Anda di halaman 1dari 10

BAB IV

ANALISIS HASIL PENELITIAN TENTANG PENEGAKAN HUKUM TERHADAP


TINDAK PIDANA CYBERPORN
(STUDI KASUS NOMOR PUTUSAN NOMOR: 751/PID.B/2017/PN.JKT BRT)

1. Analisis terhadap prosedur penjatuhan sanksi dalam tindak pidana cyberporn


yang terjadi berdasarkan (Studi Kasus Nomor:751/Pid.B/2017/PN.JKT.BRT)
sudah menimbulkan efek jera
Tindak pidana cyberporn yang berkembang saat ini merupakan Tindak
Pidana Informasi Transaksi dan Elektornik untuk hal tersebut mau tidak mau karna sudah
menjadi kejahatan dunia membaca pada suatu konvensi/convention.
Karakteristik kejahatan transnasional lebih rinci di atur dalam United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime 2000 (Konvensi palermo 2000).
Dalam Article 3 Pragraph 2 kejahatan transnasional adalah jika:
a. Dilakukan di lebih dari satu Negara
b.Dilakukan di satu Negara namun bagian penting dari kegiatan
persiapan, perencanaan, pengarahan atau kontrol terjadi di Negara lain
c. Dilakukan di satu Negara tetapi melibatkan suatu kelompok penjahat
terorganisasi yang terlibat dalam kegiatan kriminal di lebih dari satu Negara
d. Dilakukan di satu Negara namun memiliki akibat utama di Negara lain.
Konvensi tersebut juga telah diiratifikasi oleh indonesia dengan Undang -
undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime 2000. Sehingga menimbulkan kewajiban bagi negara
untuk mengambil tindakan legislatif atau perumusan peraturan yang ada di Indonesia dan
mengatur tentang kejahatan pornografi (cyberporn) dalam Undang-undang Nomor 44
Tahun 2008 Tentang Pornografi (Undang-undang Pornografi) dan 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-undang ITE)."1
Tindak Pidana Cyberporn diatur dalam beberapa Undang-undang :
1. Diantaranya sebagai berikut :
Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi:
pasal 4 yang menyatakan :

1
http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
"Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor,
mengekspor,menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau
menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:,
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang
b. kekerasan seksual
c. masturbasi atau onani
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan
e. alat kelamin
f. pornografi anak
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi dan
Elektronik:
Pasal 5 yang menyatakan :
Ayat 1
"Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah"
Ayat 2
"Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti
yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia"
Ayat 3
"Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
UndangUndang ini"
Pasal 27 ayat 1 UU ITE yang menyatakan :
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."
pasal 29 yang menyatakan :
"Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)".
Pasal 369 ayat (1) dan (2) KUHP Tentang Pemerasan
dan Pengancaman yang menyatakan :
(1). "Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran nama
baik dengan lisan maupun tulisan atau dengan ancaman akan membuka
rahasia, memaksa seseorang supaya memberikan barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain; atau
supaya memberi hutang atau menghapusakan pihutang, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun".
(2). "Kejahatan ini tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang terkena
kejahatan".
Mengacu pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat
Nomor :751/Pid.B/2017/PN.JKT.BRT dengan kasus Tindak Pidana Cyberporn. yang
berperkara adalah (CAR) alias (MH) sebagai terdakwa dan (FEY) sebagai korban.
Diketahui terdakwa didakwa oleh jaksa penuntut umum dengan dakwaan
sebagai berikut:
KESATU : Melanggar Pasal 29 Jo.Pasa 4 ayat (1) huruf d UU.NO.44/2008
KEDUA : Melanggar Pasal 369 ayat (1) KUHP;
Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan Tindak Pidana
sebagai mana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang
Pornografi yaitu pasal 29 Jo. Pasal 4 ayat (1) huruf d UU.NO 44 tahun 2008 serta pasal-
pasal lain dalam peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang
Pornografi dalam hal, Menimbang :
a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan
kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara
b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin
berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan
tatanan sosial masyarakat Indonesia
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang
ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan
masyarakat.
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Pornografi;
Selanjutnya dalam pasal 29 Undang-undang Pornografi, yang menyatakan:
"Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana
denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)"
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang pornografi, yang menyatakan :
"Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit
memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang
b. kekerasan seksual
c. masturbasi atau onani
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan
e. alat kelamin
f. pornografi anak.
Dalam pertimbangannya majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa telah
memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam pasal diatas atau terdapat dalam Undang-
undang No.44 Tahun 2008, pasal 29 jo, pasal 4 ayat 1 Oleh karna itu hakim telah
menghukum terdakwa dengan sanksi penjara selama 7 tahun dan membayar denda
sebesar Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) subsider 6 bulan kurungan penjara dan
setelah itu hakim Memerintahkan agar terdakwa menjalani hukuman tersebut setelah
habis masa hukuman dalam perkara terdahulu yang sedang dijalaninya, menurut penulis
bahwa terdapat perbedaan antara aturan, tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan putusan
hakim yang memutus perkara dengan Putusan No. 751/Pid.B/2017/PN.JKT.BRT.
Dalam pasal 29 Undang-undang No.44 tahun 2008 terdakwa (MH) diancam
kurungan penjara minimal 6 bulan maksimal 12 tahun dan denda Rp.500.000.000 (lima
ratus juta rupiah), kemudian Jaksa Penuntut Umum menuntut (MH) dengan 10 tahun dan
denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah), namun menurut penulis menjatuhkan
sanksi pidana 7 tahun terhadap pelaku tindak pidana pornografi tidak akan memberikan
efek jera hal ini dapat dibuktikan pada fakta persidangan bahwa pelaku terdakwa (MH)
merupakan residivis yang telah divonis 15 tahun penjara pada perkara pidana
sebelumnya, dan terdakwa (MH) masih tetap melakukan tindak pidana penjara (masih
menjalani masa hukuman) Selain itu diketahui terdakwa melakukan pidana pada saat
menjalani hukuman.
2. Analisis terhadap pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap
pelaku cyberporn dalam Nomor:751/Pid.B/2017/PN.JKT BRT)
Pengambilan keputusan sangatlah diperlukan oleh hakim dalam membuat
keputusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan setelah proses pemeriksaan dan persidangan selesai, maka hakim
harus mengambil keputusan yang sesuai. Hal ini sangat perlu untuk menciptakan putusan
yang porporsional dan mendekati rasa keadilan, baik itu dari segi pelaku tindak pidana,
korban tindak pidana, maupun masyarakat. Untuk itu sebelum menjatuhkan sanksi
pidana, hakim melakukan tindakan untuk menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran
peristiwa yang diajukan kepadannya dengan melihat bukti-bukti yang ada (fakta
persidangan) dandisertai keyakinannya setelah itu mempertimbangkan dan memberikan
penilaian atas peristiwa yang terjadi serta menghubungkannya dengan hukum yang
berlaku. Selanjutnya Majelis Hakim mengambil kesimpulan dengan menetapkan suatu
sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilakukan terdakwa.
Secara yuridis hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tindak
pidana tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali dengan sekurang kurangnya dua alat
bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHP).
Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a) Keterangan Saksi; (b) Keterangan Ahli; (c)
Surat; (d) Petunjuk; (e) Keterangan Terdakwa, atau hal yang secara umum sudah
diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184 KUHP) selanjutnya Pasal 185 Ayat
(2) KUHP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya,
sedangkan dalam ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga
berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat 3, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.
Selain itu terdapat unsu-unsur yang menjadi pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap terdakwa, yaitu:
a. Kesalahan pelaku tindak pidana Cyberporn Kesalahan (CAR) alias (MH)
sebagai pelaku tindak pidana Cyberporn merupakan syarat utama untuk dapat
dipidananya seseorang, Kesalahan ini dapat diartikan secara luas. Dalam suatu
tindak pidana terdapat adanya suatu unsur Kesengajaan atau niat, Untuk
menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi
peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat itu
adalah hakim. Hakimlah yang harus menilai suatu perbuatan (in concreto)
dengan ukuran norma penghati hati atau penduga-duga, seraya
memperhitungkan di dalamnya segala keadaan dan juga keadaan pribadi
pelaku tindak pidana.
Untuk menentukan niat dari pelaku tindak pidana dapat digunakan ukuran apakah
ia ada kewajiban untuk berbuat lain. Kewajiban tersebut dapat diambil dari ketentuan
Undang-Undang atau dari luar Undang Undang, yaitu dengan memperhatikan segala
keadaan apakah yang seharusnya dilakukan maka hal tersebut menjadi dasar untuk dapat
mengatakan bahwa terdapat unsur sengaja. Misalnya di dalam KUHP ada ketentuan
bahwa dalam tindak pidana harus ada niat.
Dalam kasus tersebut bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku harus
berdasarkan atas bukti pemeriksaan perkara dan keterangan saksi saksi bahwa pelaku
melakukan tindak pidana dan diatur oleh hukum positif Indonesia.
b. Motif dan tujuan dilakukannya suatu Tindak Pidana Cyberporn Kasus Tindak
Pidana oleh Terdakwa (CAR) ali (MH) diketahui bahwa perbuatan tersebut
mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum.
c. Cara melakukan Tindak Pidana Cyberporn, Terdakwa (CAR) alias (MH)
sebagai pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan
terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat
unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.
d. Sikap Pelaku Tindak Pidana Cyberporn, Hal ini dapat di identifikasikan dengan
melihat pada rasa bersalah dan rasa penyesalan atas perbuatannya, serta
berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Hal tersebut juga menjadi
faktor pertimbangan hakim dalam hal penjatuhan pidana terhadap (CAR) alias
(MH).
e. Riwayat hidup dan keadaan sosial Terdakwa (CAR) alias (MH) sebagai pelaku
tindak pidana juga sangat mempengaruhi putusan hakim bagi pelaku, yaitu
sedang menjalani proses pidana
f. Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana Cyberporn,
Terdakwa (CAR) alias (MH) sebagai pelaku dalam dimintai keterangan atas
kejadian tersebut, ia menjelaskan dengan sejujurnya, ia menerima dan
mengakui kesalahannya. Maka hal yang di atas juga menjadi pertimbangan
bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku. Karena hakim
melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggungjawab, juga mengakui
semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur. karena
akan mempermudah jalannya persidangan.
g. Pengaruh pidana terhadap masa depan Pelaku Tindak Pidana Cyberporn juga
mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana,
juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut,
membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan
mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan
berguna. Penjatuhan pidana terhadap pelaku dilakukan untuk memperbaiki
kesalahan yang diperbuat oleh Terdakwa (CAR) alias (MH).
h. Pandangan masyarakat terhadap Tindak Pidana Cyberporn, Masyarakat menilai
bahwa tindakaan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada
pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan
menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan
diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah
untuk menjamin tegaknya kebenaran dan keadilan juga kepastian hukum bagi
Terdakwa (CAR) alias (MH) sebagai Pelaku Tindak Pidana Cyberporn.
Selanjutnya ada pula pertimbangan non yuridis oleh hakim dalam menjatuhkan
pidana pada pelaku Tindak Pidana Cyberporn yang penulis teliti yaitu adanya hal-hal
yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan sebagai berikut :
1. Hal-Hal yang memberatkan:
Perbuatan terdakwa telah merugikan orang lain Terdakwa adalah recidivis
yang sedang menjalani pidana
2. Hal-Hal yang meringankan:
Terdakwa mengaku bersalah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya
Maka menurut penulis hal diatas terutama halnyang meringankan yang
menyebabkan hakim memutus lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut
Umum dan pasal yang menjerat terdakwa (Pasal 29 Undang undang No.44
Tahun 2008).
Selain itu bahwa pemidanaan kepada pelaku melalui sanksi pidana bertujuan
untuk mencapai perbaikan kepada pelaku sebagai tujuan pemidanaan yaitu bahwa jika
suatu tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, maka penjatuhan
pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hal itu dipandang telah
sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan.
Tujuan pemidanaan mengandung unsur perlindungan masyarakat, pemidanaan
tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat. Pandangan ini
mengerucut pada dua kepentingan, yakni perlindungan masyarakat dan pembinaan bagi
pelaku. pemidanaan mengakui asas-asas atau keadaan yang meringankan Pemidanaan,
mendasarkan pada keadaan obyektif dan mempertimbangkan kebutuhan adanya
pembinaan individual dari pelaku tindak pidana.
Dengan kata lain tujuan pemidanaan adalah untuk mencapai manfaat untuk
melindungi masyarakat dan menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan pemidanaan
bukan merupakan pembalasan kepada pelaku di mana sanksi ditekankan pada tujuannya,
yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan.
Ketentuan mengenai pemidanaan ini juga memberikan kesempatan untuk
melakukan perubahan atau penyesuaian pidana kepada narapidana. Pelaku yang dijatuhi
pidana atau tindakan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan
atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan.
Sanksi pidana yang diancamkan mempunyai pembatasan yang bertujuan untuk
melindungi dan memberikan upaya perbaikan diri dan sikap kepada pelaku yang dijatuhi
pidana.

Anda mungkin juga menyukai