Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Praktik keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan
kesehatan. Penerapan praktik keperawatan tidak hanya diberikan pada pasien
balita, anak - anak, dan orang dewasa muda, tetapi juga diberikan pada pasien
lanjut usia. Menurut Undang-Undang No 13 Tahun 1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia pada bab I pasal 1 ayat 2, yang dimaksud lanjut usia
adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Lansia biasanya
ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres
lingkungan (Surini & Otamo, 2003 dalam Ma'rifatul Lilik, 2011), hal ini
dikatakan sebagai ageing process. Ageing process (proses menua) adalah
suatu proses menghilangnya secara perlahan - lahan kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri, mengganti atau mempertahankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan
yang diderita (Canstantindes, 1994; Darmojo, 2004 dikutip oleh Ma'rifatul
Lilik, 2011).
Secara global populasi penuaan merupakan tantangan penting dan
kesempatan yang dihadapi oleh semua negara. Di negara-negara berkembang,
populasi penuaan mengubah sifat tuntutan pada sistem perawatan kesehatan
yang harus mengakomodasi kebutuhan populasi yang lebih tua sambil terus
untuk mengatasi masalah kesehatan prioritas lain seperti kesehatan ibu dan
anak (WHO, 2013). Peningkatan usia harapan hidup menimbulkan
peningkatan jumlah lanjut usia (Lansia) di dunia. Lanjut usia adalah
seseorang yang berumur 60 tahun atau lebih (WHO 1998, dalam Nugroho
2000). Jumlah lansia usia 60 tahun secara global diprediksikan pada tahun
2025 akan mencapai 1200 individu lanjut usia dan angka sebaran lansia
terbanyak diseluruh dunia terdapat dinegara Cina, India, Amerika Serikat, dan
Indonesia (Kuliah Pakar: Hendri Purwadi, 2013).

Transisi demografi pada kelompok lansia terkait dengan status


kesehatan lansia yang lebih terjamin, sehingga usia harapan hidup lansia lebih
tinggi dibanding masa-masa sebelumnya. Pertambahan jumlah lansia di
Indonesia dalam kurun waktu tahun 1990 2025, tergolong tercepat di dunia.
Sedangkan umur harapan hidup berdasarkan sensus BPS tahun 1998 masingmasing untuk pria 63 tahun dan perempuan 67 tahun. Angka di atas berbeda
dengan kajian WHO (1999), dimana usia harapan hidup orang Indonesia ratarata adalah 59,7 tahun dan menempati urutan ke-103 dunia (Bondan Palestin,
2011). Berdasarkan data BPS, Proyeksi Penduduk Indonesia per Propinsi
1995 2005, Jakarta 1988, menerangkan bahwa distribusi usia lanjut di
Indonesia meliputi 13.75 % berada di D.I. Yogyakarta, 10.54 % berada di
Jawa Timur, 9.72 % berada di Bali, 9.55 % berada di Jawa Tengah, 9.08 %
berada di Sumatra Barat, dan 7.63 % berada di Sulawesi Selatan (Kuliah
Pakar: Bondan Paleestin, 2013).
Terlepas dari permasalahan peningkatan harapan hidup di negara maju
telah memimpin peningkatan jumlah orang tua dirawat di panti jompo
berdampak pula pada otonomi dan masalah legal etik lansia. Mengingat
kelemahan fisik dan kerusakan kapasitas mental di banyak penduduk ini,
pertanyaan muncul sebagai otonomi mereka dan untuk perlindungan mereka
dari bahaya. Pada tahun 2005, salah satu pengadilan Jerman tertinggi,
Bundesgerichtshof (BGH) mengeluarkan putusan mani yang berurusan
dengan kewajiban panti jompo dan dengan melestarikan otonomi dan privasi
dalam penghuni panti jompo (Artikel Global Medical Ethic oleh Kai Sammet,
2007).
Isu - isu legal dan etik yang memengaruhi lansia telah mengalami
peningkatan angka kejadian di pengadilan pada masa sekarang ini. Perawat
yang merawat lansia mengalami isu etis yang unik pada golongan usia ini.
Sekelompok pertanyaan muncul pada tingkat individu yang berkaitan dengan
permasalahan penuaan dan arti manusia. Kelompok pertanyaan kedua
berkaitan dengan pengalaman subjektif dari kecacatan dan penyakit sebagai
yang dirasakan dan ditafsirkan oleh lansia dan respons yang diberikan oleh
2

perawat, dokter, atau tenaga kesehatan yang lain. Serta yang terakhir
kelompok ketiga masalah berpusat pada proses pengambilan keputusan medis
yang mengikutsertakan pasien, anggota keluarga, para tenaga kesehatan,
petugas lapangan, dan administrator rumah sakit. Akhirnya, masalah etis yang
berhubungan dengan lansia sebagai suatu kelompok muncul dalam konteks
masyarakat yang lebih besar (Mickey & Patricia, 2006). Oleh karnanya akan
dibahas lebih lanjut mengenai pengaruh nilai - nilai etis terhadap perawatan
lansia berdasarkan evidence-based dari beberapa Buku kesehatan lansia.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka rumusan
masalah Aspek Legal Etik Keperawatan Gerontik".
C. TUJUAN PENULISAN
1.

Tujuan Umum
Untuk diketahuinya dan memahami aspek legal etik keperawatan
Gerontik.

2.

Tujuan Khusus
a. Diketahuinya isu etik dan legal dalam keperawatan Gerontik
b. Diketahuinya pengaruh etik da legal terhadap Keperawatan Gerontik
c. Diketahuinya cara pemecahan masalah etik pada Keperawatan
Gerontik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ASPEK ETIK DALAM KEPERAWATAN GERONTIK
Etika keperawatan dapat diartikan sebagai filsafat yang mengarahkan
tanggung jawab moral yang mendasari pelaksanaan praktek keperawatan
Lansia harus diperlakukan dengan kepedulian dan bermartabat.

Sangat

disayangkan, perawat-perawat melihat malpraktik medis, klaim kesalahan,


kekerasan pada lansia, dan hilangnya hak yang terjadi secara berulang-ulang.
Sebagai perawat dan advokat pasien, kita dapat ,membuat perubahan untuk
pasien-pasien lansia.
1. Peran Etis Perawat
a. Perawatan pasien lansia
Pasien lansia rentan karena penyakit, pasien lansia beraada pada risiko
ganda. Lansia mudah terkena serangan tidak hanya berdasarkan
keadaan sakit, tetapi juga karena menjadi lebih tua dalam suatu
masyarakat. Oleh karena itu, beberaa pakar mengimbau perawat
gerontik dan tenaga kesehatan lain yang memberikan pelayanan
keperawatan kepada pasien lansia mempunyai suatu tanggung jawab
untuk melakukan hal berikut:
1) Menentang mitos dan pandangan sterotip dihubungkan dengan
penuaan.
2) Membedakan suatu ciri proses penuaan yang sehat dari penyakit
3) Memeriksa faktor psikologis sosial dan biologis yang
memengaruhi penuaan yang sehat.
4) Mengembangkan strategi untuk melindungi, meningkatkan, dan
memelihara kesehatan wanita usai lanjut.
5) Memurnikan suatu konsep kesehatan

fungsional

dengan

mengetahui pribadi juga sumber daya lingkungan dan menekankan


potensi pertumbuhan penuaan wanita pada semua tingkat
kesehatan.
b. Keperawatan sebagai caring

Tangguang jawab etis seorang perawat secara umum telah diuraikan


dalam kaitannya dengan caring dan perlindungan. Walaupun
keperawatan sering dihubungkan dengan fungsi pelayanan, baik dokter
maupun perawat peduli tentang dan untuk pasien (Jecker 1991 dalam
Stanley 2006), dan caring adalah pusat tujuan pelayanan kesehatan
yang etis. Selain itu, keterampilan untuk perawat secara medis dan
teknis kompleks. Praktik keperawatn telah meningkat dari keperawatan
domestik yang lebih sederhana di dalam ruah menjadi pembedahan
dan anestesi di dalam unit perawatan intensif (UPI) yang modern.
Akhirnya, caring tidak hanya meliputi membantu orang lain, tetapi
juga menahan diri dari menggunakan berbagai bentuk terapi dan
pengobatan.
c. Keperawatan sebagai Advokasi
Model keperawatan menekankan tanggapan untuk memberikan
respons trehadap rasa sakit dan penderitaan, advokasi menekankan
pada rasa hormat terhadap pasien dan mempertahankan hak hukum
pasien. Pada model ini, perawat secara ideal memiliki pengetahuan
tentang hak dan siap meredam perselisihan dengan maksud untuk
perlindungan dan melindungi pasien terhadap penyalahgunaan hakhak. Secara khusus, hak yang harus dilindungi oleh perawat meliputi
hal-hal yang termasuk dalam American Hospital Associations Bill of
Right yang dinyatakan pada tahun 1973. Hak tersebut adalah :
1) Pasien berhak mendapat perhatian dan pelayanan yang terhormat.
2) Pasien berhak memperoleh informasi lengkap berdasarkan hasil
diagnosis, pengobatan dan prognosis dari dokter sehingga pasien
diharapkan paham.
3) Pasuien berhak memperoleh

informasi

dari

dokter

untuk

persetujuan tindakan sebelum memulai pengobatan.


4) Pasien berhak menolak perawatan yang diberikan dan mengetahui
konsekuensi dari tindakan tersebut.
5) Pasien berhak mengharapkan bahwa semua hal tentang dirinya
terjaga kerahasiaannya.
6) Pasien berhak mendapat privasi atas tindakan medik yang
diterimanya.
5

7) Pasien berhak mengaharapkan bahwa rumah sakit mampu


memberikan tanggapan beralasan terhadap permintaan pasien
untuk jasa pelayanan yang diperlukan.
8) Pasien berhak memperoleh informasi seperti hubungan rumah sakit
dengan pelayanan kesehatan lain dan institusi pendidikan
sepanjang perawatannya diperhatikan.
9) Pasien berhak diberi pertimbangan

jika

rumah

sakit

mengikutsertakan dalam percobaan masusia yang mempengaruhi


perawatan.
10) Pasien berhak mengaharapkan perawata berkesinambungan.
11) Pasien berhak memeriksa dan menerima penjelasan terperinci
tentang tagihan biaya perawatan.
12) Pasien berhak mengetahui peraturan rumah sakit.
2. Prioritas Penelitian Bidang Keperawatan Gerontik
Keperawatan gerontik secara holistik menggabungkan aspek
pengetahuan dan keterampilan dari berbagai macam disiplin ilmu dalam
mempertahankan kondisi kesehatan fisik, mental, sosial, dan spiritual
lansia.

Hal

ini

diupayakan

untuk

memfasilitasi

lansia

kearah

perkembangan kesehatan yang lebih optimum, dengan pendekatan pada


pemulihan kesehatan, maksimalkan kualitas hidup lansia baik dalam
kondisi sehat, sakit, maupun kelemahan serta memberikan rasa aman,
nyaman, terutama dalam menghadapi kematian. Penelitian keperawatan
gerontik diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi pengem-bangan teknik maupun mutu pelayanan dengan berbagai
pendekatan di atas.
Namun, dalam menyusun prioritas penelitian, perlu diseimbangkan
antara kebutuhan untuk menambah ilmu dan wawasan baru dengan
kebutuhan untuk meningkatkan kualitas, efektivitas, efisiensi, dan
kepatuhan pelayanan. Dalam mengembangkan penelitian tersebut, kita
terlebih dahulu perlu mengetahui aspek-aspek kritis yang ada dalam
keperawatan gerontik.

3. Area Prioritas
Pelayanan, evaluasi dan efektivitas intervensi terhadap individu
atau kelompok atau metode baru dalam pelayanan keperawatan. sub area
prioritas: ventilasi dan sirkulasi, nutrisi, ekskresi, aktivitas dan istirahat,
stimulasi mental, tidur, masalah kardiovaskuler, masalah penyakit
vaskularisasi periver, masalah respiratori, masalah gastrointestinal,
masalah diabetes, masalah muskulusskeletal, masalah genitourinary,
masalah neurology, masalah menurunnya fungsi sensorik, masalah
dermatologi, masalah kesehatan mental, tindakan operatif dan dampaknya,
palliative care, manajemen nyeri, rehabilitasi, perawatan diri dan
higienitas, pengawasan menelan obat.
Parameter dan hasil (out come) intervensi klinik yang spesifik.
Subarea prioritas:diagnosis keperawatan yang spesifik, pengembangan alat
ukur geriatric.
a. Factor-faktor organisasi yang berdampak pada system pelayanan dan
kinerja, sub area prioritas : peran kolaborasi, model keperawatan di
rumah (home care), model perawatan di rumah sakit (hospital care),
model perawatan di panti jompo (institutional care), model perawatan
jangka panjang (long-term care), nursing agency, team work.
b. Factor-faktor sosial yang berdampak pada tingkat kesehatan lansia.
Sub area prioritas : aspek legal:kebijakan dan regulasi, kelenturan
kesehatan yang berbasis budaya dan kepercayaan, sosial ekonomi,
konsep-konsep gerontology (aspek kesehatan, aspek spiritual, aspek
etika dan moral, aspek nutrisi, aspek psikologis, aspek fisiologis dan
aspek social).
c. Kualitas hidup (quality of life) dan intervensi kesehatan psiko social.
Sub area prioritas:penilaian status fungsional, psikologis, senile
demensia, olah raga, rekreasi, upaya preventif terhadap risiko
kecelakaan, interaksi social, spiritual, manajemen stress, sakaratul
maut, support keluarga, aktivitas dan disfungsi seksual.
d. Promosi kesehatan. Sub area prioritas:pesan, teknologi.
4. Prinsip Etika Pelayanan Kesehatan pada Lansia
7

Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan


pada penderita usia lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :
a. Empati : istilah empati menyangkut pengertian : Simpati atas dasar
pengertian yang dalam. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan
geriatri harus memandang seorang lansia yang sakit denagn
pengertian, kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami
oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan
wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over-protective
dan belas-kasihan. Oleh karena itu semua petugas geriatrik harus
memahami peroses fisiologis dan patologik dari penderita lansia.
b. Yang harus dan yang jangan : prinsip ini sering dikemukakan
sebagai non-maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu
didasarkan pada keharusan untuka mngerjakan yang baik untuk
pnderita dan harus menghindari tindakan yang menambah penderita
(harm) bagi penderita. Terdapat adagium primum non nocere (yang
penting jangan membuat seseorang menderita). Dalam pengertian ini,
upaya pemberian posisi baring yang tepat untuk menghindari rasa
nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu dengan derivat morfina) yang
cukup, pengucapan kata-kata hiburan merupakan contoh berbagai hal
yang mungkin mudah dan praktis untuk dikerjakan.
c. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak
untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya
sendiri. Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di
bidang geriatri hal tersebut berdasar pada keadaan, apakah penderita
dapat membuat putusan secara mandiri dan bebas. Dalam etika
ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?)
oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi
berupaya untuk melindungi penderita yang fungsional masih kapabel
(sedanagkan

non-maleficence

dan

beneficence

lebih

bersifat

melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai hal aspek etik


ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang

menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (mis.
Seorang ayah membuat keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa).
d. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan
perlakuan yang sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk
memperlakukan seorang penderita secara wajar dan tidak mengadakan
pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan.
e. Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua
janji yang diberikan pada seorang penderita.
Mengenai keharusan untuk berbuat baik dan otonomi, Meier
dan Cassel menulis sebagai berikut : ..............although the medical
community has ferquently been attacked for its attitude toward patients, it
is usually conceded that paternalism can be justified if certain criteria are
met; if the dangers averted or benefits gained for the person outweigh the
loss of autonomy resulting from intervention; if the person is too ill to
choose the same intervention.
Dengan melihat prinsip diatas tersebut, aspek etika pada
pelayanan geriatric berdasarkan prinsip otonomi kemudian di titik
beratkan pada berbagai hal sebagai berikut :
a. Penderita harus ikut berpartisipasi dalam prosea pengambilan keutusan
dan pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan
harus bersifat sukarela.
b. Keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan
atau keputusan yang akan diambil secara lengkap dan jelas.
c. Keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara
mental dianggap kapabel.
Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini
kemudian ituangkan dalam bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan
meik (pertindik) atau informed consent. Dalam hal seperti diatas, maka
penderita berha menolak tindakan medik yang disarankan oleh dokter,
tetapi tidak berarti boleh memilih tindakan, apabila berdasarkan
pertimbangan dokter yang bersangkutan tindakan yang dipilih tersebut
tidak berguan (useless) atau bahkan berbahaya (harmful).

Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik


dan hukum yang sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan
keputusan penderita tersebut haruslah dari kapasitas fungsional penderita
dan bukan atas dasar label diagnosis, antara lain terlihat dari :
a. Apakah penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar?
b. Dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat?
c. Apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita
mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar)?
d. Apakah penderita mengerti implikasi bagi dirinya? (misalnya tentang
keuntungan dan kerugian dari tindakan tersebut? dan mengerti pula
berbagai pilihan yang ada)?
Pendekatan fungsional tersebut memang sukar, karena
seringkali masih terdapat fungsi yagn baik dari 1 aspek, tetapi fungsi yagn
lain sudah tidak baik, sehingga perlu pertimbangan beberapa faktor. Pada
usia lanjut serinkali sudah terdapat gangguan komunikasi akibat
menurunnya pendengaran, sehingga perlu waktu, upaya dan kesabaran
yang lebih guna mengetahui kapasitas fungsional penderita.
Pada dasarnya prinsip etika ini mnyatakan bahwa kapasitas
penderita untuk mengambil/menentukan keputusan (prinsip otonomi)
dibatasi oleh :
a. Realitas klinik adanya gangguan proses pengambilan keputusan
(misalnya pada keadaan depresi berat, tidak sadar atau dementia). Bila
gangguan tersebut demikian berat, sedangakan keputusan harus segera
diambil, maka keputusan bisa dialihkan kepada wakil hukum atau
walimkeluarga (istri/suami/anak atau pengacara). Dalam istilah asing
keadaan ini disebut sebagai surrogate decission maker.
b. Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai
aspek medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hukum, harta
benda dll) maka sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang
melindungi kepentingan penderita yang disebut badan perlindungan
hukum (guardianship board). (Brocklehurst and Allen 1987, Kane et al,
1994).
10

Dalam kenyatannya pengambilan keputusan ini sering


dilakukan berdasarkan keadaan de-facto yaitu oleh suami/istri/anggota
kelurga, dibanding keadaan de-jure oleh pengacara, karena hal yang
terkhir ini sering tidak praktis, waktu lama, dan sering melelahkan baik
secara fisik maupun emosional.
Oleh Karena suatu hal, misalnya gangguan komunikasi, salah
pengertian, kepercayaan penderita atau latar belakang budaya dapat
menyebabkan penderita mengambil keputusan yang salah (antara lain
menolak tramfusi/tindakan bedah yagn live saving). Dalam hal ini, dokter
dihadapkan pada keadaan yang sulit, dimana atas otonomi penderita tetap
harus dihargai.Yang penting adalah bahwa dokter mau mendengar semua
keluhan atau alas an penderita dan kalau mungkin memperbaiki keputusan
penderita tersebut denagn pemberian edukasi. Seringkali perlu diambil
tindakan kompromi antara apa yang baik menurut pertimbangan dokter
dan apa yang diinginkan oleh penderita.
Arahan Keinginan Penderita (Advance Directives) (Reuben et al,
1996, Kane et al, 1994)
Dalam hal menghargai hak otonomi penderita, dikenal apa
yang disebut sebagai arahan keinginan penderita, yaitu ucapan atau
keingginan penderita yang diucapkan pada saat penderita masih dalam
keadaan kapasitas fungsional yagn baik. Arahan keinginan yang diucapkan
ini sebaiknya dicatat/direkam untuk kemudian digunakan sebagai
pedoman bilamana diperlukan untuk pengam,bilan keputusan pada saat
kapasitas fungsional penderita terganggu atau menurun. Bahkan apabila
arahan tersebut tidak dicatat/direkam, tetap mempunyai kekuatan hukum,
asalkan terdapat saksi-saksi yang cukup pada saat arahan tersebut
diucapkan.
Yang lebih kuat dari arahan keinginan pendeita adalah apa
yang disebut sebagai testament kematian (living will), yaitu suatu
pernyataan dari penderita saat masih kapabel secara fungsional didepan
11

seorang petugas hukum (pengacara/notaries). Testament kematian ini bisa


memberi kekuatan hukum atas tindakan dokter unruk memberikan,
menghentikan atau melepas segala tindakan pemberian alat Bantu
perpanjangan hidup.
Pemberian Peralatan Perpanjangn Hidup (Life Sustaining Device)
Salah satu aspek etika yang penting dan tetpa controversial
dalam pelayanan geriatric adalah penggunaan perpanjangan hidup, antara
lain ventilator dan upaya perpanjangan hidup yang lai (resusitasi kardiopulmoner dll). Pada penderita dewasa muda hal ini sering klai tidak
menjadi masalah, karena sering diharapkan hidup penderita masihj akan
berlangsung lama bila jiwanya bisa ditolong. Pada usia lanjut apalagi
kalau penyakitnya sudah meluas (advanced) pemberian peralatan tersebut
seringkali diperdebatkan justru merupakan tindakan yang kejam (futile
treatment).
Dikatakan sebagai kekejaman fisiologik bila terapi/tindakan
yang diberikan tidaka akan memberikan perbaikan (plausible effect) sama
sekali pada kesehatan penderita. kekejaman kuantitatif bila tindakan atau
terapi tampaknya tidak ada gunanya. Kekejaman kualitatif bila tindakan
atau terapi perpanjangn hidup tidak menunjukan perbaiakan atau justru
mengurangi kualitas hidup penderita.
Walaupun sering menimbulakan tanggapan emosional dari
keluarga, penghentian peralatan penpanjangan hidup (ventilator dsb) harus
diberi pertimbangan yang sama dengan pertimbangan apakah alat tersebut
perlu dipasang atau tidak. Pemasangan alat ini tidak dengan sendirintya
menghalangi untuk suatu saat menghentikannya bila dianggap tidak ada
gunannya lagi.
Dokter harus menjelaskan hal ini kepada keluarga penderita
dan memberi pengertian bahwa evaluasi menunjukkan pemberian
peralatan tersebut perlu dihentikan.

12

Perumatan Penderita Terminal Dan Hospis (Shaw, 1984; Kane et al,


1994; Ruben et al, 1996; Pearlman, 1990)
Penderita yang secara medik di dignosis dalam keadaa
terminal tidak terbatas hanya pada penderita lanjut usia, akan tetapi tidak
bisa dimungkiri bahwa sebagaian besar merupakan penderita berusia
lanjut. Oleh karena itulah perawatan hospis atau erawatan bagi penderita
terminal atau menuju kematian merupakan bagian yang penting dari
pelayanan geriatri.
Bagi penderita yang keadaannya tidak sadar/koma dalam,
semua fungsi organ sudah jelas tidak bisa membaik dengan berbagai
pengobatan, nafas agonal dan keadaan yang jelas tidak memberi
harapan, masalhnya mungkin tidak begitu sulit. Akan tetapi pada
penderita yang masih sadar penuh, masih mobilitas dengana berbagai
fungsi organ masih cukup baik, persoalan etika dan hukum menjadi lebih
rumit. Pada penderita ini (misalnya dengan diagnosis karsinoma metastasis
lanjut), beberapa hal perlu ditimbangkan :
a. Apakah penderita perlu diberitahu
b. Kalau jelas-jelas semua tindakan medis/operatif tidak bisa dikerjakan,
apakah ada hal lain yang perlu dilakukan, atau apakah etis kalau dokter
tetap memaksakan pemberian sotostatika atau tindakan lain ?
Hal-hal seperti diatas merupakan masalah yang kemudian
menimbulkan upaya hospis menjadi penting
Dari prinsip otonomi seperti dijelaskan diatas jelas bahwa
penderita harus dibertahu keadaan yang sebenarnya. Walaupun di
Indonesia, seringkali atas pertimbangan keluarga hal ini sering tidak
dilaksanakan.
B. ASPEK HUKUM DAN ETIKA
Hukum tentang lanjut usia dan penerapannya di suatu negara merupakan
gambaran sampai berapa jauh perhatian negara terhadap para lanjut usianya.
Baru sejak tahun 1965 di Indonesia diletakkan landasan hukum, yaitu
13

Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Bantuan bagi Orang Jompo.


Bila dibandingkan dengan keadaan di negara maju, di negara berkembang
perhatian terhadap lanjut usia belum begitu besar.
Di Australia telah diundangkan Aged Person Home Act (1954), Home
Nursing Subsidy Act (1956), The Home and Community Care Program (1985),
Bureau for the Aged (1986), Outcome Standards of Residential Care (1992),
Charter for Residents Right (1992), Community Option Program (1994), dan
Aged Care Reform Strategy (1996).
Di Amerika Serikat diundangkan Social Security Act yang meliputi Older
American Act (Title III), Medicaid (Title VII), Medicare (Title XIX, 1965),
Social Service block Plan (Title XX) dan Supplemental Security Income (Title
XVI). Selanjutnya diterbitkan Tax Equity and Fiscal Responsibility Act
(1982), Omnibus Budget Reconcilliation Act (OBRA, 1987), The Continuun
of Long-term Care (1987) dan Program of All Care of the Elderly (PACE,
1990).
Di Inggris diundangkan National Assistence Act, Section 47 (1948) dan
telah ditetapkan standarisasi pelayanan di rumah sakit serta di masyarakat.
Ratio tempat tidur per lanjut usia dan continuing care telah ditetapkan.
Di Singapura dibentuk Advisory Council on the Aged, Singapore Action
Group of Elders (SAGE) dan The Elders Village.
C. LANDASAN HUKUM DI INDONESIA
Berbagai hukum dan perundang-undangan yang langsung mengenai lanjut
usia atau yang tidak langsung terkait dengan kesejahteraan lanjut usia telah
diterbitkan sejak 1965, di antaranya adalah :
1. Undang-undang Nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian Bantuan bagi
Orang Jompo (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor
32 dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2747).
2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok mengenai
Tenaga Kerja.

14

3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Kesejahteraan Sosial.
4. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
6. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.
7. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja.
8. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
9. Undang-undang

Nomor

10

tahun

1992

tentang

Perkembangan

Kependudukan dan Pembangunan keluarga Sejahtera.


10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan
Perkembangan Kependudukan.
14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
(Tambahan Lembaran Negara Nomor 3796), sebagai pengganti UndangUndang Nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian Bantuan bagi Orang
jompo. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain :
a. Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat
dan kelembagaan.
b. Upaya pemberdayaan.
c. Uaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan tidak
potensial.
d. Pelayanan terhadap lanjut usia.
e. Perlindungan sosial.
f. Bantuan sosial.
g. Koordinasi.
h. Ketentuan pidana dan sanksi administrasi.
15

i. Ketentuan peralihan.
D. PERMASALAHAN
Permasalahan yang masih terdapat pada lanjut usia, bila ditinjau dari aspek
hukum dan etika dapat disebabkan oleh faktor seperti berikut :
1. Produk hukum
Walaupun telah diterbitkan dalam jumlah banyak, belum semua produk
hukum dan perundang-undangan mempunyai peraturan pelaksanaan.
Begitu pula, belum diterbitkan peraturan daerah, petunjuk pelaksanaan
serta petunjuk teknisnya, sehingga penerapan di lapangan sering
menimbulkan permasalahan. Undang-undang terakhir yang diterbitkan
yaitu Undang-undang Nomor 13 tahun 1998, baru mengatur kesejahteraan
sosial lanjut usia, sehingga perlu dipertimbangkan diterbitkannya undangundang lainnya yang dapat mengatasi permasalahan lanjut usia secara
spesifik.
2. Keterbatasan prasarana
Prasarana pelayanan terhadap lanjut usia yang terbatas di tingkat
masyarakat, pelayanan tingkat dasar, pelayanan rujukan tingkat I dan
tingkat II sering menimbulkan permasalahan bagi para lanjut usia.
Demikian pula, lembaga sosial masyarakat dan organisasi sosial dan
kemsyarakatan lainnya yang menaruh minat pada permasalahan ini
terbatas jumlahnya. Hal ini mengakibatkan para lanjut usia tak dapat diberi
pelayanan sedini mungkin sehingga persoalannya menjadi berat pada saat
diberikan pelayanan.
3. Keterbatasan sumber daya manusia
Terbatasnya kuantitas dan kualitas tenaga yang dapat memberi pelayanan
serta perawatan kepada lanjut usia secara bermutu dan berkelanjutan
mengakibatkan keterlambatan dalam mengetahui tanda-tanda dini adanya
suatu permasalahan hukum dan etika yang sedang terjadi. Oleh karena itu,
upaya mengatasi secara benar oleh tenaga yang berkompeten sering

16

dilakukan terlambat dan permasalahan sudah berlarut. Tenaga yang


dimaksud berasal dari berbagai disiplin ilmu, antara lain :
a. Tenaga ahli gerontologi
b. Tenaga

kesehatan

dokter

spesialis

geriatrik,

psikogeriatri,

neurogeriatri, dokter spesialis dan dokter umum terlatih, fisioterapis,


speech therapist, perawat terlatih.
c. Tenaga sosisal : sosiolog, petugas yang mengorganisasi kegiatan (case
managers), petugas sosial masyarakat, konselor.
d. Ahli hukum: sarjana hukum terlatih dalam gerontologi, pengacara
terlatih, jaksa penunutut umum, hakim terlatih.
e. Ahli psikolog : psikolog terlatih dalam gerontologi, konselor.
f. Tenaga relawan : kelompok masyarakat terlatih seperti sarjana,
mahasiswa, pramuka, pemuda, ibu rumah tangga, pengurus lembaga
ketahanan masyarakat desa, rukun warga/RW, rukun tetangga/RT
terlatih.
4. Hubungan lanjut usia dengan keluarga
Mary Ann Christ, et al. (1993), menyatakan bahwa berbagai isu
hukum dan etika yang sering terjadi pada hubungan lanjut usia dengan
keluarganya adalah :
1) Pelecehan dan ditelantarkan (abuse and neglect)
Pelecehan dan ditelantarkan merupakan keadaan atau tindakan
yang menempatkan seseorang dalam situasi kacau, baik mencakup
status kesehatan, pelayanan kesehatan, pribadi, hak memutuskan,
kepemilikan maupun pendapatannya. Pelaku pelecehan dapat dari
pasangan hidup, anak lelaki atau perempuan bila pasangan
hidupnya telah meninggal dunia atau orang lain. Pelecehan atau
ditelantarkan dapat berlangsung lama atau dapat terjadi reaksi akut,
bila suasana sudah tidak tertanggungkan lagi.
Penyebab pelecehan menurut International Institute on
Agening (INIA, United Ntions-Malta, 1996) yaitu :
17

a) Beban orang yang merawat lanjut usia tersebut sudah terlalu


b)
c)
d)
e)

berat.
Kelainan kepribadian dan perilaku lanjut usia atau keluarganya.
Lanjut usia yang diasingkan oleh keluarganya.
Penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya.
Faktor lainnya yang terdapat di keluarga seperti :
(1) Perlakuan salah terhadap lanjut usia.
(2) Ketidaksiapan dari orang yang akan merawat lanjut usia.
(3) Konflik lama di antara lanjut usia dengan keluarganya.
(4) Perilaku psikopat dari lanjut usia dan atau keluarganya.
(5) Tidak adannya dukungan masyarakat.
(6) Keluarga

mengalami

kehilangan

pekerjaan/pemutusan

hubungan kerja.
(7) Adanya riwayat kekerasan dalam keluarga.

Gejala yang terlihat pada pelecehan atau ditelantarkan antara lain:


a) Gejala fisik berupa memar, patah tulang yang tidak jelas
sebabnya,

higiene

jelek,

malnutrisi

dan

adanya

bukti

melakukan pengobatan yang tidak benar.


b) Kelainan perilaku berupa rasa ketakutan yang berlebihan
menjadi penurut atau tergantung, menyalahkan diri, menolak
bila akan disentuh orang yang melecehkan, memperlihatkan
tanda bahwa miliknya akan diambil orang lain dan adanya
kekurangan

biaya

transpor,

biaya

berobat

atau

biaya

memperbaiki rumahnya.
c) Adanya gejala psikis seperti stres, cara mengatasi suatu
persoalan secara tidak benar serta cara mengungkapkan rasa
salah atau penyesalan yang tidak sesuai, baik dari lanjut usia itu
sendiri maupun orang yang melecehkan.
Jenis pelecehan dan ditelantarkan adalah :
a) Pelecehan fisik atau menelantarkan fisik.
b) Pelecehan psikis atau melalui tutur kata.
c) Pelanggaran hak.

18

d) Pengusiran.
e) Pelecehan di bidang materi atau keuangan.
f) Pelecehan seksual.

Upaya pencegahan terhadap terjadinya keterlantaran pasif (passive


neglect) dan keterlantaran aktif (active neglect) pada lanjut usia
dapat dekelompokkan sebagai berikut :
a) Terhadap keterlantaran pasif atau tak disengaja:
1) Mendapatkan orang yang dipercaya untuk melakukan
tindakan hukum atau melakukan transaksi keuangan.
2) Mengusahakan bantuan hukum dari seorang pengacara.
b) Terhadap keterlantaran aktif atau tindak pelecehan:
1) Mengusahakan agar lanjut usia tidak terisolir.
2) Anggota keluarga tetap dekat dan memperhatikan lanjut
usia, selalu mendapatkan informasi baik tentang keadaan
fisik, emosi, maupun keadaan keuangan lanjut usia tersebut.
3) Orang yang merawat lanjut usia menyadari keterbatasannya
tidak ragu-ragu mencari pertolongan atau melimpahkan
tanggung jawaabnya kepada fasilitas yang lebih mampu,
manakala mereka tidak sanggup lagi merawatnya.
4) Masyarakat mengemban sistem pengamatan terhadap
tindak pelecehan kepada lanjut usia (neighbourhood
watch).
5) Melaksanakan program pelatihan tentang perawatan lanjut
usia jompo di rumah, pengenalan tanda-tanda terjadinya
tindak pelecehan, pemberian bantuan kepada lanjut usia,
cara melakukan intervensi dan melakukan rujukan kepada
fasilitas yang lebih mampu.
Tindak intervensi bila telah terjadi tindak pelecehan terhadap
lanjut usia adalah sebagai berikut :
a) Memberikan dukungan kepada korban pelecehan.
b) Lanjut usia di rumah dan panti Tresna Wredha berhak menolak
tindakan intervensi tertentu.
c) Melatih keluarga untuk melaksanakan tindakan pelayanan
tertentu.
19

d) Memberikan pertolongan dan pengobatan kepada orang yang


melecehakan lanjut usia tersebut.
e) Mengajukan tuntutan hukum kepada orang yagn melecehkan
lanjut usia tersebut.
2) Tindak kejahatan (crime)
Lanjut usia pada umumnya lebih takut terhadap tindak
kejahatan bila dibandingkan dengan ketakutan terhadap penyakit
dan pendapatan yang berkurang. Kerugian yang diderita oleh
mereka tidak melebihi penderitaan yang dialami oleh kaum muda.
Hanya akibat yang ditimbulkan pada lanjut usia lebih parah, berupa
rasa ketakutan, kesepian, merasa terisolasi dan tidak berdaya.
Faktor yang mempengaruhi tindak kejahatan berupa faktor
fisik, keuangan dan keadaan lingkungan di sekitar lanjut usia
tersebut. Jenis tindak kejahatan adalah:
a)
b)
c)
d)
e)
f)

Penodongan.
Pencurian dan perampokan.
Penjambretan.
Perkosaan.
Penipuan dalam pengobatan penyakit.
Penipuan oleh orang tak dapat dipercaya, pemborong, sales dan
lain-lain.

3) Pelayanan perlindungan (protective services)


Pelayanan perlindungan adalah pelayanan yang diberikan
kepada para lanjut usia yang tidak mampu melindungi dirinya
terhadap kerugian yang terjadi akibat mereka tidak dapat merawat
diri mereka sendiri atau dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
Pelayanan perlindungan bertujuan memberikan perlindungan
kepada para lanjut usia agar kerugian yang terjadi ditekan
seminimal mungkin. Pelayanan yang diberikan akan menimbulkan
keseimbangan di antara kebebasan dan keamanan.
Jenis pelayanan yang diberikan dapat berupa pelayanan medik,
sosial atau hukum.

20

a) Pelayanan medik : pelayanan perorangan, pelayanan gawat


darurat, pelayanan berupa dukungan guna meningkatkan ADL
(activities of daily life).
b) Pelayanan sosial :
dukungan sosial, bantuan perumahan,
bantuan keuangan/sembako.
c) Pelayanan hukum :
bantuan pengacara (power of attorney),
joint tenancy, intervivos trust, penunjukan (conservatorship),
perlindungan (informal guardianship). Perlindungan hukum
uang dapat diberikan kepada lanjut usia dapat berupa :
(1) Bantuan pengacara (power of attorney)
Lanjut usia harus cukup kompeten untuk mengambil
inisiatif dalam menyerahkan urusannya kepada orang lain.
(2) Joint tenancy
Joint tenancy merupakan suatu produk hukum yang
memungkinkan lanjut usia lain atau seorang pengacara
untuk mengurus urusan seorang lanjut usia.
(3) Intervivos trust
Pada keadaan ini seorang lanjut usia menunjuk orang lain
sebagai pewaris.
(4) Conservatorship
Perorangan atau sebuah badan ditunjuk oleh pengadilan
untuk melindungi hak milik seorang lanjut usia yang telah
dianggap tidak sanggup, pada umumnya bila lanjut usia
tersebut berusia lebih dari 75 tahun. Permohonan suatu
conservatorship biasanya diajukan oleh keluarga atau
instansi. Dengan adanya conservatorship ini, seorang lanjut
usia tak lagi dapat bersuara dan megurus keuangannya serta
menentukan tempat tinggalnya atau mengambil suatu
keputusan penting lainnya.
(5) Informal guardianship
Pengaturan jenis ini berdasakan suatu hukum, akan tetapi
meruakan suatu kesepakatan bahwa pelindung bagi lanjut
usia tersebut adalah tetangganya, panti atau suatu
perusahaan.
4) Persetujuan tertulis (informed consent)
21

Persetujuan

tertulis

merupakan

suatu

persetujuan yang

diberikan sebelum prosedur atau pengobatan diberikan kepada


seorang lanjut usia atau penghuni panti. Syarat yang diperlukan
bila seorang lanjut usia memberikan persetujuan ialah ia masih
kompeten dan telah mendapatkan informasi tentang manfaat dan
risiko dari suatu prosedur atau pengobatan tertentu yang diberikan
kepadanya. Bila seorang lanjut usia inkompeten, persetujuan
diberikan oleh pelindung atau seorang wali.
5) Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical
issues)
Berbagai faktor pengambilan keputusan yang mempengaruhi
kualitas kehidupan lanjut usia adalah :
a) Kemajuan ilmu kedokteran di bidang diagnostik seperti CTscan dan katerisasi jantung, MRI dan sebagainya.
b) Kemajuan di bidang pengobatan seperti transplatasi organ,
c)
d)
e)
f)

radiasi dan sebagainya.


Bertambahnya risiko pengobatan.
Biaya pengobatan yang meningkat.
Manfaat pengobatan yang masih diragukan.
Database yang diperlukan sebagai dasar

pengambilan

keputusan.
Isu etika muncul bila terjadi suatu pertentangan antara pendapat
ilmiah atau ilmu kedokteran dengan pandangan etika atau
perikemanusiaan, misalnya :
1) Untuk mengawali atau melanjutkan pengobatan terhadap lanjut
usia yang sakit berat.
2) Mempertahankan atau melepaskan infus atau tube feeding.
3) Melakukan tindakan yang biayanya mahal.
4) Euthanasia, Isu euthanasia merupakan isu yang hangat
dipertentangan di luar negeri, tetapi belum merupakan hal yang
penting di Indonesia, mengingat hal ini bertentangan dengan
hukum dan perundang-undangan serta kode etik kedokteran di
Indonesia. Di luar negeri keputusan yang diambil berupa :
(a) Keinginan lanjut usia dan keluarganya.
22

(b) Derajat penderitaan dan derajat gangguan kognitif lanjut


usia tersebut.
(c) Prognosa penyakit yang diderita.
(d) Kualitas kehidupan dari lanjut usia.
(e) Perawatan yang sedang diberikan.
Jenis euthanasia yang diberikan adalah active euthanasia
(orang luar mempercepat lanjut usia untuk mengakhiri
hidupnya) dan passive euthanasia (orang lain atau petugas
kesehatan menolak memberikan pertolongan tertentu kepada
penderita terminal).

BAB III
23

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dibandingkan dengan keadaan negara maju, hukum perundangundangan terhadap lanjut usia di Indonesia masih memiliki banyak
kekurangan, antara lain belum adanya undang-undang tentang lanjut usia
(Senior Citizens Act), pelayanan berkelanjutan bagi lanjut usia Continuum of
Care), tunjangan pelayanan dan perawatan terhadap lanjut usia (Medicare),
hak penghuni panti (Charter of Residents Right) dan pelayanan lanjut usia di
masyarakat. Keadaaan ini menimbulkan berbagai permasalahan. Undangundang Nomor 13 tahun 1998 baru mengatur tentang kesejahteran lanjut usia
yang merupakan langkah awal guna meningkatkan perhatian pemerintah dan
masyarakat

kepada

lanjut

usia,

sehingga

perlu

dipertimbangkan

diterbitkannya undang-undang lainnya yang dapat mengatasi permasalahan


lanjut usia secara spesifik. Selain faktor produk hukum, faktor penyebab
permasalahan yang masih terdapat pada lanjut usia dari aspek hukum dan
etika adalah keterbatasan prasarana dan keterbatasan sumberdaya manusia
yang mengakibatkan para lanjut usia tak dapat diberi pelayanan sedini
mungkin dan upaya mengatasi secara benar oleh tenaga yang berkompeten
sering dilakukan terlambat dan permasalahan sudah berlarut
B. SARAN
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran bagi para pembaca makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
24

Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. 2000. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut), Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. 2005. Pandaun Gerontologi, Tinjauan Dari
Berbagai Aspek. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mickey & Patricia. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. EGC.
Jakarta:Buku Kedokteran.
Potter & Perry. 2005. Fundamental of Nursing: Concept, Process, Practic. Edisi
4. Volume 2. EGC. Jakarta: Buku Kedokteran.
Ma'rifatul Lilik A.. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Amelia Nindy. 2013. Prinsip Etika Keperawatan. Yogyakarta: D-Medika.

25

Anda mungkin juga menyukai