Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peritonitis merupakan peradangan yang terjadi di rongga peritoneum.
Rongga peritoneum dibatasi oleh peritoneum viseral yang melekat pada organ-
organ viseral dan peritoneum parietal yang merupakan bagian dalam dinding
abdomen. Permukaan peritoneum adalah membran semipermeabel yang berperan
dalam pertukaran cairan ekstraseluler.2
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi
post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.2,3
Normalnya rongga peritoneum adalah steril walaupun terdapat flora normal
didalamnya, tetapi dapat terjadi peritonitis bila mekanisme pertahanannya
terkontaminasi secara terus-menerus oleh bakteri dalam jumlah banyak. 
Dalam disiplin ilmu bedah ada tiga kelompok penyakit atau kelainan yang
termasuk ke dalam akut abdomen, yaitu :
1. Perdarahan dalam rongga perut
2. Penyumbatan saluran cerna
3. Peradangan dalam rongga perut
4. Perforasi
Peritonitis termasuk akut abdomen, dari namanya diketahui bahwa
keadaan ini gawat sehingga memerlukan penanganan yang cepat dan tepat.
Peritonitis merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada penderita
bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%. Beberapa peneliti mendapatkan angka
ini mencapai 60% bahkan lebih dari 60%. 2,3

1.2 Tujuan Penulisan

1
Penulisan referat ini bertujuan melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik
Senior (KKS) di SMF Bedah Rumah Sakit Umum Solok.

1.3 Manfaat Penulisan


Sebagai bahan acuan dalam memahami dan mempelajari mengenai
peritonitis pada abdomen.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


2.1.1 Anatomi Dinding Abdomen
Dinding anterior abdomen dibentuk oleh kulit, fascia superficialis, fascia
profunda, otot-otot, fascia ekstraperitonealis dan peritoneum parietale. Dinding
perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Di bagian
belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di sebelah atas pada iga, dan
di bagian bawah pada tulang panggul. 1
Otot-otot dinding anterior abdomen terdiri dari tiga lapis otot yang lebar dan
tipis, yang di depan berubah menjadi aponeurosis. Dari luar kedalam adalah
musculus oblikus abdominis eksternus, musculus oblikus abdominis internus dan
musculus tranversus abdominis. Di bagian depan terdiri atas sepasang otot rektus
abdominis dengan fasianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba. Pada
saat ketiga lapis aponeurosis berjalan ke depan, aponeurosis itu membungkus
musculus rectus abdominis dengan membentuk vagina musculi recti abdominis.1

Gambar 1. Tampak anterior otot dinding abdomen dan penampang


melintang otot abdomen

3
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniokaudal
diperoleh pendarahan dari cabang aa.interkostales VI sampai XII dan arteri
epigastrika superior. Dari kaudal, arteri iliaka sirkumfleksa superfisialis, arteri
pudenda eksterna, dan arteri epigastrica inferior. Kekayaan vaskularisasi ini
memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan
gangguan pendarahan.1
Dinding perut disyarafi secara segmental oleh ramus anterior enam nervus
thoracicus bagian bawah dan nervus lumbalis I. Nervus ini berjalan ke depan di
dalam celah antara musculus obliqus internus abdominis dan musculus
transverses abdominis. Nervus ini mensyarafi kulit, otot-otot dan peritoneum
parietale dinding anterior abdomen.1
Dalam bentuk kuadran merupakan bentuk garis besar dan sederhana.
Penentuan kuadran ini dengan menarik garis (horizontal dan vertikal) melalui
umbilikus. Dengan cara ini dinding abdomen terbagi atas 4 daerah yang sering
disebut :
- Kuadran kanan atas 
- Kuadran kiri atas
- Kuadran kanan bawah
- Kuadran kiri bawah

Gambar 2. Empat Kuadran Abdomen

4
Tabel 1. Organ yang terdapat pada 4 kuadran abdomen

Regio digunakan untuk pemeriksaan yang lebih rinci atau lebih spesifik,
yaitu dengan menarik dua garis sejajar dengan garis median dan garis transversal
yang menghubungkan dua titik paling bawah dari arkus kosta dan satu lagi yang
menghubungkan kedua spina iliaka anterior superior (SIAS). Bedasarkan
pembagian yang lebih rinci tersebut permukaan depan abdomen terbagi menjadi
9 regio . 1

Gambar 3. Sembilan Regio Abdomen

5
Gambar 4. Organ yang terdapat pada 9 regio abdomen

2.1.2 Anatomi lapisan peritoneum


Peritoneum merupakan bagian membran serosa terbesar diseluruh dinding
rongga abdomen serts meliputi viscera, yang terdiri dari epitel pipih berlapis.
Peritoneum terdiri dari peritoneum parietal yang melapisi dinding abdomen dan
rongga pelvis dan peritoneum viseral yang langsung melekat pada organ-organ
di dalam rongga peritoneum. Rongga peritoneum atau cavitas peritonealis
merupakan rongga yang berisi cairan serosa yang berfungsi sebagai pelumas di
antara peritoneum parietal dan viseral. 1
Peritoneum terdiri dari beberapa lipatan besar yaitu:
1. Ligamen peritonealis
Ligamen peritonealis adalah lipatan peritoneum yang berlapis ganda yang
menghubungkan viscera padat ke dinding abdomen. Sebagai contoh yaitu
hepar yang dihubungkan ke diafragma oleh ligamentum falciformis.
2. Mesenterium
Mesenterium adalah lipatan peritoneal yang berlapis ganda, bentuknya
seperti kipas, yang menghubungkan bagian-bagian intestinal ke dinding
posterior abdomen dimana pangkalnya melekat pada dinding belakang perut

6
dan ujungnya yang mengembang melekat pada usus halus. (misalnya:
mesenterium intestinum tenue, mesocolon transversum dan mesocolon
sigmoideum).
3. Omentum
Omentum adalah lipatan peritoneal yang berlapis ganda yang menghbungkan
gaster dengan viscus berongga lainnya.
- Omentum majus
Lapisan peritoneal yang menghubungkan curvatura major gaster dengan
colon transversum. Omentum majus tergantung seperti tirai di depan
lengkungan intestinum tenue dan melipat ke belakang. Normalnya
omentum majus terdiri dari kumpulan jaringan lemak.
- Omentum minus
Omentum minus adalah lipatan kecil yang menggantungkan curvatura
minor gaster ke celah ligamentum venosum dan porta hepatis.1

Gambar 5. Penampang abdomen perempuan memperlihatkan susunan


peritoneum

7
Peritoneum parietal disarafi untuk sensasi nyeri, suhu, raba dan tekan oleh
enam nervus thoracicus bagian bawah dan nervus lumbalis pertama. Peeritoneum
parietal di dalam pelvis terutama disarafi oleh nervus obturatorius. Peritoneum
visceral hanya disarafi untuk sensasi regangan oleh saraf-saraf otonom yang
mensyarafi viscera atau yang berjalan melalui mesenterium.1

2.1.3 Fisiologi Peritoneum


Cairan peritoneum yang berwarna kuning pucat dan sedikit kental,
mengandung leukosit. Cairan ini disekresikan oleh peritoneum dan menjamin
viscera abdomen dapat bergerak dengan mudah satu dengan yang lain. Lipatan
peritoneum memegang peranan penting untuk menggantungka berbagai organ
didalam rongga peritoneum dan berperan sebagai tempat jalannya pembuluh
darah, pembuluh limfe dan saraf-saraf ke organ tersebut.1
Peritoneum yang meliputi intestinum cendrung saling melekat jika terjadi
infeksi. Omentum majus yang terus-menerus bergerak akibat gerakan peristaltik
dari saluran pencernaan yang ada di dekatnya, dapat melekat pada permukaan
peritoneum lainnya disekitar tempat infeksi.1

2.2 Definisi Peritonitis


Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau
seluruh selaput peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen.
Peritonitis merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
dan kronis. Seringkali disebabkan dari penyebaran infeksi yang berasal dari
organ-organ di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah perforasi dari organ
lambung, colon, kandung empedu dan apendiks. Infeksi dapat juga menyebar
dari organ lain yang menjalar melalui darah.
Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan
patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawatdaruratan  yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut
peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viscus

8
(secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada
intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis.

2.3 Epidemiologi
Kejadian peritonitis primer kurang dari 5% kasus bedah. Peritonitis
sekunder merupakan jenis peritonitis yang paling umum, lebih dari 90% kasus
bedah. Peritonitis tersier dapat terjadi akibat peritonitis sekunder yang telah
dilakukan interfensi pembedahan ataupun medikamentosa. Kejadian peritonitis
tersier kurang dari 1% kasus bedah.3

2.4 Etiologi
Secara umum peritonitis biasanya disebabkan oleh :
1. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi.
Yang sering menyebabkan peritonitis adalah perforasi lambung, usus,
kandung empedu, appendiks, buli-buli dan pankreas. Sebenarnya peritoneum
sangat kebal terhadap infeksi, jika pemaparan tidak berlangsung terus-
menerus, tidak akan terjadi peritonitis dan peritoneum cenderung mengalami
penyembuhan jika diobati.2.3
2. Luka tusuk karena bakteri dari pisau atau benda tajam yang masuk ke rongga
abdomen.
3. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa terkumpul di perut
(asites) dan mengalami infeksi.
4. Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di
dalam perut.
5. Iritasi tanpa infeksi
Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk bedak pada
sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa
infeksi.
6. Infeksi dari rahim dan saluran telur yang mungkin disebabkan oleh beberapa
jenis kuman (termasuk yang menyebabkan gonorrhoe dan
infeksi chlamidia). 7.8

9
Penyebab peritonitis :
1. Primary peritonitis
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang
langsung dari rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis
primer adalah spontaneous bacterial peritonitis. (SBP) akibat penyakit hepar
kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan
berkembang menjadi peritonitis bacterial. Banyak terjadi pada penderita :
- sirosis hepatis dengan asites
- nefrosis
- SLE
- bronkopnemonia dan TBC paru
- pyelonefritis3,4

2. Secondary peritonitis
Disebabkan oleh infeksi akut dari organ intraperitoneal seperti:
- Iritasi Kimiawi : Perforasi gaster, pankreas, kandung empedu,
hepar, lien, kehamilan extra tuba yang pecah
- Iritasi bakteri : Perforasi kolon, usus halus, appendix, kista ovarii
pecah, ruptur buli dan ginjal.
- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke
dalam cavum peritoneal.3,4,5
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis,
perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling
sering kolon sigmoid) akibat diverticulitis, volvulus, kanker serta
strangulasi usus halus.
Hasil pemeriksaan bakteri peritonitis hampir selalu polymicrobacterial,
berisi campuran bakteri aerob dan anaerob dengan bakteri gram negative
yang lebih mendominasi.3,4,5

3. Tertiary peritonitis

10
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman
dan akibat operasi sebelumnya. Biasanya berkembang pada lebih
sering pada oaring-orang dengan immunocompromised dan pada
orang-orang yang sudah ada sebelumnya kondisi komorbiditas yang
signifikan. 3,4,5
Tabel 2. Klasifikasi Peritonitis
Peritonitis A. Peritonitis spontan pada anak
primer B. Peritonitis spontan pada dewasa
C. Peritonitis pada pasien CAPD
D. Peritonitis tuberkulosa dan granulomatosa
Lainnya
Peritonitis A. Peritonitis perforasi akut
sekunder 1. Perforasi saluran gastrointestinal
2. Iskemia saluran intestinal
3. Peritonitis pada pelvis dan bentuk lainnya
B.Peritonitis pasca operasi
1. Anastomotic leak
2. Perforasi yang tidak disengaja
C. Peritonitis pasca trauma
1. Trauma tumpul pada abdomen
2. Trauma tembus pada abdomen
Peritonitis A. Peritonitis tanba sebab yang jelas
tertier B. Peritonitis akibat jamur
C. Peritonitis with low-grade pathogenic bacteri

2.5 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara
perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila

11
infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita -pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstruksi usus.4,9,11
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan
agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator,
seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius,
sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak
organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara
retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk.
Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu
terjadi hipovolemia.4,9,11
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah
kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal
dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan
yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan
lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat
usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. 4
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan
perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul
ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-
lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan
usus dan mengakibatkan obstruksi usus. 4
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan

12
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat
berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya
pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi
obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi
yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya
terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis. 4

Gambar 6. Skema Patofisiologi Peritonitis

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang


disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari
makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid

13
plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum
pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2
minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri
perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena
toksemia.4,6
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang
mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis
generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan
peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan
hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan
di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung,
empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut
menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi
bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu
menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam
yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bakteria.2,3
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan
obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu
akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau
ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya
mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.2,5

14
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila
mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang
timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang
bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia
onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian
atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera
sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian
bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme
membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul
gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.2,4,8

2.6 Manifestasi Klinis


2.6.1 Gejala Klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan
jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar,
atau umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial
primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus
yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis
bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. 11,12
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada
peritonitis. Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba. Seiring
dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-
hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri
biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum.
Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya
lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat
disertai dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari
peritonitis. Nyeri dirasakan seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat
menunjukkan secara tepat letaknya dengan jari. Rangsang yang

15
menimbulkan nyeri ini dapat berupa rabaan, tekanan, rangsang kimiawi, atau
proses radang. 11,12
Nyeri ini tiba -tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal perforasi
ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh bagian abdomen. Pada
keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula –mula dikarenakan penyebab
utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain
nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea,
vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi
abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum,
dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis
untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bacterial. 11,12

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut
nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan
pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan
infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan. 1,8,9
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya
tidak baik. Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan
sepsis hebat akan muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena
dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang
disebabkan karena mual damuntah, demam, kehilangan cairan yang banyak
dari rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara
progresif, pasien bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan
produksi urin berkurang, dan dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir
dengan keadaan syok sepsis.8
- Inspeksi : Pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi
menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan
gambaran usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase.
Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan

16
tegang atau distensi. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen
tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita
diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru
terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan
dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus
paralitik.1,2

Gambar 7. Distensi Abdomen

- Palpasi : Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral


yang sangat sensitif. Bagian anterior dari peritoneum parietale adalah yang
paling sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen
yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara
bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans
muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai
peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses
refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi
kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan3,5.
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan
setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks
untuk melindungi bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau
tekanan setempat. 1,5

17
- Perkusi : Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum,
adanya udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan
perkusi melalui pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien
dengan peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen
hipertimpani karena adanya udara bebas tadi. Jika terjadi
pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan
menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan
ditemukan pekak hepar yang menghilang. 7,8
- Auskultasi : Dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara
bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah
atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang
lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus
paralitik). Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar
normal. 3,7

Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan


pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu
penegakan diagnosis. 1,7
Nyeri yang difus pada lipatan peritoneum di
kavum doglasi kurang memberikan informasi pada peritonitis murni; nyeri
pada satu sisi menunjukkan adanya kelainan di daeah panggul, seperti
apendisitis, abses, atau adneksitis. Nyeri pada semua arah menunjukkan
general peritonitis. Colok dubur dapat pula membedakan antara obstruksi
usus dengan paralisis usus, karena pada paralisis dijumpai ampula rekti
yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampula biasanya kolaps.
Pemeriksaan vagina menambah informasi untuk kemungkinan kelainan
pada alat kelamin dalam perempuan. 1,2

2.7 Pemeriksaan Penunjang


2.7.1 Laboratorium

18
- Darah Lengkap, biasanya ditemukan leukositosis, hematocrit yang
meningkat
- BGA, menunjukan asidosis metabolic, dimana terdapat kadar
karbondioksida yang disebabkan oleh hiperventilasi.
- Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein
(lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi
dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi
memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar
diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.2,10

2.7.2 Radiologi
Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
1. Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior (AP).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal, proyeksi AP.
Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase
usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan
gambaran radiologis antara lain:
1. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada
tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di
proksimal daerah obstruksi, penebalan dnding usus, gambaran seperti
duri ikan (Herring bone appearance).

19
Gambar 8. Herring bone appearance
2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus.
Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level
pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-panjang
kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang diperoleh adalah adanya
udara bebas infra diafragma dan air fluid level.

Gambar 9. air fluid level

20
3. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya
air fluid level dan step ladder appearance.

Gambar 10. step ladder appearance


Jadi gambaran radiologis pada ileus obstruktif yaitu adanya distensi usus
partial, air fluid level, dan herring bone appearance. Sedangkan pada ileus
paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu:
1. Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadang-
kadang susah membedakan anatara intestinum tenue yang melebar atau
intestinum crassum.
2. Air fluid level
3. Herring bone appearance
Bedanya dengan ileus obstruktif : pelebaran usus menyeluruh sehingga air
fluid level ada yang pendek – pendek (usus halus) dan panjang – panjang
(kolon) karena diameter lumen kolon lebih lebar daripada usus halus.
Ileus obstruktif bila berlangsung lama dapat menjadi ileus paralitik.
Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas
pada foto polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan
USG (ultrasonografi).
Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada
pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah

21
karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda
utama radiologi adalah:
1. Posisi tidur, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line
menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen.
2. Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air sub diafragma berbentuk bulan
sabit (semilunair shadow). 1,8,9

Gambar 11. free air sub diafragma


3. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang
paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara
pelvis dengan dinding abdomen.

Gambar 12. free air intra peritonial

22
Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada
cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara
bebas subdiafragma atau intra peritoneal.8

Gambar 13. Foto BNO pada peritonitis

2.8 Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah :
- Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara
intravena
- Pemberian antibiotika yang sesuai.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri
dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian
diubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan
pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika
berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia
dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan
berkembang selama operasi.
- Dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal.

23
- Pembuangan focus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya,
bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan
menghilangkan nyeri.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan
operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah
yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka
serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat
inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan
kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran
gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus
menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi
viskus yang perforasi.
- Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian
volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran
oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena
sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan
resusitasi.
- Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa
drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan
dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna
pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus -menerus (missal
fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat
direseksi9,10

a. Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya
dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan
ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer
atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa
yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan

24
dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus
lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari
bakteri virulen.
- Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk
menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi
penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada
peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi
yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi
fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal
debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ
dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu
diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau
kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis
akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob
maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum.

- Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter)
dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin,
serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi
tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal:
tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral
akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada
efek tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage
dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas
dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari
neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum
peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme

25
pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang
permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri.9,10,11

- Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan
peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum
peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase
yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat
menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus
tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu
terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal
residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk
peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.

Gambar 14 . drainase pada peritonitis

2.9 Komplikasi
a. Hipovolemia pada penderita peritonitis kimiawi.
b. Sepsis pada penderita peritonitis bakterial.
Pada tanda-tanda sepsis (pireksia, leukositosis), pemeriksaan harus
disertakan CT dengan kontras luminal (khususnya apabila terdapat
anastomosis in-situ). Re-laparotomi diperlukan apabila terdapat peritonitis
generalisata. Drainase perkutaneus dengan antobiotik pilihan terbaik
merupakan terapi pada tempat yang terlokalisir. Terapi antibiotik

26
disesuaikan dengan kultur yang diambil dari hasil drainase. Sepsis
abdominal mengakibatkan mortalitas sekitar 30-60%.
c. Kegagalan organ - organ tubuh (pulmoner, kardial, hepatik,
renal), mendahului kematian beberapa hari sebelumnya.
d. Abses abdominal dan perlengketan yang dapat menyebabkan obstruksi
abdominal di kemudian hari.7,8

2.10 Prognosa
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-
faktor yang mempengaruhi prognosis, antara lain:
1. jenis infeksinya/penyakit primer
2. durasi/lama sakit sebelum infeksi
3. keganasan
4. gagal organ sebelum terapi
5. gangguan imunologis
6. usia dan keadaan umum penderita
Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau
apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri,
dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal.
Keterlambatan penanganan 6 jam meningkatkan angka mortalitas
sebanyak 10-30%. Pasien dengan multipel trauma 80% pasien berakhir dengan
kematian. Peritonitis yang berlanjut, abses abdomen yang persisten,
anastomosis yang bocor, fistula intestinal mengakibatkan prognosis yang
jelek.7,8

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa membran
serosa rongga abdomen dan meliputi visera. Penyebab yang paling serius dari
peritonitis adalah terjadinya suatu hubungan (viskus) ke dalam rongga peritoneal
dari organ-organ intra-abdominal (esofagus, lambung, duodenum, intestinal,
colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan saluran kemih), yang dapat
disebabkan oleh trauma, darah yang menginfeksi peritoneal, benda asing,
obstruksi dari usus yang mengalami strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic
Inflammatory Disease) dan bencana vascular (trombosis dari
mesenterium/emboli). Tanda-tanda peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil,
bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri 
abdomen yang hebat, dinding perut akan teras tegang karena iritasi peritoneum.
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit,
kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik. Komplikasi
postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan
sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara
lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel
sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, S.Richard. Anatomi Klnis, EGC : Jakarta, 2002


2. Schwartz, Seymour I, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 2000
3. De Jong, Syamsuhidajat.Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. EGC, Jakarta, 2012.
4. Schrock, Theodore R, Ilmu Bedah (Handbook Of SurgerY), EGC, Jakarta, 1991
5.  Gius, Jhon, Armes, Fundamentals of General Surgery, Year Book of Medical
Publisher, Chicago, 1992
6. Dudley HAF, Sepsis intraperitonium:-peritonitis dan abses-abses abdomen, in
Hamilton Bailey Ilmu bedah gawat darurat, Gadjah Mada University press,
Bulaksumur Yogyakarta 1992: 339, 360-366
7. Blaisdell FW, Clark OH, Deatsch WW, At all, Peritonitis dan massa Abdomen, in
Ilmu Bedah, EGC, Jakarta!983: 234-235
8. Trunkey DD, Crass RA, Peritoneal Disorders, Mills J, HO MT, Salber PR,
Trunkey DD, eds, Lange Medical publications/Los Altos, California 1983: 129-
130
9. Schwartz SI, peritonitis dan Abses intra abdomen, in Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu
Bedah, Shires GTS, Spencer FC, Husser WC, Eds, EGC Jakarta 2000: 489-493.
10. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I.1999.Abdomen Akut, dalam Radiologi
Diagnostik, Hal 256-257, Gaya Baru, Jakarta.
11. Rotstein. O. D., Simmins. R. L., 1997, Peritonitis dan Abses Intra-abdomen
dalam Terapi Bedah Mutakhir, Jilid 2, Ed.4, alih bahasa dr. Widjaja Kusuma,
Binarupa Aksara, Jakarta
12. Price, Sylvia. 2005.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
Jakarta : EGC.

29

Anda mungkin juga menyukai