimana
diatur dalam pasal a quo tidak ada kaitannya dengan hak
untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif. Pemohon tanpa menjadi Presiden pun, selalu dapat
memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif.

g) Bahwa Pemohon mendalilkan pengujian pasal a quo terhadap


Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 mengenai pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Dalam
permohonan ini, Pemohon sama sekali tidak mengelaborasi
lebih lanjut keterkaitan pengujian pasal a quo terhadap Pasal
28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Telah DPR RI jelaskan bahwa
pasal a quo sama sekali tidak menghalangi hak Pemohon dalam
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil. Justru pasal a quo telah menggariskan dengan tegas syarat
untuk menjadi Presiden, yang saat ini belum dapat dipenuhi
oleh Pemohon. Pasal a quo mengejawantahkan ketentuan Pasal
6A ayat (2) UUD Tahun 1945 yang tidak membuka kesempatan
bagi calon Presiden dari jalur mandiri, guna menjamin
kokohnya sistem presidensial di Indonesia. Dengan demikian
pasal a quo telah mengakomodasi pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil untuk menjadi
Presiden. Pemohon harus memenuhi syarat terlebih dahulu
untuk dapat membuktikan ada atau tidaknya pasal a quo
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.

h) Bahwa Pemohon mendalilkan pengujian pasal a quo terhadap


Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945 mengenai hak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dalam

17
hubungan kerja. Dalam permohonan ini, Pemohon sama sekali
tidak mengelaborasi lebih lanjut keterkaitan pengujian pasal a
quo terhadap Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945. DPR RI
berpandangan bahwa pasal a quo sama sekali tidak
menghalangi hak Pemohon untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja. Telah
DPR RI jelaskan bahwa Pemohon tidak memenuhi syarat
menurut peraturan perundang-undangan untuk saat ini
mencalonkan diri menjadi Presiden, namun tidak berarti
Pemohon terhalangi hak nya untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja. Hak
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dalam
hubungan kerja, tidak terbatas hanya pada profesi menjadi
Presiden saja.

i) Bahwa Pemohon mendalilkan pengujian pasal a quo terhadap


Pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945 mengenai kesempatan
yang sama dalam pemerintahan. Dalam permohonan ini,
Pemohon sama sekali tidak mengelaborasi lebih lanjut
keterkaitan pengujian pasal a quo terhadap Pasal 28D ayat (3)
UUD Tahun 1945. DPR RI berpandangan bahwa pasal a quo
sama sekali tidak menghalangi hak Pemohon dalam
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, akan
tetapi UUD Tahun 1945 dan UU Pemilu telah mengatur dengan
jelas syarat menjadi calon Presiden. Sebagaimana telah DPR RI
jelaskan pada bagian legal standing bahwa Pasal 6A ayat (2)
UUD Tahun 1945 mempersyaratkan pengusulan pasangan
calon Presiden dan wakil Presiden harus dari partai politik atau
gabungan partai politik, selain itu syarat menjadi Presiden
berdasarkan Pasal 169 huruf q UU Pemilu harus berusia paling
rendah 40 (empat puluh) tahun. Sementara Pemohon hendak
maju menjadi calon Presiden melalui jalur mandiri dan belum
memenuhi syarat umur. Pasal a quo memberikan kesempatan
yang sama dalam pemerintahan sebagai calon Presiden, yang
tentunya harus memenuhi persyaratan terlebih dahulu menjadi
calon Presiden menurut peraturan perundang-undangan. Jika
Pemohon telah memenuhi syarat dan dapat membuktikan ada
kerugian konstitusional yang bukan sebatas asumsi saja, baru
dapat diujikan terhadap Pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945

j) Bahwa Pemohon mendalilkan pengujian pasal a quo terhadap


Pasal 28D ayat (4) UUD Tahun 1945 mengenai hak atas status
kewarganegaraan. Dalam permohonan ini, Pemohon sama

18
sekali tidak mengelaborasi lebih lanjut keterkaitan pengujian
pasal a quo terhadap Pasal 28D ayat (4) UUD Tahun 1945. DPR
RI berpandangan bahwa syarat menjadi Presiden sebagaimana
diatur dalam pasal a quo tidak ada kaitannya dengan hak atas
status kewarganegaraan. Pemohon tanpa menjadi Presiden pun,
sudah memiliki hak atas kewarganegaraan Indonesia sejak
kelahiran.

9) Bahwa telah DPR RI jelaskan dalam poin-poin di atas bahwa


Pemohon sama sekali tidak mengelaborasi lebih lanjut pengujian
pasal a quo terhadap berbagai pasal batu uji UUD Tahun 1945
yang diajukan oleh Pemohon. Pemohon pun tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan diri
menjadi calon Presiden sebagaimana telah DPR RI jelaskan. Selain
itu, Pemohon juga membandingkan calon mandiri dengan pilkada
(vide Perbaikan Permohonan, halaman 6, Alasan Permohonan),
sedangkan pilkada bukan lagi masuk dalam rezim pemilihan
umum. Dulu memang pilkada merupakan bagian dari pemilu
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
(UU No. 15 Tahun 2011) yang menyatakan bahwa “Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih
gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Penormaan ini mencerminkan bahwa pelaksanaan Pilkada dalam
UU No. 15 Tahun 2011 adalah masuk dalam rezim Pemilu yang
muncul semenjak Putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-
073/PUU-II/2004. Sehingga Pilkada pun diselenggarakan oleh
KPU dan sengketa perselisihan hasil pemilihannya disidangkan di
MK. Namun demikian, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.
97/PUU-XI/2013 secara tegas MK menyatakan bahwa Pilkada
bukanlah rezim Pemilu. Dalam Putusan tersebut pemilihan umum
hanyalah diartikan hanyalah limitatif sesuai dengan original intent
menurut Pasal 22E UUD Tahun 1945, yaitu Pemilihan Umum
yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden
dan Wakil Presiden serta DPRD dan dilaksanakan setiap 5 tahun
sekali. Sehingga perluasan makna Pemilu yang mencakup Pilkada
adalah inkonstitusional menurut MK.

10) Bahwa oleh karena itu adalah tidak tepat untuk


mengkodifikasikan UU Pilkada untuk masuk dalam Kodifikasi UU
Pemilu karena Pilkada tidak termasuk dalam rezim Pemilu

19
melainkan masuk dalam rezim Pemerintahan Daerah (Pemda)
sebagaimana dinyatakan dalam Pertimbangan Mahkamah angka
[3.12.5] huruf Putusan MK No 97/PUU-XI/2013. Oleh karena itu,
dikarenakan RUU Penyelenggaraan Pemilu juga termasuk
mengkodifikasikan pengaturan mengenai Penyelenggara Pemilu,
yang selama ini diatur dalam UU No. 15 Tahun 2011, maka
banyak hal yang perlu diubah karena terkait dengan Pilkada telah
memiliki pengaturan tersendiri yakni dalam UU Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada),
sebagaimana beberapa kali diubah, terakhir dengan UU No. 10
Tahun 2016. Dengan demikian, tidak sepadan mengkomparasikan
pemilu Presiden dengan pilkada, karena mekanismenya pun
sudah berbeda.

11) Bahwa jika Pemohon membandingkan pencalonan Presiden dan


Pilkada dengan menggunakan perhitungan KTP untuk calon
mandiri (vide Perbaikan Permohonan, halaman 6, Alasan
Permohonan), perbandingan ini tidak tepat karena pilkada pun
tidak menggunakan sistem perhitungan KTP sebagaimana yang
dimaksud Pemohon. Sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1)
UU Pilkada diatur cara pendaftaran pasangan calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah, yaitu:
Pasal 40
“(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan
pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan
paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima
persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan
umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah
yang bersangkutan”.

12) Bahwa mengutip pendapat Dr. Harjono, S.H.,M.C.L dalam


putusan perkara MK Nomor 71/PUU-XV/2017 pada tanggal 19
Desember 2017 menyebutkan bahwa:

“Dalam ilmu politik sering disebut bahwa parpol adalah


infrastruktur politik namun UUD 1945 perubahan
menempatkan parpol sebagai supra struktur politik yang
keberadaannya diakui secara eksplisit beserta hak-haknya
oleh Pasal UUD. Bahkan konstitusi dalam pelaksanaannya
memerlukan keberadaan partai politik karena baik secara

20
formal maupun materill tidak mungkin UUD 1945 dapat
dilaksanakan tanpa partai politik. Bagaimana mungkin dapat
terbentuk DPR MPR dan terpilih Presiden tanpa ada partai
politik karena UUD mensyaratkan parpol yang
mempunyai hak untuk mencalonkan keanggotaan DPR
dan Calon Presiden. Kedaulatan di tangan rakyat yang
dilaksanakan menurut UUD saluran formal konstitusional
ada pada partai politik. Partai merupakan lembaga konstitusi
yang berdasar atas demokrasi. Kedaulatan berada di tangan
rakyat setiap lima tahun sekali akan dimandatkan kepada
partai politik melalui pemilu yang demokratis dan selama
lima tahun akan berlangsung proses demokrasi melalui
perwakilan. Pemilu diperlukan untuk memilih wakil rakyat
dalam sistem demokrasi sehingga calon wakil rakyat harus
berkompetisi. Persyaratan pendirian partai merupakan
saringan pertama untuk ikut berkompetisi dalam proses
demokrasi. Babak kualifikasi memang diperlukan dan hal
demikian sangat wajar dalam proses demokrasi perwakilan”

13) Bahwa merujuk pada pendapat hukum MK tersebut pada nomor


12, DPR RI berpandangan bahwa ketentuan yang mensyaratkan
parpol atau gabungan partai politik yang mempunyai hak untuk
mengusulkan calon presiden dan wakil presiden secara tidak
langsung bertujuan agar sejalan dengan amanat Pasal 6A ayat (2)
UUD Tahun 1945. Ketentuan tersebut juga merupakan sebuah
konsekuensi logis dari Pasal 6A ayat (1) UUD Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dalam
satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Dengan adanya
pemilihan yang dipilih oleh rakyat secara one man, one vote, maka
mendorong partai politik sebagai wadah penampung aspirasi
rakyat, untuk mengambil “hak konstitusional” partai politik dalam
mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Pengusulan presiden dan wakil presiden ini tidak dapat terlepas
dari sistem politik di Indonesia yang mempunyai suprastruktur
dan infrastruktur politik di dalamnya. Infrastruktur politik sendiri
diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan
kehidupan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang dalam
aktifitasnya dapat mempengaruhi baik secara langsung atau tidak
kepada lembaga negara menjalankan fungsi serta kekuasaan
masing-masing. Infrastruktur politik disini dimaksudkan sebagai
partai politik. Sedangkan suprastruktur politik diartikan sebagai
lembaga-lembaga negara atau alat kelengkapan negara. Sehingga
dapat tergambar jelas bahwa hubungan antara Presiden dan

21
Wakil Presiden dengan partai politik merupakan hubungan yang
saling berhubungan satu sama lain. Ketentuan yang mengatur
hak parpol dalam pengusulan presiden dan wakil presiden ini
secara tidak langsung juga sebagai saringan pertama dalam
kontestasi politik.

14) Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


007/PUU-II/2004 pada tanggal 7 Juli 2004 yang menyebutkan
bahwa:

“Sementara itu, UUD Tahun 1945 terlihat membedakan antara


hak konstitusional warga negara dan hak konstitusional partai
politik. Hak untuk menjadi Presiden adalah hak
konstitusional warga negara, tetapi bukan berarti
bahwa setiap warga negara secara otomatis dapat
menjadi Presiden melainkan harus tunduk pada persyaratan
dan tata cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar
dan Undang-Undang sebagai pelaksanaan ketentuan
Undang-Undang Dasar tersebut. Bahwa sesuai ketentuan
Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945, yang memiliki hak
konstitusional untuk mengajukan calon presiden dan
wakil presiden adalah partai politik (bilamana calon
presiden dan wakil presiden tersebut memenuhi syarat
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2)
UUD Tahun 1945). Ketentuan ini bukan berarti meniadakan
hak warga negara untuk menjadi presiden. Bahwa kendatipun
Pemohon dipandang memiliki hak konstitusional untuk
menjadi calon presiden menurut Undang-Undang Dasar,
prosedur penggunaan hak dimaksud juga diatur secara
expressis verbis dalam Undang-Undang dasar sehingga tidak
dapat dipandang sebagai sesuatu yang diskriminatif
sebagaimana didalilkan oleh pemohon. Oleh karena itu
meskipun pemohon mempunyai hak konstitusional untuk
menjadi calon presiden menurut Undang-Undang Dasar,
namun jikalau tidak diusulkan oleh partai politik peserta
Pemilu maka Pemohon in casu tidak mempunyai hak
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat
(2) Undang-Undang Dasar”

15) Bahwa merujuk pada pendapat hukum MK tersebut pada nomor


14, DPR RI berpandangan bahwa dengan demikian MK telah
menafsirkan bahwa terdapat pembedaan hak antara hak

22
konstitusional warga negara dan hak konstitusional partai politik.
Putusan diatas juga dipertegas di dalam Putusan Perkara Nomor
054/PUU-II/2004 dan Putusan Perkara Nomor 057/PUU-II/2004.
DPR RI berpandangan bahwa setiap warga negara berhak untuk
menjadi presiden dan wakil presiden namun untuk dapat
dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden maka harus
tunduk pada ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 yaitu
harus diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.

16) Bahwa pengujian permohonan pasal a quo merupakan nebis in


idem, karena telah beberapa kali diputus oleh MK dan tidak
pernah dibatalkan, antara lain dalam putusan sebagai berikut ini:

a) Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013


Effendi Gozali sebagai Pemohon perkara MK No. 14/PUU-
XI/2013 juga mengujikan mengenai ambang batas pasal a quo
dalam Perkara MK No. 14/PUU-XI/2013 tersebut. Namun
demikian, dalam perkara tersebut MK tidak mengabulkannya.
Oleh karena itu, bilamana sesuai dengan amanat yang
terkandung di pertimbangan Putusan MK No. 14/PUU-
XI/2013, maka dapat diketahui bahwa tujuan dilakukan
keserentakan Pemilu Legislatif dengan Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden adalah untuk memperkuat sistem presidensial.
Dan dalam rangka itu, maka aturan tanpa adanya ambang
batas, yang mengakibatkan tidak akan adanya koalisi sejak
awal untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden adalah
tidak sejalan dengan niatan untuk memperkuat sistem
Presidensial tersebut. Oleh karena itulah makanya sejalan
dengan tidak dikabulkannya permohonan Pemohon dalam
Perkara MK No. 14/PUU-XI/2013 terkait hal ini.

b) Putusan MK No. 53/PUU-XV/2017, berikut ini pertimbangan


MK:
- MK telah mempertimbangkan dalam paragraf [3.14] angka 5
bahwa argumentasi Pemohon yang mendalilkan Pasal 222
UU Pemilu menambahkan syarat ambang batas pencalonan
yang berpotensi menghilangkan pasangan capres dan
cawapres alternatif telah dipertimbangkan dalam putusan
ini, bahkan sejak Putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008.
- MK menyatakan syarat pencalonan Presiden dalam pasal a
quo merupakan open legal policy, bahkan sejak Putusan MK
No. 51-52-59/PUU-VI/2008.

23
- MK menyatakan bahwa pasal a quo merupakan
constitutional engineering
- MK menyatakan presidential threshold tidak menghilangkan
esensi pemilu.
- MK membantah argumentasi Pemohon bahwa pasal a quo
seharusnya tidak mengatur syarat capres karena Pasal 6A
ayat (5) hanya mendelegasikan tata caranya.
- MK membantah argumentasi Pemohon bahwa pasal a quo
tidak terkait pengusulan parpol, karena konstitusi secara
tegas memberikan peran kepada parpol untuk mengusulkan
capres dan cawapres.
- MK menyatakan bahwa konstitusi tidak membatasi warga
negara untuk mendirikan parpol sepanjang memenuhi
syarat, sehingga tetap akan lahir parpol baru yang nantinya
dapat mengajukan pasangan capres dan cawapres.
- Pasal a quo tidak dapat ditafsir berbeda dan sudah
memberikan kepastian hukum.

c) Putusan MK No. 49/PUU-XVI/2018


Mendasarkan pada putusan MK poin-poin pertimbangan MK
pada putusan MK No. 53/PUU-XV/2017, yang pada intinya
pasal a quo telah didasarkan pada pertimbangan komprehensif
yang bertolak dari hakikat sistem pemerintahan presidensial
menurut desain UUD NRI Tahun 1945, bukan atas dasar
pertimbangan kasuistis yang bertolak dari peristiwa konkret.
(Vide Pendapat Mahkamah, [3.14], halaman 44)

d) Putusan MK No. 50/PUU-XVI/2018


Memberlakukan secara mutatis mutandis pertimbangan MK
dalam Putusan MK No. 49/PUU-XVI/2018, yang pada intinya
pengusulan capres dan cawapres harus berasal dari parpol
atau gabungan parpol. (Vide Pendapat Mahkamah, [3.12],
halaman 22)

e) Putusan MK No. 54/PUU-XVI/2018


Memberlakukan secara mutatis mutandis pertimbangan MK
dalam Putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008, Putusan MK
No. 53/PUU-XV/2017, Putusan MK No. 49/PUU-XVI/2018, dan
Putusan MK No. 50/PUU-XVI/2018. (Vide Pendapat
Mahkamah, [3.12.1], halaman 36)

24
f) Putusan MK No. 61/PUU-XVI/2018
MK menegaskan isi ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI
Tahun 1945 bahwa syarat capres dan cawapres harus
diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. Vide Pendapat
Mahkamah, [3.5], halaman 32)

Bahwa berdasarkan berbagai putusan MK di atas terhadap pasal


a quo sangat jelas terlihat bahwa pasal a quo merupakan open
legal policy dan tetap dipertahankan MK guna mendukung sistem
presidensial yang kuat. Oleh karena itu, Pemohon harus mencari
alasan yang jelas menunjukkan alasan kerugian konstitusional
dari pasal a quo terlebih dahulu untuk dapat mengujikan pasal a
quo, agar tidak nebis in idem.

17) Bahwa DPR RI mengutip pendapat Mahkamah Konstitusi pada


point [3.17] Putusan MK No 51-52-59/PUU-VI/2008 yang
menyatakan sebagai berikut:

“Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai


pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan
Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma
tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang
dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk
Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-
Undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential
threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo,
Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang
dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali
kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar
moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.
Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31
Mei 2005 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan
tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan
pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan
penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata
bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan
kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh
Mahkamah”.

Bahwa syarat pencalonan Presiden sebagaimana diatur dalam


pasal a quo murni merupakan kebijakan hukum terbuka (open
legal policy). Adapun jikalau Pemohon menilai hal ini adalah

25
buruk dan lain sebagainya maka Pemohon juga bisa melihat
bahwa yang dikatakan buruk tersebut tidak selalu berarti
melanggar konstitusi, kecuali jika norma tersebut jelas-jelas
melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang
intolerable.

c. Latar Belakang Pembahasan UU PEMILU

Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan


yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk
melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal-pasal
terkait dalam undang-undang a quo sebagai berikut:

1. Risalah Rapat Kerja I Pansus RUU tentang Penyelenggaraan


Pemilu pada tanggal 30 November 2016 pukul 10.50 WIB.
Pembicara: Tjahjo Kumolo (Pemerintah/Mendagri)

“Kami sampaikan bahwa sikap pemerintah dalam rangka


menyusun draft dan dalam kaitan nanti kita bahas bersama
kami yakin dan akan sepakat dengan pemerintah bahwa RUU
pemilu ini pada prinsipnya adalah kedaulatan ada di tangan
partai politik”

2. Risalah Rapat Kerja III Pansus RUU tentang Penyelenggaraan


Pemilu pada tanggal 19 Januari 2017 pukul 10.40 WIB.
Pembicara: Pemerintah/Kemendagri

“Tapi inikan dalam proses yang begitu terbuka, dinamis. Semua


orang punya hak yang sama untuk mencalonkan diri sebagai
calon Anggota DPR maupun calon Presiden dan Wakil Presiden.
Tapi hanya untuk DPRD dan untuk DPR RI, Presiden dan Wakil
Presiden itu proses rezimnya melalui partai politik”

3. Risalah Rapat Kerja V Pansus RUU tentang Penyelenggaraan


Pemilu pada tanggal 16 Februari 2017 pukul 13.25 WIB.
Pembicara: H. Rambe Kamarul Zaman, M.Sc., MM (Fraksi
Partai Golkar)

“Partai politik kita sudah punya tugas yang mulia yang


dinyatakan di dalam Undang-Undang Dasar. Dia memang
mencalonkan orang, itu terang itu, dia mencalonkan siapa yang
akan menjadi, yang pertama presiden, pasangan presidenlah,

26
wakil presiden dan juga Anggota DPR RI, Provinsi,
Kabupaten/Kota, dia yang mencalonkan. Karena dia yang
mencalonkan itu maka dia punya kewenangan untuk menunjuk
kadernya. Ini sudah benar, sudah pas itu, menunjuk kadernya
siapa yang akan dicalonkan”

4. Risalah Rapat Kerja VI RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu


pada tanggal 17 Februari 2017 pukul 15.00 WIB
Pembicara: H. Rambe Kamarul Zaman, M.Sc., M.M (Fraksi
Partai Golkar)

“Bahwa untuk jadi Presiden begitu ya, syaratnya ada ya


menjadi Presiden begitu ya harus ada dukungan politik. Jadi itu
termasuk persyaratan. Oleh karena itu di ayat berikutnya di
Pasal ayat 6A tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden diatur dalam undang-undang. Undang-undang
inilah yang mengaturny. Jadi, jangan kita pertentangkan apa
kalau yang pakai ini bertentangan dengan konstitusi, nda ada
yang bertentangan. Ini kita mengatur syaratnya”

Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar


kiranya, Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan
sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum


(Legal Standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard;
2. Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau
setidak tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak
dapat diterima;
3. Menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan;
4. Menyatakan bahwa Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945;
5. Menyatakan bahwa Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat;
6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia.

Apabila Yang Mulia Hakim Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat


lain,mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

27
Demikian keterangan DPR ini kami sampaikan sebagai bahan
pertimbangan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang Mulia untuk
mengambil keputusan.

Hormat Kami
Tim Kuasa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Drs. H. Kahar Muzakir


(No.Anggota A-245)

Trimedya Panjaitan, SH., MH. Desmon Junaidi Mahesa, SH., MH.


(No. Anggota A-127) (No. Anggota A-376)

Mulfachri Harahap, SH. Erma Suryani Ranik, SH


(No. Anggota A-459) (No. Anggota A-446)

Arteria Dahlan, ST.,SH., MH. Dr. Ir. H. Adies Kadir,SH.,M.Hum


(No. Anggota A-197) (No. Anggota A-282)

Dr. Ir. Sufmi Dasco Ahmad, SH.,MH Didik Mukrianto, SH., MH.
(No. Anggota A-377) (No. Anggota A-437)

H. Muslim Ayub, SH.,MM Dr. H.M. Anwar Rachman, SH.,MH


(No. Anggota A-458) (No. Anggota A-73)

H. Arsul Sani, SH., M.Si H. Aboe Bakar Al Habsy


(No. Anggota A-528) (No. Anggota A-119)

28
Drs. Taufiqulhadi, M.Si. Samsudin Siregar, SH.
(No. Anggota A-19) (No. Anggota A-547)

29

Anda mungkin juga menyukai