Anda di halaman 1dari 3

6 AgroinovasI

Budidaya Ramah Lingkungan Pada Jahe


Prospek pengembangan jahe di Indonesia cukup cerah, terutama untuk ekspor, industri
obat tradisional, industri makanan-minuman, bumbu masak, sumber minyak atsiri dan
pembuatan oleoresin.
Di samping melalui perluasan area penanaman, upaya peningkatan produksi jahe nasional
juga dilakukan melalui perbaikan teknik budidaya khususnya, pemupukan dan pengendalian
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Kebutuhan pupuk termasuk pupuk organik pada
tanaman jahe cukup tinggi, karena jahe diketahui sebagai tanaman yang banyak membutuhkan
unsur hara. Untuk menghasilkan rimpang jahe segar sebesar 25 ton/ha, unsur hara yang
terangkut mencapai 150 kg N/ha (setara dengan 350 kg urea), 60 kg P2O5/ha (setara dengan
180 kg SP36) dan 150 kg K2O/ha (setara dengan 250 kg KCl).
Jahe merupakan tanaman yang responsif terhadap pemupukan. Peningkatan jumlah
pupuk yang diberikan akan berdampak nyata terhadap produksi dan mutu rimpang jahe.
Saat ini, petani banyak menggantungkan terutama pada pupuk buatan untuk meng­optimalkan
produktivitas jahe, bahkan yang berorientasi ekspor tidak segan-segan memberikan pupuk
dalam dosis tinggi untuk mengejar produksi dan kualitas.
Permasalahannya adalah, pemberian pupuk dosis tinggi akan menyebabkan sebagian
pupuk akan terbuang dan mencemari tanah dan pengairan sekitarnya. Untuk mengurangi
dampak negatif tersebut, perlu penerapan teknologi budidaya yang ramah lingkungan,
melalui perbaikan kesuburan alami tanah sehingga pemupukan dapat lebih efisien dan
berkelanjutan.
Sementara itu, kendala utama produksi jahe adalah berbagai penyakit yang belum dapat
diatasi dengan baik. Untuk mengatasi penyakit jahe yang sangat merugikan pertanaman
jahe nasional, petani umumnya menggunakan pestisida sintetis. Penggunaan pestisida yang
berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan dampak negatif terhadap
kualitas produk, terutama tanaman sebagai bahan makanan yang aman dikonsumsi dan
menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi.
Penerapan teknologi budidaya ramah lingkungan pada tanaman temu-temuan khususnya
jahe meliputi teknologi budidaya yang dapat meningkatkan kesehatan dan produktivitas
tanaman, melalui perbaikan kesuburan alami tanah baik kimia, biologi maupun fisik, dengan
memanfaatkan bahan alami, bahan organik dan mikroba tanah yang menguntungkan yang
dapat mengurangi penggunaan pupuk buatan, serta pengendalian hama dan penyakit dengan
menggunakan pestisida nabati.
Bahan Alami
Bahan alami yang dapat dipergunakan sebagai pupuk dalam budidaya jahe adalah fosfat
alam. Fosfat alam (rock phosphate) adalah nama umum yang digunakan untuk beberapa jenis
batuan yang mengandung mineral fosfat dalam jumlah yang cukup signifikan, atau nama
mineral yang mengandung ion fosfat dalam struktur kimianya. Agar fosfat alam menjadi
pupuk yang efektif, apatit yang terkandung di dalamnya harus dapat larut secara cepat
setelah digunakan. Fosfat alam mengandung P larut air sangat kecil, sehingga bila digunakan
dalam tanah sejumlah pelarutan hanya terjadi oleh reaksi antara fosfat alam dengan ion
hidrogen yang ada. Agar fosfat alam menjadi pupuk yang efektif, fosfat alam harus reaktif
sehingga mudah larut dalam tanah, untuk mendukung pelarutan yang ekstensif sifat tanah
harus menyediakan ion hidrogen yang cukup. Oleh karena itu, ketersediaan air menjadi
penting agar tanah harus basah, sehingga terjadi difusi ion hidrogen dan fosfat, dan ion
Edisi 23 Pebruari - 1 Maret 2011 No.3394 Tahun XLI Badan Litbang Pertanian
AgroinovasI 7
kalsium ke dalam tanah sehingga menjadi tersedia bagi tanaman.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kelarutan fosfat alam antara lain konsentrasi H, Ca
dan P di dalam larutan, komposisi fosfat alam khususnya adanya substitusi karbonat terhadap
P pada apatit, derajat percampuran antara fosfat alam dan tanah serta tingkat penggunaan
fosfat alam pada tanah. Kelarutan fosfat alam dalam larutan tanah akan lebih baik bila pH
tanah, Ca dapat dipertukarkan dan konsentrasi P di dalam larutan tanah rendah. Pada tanah
masam yang banyak memerlukan P penggunaan fosfat alam dinilai lebih efektif dan lebih
murah dibandingkan bentuk P yang lain, karena pada tanah masam fosfat alam lebih reaktif
dan lebih murah di banding penggunaan superfosfat.
Unsur P dalam fosfat alam relatif sukar terlarut di dalam air, sehingga penggunaan fosfat
alam dalam budidaya jahe diberikan bersamaan dengan penggunaan pupuk bio. Beberapa
spesies mikroorganisme yang banyak dimanfaatkan sebagai pupuk bio antara lain adalah
Azospirillum sp., Azotobacter sp., dan Aspergillus sp. Setiap mikroorganisme mempunyai
kemampuan untuk melarutkan atau mengikat unsur hara. Azospirillum sp mampu menangkap
dan mengikat nitrogen atmosfer, sedangkan Aspergillus sp. mampu melarutkan fosfat
tanah. Dengan demikian, pemakaian pupuk bio diharapkan mampu meningkatkan efisiensi
penggunaan unsur hara. Hasil uji coba penggunaan fosfat alam yang dikombinasikan dengan
pupuk bio dan zeolit pada budidaya jahe mampu mengurangi penggunaan pupuk kimia
cukup signifikan, yakni sekitar 30%. Teknologi pemupukan semacam ini dapat mengurangi
ketergantungan terhadap pupuk buatan, sekaligus mengurangi pencemaran terhadap
lingkungan akibat penggunaan pupuk buatan berlebihan.

Bahan Organik
Peran bahan organik dalam budidaya tanaman sudah lama diketahui. Kandungan bahan
organik dalam tanah dapat ditingkatkan dengan pemberian pupuk organik, baik berupa
limbah hasil pertanian, limbah kota maupun guano. Limbah hasil pertanian dapat berupa sisa
tanaman, sisa hasil panen, pupuk kandang dan pupuk hijau. Sisa hasil tanaman yang tersedia
melimpah antara lain blotong, tandan buah kelapa sawit, sekam padi, dan kulit buah kopi.
Selain bahan tersebut, pupuk organik dapat pula berupa limbah industri pertanian. Sebaiknya
limbah hasil pertanian maupun industri tersebut difermentasi/dikomposkan menjadi pupuk
organik yang siap diaplikasikan. Aplikasi hasil fermentasi bahan organik (campuran pupuk
kandang, sekam, dedak) ditambah pupuk kandang dan limbah kopi dapat mengefisienkan
penggunaan pupuk buatan.
Pemberian pupuk organik yang memadai pada lahan yang secara intensif ditanami jahe
sepanjang tahun dapat meningkatkan hasil rimpang. Dalam budidaya jahe putih besar yang
berorientasi ekspor, untuk mendapatkan rimpang yang bermutu tinggi diperlukan lahan yang
subur, gembur, banyak mengandung humus atau bahan organik dan berdrainase baik.
Rimpang jahe yang besar dan bernas sesuai dengan persyaratan ekspor jahe segar dapat
diperoleh dari tanaman yang dibudidayakan pada tanah berhumus tebal, kandungan bahan
organik yang tinggi. Penggunaan humus dan pupuk kandang memperbaiki kesuburan alami
tanah baik kimia, biologi maupun fisik. Kandungan hara yang cukup tinggi pada humus adalah
C organik, N total, K, Ca dan Mg. Takaran minimum pupuk kandang untuk meningkatkan hasil
rimpang jahe segar adalah 20 ton/ha.
Bahan organik dapat meningkatkan ketersediaan beberapa unsur hara dan efisiensi
penyerapannya. Perombakan bahan organik akan melepaskan unsur hara seperti N, P,
K dan S. Meskipun kandungan hara pupuk kandang relatif rendah, tetapi di daerah tropis
perombakannya relatif cepat.
Badan Litbang Pertanian Edisi 23 Pebruari - 1 Maret 2011 No.3394 Tahun XLI
8 AgroinovasI
Untuk memenuhi kebutuhan bahan organik yang cukup tinggi, petani jahe di daerah sentra
produksi jahe di Jawa umumnya memanfaatkan pupuk kandang. Namun di daerah sentra
produksi yang ketersediaan pupuk kandangnya terbatas, maka pemanfaatan sumber bahan
organik dari sumber daya pertanian in situ merupakan alternatif yang baik untuk memenuhi
kebutuhan bahan organik. Salah satunya adalah limbah kulit kopi, yang merupakan sumber
bahan organik yang tersedia cukup melimpah di beberapa sentra produksi jahe. Kulit kopi
selama ini hanya dibuang atau dibiarkan menumpuk di penggilingan kopi. Pemanfaatan kulit
buah kopi menjadi pupuk kompos dapat dicampur dengan bahan organik lain seperti sekam
padi, gulma hasil penyiangan dan sisa tanaman lain.

Mikroba tanah bermanfaat


Salah satu mikroba tanah bermanfaat adalah FMA (fungi mikoriza arbuskula), yang
merupakan agen biologi dan bentuk simbiosis antara perakaran tanaman dengan jamur
tertentu yang asosiasinya dapat memberikan efek positif bagi tanaman inangnya. Selain
itu FMA merupakan salah satu dari tujuh bentuk asosiasi simbiotik mikrobial utama yang
terdapat di alam. Tanaman yang berasosiasi dengan FMA mempunyai beberapa kelebihan,
yaitu: lebih efisien dalam penyerapan unsur hara, mengasimilasi unsur fosfat (P) lebih cepat,
meningkatkan penyerapan unsur nitrogen, sulfur, seng dan unsur esensial lainnya. Pada saat
FMA terbentuk di dalam akar tanaman, maka akan terbentuk eksternal miselium di sekitar
perakaran tanaman, yang dapat meningkatkan volume kontak antara perakaran tanaman
dengan media tumbuhnya menjadi 12 sampai 15 kali per cm3 akar yang terinfeksi.
Beberapa jenis FMA hasil pengembangan jenis-jenis FMA dari perakaran jahe yang
kompatibel dan efektif adalah Glomus sp., Glomus geosporum, Gigaspora sp., Acaulospora
sp., Scutellospora sp. Pemanfaatan FMA, pada budidaya jahe putih besar, jahe merah dan
jahe putih kecil, cukup potensial dalam meningkatkan bobot segar dan kering rimpang.

Pestisida nabati
Penggunaan daun cengkeh dan daun serai wangi yang dicampur dengan pupuk hijau dan
pupuk kadang dapat meningkatkan kesehatan tanaman jahe, yaitu menurunkan persentase
jahe muda yang terserang penyakit. Pemanfaatan limbah hasil penyulingan cengkeh dan
serai wangi sebagai bahan kompos dapat menunjang budidaya jahe berkelanjutan. Beberapa
produk yang dihasilkan oleh tanaman, cengkeh, serai wangi, mimba, mindi dan sebagainya
juga dapat diaplikasikan pada tanah atau dibuat ekstraknya terlebih dahulu untuk mengurangi
kerusakan akibat serangan OPT, baik di tanah maupun yang menyerang daun.
Sebagai penutup, budidaya jahe sama seperti budidaya tanaman-tanaman yang lain, yang
melibatkan proses yang komplek di lapang. Tindakan yang dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman disertai budidaya yang benar, akan dapat mengurangi pengaruh negatif akibat
serangan OPT, dan mempertahankan produksi sesuai dengan potensi genetik dari varietas
jahe yang digunakan.nDono Wahyuno, Balittro.

Edisi 23 Pebruari - Maret 2011 No.3394 Tahun XLI Badan Litbang Pertanian

Anda mungkin juga menyukai