Anda di halaman 1dari 15

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengelasan

2.1.1 Definisi Pengelasan

Definisi pengelasan menurut Deutsche Industrie Norman (DIN) adalah

ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan

dalam keadaan cair. Dengan kata lain, las adalah sambungan setempat dari

beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas. Pengelasan juga dapat

diartikan sebagai proses penyambungan dua buah logam sampai titik rekristalisasi

logam, dengan atau tanpa menggunakan bahan tambah dan menggunakan energi

panas sebagai pencair bahan yang dilas.[3]

Pengelasan juga dapat diartikan sebagai ikatan tetap dari benda atau logam

yang dipanaskan. Mengelas bukan hanya memanaskan dua bagian benda sampai

mencair dan membiarkan membeku kembali, tetapi membuat lasan yang utuh

dengan cara memberikan bahan tambah atau elektroda pada waktu dipanaskan

sehingga mempunyai kekuatan seperti yang dikehendaki.[3]

Kekuatan sambungan las dipengaruhi beberapa faktor antara lain[3] :

1. Prosedur pengelasan

2. Bahan

3. Elektroda

4. Jenis kampuh yang digunakan

7
2.1.2 Klasifikasi Cara Pengelasan

Sampai pada waktu ini banyak sekali cara-cara pengklasifikasian yang

digunakan dalam bidang las, ini disebabkan karena belum adanya kesepakatan

dalam hal tersebut. Secara konvensional cara-cara pengklasifikasian tersebut

dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu; klasifikasi berdasarkan cara kerja, dan

klasifikasi berdasarkan energi yang digunakan.

Klasifikasi yang pertama membagi las dalam kelompok; las cair, las

tekan, las patri dan lain-lain. Sedangkan klasifikasi yang kedua membedakan

adanya kelompok-kelompok seperti; las listrik, las kimia, las mekanik dan lain-

lain. Bila diadakan klasifikasi yang lebih terperinci lagi, maka kedua klasifikasi

tersebut akan terbentuk kelompok-kelompok yang banyak sekali. Diantara

kedua cara klasifikasi tersebut, klasifikasi berdasarkan cara kerja lebih banyak

digunakan. Berdasarkan klasifikasi ini, pengelasan dapat dibagi dalam tiga

kelas utama yaitu[3] :

1. Pengelasan cair adalah cara pengelasan dimana sambungan dipanaskan

sampai mencair dengan sumber panas dari busur listrik atau semburan

api gas yang terbakar.

Pengelasan cair dapat dibagi lagi menjadi[3] :

a. Las Busur Plasma

b. Las Sinar Elektron

c. Las Termit

d. Las Busur (elektroda terumpan dan elektroda tak terumpan)

e. Las Listrik Gas


f. Las Listrik Terak

g. Las Listrik Gas

2. Pengelasan tekan adalah cara pengelasan dimana sambungan

dipanaskan dan kemudian ditekan hingga menjadi satu. Pengelasan

tekan dapat dibagi lagi menjadi[3] :

a. Las Tekan Gas

b. Las Tempa

c. Las Resistansi Listrik

d. Las Ledakan

e. Las Induksi

f. Las Ultrasonik

3. Pematrian adalah cara pengelasan dimana sambungan diikat dan

disatukan dengan menggunakan paduan logam yang mempunyai titik

cair rendah. Dalam cara ini, logam induk tidak turut mencair. Pematrian

dapat di bagi lagi menjadi[3] :

a. Pembrasingan

b. Penyolderan

Perincian lebih lanjut mengenai klasifikasi pengelasan ini dapat dilihat pada

gambar 2.1.
Gambar 2.1 Klasifikasi Cara Pengelasan[3]

Berdasarkan Heat Input utama yang diberikan kepada Base Metal, proses

pengelasan dapat dibagi menjadi dua cara, yaitu[3] :

1. Pengelasan dengan menggunakan energi panas yang berasal dari Fusion

(nyala api las), contohnya; las busur (Arc Welding), las gas (Gas

Welding), las sinar elektron (Electron Discharge Welding), dan lain-

lain.

2. Pengelasan dengan menggunakan energi panas yang tidak berasal dari

nyala api las (Non Fusion), contohnya; Friction Stir Welding (proses

pengelasan dengan gesekan), las tempa, dan lain-lain.


2.1.3 Jenis Pengelasan

Dari sekian banyak jenis atau klasifikasi pengelasan, cara pengelasan yang

banyak digunakan saat ini adalah pengelasan cair dengan busur dan dengan gas.

Adapun dari kedua jenis tersebut akan dijelaskan sebagai berikut[3] :

1. Las Oksi Asetilen (Oxy Acetylene Welding / OAW)

Las oksi asetilen adalah salah satu jenis pengelasan gas yang dilakukan

dengan membakar bahan bakar gas dengan O2 sehingga menimbulkan

nyala api dengan suhu yang dapat mencairkan Base Metal dan Filler

Metal. Bahan bakar yang biasa digunakan adalah gas asetilen, propan,

atau hidrogen. Dari ketiga bahan bakar ini yang paling banyak

digunakan adalah gas asetilen, maka dari itu pengelasan ini biasa

disebut dengan las oksi asetilen.

2. Busur Logam Gas (Gas Metal Arc Welding / GMAW)

Proses pengelasan dimana sumber panas berasal dari busur listrik antara

elektroda yang sekaligus berfungsi sebagai logam yang terumpan

(Filler Metal). Las ini disebut juga Metal Inert Gas Welding (MIG)

karena menggunakan gas mulia seperti; Argon, dan Helium sebagai

pelindung busur dan logam cair.

3. Las Busur Tungsten Gas Mulia (Gas Tungsten Arc Welding / GTAW)

Proses pengelasan dimana sumber panas berasal dari loncatan busur

listrik antara elektroda yang terbuat dari Wolfram / Tungsten. Pada

pengelasan ini, Filler Metal tidak ikut terumpan (Non Consumable

Electrode).
Untuk melindungi elektroda dan daerah las, digunakan gas mulia

(Argon atau Helium). Sumber arus yang dapat digunakan AC dan DC

(DCEP / DCEN)

4. Las Busur Rendam (Submerged Arc Welding / SAW)

Proses pengelasan dimana busur listrik dan logam cair tertutup oleh

lapisan serbuk Flux, sedangkan Filler Metal diumpankan secara

kontinyu. Pengelasan ini dilakukan secara otomatis dengan arus listrik

antara 500 A - 2000 A.

5. Las Busur Elektroda Terbungkus (Shielded Metal Arc Welding /

SMAW)

Proses pengelasan dimana panas dihasilkan dari busur listrik antara

ujung elektroda dengan logam yang dilas (Base Metal). Elektroda

terdiri dari kawat logam sebagai penghantar arus listrik ke busur dan

sekaligus sebagai Filler Metal. Kawat ini dibungkus dengan bahan

Flux. Biasanya dipakai arus listrik yang tinggi (10 A - 500 A) dan

potensial yang rendah (10 V - 50 V). Selama pengelasan, Flux mencair

dan membentuk Slag yang berfungsi sebagai lapisan pelindung Weld

Metal terhadap udara sekitarnya.

Flux juga menghasilkan gas yang bisa melindungi butiran-butiran

logam cair yang berasal dari ujung elektroda yang mencair dan jatuh ke

tempat sambungan.
2.2 STT

Surface Tension Transfer merupakan proses MIG dimodifikasi yang

menggunakan teknologi inverter frekuensi tinggi dengan maju gelombang control

untuk menghasilkan lasan berkualitas tinggi sementara juga secara signifikan

mengurangi spatter dan asap. Teknologi STT memiliki kemampuan untuk

pengelasan pada pipa mudah untuk melakukan lasan pada Open Gap Root Pass.

Mekanisme kerja STT misal arus listrik sebesar 50 ~ 100 amps. dialirkan ke

dalam Arc untuk membantu pemanasan Base Metal.

Pada Saat Electrode mengalami Short ke Weld Pool, arus akan turun secara

cepat untuk mempercepat pembekuan. Kemudian cubitan aliran arus dialirkan ke

pelelehan logam untuk mendorongnya turun ke Weld Pool pada saat terbentuk

Necking yang berfungis seperti jembatan cair menuju Base Metal. Pada saat

jembatan cair ini akan putus, maka Power Source akan bereaksi dengan terjadinya

penurunan arus menjadi 40~50 amps. Secara tiba tiba terbentuk Arc yang baru,

Peak Current lalu dijalankan untuk penghasilkan Plasma Force yang mendorong

ke bawah Weld Pool guna menghindari terjadinya Short arus dan memanaskan

Pudle pada Joint tersebut. STT Process dipilih untuk proses Welding dengan Low

Heat Input sehingga dapat menghindari terjadinya Burn Through, Cracking, dll.

Perbandingan STT dengan konvensional proses yaitu:

a. Menghindari terjadinya Lack of Fusion

b. Control terhadap Pudle yang baik

c. Kualitas film X-ray jadi konsisten

d. Membutuhkan waktu Training yang singkat


e. Asap dan Spatter yang sedikit

f. Dapat menggunakan banyak jenis komposisi gas

g. 100% CO2 pada Mild Steel

h. Dapat menggantikan GTAW dalam banyak aplikasi tanpa mengurangi

Appearance Welding

STT ideal digunakan pada :

a. Open Root – untuk pipa dan plate

b. Material tipis – Automotive

c. Stainless Steel dan Alloy

d. Silicon Bronze

Galvanized Steel

Melihat dari mesinnya, proses pengelasan STT juga mempunyai skema dari

mekanisme terbentuknya lasan yang dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Mesin STT dan diagram waktu terhadap panjang lasan (Lincoln

Journals). Gambar 2.2 menjelaskan tentang skema dari mekanisme arus dan

voltase terhadap waktu dari setiap langkah pembentukan lasan


2.3 Heat Input

Dalam pengelasan, untuk mencairkan Base Metal dan Filler Metal

diperlukan energi yang cukup. Pada pengelasan busur listrik, sumber energi

berasal dari listrik yang diubah menjadi energi panas. Energi panas ini merupakan

penggabungan dari parameter; Arus las, Tengangan las dan Kecepatan

pengelasan. Parameter ketiga yaitu kecepatan pengelasan ikut mempengaruhi

energi pengelasan karena proses pemanasannya tidak diam ditempat akan tetapi

bergerak dengan kecepatan tertentu.[1]

Gambar 2.3 Pengaruh Heat Input Terhadap Laju Pendinginan[1]

Pada gambar 2.3 terlihat bahwa dengan perbedaan Heat Input akan

menghasilkan laju pendinginan yang berbeda, dimana Heat Input yang tinggi akan

menghasilkan laju pendinginan yang rendah, begitu pula sebaliknya. Kualitas hasil

pengelasan dipengaruhi oleh energi panas yang dipengaruhi juga oleh beberapa

parameter, antara lain; Arus las, Tegangan las dan Kecepatan pengelasan.
Hubungan antara ketiga parameter tersebut menghasilkan energi pengelasan

yang dikenal dengan Heat Input. Heat Input juga dapat diartikan sebagai ukuran

relatif energi yang ditransfer per satuan panjang las. Persamaan Heat Input dari

hasil penggabungan ketiga parameter tersebut dapat dituliskan sebagai berikut[1] :

HI = ............................................(2.1)

Dimana :

HI = Masukan Panas (kJ/mm)

E = Tegangan Busur (V)

I = Arus (A)

S = Kecepatan Pengelasan (mm/s)

2.4 Spesifikasi ASTM A 106

Pipa baja ASTM A 106 adalah spesifikasi normal untuk pipa baja karbon

mulus (Seamles) yang harus digunakan ketika berhadapan dengan layanan suhu

tinggi. Karena penggunaannya yang khusus, pipa baja ASTM A106 hanya dapat

diproduksi dengan mulus (Seamles). ASTM A 106 hadir dalam tiga Grade baja

yang dinyatakan sebagai Grade; A, B, dan C. Semakin tinggi material yang

diterima ASTM A 106, kekuatan pipa lebih baik. Kegunaan yang paling umum

untuk pipa A 106 adalah di pabrik atau kilang ketika gas atau cairan diangkut

pada suhu dan tekanan tinggi.


Komposisi kimiawi dari tiga tingkatan ASTM A 106 dapat dilihat pada tabel

2.1.

ASTM A 106 - ASME SA 106 pipa baja karbon mulus - komposisi kimia (%)
C P S Si Cr Cu Mo Ni V
Elemen MN
max. max. max. min. max. max. max. max. max.
A 106
0.25 0.27-0.93 0.035 0.035 0.10 0.40 0.40 0.15 0.40 0.08
Grade A
A 106
0.30 0.29-1.06 0.035 0.035 0.10 0.40 0.40 0.15 0.40 0.08
Grade B
A 106
0.35 0.29-1.06 0.035 0.035 0.10 0.40 0.40 0.15 0.40 0.08
Grade C

Tabel 2.1 Komposisi Kimia (%) Pipa ASTM A 106 – ASME SA 106

Dari tabel komposisi kimia, dapat dilihat bahwa perbedaan dari tiga kelas

(Grade) terutama terlihat dalam perbedaan kandungan karbon, sedangkan

kandungan mangan sedikit berbeda, tetapi pengaruhnya tidak signifikan. Karbon

adalah salah satu elemen utama baja industri. Sifat dan struktur baja sangat

bergantung pada karbon. Kandungan karbon dan distribusinya dalam stainless

steel sangat signifikan. Semakin tinggi kandungan karbon, semakin tinggi

kekerasan baja.

ASTM A 106 pipa baja grade A memiliki kandungan karbon terendah,

sehingga kekuatannya adalah yang terendah di antara tiga kelas, tetapi masih

berguna dalam banyak aplikasi. Karena harganya yang wajar, grade ini memiliki

keunggulan dalam aplikasi di mana persyaratan kekuatannya tidak terlalu tinggi

dan kualitasnya sangat baik saat mengangkut gas atau cairan suhu tinggi.
Pipa baja ASTM A 106 grade B adalah sejenis bahan pipa baja karbon

rendah, yang sering digunakan dalam instalasi industri, kilang listrik, kilang gas

alam, pembangkit listrik, boiler, kapal, dan pabrik kimia. Grade B terletak di

tengah-tengah dua grade. Ini memiliki kekuatan untuk mengangkut cairan dan gas

suhu tinggi, tetapi lebih murah daripada Grade C. Dalam beberapa aplikasi suhu

tinggi di mana persyaratan kekuatan tidak terlalu tinggi, mereka sangat populer di

kalangan pembeli. ASTM A 106 C memiliki kandungan karbon tertinggi, karena

dengan peningkatan kadar karbon, itu akan membuat C memiliki sifat mekanik

yang lebih tinggi. Ketika seorang insinyur mempertimbangkan untuk memilih

pipa atau bahan untuk peralatan suhu tinggi untuk proyek kekuatan tinggi, ia akan

lebih tertarik pada Kelas C.

2.5 Pengujian

Pada penelitian ini akan dilakukan beberapa penelitian diantaranya adalah

pengujian; Tensile, Bending, dan Radiography.

2.5.1 Tensile Test

Pengujian Tarik (Tensile Test) digunakan untuk mengetahui sifat-sifat


mekanik material. Hasil pengujian tarik berupa kurva nilai beban dan
pertambahan panjang. Dasar dari hukum tegangan tarik adalah hukum Hooke
yang menunjukkan hubungan antara tegangan dan regangan dapat dilihat pada
gambar 2.4.
Gambar 2.4 Diagram Tegangan-Regangan

Standar pengujian tarik yang digunakan adalah American Society for


Testing Materials (ASTM) E 8M-04 sebagai acuan metode pengujian standar
pengujian tarik material logam dengan mengambil standar detil dari ASTM A
370-03 yang merupakan metode pengujian standar untuk pengujian mekanik
produk baja karena spesimen yang digunakan adalah baja.

2.5.2 Bending Test

Uji lengkung (Bending Test) merupakan salah satu bentuk pengujian untuk

menentukan mutu suatu material secara visual. Selain itu Bending Test digunakan

untuk mengukur kekuatan material akibat pembebanan dan kekenyalan hasil

sambungan las baik di weld metal maupun HAZ yang dapat dilihat pada gambar

2.4.
Gambar 2.5 Skema Bending Test

2.5.3 Radiography Test

Radiography Test adalah bagian dari Non Destructive Test (NDT) yang

menggunakan sinar x atau sinar gamma yang dapat menembus hampir semua

logam kecuali timbal dan beberapa material padat sehingga dapat digunakan

untuk mengungkap cacat atau ketidaksesuain dibalik dinding metal atau di dalam

bahan itu sendiri. Prinsip kerja Radiography Test; Intensitas radiasi bisa berubah

tergantung tebal atau tipisnya material dan Density material , hasilnya akan ada

bayangan yang berbeda pada setiap film hasil dari Radiography test seperti yang

dapat dilihat pada gambar 2.5.


Gambar 2.6 Skema Radiography Test

Kelebihan Radiography Test :

a. Mampu mendeteksi cacat permukaan logam Weld (lasan) atau Raw Material.

b. Bisa menyajikan data yang terecord

c. Cacat yang tampak pada film 1:1

d. Dapat dioperasikan pada posisi-posisi yang sulit

Kekurangan Radiography Test :

a. Instrument atau peralatan yang digunakan cukup mahal.

b. Resiko berbahaya bagi tubuh jika terpapar sinar X dan sinar gamma.

Anda mungkin juga menyukai