Yang perlu digaris bawahi yakni kampus sesungguhnya mampu mengembangkan sikap
kritis-dialogis. Nah, darimana hal itu bisa dikembangkan jika bukan di dalam organisasi. Yang di
mana organisasi kampus begitu kompleks dan juga memiliki tingkatan yang berbeda di
dalamnya. Umumnya dimulai dari himpunan tingkat jurusan/prodi (HMJ/HMPS/HIMA),
lembaga fakultas (BEM/Maperwa dan biro) hingga lembaga tingkat universitas (BEM/Maperwa
dan UKM). Ke semua lembaga tersebut tentunya dibuat sebagai wadah pengembangan minat dan
bakat bagi para mahasiswanya.
Mahasiswa dilain sisi dituntut untuk menjadi orang terpelajar yang nantinya akan terjun
langsung dalam masyarakat, tentu harus punya pengalaman terlebih dahulu di masa
perkuliahannya. Maka merugilah mahasiswa jika tidak tergabung dalam organisasi dalam
lingkup kampus. Ilmu yang didapat dalam ruang perkuliahan masih minim jika dibandingkan di
organisasi. Sebab di dalam organisasi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ilmu dan
pengalaman terlampau banyak didapat.
Insan akademis yang bergelar mahasiswa ini akan membentuk sikap kritis-dialogis yang mampu
memecahkan segala masalah dan menyelesaikan tantangan dengan menciptakan solusi yang
kreatif dan inovatif. Di tengah pandemi ini hal tersebut menjadi keharusan bagi setiap
fungsionaris lembaga. Tantangan terbesar ada pada proses kaderisasi yang harus beradaptasi
dengan situasi dan kondisi pandemi. Mahasiswa baru angkatan tahun 2020 khususnya, sampai
saat ini belum sama sekali mengetahui kehidupan kampus secara menyeluruh. Mereka
kebanyakan berinteraksi di dunia virtual saja yang notabene sangat berbeda tendensinya ketika
tatap muka secara langsung baik itu dengan dosen maupun dengan sesama mahasiswa dalam hal
ini antara senior dan junior.
Mau tidak mau konsep awal kaderisasi yang telah membudaya di sebuah organisasi perlu
disesuaikan dengan kondisi yang ada. Schein (1981) dalam Ivancevich et.al., (2005)
mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi dasar yang diciptakan,
ditemukan, atau dikembangkan oleh kelompok tertentu saat belajar menghadapi masalah
adaptasi eksternal dan integrasi internal yang telah berjalan cukup baik untuk dianggap valid, dan
oleh karena itu, untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi,
berpikir dan berperasaan sehubungan dengan masalah yang dihadapinya.
Jika disangkutpautkan pada ranah organisasi kampus, budaya organisasi inilah yang
menjadi konstruk pemikiran awal bagi seorang mahasiswa baru. Di mana kebiasaan-kebiasaan
yang ditanamkan itulah menjadi habitus, ketika telah berulang-ulang akan dengan sendirinya
menjadi pegangan yang tidak mudah untuk dihapuskan. Budaya organisasi ini pula yang
membentuk perilaku seseorang yang nantinya menjadi pondasi bagi organisasi itu sendiri
ataukah justru menjadi duri dalam organisasi tersebut. Hal ini bergantung pada bagaimana pucuk
pimpinan menimbang aspek-aspek dalam budaya organisasi yang masih relevan dengan
perubahan zaman. Ketika sudah tidak relevan, perlu kiranya ada penyesuaian di dalamnya.
Ketika sebuah organisasi tidak mampu melihat ancaman dibalik perubahan zaman
tersebut dan masih kolot dalam mempertahankan budaya organisasinya yang lama sudah dapat
dipastikan organisasi tersebut akan vacuum. Apalagi menyangkut perihal regenerasi kader yang
akan stagnan jika masih menggunakan pola lama. Di zaman dengan kemajuan teknologi yang
pesat ini, semua serba instan. Ku pikir iya di sisi ketersediaan dan kemudahan akses dalam
mencari referensi terkait sesuatu hal. Tetapi tetap dibutuhkan pemikiran yang radikal dengan
senantiasa mempertanyakan sesuatu yang belum jelas dan tidak langsung berpaku pada satu
persepsi saja.
Hal ini ketika ditanamkan kepada semua elemen yang ada dalam organisasi akan
menambah warna pemikiran yang ada. Apalagi pemikiran yang seperti in ditanamkan kepada
generasi pelanjut tongkat estafetnya dalam sebuah organisasi. Secara otomatis pula akan mampu
menemukan langkah solutif dan adaptif terkait berkegiatan di tengah pandemi ini. Kedudukan
sebuah organisasi akan tetap bertahan kokoh walau diterpa gelombang sekalipun. Penanaman
sikap kritis-dialog inilah yang perlu ditingkatkan bukan arogansi senioritas yang kuno itu.
Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan upaya menggembleng sikap kepemimpinan dan
mengembangkan sikap kritis-dialogis seorang kader. Pemanfaatan media yang ada salah satu
kuncinya. Kini jarak, ruang dan waktu bukan menjadi penghalang untuk berinteraksi dan
mengakses segala sumber pengetahuan yang ada. Belum lagi jika ditambah dengan asupan buku-
buku sebagai jendela kita untuk melihat dunia. Klimaksnya ada pada pertemuan yang intens
antara calon generasi penerus tadi dengan pendahulunya. Hubungan yang mesti diciptakan
tentunya simbiosis mutualisme, melalui pendekatan humanis.
Ketika hal itu tercapai maka regenerasi kader di tengah pandemi akan tetap berjalan
sesuai dengan alurnya, tidak akan ada organisasi yang terhambat dalam penggantian masa
kepengurusannya. Sehingga juga akan mengganggu kegiatan akademik mahasiswa. Sesuatu
yang berlebihan itu tidak baik, maka dari itu porsi untuk berorganisasi harus seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan bukan keinginan yang tidak ada batasannya. Menjadikan organisasi sebagai
tempat belajar bukan tempat menumpang eksistensi lalu lalai akan tanggungjawabnya.