Anda di halaman 1dari 10

EVALUASI EFEKTIVITAS PUPUK ORGANIK UNTUK

TANAMAN KEDELAI DI LAHAN KERING MASAM


Afandi Kristiono dan Subandi
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi
Jl. Raya Kendalpayak km 8 Kotak Pos 66 Malang 65101
email: andy_bioma98@yahoo.com

ABSTRAK
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi dalam pemanfaatan lahan kering masam untuk
pertanian adalah produktivitas lahan yang rendah sehingga perlu perbaikan kesuburan tanah. Pe-
ningkatan produktivitas lahan kering masam dapat dilakukan melalui pemupukan dan/atau pemberi-
an bahan organik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian enam macam
pupuk meliputi: (1) pupuk anorganik (Phonska) serta pupuk organik yaitu (2) pupuk dari kotoran
sapi, (3) kotoran ayam, (4) pupuk organik kaya hara formula A, (5) pupuk organik kaya hara for-
mula B, dan (6) petroganik, terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai di tanah masam. Penelitian
dilaksanakan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian di
Malang pada tahun 2010. Contoh tanah diambil dari lahan kering masam Sukadana, Lampung
Timur. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, dengan tiga ulangan. Hasil penelitian
menunjukkan: (1) untuk memperoleh pertumbuhan dan hasil biji yang baik, penggunaan pupuk
mutlak diperlukan dalam budi daya kedelai pada lahan kering masam, (2) pemberian pupuk organik
berupa pupuk dari kotoran sapi 5.000 kg/ha, kotoran ayam 3.000 kg/ha, pupuk organik kaya hara
formula A, pupuk organik kaya hara formula B, maupun Petroganik dengan dosis 1.500–2.500
kg/ha memberikan hasil biji relatif lebih tinggi daripada penggunaan 300 kg/ha Phonska, dan (3)
pemberian pupuk dari kotoran sapi 5.000 kg/ha atau kotoran ayam 3.000 kg/ha, memberikan hasil
relatif sama dengan penggunaan pupuk organik kaya hara formula A atau formula B, maupun
Petroganik dosis 2.500 kg/ha.
Kata kunci: pupuk organik, kedelai, lahan kering masam

ABSTRACT
Evaluation the effectivenes of organic fertilizers on soybean grown in soil of the
acidic upland. One major problem faced in using acidic uplands for agricultural uses is their low
productivity due to less fertile, so that it needs improvement of their soil fertility. The productivity of
acidic uplands can be increased by application of fertilizer and/or organic matter. The research
objective was to know the effectiveness of six kinds of fertilizer comprised: (1) inorganic fertilizer
(Phonska) as well as organic fertilizers i.e.: (2) cattle manure, (3) chicken manure, (4) organic fertilizer
enriched nutrient Formula A, (5) organic fertilizer enriched nutrient Formula B, and (6) Petroganik,
to the growth and yield of soybean in soil of acidic upland. The research of pot experiment was
carried out at green house of Indonesian Legumes and Tuber Crops Research Institute in Malang on
2010. Soil used in the experiment was sampled from acidic upland of Sukadana Subdistric (East
Lampung Distric). A number of sixteen treatments of fertilization based on variation in kind, rate, and
combination amongs the above mentioned organic and inorganic fertilizers were evaluated using
ramdomize complete block design with three replicates. Results of the research were: (1) to obtain a
good growth and yield, fertilizer application is a necessity one to be done in cultivation of soybean in
acidic upland, (2) organic fertilizer application of 5,000 kg/ha cattle manure, 3,000 kg/ha chicken
manure, as well as 1,500–2,500 kg/ha of organic fertilizer enriched nutrient Formula A, organic
fertilizer enriched nutrient Formula B, and Petroganik yielded grain relatively higher than those of
application 300 kg/ha Phonska, and (3) to obtain no significant grain yield with application of both
5,000 kg/ha cattle manure and 3,000 kg/ha chicken manure it is needed rate of 2,500 kg/ha for
application of organic fertilizer enriched nutrient Formula A, organic fertilizer enriched nutrient

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013 49
Formula B, and Petroganik.
Keywords: organic fertilizer, soybean, acidic upland

PENDAHULUAN
Pemanfaatan lahan kering masam merupakan salah satu strategi untuk mengatasi
semakin terbatasnya lahan subur untuk pertanian terutama di Jawa. Indonesia memiliki
lahan kering masam sekitar 102,8 juta ha (Mulyani et al. 2003) yang sebagian besar meru-
pakan tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) ordo Ultisol yang penyebarannya mencapai
45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan di Indonesia (Subagyo et al. 2004).
Oleh karena itu, jenis tanah ini memiliki peran penting dalam pengembangan pertanian
lahan kering di Indonesia.
Usaha pertanian di tanah PMK menghadapi berbagai permasalahan, baik teknis mau-
pun sosial-ekonomi. Jenis tanah ini umumnya memiliki tingkat kesuburan rendah yang
disebabkan oleh miskin unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, S), hara mikro (Zn, Mo, Cu,
dan B), dan kadar bahan organik rendah (Conyers et al. 2003, Taufiq et al. 2003, Taufiq
dan Kustyastuti 2004, Taufiq et al. 2004, Caires et al. 2006, Costa & Rosolem 2007,
Caires et al. 2008, Sudaryono dan Heru 2011). Tanah PMK mempunyai pH rendah
(<5,5) yang menyebabkan tingginya kandungan Al, Fe, dan Mn terlarut di tanah sehingga
dapat meracuni tanaman. Tingkat fiksasi P yang tinggi, sifat tanah yang peka erosi, dan
miskin faktor biotik juga menjadi kendala dalam pemanfaatan lahan kering masam
(Mulyani 2006).
Perbaikan kesuburan tanah merupakan kunci utama dalam peningkatan produktivitas
lahan kering masam, diantaranya melalui pemupukan dan/atau pemberian bahan organik.
Penggunaan pupuk organik pada lahan kering masam selain dimaksudkan untuk mem-
perbaiki kesuburan tanah juga menekan penggunaan pupuk anorganik. Pupuk kandang
merupakan salah satu sumber pupuk organik yang relatif banyak digunakan petani. Per-
masalahan teknis penggunaan pupuk organik di tingkat petani adalah kadar hara dalam
pupuk kandang terutama N, P, dan K umumnya rendah sehingga harus disediakan dan
diangkut ke lahan dalam jumlah yang cukup banyak apabila ingin menggantikan sepe-
nuhnya atau sebagian besar pupuk anorganik. Pengadaan dan pengangkutan pupuk
organik dalam jumlah besar akan menghadapi masalah di kawasan lahan kering masam
yang umumnya banyak dijumpai di luar Jawa karena relatif kekurangan tenaga kerja.
Oleh karena itu, penggunaan pupuk organik yang lebih banyak mengandung hara atau
kaya hara diharapkan lebih efektif dan relatif murah ditinjau dari harga dan aplikasinya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian pupuk meliputi
Phonska, pupuk kotoran sapi, kotoran ayam, pupuk kaya hara formula A, pupuk kaya
hara formula B, Petroganik dan kombinasi di antaranya terhadap hasil kedelai pada lahan
kering masam.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Balitkabi, Malang, pada tahun 2010, menggu-
nakan contoh tanah yang diambil dari lahan kering masam Sukadana, Lampung Timur.
Jenis tanah tergolong PMK. Sebanyak 16 macam perlakuan pemupukan berdasarkan
keragaman jenis pupuk (anorganik dan organik), dosis, dan kombinasi diantaranya (Tabel
1) dievaluasi efektivitasnya dalam rancangan acak kelompok, dengan tiga ulangan.

50 Kristiono dan Subandi: Efektivitas pupuk organik pada tanaman kedelai di lahan kering masam
Kotoran sapi berasal dari usaha penggemukan sapi, kotoran ayam dari usaha ayam
petelur, dan pupuk Petroganik diperoleh dari kios pupuk. Pupuk organik kaya hara
formula A dibuat dari bahan dengan komposisi kotoran sapi 50%, kotoran ayam 20%,
batuan fosfat 15%, dan abu ketel limbah pabrik gula 15%. Pupuk organik formula B
dibuat dari bahan yang sama dengan formula A namun dengan kandungan kotoran sapi
menjadi 45% dan penambahan gipsum (CaSO4. H2O) 5%.
Tabel 1. Perlakuan pemupukan yang dievaluasi efektivitasnya untuk tanaman kedelai pada tanah
kering masam PMK dari Sukadana, Lampung Timur. Rumah kaca, Balitkabi, 2010.
No. Perlakuan (kg/ha)
1 Tanpa pupuk
2 Phonska 300
3 Kotoran sapi 5.000
4 Kotoran ayam 3.000
5 Pupuk formula A 1.500
6 Pupuk formula A 1.500 + Phonska 150
7 Pupuk formula A 2.500
8 Pupuk formula A 2.500 + Phonska 150
9 Pupuk formula B 1.500
10 Pupuk formula B 1.500 + Phonska 150
11 Pupuk formula B 2.500
12 Pupuk formula B 2.500 + Phonska 150
13 Petroganik 1.500
14 Petroganik 1.500 + Phonska 150
15 Petroganik 2.500
16 Petroganik 2.500 + Phonska 150

Varietas kedelai yang digunakan adalah Anjasmoro, ditanam dalam pot plastik berisi
15 kg tanah. Sebelumnya tanah dicampur dengan dolomit untuk menurunkan kejenuhan
Al hingga 15%. Pada setiap pot, benih ditanam empat biji dan dilakukan penjarangan
setelah tanaman berumur 7 hari setelah tanam (hst) dan menyisakan dua tanaman per
pot. Aplikasi pupuk formula A dan formula B, serta Petroganik dilakukan pada saat tanam
(takaran setara dengan satu rumpun pertanaman di lapangan yang ditanam berjarak 40
cm x 15 cm), diberikan sebagai penutup lubang tanam. Kotoran sapi dan kotoran ayam
diaplikasi dengan cara dicampur dengan contoh tanah dalam pot sebelum ditanami kede-
lai. Pupuk anorganik Phonska diberikan pada saat tanaman telah berumur 7 hst dengan
cara ditugal di samping tanaman.
Data yang diamati meliputi: (1) sifat kimia dan fisika contoh tanah, (2) komposisi
pupuk organik, dan (3) parameter tanaman kedelai berupa tinggi tanaman, jumlah polong
isi, dan hasil biji. Data pengamatan dianalisis dengan metode analisis varian (anova),
dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf kepercayaan 5%.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013 51
HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Tanah
Tanah yang digunakan dalam penelitian mengandung C-organik, hara K dan Mg yang
rendah; hara N, P, Ca dan Na sangat rendah; kejenuhan Al tinggi; dan pH tanah sangat
rendah (Tabel 2). Tanah semacam ini kurang sesuai untuk budi daya kedelai karena
miskin unsur hara dan tingkat kejenuhan Al melebihi batas toleransi tanaman kedelai yaitu
sekitar 15% (Adiningsih dan Kasno 1999). Keasaman tanah yang baik untuk pertumbuhan
tanaman kedelai adalah antara 5,8–7,0 (Andrianto dan Indarto 2004). Budi daya tanaman
kedelai pada tanah ini membutuhkan masukan bahan organik, kapur untuk meningkatkan
pH, menurunkan kejenuhan Al, dan meningkatkan kandungan Ca dan Mg, serta pemu-
pukan hara N, P, dan K. Pertumbuhan kedelai pada tanah PMK kurang baik sehingga
diperlukan tambahan pupuk organik dan kapur dalam jumlah yang cukup agar pertum-
buhan tanaman optimal (Andrianto dan Indarto 2004).
Tabel 2. Hasil analisis contoh tanah PMK sebelum percobaan.
Jenis analisis Data Harkat
pH-H2O (1:2,5) 4,35 Sangat masam
C- organik (%) 1,98 Rendah
N-total (%) 0,09 Sangat rendah
P-tersedia, Bray-1 (ppm) 3,5 Sangat rendah
K-dapat ditukar atau K-dd (me/100 g) 0,11 Rendah
Ca-dd (me/100 g) 0,78 Sangat rendah
Mg-dd (me/100 g) 0,46 Rendah
Na-dd (me/100 g) 0,09 Sangat rendah
H-dd (me/100 g) 1,83 Sangat rendah
Al-dd (me/100 g) 2,35 Sangat rendah
Kejenuhan Al (%)* 41,80 Tinggi
* Kejenuhan Al: ( (Al-dd) : (K-dd+Ca-dd+Mg-dd+Na-dd+H-dd+Al-dd)) x 100%.

Kandungan Hara Pupuk


Data analisis kandungan hara dari kotoran sapi, kotoran ayam, pupuk organik formula
A dan formula B (Tabel 3) menunjukkan semua pupuk yang dianalisis memiliki pH netral
dan kandungan C-organik 18,1–21,3% dengan kadar N 0,66–0,95%.
Tabel 3. Nilai pH dan kadar hara dalam pupuk kandang dari kotoran sapi, kotoran ayam, dan
pupuk organik kaya hara formula A dan formula B.
Kandungan hara
Jenis pupuk pH C-
N C/N P2O5 K2O CaO MgO SO4
organik
(%) ratio (%) (%) (%) (%) (%)
(%)
Kotoran sapi 6,8 20,3 0,66 30,8 2,8 0,71 0,31 0,95 4,06
Kotoran ayam 6,4 20,3 0,95 21,4 5,0 0,92 10,26 0,82 4,34
Formula A 6,7 18,1 0,85 21,3 3,7 1,61 5,87 0,75 4,98
Formula B 6,4 21,3 0,82 26,0 4,4 1,53 5,78 0,75 4,76

52 Kristiono dan Subandi: Efektivitas pupuk organik pada tanaman kedelai di lahan kering masam
Kandungan hara dalam kotoran sapi dan kotoran ayam, serta dalam pupuk organik
kaya hara formula A dan formula B memenuhi standar baku mutu pupuk organik menurut
kriteria standar nasional kualitas pupuk organik (Peraturan Menteri Pertanian No.
28/Permentan/OT.140/2/2009), kecuali nilai C/N yang sedikit lebih tinggi, standarnya
adalah 15–25. Rasio C/N pupuk organik yang dianalisis berkisar antara 21,4–30,8%. Rasio
C/N pupuk organik merupakan salah satu parameter tingkat kematangan pupuk yang
dihasilkan. Rasio C/N yang tinggi menunjukkan kadar C pada bahan organik relatif tinggi
dibanding kadar nitrogen.
Mikroba perombak bahan organik memerlukan karbon untuk energi pertumbuhannya
dan nitrogen untuk membentuk protein pada proses dekomposisi. Rasio C/N yang tinggi
menyebabkan proses dekomposisi membutuhkan waktu yang lebih lama (Setyorini et al.
2006). Pupuk organik kaya hara formula A dan pupuk kandang dari kotoran ayam memi-
liki rasio C/N memenuhi kesesuaian persyaratan teknis. Hal ini menunjukkan bahwa
pupuk tersebut lebih baik dari pupuk organik lain dari segi tingkat kematangan pupuk.
Kotoran sapi memiliki rasio C/N tertinggi yang menunjukkan proses dekomposisinya
belum sempurna, sehingga apabila digunakan pada tanaman akan menekan ketersediaan
hara, terutama N, karena selama proses dekomposisi bahan organik, mikroorganisme
akan menggunakan nitrogen tersedia untuk pertumbuhannya.
Kadar hara pupuk kandang/kotoran ternak berbeda-beda, bergantung pada jenis
makanan ternak (Lingga dan Marsono 1999). Pupuk organik dari kotoran sapi yang digu-
nakan berasal dari peternakan sapi pedaging/penggemukan yang makanannya mengan-
dung selulosa tinggi sehingga rasio C/N paling tinggi di antara pupuk organik yang lain.
Menurut Widowati et al. (2005), kandungan selulosa kotoran sapi cukup tinggi sehingga
proses dekomposisi membutuhkan waktu lebih lama. Kandungan N yang relatif rendah
dibandingkan pupuk lainnya kemungkinan karena dua hal, yakni: (1) pakan ternak sapi
mengandung hara N rendah, dan (2) dekomposisinya belum mencapai tingkat matang,
relatif banyak mengandung karbon. Pupuk kandang dari kotoran ayam memiliki kan-
dungan hara P2O5 relatif lebih tinggi dibanding pupuk organik lainnya. Kadar hara ini
sangat dipengaruhi oleh jenis konsentrat yang digunakan pada peternakan tersebut. Pakan
ternak ayam lebih berkualitas dari segi kandungan protein dan mineral, sehingga kotor-
annya banyak mengandung hara, diantaranya N, P, dan Ca.
Kandungan hara N, P2O5, K2O, dan CaO dalam pupuk organik kaya hara formula A
dan formula B lebih tinggi dari kotoran sapi. Dibandingkan dengan kotoran ayam, pupuk
organik kaya hara formula A dan formula B lebih banyak mengandung K2O. Penggunaan
gipsum 5% dengan pengurangan kotoran sapi 5% pada pembuatan pupuk organik kaya
hara formula B tidak meningkatkan kandungan SO4 dan CaO.

Pertumbuhan Tanaman
Pengamatan pada 90 hst menunjukkan bahwa pemberian pupuk pada berbagai perla-
kuan nyata meningkatkan tinggi tanaman dibandingkan dengan kontrol (tanpa tambahan
pupuk). Tanpa pupuk, tinggi tanaman hanya 34,7 cm, dengan pemupukan tinggi tanaman
meningkat menjadi 46,0–55,3 cm (Tabel 4). Hal ini disebabkan karena pupuk mengan-
dung unsur hara yang dapat menunjang pertumbuhan tanaman. Penambahan pupuk
kandang pada tanaman kedelai nyata meningkatkan tinggi tanaman dibanding tanpa

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013 53
pupuk kandang (Sinaga 2005). Menurut Sudaryono dan Kuswantoro (2011), pemberian
pupuk organik konsisten meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman.
Tinggi tanaman bervariasi pada setiap perlakuan pupuk organik. Perlakuan kotoran
ayam menghasilkan tinggi tanaman yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan Phonska
300 kg/ha. Tinggi tanaman pada perlakuan pupuk organik kaya hara formula A 1.500
kg/ha tidak berbeda dengan perlakuan kotoran sapi 5.000 kg/ha, namun lebih rendah
dibandingkan dengan perlakuan Phonska 300 kg/ha maupun kotoran ayam 3.000 kg/ha.
Pupuk dari kotoran ayam memberikan pengaruh paling besar terhadap tinggi tanaman
dibanding perlakuan pupuk organik yang lain. Kotoran ayam memiliki kandungan N dan
P lebih tinggi dibanding pupuk organik lain sehingga memberikan pengaruh yang lebih
besar terhadap pertumbuhan tanaman pada tanah yang mengandung N dan P sangat
rendah (Tabel 2).
Tabel 4. Pengaruh pemupukan terhadap tinggi tanaman kedelai (Anjasmoro) pada tanah PMK
Sukadana, Lampung Timur. Malang, 2010
Perlakuan (kg/ha) Tinggi tanaman (cm)
Tanpa pupuk 34,7 f
Phonska 300 55,3 a
Kotoran sapi 5.000 48,3 bcde
Kotoran ayam 3.000 53,7 ab
Pupuk formula A 1.500 46,6 cde
Pupuk formula A 1.500 + Phonska 150 46,3 de
Pupuk formula A 2.500 47,0 cde
Pupuk formula A 2.500 + Phonska 150 52,7 abc
Pupuk formula B 1.500 47,0 cde
Pupuk formula B 1.500 + Phonska 150 52,3 abcd
Pupuk formula B 2.500 46,0 e
Pupuk formula B 2.500 + Phonska 150 49,7 abcde
Petroganik 1.500 49,3 abcde
Petroganik 1.500 + Phonska 150 54,7 a
Petroganik 2.500 51,0 abcde
Petroganik 2.500 + Phonska 150 52,7 abc
*Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% BNT.

Kebutuhan tanaman kedelai terhadap unsur hara nitrogen lebih besar karena berperan
dalam pembentukan klorofil, asam amino, protein, dan menstimulasi perkembangan akar
serta meningkatkan penyerapan unsur hara lain. Sutedjo (2004) menyatakan, penam-
bahan unsur N mempercepat tinggi tanaman. Hara P dapat merangsang pembentukan sel-
sel baru, termasuk perakaran sehingga akan memperluas daerah penyerapan unsur hara.
Melati (2006) melaporkan bahwa kandungan hara yang cukup dan mampu meningkatkan
ketersediaan P pada tanaman menyebabkan pupuk kandang dari kotoran ayam dapat
meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman kedelai yang dibudidayakan
secara organik. Peningkatan takaran pupuk organik kaya hara formula A dari 1.500 kg/ha
menjadi 2.500 kg/ha atau tambahan Phonska 150 kg/ha tidak nyata meningkatkan tinggi
tanaman. Secara umum, tidak ada perbedaan pengaruh perlakuan antara pupuk organik
kaya hara formula A dan formula B, maupun Petroganik terhadap tinggi tanaman, meski-
pun tanaman cenderung lebih tinggi pada perlakuan Petroganik.

54 Kristiono dan Subandi: Efektivitas pupuk organik pada tanaman kedelai di lahan kering masam
Pembentukan Polong
Tanaman yang mendapat perlakuan pemupukan membentuk polong isi nyata lebih
banyak daripada tanpa dipupuk (Tabel 5). Tanaman tanpa pupuk menghasilkan jumlah
polong isi hanya 20 polong/pot, sedangkan yang dipupuk berkisar antara 46–63 polong/
pot. Perlakuan pupuk organik kaya hara formula B 2.500 kg/ha + Phonska 150 kg/ha dan
Petroganik 2.500 + Phonska 150 kg/ha menghasilkan polong isi terbanyak, yaitu 63
polong/pot. Tidak ada perbedaan nyata jumlah polong isi antara perlakuan pupuk organik
kaya hara formula A 1.500 kg/ha dengan perlakuan pupuk kandang dari kotoran sapi
5.000 kg/ha, kotoran ayam 3.000 kg/ha, dan Phonska 300 kg/ha. Peningkatan takaran
pupuk organik kaya hara formula A dari 1.500 kg/ha menjadi 2.500 kg/ha, atau tambahan
pupuk Phonska 150 kg/ha meningkatkan jumlah polong isi per pot, meskipun tidak nyata.
Secara umum, pengaruh pupuk organik kaya hara formula A dengan formula B maupun
dengan Petroganik tidak banyak berbeda. Pengaruh pupuk organik dalam pembentukan
polong isi relatif sama dengan Phonska dosis 300 kg/ha, terutama formula A dengan
penambahan 150 kg/ha Phonska.
Perlakuan pupuk kandang/kotoran ayam 3.000 kg/ha menghasilkan jumlah polong isi
relatif sama dengan Phonska dosis 300 kg/ha yang menunjukkan pemberian pupuk berpe-
ngaruh nyata terhadap pembentukan polong. Penambahan Phonska 150 kg/ha cenderung
meningkatkan jumlah polong isi pada perlakuan pupuk organik.
Tabel 5. Pengaruh pemupukan terhadap jumlah polong isi tanaman kedelai (Anjasmoro) pada
tanah PMK Sukadana, Lampung Timur. Malang, 2010.
Perlakuan (kg/ha) Jumlah polong isi
(polong/pot)
Tanpa pupuk 20,0 f
Phonska 300 54,0 abcd
Kotoran Sapi 5.000 52,0 bcde
Kotoran Ayam 3.000 56,7 abcd
Formula A 1.500 48,7 cde
Formula A 1.500 + Phonska 150 54,6 abcd
Formula A 2.500 52,0 bcde
Formla A 2.500 + Phonska 150 51,0 bcde
Formula B 1.500 41,7 e
Formula B 1.500 + Phonska 150 57,3 abc
Formula B 2.500 56,3 abcd
Formula B 2.500 + Phonska 150 63,3 a
Petroganik 1.500 56,0 abcd
Petroganik 1.500 + Phonska 150 60,0 ab
Petroganik 2.500 51,7 bcde
Petroganik 2.500 + Phonska 150 63,3 a

Hasil Biji
Pengamatan menunjukkan perlakuan pemupukan nyata meningkatkan bobot biji
kering. Tanaman yang tidak dipupuk hanya menghasilkan biji kering 4,8 g/pot, sedangkan
yang dipupuk berkisar antara 16,6–25,4 g/pot, atau meningkat 250–429% (Tabel 6).
Kandungan hara pupuk mampu meningkatkan pertumbuhan, jumlah polong isi, dan hasil

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013 55
kering biji. Marlina (2012) menyatakan hasil biji kedelai pada dasarnya ditentukan oleh
fotosintesis pada periode pembungaan. Meningkatnya hasil biji kering kedelai yang
dipupuk dengan pupuk organik diduga karena meningkatnya jumlah fotosintat yang
didistribusikan dalam biji selama fase pengisian biji.
Tanaman kedelai banyak membutuhkan hara terutama N, K, dan P. Biji kedelai
menimbun sejumlah besar asimilat yang kaya protein (sekitar 40%), hara nitrogen banyak
dibutuhkan dalam pembentukan protein. Nitrogen dibutuhkan terutama pada periode
pembentukan polong dan pengisian biji. Untuk menghasilkan kedelai 1 ton biji/ha,
tanaman mengangkut 66,8 kg N, 44,4 kg K2O, dan 17,7 kg P2O5 (Tandon and Sekhon
1988). Selain N, kebutuhan K tanaman kedelai relatif cukup tinggi. Kalium berperan
penting selama periode pengisian biji. Laju pengisian biji dapat ditingkatkan dengan
pemberian K (Haeder 1980). Kalium juga dapat memperpanjang periode pengisian biji
(sink duration) sehingga tanaman dapat lebih baik mensuplai fotosintat pada biji.
Secara umum perlakuan pupuk organik memberikan hasil biji kedelai lebih tinggi
daripada Phonska dosis 300 kg/ha. Penambahan Phonska 150 kg/ha pada pertanaman
yang diaplikasi pupuk organik kaya hara formula A dan formula B maupun Petroganik
cenderung meningkatkan hasil biji kedelai. Peningkatan hasil biji tertinggi diperoleh pada
perlakuan kotoran ayam 3.000 kg/ha. Kandungan hara N dan P kotoran ayam relatif lebih
tinggi dibandingkan pupuk organik lainnya, diduga menjadi salah satu penyebab tingginya
hasil biji pada perlakuan tersebut.
Tabel 6. Pengaruh pemupukan terhadap hasil biji kedelai (Anjasmoro) pada lahan kering masam
tanah PMK Sukadana, Lampung Timur. Malang, 2010.
Perlakuan (kg/ha) Hasil biji kering (g/pot) Hasil biji kering relatif (%)
Tanpa pupuk 4,8 g 100
Phonska 300 16,8 ef 350
Kotoran Sapi 5.000 24,0 ab 500
Kotoran Ayam 3.000 25,4 a 529
Formula A 1.500 17,5 def 365
Formula A 1.500 + Phonska 150 18,9 cdef 394
Formula A 2.500 20,8 bcdef 433
Formla A 2.500 + Phonska 150 21,2 abcde 442
Formula B 1.500 16,6 f 346
Formula B 1.500 + Phonska 150 18,3 cdef 381
Formula B 2.500 22,3 abcd 465
Formula B 2.500 + Phonska 150 25,2 ab 525
Petroganik 1.500 18,9 cdef 394
Petroganik 1.500 + Phonska 150 24,5 ab 510
Petroganik 2.500 23,6 ab 492
Petroganik 2.500 + Phonska 150 21,5 abcd 448

Peningkatan takaran pupuk organik kaya hara formula A maupun formula B dari 1.500
kg menjadi 2.500 kg/ha (75%) nyata meningkatkan hasil biji. Penggunaan pupuk organik
kaya hara formula A dan formula B dengan dosis 1.500–2.500 kg/ha nampaknya belum
optimal bagi pertumbuhan kedelai di tanah Ultisol sehingga perlu ditingkatkan, atau masih

56 Kristiono dan Subandi: Efektivitas pupuk organik pada tanaman kedelai di lahan kering masam
memerlukan tambahan pupuk anorganik NPK (Phonska). Pengaruh pemberian pupuk
organik kaya hara formula A secara umum relatif tidak berbeda dengan formula B
maupun Petroganik.
Pupuk organik kaya hara formula A dan formula B dapat dijadikan alternatif pemupu-
kan organik di lahan kering masam karena pada dosis yang relatif rendah yakni 1.500
kg/ha dapat meningkatkan hasil biji kedelai (hasil relatif) di atas perlakuan pemupukan
Phonska dosis 300 kg/ha. Hasil kedelai pada pemberian pupuk organik dengan dosis
2.500 kg/ha tidak berbeda nyata dengan pemupukan 5.000 kg/ha kotoran sapi maupun
3.000 kg/ha kotoran ayam. Di sisi lain, kebutuhan tenaga kerja/biaya untuk pengangkutan
dan aplikasi lebih murah pada pupuk organik kaya hara formula A maupun formula B
karena dosisnya lebih rendah.

KESIMPULAN
1. Untuk memperoleh pertumbuhan dan hasil biji yang baik, penggunaan pupuk mutlak
diperlukan dalam budi daya kedelai pada lahan kering masam.
2. Pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang dari kotoran sapi 5.000 kg/ha,
kotoran ayam 3.000 kg/ha, serta pupuk organik kaya hara formula A dan formula B
1.500–2.500 kg/ha maupun Petroganik 1.500–2.500 kg/ha memberikan hasil biji
kedelai relatif lebih tinggi daripada penggunaan 300 kg/ha Phonska pada lahan kering
masam.
3. Pemberian pupuk kandang dari kotoran sapi 5.000 kg/ha atau kotoran ayam 3.000
kg/ha, memberikan hasil biji kedelai tidak berbeda nyata dengan penggunaan pupuk
organik kaya hara formula A dan formula B, maupun Petroganik dosis 2.500 kg/ha.

SARAN
Disarankan agar dievaluasi kelayakan teknis dan ekonomi penggunaan pupuk organik
(kotoran sapi, kotoran ayam, pupuk organik kaya hara formula A dan formula B, maupun
Petroganik) pada pertanaman kedelai dalam skala luas di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA
Andrianto,T dan N. Indarto. 2004. Budidaya dan Analisis Usaha Tani Kedelai, Kacang Hijau,
Kacang Panjang. Cetakan Pertama. Penerbit Absolut. Yogyakarta.
Adiningsih S. and A. Kasno. 1999. Increasing the productivity of marginal upland for
agricultural development in Indonesia. Paper presented at the Internat Symp on Mana-
gement Technologies for the Improvement of Problem Soils; Queson City, Philippines: 3–
5 August, 1999.
Caires, E.F., G. Barth, F.J. Garbuio. 2006. Lime application in the establishment of a no-till
system for grain crop production in Southern Brazil. Soil & Tillage Res. 89: 3–12.
Caires, E.F., F.J. Garbuio, S. Churka, G. Barth, and J.C.I. Coreea. 2008. Effects of soil
amelioration by surface liming on non-till corn, soybean, and wheat root growth and yield.
Europ. J. Agronomy. 28: 57–63.
Conyers, M.K., D.P. Heenan, W.J. McGhie, and G.P. Poile. 2003. Amelioration of acidity with
time by limestone under contrasting tillage. Soil & Tillage Res. 72: 85–94.
Costa, A and C.A. Rosolem.2007. Liming in transition to no-till under a wheat-soybean
rotation. Soil & Tillage Res. 97: 207–217.
Harsono A dan Suryantini 2006. Potensi pupuk organik sebagai pengganti pupuk buatan pada
tanaman pangan, Agritek 14(3): 525–785.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013 57
Haeder, H.E. 1980. Effect of potassium nutrition on sink intensity and duration. p. 185–193. In.
Proc. of the 15th Coolloqium of the Int. Potash Inst. Wageningen, Netherlands.
Kasno A., D. Setyorini, dan E. Tuberkih. 2006. Pengaruh pemupukan fosfat terhadap produk-
tivitas Tanah Inceptisol dan Ultisol. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 8(2): 91–98.
Lingga P., Marsono. 1999. Petunjuk Petunjuk Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta. 150 hlm.
Marlina. 2012. Pengaruh Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai.
Jurnal Agroqua 10(1).
Mulyani, A., 2006. Potensi Lahan Kering Masam untuk Pengembangan Pertanian. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian 28(2).
Melati, M. dan A. Wisdiyastuti, 2005. Pengaruh Pupuk Kandang Ayam dan Pupuk Hijau
Calopogonium mucunoides Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Panen Muda
yang Dibudidayakan Secara Organik. Bul. Agronomi 33(2): 8–15.
Mulyani, A., Hikmatullah, & H. Subagya. 2003. Karakteristik dan potensi tanah masam lahan
kering di Indonesia. Pros Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam. Bandar
Lampung, 29–30 September 2003.
Sudaryono dan H. Kuswantoro, 2011. Optimalisasi penggunaan pupuk organik dan Anorganik
pada kedelai di tanah kering masam. Pros Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka
Kacang dan Umbi 2011.
Setyorini D., R. Saraswati dan EK. Anwar. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati: Kompos.
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. http//balittanah.litbang.deptan.go.id.
Sinaga, Y.A. 2005. Pengaruh Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai
(Glycine max (L) Merr.) Panen Muda yang Diusahakan Secara Organik. Skripsi. Jurusan
Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sutriadi, M.T., R. Hidayat, S. Rochayati, dan D. Setyorini. 2005. Ameliorasi lahan dengan
fosfat alam untuk perbaikan kesuburan tanah kering masam Typic Hapludox di Kali-
mantan Selatan. hlm. 143–155 dalam Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi
Sumber Daya Tanah dan Iklim. Buku II. Bogor, 14–15 September 2004. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Subagyo, H., N. Suharta dan A. B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 21–66.
Sutedjo M.M., 2004. Analisis Tanah , Air dan Jaringan. Rineka Cipta. Jakarta.
Tandon, HL.S. and G.S. Sekhon. 1988. Potassium Research and Agricultural production in
India. Fertililiser Development and Consultation Organisation. 144 p.
Taufiq, A., H. Kuntyastuti, Sudaryono, A.G. Mansuri, Suryantini, Triwardani, & C. Prahoro.
2003. Perbaikan dan peningkatan efisiensi produksi kedelai di lahan kering masam. Lapo-
ran Teknis. Balitkabi (Tidak dipublikasikan).
Taufiq, A., H. Kuntyastuti, dan A. G. Manshuri. 2004. Pemupukan dan ameliorasi lahan kering
masam untuk peningkatan produktivitas kedelai, hlm. 21–40 dalam Lokakarya Pengem-
bangan Kedelai Melalui Pendekatan PTT di Lahan Masam Lampung, 30 September
2004. Balitkabi, Malang.
Taufiq, A. dan H. Kuntyastuti. 2004. Upaya peningkatan produksi kedelai di lahan masam
Sumatera Selatan, hlm. 23–33 dalam Marwoto, Subowo G, & A. Taufiq (Ed.). Prosiding
Lokakarya Pengembangan Kedelai Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di
Lahan Kering Masam. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Widowati, L.R. et al. 2005. Pengaruh Kompos Pupuk Organik yang Diperkaya dengan Bahan
Mineral dan Pupuk Hayati terhadap Sifat-sifat Tanah, Serapan Hara dan Produksi
Sayuran Organik. Laporan Proyek Penelitian Program Pengembangan Agribisnis, Balai
Penelitian Tanah, TA 2005 (Tidak dipublikasikan).

58 Kristiono dan Subandi: Efektivitas pupuk organik pada tanaman kedelai di lahan kering masam

Anda mungkin juga menyukai