1 Definisi
Tindakan bedah ini adalah salah satu tindakan bedah yang paling tua, inskripsi
mengenai trakeostomi telah ditemukan pada lempeng batu yang diyakini berasal dari Mesir
kuno kira-kira 3600 tahun sebelum Masehi. Meskipun demikian, trakeostomi dianggap
sebagai prosedur bedah yang sangat berbahaya, sehingga penerapannya sangat terbatas.
Seringkali trakeostomi baru digunakan pada situasi yang ekstrim. Pandangan para dokter dan
ahli bedah mulai berubah pada saat terjadi pandemi difteri di Eropa pada pertengahan abad
ke-19, yang menyebabkan angka mortalitas yang tinggi akibat sumbatan jalan napas atas.
Berkembangnya pengetahuan di bidang anestesi dan antiseptik di akhir abad ke-19 turut
mendorong studi yang lebih intensif mengenai trakeostomi. Pada awal abad ke-20, seorang
ahli otolaringologi asal Amerika Serikat bernama Chevalier Jackson menjelaskan dan
membakukan prinsip teknik operatif trakeostomi beserta protokol perawatannya. Prinsip-
prinsip tersebut masih bertahan sebagai standardisasi tindakan trakeostomi sampai saat ini.
Kini, trakeostomi adalah salah satu tindakan operatif yang paling sering dilakukan pada
pasien dengan kondisi kritis.
1.2 Fungsi
1. Sebagai jalur alternatif pernapasan pada kondisi sumbatan jalan napas atas.
2. Meningkatkan ventilasi alveolus pada kondisi insufisiensi pernapasan. Hal ini dicapai
dengan mengurangi dead space sebesar 30-50% dan menurunkan resistensi aliran
udara.
3. Melindungi struktur pohon trakeobronkhial dari aspirasi sekresi faring atau darah,
misalnya pada kondisi cedera faring atau koma.
4. Memungkinkan pengeluaran hasil sekresi struktur trakeobronkhial pada pasien yang
tidak dapat batuk, dengan cara penghisapan (suction) secara berkala; atau pada pasien
dengan hasil sekresi yang berlebih, seperti pada kondisi gagal jantung, pneumonia,
edema paru, dan kondisi-kondisi lainnya.
5. Membantu dilakukannya intermittent positive pressure respiration yang dibutuhkan
lebih dari 72 jam.
6. Sebagai jalur administrasi anestesi pada kasus-kasus yang sulit atau tidak dapat
dilakukan intubasi endotrakeal, seperti pada kondisi tumor laringofaring atau trismus.
1.3 Indikasi
1. Obstruksi saluran napas atas. Kondisi ini dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti
infeksi, tumor, benda asing, deformitas saluran napas akibat trauma, dan lain-lain.
2. Retensi sekresi saluran napas. Akumulasi hasil sekresi pada saluran napas bawah
menyebabkan gangguan difusi gas pada alveolus, sehingga terjadi gagal napas.
Trakeostomi dilakukan untuk menghisap (suction) hasil sekresi. Sebagai tambahan,
terjadi pengurangan dead space yang memudahkan pasien untuk bernapas.
3. Insufisiensi pernapasan. Pada kasus yang membutuhkan pernapasan tekanan positif
dalam jangka waktu yang relatif lebih lama, baik secara kontinu maupun intermiten,
trakeostomi adalah cara paling aman untuk membantu ventilasi secara maksimal. Efek
pengurangan dead space menjadi manfaat tambahan yang didapat dari dilakukannya
tindakan ini.
4. Tahapan dari prosedur lainnya. Trakeostomi sementara adalah tahapan yang integral
dari berbagai macam tindakan pada kepala dan leher. Pada situasi di mana
pembengkakan pasca operasi dapat diprediksi, khususnya ketika kondisi umum pasien
tidak baik, trakeostomi sementara seharusnya dilakukan. Tindakan ini dianggap wajib
pada seluruh reseksi mayor yang melibatkan rongga mulut atau faring. Trakeostomi
tidak hanya bermanfaat untuk mengantisipasi terjadinya obstruksi saluran napas
akibat pembengkakan pasca operasi, namun juga mencegah terjadinya aspirasi darah
pada kondisi pendarahan pasca operasi, serta memungkinkan pemberian agen anestesi
lebih lanjut bila diperlukan.
1. Obstruksi saluran napas atas
a) Infeksi
i. Laringo-trakeo-bronkhitis akut, epiglottitis akut, difteri
ii. Angina Ludwig; abses peritonsiller, retrofaring, parafaring, atau lidah
iii. Juvenile laryngeal papillomatosis
b) Trauma
i. Cedera eksternal laring dan trakea
ii. Cedera akibat endoskopi, khususnya pada anak-anak
iii. Fraktur mandibula atau cedera maksilofasial
c) Neoplasma jinak atau ganas pada laring, faring, trakea, lidah, dan tiroid
d) Benda asing pada laring
e) Edema laring akibat uap, gas iritan, radiasi, atau reaksi alergi
f) Paralisis otot abduksi laring bilateral
g) Anomali kongenital
i. Laryngeal dan glottic web, kista, fistula trakeo-esofagus
ii. Atresia choana bilateral
iii. Paralisis pita suara bilateral
iv. Hemangioma subglottis, stenosis subglottis
2. Retensi sekresi saluran napas
a) Ketidakmampuan untuk batuk
i. Koma akibat penyebab apapun, seperti trauma kapitis, penyakit
serebrovaskular, overdosis narkotika, dll.
ii. Paralisis otot pernapasan, seperti pada cedera spinal, polio, sindrom
Guillain-Barre, miastenia gravis, dll.
iii. Spasme otot pernapasan, tetanus, eklamsi, keracunan striknin
b) Nyeri saat batuk
Trauma pada thoraks, fraktur iga multipel, pneumonia
c) Aspirasi sekresi faring
Polio bulbus, polineuritis, paralisis laring bilateral
3. Insufisiensi pernapasan
Kelainan paru kronis, seperti emfisema, bronkhitis kronis, bronkhiektasis, atelektasis
4. Tahapan dari prosedur lainnya
1. Trakeostomi sementara
a. Gawat darurat
Dilakukan ketika terjadi obstruksi total atau hampir total dari saluran
napas, sehingga membutuhkan penanganan segera untuk menyediakan jalur
napas alternatif. Kondisi pasien sudah tidak memungkinkan untuk dilakukan
intubasi atau laringotomi. Pada kebanyakan kasus, tindakan ini dilakukan
secara terkontrol menggunakan anestesi lokal. Untuk kasus yang lebih
ekstrim, dapat dilakukan krikotiroidotomi sebagai penanganan awal sebelum
trakeostomi yang formal dapat dilakukan.
b. Elektif
2. Trakeostomi permanen
Trakeostomi letak tinggi dibuat di atas level isthmus tiroid, yakni setinggi cincin
pertama dari trakea. Komplikasi trakeostomi letak tinggi adalah perikondritis
kartilago krikoid dan stenosis subglotis. Trakeostomi jenis ini sangat jarang
dilakukan, satu-satunya indikasi adalah keganasan laring, karena pada kasus
sedemikian, seluruh laring akan diangkat, dan trakeostom dapat dibuat di area
bawahnya.
Trakeostomi letak pertengahan dibuat setinggi cincin kedua atau ketiga dari trakea,
sehingga membutuhkan pembelahan atau retraksi isthmus tiroid. Jenis ini adalah jenis
yang paling umum dilakukan.
Trakeostomi letak rendah dibuat di bawah level isthmus. Sulit untuk dilakukan karena
lokasinya yang berdekatan dengan beberapa pembuluh darah besar. Pemasangan pipa
trakeostomi juga dapat menyulitkan karena sangat berdekatan dengan incisura
jugularis pada sternum.
4. Trakeostomi perkutan
Teknik ini merupakan alternatif yang lebih tidak invasif dibandingkan teknik
bedah terbuka. Umumnya dilakukan di unit perawatan intensif, di mana pasien telah
diintubasi dan sedang dipantau. Keuntungan teknik ini mencakup: (i) pasien tidak
perlu dibawa ke ruang operasi, (ii) biaya yang lebih murah karena tidak memerlukan
fasilitas ruang operasi, serta (iii) mencegah penyebaran infeksi nosokomial dari unit
perawatan intensif ke ruang operasi. Prosedur ini jarang dilakukan pada pasien dengan
obesitas, pasien yang memiliki massa pada daerah leher, pasien yang sulit diintubasi,
pasien dengan leher yang sulit diekstensikan, pasien dengan laring dan trakea yang
sulit dipalpasi, atau pasien dengan koagulopati.
1.5 Komplikasi
1. Intraprosedural/segera/awal (immediate/early)
2. Intermediate
1. Intraprosedural/segera (immediate)
Insersi paratrakeal
Laserasi dinding posterior
Pendarahan (vena tiroid, vena jugularis, arteri)
Emboli udara
Apnea akibat hilangnya CO2 secara tiba-tiba (yang berfungsi sebagai stimulus pada
pada pasien dengan obstruksi jalan napas kronis)
Cedera n.laryngeus recurrens, esofagus, tiroid, atau krikoid
Aspirasi darah
Pneumothoraks/pneumomediastinum
Henti jantung (cardiac arrest)
Komplikasi anestesi
Api jalan napas
2. Intermediate
Infeksi
Obstruksi kanul
Dekanulasi/pergeseran kanul
Pendarahan
Emfisema subkutis
Trakeitis atau trakeobronkhitis dengan krusta di dalam trakea
Atelektasis
Abses paru
Disfagia
Granulasi luka
3. Lambat (late/long term)
Stenosis trakea akibat ulserasi atau infeksi
Stenosis laring akibat perikondritis kartilago krikoid
Fistula trakeo-innominata, trakeo-esofagus, atau trakeo-kutan persisten
Trakeomalasia
Pendarahan akibat erosi pembuluh darah besar
Penutupan stoma yang terlambat
Penyulit dekanulasi khususnya pada anak-anak
Korosi kanul trakeostomi
Aspirasi fragmen ke struktur pohon trakeobronkhial
Jaringan parut