Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN

STROKE PADA LANSIA

Disusun oleh :

Indah sari pendra 21.14901.10.16

Pembimbing :

Ns. Abu bakar sidik, S.Kep., M.Kes., M.Kep

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA HUSADA
PALEMBANG
2022
BAB 1
Konsep Menua/Lansia

1. Latar Belakang
Proses menua adalah keadaan yang tidak dapat dihindarkan. Manusia seperti
halnya semua makhluk hidup didunia ini mempunyai batas keberadaannya dan akan
berakhir dengan kematian. Perubahan-perubahan pada usia lanjut dan kemunduran
kesehatannya kadang-kadang sukar dibedakan dari kelainan patologi yang terjadi
akibat penyakit
Lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam
ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu.
Ada beberapa pendapat mengenai “usia kemunduran” yaitu ada yang menetapkan 60
tahun, 65 tahun dan 70 tahun. Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan 65 tahun
sebagai usia yang menunjukkan proses menua yang berlangsung secara nyata dan
seseorang telah disebut lanjut usia. Dari 19 juta jiwa penduduk Indonesia 8,5%
mengalami stroke yaitu lansia.
Stroke adalah suatu penyakit gangguan fungsi anatomi otak yang terjadi
secara tiba-tiba dan cepat, disebabkan karena gangguan perdarahan otak. Insiden
stroke meningkat secara eksponensial dengan bertambahnya usia dan 1,25 kali lebih
besar pada pria dibanding wanita.
Kecenderungan pola penyakit neurologi terutama gangguan susunan saraf
pusat tampaknya mengalami peningkatan penyakit akibat gangguan pembuluh darah
otak, akibat kecelakaan serta karena proses degenerative system saraf tampaknya
sedang merambah naik di Indonesia. Walaupun belum didapat data secara konkrit
mengenai hal ini.
Faktor penyebab munculnya masalah ini adalah adanya perkembangan
ekonomi dan perubahan gaya hidup terutama msayarakat perkotaan. Kemampuan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup terlihat semakin mudah sehingga
meningkatkan hasratmereka untuk terus berjuang mencapai tujuan dengan penuh
persaingan dalam perjuangan tersebut, benturan-benturan fisik maupun psikologis
tidak pernah dipikirkan efek bagi kesehatan jangka panjang. Usia harapan hidup di
Indonesia kian meningkat sehingga semakin banyak terdapat lansia. Dengan
bertambahnya usia maka permasalahan kesehatan yang terjadi akan semakin

2
kompleks. Salah satu penyakit yang sering dialami oleh lansia adalah stroke. Usia
merupakan factor resiko yang paling penting bagi semua jenis stroke.

3
BAB 2
Asas Etik Legal Terkait Askep Gerontik

A. Konsep legal dan etik keperawatan gerontik


1. Prinsip etik
a. Respect (Hak untuk dihormati)
b. Autonomy (hak pasien memilih)
c. Beneficence (Bertindak untuk keuntungan orang lain/pasien)
d. Non-Maleficence (utamakan-tidak mencederai orang lain)
e. Confidentiality (hak kerahasiaan)
f. Justice (keadilan)
g. Fidelity (loyalty/ketaatan)
1) Kewajiban untuk setia terhadap kesepakatan dan bertanggungjawab terhadap
kesepakatan yang telah diambil.
2) Era modern, pelayanan kesehatan : Upaya Tim (tanggungjawab tidak hanya
pada satu profesi). 80% kebutuhan dipenuhi perawat.
3) 1.1.7.3. Masing-masing profesi memiliki aturan tersendiri yang berlaku
4) Memiliki keterbatasan peran dan berpraktik dengan menurut aturan yang
disepakati.
h. Veracity (Truthfullness & honesty)
Kewajiban untuk mengatakan kebenaran
1) Terkait erat dengan prinsip otonomi, khususnya terkait informed-consent
2) Prinsip veracity mengikat pasien dan perawat untuk selalu mengutarakan
kebenaran
2. Pemecahan masalah etik
a. Identifikasi masalah etik
b. Kumpulkan fakta-fakta
c. Evaluasi tindakan alternatif dari berbagai perspektif etik.
d. Buat keputusan dan uji cobakan
e. Bertindaklah, dan kemudian refleksikan pada keputusan tsb
3. Prioritas Penelitian Bidang Keperawatan Gerontik
Keperawatan gerontik secara holistik menggabungkan aspek pengetahuan
dan keterampilan dari berbagai macam disiplin ilmu dalam mempertahankan kondisi

4
kesehatan fisik, mental, sosial, dan spiritual lansia. Hal ini diupayakan untuk
memfasilitasi lansia kearah perkembangan kesehatan yang lebih optimum, dengan
pendekatan pada pemulihan kesehatan, maksimalkan kualitas hidup lansia baik
dalam kondisi sehat, sakit, maupun kelemahan serta memberikan rasa aman,
nyaman, terutama dalam menghadapi kematian. Penelitian keperawatan gerontik
diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengem- bangan
teknik maupun mutu pelayanan dengan berbagai pendekatan di atas. Namun, dalam
menyusun prioritas penelitian, perlu diseimbangkan antara kebutuhan untuk
menambah ilmu dan wawasan baru dengan kebutuhan untuk meningkatkan kualitas,
efektivitas, efisiensi, dan kepatuhan pelayanan. Dalam mengembangkan penelitian
tersebut, kita terlebih dahulu perlu mengetahui aspek- aspek kritis yang ada dalam
keperawatan gerontik.
4. Area Prioritas
a. Pelayanan, evaluasi dan efektivitas intervensi terhadap individu atau kelompok
atau metode baru dalam pelayanan keperawatan. sub area prioritas: ventilasi dan
sirkulasi, nutrisi, ekskresi, aktivitas dan istirahat, stimulasi mental, tidur, masalah
kardiovaskuler, masalah penyakit vaskularisasi periver, masalah respiratori,
masalah gastrointestinal, 3 masalah diabetes, masalah muskulusskeletal, masalah
genitourinary, masalah neurology, masalah menurunnya fungsi sensorik,
masalah dermatologi, masalah kesehatan mental, tindakan operatif dan
dampaknya, palliative care, manajemen nyeri, rehabilitasi, perawatan diri dan
higienitas, pengawasan menelan obat.
b. Parameter dan hasil (out come) intervensi klinik yang spesifik. Subarea
prioritas:diagnosis keperawatan yang spesifik, pengembangan alat ukur geriatric.
c. Factor-faktor organisasi yang berdampak pada system pelayanan dan kinerja,
sub area prioritas : peran kolaborasi, model keperawatan di rumah (home care),
model perawatan di rumah sakit (hospital care), model perawatan di panti jompo
(institutional care), model perawatan jangka panjang (long-term care), nursing
agency, team work.
1) Factor-faktor sosial yang berdampak pada tingkat kesehatan lansia. Sub area
prioritas : aspek legal:kebijakan dan regulasi, kelenturan kesehatan yang
berbasis budaya dan kepercayaan, sosial ekonomi, konsep-konsep
gerontology (aspek kesehatan, aspek spiritual, aspek etika dan moral, aspek
nutrisi, aspek psikologis, aspek fisiologis dan aspek social).
5
2) Kualitas hidup (quality of life) dan intervensi kesehatan psiko social. Sub
area prioritas:penilaian status fungsional, psikologis, senile demensia, olah
raga, rekreasi, upaya preventif terhadap risiko kecelakaan, interaksi social,
spiritual, manajemen stress, sakaratul maut, support keluarga, aktivitas dan
disfungsi seksual.
3) Promosi kesehatan. Sub area prioritas:pesan, teknologi.
B. Prinsip Etika Pelayanan Kesehatan pada Lansia
Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita usia
lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :
1. Empati : istilah empati menyangkut pengertian : “Simpati atas dasar pengertian yang
dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan geriatri harus memandang
seorang lansia yang sakit denagn pengertian, kasih sayang dan memahami rasa
penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut.
2. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak
memberi kesan over-protective dan belas-kasihan. Oleh karena itu semua petugas
geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik dari penderita lansia.
3. Yang harus dan yang ”jangan” : prinsip ini sering dikemukakan sebagai non-
maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu didasarkan pada keharusan
untuka mngerjakan yang baik untuk pnderita dan harus menghindari tindakan yang
menambah penderita (harm) bagi penderita. Terdapat adagium primum non nocere
(”yang penting jangan membuat seseorang menderita”). Dalam pengertian ini, upaya
pemberian posisi baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian
analgesik (kalau perlu dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata
hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk
dikerjakan.
4. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak
tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar
pada keadaan, apakah penderita dapat membuat putusan secara mandiri dan bebas.
Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?)
oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk
melindungi penderita yang fungsional masih kapabel (sedanagkan non-maleficence
dan beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel). Dalam
berbagai hal aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana
6
seseorang menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (mis.
Seorang ayah membuat keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa).
5. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan yang sama
bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita secara
wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan.
6. Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang
diberikan pada seorang penderita. Mengenai keharusan untuk berbuat baik dan
otonomi, Meier dan Cassel menulis sebagai berikut :
”..............although the medical community has ferquently been attacked for its
attitude toward patients, it is usually conceded that paternalism can be justified if
certain criteria are met; if the dangers averted or benefits gained for the person
outweigh the loss of autonomy resulting from intervention; if the person is too ill to
choose the same intervention…………………………”.
Dengan melihat prinsip diatas tersebut, aspek etika pada pelayanan geriatric
berdasarkan prinsip otonomi kemudian di titik beratkan pada berbagai hal sebagai
berikut :
a) Penderita harus ikut berpartisipasi dalam prosea pengambilan keutusan dan
pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan harus bersifat
sukarela.
b) Keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan atau
keputusan yang akan diambil secara lengkap dan jelas.
c) Keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental
dianggap kapabel. Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini
kemudian ituangkan dalam bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan meik
(pertindik) atau informed consent. Dalam hal seperti diatas, maka penderita
berha menolak tindakan medik yang disarankan oleh dokter, tetapi tidak berarti
boleh memilih tindakan, apabila berdasarkan pertimbangan dokter yang
bersangkutan tindakan yang dipilih tersebut tidak berguan (useless) atau bahkan
berbahaya (harmful). Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek
etik dan hukum yang sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan
keputusan penderita tersebut haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan
bukan atas dasar label diagnosis, antara lain terlihat dari :
1) Apakah penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar?
2) Dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat?
7
3) Apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita
mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar)?
C. Aspek Hukum dan Etika
Produk hukum tentang Lanjut Usia dan penerapannya disuatu negara merupakan
gambaran sampai berapa jauh perhatian negara terhadap para Lanjut Usianya. Baru
sejak tahun 1965 di indonesia diletakkan landasan hukum, yaitu Undang-Undang nomor
4 tahun 1965 tentang Bantuan bagi Orang Jompo. Bila dibandingkan dengan keadaan di
negara maju, di negara berkembang perhatian terhadap Lanjut Usia belum begitu besar.
Di Australia, misalnya, telah diundangkan Aged Person Home Act (1954), Home
Nursing Subsidy Act (1956), The Home and Community Care Program (1985), Bureau
for the Aged (1986), Outcome Standards of Residential Care (1992), Charter for
Resident’s Right (1992), Community Option Program (1994), dan Aged Care Reform
Strategy (1996).
Di Amerika Serikat diundangkan Social Security Act yang meliputi older American
Act (Title III), Medicaid (Title VII), Medicare (Title XIX, 1965), Social Service block
Plan (Title XX) dan Supplemental Security Income (Title XVI). Selanjutnya diterbitkan
Tax Equity and Fiscal Responsibility Act (1982), Omnibus Budget Reconcilliation Act
(OBRA, 1987), The Continuun of Long-term Care (1987) dan Program of All Care of
the Elderly (PACE, 1990).
Di Inggris di undangkan National Assistence Act, Section 47 (1948) dan telah
ditetapkan standardisasi pelayanan di rumah sakit serta di masyarakat. Juga telah
ditentukan ratio tempat tidur per lanjut usia dan continuing care. Di Singapura dibentuk
Advisory Council on the Aged, Singapore Action Group of Elders (SAGE) dan The
Elders’ Village.
D. Landasan Hukum di Indonesia
Berbagai produk hukum dan perundang-undangan yang langsung mengenai Lanjut
Usia atau yang tidak langsung terkai dengan kesejahteraan Lanjut Usia telah diterbitkan
sejak 1965. beberapa di antaranya adalah :
1. Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang Jompo
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2747).
2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga
Kerja.

8
3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial.
4. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional.
6. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.
7. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
8. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
9. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan keluarga Sejahtera.
10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan
Kependudukan.
14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
(Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undang- Undang
nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo.
15. Pasal 27 UUD 45 Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjungnya hukum dan pemerinahannya itu dengan
tidak ada kecualinya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaannya dan
penghidupannya yang layak bagi kemanusiaan.
16. Pasal 34 UUD 45 Fakir miskin dan anak–anak yang terlantar dipelihara oleh
negara. Berpedoman pada hukum tersebut, sebagai perawat kesehatan masyarakat
bertanggung jawab dalam mencegah penganiayaan. Penganiayaan yang dimaksud
dapat berupa : penyianyiaan, penganiayaan yang disengaja dan eksploitasi.
Sedangkan pencegahan yang dapat dilakukan adalah berupa perlindungan di rumah,
perlindungan hukum dan perawatan di rumah.
Jenis-jenis penyiksaan (Gelles & Straus, 1988)
1. Penyiksaan suami-istri
2. Penyiksaan terhadap anak fisik dan seksual
3. Penyiksaan terhadap lansia
4. Peniksaan terhadap orang tua
9
5. Penyiksaan terhadap sibling
17. Undang-undang No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.
18. UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 19: Kesehatan manusia usia lanjut
diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan agar tetap produktif
dengan bantuan pemerintah dalam upaya penyelenggaraannya.
19. UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan usia lanjut pasal 14 : Pelayanan
kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan derajad kesehatan dan
kemampuan usia lanjut agar kondisi fisik, mental, dan sosialnya dapat berfungsi
secara wajar melalui upaya penyuluhan, penyembuhan, dan pengembangan
lembaga.
20. Undang-undang No.13 tahun 1998 mengamanatkan bahwa pemerintah dan
masyarakat berkewajiban memberikan pelayanan sosial kepada lanjut usia.
Pemberikan pelayanan berlandaskan pada filosofi dan nilai budaya masyarakat
Indonesia yang berasas Three Generation in One Roof yang mengandung arti yaitu
adanya pertautan yang bernuansa antar 3 generasi, yaitu: anak, orang tua dan
kakek/nenek.
21. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Seseorang yang telah lulus
dan mendapatkan ijasah dari pendidikan kesehatan yang diakui pemerintah. Tenaga
keperawatan adalah perawat dan bidan.
22. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Kewenangan daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. 4.23. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Kesehatan.
E. Permasalahan Permasalahan yang masih terdapat pada Lanjut Usia,
bila ditinjau dari aspek hukum dan etika, dapat disebabkan ole factor, seperti berikut :
1. Produk Hukum
Walaupun telah diterbitkan dalam jumlah banyak, belum semua produk
hukum dan perundang-undangan mempunyai Peraturan Pelakisanaan. Begitu pula,
belum diterbirkan Peraturan Daerah, Petunjuk Pelaksanaan serta Ptunjuk Teknisnya,
sehingga penerapannya di lapangan sering menimbulkan permasalahan. Undang-
undang terakhir yang diterbitkan yaitu Undang-undang Nomor 13 tahun 1998, baru
mengatur kesejahteraan sosial Lanjut Usia, sehingga perlu dipertimbangkan
diterbitkannya undang-undang lainnya yang dapat mengatasi permasalahan Lanjut
Usia secara spesifik.
10
2. Keterbatasan prasarana
Prasarana pelayanan terhadap Lanjut Usia yang terbatas di tingkat
masyarakat, pelayanan tingkat dasar, pelayanan rujuikan tingkat I dan tingkat II,
sering menimbulkanpermasalahan bagi para Lanjut Usia. Demikian pula, lembaga
sosial masyarakat dan ortganisasi sosial dan kemsyarakatan lainnya yang menaruh
minat pada permasalahan ini terbatas jumlahnya. Hal ini mengakibatkan para Lanjut
Usia tak dapat diberi pelayanan sedini mungkin, sehingga persoalannya menjadi
berat pada saat diberikan pelayanan.
3. Keterbatasan sumber daya manusia
Terbatasnya kuantitas dan kualitas tenaga yang dapat memberi pelayanan serta
perawatan kepada Lanjut Usia secara bermutu dan berkelanjutan mengakibatkan
keterlambatan dalam mengetahui tanda-tanda dini adanya suatu permasalahan
hukum dan etika yang sedang terjadi. Dengan demikian, upaya mengatasinya secara
benar oleh tenaga yang berkompeten sering dilakukan terlambat dan permasalahan
sudah berlarut. Tenaga yang dimaksud berasal dari berbagai disiplin ilmu, antara
lain :
a) Tenaga ahli gerontology.
b) Tenaga kesehatan : dokter spesalis geriatric, psikogeriatri, neurogeriatri,
dokter spesialis dan dokter umum terlatih, fisioterapis, speech therapist,
perawat terlatih.
c) Tebaga sosisal : sosiolog, petuga syang mengorganisasi kegiatan (case
managers), petugas sosial masyarakat, konselor.
d) Ahli hukum: sarjana hukum terlatih dalam gerontology, pengacara terlatih,
jaksa penunutut umum, hakim terlatih.
e) Ahli psikolog : psikolog terlatih dalam gerontology, konselor.
f) Tenaga relawan : kelompok masyarakat terlatih seperti sarjana, mahasiswa,
pramuka, pemuda, ibu rumah tangga, pengurus lembaga ketahanan
masyarakat desa, Rukun Warga/RW, Rukun Tetangga/RT terlatih.
4. Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga
Menurut Mary Ann Christ, et al. (1993), berbagai isu hukum dan etika yang
sering terjadi pada hubungan Lanjut Usia dengan keluarganya adalah :
a) Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect)
b) Tindak kejahatan (crime)
c) Pelayanan perlindungan (protective services)
11
d) Persetujuan tertulis (informed consent)
e) Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical issues)

12
BAB 3
TINJAUAN TEORI KASUS
A. Pengertian
Menurut WHO, stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal
maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam akibat
gangguan aliran darah otak.
Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak sering ini adalah kulminasi
penyakit serebrovaskuler selama beberapa tahun. (Smeltzer C. Suzanne, 2002 dalam
ekspresiku-blogspot 2008)
Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal
maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih
dari 24 jam, atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain
daripada gangguan vascular,
Berdasarkan etiologinya, stroke dibedakan menjadi :
1. Stroke perdarahan atau strok hemoragik
2. Strok iskemik atau stroke non hemoragik
Stroke non hemoragik atau yang disebut juga strok iskemik didefinisikan,
secara patologis, sebagai kematian jaringan otak karena pasokan darah yang tidak
adekuat.
Stroke non hemoregik adalah sindroma klinis yang awalnya timbul
mendadak, progresi cepat berupa deficit neurologis fokal atau global yang
berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbul kematian yang disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak non straumatik (Arif Mansjoer, 2000, hlm. 17)
Stroke non hemoragik merupakan proses terjadinya iskemia akibat emboli
dan trombosis serebral biasanya terjadi setelah lama beristirahat, baru bangun tidur
atau di pagi hari dan tidak terjadi perdarahan. Namun terjadi iskemia yang
menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. (Arif
Muttaqin, 2008, hlm. 130)
Dengan demikian stroke dapat didefinisikan adanya tanda-tanda klinik yang
berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-
gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih disebabkan oleh perdarahan
primer substansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh karena trauma kapitis.
Patologis ini menyebabkan perdarahan dari sebuah robekan yang terjadi pada
13
dinding pembuluh atau kerusakan sirkulasi serebral oleh oklusi parsial atau seluruh
lumen pembuluh darah dengan pengaruh yang bersifat sementara atau permanen.
B. Etiologi
Menurut Smeltzer (2001) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari
empat kejadian yaitu:
1. Trombosis serebral
Arteriosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah
penyebab utama trombosis serebral, yang merupakan penyebab paling
umum dari stroke. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi. Sakit
kepala adalah awitan yang tidak umum. Beberapa pasien dapat
mengalami pusing, perubahan kognitif, atau kejang, dan beberapa
mengalami awitan yang tidak dapat dibedakan dari haemorrhagi
intracerebral atau embolisme serebral. Secara umum, thrombosis serebral
tidak terjadi dengan tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara,
hemiplegia, atau parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului awitan
paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
2. Embolisme serebral
Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang -
cabangnya, yang merusak sirkulasi serebral. Awitan hemiparesis atau
hemiplegia tiba-tiba dengan afasia atau tanpa afasia atau kehilangan
kesadaran pada pasien dengan penyakit jantung atau pulmonal adalah
karakteristik dari embolisme serebral.
3. Iskemia serebral
Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena
konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
4. Haemorhagi serebral
a. Haemorhagi ekstradural (haemorrhagi epidural) adalah kedaruratan
bedah neuro yang memerlukan perawatan segera. Keadaan ini
biasanya mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah
arteri meninges lain, dan pasien harus diatasi dalam beberapa jam
cedera untuk mempertahankan hidup.
b. Haemorhagi subdural pada dasarnya sama dengan haemorrhagi epidu
ral, kecuali bahwa hematoma subdural biasanya jembatan vena robek.
Karenanya periode pembentukan hematoma lebih lama dan
14
menyebabkan tekanan pada otak. Beberapa pasien mungkin
mengalami haemorrhagi subdural kronik tanpa menunjukkan tanda
atau gejala.
c. Haemorrhagi subarakhnoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau
hipertensi, tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisme
pada area sirkulus Willisi dan malformasi arteri vena kongenital pada
otak.
d. Haemorrhagi intracerebral adalah perdarahan di substansi dalam otak
paling umum pada pasien dengan hipertensi dan aterosklerosis
serebral, karena perubahan degeneratif karena penyakit ini biasanya
menyebabkan rupture pembuluh darah. Biasanya awitan tiba -tiba,
dengan sakit kepala berat. Bila haemorrhagi membesar, makin jelas
deficit neurologik yang terjadi dalam bentuk penurunan kesadaran
dan abnormalitas pada tanda vital.
C. Faktor resiko pada stroke: (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)
1. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang potensial. Hipertensi dapat
mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak.
Apabila pembuluh darah otak pecah maka timbullah perdarahan otak dan
apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke otak akan
terganggu dan sel – sel otak akan mengalami kematian.
2. Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak yang
berukuran besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak akan
menyempitkan diameter pembuluh darah tadi dan penyempitan tersebut
kemudian akan mengganggu kelancaran aliran ke otak, yang pada akhirnya
akan menyebabkan infark sel – sel otak.
3. Penyakit Jantung
Berbagai penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke. Faktor
risiko ini akan menimbulkan hambatan/sumbatan aliran darah ke otak karena
jantung melepas gumpalan darah atau sel – sel/jaringan yang telah mati ke
dalam aliran darah.

15
4. Hiperkolesterolemi
Meningginya angka kolesterol dalam darah, terutama low density
lipoprotein (LDL), merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya
arteriosklerosis (menebalnya dinding pembuluh darah yang kemudian diikuti
penurunan elastisitas pembuluh darah). Peningkatan kadar LDL dan penurunan
kadar HDL (High Density Lipoprotein) merupakan faktor risiko untuk
terjadinya penyakit jantung koroner.
1. Infeksi
Penyakit infeksi yang mampu berperan sebagai faktor risiko stroke
adalah tuberkulosis, malaria, lues, leptospirosis, dan in feksi cacing.
2. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung.
3. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya infark
jantung.
4. Kelainan pembuluh darah otak
Pembuluh darah otak yang tidak normal suatu saat akan pecah dan
menimbulkan perdarahan.
5. Peningkatan hematokrit ( resiko infark serebral)
Kontrasepasi oral (khususnya dengan disertai hipertensi, merokok, dan
kadar estrogen tinggi)
6. Penyalahgunaan obat ( kokain)
7. Konsumsi alcohol
8. Lain – lain, Lanjut usia, penyakit paru – paru menahun, penyakit
darah, asam urat yang berlebihan, kombinasi berbagai faktor risiko
secara teori.

D. Klasifikasi Stroke
Stroke non hemoragik dapat diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakitnya,
yaitu:
1. Non Haemorrhagi/Iskemik/Infark
Stroke Iskemik (non hemoragic) adalah penurunan aliran darah ke bagian otak
yang disebakan karena vasokontriksi akibat penyumbatan pada pembuluh darah

16
arteri sehingga suplai darah ke otak mengalami penurunan (Mardjono &
Sidharta, 2008).
a. Transient Ischemic Attack (TIA)/Serangan Iskemi Sepintas TIA merupakan
tampilan peristiwa berupa episode-episode serangan sesaat dari suatu disfungsi
serebral fokal akibat gangguan vaskuler, dengan lama serangan sekitar 2 -15
menit sampai paling lama 24 jam.
b. Defisit Neurologis Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurologi
Defisit (RIND) Gejala dan tanda gangguan neurologis setempat yang
berlangsung lebih lama dari 24 jam dan kemudian pulih kembali (dalam
jangka waktu kurang dari tiga minggu).
c. In Evolutional atau Progressing Stroke merupakan Gejala gangguan
neurologis yang progresif dalam waktu enam jam atau lebih. Perkembangan
stroke terjadi perlahan – lahan sampai akut, munculnya gejala makin
memburuk
d. Stroke Komplit (Completed Stroke / Permanent Stroke ) merupakan Gejala
gangguan neurologis dengan lesi -lesi yang stabil selama periode waktu 18-
24  jam, tanpa adanya progesifitas lanjut. Gangguan neurologist yang timbul
bersifat menetap atau permanent, dari sejak awal serangan dan sedikit tidak
ada perbaikan.
2. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik merupakan stroke yang disebabkan oleh karena adanya
perdarahan suatu arteri serebralis yang menyebabkan kerusakan otak dan
gangguan fungsi saraf. Darah yang keluar dari pembuluh darah dapat masuk
kedalam jaringan otak sehingga terjadi hematoma (Junaidi,2011). Berdasarkan
perjalanan klinisnya stroke hemoragik di kelompokan sebagai berikut:
a. PIS (Perdarahan intraserebral)
Perdarahan intraserebral disebabkan karena adanya pembuluh darah
intraserebral yang pecah sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan
masuk ke dalam jaringan otak. Keadaan tersebut menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial atau intraserebral sehingga terjadi
penekanan pada pembuluh darah otak sehingga menyebabkan penurunan
aliran darah otak dan berujung pada kematian sel sehingga mengakibatkan
defisit neurologi (Smeltzer & Bare, 2005). Perdarahan intraserebral (PIS)
adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam
17
parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini banyak
disebabkan oleh hipertensi dan penyakit darah seperti hemofilia (Pizon &
Asanti, 2010).
b. PSA (Pendarahan subarakhnoid)
Pendarahan subarakhnoid merupakan masuknya darah ke ruang
subrakhnoid baik dari tempat lain (pendarahan subarakhnoid sekunder)
atau sumber perdarahan berasal dari rongga subrakhnoid itu sendiri
(pendarahan subarakhnoid) (Junaidi, 2011). Perdarahan subarakhnoidal
(PSA) merupakan perdarahan yang terjadi masuknya darah ke dalam
ruangan subarakhnoid (Pizon & Asanti, 2010)

E. Epidemiologi
Stroke dahulu dianggap sebagai penyakit yang tidak dapat diduga yang dapat
terjadi pada siapa saja, dan sekali terjadi tidak ada lagi tindakan efektif yang dapat
dilakukan untuk mengatasinya. Namun, data-data ilmiah terakhir secara meyakinkan
telah membuktikan hal yang sebaliknya. Selama dekade terakhir telah terjadi
kemajuan besar dalam pemahaman mengenai faktor risiko, pencegahan, pengobatan
dan rehabilitasi stroke. Kita sekarang mengetahui bahwa stroke dapat diperkirakan
dan dapat dicegah pada hampir 85% orang. Juga terdapat terapi efektif yang dapat
secara substansial memperbaiki hasil akhir stroke. Pada kenyatannya, sekitar
sepertiga pasien stroke sekarang dapat pulih sempurna, dan proporsi ini dapat
meningkat jika pasien selalu mendapat terapi darurat dan rehabilitasi yang memadai
(Feigin, 2006).
Kata ”stroke” sebenarnya merupakan istilah Inggris yang berarti ”pukulan”,
tapi makna kedokterannya ternyata dikenal secara luas di kalangan kedokteran
Internasional. Stroke digunakan untuk menamakan sindrom ”hemiparesis” atau
”hemiparalisis” akibat lesi vaskuler yang bisa bangkit dalam beberapa detik sampai
hari, tergantung pada jenis penyakit yang menjadi penyebabnya. Di mana daerah
otak yang tidak berfungsi lagi, bisa disebabkan karena secara tiba-tiba tidak
menerima  jatah darah lagi karena pembuluh darah yang memperdarahi daerah itu
putus atau tersumbat. Penyumbatan itu bisa terjadi secara mendadak, secara
berangsur-angsur ataupun tiba-tiba namun berlangsung hanya sementara (Mardjono,
1989).

18
Stroke merupakan penyakit gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan
saraf/defisit neurologik akibat gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak.
Secara sederhana stroke didefinisikan sebagai penyakit otak akibat terhentinya
suplai darah ke otak karena sumbatan atau perdarahan, dengan gejala lemas/lumpuh
sesaat, atau gejala berat sampai hilangnya kesadaran, dan kematian. Stroke bisa
berupa iskemik maupun perdarahan (hemoragik)(Junaidi,2004).Pada stroke iskemik,
aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerotik atau bekuan darah yang telah
menyumbat suatu pembuluh darah melalui proses aterosklerosis. Sedang pada stroke
perdarahan (hemoragik) pembuluh darah pecah menjadi tidak normal dan darah
yang keluar  merembes masuk ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya
(Junaidi, 2006). Menurut WHO, stroke adalah tanda-tanda klinis mengenai
gangguan fungsi serebral secara fokal ataupun global, yang berkembang dengan
cepat, dengan gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, atau mengarah ke
kematian tanpa penyebab yang kelihatan, selain tanda-tanda yang berkenaan dengan
aliran darah di otak.Menurut Junaidi, stroke adalah penyakit gangguan fungsional
otak akut, fokal maupun global, akibat gangguan aliran darah ke otak karena
perdarahan ataupun sumbatan dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak yang
terkena, yang dapat sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, atau berakibat
kematian

F. Patofisiologi
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola mengalami perubahan
patologik pada dinding pembuluh darah tersebut berupa hipohialinosis, nekrosis
fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Arteriol-arteriol dari cabang-
cabang lentikulostriata, cabang tembus arteriotalamus dan cabang-cabang
paramedian arteria vertebro-basilar mengalami perubahan-perubahan degeneratif
yang sama . Kenaikan darah yang “abrupt” atau kenaikan dalam jumlah yang secara
mencolok  dapat menginduksi pecahnya pembuluh darah terutama pada pagi hari
dan sore hari. Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlanjut
sampai dengan 6 jam dan jika volumenya besar akan merusak struktur anatomi otak
dan menimbulkan gejala klinik
Jika perdarahan yang timbul kecil ukurannya, maka massa darah hanya dapat
merasuk dan menyela di antara selaput akson massa putih tanpa merusaknya. Pada
keadaan ini absorbsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-fungsi neurologi.
19
Sedangkan pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peninggian
tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk
serebri atau lewat foramen magnum. Kematian dapat disebabkan oleh kompresi
batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi
perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada
sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus dan pons. Selain
kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan
mengakibatkan peningian tekanan intrakranial dan menebabkan menurunnya
tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak.
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena
darah dan sekitarnya tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis.
Apabila volume darah lebih dari 60 cc maka resiko kematian sebesar 93 % pada
perdarahan dalam dan 71 % pada perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi
perdarahan serebelar dengan volume antara 30-60 cc diperkirakan kemungkinan
kematian sebesar 75 % tetapi volume darah 5 cc dan terdapat di pons sudah
berakibat fatal. (Jusuf Misbach, 1999).

G. Manifestasi Klinis Stroke


Menurut Smeltzer (2001) manifestasi klinis stroke terdiri atas:
1. Defisit Lapang Penglihatan
a.  Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang penglihatan), sisi
visual yang terkena berkaitan dengan sisi tubuh yang paralisis yaitu kesulitan
menilai jarak, tidak menyadari orang atau objek ditempat kehilangan
penglihatan, mengabaikan salah satu sisi tubuh.
b. Kehilangan penglihatan perifer, Kesulitan melihat pada malam hari, tidak
menyadari objek atau batas objek.
c. Diplopia (Penglihatan ganda).
2. Defisit Motorik
Stroke adalah penyakit neuron atas dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunter. Gangguan kontrol volunter pada salah satu sisi tubuh dapat
menunjukan kerusakan pada neuron atas pada sisi yang belawanan dari otak.
i. Hemiplegi (paralisis pada salah satu sisi tubuh)

20
ii. Hemiparesis
Kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama. Paralisis wajah
(karena lesi pada hemisfer yang berlawanan).
iii.  Ataksia
Berjalan tidak mantap atau tegak, Tidak mampu menyatukan kaki, perlu
dasar berdiri yang luas.
iv. Disartria (kesulitan berbicara
Kesulitan dalam membentuk kata, ditunjukan dengan bicara yang sulit
dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab
menghasilkan bicara.
v. Disfagia
Kesulitan dalam menelan.
3. Defisit Verbal
Fungsi otak lain yang yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan
komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling umum. Disfungsi bahasa
dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut :
a) Disfasia atau afasia (kehilangan bicara), yang terutama ekspresif atau
reseptif :
1) Afasia Ekspresif
Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami, mungkin
mampu bicara dalam respon kata tunggal.
2) Afasia Reseptif
Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan, mampu bicara tetapi
tidak masuk akal.
b) Afasia Global
Kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif.
c) Apraksia
Ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya.
d) Defisit Kognitif dan efek psikologis
Pada penderita stroke akan kehilangan memori jangka pendek dan
panjang, penurunan lapang perhatian, kerusakan kemampuan untuk
berkonsentrasi , alasan abstrak buruk, perubahan penilaian dan kurang
motivasi

21
e) Defisit Emosional
Penderita akan mengalami kehilangan kontrol diri, labilitas emosional,
penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress, depresi,
menarik diri, rasa takut, bermusuhan dan marah, perasaan isolasi
f) Defisit sensori, terjadi pada sisi berlawanan dari lesi yaitu kehilangan
kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh.
g) Disfungsi kandung kemih, setelah stroke pasien mungkin mengalami
inkontenensia urinarius karena kerusakan kontrol motorik.

H. Komplikasi
Komplikasi stroke menurut Smeltzer (2002,hal 2131):
1. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama)
a. Edema serebri: defisit neurologis cenderung memberat, dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan akhirnya menimbulkan
kematian.
b. Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke stadium awal.
2. Komplikasi Jangka pendek (1-14 hari pertama) 
a. Pneumonia: Akibat immobilisasi lama
b. Infark miokard
c. Emboli paru: Cenderung terjadi 7 -14 hari pasca stroke, seringkali pada saat
penderita mulai mobilisasi.
d. Stroke rekuren: Dapat terjadi pada setiap saat.
3. Komplikasi Jangka panjang
Stroke rekuren, infark miokard, gangguan vaskular lain: penyakit vaskular perifer.

I. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan diagnostik
a) CT scan (Computer Tomografi Scan) : Pembidaian ini memperlihatkan
secara spesifik letak edema, posisi hematoma adanya jaringan otak yang
infark atau iskemia, dan posisinya secara pasti. Hasil pemerikasaan
biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang pemadatan terlihat
di ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
b) MRI (Magnatik Resonan Imaging) untuk menunjukkan area yang
mengalami infark, hemoragik.
22
c) Angiografi serebral: Membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri.
d) Pemeriksaan foto thorax dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah
terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda
hipertensi kronis pada penderita stroke.
e) Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng
pineal.
f) Elektro Encephalografi (EEG)
Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin
memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
B. Pemeriksaan laboratorium
a) Fungsi lumbal: Menunjukan adanya tekanan normal dan cairan tidak
mengandung darah atau jernih.
b) Pemeriksaan darah rutin
c) Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia.
(Gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian
berangsur-angsur turun kembali.)
d) Pemeriksaan darah lengkap : untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri.

J. Pencegahan
Pencegahan stroke yang efektif dengan cara menghindari faktor resikonya, banyak
faktor resiko stroke yang bisa di modifikasi. Sebagian dari pencegahan stroke
caranya:
1. Kontrol tekanan darah. hipertensi merupakan penyebab serangan stroke.
2. Kurangi atau hentikan merokok. Karena nikotin dapat menempel di
pembuluh darah dan menjadi plak, jika plaknya menumpuk bisa menyumbat
pembuluh darah.
3. Olahraga teratur. Olahraga teratur bisa meningkatkan ketahanan jantung dan
menurunkan berat badan
4. Perbanyak makan sayur dan buah. Sayur dan buah mengandung banyak
antioksidan yang bisa menangkal radikal bebas, selain itu sayur dan buah
rendah kolesterol.

23
5. Suplai Vitamin E yang cukup. Para peneliti dari Columbia Presbyterian
Medical Center melaporkan bahwa konsumsi vitamin E tiap hari menurunkan
resiko stroke sampai 50% vitamin E juga menghaluskan kulit.

K. Penatalaksanaan
Untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor kritis sebagai
berikut:
1. Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan:
a. Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan
lendir yang sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi,
membantu pernafasan.
b. Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk usaha
memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
2. Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
3. Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.
4. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat
mungkin pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan
gerak pasif.
 Pengobatan Konservatif
1. Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara percobaan,
tetapi maknanya pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
2. Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra arterial.
3. Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat reaksi
pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
 Pengobatan Pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral:
1. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan
membuka arteri karotis di leher.
2. Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya
paling dirasakan oleh pasien TIA.
3. Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut.
4. Ligasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma.

24
BAB 4
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Pengumpulan data
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnose medis.
2) Keluhan utama
Biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak sebelah badan,
bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi. (Jusuf Misbach,
1999)
3) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke non hemoragik seringkali berlangsung sangat
mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya
terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak
sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh badan atau
gangguan fungsi otak yang lain. (Siti Rochani, 2000)
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung,
anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama,
penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-
obat adiktif, kegemukan. (Donna D.Ignativicius, 1995)
5) Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun
diabetes militus (Hendro Susilo, 2000)
6) Riwayat psikososial
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk
pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan
keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi
stabilitas emosi dan pikiran klien dan keluarga.
7) Pola-pola fungsi kesehatan
a) Pola nutrisi dan metabolism
25
Adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual muntah pada fase akut.
b) Pola eliminasi
Biasanya terjadi inkontinensia urine dan pada pola defekasi
biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik
usus.
c) Pola aktivitas dan latihan
Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, mudah lelah
d) Pola tidur dan istirahat
Biasanya klien mengalami kesukaran untuk istirahat karena
kejang otot/nyeri otot
e) Pola hubungan dan peran
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien
mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat
gangguan bicara.
f) Pola persepsi dan konsep diri
Klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah
marah, tidak kooperatif.
g) Pola sensori dan kognitif
Pada pola sensori klien mengalami gangguan
penglihatan/kekaburan pandangan, perabaan/sentuhan
menurun pada muka dan ekstremitas yang sakit. Pada pola
kognitif biasanya terjadi penurunan memori dan proses
berpikir.
h) Pola reproduksi seksual
Biasanya terjadi penurunan gairah seksual akibat dari
beberapa pengobatan stroke, seperti obat anti kejang, anti
hipertensi, antagonis histamin.
i) Pola penanggulangan stress
Klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan
masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan
berkomunikasi.
j) Pola tata nilai dan kepercayaan
26
Klien biasanya jarang melakukan ibadah karena tingkah
laku yang tidak stabil, kelemahan/kelumpuhan pada salah
satu sisi tubuh
k) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasanya ada riwayat perokok, penggunaan alkohol,
penggunaan obat kontrasepsi oral.
b. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
a. Kesadaran : umumnya mengelami penurunan kesadaran
b. Suara bicara : kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti,
kadang tidak bisa bicara
c. Tanda-tanda vital : tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi
2. Pemeriksaan integument
a. Kulit : jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping itu perlu
juga dikaji tanda - tanda dekubitus terutama pada daerah yang
menonjol karena klien CVA Bleeding harus bed rest 2-3 minggu
b. Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis .
c. Rambut : umumnya tidak ada kelainan
3. Pemeriksaan kepala dan leher
a. Kepala : bentuk normocephalik
b. Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi
c. Leher : kaku kuduk jarang terjadi (Satyanegara, 1998)
4. Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi,
wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat
penurunan reflex batuk dan menelan.
5. Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan
kadang terdapat kembung
6. Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensi urine
7. Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
27
8. Pemeriksaan neurologi
9. Pemeriksaan nervus cranialis
Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII central.
10. Pemeriksaan motorik
Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
11. Pemeriksaan sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi.
12. Pemeriksaan reflex
Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang.
Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahuli
dengan reflex patologis.(Jusuf Misbach, 1999)

2. Diagnosa Keperawatan
 Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan suplai
darah dan O2 ke otak.
 Nyeri akut b/dagen cedera biologi,penurunan suplai darah dan O2 ke otak,
infark serebri
 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan
neuromuscular: paralisis hemiplegia dan hemiparesis,
parastesia,flaksid/paralisis hipotonik (awal).
 Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan Disartria, disfasia/
afasia, apraksia
 Perubahan sensori persepsi berhubungan dengan Disfungsi persepsi visual
spasial dan kehilangan sensorik
 Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik umum
 Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake nutrisi kurang adekuat, kelemahan otot mengunyah dan
menelan
 Gangguan eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan kelemahan otot
spicnter
 Gangguan eliminasi urin (incontinensia urin) yang berhubungan dengan
kelemahan otot spicnter

28
 Resiko bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan menurunnya
refleks batuk.
 Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penekanan jaringan
setempat
3. Interveni
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan oklusif,
edema serebral.
Tujuan :
1) Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi
kognitif dan motorik/sensori.
2) Mendemontrasikan tanda-tanda vital stabil dan tidak adanya tanda-
tanda peningkatan Tekana Intra Kranial.
3) Menunjukan tidak ada kelanjutan deteriorasi/kekambuhan kembali

Perencanaan tindakan :
a) Pantau/catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan
dengan keadaan normalnya.
b) Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan
keadaan/penyebab khusus selama koma/penurunan perfusi
jaringan serebral dan potensial terjadinya peningkatan Tekanan
Intra Kranial.
c) Pantau tanda-tanda vital seperti adanya hipertensi/hipotensi,
bandingkan tekanan darah yang terbaca pada kedua lengan.
d) Catat frekuensi dan irama dari pernapasan, auskultasi adanya
murmur.
e) Catat perubahan dalam penglihatan, seperti adanya kebutuhan,
gangguan lapang pandang atau kedalam persepsi.
f) Letakan kepala dengan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi
anatomis.
g) Pertahankan keadaan tirah baring, ciptakan lingkungan yang
tenang, batasi pengunjung/aktivitas pasien sesuai dengan
indikasi. Berikan istirahat secara periodik antara aktivitas
perawatan, batasi lamanya setiap prosedur.

29
h) Kaji fungsi-fungsi yang lebih tinggi, seperti fungsi bicara.
i) Cegah terjadinya mengejan saat defikasi dan pernapasan yang
memaksa (batuk terus-menerus).
j) Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, seperti masa
protrombin, kadar dilatin.

b. Kerusakan mobilitas fisik b.d keterlibatan neuromuskuler, kelemahan,


parestesia, flaksid/paralysis hipotonik, paralysis spastis. Kerusakan
perceptual/kognitif.
Tujuan :
1) Mempertahankan posisi optimal dari fungsi yang dibuktikan oleh
tidak adanya kontraktur, foot drop.
2) Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh
yang terkena atau kompensasi.
3) Mendemontrasikan tehnik/prilaku yang memungkinkan melakukan
aktivitas, dan mempertahankan integritas kulit.

Perencanaan tindakan:
a) Kaji kemampuan secara fungsionalnya/luasnya kerusakan awal dan
dengan cara teratur.
b) Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang, miring) dan sebagainya
dan jika memungkinkan bisa lebih sering jika diletakan dalam posisi
bagian yang terganggu.
c) Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada
semua ekstremitas saat masuk. Anjurkan lakukan latihan seperti
latihan kuadrisep/gluteal, meremas bola karet, melakukan jari-jari
dan kaki/telapak.
d) Tinggikan tangan dan kepala.
e) Observasi daerah yang tertekan termasuk warna, edema, atau tanda
lain dari gangguan sirkulasi.
f) Inspeksi kulit terutama pada daerah-daerah yang menonjol secara
teratur. Lakukan massage secara hati-hati pada daerah kemerahan
dan beriakan alat bantu seperti bantalan lunak kulit sesuai dengan
kebutuhan.
30
g) Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan
mengguanakan ekstremitas yang tidak sakit untuk
menyokong/menggerakan daerah tubuh yang mengalami kelemahan.
h) Konsultasikan dengan ahli fisiotrapi secara aktif, latihan resestif,
dan ambulasi pasien.

c. Kerusakan komunikasi verbal dan atau tertulis b.d kerusakan sirkulasi


serebral, kerusakan neuromuscular, kehilangan tonus/kontrol otot fasial/oral,
kelemahan/kelelahan umum.
Tujuan :
1) Mengindikasikan pemahaman tentang masalah komunikasi.
2) Membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat diekspresikan.
3) Menggunakan sumber-sumber dengan tepat

Perencanaan tindakan :
1) Kaji tipe atau derajat disfungsi seperti pasien tidak tampak memahami
kata atau mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian
sendiri.
2) Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan memberikan umpan balik.
3) Tunjukan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda
tersebut.
4) Mintalah pasien untuk mengucapkan suara sederhana seperti SH atau
pus.
5) Minta pasien untuk menulis nama atau kalimat yang pendek. Jika tidak
dapat menulis mintalah pasien untuk membaca kalimat yang pendek.
6) Antisipasi dan penuhi kebutuhan pasien.
7) Konsultasikan dengan/rujuk kepada ahli terapi wicara.

d. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskular,


penurunan kekuatan dan ketahanan.
Tujuan :
1) Mendemonstrasikan tekhnik/perubahan gaya hidup untuk memenuhi
kebutuhan perawatan diri.
2) Melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri.
31
Perencanaan tindakan:
a) Kaji kemampun dari tingkat kekurangan untuk melakukan kebutuhan
sehari – hari.
b) Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dilakukan pasien sendiri,
tetapi berikan bantuan sesuai dengan kebutuhan
c) Kaji kemampuan pasien untuk berkomunikasi tentang kebutuhannya
untuk menghindari atau kemampuan untuk menggunakan urinal, bedpen.
Bawa pasien ke kamar mandi dengan teratur interval waktu tertentu untuk
berkemih jika memungkinkan.
d) Konsultasikan dengan ahli fisioterapi/ahli terapi okupasi.

e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kesalahan


interprestasi informasi kurang mengingat.
Tujuan :
1) Berpartisipasi dalam belajar
2) Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi/prognosis dan aturan
terapeutik.
3) Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan.
Perencana tindakan:
a) Kaji ulang tingkat pemahaman klien tentang penyakit
b) Diskusikan keadaan patologis yang khusus dan kekuatan pada individu
c) Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
d) Berikan informasi mengenai penyebab penyakit stroke, penyebab dan
pencegahan, dan makan yang berpengaruh
e) Rujuk atau tegaskan perlu evaluasi dengan tim ahli rehabilitasi, seperti
ahli fisioterapi fisik, terapi okupasi, terapi wicara.

f. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat pernapasan
Tujuan : Pola nafas pasien efektif
Kriteria Hasil:
1) RR 18-20 x permenit
2) Ekspansi dada normal.
Perencanaan tindakan:
a) Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.
32
b) Auskultasi bunyi nafas.
c) Pantau penurunan bunyi nafas.
d) Pastikan kepatenan O2 binasal.
e) Berikan posisi yang nyaman : semi fowler.
f) Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam.
g) Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan.

33
Daftar Pustaka

Brunner & Suddarth. 2015. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilynn E., Moorhouse, Mary Frances dan Geissler, Alice C. 2015. Edisi 3.
Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Mansjoer, arief, dkk. 2016. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid Pertama. Jakarta:
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Price, Sylvia A. 2015. Edisi 4. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta:
EGC.

34

Anda mungkin juga menyukai