Anda di halaman 1dari 51

PUPUK MIKRO ORGANIK

Jangan pernah abaikan pupuk mikro organik karena selain untuk meningkatkan hasil pertanian dan
memperbaiki hara tanah juga sebagai antibodi tanaman terhadap serangan penyakit.
 
Petani kita kebanyakan masih mengandalkan pupuk konvensional seperti urea, SP36, KCL maupun ZA, padahal
pupuk tersebut hanya memenuhi sebagian unsur hara makro saja seperti Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium(K)
atau Sulfur(S).
Padahal setiap tanaman membutuhkan unsur hara makro dan mikro (ada 16 macam) yaitu Hara Makro C, H, O,
N, P, K, Ca, Mg, S dan Hara Mikro Fe, Mn, Mo, B, Cu, Zn, dan Cl. Bila semua unsur tersebut tidak mencukupi
maka tanaman akan tumbuh tidak normal dan hasil menjadi tidak ada alias gagal.
Hara Mikro walaupun dibutuhkan hanya sedikit tetapi keberadaannya sangat penting dan bila tidak diperhatikan
maka dapat mempengaruhi hasil panen.  Ada tiga unsur yang sangat menentukan tingkat kesuburan tanah di
lahan pertanian yaitu unsur biologi, fisika dan kimia, ketiga unsur ini saling terkait dan harus seimbang.
Ketimpangan unsur didalam kandungan tanah akan mematikan unsur biologi didalam tanah, tanah menjadi
semakin keras dan tidak dapat menyimpan air.
Kalau sudah terjadi ketimpangan ini, pemulihannya akan memakan waktu lama dan memakan biaya yang besar.
Kekurangan unsur mikro biasanya dijumpai pada tanah masam (pH rendah), dan tanah basa (pH tinggi), tanah
mineral berbahan induk masam atau berbahan organik rendah.
Tanah yang terus menerus diberi pupuk fosfat kalau sudah jenuh fosfat akan berubah menjadi asam dan semua
unsur hara diendapkan menjadi garam fosfat yang tidak bisa diserap oleh tanaman dan tanah menjadi keras
menggumpal. Tanah dalam kondisi asam unsur Mikro akan terikat oleh partikel tanah sehingga tidak tersedia
bagi tanaman.
 Tanah di Jawa sebagian besar cenderung telah jenuh fosfat, beberapa wilayah di Indonesia yang miskin unsur
hara mikro terutama Fe, Zn, dan Mn adalah Sulawesi, Maluku, NTT dan NTB. Tanah-tanah diketinggian diatas
700m DPL adalah type latosol atau tanah ber PH rendah, biasanya kandungan unsur mikro juga rendah.
Tidak semua daerah dapat digeneralisir karena masing-masing memiliki karakteristik berbeda, didaerah tertentu
kandungan mikronya rendah tetapi didaerah lain kandungan mikro tinggi.
  Umumnya lahan yang terus menerus ditanami tanpa penambahan unsur mikro akan membuat tanah
tereksploitasi karena unsur mikro turut terpanen dari tanah, oleh karena itu pupuk mikro wajib ditambahkan.
Sedikitnya ada 4 unsur mikro yang banyak dibutuhkan oleh tanaman yaitu Boron, Mangan(Mn), Besi(Fe) dan
Tembaga(Cu), disamping itu diperlukan juga bakteri pengurai tanah untuk mempercepat mengembalikan
kandungan tanah menjadi normal kembali.
 

PUPUK ORGANIK 1
Pupuk organik-Bangkitnya kesadaran sebagian masyarakat akhir-akhir ini akan dampak penggunaan pupuk
buatan terhadap lingkungan dan terjadinya penurunan kesuburan tanah mendorong dan mengharuskan
penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati. Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan
organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Sedangkan pupuk
hayati merupakan inokulan berbahan aktif organisme hidup yang berfungsi untuk menambat hara tertentu atau
memfasilitasi tersedianya hara dalam tanah bagi tanaman. Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi para pengguna sebagai salah satu acuan tentang perkembangan dan peranan pupuk organik dan
pupuk hayati bagi pengembangan pertanian di Indonesia.

Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat
dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau
seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses
rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat
fisik, kimia, dan biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada
kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar haranya; nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda
dengan pupuk anorganik. Bila C-organik rendah dan tidak masuk dalam ketentuan pupuk organik maka
diklasifikasikan sebagai pembenah tanah organik. Pembenah tanah atau soil ameliorant menurut SK Mentan
adalah bahan-bahan sintesis atau alami, organik atau mineral.

Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan,
tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan
pertanian, dan limbah kota. Pupuk organik /Kompos merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan
hewan hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan cacing tanah. Pupuk hijau/ pupuk organik merupakan
keseluruhan tanaman hijau maupun hanya bagian dari tanaman seperti sisa batang dan tunggul akar setelah
bagian atas tanaman yang hijau digunakan sebagai pakan ternak. Sebagai contoh pupuk hijau ini adalah sisa–
sisa tanaman, kacang-kacangan, dan tanaman paku air Azolla. Pupuk kandang merupakan kotoran ternak.
Limbah ternak merupakan limbah dari rumah potong berupa tulang-tulang, darah, dan sebagainya. Limbah
industri yang menggunakan bahan pertanian merupakan limbah berasal dari limbah pabrik gula, limbah
pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan sebagainya. Limbah kota yang dapat
menjadi kompos berupa sampah kota yang berasal dari tanaman, setelah dipisah dari bahan-bahan yang tidak
dapat dirombak misalnya plastik, kertas, botol, dan kertas.

Istilah pupuk hayati digunakan sebagai nama kolektif untuk semua kelompok fungsional mikroba tanah yang
dapat berfungsi sebagai penyedia hara dalam tanah, sehingga dapat tersedia bagi tanaman. Pemakaian istilah ini
relatif baru dibandingkan dengan saat penggunaan salah satu jenis pupuk hayati komersial pertama di dunia
yaitu inokulan Rhizobium yang sudah lebih dari 100 tahun yang lalu. Pupuk hayati dalam buku ini dapat
didefinisikan sebagai inokulan berbahan aktif organisme hidup yang berfungsi untuk menambat hara tertentu
atau memfasilitasi tersedianya hara dalam tanah bagi tanaman. Memfasilitasi tersedianya hara ini dapat
berlangsung melalui peningkatan akses tanaman terhadap hara misalnya oleh cendawan mikoriza arbuskuler,
pelarutan oleh mikroba pelarut fosfat, maupun perombakan oleh fungi, aktinomiset atau cacing tanah.
Penyediaan hara ini berlangsung melalui hubungan simbiotis atau nonsimbiotis. Secara simbiosis berlangsung
dengan kelompok tanaman tertentu atau dengan kebanyakan tanaman, sedangkan nonsimbiotis berlangsung
melalui penyerapan hara hasil pelarutan oleh kelompok mikroba pelarut fosfat, dan hasil perombakan bahan
organik oleh kelompok organisme perombak. Kelompok mikroba simbiotis ini terutama meliputi bakteri bintil
akar dan cendawan mikoriza. Penambatan N2 secara simbiotis dengan tanaman kehutanan yang bukan legum
oleh aktinomisetes genus Frankia di luar cakupan buku ini. Kelompok cendawan mikoriza yang tergolong
ektomikoriza juga di luar cakupan baku ini, karena kelompok ini hanya bersimbiosis dengan berbagai tanaman
kehutanan. Kelompok endomikoriza yang akan dicakup dalam buku ini juga hanya cendawan mikoriza
vesikulerabuskuler, yang banyak mengkolonisasi tanaman-tanaman pertanian. Kelompok organisme perombak
bahan organik tidak hanya mikrofauna tetapi ada juga makrofauna (cacing tanah). Pembuatan vermikompos
melibatkan cacing tanah untuk merombak berbagai limbah seperti limbah pertanian, limbah dapur, limbah
pasar, limbah ternak, dan limbah industri yang berbasis pertanian. Kelompok organisme perombak ini
dikelompokkan sebagai bioaktivator perombak bahan organik. Sejumlah bakteri penyedia hara yang hidup pada
rhizosfir akar (rhizobakteri) disebut sebagai rhizobakteri pemacu tanaman (plant growthpromoting
rhizobacteria=PGPR). Kelompok ini mempunyai peranan ganda di samping

(1) menambah N2, juga;

(2) menghasilkan hormon tumbuh (seperti IAA, giberelin, sitokinin, etilen, dan lain-lain);

(3) menekan penyakit tanaman asal tanah dengan memproduksi siderofor glukanase, kitinase, sianida; dan

(4) melarutkan P dan hara lainnya (Cattelan et al., 1999; Glick et al., 1995;

Kloepper, 1993; Kloepper et al., 1991).

Sebenarnya tidak hanya kelompok ini yang memiliki peranan ganda (multifungsi) tetapi juga kelompok
mikroba lain seperti cendawan mikoriza. Cendawan ini selain dapat meningkatkan serapan hara, juga dapat
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit terbawa tanah, meningkatkan toleransi tanaman terhadap
kekeringan, menstabilkan agregat tanah, dan sebagainya, tetapi berdasarkan hasil-hasil penelitian yang ada
peranan sebagai penyedia hara lebih menonjol daripada peranan-peranan lain. Pertanyaan yang mungkin timbul
ialah apakah multifungsi suatu mikroba tertentu apabila digunakan sebagai inokulan dapat terjadi secara
bersamaan, sehingga tanaman yang diinokulasi dapat memperoleh manfaat multifungsi mikroba tersebut.
Kebanyakan kesimpulan tersebut berasal dari penelitian-penelitian terpisah, misalnya pengaruh terhadap
serapan hara pada suatu percobaan, dan pengaruh terhadap toleransi kekeringan pada percobaan lain. Mungkin
sekali fungsi-fungsi tersebut hanya dimiliki spesies tertentu pada suatu kelompok fungsional tertentu, atau
mungkin juga fungsi-fungsi ini hanya dimiliki oleh strain atau strain-strain tertentu dalam suatu spesies, atau
kondisi lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh. pupuk organik
Subha Rao (1982) menganggap sebenarnya pemakaian inokulan mikroba lebih tepat dari istilah pupuk hayati. Ia
sendiri mendefinisikan pupuk hayati sebagai preparasi yang mengandung sel-sel dari strain-strain efektif
mikroba penambat nitrogen, pelarut fosfat atau selulolitik yang digunakan pada biji, tanah atau tempat
pengomposan dengan tujuan meningkatkan jumlah mikroba tersebut dan mempercepat proses mikrobial tertentu
untuk menambah banyak ketersediaan hara dalam bentuk tersedia yang dapat diasimilasi tanaman. pupuk
organik

FNCA Biofertilizer Project Group (2006) mengusulkan definisi pupuk hayati sebagai substans yang
mengandung mikroorganisme hidup yang mengkolonisasi rizosfir atau bagian dalam tanaman dan memacu
pertumbuhan dengan jalan meningkatkan pasokan ketersediaan hara primer dan/atau stimulus pertumbuhan
tanaman target, bila dipakai pada benih, permukaan tanaman, atau tanah. Pengertian pupuk hayati pada buku ini
lebih luas daripada istilah yang dikemukakan oleh Subha Rao (1982) dan FNCA Biofertilizer Project Group
(2006). Mereka hanya membatasi istilah pupuk hayati pada mikroba, sedangkan istilah yang dipakai pada buku
ini selain melibatkan mikroba juga makrofauna seperti cacing tanah. Bila inokulan hanya mengandung pupuk
hayati mikroba, inokulan tersebut dapat juga disebut pupuk mikroba (microbial fertilizer) Mikroorganisme
dalam pupuk mikroba yang digunakan dalam bentuk inokulan dapat mengandung hanya satu strain tertentu atau
monostrain tetapi dapat pula mengandung lebih dari satu strain atau multistrain. Strain-strain pada inokulan
multistrain dapat berasal dari satu kelompok inokulasi silang (cross-inoculation) atau lebih. Pada mulanya
hanya dikenal inokulan yang hanya mengandung satu kelompok fungsional mikroba (pupuk hayati tunggal),
tetapi perkembangan teknologi inokulan telah memungkinkan memproduksi inokulan yang mengandung lebih
dari satu kelompok fungsional mikroba. Inokulan-inokulan komersial saat ini mengandung lebih dari suatu
spesies atau lebih dari satu kelompok fungsional mikroba. Karena itu Simanungkalit dan Saraswati (1993)
memperkenalkan istilah pupuk hayati majemuk untuk pertama kali bagi pupuk hayati yang mengandung lebih
dari satu kelompok fungsional. pupuk organik
Pertanian Oleh Petani Untuk Pertanian

PUPUK ORGANIK 2
Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup, seperti pelapukan sisa -sisa tanaman,
hewan, dan manusia.[1] Pupuk organik dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memperbaiki sifat
fisik, kimia, dan biologi tanah.[2] Pupuk organik mengandung banyak bahan organik daripada kadar haranya.[2]
Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan,
tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan
pertanian, dan limbah kota (sampah).[2]
Daftar isi
[sembunyikan]
 1 Sejarah
 2 Jenis
o 2.1 Pupuk kandang
o 2.2 Pupuk hijau
o 2.3 Kompos
o 2.4 Humus
o 2.5 Pupuk organik buatan
 3 Manfaat
 4 Pelestarian lingkungan
 5 Referensi
 6 Lihat Pula
 7 Pranala Luar
[sunting] Sejarah
Sejarah penggunaan pupuk pada dasarnya merupakan bagian daripada sejarah pertanian.[3] Penggunaan pupuk
diperkirakan sudah dimulai sejak permulaan manusia mengenal bercocok tanam, yaitu sekitar 5.000 tahun yang
lalu.[3] Bentuk primitif dari penggunaan pupuk dalam memperbaiki kesuburan tanah dimulai dari kebudayaan
tua manusia di daerah aliran sungai-sungai Nil, Euphrat, Indus, Cina, dan Amerika Latin.[3] Lahan-lahan
pertanian yang terletak di sekitar aliran-aliran sungai tersebut sangat subur karena menerima endapan lumpur
yang kaya hara melalui banjir yang terjadi setiap tahun.[3] Di Indonesia, pupuk organik sudah lama dikenal para
petani.[3] Penduduk Indonesia sudah mengenal pupuk organik sebelum diterapkannya revolusi hijau di
Indonesia.[3] Setelah revolusi hijau, kebanyakan petani lebih suka menggunakan pupuk buatan karena praktis
menggunakannya, jumlahnya jauh lebih sedikit dari pupuk organik, harganyapun relatif murah, dan mudah
diperoleh.[3] Kebanyakan petani sudah sangat tergantung pada pupuk buatan, sehingga dapat berdampak negatif
terhadap perkembangan produksi pertanian.[3] Tumbuhnya kesadaran para petani akan dampak negatif
penggunaan pupuk buatan dan sarana pertanian modern lainnya terhadap lingkungan telah membuat mereka
beralih dari pertanian konvensional ke pertanian organik.[3]
Pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kotoran hewan. Hewan yang kotorannya sering digunakan untuk
pupuk kandang adalah hewan yang bisa dipelihara oleh masyarakat, seperti kotoran kambing, sapi, domba, dan
ayam.[4]. Selain berbentuk padat, pupuk kandang juga bisa berupa cair yang berasal dari air kencing (urine)
hewan.[4] Pupuk kandang mengandung unsur hara makro dan mikro.[4] Pupuk kandang padat (makro) banyak
mengandung unsur fosfor, nitrogen, dan kalium.[4] Unsur hara mikro yang terkandung dalam pupuk kandang di
antaranya kalsium, magnesium, belerang, natrium, besi, tembaga, dan molibdenum.[4] Kandungan nitrogen
dalam urine hewan ternak tiga kali lebih besar dibandingkan dengan kandungan nitrogen dalam kotoran padat.[4]
Pupuk kandang terdiri dari dua bagian, yaitu:[4]
1. Pupuk dingin adalah pupuk yang berasal dari kotoran hewan yang diuraikan secara perlahan oleh
mikroorganime sehingga tidak menimbulkan panas, contohnya pupuk yang berasal dari kotoran sapi, kerbau,
dan babi.[4]
2. Pupuk panas adalah pupuk yang berasal dari kotoran hewan yang diuraikan mikroorganisme secara cepat
sehingga menimbulkan panas, contohnya pupuk yang berasal dari kotoran kambing, kuda, dan ayam.[4] Pupuk
kandang bermanfaat untuk menyediakan unsur hara makro dan mikro dan mempunyai daya ikat ion yang tinggi
sehingga akan mengefektifkan bahan - bahan anorganik di dalam tanah, termasuk pupuk anorganik.[4] Selain itu,
pupuk kandang bisa memperbaiki struktur tanah, sehingga pertumbuhan tanaman bia optomal. [4] Pupuk
kandang yang telah siap diaplikasikan memiliki ciri dingin, remah, wujud aslinya tidak tampak, dan baunya telah
berkurang.[4] Jika belum memiliki ciri-ciri tersebut, pupuk kandang belum siap digunakan. [4] Penggunaan pupuk
yang belum matang akan menghambat pertumbuhan tanaman, bahkan bisa mematikan tanaman. [4] Penggunaan
pupuk kandang yang baik adalah dengan cara dibenamkan, sehingga penguapan unsur hara akibat prose kimia
dalam tanah dapat dikurangi.[4] Penggunaan pupuk kandang yang berbentuk cair paling bauk dilakukan setelah
tanaman tumbuh, sehingga unsur hara yang terdapat dalam pupuk kandang cair ini akan cepat diserap oleh
tanaman.[4]
[sunting] Pupuk hijau
Pupuk hijau adalah pupuk organik yang berasal dari tanaman atau berupa sisa panen. Bahan tanaman ini dapat
dibenamkan pada waktu masih hijau atau setelah dikomposkan.[4] Sumber pupuk hijau dapat berupa sisa-sisa
tanaman (sisa panen) atau tanaman yang ditanam secara khusus sebagai penghasil pupuk hijau, seperti sisa–sisa
tanaman, kacang-kacangan, dan tanaman paku air (Azolla).[4] Jenis tanaman yang dijadikan sumber pupuk hijau
diutamakan dari jenis legume, karena tanaman ini mengandung hara yang relatif tinggi, terutama nitrogen
dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya.[4] Tanaman legume juga relatif mudah terdekomposisi sehingga
penyediaan haranya menjadi lebih cepat.[4] Pupuk hijau bermanfaat untuk meningkatkan kandungan bahan
organik dan unsur hara di dalam tanah, sehingga terjadi perbaikan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah, yang
selanjutnya berdampak pada peningkatan produktivitas tanah dan ketahanan tanah terhadap erosi.[4]
Pupuk hijau digunakan dalam:[4]
1. Penggunaan tanaman pagar, yaitu dengan mengembangkan sistem pertanaman lorong, dimana tanaman pupuk
hijau ditanam sebagai tanaman pagar berseling dengan tanaman utama. [4]
2. Penggunaan tanaman penutup tanah, yaitu dengan mengembangkan tanaman yang ditanam sendiri, pada saat
tanah tidak ditanami tanaman utama atau tanaman yang ditanam bersamaan dengan tanaman pokok bila
tanaman pokok berupa tanaman tahunan. [4]
[sunting] Kompos

Kompos
Kompos merupakan sisa bahan organik yang berasal dari tanaman, hewan, dan limbah organik yang telah
mengalami proses dekomposisi atau fermentasi.[5] Jenis tanaman yang sering digunakan untuk kompos di
antaranya jerami, sekam padi, tanaman pisang, gulma, sayuran yang busuk, sisa tanaman jagung, dan sabut
kelapa.[5] Bahan dari ternak yang sering digunakan untuk kompos di antaranya kotoran ternak, urine, pakan
ternak yang terbuang, dan cairan biogas.[5] Tanaman air yang sering digunakan untuk kompos di antaranya
ganggang biru, gulma air, eceng gondok, dan azola.[5]
Beberapa kegunaan kompos adalah:[5]
1. Memperbaiki struktur tanah.[5]
2. Memperkuat daya ikat agregat (zat hara) tanah berpasir.[5]
3. Meningkatkan daya tahan dan daya serap air. [5]
4. Memperbaiki drainase dan pori - pori dalam tanah.[5]
5. Menambah dan mengaktifkan unsur hara.[5]
Kompos digunakan dengan cara menyebarkannya di sekeliling tanaman.[5] Kompos yang layak digunakan
adalah yang sudah matang, ditandai dengan menurunnya temperatur kompos (di bawah 400 c).[5]
[sunting] Humus

Humus

Humus adalah material organik yang berasal dari degradasi ataupun pelapukan daun-daunan dan ranting-ranting
tanaman yang membusuk (mengalami dekomposisi) yang akhirnya mengubah humus menjadi (bunga tanah),
dan kemudian menjadi tanah.[6] Bahan baku untuk humus adalah dari daun ataupun ranting pohon yang
berjatuhan, limbah pertanian dan peternakan, industri makanan, agro industri, kulit kayu, serbuk gergaji (abu
kayu), kepingan kayu, endapan kotoran, sampah rumah tangga, dan limbah-limbah padat perkotaan.[6] Humus
merupakan sumber makanan bagi tanaman, serta berperan baik bagi pembentukan dan menjaga struktur tanah.[6]
Senyawa humus juga berperan dalam pengikatan bahan kimia toksik dalam tanah dan air.[6] Selain itu, humus
dapat meningkatkan kapasitas kandungan air tanah, membantu dalam menahan pupuk anorganik larut-air,
mencegah penggerusan tanah, menaikan aerasi tanah, dan juga dapat menaikkan fotokimia dekomposisi
pestisida atau senyawa-senyawa organik toksik.[6] Kandungan utama dari kompos adalah humus.[6] Humus
merupakan penentu akhir dari kualitas kesuburan tanah, jadi penggunaan humus sama halnya dengan
penggunaan kompos.[6]
[sunting] Pupuk organik buatan
Pupuk organik buatan adalah pupuk organik yang diproduksi di pabrik dengan menggunakan peralatan yang
modern.[7]
Beberapa manfaat pupuk organik buatan, yaitu:[7]
1. Meningkatkan kandungan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. [7]
2. Meningkatkan produktivitas tanaman.[7]
3. Merangsang pertumbuhan akar, batang, dan daun.[7]
4. Menggemburkan dan menyuburkan tanah. [7]
Pada umumnya, pupuk organik buatan digunakan dengan cara menyebarkannya di sekeliling tanaman, sehingga
terjadi peningkatan kandungan unsur hara secara efektif dan efisien bagi tanaman yang diberi pupuk organik
tersebut.[7]

[sunting] Manfaat
Berbagai hasil penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif menurun
produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan
karbon organik dalam tanah, yaitu 2%.[8] Padahal untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan karbon
organik sekitar 2,5%.[8] Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas
maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan.
[8]
Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat
mencegah degradasi lahan.[8] Sumber bahan untuk pupuk organik sangat beranekaragam, dengan karakteristik
fisik dan kandungan kimia yang sangat beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap
lahan dan tanaman dapat bervariasi.[8] Selain itu, peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia
biologi tanah serta lingkungan.[8] Pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa
kali fase perombakan oleh mikroorganisme tanah untuk menjadi humus.[8] Bahan organik juga berperan sebagai
sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam
penyediaan hara tanaman.[8] Penambahan bahan organik di samping sebagai sumber hara bagi tanaman, juga
sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba.[8] Bahan dasar pupuk organik yang berasal dari sisa tanaman
sedikit mengandung bahan berbahaya.[8] Penggunaan pupuk kandang, limbah industri dan limbah kota sebagai
bahan dasar kompos berbahaya karena banyak mengandung logam berat dan asam-asam organik yang dapat
mencemari lingkungan.[8] Selama proses pengomposan, beberapa bahan berbahaya ini akan terkonsentrasi
dalam produk akhir pupuk.[8] Untuk itu diperlukan seleksi bahan dasar kompos yang mengandung bahan-bahan
berbahaya dan beracun (B3).[8] Pupuk organik dapat berperan sebagai pengikat butiran primer menjadi butir
sekunder tanah dalam pembentukan pupuk.[8] Keadaan ini memengaruhi penyimpanan, penyediaan air, aerasi
tanah, dan suhu tanah.[8] Bahan organik dengan karbon dan nitrogen yang banyak, seperti jerami atau sekam
lebih besar pengaruhnya pada perbaikan sifat-sifat fisik tanah dibanding dengan bahan organik yang
terdekomposisi seperti kompos.[8]
Pupuk organik memiliki fungsi kimia yang penting seperti:[8]
1. Penyediaan hara makro (nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan sulfur) dan mikro seperti zink,
tembaga, kobalt, barium, mangan, dan besi, meskipun jumlahnya relatif sedikit.[8]
2. Meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah. [8]
3. Membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti aluminium, besi, dan
mangan.[8]

[sunting] Pelestarian lingkungan

Tanaman penutup tanah (cover crop) dapat digunakan sebagai pupuk organik.

Penggunaan pupuk organik saja, tidak dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan ketahanan pangan.[9] Oleh
karena itu sistem pengelolaan hara terpadu yang memadukan pemberian pupuk organik dan pupuk anorganik
perlu digalakkan.[9] Sistem pertanian yang disebut sebagai LEISA (Low External Input and Sustainable
Agriculture) menggunakan kombinasi pupuk organik dan anorganik yang berlandaskan konsep good
agricultural practices perlu dilakukan agar degredasi lahan dapat dikurangi dalam rangka memelihara
kelestarian lingkungan.[9] Pemanfaatan pupuk organik dan pupuk anorganik untuk meningkatkan produktivitas
lahan dan produksi pertanian perlu dipromosikan dan digalakkan.[9] Program-program pengembangan pertanian
yang mengintegrasikan ternak dan tanaman (crop-livestock) serta penggunaan tanaman legum baik berupa
tanaman lorong (alley cropping) maupun tanaman penutup tanah (cover crop) sebagai pupuk hijau maupun
kompos perlu diintensifkan.[9]
PUPUK ORGANIK 3
 
Penggunaan pupuk di dunia terus meningkat sesuai dengan pertambahan luas areal pertanian,
pertambahan penduduk, kenaikan tingkat intensifikasi serta makin beragamnya penggunaan pupuk
sebagai usaha peningkatan hasil pertanian. Para ahli lingkungan hidup khawatir dengan pemakaian
pupuk mineral yang berasal dari pabrik ini akan menambah tingkat polusi tanah yang akhirnya
berpengaruh juga terhadap kesehatan manusia.
Berdasarkan hal tersebut makin berkembang alasan untuk mengurangi penggunaan pupuk mineral
dan agar pembuatan pabrik-pabrik pupuk di dunia dikurangi atau dihentikan sama sekali agar
manusia bisa terhindar dari malapetaka polusi. Upaya pembudidayaan tanaman dengan pertanian
organik merupakan usaha untuk dapat mendapatkan bahan makanan tanpa penggunaan pupuk
anorganik. Dengan sitem ini diharapkan tanaman dapat hidup tanpa ada masukan dari luar sehingga
dalam kehidupan tanaman terdapat suatu siklus hidup yang tertutup.
Banyak sifat baik pupuk organik terhadap kesuburan tanah antara lain ialah:
a.   Bahan organik dalam proses mineralisasi akan melepaskan hara tanaman dengan  lengkap (N, P,
K, Ca, Mg, S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak tentu dan relatif kecil.
b.   Dapat memperbaiki struktur tanah, menyebabkan tanah menjadi ringan untuk diolah dan mudah
ditembus akar.
c.   Tanah lebih mudah diolah untuk tanah-tanah berat.
d.   Meningkatkan daya menahan air (water holding capacity). Sehingga kamampuan tanah untuk
menyediakan air menjadi lebih banyak. Kelengasan air tanah lebih terjaga.
e.   Permeabilitas tanah menjadi lebih baik. Menurunkan permeabilitas pada tanah bertekstur kasar
(pasiran), sebaliknya meningkatkan permeabilitas pada tanah bertekstur sangat lembut
(lempungan).
f.    Meningkatkan KPK (Kapasitas Pertukaran Kation ) sehingga kemampuan mengikat kation
menjadi lebih tinggi, akibatnya apabila dipupuk dengan dosis tinggi hara tanaman tidak mudah
tercuci. 
g.   Memperbaiki kehidupan biologi tanah (baik hewan tingkat tinggi maupun tingkat rendah )
menjadi lebih baik karena ketersediaan makan lebih terjamin.
h.   Dapat meningkatkan daya sangga (buffering capasity) terhadap goncangan perubahan drastis
sifat tanah.
i.     Mengandung mikrobia dalam jumlah cukup yang berperanan dalam proses dekomposisi bahan
organik. 
Sedangkan sifat yang kurang baik dari pupuk organik adalah:
a.   Bahan organik yang mempunyai C/N masih tinggi berarti masih mentah. Kompos yang belum
matang (C/N tinggi) dianggap merugikan, karena bila diberikan langsung ke dalam tanah maka
bahan organik diserang oleh mikrobia (bakteri maupun fungi) untuk memperoleh enersi.
Sehingga populasi mikrobia yang tinggi memerlukan juga hara tanaman untuk tumbuhan dan
kembang biak. Hara yang seharusnya digunakan oleh tanaman berubah digunakan oleh mikrobia.
Dengan kata lain mikrobia bersaing dengan tanaman untuk memperebutkan hara yang ada. 
Hara menjadi  tidak tersedia (unavailable) karena berubah dari senyawa anorganik menjadi
senyawa organik jaringan mikrobia, hal ini disebut immobilisasi hara. Terjadinya immobilisasi
hara tanaman bahkan sering menimbulkan adanya gejala defisiensi.  Makin banyak bahan
organik mentah diberikan ke dalam tanah makin tinggi populasi yang menyerangnya, makin
banyak hara yang mengalami immobilisasi. Walaupun demikian nantinya bila mikrobia mati akan
mengalami dekomposisi hara yang immobil tersebut berubah menjadi tersedia lagi. Jadi
immobilasasi merupakan pengikatan hara tersedia menjadi tidak tersedia dalam jangka waktu
relatif tidak terlalu lama  
b.   Bahan organik yang berasal dari sampah kota atau limbah industri sering mengandung mikrobia
patogen  dan logam berat yang berpengaruh buruk bagi tanaman, hewan dan manusia.
 
Sisa tanaman hasil pertanian
Limbah sisa hasil pertanian cukup banyak terutama terdiri dari daun-daun, kulit biji (kopi, coklat,
sabut kelapa) dari perkebunan, jerami padi jagung, daun dari halaman/ pekarangan dan
sebagainya. Bahan organik yang baru dikumpulkan umumnya masih segar dan mempunyai kisaran
nisbah C/N sedang ( 35) untuk legum dan sangat tinggi (> 60) untuk kayu dan non legum. Sebelum
digunakan bahan-bahan ini harus dikomposkan lebih dulu agar nisbah C/N nya turun menjadi  15.
 
Pupuk kandang
Pupuk kandang merupakan pupuk yang penting di Indonesia. Selain jumlah ternak lebih tinggi
sehingga volume bahan ini besar, secara kualitatif relatif lebih kaya hara dan mikrobia
dibandingkan limbah pertanian. Yang yang dimaksud pupuk kandang ialah campuran kotoran
hewan/ ternak dan urine.
 

Tabel Rata-rata hara dari berbagai pupuk kandang. 


  Sapi Ayam Bebek Domba
Ukuran hewan ( kg) 500 5 100 100
Pupuk segar (ton/tahun) 11,86 10,95 0,046 0,73
Kadar air ( %) 85 72 82 77
Kandungan hara  (kg/ton ton)        
Nitrogen (N) 10,0 25,0 10,0 28,0
Fosfor (P) 2,0 11,0 2,8 4,2
Kalium (K) 8,0 10,0 7,6 20,0
Kalsium (K) 5,0 36,0 11,4 11,7
Magnesium (Mg) 2,0 6,0 1,6 3,7
Sulfur (S) 1,5 3, 2 2,7 1,8
Ferrum (Fe) 0,1 2,3 0,6 0,3
Boron (B) 0,01 0,01 0,09 -
Cuprum (Cu) 0,01 0,01 0,04 -
Mangan (Mn) 0,03 - - -
Zinc (Zn) 0,04 0,01 0,12 -
 
Pupuk kandang dibagi menjadi dua macam: a) pupuk padat dan b) pupuk cair. Susunan hara pupuk
kandang sangat bervariasi tergantung macamnya  dan jenis hewan ternaknya. Nilai pupuk kandang
dipengaruhi oleh: 1) makanan hewan yang bersangkutan, 2) fungsi hewan tersebut sebagai
pembantu pekerjaan atau dibutuhkan dagingnya saja,  3) jenis atau macam hewan, dan 4) jumlah
dan jenis bahan yang digunakan sebagai alas kandang.
 
Pupuk hijau
Pupuk hijau merupakan pupuk yang berasal dari sisa tanaman legum. Karena kemampuan tanaman
legum mengikat N udara dengan bantuan bakteri penambat N menyebabkan kadar N dalam
tanaman relatif tinggi. Akibatnya pupuk hijau dapat diberikan dekat waktu penanaman tanpa harus
mengalami proses pengomposan lebih dulu sebagaimana sisa-sisa tanaman pada umumnya.
Beberapa contoh pupuk hijau, antara lain:
a.   Crotalaria juncea. Dulu jenis legum ini diharuskan ditanam pada perkebunan tembakau
Vorstenland pergiliran tanaman. Memasukkan tanaman legum ini jelas akan berpengaruh baik
terhadap sifat-sifat tanah baik tanaman tembakau itu sendiri maupun tanaman sesudahnya.
Produksi 150-250 kw/ hektar. Kandungan N 2.84% dari bahan kering. Kadar bahan kering 16.0%
dari bahan basah.
b.   Crotalaria anagyroides. Produksi hijauan daun dan tangkai 284 kw/ hektar. Kadar N= 2.31% dari
bahan kering, kadar bahan kering sekitar 13.24%;  umur tanaman 6-10 bulan.
c.   Crotalaria usaramensis. Produksi hijauan tergolong tinggi sekitar 350 kw/ hektar; umur
tanaman 4-5 bulan.
d.   Tephrosia vogelii, thephrosia candida.
e.   Sesbania sesban, janti turen (Jawa).
f.    Sesbania esculatta, produksi 120 kwt/ hektar.
g.   Phaseolus tunatus, kratok (Jawa). Produksi 120-180 kw/ hektar . Mengandung N 3.85 % dari
bahan kering; kadar bahan kering 19.3% terhadap bahan basah.
h.   Glycine soya, kedele produksi 65.27 kw/ hektar tangkai dan daun  mengandung 0.57% N dari
bahan basah. Selain produksi daun dan tangkai kedele mempunyai produksi biji kedele dengan
sekitar 1.1 ton per hektar.
i.     Vigna sisnensis, kacang tunggak, kacang dadapan.
j.    Mimosa invisa, produksi 300 kw/ hektar.; umur 6-8 bulan.
k.   Centrosoma pubescens, produksi 400 kw/ hektar; umur 10 bula.
l.    Calopogonium mucunoides, umumnya digunakan untuk makanan ternak.

PERAN MIKROBA DALAM PERTANIAN  ORGANIK


Oleh purcahyopetanisawit

i
PERAN MIKROBA DALAM PERTANIAN ORGANIK
Oleh:
Dr.H. Ceppy Nasahi,Ir.MS.
196204011986031004
JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2010
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Peran Mikroba dalam Pertanian Organik
Oleh : Dr.H. Ceppy Nasahi,Ir.MS.
Nip : 196204011986031004
Menyetujui
a.n. Ketua Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan,
Sekretaris,
Dr. H. W. Daradjat Natawigena, Ir., MSi
NIP.19610720198701101
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan taufik dan
hidayah hingga dapat menyelesaikan tulisan ini yang berjudul : Peran Mikroba Dalam
Pertanian Organik .
Tulisan ini dimaksudkan untuk ikut memberikan konstribusi dalam gerakan
pertanian organik yang sedang ramai-ramainya digaungkan sekarang ini. Gerakan
pertanian organik atau gerakan kembali ke alam (back to nature) sudah merupakan
kebutuhan masyarakat yang sadar akan pentingnya menjaga kesehatan dan kelestarian
lingkungan hidup.
Pertanian organik dalam aplikasinya tidak akan lepas dari peranan mikroba untuk
menunjang keberhasilannya. Untuk itu penulis ingin memberikan konstribusi dalam
bentuk tulisan ini, yang mudah-mudahan dapat berguna dan bermamfaat bagi yang
memerlukannya. Amin.
Bandung, Februari 2010
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………….. ii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………………………. iii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………………… iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang …………………………………………………………. 1
1.2. Pembangunan Pertanian Organik ……………………………………. 4
1.3. Ruang Lingkup dan Sejarah (Kebangkitan) Pertanian
Organik ……………………………………………………………………… 8
1.4. Definisi dan Deskripsi Pertanian Organik ……………………….. 12
BAB II. KOMPONEN PERTANIAN ORGANIK
2.1. Pupuk Organik ……………………………………………………………… 16
2.2. Pestisida Organik…………………………………………………………… 18
BAB III. PERAN MIKROBA SEBAGAI PUPUK ORGANIK 22
3.1. Peran mikroba Tanah dalam Penyediaan dan Penyerapan
Unsur Hara…………………………………………………………………… 22
3.2. Mikroba Tanah yang bermamfaat……………………………………. 24
3.1.1. Mikroba Penambat N …………………………………………. 24
3.1.2. Mikroba Pelarut Fosfat……………………………………….. 27
3.1.3. Jamur Mikoriza Arbuskula (CMA)………………………. 28
3.3. Strategi Keberhasilan Pemanfaatan Mikroba Tanah…………… 31
BAB IV. PERAN MIKROBA SEBAGAI PESTISIDA ORGANIK 33
4.1. Jamur 33
4.1.1. Jamur Antagonis………………………………………………… 33
4.1.2. Mekanisme antagonisme…………………………………….. 34
4.1.3. Jamur entomopatogen………………………………………… 39
4.1.4. Mekanisme pengendalian……………………………………. 40
4.1.5. Jamur Nematopatogen………………………………………… 41
4.1.6. Mekanisme pengendalian…………………………………… 42
4.2. Bakteri 44
4.2.1. Bakteri Antagonis………………………………………………. 44
4.2.3. Bakteri entomopatogen……………………………………….. 49
4.3. Virus 52
v
4.3.1. Virus Entomopatogen………………………………………… 52
4.3.2. Mekanisme pengendalian…………………………………… 52
4.4. Nematoda 53
4.4.1. Nematoda entomopatogen………………………………….. 53
4.4.2. Mekanisme Patogenisitas…………………………………… 54
BAB V. KENDALA DAN PROSPEK PERTANIAN ORGANIK…………….. 55
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………. 60
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………… 61
vi
DAFTAR TABEL
No. Judul Hal.
1 Perbedaan Antara Pertanian Organik dengan Pertanian Modern dari
Delapan Sudut Pandang……………………………………………………………. 15
2.
3.
Jenis bakteri yang dapat menambat N secara non simbiotik………..
Persistensi dari Herbisida dan Insektisida Dalam Tanah…………….
26
58
4. Karakteristik dari Beberapa Genus Bakteri Yang Dapat Mereduksi
Dechlorination…………………………………………………………………………. 58
vii
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Hal.
1 Mikoriza. (a) Tipe mikoriza akar pada Pinus radiate dengan
rhizomorp dari jamur Thelophora terrestris ……………………….
29
2
3
4
5
b. Potongan Melintang SeedlingPinus contorta…………………………….
Pengaruh Mikoriza Terhadap Pertumbuhan Seedling Pinus……………
Scanning Elektron Mikroskop Pada Permukaan Patogen Tular
Tanah Rhizoctonia solani Setelah Diparasit Trichoderma……………..
Kolonisasi Rambut Akar Pada Tanaman Jagung Oleh Strain T.
harzianum………………………………………………………………………………
29
30
35
36
6
7
8
9
10
11
Peningkatan Perkembangan Akar Dari Lahan Pertanaman Jagung
dan Kedelai Sebagai Akibat Kolonisasi T harzianum……………………
Tanaman Cabai Yang Memperlihatkan Perkembangan dan Hasil
Yang Bagus Setelah Benih Diberi Perlakuan T harzianum……………
Mycoparasitasi Trichoderma Terhadap Patogen Penyebab Rebah
Kecambah………………………………………………………………………………..
Hifa Jamur Arthobotris ssp………………………………………………………..
Arthrobotrys spp. Menjerat nematoda…………………………………………
Skema Signal Transduction Patway SAR dan ISR Pada Tanaman
Arabidopsis…………………………………………………………………………..
36
37
38
43
43
48
viii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertanian organik merupakan sistem managemen produksi yang dapat
meningkatkan kesehatan tanah maupun kualitas ekosistem tanah dan produksi
tanaman. Dalam pelaksanaannya pertanian organik menitikberatkan pada
penggunaan input yang dapat diperbaharui dan bersifat alami serta menghindari
penggunaan input sintesis maupun produk rekayasa genetika.
Gerakan kembali ke alam (back to nature) yang dilandasi oleh kesadaran
pentingnya menjaga kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup, kini menjadi
gaya hidup (trend) masyarakat dunia (Andoko, 2002). Grafik perkembangan dan
penerapan pendekatan pertanian organik terus meningkat seiring dengan semakin
jelasnya dampak negatif dari pendekatan pembangunan pertanian dengan input
luar tinggi (High External Input Agriculture-HEIA).
Departemem Pertanian (2004) menyatakan bahwa pemakaian pupuk dan
pestisida anorganik yang telah berlangsung hampir selama 35 tahun ini telah
diakui banyak menimbulkan kerusakan, baik terhadap struktur tanah, kejenuhan
tanah, terhadap air, terhadap hewan, dan terhadap manusia. Menurut Reijntjes, et
al. (1992), penggunaan input luar (pupuk dan pestisida sintetsi) telah
mengakibatkan:
1. Terganggunya kehidupan dan keseimbangan tanah, meningkatkan
dekomposisi bahan organik, yang kemudian menyebabkan degradasi
struktur tanah, kerentanan yang lebih tinggi terhadap kekeringan dan
keefektifan yang lebih rendah dalam menghasilkan panenan. Aplikasi yang
tidak seimbang dari pupuk mineral nitrogen yang menyebabkan bisa juga
menurunkan pH tanah dan ketersediaan fospor bagi tanaman.
2. Penggunaan pupuk buatan NPK yang terus menerus menyebabkan
penipisan unsur-unsur mikro seperti seng, besi , tembaga, mangan,
magnesium, molybdenum, boron yang bisa mempengaruhi tanaman,
hewan, dan kesehatan manusia. Bila unsur mikro ini tidak diganti oleh
2
pupuk buatan NPK, produksi lambat laun akan menurun dan munculnya
hama dan penyakit akan meningkat (Sharma, 1985; Tandon, 1990).
3. Setiap tahun ribuan penduduk teracuni oleh pestisida, dimana kira-kira
setengahnya adalah penduduk dunia ketiga. Misalnya, pada tahun 1983
kira-kira 2 juta manusia menderita karena keracunan pestisida, dan 40.000
orang diantaranya berakibat fatal (Schoubroeck et al., 1990). Karena
toksisitasnya, banyak jenis pestisida, misalnya DDT, dilarang digunakan di
negara-negara maju. Namun jenis-jenis ini masih digunakan di negaranegara
berkembang.
4. Dari waktu ke waktu, hama menjadi resisten terhadap pestisida, yang
kemudian memaksa penggunaan pestisida dalam dosis yang lebih tinggi.
Akhirnya, perlu dikembangkan pestisida baru dan ini merupakan suatu
proses yang sangat mahal. Resistensi hama ini semakin berkembang cepat
di daerah tropis daripada di daerah beriklim sedang, karena proses
biologisnya berlangsung lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi. Pada
tahun 1984, sebanyak 447 jenis serangga dan tungau, 100 patogen
tanaman, 55 jenis gulma, 2 jenis nematoda, serta 5 jenis hewan pengerat
kebal pestisida (Gips, 1987).
5. Pestisida bukan hanya membunuh mikroorganisme yang menyebabkan
kerusakan pada tanaman, namun juga membunuh mikroorganisme yang
berguna, seperti musuh alami hama. Serangan hama primer dan sekunder
bisa meningkat setelah pestisida membunuh musuh alaminya (resurgensi).
6. Hanya sebagian kecil pestisida yang dipakai di lahan mengenai
mikroorganisme yang seharusnya dikendalikan. Sebagian besar pestisida
itu masuk ke tanaman (komoditas), udara, tanah, atau air, yang bisa
membahayakan kehidupan mikroorganisme lain. Mikroorganisme air,
khususnya, sangat peka terhadap pestisida sintetis.
7. Pestisida yang tidak mudah terurai, akan terserap dalam rantai makanan
dan sangat membahayakan serangga, hewan pemakan serangga, burung
pemangsa, dan pada akhirnya manusia.
Menurut catatan WHO dalam Novizan (2002), paling tidak 20.000 orang
per tahun mati akibat keracunan pestisida. Sekitar 5.000-10.000 orang per tahun
3
mengalami dampak yang sangat fatal, seperti kanker, cacat tubuh, kemandulan,
dan penyakit liver. Berbagai jenis pestisida dan pupuk terakumulasi di tanah dan
air yang berdampak buruk terhadap keseluruhan ekosistem. Beberapa spesies
katak jantan di Amerika Serikat dilaporkan mengalami perubahan genetik menjadi
berkelamin ganda (hermaprodit) akibat keracunan Atrazin (bahan aktif herbisida
yang sangat banyak dipakai di AS) dan telah terakumulasi pada tanah dan air.
Pada perkembangannya, akumulasi senyawa-senyawa kimia tidak saja
terjadi di alam (tanah dan perairan), tetapi juga pada mahluk hidup itu sendiri
(hewan maupun tumbuhan). Sebagai contoh, Johnstone et al. (1995) melaporkan
adanya akumulasi senyawa organochlorine dan polychlorobiphenyl (PCB) yang
sangat nyata pada burung-burung ‘Peregrines’ dan jaringan tubuh mangsanya.
Akumulasi senyawa pestisida terbukti mengganggu sistem reproduksi hewan
tersebut (Fry, 1995). Terhadap ternak yang dimakan manusiapun terjadi
akumulasi seperti unsur Cadmium (Cd) yang berasal dari pupuk fosfat anorganik
pada organ hati dan ginjal (Olsson, et al., 2001). Pada manusia ada indikasi bahwa
pestisida tertentu dapat mendorong terbentuknya jaringan kanker (Untung, 1993).
Novizan (2002) mencatat, tragedi Bhopal di India pada bulan Desember
1984 merupakan peringatan keras untuk produksi pestisida sintetis. Saat itu, bahan
kimia metil isosianat telah bocor dari pabrik Union Carbide yang memproduksi
pestisida sintetis (Sevin). Tragedi itu menewaskan lebih dari 2.000 orang dan
mengakibatkan lebih dari 50.000 orang dirawat akibat keracunan. Kini, keracunan
pestisida juga dialami oleh para konsumen sayuran dan buah-buahan yang jauh
dari lokasi produksi.
Pertanian konvensional selain menimbulkan dampak negatif dari
penggunaan pestisida sintetis, ternyata pemberian input berupa pupuk anorganik
juga banyak menimbulkan masalah. Sulistyowati (1999), menyatakan bahwa
akibat penggunaan pupuk kimia, tanah menjadi keras, sehingga energi yang
dibutuhkan untuk mengolah tanah menjadi lebih berat. Cacing-cacing tanah yang
berfungsi menggemburkan tanah secara alami tidak mampu mengikuti kecepatan
penguraian yang diperlukan manusia.
Pupuk anorganik selain dapat menurunkan kandungan bahan organik dalam
tanah ternyata menyebabkan kecenderungan penurunan pH pada lahan pertanian.
4
Pemakaian pupuk kimia seperti urea dan ZA secara terus menerus membuat
kondisi tanah semakin masam. Penggunaan pupuk N-sintetik secara berlebihan
juga menurunkan efisiensi P dan K serta memberikan dampak negatif seperti
gangguan hama dan penyakit (Musnamar,2003).
1.2. Pembangunan Pertanian Organik
Departemen Pertanian (2004) mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini
petani mulai mengeluh bahwa pemberian pupuk jenis dan dosis tertentu tidak lagi
berpengaruh nyata terhadap produksi, karena mikroorganisme tanah sudah
menurun jumlahnya. Kecenderungannya, dosis penggunaan pupuk semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, pada tahun 1970-an petani hanya
membutuhkan 150 kg urea per ha, namun sekarang mencapai 500 kg per ha.
Petani pun merasakan adanya penurunan” kualitas tanah, terutama pada struktur
tanah dan kejenuhan tanah pada unsur hara tertentu. Pada saat musim kemarau
tanah menjadi pecah-pecah dan pada musim hujan tanah menjadi liat, sehingga
menyulitkan pertumbuhan akar tanaman.
Secara umum, Satari (1999), menganalisis bahwa sumber daya lahan dan air
serta sumberdaya hayati Indonesia, yang merupakan basis utama bagi
pembangunan pertanian, kini dalam keadaan deteriorasi mutu.
Penggunaan pupuk dan pestisida sintetis yang tidak terkendali dalam sistem
pertanian yang eksploitatif (intensif) dan pencemaran oleh limbah industri atau
domestik, merupakan beberapa penyebab utamanya. Singkatnya, secara ekologi,
tanah dan perairan Indonesia telah kelebihan beban, oleh karena itu, nyatalah
bahwa pendekatan pembangunan yang konvensional (green revolution)
menjadi bumerang (self destruktif) dan menyengsarakan.. Sejalan dengan itu,
Soewardi (1987) dan Saragih (2000), menyatakan bahwa dari tahun ke tahun,
pasca diberlakukannya program Revolusi Hijau lahan-lahan pertanian di
Indonesia terus menunjukkan gejala pelandaian (leveling off). Pada, kondisi
tersebut telah mengakibatkan semakin kentaranya ketidakseimbangan antara
supply dan demand pangan. Padahal, kebutuhan akan pangan ke depan, cenderung
akan semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk
dan semakin terbatasnya lahan pertanian..
5
Menyikapi berbagai dampak negatif dari program Revolusi Hijau dan
program-program pembangunan lainnya yang juga bersifat eksploitatif, Kantor
Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia (1997), melalui Agenda 21-nya,
mengingatkan bahwa Dunia tengah menghadapi keadaan yang memburuk,
menyangkut masalah kemiskinan, kelaparan, ketidaksehatan manusia, tuna aksara,
dan berlanjutnya kerusakan lingkungan tempat bergantungnya kesejahteraan kita.
Disamping itu, pula bahwa kesenjangan antara kaya dan miskin terus berlanjut
dan semakin melebar. Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk menjamin adanya
masa depan yang lebih aman dan lebih sejahtera bagi kita adalah dengan bersamasama
menanggulangi masalah lingkungan dan menerapkan sistem pertanian
organik. Pada prinsipnya, pendekatan pembangunan pertanian organik,
sebagaimana diistilahkan oleh Reijntjes et al. (1992), dilaksanakan dengan input
luar rendah dan berkelanjutan (Low External Input and Sustanabity Agriculture-
LElSA). Menurutnya, LEISA adalah sistem pertanian yang mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia yang tersedia di tempat (seperti
tanah, air, tumbuhan, tanaman, dan hewan lokal serta tenaga manusia,
pengetahuan, dan keterampilan) dan yang secara ekonomi layak, mantap secara
ekologis, disesuaikan menurut budaya dan sosial setempat.
Fenomena kerusakan lingkungan dan munculnya berbagai kritik atas
model pembangunan pertanian dengan input luar tinggi (HEIA) sebagaimana
tersebut di atas, perlahan namun pasti telah mengubah pandangan banyak orang
terutama di negara-negara maju dalam mengkonsumsi produk-produk (pangan)
dari hasil pertanian dan peternakan. Bahkan, tuntutan konsumen akan produkproduk
tersebut dilembagakan secara internasional dalam bentuk regulasi
perdagangan global yang mensyaratkan bahwa produk-produk tersebut harus
aman dikonsumsi, ramah lingkungan, dan bernutrisi tinggi. Secara kausalistik,
tuntutan tersebut telah mendorong berkembang dan memasyarakatnya pertanian
organik. Meskipun pertanian organik telah lama dianut oleh para petani di era
sebelum ditemukannya pupuk anorganik, namun terdapat perbedaan teknologi
dengan pertanian organik pada saat ini. Secara praktis, pengadaan bahan organik
dalam sistem pertanian organik saat ini dilakukan melalui pembuatan kompos dan
6
bokashi, maka pupuk organik memungkinkan dapat diproduksi secara cepat
dengan jumlah yang mampu mengimbangi kemungkinan laju permintaan.
Secara riil, di Indonesia, isyu sistem pertanian organik sudah lama
bergulir. Namun implementasinya, baru memasyarakat sejak terjadi krisis
ekonomi, tahun 1997. Pada saat itu, harga pestisida dan pupuk sintetis yang
merupakan barang atau berbahan baku impor melambung tinggi dan sulit atau
tidak terjangkau oleh para petani. Apalagi, sejak tahun 1997 subsidi dari
pemerintah untuk pupuk dan pestisida (sejak tahun 1989) dihapuskan sama sekali.
Secara legal, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 1995
pasal 4, menegaskan bahwa “Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan
menggunakan sarana dan cara yang tidak mengganggu kesehatan dan atau
mengancam keselamatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan
sumberdaya alam atau lingkungan hidup”. Secara legal, Pemerintah melalui
Departemen Pertanian telah pula menjalankan program Go Organic 2010 yang
mencanangkan Indonesia menjadi salah satu produsen pangan organik terbesar di
Dunia. Bersamaan dengan itu, Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah pula
menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 120 Tahun 2002 tentang
produk pertanian organik.
Secara praktis, Novizan (2002), mengungkapkan bahwa pestisida hayati
telah dimanfaatkan oleh para petani di Sumatra Barat untuk pengendalian
Spodoptera exiqua yang menyerang bawang merah dan mampu menekan
serangan ulat daun hingga 84 persen. Hasil penelitian Laila (2003) pada petani
bawang merah di Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung mengungkapkan bahwa
dari 40 sampel petani, 50 persen petani menerapkan pestisida hayati, 30 persen
baru menilai, dan 20 persen baru berminat. Secara tegas, Raphaella et al. (2003),
menyatakan bahwa sistem pertanian lestari yang juga menggunakan pupuk dan
pestisida organik telah diterapkan oleh para petani di Wonosobo sejak tahun 1996.
Di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat, telah dikembangkan padi organik
melalui pendekatan System of Rice Intensification (SRI)., metode SRI
memberikan kontribusi terhadap kesehatan tanah, tanaman, dan memelihara
mikroba tanah yang beraneka ragam melalui masukan bahan organik, tanpa
menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Metode tersebut juga dapat menghemat
7
penggunaan air hingga 50 persen. Hasil penelitian Royan (2005) mengungkap
bahwa beberapa petani padi di 22 kecamatan di Tasikmalaya, telah mulai
menggunakan pupuk organik dalam usahatani padi sawah. Hal yang sama
ditemukan pula di Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar. Untuk usahatani sayuran,
Agrina (2005) melaporkan bahwa beberapa petani di Lembang Kabupaten
Bandung dan di Cisarua Kabupaten Bogor, telah mengembangkan sayuran
organik.
Secara ekonomi, peluang pengembangan pertanian organik jelas masih
prospektif. Beberapa catatan menunjukkan bahwa permintaan masyarakat dunia
akan produk pertanian organik atau pangan yang berbahan baku hasil pertanian
organik cenderung menunjukkan peningkatan yang pesat. Hal ini terlihat dan
peningkatan jumlah konsumen organik dunia yang mencapai 20 persen pertahun
(Syariefa, 2004). Pangsa pasar pangan organik di negara-negara Eropa, Oseania,
Amerika Serikat, dan Kanada, diperkirakan akan tumbuh rata-rata sekitar 12,5
persen hingga tahun 2005. Hasil penjualan pangan organik pada tahun 2003
mencapai angka 23-25 Milyar Dollar Amerika, dan tahun 2005 mencapai angka
sekitar 29-31 Milyar Dollar Amerika (Goenadi dan Isroi, 2003). Menurut data dari
Organic Monitor dalam Simbolon (2003), pangsa pasar pangan organik di Asia
Pasifik, seperti Jepang, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, dan Singapura,
masih terbuka lebar.
Menurut BlOcert (2005), pertumbuhan pasar produk organik diperkirakan
mencapai 20-30 persen per tahun, bahkan di beberapa negara tertentu mencapai
50 persen per tahun. Kenaikan tersebut dipicu oleh adanya harga lebih mahal
produk organik dibandingkan produk konvensional dan tingkat kesadaran
konsumen. Di Indonesia, pertumbuhan pasar produk organik juga meningkat,
terutama di kota-kota besar. Pada tahun 2001, di Jakarta hanya terdapat dua toko
atau outlet yang memasarkan produk organik, sekarang terdapat lebih dari 12
supermarket, restoran, dan outlet khusus yang memasarkan produk organik,
seperti sayuran dan beras, disamping produk organik impor.
Hasil penelitian Lailla (2003), Raphaella et al. (2003), dan Royan (2005),
terhadap petani organik menunjukkan bahwa secara ekonomis pertanian organik
lebih efisien. Secara kuantitatif, produktivitas usahatani cenderung menunjukkan
8
grafik yang terus meningkat. Sebagai contoh, untuk padi organik, pada tahun
pertama dan kedua produktivitas turun hingga satu ton per hektar, tetapi pada
tahun ke tiga hingga ke lima produktivitas dapat mencapai angka rata-rata 9-11
ton per hektar, bahkan lebih. Keuntungan yang sama akan pula diperoleh dari
efisiensi penggunaan pupuk organik, bibit, tenaga kerja, dan pestisida yang juga
grafiknya cenderung terus menurun dari tahun ke tahun. Secara ekologis, pupuk
dan pestisida organik tersedia di lingkungan sekitar.. Secara ekonomis sangat
efisien, Sulistyowati (1999) mengungkapkan bahwa di Yayasan Bina Sarana
Bhakti Cisarua Bogor, untuk mendapatkan satu kilogram tomat organik petani
hanya mengeluarkan biaya Rp 750. Namun pada kenyataannya, pemanfaatan
pestisida dan pupuk organik yang secara ekologis, ekonomis, dan sosiologis,
sangat ramah lingkungan, sangat menguntungkan, berbasis lokal, dan sangat
prospektif, kurang atau lamban direspon oleh para petani.
1.3. Ruang Lingkup dan Sejarah (Kebangkitan) Pertanian Organik
Istilah pertanian organik bermula dari ide dan percobaan Sir Albert
Howard, seorang agronomis berkebangsaan Inggris di India selama lebih dari 30
tahun, pada awal abad ini (Triwidodo, 1999). Howard mengamati serangan hama
dan penyakit tanaman dan hewan di lahan pemerintah lebih parah dibandingkan
dengan yang di lahan petani di sekitarnya. Howard memperhatikan bahwa petani
India pada saat itu tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia, sedangkan
pemerintah sudah menggunakan keduanya. Berdasarkan pengamatan tersebut,
Howard kemudian mengembangkan sistem pertanian yang dapat meminimalkan
serangan hama penyakit dengan mengadopsi sistem pertanian penduduk pribumi,
tetapi dengan pemahaman dan manajemen yang ilmiah.
Pada mulanya, upaya pertanian organik yang dilakukan oleh para petani di
India yang kemudian diadopsi oleh Howard, bukan sepenuhnya didorong oleh
kesadaran ekologis, tetapi lebih dipengaruhi oleh desakan keadaan. Pada saat itu,
petani India pada umumnya adalah petani miskin yang tidak akan mampu
membeli pupuk kimia. Namun sebagai petugas (penyuluh) pertanian, Howard
mengupayakan bagaimana caranya untuk menggunakan sumberdaya lokal dan
mendaur ulangnya, seperti mengembalikan sisa tanaman dan pupuk kandang ke
9
lahan. Howard juga melihat banyak sekali tanaman yang dapat menjadi sumber
hara tidak dimanfaatkan oleh petani, karena mereka tidak menyadari
kegunaannya.
Langkah awal yang dilakukan oleh Howard untuk mengatasi problem
pertanian India adalah dengan mengembangkan teknologi membuat kompos. la
mengajarkan bagaimana meramu gulma dan sisa tanaman dengan pupuk kandang
yang kaya nitrogen dan sedikit tanah secara berlapis, sehingga bakteri dan jamur
pembusuk dapat bekerja dengan baik. Dengan teknologi pengomposan tersebut
petani dapat memanfaatkan limbah dan mengubahnya menjadi bahan yang
bermanfaat untuk memperbaiki kondisi tanah dan berfungsi sebagai pupuk untuk
menggantikan unsur hara yang hilang karena panen.
Pendekatan agronomis Howard berkembang tidak hanya untuk mengatasi
masalah praktis petani India. la sangat terganggu oleh pendekatan masyarakat
ilmiah yang cenderung mengembangkan senyawa sintetik. Pengembangan
tersebut diperoleh oleh ahli kimia Jerman, Justus von Leibig, yang
mendemonstrasikan komposisi kimia tanaman dengan menganalisa abu tanaman
dan mengukur kandungan nitrogen, fosfor, dan kalium, serta mengabaikan bagian
organik tanaman. Penemuan Leibig telah mendorong munculnya industri N, P,
dan K dengan formulatornya yang selalu berpromosi untuk menekankan bahwa
ketiga unsur kimia tersebut adalah unsur yang pokok. Dengan memberikan unsur
tersebut dalam bentuk butiran atau tepung, mereka menjamin akan didapatkannya
kesuburan tanah yang tinggi.
Howard memandang bahwa doktrin Leibig tersebut sebagai suatu yang
dapat membahayakan harmoni siklus kehidupan. Doktrin tersebut memarginalkan
peran tanah hanya sebagai alat penyangga tanaman, agar tegak, sehingga dapat
diberi “makan” dengan larutan makanan kimia buatan. Ritme alam yang selama
berabad-abad membangun tanah, terasa dilanggar dan dikhianati. Sejak saat itu,
Howard mulai secara serius mengajarkan dan mengkampanyekan bahwa petani
punya kemampuan untuk memelihara siklus kehidupan alam, dengan jalan
mengembalikan sisa tanaman dan penyakit secara alami, serta menghindari
penggunaan pupuk sintetis. la yakin bahwa jika siklus kehidupan alam tidak
10
dijaga, maka generasi yang akan datang akan dihadapkan pada penurunan
kesuburan tanah, kelaparan, tekanan penyakit, dan polusi.
Tahun 1940, Oxford University Press menerbitkan buku karangan Howard
yang sangat penting, yaitu “An Agricultural Testament”. Tema buku tersebut
berkisar pada pernyataan bahwa penelitian pertanian saat itu (atau bahkan
mungkin juga saat ini) tidak berguna dan usang, serta penggunaan pupuk kimia
bukanlah jawaban untuk mengatasi masalah pangan dan degradasi kesuburan
tanah, bahkan mungkin menjadi penyebabnya. Buku tersebut merupakan deklarasi
kelahiran pertanian organik yang didasari oleh kesadaran dan pemikiran ilmiah.
Menurut Sulistyowati (1999), gerakan pertanian organik berkembang dari
kesadaran manusia akan masa depan suram yang dihadapi petani modern akibat
menggunakan pestisida dan pupuk kimia dimana-mana. Pertanian organik juga
merupakan penolakan pola budaya monokultur yang mengakomodasi keinginan
tidak rasional manusia untuk mengkonsumsi hanya jenis-jenis makanan yang
disukainya, yang berujung pada pengurangan besar-besaran keanekaragaman
hayati yang dianggap tidak berguna. Pertanian organik juga merupakan bentuk
praktis dari penolakan manusia terhadap pola budidaya yang merusak alam,
misalnya penggunaan pupuk kimia yang berujung pada semakin kerasnya tanah
dan memusnahkan mikroorganisme dan mikroba-mikroba pengurai yang
sebelumnya berguna dalam pembentukan unsur hara secara alam.i Juga
penggunaan pestisida yang ternyata selain membunuh hama-hama yang merusak
juga mengancam kehidupan dengan residu yang ditinggalkannya pada makanan
yang kita konsumsi.
Pertanian organik merupakan bentuk praktis dari kepedulian manusia
terhadap alam dan dengan demikian berarti kepedulian terhadap hidupnya sendiri.
Diyakini bahwa alam merupakan sumber kehidupan manusia. Setiap usaha
perusakan alam berarti perusakan hidup manusia itu sendiri. Pertanian organik
juga merupakan bentuk praktis dari gerakan petani yang menuntut kebebasan
untuk membudidayakan tanaman apapun yang diyakini sesuai dengan harkat
hidupnya sebagai petani dan mampu mencukupi kebutuhannya secara ekonomis,
yang menuntut kemandirian untuk menyediakan sarana-sarana produksi untuk
usaha taninya, misalnya pupuk dan benih.
11
Pertanian organik juga merupakan salah satu bentuk praktis perlawanan
terhadap sistem kapitalisme yang dominan saat ini. Kemandirian petani untuk
memproduksi sarana produksi yang dibutuhkan, misalnya pupuk dan benih,
menyebabkan ketergantungannya terhadap perusahaan multinasional penjual
pestisida, pupuk kimia dan benih hasil rekayasa genetik terputus. Dengan
demikian, posisi tawar petani akan meningkat (Sulistyowati, 1999; Fakih, 2002).
Pertanian organik adalah bagian dari perubahan peradaban yang sedang
berlangsung (keniscayaan). Mau tidak mau, perlahan tetapi pasti, evolusi
perkembangan pertanian akan menuju ke sana. Perubahan ini dapat dimulai dari
mana saja, seperti: dari petani sendiri yang menuntut kemandirian, dari para
konsumen yang akan menuntut makanan yang lebih sehat, dari para ilmuwan
organik yang memiliki kesadaran kritis dan berani menentang paradigma umum
yang berkembang, dari para penentu kebijakan yang memiliki kearifan untuk
menggali persoalan sampai ke akarnya.
12
1.4. Definisi dan Deskripsi Pertanian Organik
Pertanian organik memiliki istilah (terminologi) yang beragam. Menurut
Sulistyowati (1999), sedikitnya terdapat tiga istilah pertanian organik. Pertama, di
Jepang, pertanian organik dikenal dengan istilah pertanian alami, yang oleh
Manasobu Fukuoka disebut sebagai bertani tanpa kerja, dengan prinsip dasar: (1)
tanpa olah tanah sehingga aktivitas tanah yang bersifat produktif tidak terganggu
oleh intervensi manusia melalui, misalnya: cangkul dan bajak; (2) tanpa pupuk
kimia atau kompos buatan; (3) tanpa menyiangi gulma; dan (4) tidak bergantung
pada bahan-bahan kimia. Kedua, pertanian organik juga dikenal dengan istilah
pertanian ekologis, seperti yang banyak dikenal dalam masyarakat tradisional.
Pertanian ini dikelola dengan prinsip-prinsip keseimbangan lingkungan melalui
pemeliharaan dan pengayaan keanekaragaman hayati serta pelestarian sumberdaya
dan teknologi lokal. Ketiga, pertanian biologis dan permaculture. Tetapi esensi
dari semuanya adalah sama, yaitu pola pertanian yang selaras dengan kaidahkaidah
(hukum) alam. Filosofinya adalah alam memiliki kemampuan dan caranya
sendiri untuk memenuhi kebutuhan makanan (pangan) bagi manusia. Peran
manusia hanyalah mengusahakan suatu keseimbangan yang memungkinkan
berlangsungnya proses-proses alamiah dalam suatu lingkungan pertanian sehingga
alam akan mampu berproduksi secara optimal dan berkelanjutan.
Internasional Federation of Organic Agricultural Movement (IFOAM)
dalam Avivi (2001), mendefinisikan pertanian organik sebagai suatu proses
produksi makanan dan serat yang dilakukan dengan cara-cara yang dapat diterima
secara sosial, menguntungkan secara ekonomi, dan berkelanjutan secara
agroekosistem. Menurut Andoko (2002), ciri pertanian organik adalah
penggunaan bahan organik baik dalam pemupukkan maupun dalam pengendalian
hama dan penyakit. Kardinan (1999) menegaskan, pupuk dan pestisida organik
merupakan input yang berpijak pada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan
produksi dengan memperhatikan kemampuan alami dari tanah, tanaman, dan
hewan untuk menghasilkan kualitas yang baik bagi hasil pertanian dan
lingkungan.
Sudaryanta (1999), memaparkan bahwa pertanian organik (bisa juga
disebut pertanian lestari atau pertanian selaras alam) merupakan pertanian yang
13
benar. Menurutnya, filosofi pertanian organik didasarkan pada tiga prinsip utama.
Pertama, prinsip bahwa semua mahluk yang ada di alam semuanya baik adanya
dan berguna. Maka, pengertian dalam pertanian modern (konvensional) bahwa
“hama, penyakit, dan gulma” merupakan sesuatu yang merugikan sehingga harus
dimusnahkan, sebetulnya merupakan pengertian yang keliru. Dalam suatu
ekosistem pertanian yang telah seimbang, mahluk yang sering kita sebut “hama,
penyakit, dan gulma” itu, sebetulnya juga bermanfaat. Pengertian yang keliru atas
ketiganya, merupakan contoh kekeliruan cara pandang manusia terhadap alam.
Kedua, segala sesuatu yang tumbuh dan berkembang di alam ini, mengikuti
hukum alam. Salah satunya bahwa pertumbuhan mahluk bersifat siklis yakni
mempunyai siklus kehidupan yang berbeda-beda antara satu mahluk dengan yang
lainnya mengikuti proses yang sesuai dengan sifat genetis dan lingkungan alam
setempat; dan Ketiga, segala mahluk yang berada di alam, akan tumbuh dan
berkembang dengan baik jika ada keseimbangan dalam alam itu sendiri. Harmoni
tercipta dari hubungan yang saling menunjang diantara setiap unsur yang ada di
alam. Dengan kata lain, hubungan antar setiap mahluk (termasuk manusia) di
alam adalah hubungan sebagai mitra. Setiap mahluk mempunyai perannya
masing-masing. Berkembangnya beraneka ragam mahluk itu diperlukan untuk
menciptakan keseimbangan di alam itu sendiri.
Menurut Sudaryanta (1999), secara teknis pertanian organik mengikuti
beberapa metode dasar, seperti:
1. Peniadaan Penggunaan Input Kimiawi Eksternal. Penggunaan input
eksternal seperti pupuk buatan (urea, TSP, dan KCL), pestisida dan bahan
kimia sintetik lain (misalnya, hormon pengatur tumbuh) dihindarkan. Hal
tersebut disebabkan karena penggunaan bahan-bahan kimia tersebut dapat
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan manusia.
2. Pengolahan Tanah Secara Minimal (Minimum Tillage}. Artinya, tanah
sedapat mungkin diolah sedikit mungkin. Pengertian “sedikit mungkin”
mempunyai kriteria tertentu, yang metodenya tergantung pada luas lahan
budidaya yang ada. Selain itu, pengolahan tanah harus disesuaikan dengan
kondisi tanah dan sifat tanaman itu sendiri. Misalnya, pengolahan tanah
14
untuk tanaman wortel akan sedikitt berbeda dengan pengolahan tanah untuk
tanaman kacang-kacangan.
3. Pergiliran atau Rotasi Tanaman. Pergiliran tanaman adalah pengaturan
sistem penanaman tanaman budidaya secara bergantian pada suatu areal
dalam waktu yang berlainan dan berurutan. Pergiliran tanaman dimaksudkan
untuk menjaga keseimbangan input-output berbagai unsur hara di dalam
tanah dan untuk memutus siklus hidup hama-penyakit. Dengan adanya
pergiliran, kualitas keseimbangan ekosistem pada suatu areal pertanian dapat
ditingkatkan.
4. Penerapan Sistem Poli/Multikultur (Tumpang Gilir dan Tumpang Sari).
Sistem polikultur secara sederhana dapat diartikan sebagai penanaman
beberapa jenis tanaman yang mempunyai keterkaitan (baik secara fisik,
biologi, dan kimia) pada suatu areal lahan dengan tujuan unutk
mengendalikan hama penyakit. Sebagai misal, dalam suatu petakan lahan
jenis tanaman bisa antara 10 hingga 20 jenis sesuai dengan kondisi tanah dan
iklim setempat. Pada tiap bedengan dapat ditanam 3-5 jenis tanaman yang
berbeda-beda. Dengan sistem polikultur, kualitas keseimbangan ekosistem
akan meningkat, karena tanaman yang ditanam jenisnya beraneka ragam.
Perbedaan antara pertanian organik dengan pertanian modern (konvensional)
dapat dilihat dari delapan sudut pandang (Tabel 1).
Pada Tabel 1, terlihat bahwa pertanian organik lebih ekologis dan sangat
sosiologis. Pendekatan-pendekatan yang ditempuh dalam pertanian organik
dilakukan melalui pengelolaan lingkungan pertanian yang berkelanjutan, yang
mencakup: peningkatan keanekaragaman hayati, penciptaan keseimbangan
ekosistem dan siklus energi dan mengusahakan konservasi tanah dan air. Pada
konteks sekarang ini, pertanian organik tidak hanya memperhatikan aspek
ekologis dan sosiologis, tetapi juga aspek lainnya. Menurut Salikin (2003),
pengelolaan sistem pertanian organik yang berkelanjutan harus memenuhi
prasyarat sebagai berikut: bernilai ekonomis, kesadaran lingkungan, dan berwatak
sosial atau kemasyarakatan. Simbolon (2003) mengemukakan bahwa pertanian
organik memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) menghasilkan pangan dengan
kualitas gizi yang tinggi dan dalam jumlah yang mencukupi; 2) menerapkan
15
sistem alami dan tanpa mendominasi alam; 3) mengaktifkan dan meningkatkan
daur biologis didalam sistem pertanian, melibatkan mikroorganisme, tumbuhtumbuhan
dan hewan; 4) meningkatkan dan memelihara kesuburan tanah; 5)
menggunakan sumber-sumber yang dapat diperbaharui dalam sistem pertanian
yang terorganisir secara lokal; 6) mengembangkan suatu sistem tertutup dengan
memperhatikan elemen-elemen organik dan bahan nutrisi; 7) memperlakukan

ternak secara alami; mengurangi dan mencegah semua bentuk polusi yang
mungkin dihasilkan dari pertanian; 9) memelihara keragaman genetik di dalam
dan di sekeliling sistem pertanian, termasuk perlindungan tanaman dan habitat air;
10) memberikan pendapatan yang memadai dan memuaskan petani; dan 11)
mempertimbangkan pengaruh sosial dan ekologis yang lebih luas dari sistem
pertanian.
Tabel 1. Perbedaan antara Pertanian Organik dengan Pertanian Modern, dari
Delapan Sudut Pandang.
No.
Sudut Pandang
Pertanian organik Pertanian Modern
1
Teologi
Tuhan menciptakan alam untuk
semua mahluk.
Tuhan menciptakan alam
untuk manusia saja.
2 Visi Alam adalah guru. Teknologi
3
Cara Budidaya
Multikultur/ Polikultur ,
memanfaatkan sumberdaya/ potensi
lokal
Monokultur, ketergantungan
pada sarana produksi
eksternal tinggi
4
Landasan
Keseimbangan (harmoni), Makhluk
(manusia, hewan, tanaman) sebagai
subjek yang setara.
Pengejaran produksi dan
keuntungan sernata
(egoisme), tidak seimbang
(labil), ada unsur eksploitasi
dan spekulasi.
5
Pedoman
Penerapannya disesuaikan dengan
keadaan setempat
Penerapannya merupakan
suatu paket yang baku
(teknologi, sarana produksi,
dan lainnya)-
6
Ekonomi
Berorientasi proses (mencari
optimal)
Berorientasi hasil (mencari
hasil maksimal)
7
Hasil
Sehat, murah, sederhana dan
beraneka ragam
Tercemar, mahal, banyak,
dan mudah rusak
8
Dampak
Keuntungan bagi manusia dan alam
Merusak. sulit diatasi, ada
jalan buntu
Sumber: Wacana, Edisi 17 Tahun 1999
16
BAB II
KOMPONEN PERTANIAN ORGANIK
2.1. Pupuk Organik
Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan organik, seperti
hijauan (jerami, batang pisang, dan hijauan lainnya} dan kotoran hewan (kotoran
kambing, sapi, ayam, kelinci, kerbau, dan sebagainya). Sebelum digunakan bahanbahan
tersebut terlebih dahulu difermentasikan. Pupuk kandang atau kornpos
biasanya dicampur dengan bahan-bahan alami lainnya yang berada di lahan
pertanian atau di sekitarnya (Andoko, 2002).
Menurut Kariada dan Sukadana (2000), sampai saat ini sudah banyak
dikembangkan pupuk organik yang berkualitas dari hasil inovasi teknologi dengan
memanfaatkan limbah menjadi pupuk organik lengkap dengan unsur makro dan
mikro yang langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Hasil penelitian
mengemukakan bahwa bahan atau pupuk organik merupakan penyangga biologi
yang mempunyai fungsi dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah,
sehingga tanah dapat menyediakan hara dalam jumlah berimbang. Beberapa jenis
pupuk organik yang dapat digunakan adalah fine compost (hasil fermentasi dari
limbah tcrnak dan bahan tambahan lain dengan stardek) dan kastcing (hasil
eksresi atau proses pencernaan cacing tanah dari limbah organik). Contoh lainnya
adalah penggunaan efektif mikroorganisme dan pupuk organik NPK plus. NPK
plus artinya disamping unsur hara utama NPK juga terdapat 13 unsur hara lainnya
yang disediakan pupuk organik ini. Bahkan pupuk organik yang mengandung
kotoran kelelawar dan zat alami lainnya dapat mengatasi keracunan air dan
keasaman tambak. Pupuk organik juga memiliki keunggulan sebagai berikut: 1)
mempercepat dekomposisi bahan-bahan organik secara fermentasi; 2) melarutkan
P yang tidak tersedia menjadi bentuk P yang tersedia bagi tanaman; 3) mengikat N
dari udara; 4) menghasilkan berbagai enzim dan hormon sebagai senyawa bioaktif
untuk pertumbuhan tanaman; 5) menurunkan kadar BOD dan COD; dan 6)
menekan bau busuk.
Menurut Menteri Pertanian (2005), kelebihan pupuk organik adalah
mampu menyediakan unsur hara, baik mikro maupun makro dalam jumlah cukup
17
sesuai kebutuhan tanaman. Artinya, pupuk organik mampu mempertahankan dan
meningkatkan kesuburan tanah. Meningkatkan jumlah dan aktivitas metabolik
jasad mikro di tanah dan memadai serta mnemperbaiki penampilan tanaman.
Dengan bagusnya pertumbuhan tanaman, maka otomatis akan meningkatkan daya
tahan tanaman atas penyakit dan meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil
produksi. Karena itu, layak menjadi pertirnbangan bagi petani memilih pupuk
organik untuk memperbaiki kerusakan tanah, memenuhi jumlah unsur hara dalam
jumlah cukup dan memadai serta memperbaiki penampilan tanaman. Mentan
menambahkan, ke depan pupuk organik tidak hanya dihasilkan oleh industri
rumah tangga saja, tetap: juga industri besar dan diproduksi sccara massal.
Wilken (1987) dalam Reijntjes et al (1992) mengemukakan bahwa para
petani di Zaachilla, Meksiko, memanfaatkan sampan semut sebagai pupuk
tanaman yang bernilai ekonomi tinggi, seperti tomat, cabe, dan bawang.
Sedangkan OTA (1988) dalam Reijntjes et al (1992), mengemukakan bahwa di
Sinegal tanah juga disuburkan oleh kotoran ternak yang makan daun F. albida dan
sisa-sisa tanaman sereal. Manfaat ini sangat penting di tempat-tempat dimana
hanya ada sedikit alternatif untuk memperbaiki kesuburan tanah, hasil panen
tanaman, dan nutrisi hewan.
Penggunaan pupuk organik akan sangat bervariasi untuk setiap daerah,
Young dalam Reijntjes et al. (1992), menyatakan bahwa diperlukan 8,5 ton residu
(sisa-sisa tanaman atau hewan) di atas permukaan tanah per hektar untuk daerah
lembab, 4 ton/ha untuk daerah sub lembab, dan 2 ton/ha untuk daerah semi kering.
Jumlah ini diperlukan guna mempertahankan terget tingkat karbon tanah berturutturut
2,0, 1,0, dan 0,5. Oleh karena residu di atas permukaan dari tanaman tunggal
biasanya kurang dari 3 ton/ha, jelas bahwa di daerah tropis yang lembab,
dibutuhkan sumber biomassa ekstra (misalnya pohon-pohon, tananam naungan)
untuk memenuhi target itu. Untuk meningkatkan unsur hara tanah, petani dapat
memanfaatkan pohon leguminosae, belukar, dan tanaman pelnidung yang
bersimbiosis dengan mikroorganisme mikro. Begitu juga tanaman pakis Azolla
atau rerumputan, atau dengan Azotobacter.
Menurut Reijntjes et al. (1992), ada lima cara dasar penanganan bahan
organik, yaitu: 1) memberikan langsung ke tanah, baik itu sebagai mulsa pada
18
permukaan tanah maupun dipendam dalam tanah; 2) membakarnya
(mengakibatkan mineralisasi); 3) mengomposnya; 4) menjadikannya sebagai
pakan ternak; dan 5) memfermentasikannya dalam instalasi biogas.
Secara praktis, Royan (2005), mengemukakan bahwa dalam SRI, pupuk
organik yang digunakan berupa pupuk kandang, kompos, dan pupuk organik cair
(MOL). Pupuk kandang dibuat dari kotoran ayam dan kotoran domba/kambing.
MOL juga digunakan sebagai bibit pupuk organik cair yang mengandung unsur
cair yang dibuat dari hijauan seperti kalikiria, daun kirinyuh. Zat tumbuh adalah
zat zyberelin yang terkandung dalam rebung dan pucuk labu. Keong (terutama
keong mas) dan ikan sapu untuk kandungan protein dan buah-buahan untuk
kandungan vitamin. Bahan-bahan tersebut dihaluskan dan dicampurkan dengan air
gula atau air kelapa, dan difermentasikan selama 15 hari. Satu liter air bibit
(larutan) dapat dicampur dengan 15 air untuk kemudian disemprotkan pada
tanaman padi.
2.2. Pestisida Organik
Pestisida hayati secara umum diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan
dasarnya berasal dari tumbuhan dan hewan serta dari mikroorganisme hidup
lainnya. Pestisida ini relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan
yang terbatas. Oleh karena terbuat dari mikroorganisme hidup atau bahan alami
maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam. sehingga
tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan,
karena residunya mudah hilang. Pestisida hayati bersifat “pukul dan lari (hit and
run)”, artinya apabila diaplikasikan akan membunuh hama pada waktu itu dan
setelah hamanya terbunuh maka residunya akan cepat menghilang di alam
(Kardinan, 1999).
Matteson et al. (1984), mengatakan, pestisida hayati (biopesticide) adalah
semua mikroorganisme hidup yang mampu dijadikan pestisida, karena semua
mikroorganisme mengandung suatu toksin dan berkembangnya daya bunuh
terhadap serangan hama (target). Penggunaan pestisida hayati merupakan jaminan
keamanan pangan, sehingga nilai jual komoditas akan menjadi lebih kompetitif
dalam dunia agribisnis. Penggunaan pupuk sintetis di Indonesia sudah begitu
19
tinggi, tentu dengan biaya yang sangat tinggi dan memberatkan petani. Masalah
resistensi hama semakin meningkat, dan hama sekunder juga cenderung terus
meningkat. Kebutuhan yang mendesak adalah adanya pemamfaatan beberapa
potensi agen hayati serta pengembangan biopestisida baru dan pengembangan
pestisida alami penting lainnya (Adiyoga, 2001).
Pestisida hayati berasal dari bahan-bahan yang terdapat di alam tersebut
diekstraksi, diproses, atau dibuat menjadi konsentrat dengan tidak mengubah
struktur kimianya (Kardinan, 1999). Di negara maju, kecenderungan penggunaan
pestisida hayati lebih didorong oleh adanya pencemaran lingkungan dan bahaya
keracunan dari pestisida sintetis. Bahkan untuk hal tersebut, Denmark menetapkan
pajak yang tinggi terhadap pemakaian pestisida. Berbeda halnya dengan di
Indonesia, minat masyarakat menggunakan pestisida hayati mulai muncul kembali
setelah terjadi krisis ekonomi.
Menurut Novizan (2002), pestisida hayati yang kini dikenal dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Pestisida Botani (Botanical Pesticides), yaitu pestisida yang berasal dari
ekstrak tanaman. Ekstrak tanaman diperoleh dari tanaman yang
memproduksi senyawa kimia untuk melindungi dirinya dari serangan
OPT. Contoh tanamannya adalah selasih, mimba, babadotan, kacang
babi, dan sebagainya.
2. Pestisida Biologi (Biological Pesticides), yaitu pestisida yang diperoleh
dari mikroorganisme pengganggu OPT, seperti dari bakteri patogenik,
virus, dan jamur. Mikroorganisme ini secara alami memang merupakan
musuh OPT, yang kemudian dikembangbiakan untuk keperluan
perlindungan tanaman. Proses pabrikasi dari mikroorganisme ini telah
memungkinkan petani memakainya sebagaimana memakai pestisida
lainnya dengan cara menyemprotkannya atau menebarkannya. Contoh,
Bacilus thuringiensis (Bt). Menurut Van Emden (1976), pengendalian
biologi merupakan salah satu pengendalian yang dinilai cukup aman
karena memiliki beberapa keuntungan, yaitu: 1) selektivitas tinggi dan
tidak menimbulkan hama baru; 2) mikroorganisme yang digunakan
sudah tersedia di alam; 3) mikroorganisme yang digunakan dapat
20
mencari dan menemukan inangnya; 4) dapat berkembang biak dan
menyebar; 5) hama tidak menjadi resisten, dan atau kalaupun terjadi
sangat lambat; dan 6) pengendalian berjalan dengan sendirinya.
Sosromarsono (1993), mengkategorikan pengendalian biologi menjadi
dua bagian, yaitu: 1) pengendalian biologi alami, yaitu pengendalian
hama dengan musuh alami, tanpa campur tangan manusia; dan 2)
pengendalian biologi terapan, yaitu pengendalian biologi dengan campur
tangan manusia.
3. Pestisida berbahan dasar mineral anorganik yang terdapat pada kulit
bumi. Biasanya bahan organik ini berbentuk kristal, tidak mudah
menguap, dan bersifat stabil secara kimia, seperti belerang dan kapur.
Minyak bumi dan minyak nabati dan sabun pun dapat dimanfaatkan
untuk mengendalikan OPT. Pada pertanian organik, minyak dan sabun
sudah lazim digunakan.
Hingga kini, pestisida hayati yang ditemukan dan teridentifikasi potensial
untuk dikembangkan, sudah banyak sekali. Suganda dkk. (2004), mengungkap
bahwa tepung kulit udang dan tepung sayap rayap yang dicampurkan kedalam
tanah terinfeksi 1 g sklrerotium setiap kg tanah tujuh hari sebelum tanam mampu
menekan kematian bibit kubis. Penekanan tertinggi kematian bibit kubis
diperlihatkan oleh dosis 2 g per tanam, yaitu masing-masing 90% dan 92,5%. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kiitn dari kedua substrat tersebtu dapat
dimanfaatkan untuk mengendalikan penyakit rebah semai (damping off), yang
sering menyebabkan kematian 40-60% bibit kubis yang ditanam pada tanah
terinfeksi Rhizotonia solani. Menurut Suganda (2002), kitin telah banyak
dilaporkan mampu meningkatkan resistensi tanaman terhadap patogen. Menurut
hasil penelitiannya terhadap gejala layu pada tanaman tomat diketahui bahwa kitin
murni mampu meningkatkan ketahanan tanaman tomat terhadap penyakit layu
fusarium melalui penginduksian resistensi sistemik terinduksi.
Hasil penelitian lain dari Sianipar dan Sunarto (2002) juga mengungkap
bahwa ekstrak pacar cina (Aglaia odorata) dan daun kirinyu (Chromolaena
odorata) dapat menghambat makan dan lama perkembangan dari instar III sampai
terbentuknya imago ulat daun kubis (Plutela xylostella L.).
21
Hersanti dkk. (1999) mengungkap bahwa serbuk daun gulma tek i
(Cyperus rotundus Linn.), alang-alang (Imperata cylindrica Beauv) dan
babadotan (Ageratum conyzoides Linn.), mampu menekan perkembangan
nematoda bengkak akar (Meloidogyne spp.) pada tanaman tomat, terutama dalam
menurunkan jumlah gall akar tomat dan jumlah larva Meloidogyne spp., di dalam
tanah. Hal tersebut berarti sejalan dengan apa yang telah dilakukan oleh Grainge
dan Ahmed (1988) yang mengungkapkan bahwa air dan serbuk daun beberapa
jenis gulma dapat menekan beberapa patogen tanaman termasuk nematoda.
Pada prinsipnya, pengendalian hama penyakit tanaman pada pertanian
organik merupakan cara pengendalian yang lebih ramah lingkungan dibandingkan
dengan pemakaian pestisida. Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas,
pengendalian hama dan penyakit secara hayati dengan pelepasan parasitoid dan
predator dapat digunakan sebagai suatu komponen dalam pengendalian hama
dalam pertanian organik. Pendendalian model ini pada dasarnya tidak hanya
mengandalkan pestisida organik, tetapi juga dapat dilakukan dengan cara
memanfaatkan musuh alami tanaman. Santosa (2004), menyatakan bahwa prospek
pemanfaatan musuh alami sudah jelas, dapat ditingkatkan peranannya melalui
pelestarian dan rekayasa khususnya parasitoid, predator, dan agens hayati patogen
hama tanaman. Implementasinya dapat diwujudkan dalam bentuk konservasi
predator dan parasitoid, seperti: vegetasi liar, inang alternatif bagi parasitoid dan
predator, pengelolaan gulma dan sisa tanaman, dan penyediaan makanan buatan.
Meskipun pestisida hayati disebut sebagai pestisida ramah lingkungan,
namun tidak berarti pestisida hayati memiliki daya racun yang rendah. Beberapa
pestisida botani seperti Nikotin, memiliki daya racun yang lebih tinggi. Artinya,
diperlukan kehati-hatian dan dosis yang tepat didalam rnenggunakan pestisida
hayati. Hingga kini di Indonesia, terdapat sekitar 30 merek dagang yang
merupakan pestisida hayati. Pengembangan dan pemanfaatan pestisida hayati di
Indonesia sangat menjanjikan, karena efektivitas pestisida hayati tidak diragukan
lagi.
22
BAB III
PERAN MIKROBA SEBAGAI PUPUK ORGANIK
Salah satu kriteria yang menjadi syarat pertanian organik adalah tidak
menggunakan bahan artifisial seperti pupuk buatan, insektisida, herbisida,
fungisida, hormon tumbuh pada tanah dan ekosistem (Sharma,2002). Dilain pihak
untuk menghasilkan produktivitas tanaman yang tinggi sebagian besar petani
masih menggantungkan harapannya pada pupuk buatan yang diketahui cepat
menunjukkan respon seperti yang diharapkan. Walaupun pupuk buatan dan
pestisida mampu meningkatkan produksi tanaman secara nyata tetapi juga
berdampak negatif terhadap pencemaran lingkungan antara lain kesuburan tanah
menurun dengan cepat, pencemaran air dan tanah, bahaya residu pestisida,
penurunan keanekaragaman hayati (biodiversity), dan ketergantungan pada energi
yang tidak dapat diperbaharui meningkat.
Menurut Sharma (2002) upaya mengatasi masalah di atas dapat dilakukan
dengan meningkatkan peran mikroba tanah yang bermanfaat melalui berbagai
aktivitasnya yaitu:
- Meningkatkan kandungan beberapa unsur hara di dalam tanah.
- Meningkatkan ketersediaan unsur hara di dalam tanah. Meningkatkan
efisiensi penyerapan unsur hara.
- Menekan mikroba tular tanah patogen melalui interaksi kompetisi.
- Memproduksi zat pengatur tumbuh yang dapat meningkatkan
perkembangan sistem perakaran tanaman.
- Meningkatkan aktivitas mikroba tanah heterotrof yang bermanfaat melalui
aplikasi bahan organik
3.1. Peran Mikroba Tanah Dalam Penyediaan dan Penyerapan Unsur
Hara
Tanaman dapat menyerap unsur hara melalui akar atau melalui daun.
Sebagian besar unsur hara diserap dari dalam tanah, hanya sebagian kecil yaitu
unsur C dan O diambil tanaman dari udara melalui stomata. Tanaman menyerap
unsur hara dari dalam tanah umumnya dalam bentuk ion (NH4
+, NO3
-, H2PO4
-, K+,
23
Ca2+, dll). Unsur hara tersebut dapat tersedia di sekitar akar tanaman melalui
aliran massa, difusi dan intersepsi akar.
Sistem perakaran sangat penting dalam penyerapan unsur hara karena
sistem perakaran yang baik akan memperpendek jarak yang ditempuh unsur hara
untuk mendekati akar tanaman. Bagi tanaman yang sistem perakarannya kurang
berkembang, peran akar dapat ditingkatkan dengan adanya interaksi simbiosis
dengan Jamur mikoriza (Douds and Millner, 1999). Selain itu juga menurut
Lugtenberg and Kravchenko (1999) mikroba tanah akan berkumpul di dekat
perakaran tanaman (rhizosfer) yang menghasilkan eksudat akar dan serpihan
tudung akar sebagai sumber makanan mikroba tanah. Bila populasi mikroba di
sekitar rhizosfir didominasi oleh mikroba yang menguntungkan tanaman, maka
tanaman akan memperoleh manfaat yang besar dengan hadirnya mikroba tersebut.
Tujuan tersebut dapat tercapai hanya apabila kita menginokulasikan mikroba yang
bermanfaat sebagai inokulan di sekitar perakaran tanaman.
Sebagian besar penyebab kekurangan unsur hara didalam tanah adalah
karena jumlah unsur hara (makro) sedikit atau dalam bentuk tidak tersedia yaitu
diikat oleh mineral liat atau ion-ion yang terlarut dalam tanah. Untuk
meningkatkan kuantitas unsur hara makro terutama N dapat dilakukan dengan
meningkatkan peran mikroba penambat N simbiotik dan non simbiotik.
Ketersediaan P dapat ditingkatkan dengan menanfaatkan mikroba pelarut P,
karena masalah pertama P adalah sebagian besar P dalam tanah dalam bentuk
tidak dapat diambil tanaman atau dalam bentuk mineral anorganik yang sukar
larut seperti C32HPO4. Jamur mikoriza dapat pula meningkatkan penyerapan
sebagian besar unsur hara makro dan mikro terutama unsur hara immobil yaitu P
dan Cu (Sharma, 2002).
Mikroba tanah juga menghasilkan metabolit yang mempunyai efek sebagai
zat pengatur tumbuh. Bakteri Azotobacter selain dapat menambat N juga
menghasilkan thiamin, riboflavin, nicotin indol acetic acid dan giberelin yang
dapat mempercepat perkecambahan bila diaplikasikan pada benih dan merangsang
regenerasi bulu-bulu akar sehingga penyerapan unsur hara melalui akar menjadi
optimal. Metabolit mikroba yang bersifat antagonis bagi mikroba lainnya seperti
antibiotik dapat pula dimanfaatkan untuk menekan mikroba patogen tular tanah
24
disekitar perakaran tanaman. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mikroba
tanah melakukan immobilisasi berbagai unsur hara sehingga dapat mengurangi
hilangnya unsur hara melalui pencucian. Unsur hara yang diimobilisasi diubah
sebagai massa sel mikroba dan akan kembali lagi tersedia untuk tanaman setelah
terjadi mineralisasi yaitu apabila mikroba mati.
3.2. Mikroba Tanah yang Bermanfaat
Peran mikroba tanah dalam siklus berbagai unsur hara di dalam tanah
sangat penting, sehingga bila salah satu jenis mikroba tersebut tidak berfungsi
maka akan terjadi ketimpangan dalam daur unsur hara di dalam tanah.
Ketersediaan unsur hara sangat berkaitan dengan aktivitas mikroba yang terlibat
di dalamnya.
3.2.1 Mikroba penambat N
Beberapa reaksi redox dari nitrogen terjadi secara alami hampir eksklusif
oleh mikroorganisme, dan keterlibatan mikrobia di dalam siklus nitrogen
mempunyai arti penting. Secara termodinamis, gas nitrogen, N2, adalah bentuk
stabil dari nitrogen, dan itu akan menjadi bentuk bolak-balik dari nitrogen di
bawah kondisi keseimbangan. Dijelaskan bahwa reservoir utama untuk nitrogen
di atas bumi ini adalah di atmospir. Ini berbeda dengan karbon, di mana atmospir
adalah suatu reservoir minor secara relatif (CO2, CH4). Hanya suatu jumlah relatif
kecil mikroorganisme bisa menggunakan N2, prosesnya disebut fiksasi nitrogen,
pendauran ulang nitrogen di atas bumi melibatkan sejumlah perubahan bentuk,
amoniak dan nitrat. Bagaimanapun, sebab N2 betul-betul reservoir nitrogen yang
terbesar tersedia untuk mikroorganisme hidup, kemampuan untuk menggunakan
N2 arti penting ekologis.
Fiksasi nitrogen dapat juga terjadi secara kimiawi di dalam atmospir,
melalui petir, dan suatu jumlah tertentu fiksasi nitrogen terjadi di dalam industri
produksi pupuk nitrogen., sekitar 85% fiksasi nitrogen di atas bumi berasal dari
proses biologi,sekitar 60% fiksasi nitrogen biologi terjadi di daratan, dan yang
40% fiksasi nitrogen biologi terjadi di samudra.
25
Di bawah kebanyakan kondisi, hasil akhir dissimilatory reduksi nitrat
adalah N2 atau N2O, dan konversi nitrat ke gas bahan campuran nitrogen disebut
denitrifikasi. Proses ini dibentuk dari gas N2 secara biologi, dan sebab N2 sangat
sedikit digunakan oleh mikroorganisme dibandingkan nitrat sebagai sumber
nitrogen, denitrifikasi adalah suatu proses merugikan karena memindahkan fiksasi
nitrogen dari lingkungan .
Amoniak diproduksi selama dekomposisi dari bahan nitrogen organik
(ammonifikasi) dan terjadi pada pH netral sebagai ion ammonium (NH4). Di
bawah kondisi anaerob amoniak adalah stabil, dan itu bentuk nitrogen
mendominasi di dalam sedimen paling anaerob. Di dalam tanah, sebagian besar
amoniak yang dilepaskan oleh dekomposisi aerobik dengan cepat didaur ulang
dan dikonversi ke asam amino didalam tumbuhan. Sebab amoniak mudah
menguap, beberapa kehilangan dapat terjadi dari tanah (terutama tanah sangat
bersifat alkali) dengan penguapan, dan hilangnya amoniak utama pada atmospir
terjadi di dalam areal populasi binatang padat (sebagai contoh, peternakan
lembu). Pada suatu basis global, amoniak hanya sekitar 15% nitrogen dilepaskan
ke atmospir, kebanyakan nitrogen dalam wujud N2 atau N2O (berasal dari
denitrifikasi).
Di dalam lingkungan oxic, amoniak dapat dioksidasi ke nitrogen oksida
dan nitrat, tetapi amoniak adalah suatu bahan campuran agak stabil dan katalisator
atau agen mengoksidasi kuat pada umumnya diperlukan untuk reaksi kimia.
Bagaimanapun, suatu kelompok khusus bakteri, bakteri nitrifikasi, adalah
katalisator biologi, mengoksidasi amoniak ke nitrat di dalam suatu proses yang
disebut nitrifikasi. Nitrifikasi adalah suatu proses aerobik utama yang terjadi
dengan baik pada tanah pH netral; dapat dihambat oleh kondisi anaerob atau di
dalam tanah sangat asam; bagaimanapun, nitrifikasi dapat terjadi kondisi anaerob
jika tingkat nitrat tinggi. Jika material nitrogen tinggi dalam protein, seperti
limbah atau pupuk, ditambahkan kedalam tanah, tingkat nitrifikasi menjadi
meningkat. Walaupun nitrat siap berasimilasi dengan tumbuhan, tapi mudah larut
dalam air dan dengan cepat tercuci dari tanah apabila curah hujan tinggi. Amoniak
anhydrous digunakan secara ekstensif sebagai pupuk nitrogen , bahan kimia yang
biasanya ditambahkan kedalam pupuk, menghalangi proses nitrifikasi. Salah satu
26
penghambat nitrifikasi umum adalah suatu bahan campuran pengganti pyridine
disebut nitrapyrin (2-chloro-6-trichloromethylpyridine). Nitrapyrin secara spesifik
menghalangi langkah pertama dalam nitrifikasi, yaitu oksidasi NH3 ke NO2,
secara efektif menghambat kedua langkah dalam proses nitrifikasi. Penambahan
penghambat nitrifikasi dapat meningkatkan efisiensi pemupukan dan membantu
mencegah polusi dari pelepasan nitrat dari tanah yang dipupuk.
Gambar 3. Siklus Nitrogen
Komponen utama nitrogen di atas bumi adalah N2, yang mana dapat
digunakan sebagai nitrogen sumber oleh bakteri pengfiksasi nitrogen. Amoniak
yang dihasilkan oleh fiksasi nitrogen atau oleh ammonifikasi dari nitrogen bahan
campuran organik dapat berasimilasi ke bahan organik atau dapat dioksidasi ke
nitrat oleh bakteri nitrifikasi. Hilangnya nitrogen dari biosphere terjadi sebagai
hasil denitrifikasi, di mana nitrat dikompersikan kembali ke N2 . (Madigan et al.,
2000).
Di dalam tanah kandungan unsur N relatif kecil (<2%), sedangkan di udara
kandungan N berlimpah. Hampir 80% kandungan gas di udara adalah gas N2.
Sebagian besar tanaman tidak dapat memanfaatkan N langsung dari udara, hanya
sebagian kecil tanaman legum yang bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium yang
dapat memanfaatkan sumber N yang berlimpah dari udara. Tanaman non legum
masih dapat memanfaatkan N dari udara apabila diinokulasi dengan mikroba
penambat N nonsimbiotik. Tabel di bawah ini merangkum jenis mikroba
penambat N non simbiotik yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman non legum.
Tabel 4. Jenis bakteri yang dapat menambat N secara non simbiosik
Kelompok Bakteri Genus
Aerobik
Azomonas, Azotobacter, Beijerinckia, Derxia,
Anaerob fakultatif BMaectihllyulos,m Eonntearso, bacter, Klebsiella, Azospirillum
27
Anaerob
Clostridium, Desulfotomaculum.
Desulfotomaculum, Desulfovibrio.
Fotosintetik :
-ungu nonsulfur :
-Ungu sulfur :
-Sulfur hijau :
Rhodomicrobium, Rhodopseudomonas, Rhodospirillum
Chromatium, Ectothiorhospira i. Chlorobium
Sianobakteri :
Anabaena, Anabaenopsis, Aulosira, Calothrix,
Nostoc, Cylindrospermum, Fischerella, Gloeocapsa,
Lyngbya, Hapalosiphon, Mastigocladus, Oscillatoria,
Plectonema, Scytonema, Stigonema, Tolypotrix,
Faktor yang mempengaruhi aktivitas bakteri penambat N :
Ketersediaan senyawa nitrogen : amonium, nitrat dan senyawa nitrogen
organik dapat dimanfaatkan teiapi dapat menghambat fiksasi nitrogen.
Ketersediaan nutrisi anorganik : molibdenum, besi, kalsium, aan kobalt.
Sumber energi: heterotrof: gula sederhana, selulosa, jerami dan sisa
tanaman. autotrof: cahaya matahari
pH : Azotobacter, Sianobakteri peka terhadap pH<6 Beijerinckia dapat
tumbuh pada pH 3-9.
Kelembaban : Kelembaban yang tinggi menjadi kondisi anaerob
Suhu : penambatan N optimum pada suhu sedang
3.2.2. Mikroba Pelarut Fosfat
Mikroba peiarut fosfat terdiri dari golongan bakteri dan Jamur. Kelompok
bakteri pelarut fosfat adalah: Pseudomonas, Bacillus, Escherichia, Brevibacterium
dan Seralia, sedangkan dari golongan Jamur adalah : Aspergillus, Penicillium,
Culvularia, Humicola dan Phoma. Mikroba pelarut fosfat bersifat menguntungkan
karena mengeluarkan berbagai macam asam organik seperti asam formiat, asetat,
propional, laktat, glikolat, fumarat, dan suksinat. Asam-asam organik ini dapat
membentuk khelat organik (kompleks stabil) dengan kation Al, Fe atau Ca yang
mengikat P sehingga ion H2PO4
2-, menjadi bebas dari ikatannya dan tersedia bagi
tanaman untuk diserap.
Bakteri pengoksidasi sulfur (Thiobacillus) dan pengoksidasi amonium
(Nitrosomonas) dapat pula mengeluarkan asam anorganik (asam sulfat dan asam
28
nitrit) yang dapat mengkhelat kation Ca dari Ca3(P04)2- menjadi HPO4
2- yang
dapat diserap tanaman.
Beberapa spesies jamur dari genus Aspergillus mempunyai kemampuan
yang lebih tinggi dalam melarutkan fosfat terikat dibandingkan dengan bakteri.
Hal ini memberi peluang yang baik untuk dikembangkan di daerah tropis yang
tanahnya masam, karena jamur menyukai lingkungan pertumbuhan yang bersifat
masam.
3.2.3. Jamur Mikoriza Arbuskula (CMA)
Mikoriza yang secara harfiah berarti “jamur akar” dan mengacu pada
asosiasi yang simbiotik yang ada antara jamur dan akar tumbuhan. Mungkin akar
dari mayoritas dari tumbuhan terestrial adalah mycorrhizal. Ada dua kelas umum
mikoriza; ektomikoriza, di mana sel jamur membentuk suatu bungkus pelindung
luas di sekitar bagian luar dari akar dengan hanya sedikit penetrasi ke dalam
jaringan akar dan ericoid mikoriza, di mana miselium jamur ditempelkan di dalam
jaringan akar.
Ektomikoriza ditemukan sebagian besar di dalam pohon hutan terutama
pohon jarum, pohon besar dan pohon oak yang banyak dikembangkan pada hutan
daerah temperata. Di dalam suatu hutan, hampir setiap akar pohon memiliki
mikoriza. Sistem perakaran dari suatu pohon yang ada mikorizanya dapat
menginfeksi akar yang pendek dan akar yang panjang, Akar pendek memiliki
karakteristik cabang dikotom, menunjukkan tipe pelindung jamur sedangkan akar
panjang pada umumnya tidak terkena infeksi. Kebanyakan jamur mikoriza tidak
menyerang selulosa dan serasah daun tetapi sebagai gantinya menggunakan
karbohidrat sederhana untuk pertumbuhan dan pada umumnya mempunyai
kebutuhan akan satu atau lebih vitamin, mereka memperoleh nutrisi dari sekresi
akar. Mikoriza jamur tidak pernah ditemukan secara alami kecuali bersama-sama
akar dan karenanya dapat diper timbangkan symbiosis obligat. Jamur ini
menghasilkan substansi pertumbuhan tanaman dengan induksi perubahan
morfologi di dalam akar, menyebabkan dibentuk akar bercabang dikotom pendek.
Di samping hubungan erat antara jamur dan akar, ada sedikit spesifik jenis
29
dilibatkan, satu jenis cemara dapat membentuk mikoriza dengan lebih dari 40
jenis jamur.
Efek yang diuntungkan pada tumbuhan dari jamur mikoriza, terbaik
diamati pada lahan miskin, di mana pohon yang tumbuh dengan subur ada
mikoriza, tetapi tidak ada mikroriza tidak ada pertumbuhan (Gambar 5). Kapan
pohon ditanam di padang rumput yang luas, yang mana biasanya kekurangan
suatu inokulum jamur, pohon yang secara artifisial diinokulasi pada saat
penanaman, tumbuh jauh lebih dengan cepat dibanding pohon yang tidak
diinokulasi (Gambar 5). Mikoriza tumbuhan bisa menyerap nutrisi dari
lingkungannya lebih efisien di banding dengan pengerjaan non-mikoriza.
Penyerapan nutrisi dapat ditingkatkan dengan semakin besar area permukaan yang
disajikan oleh miselium jamur (Madigan et al., 2000).
Gambar 4. Mikoriza. (a) Tipe mikoriza akar pada Pinus radiate dengan
rhizomorph dari jamur Thelophora terrestris
30
Gambar 4. (b) Potongan melintang dari seedling Pinus contorta perkembangan
ekstensif dari mikoriza. Eksten seedling sekitar 4 cm dibawah permukaan tanah
Gambar 4. Pengaruh Mikoriza Terhadap Pertumbuhan Seedling Pinus.
Seedling usia 6 bulan dari pinus Monterey (Pinus radiata) ditumbuhkan pada
tanah. Kiri, tanpa mikoriza dan kanan dengan mikoriza
31
CMA menginfeksi hampir 95 % semua tanaman (crop plant). Simbiosis ini
bersifat mutualistik, jamur mendapatkan karbohidrat dari tanaman dimana aliran
nutrisi diregulasi oleh tanaman inang. Fotosintat tanaman inang diabsorpsi jamur,
khususnya pada arbuskula yang mempunyai luas permukaan kontak yang besar
antara jamur dengan tanaman inang.
Fungsi CMA dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman adalah : sebagai
fasilitator dalam penyerapan berbagai unsur hara, pengendali hayati penyakit tular
tanah, penekan stress abiotik (kekeringan, salinitas, logam berat) dan sebagai
penstabil tanah (stabilator agregat tanah).
CMA yang menginfeksi akar tanaman akan membentuk hifa internal di
dalam sel epidermis dan korteks akar, arbuskula terbentuk di dalam korteks akar,
dan hifa eksternal berada di luar akar tanaman. Genus Glomus dan Acaulospora
membentuk vesikula yang terbentuk pada hifa interkalar atau apikal yang
mengandung lemak dan berfungsi sebagai cadangan makanan. Jamur Gigaspora
dan Scutellospora tidak membentuk vesikula. Hifa eksternal sangat penting dalam
penyerapan unsur hara karena panjang hifa eksternal dapat mencapai beberapa
kali panjang akar sehingga memperluas permukaan akar dalam menyerap larutan
nutrisi dalam tanah (Douds and Millner, 1999)
3.3. Strategi Keberhasilan Pemanfaatan Mikroba Tanah
Keberhasilan peningkatan peran mikroba tanah yang bermanfaat untuk
meningkatkan pertumbuhan dan hasil suatu tanaman perlu ditunjang langkah
berikut:
1. Seleksi isolat unggul. Isolat yang diperoleh harus diseleksi keunggulannya
dengan menguji efektivitas terhadap pertumbuhan tanaman. Seleksi bakteri
penambat N dapat melalui uji kuantitas N yang ditambatnya dengan metode
reduksi asetilen. Mikroba pelarut fosfat diseleksi berdasarkan pelarutan P
tidak larut secara kualitatif (zona bening) dan kuantitatif (jumlah P
tersedia/terlarut). CMA diseleksi berdasarkan besarnya derajat infeksi pada
akar atau peningkatan serapan P tanaman dibanding kontrol.
2. Perbanyakan isolat yang unggul sebagai inokulan dalam carrier /pembawa
yang cocok. Populasi mikroba yang akan digunakan sebagai produk
32
inokulan harus tinggi (> 108 CFU/ g media) atau inokulan mikoriza
mengandung spora >50 buah/gram carrier.
3. Viabilitas mikroba tetap tinggi pada saat diaplikasikan. Kontrol viabilitas
perlu dilakukan selama masa penyimpanan produk inokulan. Pada umumnya
kualitas inokulan yang sudah dikemas akan menurun setelah masa simpan 6
bulan.
4. Aplikasi dilapangan harus tepat baik waktu, dosis dan caranya. inokulasi
mikroba yang bermanfaat akan lebih efektif bila dilakukan bersamaan
dengan penanaman benih sehingga mikroba tersebut akan segera
mengkolonisasi benih yang berkecambah. Dosis yang digunakan harus
sesuai dengan anjuran pada kemasannya. Dosis yang tepat dapat mendukung
keberhasilan dominasi mikroba introduksi di rhizosfer tanaman. Cara
pemberian inokulan selain bersamaan dengan benih (seed inoculation) dapat
pula dilakukan di pembibitan (seedling inoculation).
33
BAB IV
PERANAN MIKROBA SEBAGAI PESTISIDA ORGANIK
4.1. Jamur
4.1.1. Jamur Antagonis
Salah satu cara yang mulai dikembangkan untuk mengendalikan patogen
dalam pertanian organik yaitu pengendalian secara biologis atau dikenal juga
sebagai pengendalian hayati. Cara pengendalian ini sangat mementingkan
penekanan patogen dengan memanfaatkan faktor-faktor alami, antara lain
tanaman inang, patogen, lingkungan fisik dan agen pengendali hayati (Baker &
Cook, 1982). Faktor-faktor ini harus selaras dengan cara-cara yang lain dan
sedikit menimbulkan dampak lingkungan, serta dapat memperbaharui diri-sendiri
(self renewing impact)
Pengendalian hayati adalah pengurangan jumlah inokulum dalam keadaan
aktif maupun dorman atau penurunan aktivitas patogen sebagai parasit oleh satu
atau lebih mikroorganisme yang berlangsung secara alami atau melalui manipulasi
lingkungan, inang atau antagonis atau dengan introduksi secara massal atau lebih
mikroorganisme antagonistik (Cook & Baker, 1983). Agen pengendali hayati
potensial meliputi : 1) mikroorganisme antagonis, 2) metabolit toksik, yang
merupakan metabolit-metabolit sekunder tanaman, dan 3) manipulasi tanaman
inang.
Mikroorganisme antagonis dalam pengendalian hayati terhadap patogen
tanaman banyak jenisnya termasuk didalamnya bakteri, aktinomycetes,jamur,
virus tanaman tingkat tinggi dan predator mikrofauna seperti protozoa, nematoda,
collembola dan tungau. (Baker and Cook, 1974). Agen pengendali hayati yang
terbanyak adalah dari kelompok jamur terutama dari kelompok jamur penghuni
tanah. Jamur penghuni tanah ini dikelompokan dalam dua kelompok besar yaitu
yang pertama adalah Soil Invader yaitu jamur ini sewaktu-waktu berada dalam
tanah dan waktu-waktu tertentu jamur ini dapat menginfeksi tanaman inangnya
yang terdapat di atas permukaan tanah sedangkan kelompok kedua adalah Soil
Inhabitans, jamur ini keberadaannnya selalu berada di dalam tanah atau
menyerang tanaman inangnya pada bagian tanaman yang berada di bawah
34
permukaan tanah.
Mikroorganisme yang menjadi topik utama dalam makalah ini adalah
jamur Trichoderma spp. Trichoderma ini banyak spesiesnya yang sudah
diketahui bersifat antagonis terhadap jamur patogen. T.harzianum efektif
mengendalikan sklerotia dari jamur Sclerotium rolfsii yang banyak menyebabkan
penyakit rebah kecambah pada tanaman inang yang diserangnya. T.polysporum
efektif terhadap jamur Fomes annosus. T.viridae dapat memparasit jamur
Armillaria mellea.
Keunggulan jamur Trichoderma sebagai agensia pengendali hayati
dibandingkan dengan jenis fungisida kimia sintetik adalah selain mampu
mengendalikan jamur patogen dalam tanah, ternyata juga dapat mendorong
adanya fase revitalisasi tanaman. Revitalisasi ini terjadi karena adanya
mekanisme interaksi antara tanaman dan agensia aktif dalam memacu hormon
pertumbuhan tanaman (Suwahyono dan Wahyudi, 2004)
4.1.2. Mekanisme Anatagonisme
Mikroorganisme dalam satu ekosistem dapat terjadi berbagai
kemungkinan ada yang dapat melakukan sinergisme, satu mikroorganisme
dengan yang lainnya saling berinteraksi positif dan menimbulkan penyakit yang
lebih parah pada tanaman yang diserangnya, ada yang bersifat antagonis yaitu
satu mikroorganisme menekan mikroorganisme yang lain sehingga kerusakan
tanaman dapat dikurangi dan ada juga yang bersifat adaptif mikroorganisme satu
dengan yang lainnya tidak saling mempengaruhi.
Mikroorganisme yang bersifat antagonis dapat langsung menghambat
patogen dengan sekresi antibiotik, berkompetisi dengan patogen-patogen terhadap
makanan atau tempat, menginduksi proses ketahanan dalam inang serta langsung
berinteraksi dengan patogen (Wilson, 1991).
Trichoderma sp. merupakan satu dari sekian banyak agen pengendali
hayati yang telah dikembangkan dan diaplikasikan secara luas. Keberhasilan
penggunaan agen hayati ini telah banyak dilaporkan di berbagai penelitian
diantaranya untuk mengendalikan penyakit akar putih Rigidoporus micropus di
perkebunan karet (Basuki, 1985 dalam Widyastuti, dkk., 1998) serta perkebunan
35
teh (Rayati, dkk., 1993 dalam Widyastuti, dkk., 1998). Kegunaan lain yaitu bahwa
agen hayati ini baik mengendailkan patogen penyebab rebah kecambah
Rhizoctania solani, busuk batang Fusarium sp., akar gada Plasmodiophora
brassicae, dan lain-lain. Jamur ini selain bersifat hiperparasitik terhadap
beberapa patogen, diketahui pula dapat menghasilkan antibiotik yang dapat
mematikan dan menghambat pertumbuhan jamur lain (Baker & Snyder, 1990
dalam Anggraeni & Suharti, 1994).
Mekanisme penekanan patogen oleh Trichoderma sp. menurut Patrich dan
Tousson (1970) dalam Widyastuti, dkk (1998) terjadi melalui proses kompetisi,
parasitisme, antibiosis, atau mekanisme lain yang merugikan bagi patogen. Selain
itu, jamur ini mempunyai sifat-sifat mudah didapat, penyebarannya luas, toleran
terhadap zat penghambat pertumbuhan, tumbuh cepat, kompetitfi dan
menghasilkan spora yang berlimpah, sehingga mempermudah penyediaan jamur
sebagai bahan pengendali hayati (Alfian, 1990 dalam Andayaningsih, 2002).
Gambar 6. Scanning Elektron Mikroskop pada permukaan patogen tular tanah
Rhizoctonia solani setelah diparasit Trichoderma sp. Erosi terjadi pada dinding sel
akibat aktivitas enzim yang mendegradasi dinding sel. Lubang-lubang yang
nampak adalah bekas penetrasi Trichoderma. (photo courtesy of Ilan Chet,
Hebrew University of Jerusalem).
36
Gambar 7. Kolonisasi rambut akar pada tanaman jagung oleh strain T.harzianum
T22 (Harman,2000. Plant Disease 84 : 377-393).
Inokulasi Trichoderma spp. Pada tanah dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman
kedelai, mengurangi serangan patogen terhadap akar, meningka tkan
perkecambahan benih kedelai dan mengurangi jumlah tanaman yang terserang
penyakit T.harzianum dan T.viridae merupakan jenis-jenis potensial sebagai
pengendali hayati terhadap R.solani penyebab rebah kecambah pada kedelai.
Gambar 8. Peningkatan perkembangan akar dari lahan pertanaman jagung dan
kedelai sebagai akibat kolonisasi akar oleh strain rhizosfir T.harzianum T22.
Peningkatan perkembangan akar kemungkinan disebabkan oleh kombinasi
beberapa mekanisme di atas
37
Gambar 9. Tanaman cabai yang memperlihatkan perkembangan dan hasil yang bagus setelah
benih diberi perlakuan dengan T. Harzianum T22
Trichoderma mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kecepatan
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, terutama kemampuannya untuk
menyebabkan produksi perakaran sehat dan meningkatkan angka kedalaman akar
(lebih dalam di bawah permukaan tanah). Akar yang lebih dalam ini
menyebabkan tanaman menjadi lebih resisten terhadap kekeringan, seperti pada
tanaman jagung dan tanaman hias.(Harman, 1991)
Tanaman jagung yang akarnya telah dikoloni oleh Trichoderma strain T-
22 membutuhkan sekitar 40% dari kekurangan nitrogen dibandingkan dengan
tanaman jagung yang kekurangan Trichoderma tersebut (Harman, 1991).
Untuk menjamin adanya antagonis yang efektif dalam tanah, sejak
beberapa tahun yang lalu tersedia campuran “sako-P” yang mengandung
T.koningii untuk menginokulasi tanah (jamur diproduksi oleh Pusat Penelitian
Karet Sungei Putih). Dewasa ini dibanyak Negara diketahui bahwa Trichoderma
spp dan Gliocladium spp dapat dipakai untuk mengendalikan macam–macam
pentakit jamur tular tanah (Semangun, 2001).
Trichorderma sp. merupakan jamur yang paling banyak terdapat di dalam
tanah dan bersifat antagonistik terhadap jamur lain (Chet, 1986). Selain daya
adaptasinya luas, Webster dan Dennis (1971) dalam Widyastuti, dkk., (1998)
melaporkan bahwa Trichorderma sp. mempunyai daya antagonis tinggi dan dapat
mengeluarkan racun, sehingga dapat menghambat bahkan mematikam jamur lain.
Dalam media biakan, isolat Trichorderma diidentifikasi berdasarkan ciri
pertumbuhannya , karakteristik koloni, sistem percabangan miselium, struktur
38
pendukung konidium dan struktur konidium, serta tata letak fialida (Rifai. 1969
dalam Widyastuti, dkk., 1998).
Jamur ini banyak terdapat di dalam tanah dalam kondisi yang
memungkinkan untuk tumbuh. Cook dan Baker (1974) mel aporkan bahwa
aktivitas jamur-jamur antagonis hanya terpacu pada kondisi asam, antara lain
aktivitas parasitisme dan pembentukan antibiotik gliotoksin dan viridin pada T.
viridae. Sifat-sifat tersebut memungkinkan jamur ini dapat berkompetisi dengan
berbagai patogen tular tanah. Gambar di bawah ini memperlihatkan terjadinya
mikoparasitisme Trichoderma pada Pythium. Pythium merupakan patogen tular
tanah yang dapat menyebabkan penyakit rebah kecambah(Dumping off) pada
kacang-kacangan (Harman,1991)
Gambar 10. Mycoparasitasi Trichoderma terhadap patogen penyebab rebah
kecambah Pythium pada permukaan kacang. Trichoderma diberi pewarnaan
orange fluorescent,sedangkan Pythium diberi pewarnaan dengan green). (Hubbard
et al., 1983. Phytopathology 73:655-659).
Para peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada Pusat
Pengkajian dan Penerapan Bioteknologi telah berhasil memproduksi jamur
Trishoderma harzianum dalam bentuk granula dengan bahan pembawanya
dengan nama Naturalindo. Mekanisme antagonis untuk mengendalikan jamur
patogen oleh biofungisida Naturalindo secara akhir alamiah dapat dikelompokan
menjadi 3 fenomena dasar, yaitu;
39
1. Terjadinya kompetisi bahan maaknan antara jamur patogen
denganTrichoderma di dalam tanah. Adanya pertumbuhan jamur yang
berjalan begitu cepat dari Trichoderma akan mendesak pertumbuhan jamur.
2. Mikoparasitisme, jamur Trichoderma merupakan jamur yang bersifat
mikoparasit,artinya jamur ini dapat menghambat pertumbuhan jamu dengan
parasitisme. Mekanisme yang terjadi Trichoderma dapat melilit hifa jamur
patogen, selain itu jamur ini juga mengeluarkan ensim yang mampu
merombak dinding sel jamur paotgen, sehingga jamur patogen mati.
Beberapa jenis ensim pelisis yang telah diketahui dihasilkan adalah ensim
kitinase dan b -1,3 glucanase
3. Antibiosis, Trichoderma juga menghasilkan antibiotik yang termasuk
kelompok furanon yang dapat menghambat pertumbuhan spora dan hifa
jamur patogen, diidentifikasikan dengan rumus kimia 3-2-hydoxyprophyl-4-2-
hexadienyl)-2-5(5H)-furanon
Ketiga mekanisme ini berjalan simultan (Suwahyono dan Wahyudi,2004).
4.1.3. Jamur Entomopatogen
Jamur patogen serangga atau dkienal juga sebagai entomopatogen
merupakan agensia pengendali hayati yang akhir-akhir ini mulai banyak
dikembangkan dalam mengendalikan serangga hama (Untun g dan
Mangundiharjo, 1994). Beberapa contoh jamur entomopatogen yang telah
dikembangkan sebagai agensia pengendali hayati adalah Verticillium lecanii
Zimm., Beauveria bassiana (Bals.)Vuill., Metharizium anisopliae., Paecilomyces
fumosoroseus Bainer. Jamur merupakan salah satu mikroorganisme patogen yang
dapat digunakan sebagai agen pengendali karena mempunyai kelebihan diantara
organisme patogen lain seperti mempunyai : 1) kapasitas reproduksi tinggi 2)
siklus hidup yang relatif singkat 3) daya kerja yang relatif spesifik (hanya
menyerang serangga tertentu tergantung spesies 4) cepat menghasilkan spora
istirahat yang dapat bertahan lama di alam tanpa adanya inang dan kondisi yang
tidak menguntungkan (Rohani, 1991)
40
4.1.4. Mekanisme Pengendalian
Jamur entomopatogen umumnya memproduksi spora yang tahan terhadap
kondisi lingkungan ektrim dan merupakan spora yang infektif. Contoh dalam
mekanisme pengendalian terhadap serangga yang dibahas disini adalah Beauvaria
bassiana. B. bassiana menghasilkan spora yang dapa tmempenetrasi langsung
melalui kulit tubuh serangga. Konidia akan menempel pada kutikula inang dan
akan berkecambah membentuk struktur penetrasi yaitu tabung kecambah yang
menghasilkan hifa penetrasi (Inglis et al., 2001). B. basiana menghasilkan enzim
protease, kitinase, dan lipase yang menyerang dan melarutkan komponen
penyusun kutikula serangga. Setelah itu hifa akan tumbuh menembus kutikula
dan bagian epidermal menuju ke rongga tubuh serangga (Boucias & Pendland,
1998).
Pada rongga tubuh, hifa akan membentuk tubuh hifa vegetatif, dan
pertumbuhannya akan meluas dengan cara replikasi, sehingga memenuhi seluruh
rongga tubuh serangga. Nutrisi yang berada dalam hemolimfa dan di tubuh
serangga akan habis karena pertumbuhan hifa vegetatif, sehingga menyebabkan
serangga mati kelaparan (Bouinacs & pendland, 1998 ).
Menurut Mahr (2005) jamur B. basiana memproduksi toksin beauvericin
yang berfungsi melemahkan sistem kekebalan tubuh serangga. Selain itu,
menghasilkan toksin bassianolit, isorolit, dan asam oksalat yang dapat
meningkatkan pH darah, pengumpulan darahg, terhentinya peredaran darah
serangga, kerusakan rongga tubuh, sistem syaraf, serta sistem pencernaan yang
mengakibatkan kematian serangga (Roberts & Yendol, 1971). Setelah serangga
mati spora memproduksi antimikroba ‘oosporein’ yang dapat mencegah
pertumbuhan bakteri dan pembusukan pada bangkai serangga. Pada akhirnya
seluruh tubuh serangga dipenuhi oleh massa jamur. Jika kondisi menguntungkan
miselia akan tumbuh keluar melalui bagian tubuh serangga yang lunak sehingga
seluruh tubuh serangga diselimuti oleh miselia jamur yang berwarna putih (Mahr,
2005).
Jika kondisi lingkungan tidak mendukung, miselia jamur tidak akan keluar
dari tubuh serangga yang telah mati, tetapi membentuk thick-walled yang
merupakan struktur tahan di dalam tubuh serangga. Konidia diproduksi oleh
41
jamur yang telah tumbuh di luar bangkai serangga, dan akan disebarkan melalui
perantara lingkungan (angin, air) atau oleh serangga lain. Ketika konidia
menempel pada tubuh serangga lain, maka proses infeksi akan berlanjut kembali
(Boucias & Pendland, 1998).
4.1.5. Jamur Nematopatogen
Jamur nematopatogen merupakan salah satu agen hayati sebagai alternatif
pengendalian nematoda karena jamur tersebut dapat mematikan nematoda dengan
cara membentuk hifa perangkap yang dapat menangkap atau menjerat dan
menginfeksi nematoda dengan hifanya (Barron, 1977). Beberapa genus dari
golongan jamur telah diketahui merupakan musuh alami nematoda parasit
tanaman antara lain, Arthrobotrys spp. (Barnet dan Hunter. 1972; Jalata. 1986,
dalam Nazarudin, 1997).
Jamur Arthrobotrys spp. merupakan salah satu agen hayati yang
berpotensi baik dalam mengendalikan serangan Meloidogyne sp. dan Pratylenchus
brachyurus pada tanaman Nilam. Jamur ini mampu mengurangi populasi
Meloidogyne sp. dan Pratylenchus brachyurus sebesar 81% – 95%. (Mustika dkk.,
2000). Jamur penjerat nematoda Arthrobotrys spp. adalah agensia hayati yang
sangat potensial untuk mengendalikan nematoda parasit tanaman (Harni dkk.,
2000). Arthrobotrys spp. merupakan kelompok jamur nematopatogen yang
mempunyai struktur khusus berupa cincin atau jaring penjerat nematoda, penjerat
ini berupa miselium yang dapat memerangkap dan membunuh nematoda (Barron,
1997 dalam Koon. Hui Wang et al., 2003).
Berdasarkan penelitian Harni dkk., (2000) jamur Arthrobotrys spp. yang
diformulasikan dalam jagung steril dengan kerapatan spora 4-5 x 106/ml mampu
menekan populasi Meloidogyne incognita sebesar 81,45%.
Sedangkan berdasarkan uji coba yang pernah dilakukan pada tanaman kopi
di Laboratorium Balai Proteksi Tanaman Perkebunan (BPTP) Pasir Jati Bandung,
dengan perlakuan 2 g, 4 g, 6 g dan 8 g (per tanaman), ternyata jamur Arthrobotrys
spp. dengan dosis 8 g mampu me nurunkan Nematoda Luka Akar Kopi
Prathylenchus coffeae sampai 10,79%, lebih baik dibandingkan dengan dosis 2 g,
4 g dan 6 g.
42
Menurut Saputra (2004), jamur Atrhrobotyrs spp. dengan dosis 8 g, 16 g,
24 g berturut-turut dapat menekan jumlah larva II P. coffeae sebesar 74,45 %,
73,95 %, 70,46 %. Sedangkan menurut Risantiwi (2004), jamur Atrhrobotyrs spp.
dengan dosis 8 g, 16 g, 24 g berturut-turut dapat menekan jumlah larva II
Meloidogyne sp. sebesar 59,72 %, 72,91 %, 81,94 %.
Arthrobotrys spp. yang diaplikasikan pada atnaman jahe dengan
konsentrasi 125 ml/pot mampu menekan populasi Meloidogyne sp. pada tanah,
akar dan rimpang berturut-turut sebesar 23,9%, 68,9% dan 81,4% (Nazarudin,
1997).
Menurut Adnan (1991), jamur Arthrobotrys spp. memerlukan adaptasi
dalam tanah untuk menekan serangan nematoda secara nyata. Adaptasi
Arthrobotrys spp. selama 2 minggu mempunyai peluang yang lebih baik dalam
menekan populasi larva II dibandingkan dengan 1 minggu.
Arthrobotrys spp. merupakan salah satu kelompok dari jamur penjerat
nematoda (JPN). JPN adalah salah satu kelompok jamur antagonis terhadap
nematoda parasit. Jamur ini mempunyai miselium berwarna putih dan bergumpal
seperti kapas (Nazarudin, 1997). Jamur ini banyak ditemukan pada sisa tumbuhan
yang membusuk, sampah atau di tanah. Di alam jamur ini bersifat saprofit, akan
tetapi pada aktivitasnya sebagai jamur penjerat nematoda maka jamur ini
menjadikan nematoda yang dijeratnya sebagai salah satu sumber makanan (Larsen
& Faedo, 1998).
4.1.6. Mekanisme Pengendalian
Jamur ini mempunyai konidia yang tidak bercabang dan terdiri dari 2 sel
dengan panjang 32 – 45 μm dan lebar 6 – 12 μm. Stigmata berukuran panjang 5
μm dengan hifa melingkar dan bersekat, konidia tidak tersusun berantai dan
menempel sepanjang konidiofor, terletak berpasangan dua-dua atau lebih (tidak
teratur), bersekat (dua sel) dan berwarna terang (Jacobs, 2002).
43
Gambar 11. Hifa jamur Arthrobotrys spp.
Sumber: Jacobs, 2002
Jamur Arthrobotrys spp. memiliki struktur berupa organ adhesif yang
terdiri atas jaringan, hifa melingkar (loop) dan knob berperekat yang digunakan
untuk menangkap nematoda. Hifa yang berbentuk loop ini selalu membuka dan
jika nematoda melalui hifa ini, maka nematoda akan terjerat, kemudian tubuh
nematoda akan rusak kerena jamur menghisap nutrisi yang terdapat dalam tubuh
nematoda tersebut (Barron, 1977). Nematoda yang terjerat dan terperangkap
dalam jaringan hifa Arthrobotrys spp. akan menjadi tidak aktif, sehingga proses
reproduksinya menurun (Mankau, 1980).
Jamur Arthrobotrys spp. menangkap nematoda dengan jerat yang lengket
yang dibentuk hifa vegetatif. Dimulai dengan pertumbuhan cabang yang kokoh
dari hifa vegetatif, lalu tumbuh berbalik dan melingkar dan menempel dengan hifa
induk atau membentuk jerat lainnya. Jerat terdiri dari jerat tunggal (sederhana)
dan 3 jerat (kompleks) dan semua jerat mempunyai materi yang lengket. Adapun
jerat yang tidak lengket membentuk cincin yang dapat mengerut (Gronvold et al.,
1989).
Gambar 12. Arthrobotrys spp. menjerat nematoda
Sumber: Anonim, 2005
44
Suhu yang baik untuk perkembangan jamur ini adalah 17 – 29° C dengan
suhu optimum 25° C. Derajat keasaman (pH) yang ideal antara 5,0 – 6,0
sedangkan kelembaban idealnya 90 %. Pada kadar oksigen murni 100 % atau
oksigen normal 21 % (oksigen udara), jamur ini dapat membentuk perangkap
secara optimal (Barron, 1977; Gronvold et al., 1989). Pada suhu 15° C ,
penyebaran dan pertumbuhan struktur cincin jamur akan terhambat (Eefje &
Belder, 1994).
4.2. Bakteri
4.2.1. Bakteri Antagonis.
Bakteri antagogonis banyak ditemukan di sekitar sistem perakaran akar
tanaman atau dikenal dengan istilah bakteri rhizosfir (Tenuta et al., 2003).
Bakteri rhizosfir dapat ditemukan dalam jumlah yang banyak pada daerah
permukaan perakaran, dimana nutrisi disediakan oleh eksudat dan lysates tanaman
(Lynch 1991, Rovira 1974 dalam Van Loon 1998). Beberapa strain bakteri
rizosfir adalah bakteri PGPR, karena pengaplikasiannya dapat menstimulasi
pertumbuhan dan meningkatkan daya tahan tanaman pada kondisi yang kurang
menguntungkan. Bakteri PGPR dapat diklasifikasikan berdasarkan pada
kemampuannya (Bloemberg, et al., 2001):
- Biofertilitzer, dapat mengikat nitrogen yang kemudian dapat digunakan
oleh tanaman sehingga mampu meningkatkan pertumbuhannya.
- Photostimulator, secara langsung dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman dengan menghasilkan hormon-hormon.
- Agen biokontrol, mampu melindungi tanaman dari infeksi patogen.
Biofertilization
Strain bakteri pengikat nitrogen berasal dari genera Rhizobium, Sinorhizobium,
Mesorhizobium, Bradyrhizobium, Azorhizobium and Allorhizobium. Bakteribakteri
tersebut membentuk simbiosis inang spesifik dengan tanaman-tanaman
leguminosa. Simbiosis tersebut dicirikan dengan terbentuknya nodul pada akar
45
atau batang tanaman dalam responnya terhadap keberadaan bakterium dimana
signal molekul Lipooligosacharide sangat berperan didalam proses tersebut.
Bakteri melakukan penetrasi terhadap korteks, menginduksi nodul pada akar,
memperbanyak diri dan kemudian berdiferensiasi menjadi bacteroids, yang
menghasilkan nitrogenase enzyme complex. Didalam nodul akar, tanaman
membuat oksigen dengan konsentrasi rendah yang diperlukan bakteri untuk
merubah atmospheric nitrogen menjadi ammonia. Sedangkan tanaman sebagai
penyedia sumber karbon bagi bakteri. (Madhigan et al., 2000)
Phytostimulation
Phytostimulators meningkatkan pertumbuhan tanaman secara langsung.
Mekanisme yang terjadi pada penstimulasian perkembangan akar dan hasil
tanaman yang disebabkan oleh Azospirillum spp., Selain dapat mengikat nitrogen
Azospirillum spp., dapat menghasilkan phytohormones seperti auxins, cytokinins
and gibberellins yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman.
Biocontrol agents
Tanah supresif mengandung bakteri rizosfir yang dapat mengkontrol penyebab
penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur atau bakteri. Mekanisme yang
terlibat dalam aktifitas biokontrol ini adalah kompetisi terhadap nutrisi, produksi
anti-fungal metabolites (AFMs) dan induksi ketahanan sistemik (ISR).
Pada umumnya strain biocontrol Pseudomonas menghasilkan AFMs dari
kelas phenazines, pyrrolnitrin, 2,4-diacetylphloroglucinol (DAPG) dan
pyoluteorin. Namun baru-baru ini ditemukan AFMs yang termasuk dalam kelas
cyclic lipopeptides seperti tensin dan viscosinamide yang dapat mencegah infeksi
Pythium ultimum terhadap sugarbeet. Pseudomonas fluorescens merupakan salah
satu grup dari bakteri saprofit non patogenik yang berkoloni dalam tanah, air dan
lingkungan permukaan tanaman. Sejumlah strain dari P. fluorescens dapat
menekan penyakit pada tanaman dengan melindungi benih dan akar dari infeksi
jamur dengan cara menghasilkan sejumlah produk hasil metabolit sekunder seperti
antibiotik, siderophore dan hidrogen sianida (JGI microbes, 2004).
Bakteri tersebut dapat bersifat antagonis terhadap patogen-patogen tular
tanah melalui beberapa mekanisme. Penghasil siderophore dapat menghambat
pertumbuhan patogen dengan cara membatasi ketersediaan unsur besi dalam
46
tanah, antibiotik dapat menekan jumlah mikroorganisme yang berkompetisi,
glucanase dan chitinase dapat mendegradasi sel-sel mikrobia. Sebagai contoh,
penekanan layu fusarium pada carnation dan lobak oleh Fusarium oxysporum
f.sp. dianthi (Fod) and F. oxysporum f.sp. raphani (For) melalui terjadi kompetisi
terhadap unsur besi oleh Pseudomonas putida strain WCS358. Pada kondisi
dimana ketersediaan unsur besi terbatas, strain WCS358 mengeluarkan
siderophore tipe pyoverdin (pseudobactin 358) yang dapat mengikat ferric ion
menjadi ferricsiderophore complex yang dapat di transportasikan secara spesifik
kedalam sel bakteri.
Induksi Ketahanan Sistemik oleh Rhizobakteria (ISR)
Untuk melindungi dirinya dari penyakit, tanaman membentuk suatu mekanisme
pertahanan dimana signal molekul asam salisilat (SA), asam jasmonik (JA) dan
ethylene (ET) sangat berperan dalam pembentukkannya. Kemampuan tanaman
untuk membentuk suatu Sistemic Acquired Resistance (SAR) setelah infeksi
primer oleh patogen yang mengakibatkan nekrosis telah banyak diketahui dan
jalur pengiriman signalnya secara ekstensif telah dipelajari. Pada tanamantanaman
dimana pada akarnya terdapat populasi non-patogenik fluorescent
Pseudomonas sp. secara fenotipik membentuk suatu mekanisme petahanan yang
sama seperti SAR dikenal dengan induksi resistensi sistemik oleh rhizobakteria
(ISR). Perbedaannya terletak pada pengatur signal molekulnya dimana untuk
SAR sangat ditentukan oleh SA dan untuk ISR oleh rhizobakteria ditentukan oleh
JA dan ET (Pieterse, 2002).
Rhizobakteria nonpatogenik dapat menginduksi resistensi sist emik
(Induced Sistemic Resistance, ISR) dalam tanaman yang secara fenotipik mirip
dengan resistensi sistemik yang diperoleh dari penginduksian oleh patogen
(Sistemic Acquired Resistance, SAR). Rhizobakteria dilaporkan telah dapat
menginduksi resistensi sistemik terhadap jamur, bakteri dan virus pada tanaman
Arabidopsis, kacang buncis, mentimun, bunga anyelir, lobak, tembakau, dan
tomat pada kondisi dimana patogen dan rhizobakteria terletak terpisah satu
dengan lainnya (Van Loon, 1998).
47
Karakteristik ISR oleh Rhizobakteria
Jalur pensignalan ISR berbeda dengan SAR oleh patogen. SAR dicirikan
oleh peningkatan sintesis SA secara endogen dan diikuti dengan pengaktivasian
gen-gen SAR. Gen SAR ini sebagian besar mengkodekan PR-Protein yang
bersifat antimikroba (Shah et al., 2004). Patogenesis Related (PR) proteins adalah
suatu kelompok protein dimana pengakumulasiannya dipicu oleh serangan
patogen atau stress oleh penyebab abiotik. PR protein telah diklasifikasikan
kedalam 12 grup utama dan beberapa diantaranya bersifat antifungal. Sebagian
besar fungsi dari PR protein ini belum diketahui namun beberapa diantaranya
-1,3-glucanases (PR-2), Chitinases (PR-3) atau permeabilizersdiketahui sebagai
membran jamur (PR-5) (Honee, 1999 dalam Fermin-Munoz, 2000). Secara teori,
pembentukan PR protein baik tunggal maupun gabungan memberikan penurunan
kerentanan terhadap grup spesifik patogen (Bent and Yu 1999, Broglie et al. 1991,
Jongedick et al. 1995, Liu et al. 1994, Tabei et al. 1998 dalam Fermin-Munoz.
2000).
Pengaplikasian secara eksogen SA atau analognya seperti 2,6-
dichloroisonicotinic acid (INA) and benzol(1,2,3)thiadiazole-7-carbothioic acid Smethyl
ester (BTH) dapat mengaktifkan SAR. Hal ini sangat berbeda dengan
pengekspresian dari bacterial salicylate hydroxylase (nahG) gene yang dapat
menginaktivasi SA dengan mengkonversinya menjadi catechol. Oleh sebab itulah
SA sangatlah penting peranannya sebagai signal molekul untuk penginduksian
SAR (Mou, et al., 2003).
Meskipun SAR tidak tergantung pada perkembangan dari suatu reaksi
hipersensitif, ia akan tampak secara maksimal apabila patogen tersebut
menyebabkan nekrosis. Pada ISR, Rhizobakteria penginduksi umumnya tidak
menyebabkan gejala yang terlihat pada inang, dan biasanya meningkatkan
pertumbuhan tanaman (Kloepper 1996, Lynch, 1991 dalam Van Loon 1998).
Jalur signal-transduksi ISR
Penelitian secara molekular pada ISR oleh rhizobakteria pada mulanya berfokus
pada peranan PR protein, dimana pengakumulasian protein ini diduga sangat
berkolerasi dengan penginduksian resistensi terhadap penyakit. Bagaimanapun
juga pada tanaman lobak dimana pada daerah perakarannya diberi perlakuan
48
dengan P. fluorescent starins WCSS417r penginduksi ISR ternyata tidak
mengakumulasi PR protein meski pun tanaman tersebut memperlihatkan
peningkatan ketahanan terhadap F. oxysporum f.sp. raphani dan P.syringae pv.
tomato. Peningkatan ketahanan tanaman ini ternyata tidak sama dengan yang
terjadi pada SAR yaitu pengakitivasian gen-gen PR-1, PR-2, dan PR-5 (Pieterse,
2002).
Gambar 12. Skema signal transduction pathway SAR dan ISR pada tanaman
Arabidopsis.
Penelitian mengenai peranan SA dalam ISR dilakukan dengan menggunakan
tanaman Arabidopsis NahG yang tidak dapat mengakumulaskian SA.
Perbedaannya dengan SAR, ternyata ISR oleh P. fluorescens WCS417r pada
tanaman ini secara normal tetap terjadi. Hal tersebut membuktikan bahwa ISR
tidak berasosiasi dengan peningkatan akumulasi SA (Piterse et al., 2000). Dari
hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ISR oleh P. fluorescens WCS417r tidak
tergantung pada respon SA dan bahwa ISR dan SAR diatur oleh jalur pensignalan
yang berbeda.
ISR Memerlukan Signalling dari JA dan ET
49
Selain SA, zat pengatur tumbuh pada tanaman (JA dan ET) dimplikasikan terlibat
dalam respon resistensi utama pada tanaman (Pieterse et al., 2000). Pada sebagian
besar kasus, infeksi oleh patogen mikrobia dan serangan dari serangga herbivora
berasosiasi dengan peningkatan produksi dari hormon-hormon ini dan diikuti
dengan pengaktivasian sejumlah gen-gen pertahanan (defense-related genes).
Lebih lanjut, pengaplikasian secara eksogen dari senyawa-senyawa ini dapat
menghasilkan peningkatan level resistensi tanaman. Untuk menyelidiki peranan
JA dan ET dalam ISR, dilakukan pengujian dengan menggunakan tanaman
Arabidopsis JA-response mutant jar1-1 dan ET response mutant etr1-1 mengenai
kemampuannya dalam menampilkan ISR. Dari hasil ini diperoleh bahwa ternyata
kedua mutan tersebut tidak dapat menimbulkan resistensi terhadap P. syringae pv.
tomato setelah penkolonisasian pada daerah perakaran oleh P. fluorescens
WCS417r (Pieterse et al., 1998). Hal ini mengindikasikan bahwa ISR
memerlukan peresponan dari JA dan ET.
ISR tergantung pada NPR 1 (Expresser of PR genes)
NPR 1 telah diketahui sebagai faktor yang sangat penting dalam respon SAR.
Untuk menguji apakah respon ISR juga tergantung pada NPR 1 maka dilakukan
pengujian dengan menggunakan tanaman mutan Arabidopsis npr1 (non expresser
of PR genes). Ternyata tanaman mutan Arabidopsis npr1 tidak dapat
menampilkan ISR yang diinduksi oleh P. fluorescens. Hal ini mengindikasikan
bahwa seperti SAR, ISR juga tergantung pada NPR1. Elusidasi terhadap proses
pensignalan yang terjadi menyatakan bahwa fungsi-fungsi NPR1 memediai jalur
pensignalan dari JA dan ET. Hal ini membuktikan bahwa NPR1 mampu
mengatur ekspresi gen-gen pertahanan yang berbeda tergantung pada jalur
pensignalan pengaktivasinya (Pieterse, 2002).
4.2.2. Bakteri Entomopatogen
Bakteri merupakan entomopatogen yang mulai banyak dipergunakan oleh
petani dalam mengendalikan hama-hama tertentu. Insektisida yang dijual
dipasaran juga banyak yang mengandung bahan aktif bakteri salah satunya yang
50
paling banyak dipergunakan adalah insektisida yang berbahan aktif bakteri
Bacillus thuringiensis Var.aizawai.
B. thuringiensis digolongkan dalam famili Bacillaceae, ordo Eubacteriales,
kelas Schizomycetes (Sandoz, 1974 dalam Prabowo, 1990). Sifat-sifat B.
Thuringiensis adalah gram positif, aerob, tetapi dapat bersifat anaerob fakultatif
(Steinhouse, 1976 dalam Prabowo, 1990). Bakteri-bakteri tersebut mempunyai sel
berbentuk batang dengan ukuran lebar 1 – 1,2 mikron dan panjang 3 – 5 mikron,
membentuk endospora, suhu untuk pertumbuhan minimum 10-15oC dan
maksimum 40-45oC ( Holt, 1972 dalam Prabowo, 1990).
B. thuringiensis membentuk spora yang berbentuk oval, terletak didekat
ujung sel, berwarna hijau kebiruan dan berukuran 1-1,3 mikron. Pembentukan
spora terjadi dengan cepat pada suhu 35-37oC. Spora ini mengandung asam
dipikolinin, yaitu suatu komplek senyawa Ca dan peptidoglikan. Spora ini relatif
tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia (Pelczar, 1978 dalam Prabowo, 1990).
Pada beberapa larva Lepidoptera yang mempunyai pH saluran makanan di
atas 9, spora yang berkecambah tak dapat hidup dan sel vegetatifnya cepat hancur.
Namun jika pH saluran turun, bekteri yang bertahan pad spesies tersebut dapat
tumbuh dan menginfeksi inang (Burgenjon & Martouret, 1971 dalam Prabowo,
1990). Pada Lepidoptera yang mempunyai pH tetap di bawah 9, dan tidak
terdapat penghambat pada saluran pencernaanya, spora berkecambah dan
memperbanyak diri dengan kecepatan yang berbeda tergantung spesies inang
(Heimpel & Harshbarger dalam Prabowo, 1990).
Dalam kondisi tertentu, B. thuringiensis mampu membentuk kristal.
Kristal tersebut merupakan komplek protein yang mengandung toksin dan dikenal
dengan nama δ-endotoksin (Heimpel, 1971 dalam Prabowo, 19900. Kristal
protein tersusun dari subunit-subunit protein, berbentuk batang atau halter,
berukuran sekitar 4,7-11,8 mm dan mempunyai berat molekul sekitar 200.000
(Gambar 13). Subunit kristal ini dibangun dari rantai polipeptida yang
dihubungkan dengan ikatan kovalen oleh disulfid (Cookey, 1971 dalam Prabowo,
1990).
51
Gambar 13. Kristal protein B. thuringiensis
Sumber : http://www.biology.ucsc.edu/classes/bio1191/sporulation.jpg
Diakses 14 Agustus 2004)
Menurut Burgenjon & Martouret (1971) dalam Sastrosiswojo (1997),
toksisitas B. thuringiensis terhadap serangga tergantung pada galur bakteri dan
spesies serangga yang terinfeksi . Faktor yang ada pada bakteri ayng
mempengaruhi toksisitas adalah jenis kristal proteinnya, sedangkan pada serangga
adalah perbedaan keadaan dalam saluran pencernaan larva, seperti pH dalam
saluran pencernaan bagian tengah yang dapat mempengaruhi kelarutan kristal
protein. Faktor lainnya adalah kemampuan enzim protease yang ada pada saluran
makanan serangga untuk mencerna kristal protein menjadi molekul toksik dan
adanya receptor khusus dalam saluran pencernaan serangga yang mengikat toksin
(Burgenjon & Morturet, 1991 dalam Sastrosiswojo, 1997).
Kristal protein saluran yang termakan oleh larva serangga akan dipecah
oleh enzim protease di dalam saluran pencernaan bagian tengah menjadi molekul
yang toksik (Hofle & Whiteley, 1989 dalam Prabowo, 1990). Toksin tersebut
akan mempengaruhi permeabilitras sel, mikrovili pada sel-sel epitelium
menyebabkan paralisis saluran makanan dan berubahnya keseimbangan pH
hemolimfa, akhirnya menyebabkan kematian (Dubois & Lewis, 1981, Aronson,
Beckman & Dunn, 1986 dalam Prabowo, 1990).
Heimpel (1967) dalam Prabowo (1990) berpendapat bahwa B.
thuringiensis toksik terhadap 137 spesies serangga yang meliputi ordo Diptera,
Lepidoptera, Hymenoptera, Orthoptera dan Coleoptera. Kebanyakan larva
Lepidoptera mempunyai pH saluran pencernaan bagian tengah sekitar 9,0 dan
dengan aktivitas toksin selama 24 jam, pH-nya turun menjadi ± 6,62 (Heimpel,
1967 dalam Prabowo, 1990). Penurun pH antara 1,0 sampai 1,5 dapat
menyebabkan kerusakan sel-sel membran epitelium saluran pencernaan.
52
Gejala serangan B. thuringiensis pada larva Lepidoptera ditandai dengan
kehilangan selera makan dan berkurangnya mobilitas larva dengan cepat beberapa
jam setelah aplikasi. Larva kurang tanggap terhadap sentuhan. Setelah larva
mati, larva makin kelihatan mengkerut dan perubahan warnapun menjadi jelas
terlihat. Tubuh serangga yang mati menjadi lunak dan mengandung cairan
kemudian akhirnya membusuk (Sandoz, 1974 dalam Prabowo, 1990).
Keadaan sakit pada larva Lepidoptera karena infeksi B. thuringiensis
disebabkan oleh infeksi endospora dan infeksi racun δ-endotoksin. Pupa dan
imago mungkin terbentuk meskipun terinfeksi B. thuringiensis, tetapi umumnya
pupa atau imago itu berukuran kecil, cacat atau mandul (Sandoz, 1974 dalam
Prabowo, 1990).
4.3. Virus
4.3.1 Virus Entomopatogen
Virus sebagai biokontrol sudah banyak digunakan oleh petan i.
Pengendalian dengan menggunakan virus, memiliki beberapa keunggulan yakni:
1) Tidak terdapat efek samping terhadap musuh alami hama sasaran, manusia
dan lingkungan.
2) Serangga hama yang resisten terhadap suatu insektisida tetap peka terhadap
virus.
3) Virus dapat persisten di lapangan, sehingga dapat menyebabkan infeksi pada
generasi hama sasaran berikutnya.
4) Tidak meninggalkan residu beracun di alam (Mawikere, Lolong , dan
Tumewan, 1990).
Contoh-contoh virus yang telah digunakan sebagai agensia biokontrol
diantaranya yaitu Phthorimae operculella Granulosis Virus (PoGV), Helicoverpa
armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNVP), Spodoptera exigua Nuclear
Polyhedrosis Virus (SeNVP) dan Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus
(SlNVP).
4.3.2. Mekanisme Pengendalian
Mekanisme pengendalian GV maupun NVP terhadap serangga pada
53
umumnya relatif sama. Proses infeksi terjadi karena larva menelan polihedra atau
virion. Pada kondisi alkalis (pH lebih dari 9) di dalam usus halus, selubung
protein akan larut dan virion akan dibebaskan dan akan menginfeksi sel-sel epitel
usus tengah. Pada inti sel yang terinfeksi virus akan mengadakan replikasi
sehingga virion-virion baru akan terbentuk dan sebagian akan meninggalkan sel
tersebut dan menginfeksi sel-sel hemocoel dan jaringan lain seperti lemak tubuh,
sel epidermis, sel hemolimpa, trahea, serta kelenjar sutra. Pada jaringan-jaringan
tersebutvirion-virion akan mengambil tempat dan proses ini terus berlanjut
sehingga terjadi cell-lysis. Larva biasanya akan mati setelah banyak jaringan
terinfeksi.
Larva yang terinfeksi NPV akan menunjukan gejala yang khas, yaitu daya
makan berkurang, gerakan menjadi lamban, warna pucat kekuningan, tubuh
membengkak dan lemah. Sebelum mati integumen menjadi sangat rapuh,
tubuhnya mengeluarkan cairan hemolims berisi jaringan yang rusak dan terdapat
banyak sekali polihedra.
Kematian larva terjadi setelah sebagian besar jaringan tubuhnya terinfeksi.
Lama kematian sejak virus menginfeksi bervariasi antara empat hari sampai
dengan tiga minggu. Hal ini tergantung dari strain virus, jenis inang, stadia inang,
jumlah partikel virus dan temperatur lingkungan. Ulat yang mati kadang
menggantung pada daun. Penularan virus dapat terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi dan melalui kontak antara individu ulat. Penularan virus dapat pula
melalui perantara serangga predator dan parasit larva. Juga virus dapat ditulakan
dari induk betina ke keturunannya.
Virus tahan terhadap faktor-faktor abiotik seperti kekeringan, kelembaban,
tekanan dan keasaman, tetapi aktivitasnya akan berkurang apabila terkena sinar
ultraviolet (Jaques, 1985 dalam Smits,1987).
Menurut Okada (1977), polihedra dalam tanah akan tetap mempertahankan
aktivitas biologisnya selama lebih dari lima tahun, sedangkan menurut Jaques,
1985 dalam Smits, (1987), polihedra akan bertahan selama lebih dari 10 tahun.
Kontaminasi virus dimungkinkan juga melalui percikan air hujan yang mengenai
daun (Cunningham, 1982 dalam Smits,1987).
54
4.4. Nematoda
4.4.1. Nematoda Entomopatogen
Patogen serangga dari golongan nematoda ada dua genus yang telah
dikenal yaitu Steinernema dan Heterorhabditis. Kedua genus tersebut memiliki
beberapa keunggulan sebagai agensia pengendalian biologi serangga hama
dibandingkan dengan musuh alami lain, yaitu daya bunuhnya sangat cepat,
kisaran inangnya luas, aktif mencari inang sehingga efektif untuk mengendalikan
serangga dalam jaringan, tidak menimbulkan resistensi, dan mudah diperbanyak.
Nematoda Steinernema spp. memiliki kisaran inang yang cukup luas,
tetapi aman bagi vertebrata dan jasad bukan sasaran lainnya (Shapiro et al., 1996).
Pada kondisi laboratorium yang optimal Steinernema spp. dapat menginfeksi 200
spesies serangga dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Hymenoptera, Diptera,
Orthoptera dan Isoptera (Chaerani, 1996).
4.4.2. Mekanisme Patogenisitas
Mekanisme patogenisitas nematoda entomopatogen terjadi melalui
simbiosis dengan bakteri patogen Xenorhabdus untuk Steinernema dan
Photorhabdus untuk Heterorhabditis. Infeksi dilakukan oleh stadium larva instar
III atau juvenil infektif (JI) terjadi melalui mulut, anus, spirakel atau penetrasi
langsung membran intersegmental integumen yang lunak. Setelah mencapai
haemocoel serangga, bakteri simbion yang dibawa akan dilepaskan kedalam
haemolim untuk berkembangbiak dan memproduksi toksin yang mematikan. Dua
faktor ini yang menyebabkan nematoda entomopatogen mempunyai daya bunuh
yang sangat cepat. Serangga yang terinfeksi dapat mati dalam waktu 24-28 jam
setelah infeksi
Faktor penentu patogenisitas nematoda entomopatogen terletak pada
bakteri mutualistiknya yaitu dengan diproduksinya toksin intraseluler dan
ekstraseluler yang dihasilkan bakteri dalam waktu 24-48 jam (Kaya dan Gaugler,
1993). Patogenesitas Xenorhabdus spp. bergantung pada kemampuan masuknya
nematoda ke hemocoel serangga inang, juga kemampuan dari bakteri itu sendiri
untuk memperbanyak diri di haemolympa serta kemampuannya untuk melawan
mekanisme pertahanan serangga inang (Akrust dan Boemare, 1990).
55
56
BAB V
KENDALA DAN PROSPEK PERTANIAN ORGANIK
Pupuk dan pestisida organik, atau pertanian organik, yang dikembangkan
sekarang ini merupakan ide baru (inovasi). Sebagai inovasi, pertanian organik,
terutama komponen utamanya, yaitu pupuk dan pestisida organik, tidak akan
begitu saja diadopsi oleh para petani, apalagi para petani di Indonesia sudah
begitu ketergantungan pada pupuk dan pestisida sintetik. Menurut Soekartawi
(1988), penerimaan (adopsi) inovasi oleh adopter dipengaruhi oleh faktor internal
dan faktor eksternal. Menurutnya, ada tiga hal yang diperlukan calon adopter
dalam proses adopsi inovasi, yaitu:
1) Adanya pihak lain yang telah melaksanakan adopsi inovasi dan berhasil
dengan sukses;
2) Adanya suatu proses adopsi inovasi yang berjalan secara sistematis; dan
3) Adanya hasil adopsi inovasi yang telah memberikan keuntungan.
Menurut Soekartawi (1988), faktor internal yang mempengaruhi proses
penerimaan suatu inovasi, meliputi: umur, pendidikan, keberanian mengambil
resiko, pola hubungan, sikap terhadap perubahan, motivasi berkarya, aspirasi,
fatalisme, sistem kepercayaan tertentu dan karakteristik psikologis. Sedangkan
faktor eksternal yang mempengaruhi kecepatan proses adopsi, meliputi:
1. Apakah memberikan keuntungan atau tidak. Sejauhmana inovasi itu
memberikan keuntungan dibandingkan dengan teknologi lama yang
digantikan. Jika keuntungan suatu inovasi relatif lebih besar dibandingkan
dengan teknologi lama, maka proses adopsi inovasi tersebut berjalan lebih
cepat;
2. Kompetabilitas (Keselarasan). Apabila perubahan dengan adanya inovasi baru
tersebut tidak frontal, maka petani cukup mampu untuk melakukan
penyesuaian-penyesuaian terhadap adopsi inovasi tersebut;
3. Kompleksitas (Kerumitan), Semakin sederhana suatu inovasi, maka semakin
cepat pula proses adopsi yang dilakukan oleh petani;
4. Triabilitas (Kemudahan dicoba). Semakin mudah dicoba suatu inovasi, maka
relatif makin cepat proses adopsi inovasi yang dilakukan petani;
57
5. Observabilitas (Dapat diamati). Inovasi akan lebih mudah diadopsi jika petani
dapat mengamati dan telah melihat hasil dari penggunaan inovasi tersebut.
Pada dasarnya, suatu inovasi y ang sudah terdiseminasikan ata u
tersosialisasikan kepada khalayak, dapat diadopsi oleh petani, hanya kadar atau
tahapan adopsinya bervariasi. Menurut van den Ban (1999), tahapan adopsi
meliputi:
1) Tahap kesadaran. Pada tahap ini seseorang sudah mulai mengetahui sesuatu
yang baru karena hasil dari berkomunikasi dengan orang lain atau penyuluh;
2) Tahap minat. Pada tahap ini seseorang mulai ingin mengetahui lebih banyak
tentang hal yang baru dengan cara mencari keterangan yang lebih terinci;
3) Tahap menilai. Pada tahap ini seseorang mulai menilai keterangan yang
telah diperolehnya dan menghubungkannya dengan keadaan dirinya sendiri,
misalnya kesanggupannya dan resiko yang terjadi. Keadaan sosial,
ekonomi, dan teknis menjadi pertimbangan utamanya;
4) Tahap mencoba. Pada tahap ini seseorang mulai menerapkan dalam -luasan
yang kecil. Ada kalanya dia tidak melakukan sendiri, tetapi melihat orang
lain yang mencoba. Jika sudah yakin, barulah ia diterapkan dalam skala
yang lebih luas, tetapi jika gagal, maka ia akan meninggalkannya dan timbul
rasa tidak percaya atas inovasi tersebut; dan
5) Tahap adopsi. Pada tahap ini, seseorang sudah yakin akan hal yang baru itu
dan mulai menerapkan dalam skala usaha }rang lebih luas.
Tahapan proses komunikasi yang tejadi pada tahap adopsi pertama adalah
menarik perhatian (metodenya massal), pada tahap adopsi kedua adalah
menggugah hati (metodenya massal), pada tahap adopsi ketiga membangkitkan
keinginan (metodenya kelompok), pada tahap adopsi ke empat adalah meyakinkan
(metodenya kelompok), dan pada tahap adopsi ke lima adalah menggerakan usaha
(metodenya perorangan).
Prospek Pertanian organik ke depan sangat baik, petani sebagai produsen
dan masyarakat secara luas sebagai konsumen semakin sadar akan pentingnya
pertanian yang ramah lingkungan dan produk yang dihasilkannya tidak
mengandung residu pestisida, kesadaran pentingnya menjaga kesehatan dan
58
kelestarian lingkungan hidup yang kini menjadi gaya hidup (trend) masyarakat
dunia. Grafik perkembangan dan penerapan pendekatan pertanian organik terus
meningkat seiring dengan semakin jelasnya dampak negatif yang disebabkan oleh
sistem pertanian modern.
Pertanian organik yang ideal adalah pada lahan-lahan bukaan baru dimana
pestisida sintetis dan pupuk anorganik tidak pernah diaplikasikan. Bukaan lahan
baru ini dapat kerjasama dengan Kehutanan dimana lahan kehutanan itu dapat
dikonversi menjadi lahan pertanian organik
Lahan pertanian yang sebelumnya dipergunakan lahan pertanian
konvensional, sebetulnya kurang ideal kalau dipergunakan untuk lahan pertanian
pertanian organik, karena lahan bekas lahan pertanian konvensional menyisakan
senyawa-senyawa xenobiotik di lahan pertanian tersebut.. Senyawa-senyawa ini
sulit mengalami degradasi secara alami di alam. Xenobiotik secara kimiawi sulit
untuk disintesis dan dikeluarkan dari alam. Begitu juga, mikroorganisme yang
punya kemampuan menggunakan xenobiotik dalam metabolismenya. Senyawa
yang paling banyak menghasilkan senyawa xenobiotik adalah pestisida (Madigan
et al., 2000). Lebih dari 1000 pestisida telah dipasarkan sebagai bahan kimia
untuk tujuan mengendalikan hama dan penyakit tanaman, terutama herbisida,
insektisida, dan fungisida. Bahan kimia, seperti asam chlorophenoxyalkyl
carboxylic, , nitrophenols, triazines, phenylcarbamat, organochlorines dan
organophosphates, (Gambar 1). Beberapa degradasi dalam tanah pada umumnya
sulit terjadi karena akumulasi bahan beracun sulit dihindarkan. Bagaimanapun,
bahan campuran berhubungan erat dengan perbedaan degradabilitasnya.
Perbedaan ini ditunjukkan dalam Tabel 2.
Gambar 1. Beberapa Bahan Xenobiotik.
59
Tabel 2. Persistensi dari Herbisida dan Insektisida Dalam Tanah.
Faktor lingkungan, seperti temperatur, pH, aerasi, dan kandungan bahan organik
dalam tanah, dapat mempengaruhi proses dekomposisi. Beberapa dari insektisida
chlorinated dapat bertahan dalam tanah lebih dari 10 tahun. Bagaimanapun,
ketika pemecahan kimia hanya parsial, degradasi produk suatu pestisida oleh
mikroorganime kadang-kadang bahkan lebih beracun dibandingkan campuran
aslinya.
Degradasi pestisida Chlorinated terjadi dalam lingkungan anaerob. Dalam
kasus ini, biodegradation anaerob dihubungkan ke reduksi chlor dari molekul,
yang derivatnya sedikit beracun dibanding molekul chlor yang asli.
Tabel 3. Karakteristik dari beberapa genus bakteri yang dapat mereduksi
dechlorination
60
Keberadaan dari mikroorganisme yang dalam proses metabolisme
memamfaatkan senyawa xenobiotik yang evolusioner penting dipertimbangkan
karena bahan campuran sepenuhnya baru pada bumi dimasa 50 tahun lalu.
Pengamatan pada kecepatan metabolisme mikroorganisme yang baru muncul
dapat memberi beberapa gagasan untuk tingkat evolusi mikroorganisme evolusi
secara umum. Evolusi dari bakteri pendegradasi pestisida menemukan kasus yang
serupa. menghasilkan bakteri ayng mampu mendegradasi 2,4,-5
trichlorophenoxyacetic acid ( 2 4,5-T) dan pestisida yang sulit didegradasi. Ini
mikroorganisme seperti seperti Pseudomonas yang sekarang dapat tumbuh pada
pestisida dan pestisidanya sebagai sumber karbon dan energi ( Gambar 2). Dalam
suatu studi biodegradsi 2,4,5-T dan 2,4-dichlorophenoxyacetic acid ( 2,4-D), itu
telah ditunjukkan porsi plasmids kode itu untuk tahan biodegradasi 2,4-D dan
pembentukan plasmids baru yang punya kemampuan untuk mendegradasi 2,4,5-T.
Karena ini dapat terjadi relatif dengan cepat, itu dapat disimpulkan bahwa
biodegradation bahan campuran xenobiotik dapat mungkin terjadi, evolusioner
akan bergerak dengan cepat untuk menetapkan mikroorganisme dengan susunan
gen baru untuk menghancurkan bahan campuran itu. Diasumsikan, sejumlah
61
bahan campuran ada dalam lingkungan untuk memelihara potensi biodegradation
dalam populasi baru.
62
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Sistem Pertanian Organik merupakan tehnik budidaya pertanian terbaik, dapat
mengurangi penggunaan input yang tidak dapat diperbaharui dan mengurangi
energi yang hilang.
2. Pertanian organik dapat membuat keseimbangan ekologi dalam suatu
lingkungan pertanian, hama, penyakit dan gulma dapat hidup bersama dalam
satu lingkungan pertanian dalam kondisi masing-masing memberi kontribusi
dalam keseimbangan ekologi.
3. Pertanian Organik dapat menekan biaya produksi pertanian dengan input
berasal dari lingkungan sendiri
4. Mikroba-mikroba yang hidup pada pertanian organik dapat memperbaiki
kondisi lingkungan fisik, kimia dan biologi tanah serta menekan pertumbuhan
hama dan penyakit .
5. Potensi mikroba-mikroba yang ada di dalam pertanian organik dapat terus
dikembangkan dengan mengembangkan juga metode perbanyakannya yang
sederhana sehingga petani dapat melakukannya tanpa teknologi yang rumit.

Bioteknologi Mikroba untuk Pertanian Organik


Post: 11 November 2008 Oleh: penyair cinta (0) Comment

RINGKASAN
Alasan kesehatan dan kelestarian alam menjadikan pertanian organik sebagai salah satu alternatif pertanian
modern. Pertanian organik mengandalkan bahan-bahan alami dan menghindari input bahan sintetik, baik berupa
pupuk, herbisida, maupun pestisida sintetik. Namun, petani sering mengeluhkan hasil pertanian organik yang
produktivitasnya cenderung rendah dan lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Masalah ini
sebenarnya bisa diatasi dengan memanfaatkan bioteknologi berbasis mikroba yang diambil dari sumber-sumber
kekayaan hayati.
Tanah sangat kaya akan keragaman mikroorganisme, seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, protozoa, alga dan
virus. Tanah pertanian yang subur mengandung lebih dari 100 juta mikroba per gram tanah. Produktivitas dan
daya dukung tanah tergantung pada aktivitas mikroba tersebut. Sebagian besar mikroba tanah memiliki peranan
yang menguntungan bagi pertanian, yaitu berperan dalam menghancurkan limbah organik, re-cycling hara
tanaman, fiksasi biologis nitrogen, pelarutan fosfat, merangsang pertumbuhan, biokontrol patogen dan
membantu penyerapan unsur hara. Bioteknologi berbasis mikroba dikembangkan dengan memanfaatkan peran-
peran penting mikroba tersebut.

Teknologi Kompos Bioaktif


Salah satu masalah yang sering ditemui ketika menerapkan pertanian organik adalah kandungan bahan organik
dan status hara tanah yang rendah. Petani organik mengatasi masalah tersebut dengan memberikan pupuk hijau
atau pupuk kandang. Kedua jenis pupuk itu adalah limbah organik yang telah mengalami penghacuran sehingga
menjadi tersedia bagi tanaman. Limbah organik seperti sisa-sisa tanaman dan kotoran binatang ternak tidak bisa
langsung diberikan ke tanaman. Limbah organik harus dihancurkan/dikomposkan terlebih dahulu oleh mikroba
tanah menjadi unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman. Proses pengkomposan alami memakan waktu yang
sangat lama, berkisar antara enam bulan hingga setahun sampai bahan organik tersebut benar-benar tersedia
bagi tanaman.
Proses pengomposan dapat dipercepat dengan menggunakan mikroba penghancur (dekomposer) yang
berkemampuan tinggi. Penggunaan mikroba dapat mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa bulan
menjadi beberapa minggu saja. Di pasaran saat ini banyak tersedia produk-produk biodekomposer untuk
mempercepat proses pengomposan, misalnya: SuperDec, OrgaDec, EM4, EM Lestari, Starbio, Degra Simba,
Stardec, dan lain-lain.
Kompos bioaktif adalah kompos yang diproduksi dengan bantuan mikroba lignoselulolitik unggul yang tetap
bertahan di dalam kompos dan berperan sebagai agensia hayati pengendali penyakit tanaman. SuperDec dan
OrgaDec, biodekomposer yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia
(BPBPI), dikembangkan berdasarkan filosofi tersebut. Mikroba biodekomposer unggul yang digunakan adalah
Trichoderma pseudokoningii , Cytopaga sp, dan fungi pelapuk putih. Mikroba tersebut mampu mempercepat
proses pengomposan menjadi sekitar 2-3 minggu. Mikroba akan tetap hidup dan aktif di dalam kompos. Ketika
kompos tersebut diberikan ke tanah, mikroba akan berperan untuk mengendalikan organisme patogen penyebab
penyakit tanaman.
Biofertilizer
Petani organik sangat menghindari pemakaian pupuk kimia. Untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman, petani
organik mengandalkan kompos sebagai sumber utama nutrisi tanaman. Sayangnya kandungan hara kompos
rendah. Kompos matang kandungan haranya kurang lebih : 1.69% N, 0.34% P2O5, dan 2.81% K. Dengan kata
lain 100 kg kompos setara dengan 1.69 kg Urea, 0.34 kg SP 36, dan 2.18 kg KCl. Misalnya untuk memupuk
padi yang kebutuhan haranya 200 kg Urea/ha, 75 kg SP 36/ha dan 37.5 kg KCl/ha, maka membutuhkan
sebanyak 22 ton kompos/ha. Jumlah kompos yang demikian besar ini memerlukan banyak tenaga kerja dan
berimplikasi pada naiknya biaya produksi.
Mikroba-mikroba tanah banyak yang berperan di dalam penyediaan maupun penyerapan unsur hara bagi
tanaman. Tiga unsur hara penting tanaman, yaitu Nitrogen (N), fosfat (P), dan kalium (K) seluruhnya
melibatkan aktivitas mikroba. Hara N tersedia melimpah di udara. Kurang lebih 74% kandungan udara adalah
N. Namun, N udara tidak dapat langsung dimanfaatkan tanaman. N harus ditambat oleh mikroba dan diubah
bentuknya menjadi tersedia bagi tanaman. Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dan ada pula yang hidup
bebas. Mikroba penambat N simbiotik antara lain : Rhizobium sp yang hidup di dalam bintil akar tanaman
kacang-kacangan ( leguminose ). Mikroba penambat N non-simbiotik misalnya: Azospirillum sp dan
Azotobacter sp. Mikroba penambat N simbiotik hanya bisa digunakan untuk tanaman leguminose saja,
sedangkan mikroba penambat N non-simbiotik dapat digunakan untuk semua jenis tanaman.
Mikroba tanah lain yang berperan di dalam penyediaan unsur hara adalah mikroba pelarut fosfat (P) dan kalium
(K). Tanah pertanian kita umumnya memiliki kandungan P cukup tinggi (jenuh). Namun, hara P ini
sedikit/tidak tersedia bagi tanaman, karena terikat pada mineral liat tanah. Di sinilah peranan mikroba pelarut P.
Mikroba ini akan melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali
mikroba yang mampu melarutkan P, antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp, Pseudomonas sp dan Bacillus
megatherium. Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P, umumnya juga berkemampuan tinggi dalam
melarutkan K.
Kelompok mikroba lain yang juga berperan dalam penyerapan unsur P adalah Mikoriza yang bersimbiosis pada
akar tanaman. Setidaknya ada dua jenis mikoriza yang sering dipakai untuk biofertilizer, yaitu: ektomikoriza
dan endomikoriza. Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan membantu penyerapan hara P oleh tanaman.
Selain itu tanaman yang bermikoriza umumnya juga lebih tahan terhadap kekeringan. Contoh mikoriza yang
sering dimanfaatkan adalah Glomus sp dan Gigaspora sp.
Beberapa mikroba tanah mampu menghasilkan hormon tanaman yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman.
Hormon yang dihasilkan oleh mikroba akan diserap oleh tanaman sehingga tanaman akan tumbuh lebih cepat
atau lebih besar. Kelompok mikroba yang mampu menghasilkan hormon tanaman, antara lain: Pseudomonas sp
dan Azotobacter sp.
Mikroba-mikroba bermanfaat tersebut diformulasikan dalam bahan pembawa khusus dan digunakan sebagai
biofertilizer. Hasil penelitian yang dilakukan oleh BPBPI mendapatkan bahwa biofertilizer setidaknya dapat
mensuplai lebih dari setengah kebutuhan hara tanaman. Biofertilizer yang tersedia di pasaran antara lain: Emas,
Rhiphosant, Kamizae, OST dan Simbionriza.
Agen Biokontrol
Hama dan penyakit merupakan salah satu kendala serius dalam budidaya pertanian organik. Jenis-jenis tanaman
yang terbiasa dilindungi oleh pestisida kimia, umumnya sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit
ketika dibudidayakan dengan sistim organik. Alam sebenarnya telah menyediakan mekanisme perlindungan
alami. Di alam terdapat mikroba yang dapat mengendalikan organisme patogen tersebut. Organisme patogen
akan merugikan tanaman ketika terjadi ketidakseimbangan populasi antara organisme patogen dengan mikroba
pengendalinya, di mana jumlah organisme patogen lebih banyak daripada jumlah mikroba pengendalinya.
Apabila kita dapat menyeimbangakan populasi kedua jenis organisme ini, maka hama dan penyakit tanaman
dapat dihindari.
Mikroba yang dapat mengendalikan hama tanaman antara lain: Bacillus thurigiensis (BT), Bauveria bassiana ,
Paecilomyces fumosoroseus, dan Metharizium anisopliae . Mikroba ini mampu menyerang dan membunuh
berbagai serangga hama. Mikroba yang dapat mengendalikan penyakit tanaman misalnya: Trichoderma sp yang
mampu mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh Gonoderma sp, JAP (jamur akar putih), dan
Phytoptora sp. Beberapa biokontrol yang tersedia di pasaran antara lain: Greemi-G, Bio-Meteor, NirAma,
Marfu-P dan Hamago.
Aplikasi pada Pertanian Organik
Produk-produk bioteknologi mikroba hampir seluruhnya menggunakan bahan-bahan alami. Produk ini dapat
memenuhi kebutuhan petani organik. Kebutuhan bahan organik dan hara tanaman dapat dipenuhi dengan
kompos bioaktif dan aktivator pengomposan. Aplikasi biofertilizer pada pertanian organik dapat mensuplai
kebutuhan hara tanaman yang selama ini dipenuhi dari pupuk-pupuk kimia. Serangan hama dan penyakit
tanaman dapat dikendalikan dengan memanfaatkan biokotrol.
Petani Indonesia yang menerapkan sistem pertanian organik umumnya hanya mengandalkan kompos dan
cenderung membiarkan serangan hama dan penyakit tanaman. Dengan tersedianya bioteknologi berbasis
mikroba, petani organik tidak perlu kawatir dengan masalah ketersediaan bahan organik, unsur hara, dan
serangan hama dan penyakit tanaman.
Peneliti Mikroba
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia

Pupuk Organik, Bahan Baku Pupuk Organik, Membuat Pupuk Organik


Menghitung Kebutuhan Kompos
 
Cara Pemakaian dan Menghitung Kebutuhan Kompos
Cara pemakaian kompos, sebaiknya disesuaikan dengan keadaan jenis tanah dan kandungan
C organik dalam tanah tersebut, disamping juga harus disesuaikan dengan kebutuhan
masing-masing jenis tanaman.  
Tiap-tiap tanaman memerlukan kandungan bahan organik yang berbeda-beda. Tanaman
sayuran apabila tidak dipupuk dengan pupuk organik sama sekali pertumbuhannya tidak akan
sebaik tanaman yang mendapat pupuk organik. 
Tanaman bunga seperti antara lain Azalea atau Anthurium, pertumbuhannya akan sangat
baik pada media yang 100 persen terdiri dari bahan organik. Apabila medianya tercampur
dengan tanah, pertumbuhannya kurang optimal.  Beberapa tanaman lainnya akan tumbuh
dengan baik apabila kompos ditambah dengan tanah dengan perbandingan 1:1. Disamping
itu ada juga tanaman yang menghendaki kompos dicampur dengan tanah dan pasir dengan
perbandingan  1 : 1 : 1.
Sementara itu tiap-tiap jenis tanah memiliki keadaan kesetimbangan kandungan bahan
organik sendiri-sendiri. Pada tanah-tanah abu vulkanik (Andisol) seperti tanah di Lembang,
kandungan C organik tanah (ideal),  tidak akan sama dengan kandungan C organik tanah
(ideal) pada jenis tanah Inseptisol di Banjaran, misalnya.
 
Baca selengkapnya...
 
Bahan Organik
Pengertian

Bahan organik merupakan bahan-bahan yang dapat


diperbaharui, didaur ulang, dirombak oleh bakteri-bakteri
tanah menjadi unsur yang dapat digunakan oleh tanaman
tanpa mencemari tanah dan air. Bahan organik tanah
merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan
binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan
pembentukan kembali. Bahan organik demikian berada
dalam pelapukan aktif dan menjadi mangsa serangan jasad
mikro. Sebagai akibatnya bahan tersebut berubah terus dan
tidak mantap sehingga harus selalu diperbaharui melalui penambahan sisa-sisa tanaman atau
binatang.
Sumber Bahan Organik
Sumber primer bahan organik adalah jaringan tanaman berupa akar, batang, ranting, daun,
dan buah. Bahan organik dihasilkan oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis sehingga
unsur karbon merupakan penyusun utama dari bahan organik tersebut. Unsur karbon ini
berada dalam bentuk senyawa-senyawa polisakarida, seperti selulosa, hemiselulosa, pati,
dan bahan- bahan pektin dan lignin. Selain itu nitrogen merupakan unsur yang paling banyak
terakumulasi dalam bahan organik karena merupakan unsur yang penting dalam sel mikroba
yang terlibat dalam proses perombakan bahan organik tanah. Jaringan tanaman ini akan
mengalami dekomposisi dan akan terangkut ke lapisan bawah serta diinkorporasikan dengan
tanah. Tumbuhan tidak saja sumber bahan organik, tetapi sumber bahan organik dari seluruh
makhluk hidup.
Sumber sekunder bahan organik adalah fauna. Fauna terlebih dahulu harus menggunakan
bahan organik tanaman setelah itu barulah menyumbangkan pula bahan organik. Bahan
organik tanah selain dapat berasal dari jaringan asli juga dapat berasal dari bagian batuan.

Perbedaan sumber bahan organik tanah tersebut akan memberikan perbedaan pengaruh
yang disumbangkannya ke dalam tanah. Hal itu berkaitan erat dengan komposisi atau
susunan dari bahan organik tersebut. Kandungan bahan organik dalam setiap jenis tanah
tidak sama. Hal ini tergantung dari beberapa hal yaitu; tipe vegetasi yang ada di daerah
tersebut, populasi mikroba tanah, keadaan drainase tanah, curah hujan, suhu, dan
pengelolaan tanah. Komposisi atau susunan jaringan tumbuhan akan jauh berbeda dengan
jaringan binatang. Pada umumnya jaringan binatang akan lebih cepat hancur daripada
jaringan tumbuhan. Jaringan tumbuhan sebagian besar tersusun dari air yang beragam dari
60-90% dan rata-rata sekitar 75%. Bagian padatan sekitar 25% dari hidrat arang 60%, protein
10%, lignin 10-30% dan lemak 1-8%. Ditinjau dari susunan unsur karbon merupakan bagian
yang terbesar (44%) disusul oleh oksigen (40%), hidrogen dan abu masing-masing sekitar
8%. Susunan abu itu sendiri terdiri dari seluruh unsur hara yang diserap dan diperlukan
tanaman kecuali C, H dan O.

Apa itu kompos?


Kompos atau humus adalah sisa-sisa mahluk hidup yang telah
mengalami pelapukan, bentuknya sudah berubah seperti tanah
dan tidak berbau. Kompos memiliki kandungan hara NPK yang
lengkap meskipun persentasenya kecil. Kompos juga
mengandung senyawa-senyawa lain yang sangat bermanfaat
bagi tanaman.
 
Apa manfaat kompos?
Kompos ibarat multivitamin bagi tanah dan tanaman. Kompos memperbaiki sifat fisik dan
kimia tanah. Kompos akan mengembalikan kesuburan tanah. Tanah keras akan menjadi lebih
gembur. Tanah miskin akan menjadi subur. Tanah masam akan menjadi lebih netral.
Tanaman yang diberi kompos tumbuh lebih subur dan kualitas panennya lebih baik daripada
tanaman tanpa kompos.
Baca selengkapnya...
 
Pupuk alami / pupuk Organik
Penggunaan pupuk di dunia terus meningkat sesuai dengan pertambahan luas areal pertanian, pertambahan
penduduk, kenaikan tingkat intensifikasi serta makin beragamnya penggunaan pupuk sebagai usaha
peningkatan hasil pertanian. Para ahli lingkungan hidup khawatir dengan pemakaian pupuk mineral yang
berasal dari pabrik ini akan menambah tingkat polusi tanah yang akhirnya berpengaruh juga terhadap
kesehatan manusia.
Berdasarkan hal tersebut makin berkembang alasan untuk mengurangi penggunaan pupuk mineral dan agar
pembuatan pabrik-pabrik pupuk di dunia dikurangi atau dihentikan sama sekali agar manusia bisa terhindar
dari malapetaka polusi. Upaya pembudidayaan tanaman dengan pertanian organik merupakan usaha untuk
dapat mendapatkan bahan makanan tanpa penggunaan pupuk anorganik. Dengan sitem ini diharapkan
tanaman dapat hidup tanpa ada masukan dari luar sehingga dalam kehidupan tanaman terdapat suatu siklus
hidup yang tertutup.

Cara Pemakaian dan Menghitung Kebutuhan Kompos


Cara pemakaian kompos, sebaiknya disesuaikan dengan keadaan jenis tanah dan kandungan C organik
dalam tanah tersebut, disamping juga harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing jenis tanaman.  
Tiap-tiap tanaman memerlukan kandungan bahan organik yang berbeda-beda. Tanaman sayuran apabila
tidak dipupuk dengan pupuk organik sama sekali pertumbuhannya tidak akan sebaik tanaman yang mendapat
pupuk organik. 
Tanaman bunga seperti antara lain Azalea atau Anthurium, pertumbuhannya akan sangat baik pada media
yang 100 persen terdiri dari bahan organik. Apabila medianya tercampur dengan tanah, pertumbuhannya
kurang optimal.  Beberapa tanaman lainnya akan tumbuh dengan baik apabila kompos ditambah dengan
tanah dengan perbandingan 1:1. Disamping itu ada juga tanaman yang menghendaki kompos dicampur
dengan tanah dan pasir dengan perbandingan  1 : 1 : 1.
Sementara itu tiap-tiap jenis tanah memiliki keadaan kesetimbangan kandungan bahan organik sendiri-sendiri.
Pada tanah-tanah abu vulkanik (Andisol) seperti tanah di Lembang, kandungan C organik tanah (ideal),  tidak
akan sama dengan kandungan C organik tanah (ideal) pada jenis tanah Inseptisol di Banjaran, misalnya.
 
 
Sehingga jumlah pemberian pupuk organik pada tiap tanaman dan pada berbagai jenis tanah tidak akan
sama.  
Untuk menentukan tingkat kandungan C organik dalam tanah, harus dilakukan dengan analisa laboratorium.  
Untuk mengetahui berapa kebutuhan pupuk C organik, dapat dilakukan dengan cara mempergunakan rumus
sbb:
    Kebutuhan Kompos (C organik) = C organik Tanah x 1.724 x 20 cm x 10.000 m2
C organik tanah = ditentukan berdasarkan hasil analisa tanah di laboratorium
1.724: konstanta 20 cm: kedalaman lapisan olah tanah 10.000 m2: Luas areal
 
Sebagai ilustrasi, apabila hasil analisa laboratorium tanah diketahui kandungan C organik tanah di suatu
tempat adalah 2.56 %, Maka menghitung kandungan C organik tanah dalam lapisan olah (20 cm) seluas 1 ha
adalah:
Kandungan C organik lapisan olah tanah adalah  =  2.56 x 1,724 x 20 x 10.000  =  8.800 kg /ha = 8.8 ton / ha
Sementara itu ada juga yang mengelompokan tingkat kandungan  bahan organik tanah secara umum, seperti
dapat dilihat pada tabel berikut:
Kandungan Organik   Setara Dengan
(% Berat Tanah) Tingkat Ton / ha
Metoda Welkley - Black
> 20 Sangat Tinggi > 68.9
10 – 20 Tinggi 34.48 – 68.9
4 – 10 Sedang 13.79 – 34.48
2 -   4 Rendah 4.34 – 13.79
<2 Sangat Rendah < 4.34
Sumber: Metson (1961) dalam Brooker Tropical Soil Manual 1984
Dengan demikian rekomendasi pemberian pupuk organik dilakukan berdasarkan kekurangan kandungan C
organik dalam tanah.  Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan bahwa bila berdasarkan  analisa  laboratorium
tanah, kandungan C organik tanah adalah 2.56 % setara dengan 8.8 ton / ha,  maka berdasarkan keadaan
tingkat kesuburan C organik tanah, kandungan organik tanah berada pada tingkat rendah.
Berapa persisnya kebutuhan pupuk Organik, adalah sangat tergantung kepada jenis tanah dan jenis
tanaman.  Keadaan ini baru akan diketahui dengan lebih akurat apabila dilakukan pengujian lapangan. Tetapi
dengan bantuan panduan tingkat kesuburan tanah pada tabel 5 di atas, dapat diketahui secara umum bahwa
untuk mencapai tingkat kesuburan C organik tanah sedang, yaitu 13.79 s/d 34.48 ton / ha, maka diperlukan
penambahan pupuk organik sebesar =  (13.79 s/d 34.48 ) – 8.8 ton = 4.99 s/d 25.4 ton /ha.
 
Pengertian
Pupuk alami / pupuk Organik
Penggunaan pupuk di dunia terus meningkat sesuai dengan pertambahan luas areal pertanian, pertambahan
penduduk, kenaikan tingkat intensifikasi serta makin beragamnya penggunaan pupuk sebagai usaha
peningkatan hasil pertanian. Para ahli lingkungan hidup khawatir dengan pemakaian pupuk mineral yang
berasal dari pabrik ini akan menambah tingkat polusi tanah yang akhirnya berpengaruh juga terhadap
kesehatan manusia.
Berdasarkan hal tersebut makin berkembang alasan untuk mengurangi penggunaan pupuk mineral dan agar
pembuatan pabrik-pabrik pupuk di dunia dikurangi atau dihentikan sama sekali agar manusia bisa terhindar
dari malapetaka polusi. Upaya pembudidayaan tanaman dengan pertanian organik merupakan usaha untuk
dapat mendapatkan bahan makanan tanpa penggunaan pupuk anorganik. Dengan sitem ini diharapkan
tanaman dapat hidup tanpa ada masukan dari luar sehingga dalam kehidupan tanaman terdapat suatu siklus
hidup yang tertutup.
 
Banyak sifat baik pupuk organik terhadap kesuburan tanah antara lain ialah:
a. Bahan organik dalam proses mineralisasi akan melepaskan hara tanaman dengan lengkap (N, P, K, Ca,
Mg, S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak tentu dan relatif kecil.
b. Dapat memperbaiki struktur tanah, menyebabkan tanah menjadi ringan untuk diolah dan mudah ditembus
akar.
c. Tanah lebih mudah diolah untuk tanah-tanah berat.
d. Meningkatkan daya menahan air (water holding capacity). Sehingga kamampuan tanah untuk menyediakan
air menjadi lebih banyak. Kelengasan air tanah lebih terjaga.
e. Permeabilitas tanah menjadi lebih baik. Menurunkan permeabilitas pada tanah bertekstur kasar (pasiran),
sebaliknya meningkatkan permeabilitas pada tanah bertekstur sangat lembut (lempungan).
f. Meningkatkan KPK (Kapasitas Pertukaran Kation ) sehingga kemampuan mengikat kation menjadi lebih
tinggi, akibatnya apabila dipupuk dengan dosis tinggi hara tanaman tidak mudah tercuci.
g. Memperbaiki kehidupan biologi tanah (baik hewan tingkat tinggi maupun tingkat rendah ) menjadi lebih baik
karena ketersediaan makan lebih terjamin.
h. Dapat meningkatkan daya sangga (buffering capasity) terhadap goncangan perubahan drastis sifat tanah.
i. Mengandung mikrobia dalam jumlah cukup yang berperanan dalam proses dekomposisi bahan organik.
Sedangkan sifat yang kurang baik dari pupuk organik adalah:
a. Bahan organik yang mempunyai C/N masih tinggi berarti masih mentah. Kompos yang belum matang (C/N
tinggi) dianggap merugikan, karena bila diberikan langsung ke dalam tanah maka bahan organik diserang
oleh mikrobia (bakteri maupun fungi) untuk memperoleh enersi. Sehingga populasi mikrobia yang tinggi
memerlukan juga hara tanaman untuk tumbuhan dan kembang biak. Hara yang seharusnya digunakan
oleh tanaman berubah digunakan oleh mikrobia. Dengan kata lain mikrobia bersaing dengan tanaman
untuk memperebutkan hara yang ada. Hara menjadi tidak tersedia (unavailable) karena berubah dari
senyawa anorganik menjadi senyawa organik jaringan mikrobia, hal ini disebut immobilisasi hara.
Terjadinya immobilisasi hara tanaman bahkan sering menimbulkan adanya gejala defisiensi. Makin banyak
bahan organik mentah diberikan ke dalam tanah makin tinggi populasi yang menyerangnya, makin banyak
hara yang mengalami immobilisasi. Walaupun demikian nantinya bila mikrobia mati akan mengalami
dekomposisi hara yang immobil tersebut berubah menjadi tersedia lagi. Jadi immobilasasi merupakan
pengikatan hara tersedia menjadi tidak tersedia dalam jangka waktu relatif tidak terlalu lama
b. Bahan organik yang berasal dari sampah kota atau limbah industri sering mengandung mikrobia patogen
dan logam berat yang berpengaruh buruk bagi tanaman, hewan dan manusia.

< Prev
 

BAHAN AJAR

MEMBUAT PUPUK ORGANIK


.

DI SUSUN
OLEH
ULYA AZIZAH SULAM, SP.

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN


HORTIKULTURA
SMKN 1 WOJA

Mari membuat kompos skala rumah tangga


Salah satu dari pola hidup hijau yang dapat kita laksanakan adalah mengelola sampah organic rumah tangga,
dengan membuatnya menjadi kompos.

Kompos adalah pupuk yang dibuat dari sampah organic organic.


Pembuatannya tidak terlalu rumit, tidak memerlukan tempat luas dan tidak memerlukan banyak peralatan dan
biaya. Hanya memerlukan persiapan pendahuluan, sesudah itu kalau sudah rutin, tidak merepotkan bahkan
selain mengurangi masalah pembuangan sampah, kompos yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sendiri, tidak
perlu membeli.

Kompos berguna untuk memperbaiki struktur tanah, zat makanan yang diperlukan tumbuhan akan tersedia.
Mikroba yang ada dalam kompos akan membantu penyerapan zat makanan yang dibutuhkan tanaman. Tanah
akan menjadi lebih gembur. Tanaman yang dipupuk dengan kompos akan tumbuh lebih baik. Hasilnya bunga-
bunga berkembang, halaman menjadi asri dan teduh. Hawa menjadi segar karena oksigen yang dihasilkan oleh
tumbuhan.

Bagaimana Kompos Terjadi

Sampah organic secara alami akan mengalami peruraian oleh berbagai jenis mikroba, binatang yang hidup di
tanah, enzim dan jamur. Proses peruraian ini memerlukan kondisi tertentu, yaitu suhu, udara dan kelembaban.
Makin cocok kondisinya, makin cepat pembentukan kompos, dalam 4 – 6 minggu sudah jadi. Apabila sampah
organic ditimbun saja, baru berbulan-bulan kemudian menjadi kompos. Dalam proses pengomposan akan
timbul panas krn aktivitas mikroba. Ini pertanda mikroba mengunyah bahan organic dan merubahnya menjadi
kompos. Suhu optimal untk pengomposan dan harus dipertahankan adalah 45-65C.Jika terlalu panas harus
dibolak-balik, setidak-tidaknya setiap 7 hari.

Peralatan

Di dalam rumah ( ruang keluarga, kamar makan ) dan di depan dapur disediakan 2 tempat sampah yang berbeda
warna untuk sampah organic dan sampah non-organic. Diperlukan bak plastic atau drum bekas untuk
pembuatan kompos. Di bagian dasarnya diberi beberapa lubang untuk mengeluarkan kelebihan air. Untuk
menjaga kelembaban bagian atas dapat ditutup dengan karung goni atau anyaman bambu. Dasar bak
pengomposan dapat tanah atau paving block, sehingga kelebihan air dapat merembes ke bawah. Bak
pengomposan tidak boleh kena air hujan, harus di bawah atap.

Cara Pengomposan

- Campur 1 bagian sampah hijau dan 1 bagian sampah coklat.


- Tambahkan 1 bagian kompos lama atau lapisan tanah atas (top soil) dan dicampur. Tanah atau kompos ini
mengandung mikroba aktif yang akan bekerja mengolah sampah menjadi kompos. Jika ada kotoran ternak
( ayam atau sapi ) dapat pula dicampurkan .
- Pembuatan bisa sekaligus, atau selapis demi selapis misalnya setiap 2 hari ditambah sampah baru. Setiap 7
hari diaduk.
- Pengomposan selesai jika campuran menjadi kehitaman, dan tidak berbau sampah. Pada minggu ke-1 dan ke-2
mikroba mulai bekerja menguraikan membuat kompos, sehingga suhu menjadi sekitar 40C. Pada minggu ke-5
dan ke-6 suhu kembali normal, kompos sudah jadi.
- Jika perlu diayak untuk memisahkan bagian yang kasar. Kompos yang kasar bisa dicampurkan ke dalam bak
pengomposan sebagai activator.

Keberhasilan pengomposan terletak pada bagaimana kita dapat mengendalikan suhu, kelembaban dan oksigen,
agar mikroba dapat memperoleh lingkungan yang optimal untuk berkembang biak, ialah makanan cukup (bahan
organic), kelembaban (30-50%) dan udara segar (oksigen) untuk dapat bernapas.
Sampah organic sebaiknya dicacah menjadi potongan kecil. Untuk mempercepat pengomposan, dapat
ditambahkan bio-activator berupa larutan effective microorganism (EM) yang dapat dibeli di toko pertanian.

Penutup

Apabila setiap rumah tangga melakukan pemilahan sampahnya: yang organic dijadikan kompos, yang non-
organik disedekahkan kepada pemulung, maka pemerintah tinggal mengelola sisanya yang 10% saja,yang tidak
dapat didaur ulang. Alangkah senangnya pemulung, kalau penghuni rumah sudah memilah sampahnya,
sehingga mereka tinggal mengambil kertas, plastic dsb. yang tidak dikotori sisa makanan, tanpa mengobrak-
abrik bak sampah (maaf) berebutan dengan anjing dan kucing. Jam kerjanya akan lebih pendek, uang yang
diperoleh akan lebih banyak.
Pembuatan kompos ini dapat pula dilakukan secara kolektif, apabila keadaan tidak memungkinkan. Misalnya
perumahan padat penduduk, atau apartemen. Pengelolaannya dapat diserahkan kepada RW atau pihak swasta.
Namun masing-masing rumah tangga tetap harus melakukan pemilahan sampahnya. Sehingga tidak perlu lagi
ada TPA yang memerlukan tanah luas dan menimbulkan masalah pencemaran, bahaya longsor, pendangkalan
sungai, penyakit dsb.

Marilah…..kita menjadi pelopor, penggerak keluarga dan masyarakat di sekitar kita.


Selain ikut memelihara lingkungan hidup, juga beribadah.
Mulailah dari yang kecil.
Mulailah dari diri sendiri.
Mulailah sekarang juga.

Bahan Organik
Pengertian

Bahan organik merupakan bahan-bahan yang dapat diperbaharui, didaur


ulang, dirombak oleh bakteri-bakteri tanah menjadi unsur yang dapat
digunakan oleh tanaman tanpa mencemari tanah dan air. Bahan organik
tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan binatang yang
sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Bahan
organik demikian berada dalam pelapukan aktif dan menjadi mangsa
serangan jasad mikro. Sebagai akibatnya bahan tersebut berubah terus
dan tidak mantap sehingga harus selalu diperbaharui melalui penambahan
sisa-sisa tanaman atau binatang.
Sumber Bahan Organik
Sumber primer bahan organik adalah jaringan tanaman berupa akar, batang, ranting, daun, dan buah. Bahan
organik dihasilkan oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis sehingga unsur karbon merupakan penyusun
utama dari bahan organik tersebut. Unsur karbon ini berada dalam bentuk senyawa-senyawa polisakarida,
seperti selulosa, hemiselulosa, pati, dan bahan- bahan pektin dan lignin. Selain itu nitrogen merupakan unsur
yang paling banyak terakumulasi dalam bahan organik karena merupakan unsur yang penting dalam sel
mikroba yang terlibat dalam proses perombakan bahan organik tanah. Jaringan tanaman ini akan mengalami
dekomposisi dan akan terangkut ke lapisan bawah serta diinkorporasikan dengan tanah. Tumbuhan tidak saja
sumber bahan organik, tetapi sumber bahan organik dari seluruh makhluk hidup.
Sumber sekunder bahan organik adalah fauna. Fauna terlebih dahulu harus menggunakan bahan organik
tanaman setelah itu barulah menyumbangkan pula bahan organik. Bahan organik tanah selain dapat berasal
dari jaringan asli juga dapat berasal dari bagian batuan.

Perbedaan sumber bahan organik tanah tersebut akan memberikan perbedaan pengaruh yang
disumbangkannya ke dalam tanah. Hal itu berkaitan erat dengan komposisi atau susunan dari bahan organik
tersebut. Kandungan bahan organik dalam setiap jenis tanah tidak sama. Hal ini tergantung dari beberapa hal
yaitu; tipe vegetasi yang ada di daerah tersebut, populasi mikroba tanah, keadaan drainase tanah, curah
hujan, suhu, dan pengelolaan tanah. Komposisi atau susunan jaringan tumbuhan akan jauh berbeda dengan
jaringan binatang. Pada umumnya jaringan binatang akan lebih cepat hancur daripada jaringan tumbuhan.
Jaringan tumbuhan sebagian besar tersusun dari air yang beragam dari 60-90% dan rata-rata sekitar 75%.
Bagian padatan sekitar 25% dari hidrat arang 60%, protein 10%, lignin 10-30% dan lemak 1-8%. Ditinjau dari
susunan unsur karbon merupakan bagian yang terbesar (44%) disusul oleh oksigen (40%), hidrogen dan abu
masing-masing sekitar 8%. Susunan abu itu sendiri terdiri dari seluruh unsur hara yang diserap dan diperlukan
tanaman kecuali C, H dan O.
Humus

Humus merupakan salah satu bentuk bahan organik. Jaringan asli berupa tubuh tumbuhan atau fauna baru
yang belum lapuk terus menerus mengalami serangan-serangan jasad mikro yang menggunakannya sebagai
sumber energinya dan bahan bangunan tubuhnya. Hasil pelapukan bahan asli yang dilakukan oleh jasad
mikro disebut humus.Humus biasanya berwarna gelap dan dijumpai terutama pada lapisan tanah atas.
Definisi humus yaitu fraksi bahan organik tanah yang kurang lebih stabil, sisa dari sebagian besar residu
tanaman serta binatang yang telah terdekomposisikan.
Humus merupakan bentuk bahan organik yang lebih stabil, dalam bentuk inilah bahan organik banyak
terakumulasi dalam tanah. Humus memiliki kontribusi terbesar terhadap durabilitas dan kesuburan tanah.
Humuslah yang aktif dan bersifat menyerupai liat, yaitu bermuatan negatif. Tetapi tidak seperti liat yang
kebanyakan kristalin, humus selalu amorf (tidak beraturan bentuknya).
Humus merupakan senyawa rumit yang agak tahan lapuk (resisten), berwarna coklat, amorf, bersifat koloidal
dan berasal dari jaringan tumbuhan atau hewan yang telah diubah atau dibentuk oleh berbagai jasad mikro.
Humus tidaklah resisten sama sekali terhadap kerja bakteri. Mereka tidak stabil terutama apabial terjadi
perubahan regim suhu, kelembapan dan aerasi.Adanya humus pada tanah sangat membantu mengurangi
pengaruh buruk liat terhadap struktur tanah, dalam hal ini humus merangsang granulasi agregat tanah.
Kemampuan humus menahan air dan ion hara melebihi kemampuan liat. Tinggi daya menahan (menyimpan)
unsur hara adalah akibat tingginya kapasitas tukar kation dari humus, karena humus mempunyai beberapa
gugus yang aktif terutama gugus karboksil. Dengan sifat demikian keberadaan humus dalam tanah akan
membantu meningkatkan produktivitas tanah.
Sifat dan Ciri Humus
· Bersifat koloidal seperti liat tetapi amorfous.
· Luas permukaan dan daya jerap jauh melebihi liat.
· Kapasitas tukar kation 150-300 me/100 g, liat hanya 8-100 me/100 g.
· Daya jerap air 80-90% dari bobotnya, liat hanya 15-20%.
· Daya kohesi dan plastisitasnya rendah sehingga mengurangi sifat lekat dari liat dan membantu granulasi
agregat tanah.
· Misel humus tersusun dari lignin, poliuronida, dan protein liat yang didampingi oleh C, H, O, N, S, P dan
unsur lainnya.
· Muatan negatif berasal dari gugus -COOH dan -OH yang tersembul di pinggiran dimana ion H dapat
digantikan oleh kation lain.
· Mempunyai kemampuan meningkatkan unsur hara tersedia seperti Ca, Mg, dan K.
1. Merupakan sumber energi jasad mikro.
2. Memberikan warna gelap pada tanah.
Faktor yang Mempengaruhi Bahan Organik Tanah
Diantara sekian banyak faktor yang mempengaruhi kadar bahan organik dan nitrogen tanah, faktor yang
penting adalah kedalaman tanah, iklim, tekstur tanah dan drainase.
Kedalaman lapisan menentukan kadar bahan organik dan N. Kadar bahan organik terbanyak ditemukan di
lapisan atas setebal 20 cm (15-20%). Semakin ke bawah kadar bahan organik semakin berkurang. Hal itu
disebabkan akumulasi bahan organik memang terkonsentrasi di lapisan atas.
Faktor iklim yang berpengaruh adalah suhu dan curah hujan. Makin ke daerah dingin, kadar bahan organik
dan N makin tinggi. Pada kondisi yang sama kadar bahan organik dan N bertambah 2 hingga 3 kali tiap suhu
tahunan rata-rata turun 100C. bila kelembaban efektif meningkat, kadar bahan organik dan N juga bertambah.
Hal itu menunjukkan suatu hambatan kegiatan organisme tanah.
Tekstur tanah juga cukup berperan, makin tinggi jumlah liat maka makin tinggi kadar bahan organik dan N
tanah, bila kondisi lainnya sama. Tanah berpasir memungkinkan oksidasi yang baik sehingga bahan organik
cepat habis.
Pada tanah dengan drainase buruk, dimana air berlebih, oksidasi terhambat karena kondisi aerasi yang buruk.
Hal ini menyebabkan kadar bahan organik dan N tinggi daripada tanah berdrainase baik. Disamping itu
vegetasi penutup tanah dan adanya kapur dalam tanah juga mempengaruhi kadar bahan organik tanah.
Vegetasi hutan akan berbeda dengan padang rumput dan tanah pertanian. Faktor-faktor ini saling berkaitan,
sehingga sukar menilainya sendiri (Hakim et al, 1986).
Peranan Bahan Organik Bagi Tanah
Bahan organik berperan penting untuk menciptakan kesuburan tanah. Peranan bahan organik bagi tanah
adalah dalam kaitannya dengan perubahan sifat-sifat tanah, yaitu sifat fisik, biologis, dan sifat kimia tanah.
Bahan organik merupakan pembentuk granulasi dalam tanah dan sangat penting dalam pembentukan agregat
tanah yang stabil. Bahan organik adalah bahan pemantap agregat tanah yang tiada taranya. Melalui
penambahan bahan organik, tanah yang tadinya berat menjadi berstruktur remah yang relatif lebih ringan.
Pergerakan air secara vertikal atau infiltrasi dapat diperbaiki dan tanah dapat menyerap air lebih cepat
sehingga aliran permukaan dan erosi diperkecil. Demikian pula dengan aerasi tanah yang menjadi lebih baik
karena ruang pori tanah (porositas) bertambah akibat terbentuknya agregat.
Bahan organik umumnya ditemukan dipermukaan tanah. Jumlahnya tidak besar, hanya sekitar 3-5% tetapi
pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah besar sekali. Sekitar setengah dari kapasitas tukar kation berasal dari
bahan organik. Ia merupakan sumber hara tanaman. Disamping itu bahan organik adalah sumber energi bagi
sebagian besar organisme tanah. Dalam memainkan peranan tersebut bahan organik sangat ditentukan oleh
sumber dan susunannya, oleh karena kelancaran dekomposisinya, serta hasil dari dekomposisi itu sendiri.
Pengaruh Bahan Organik pada Sifat Fisika Tanah
· Meningkatkan kemampuan tanah menahan air. Hal ini dapat dikaitkan dengan sifat polaritas air yang
bermuatan negatif dan positif yang selanjutnya berkaitan dengan partikel tanah dan bahan organik. Air
tanah mempengaruhi mikroorganisme tanah dan tanaman di atasnya. Kadar air optimal bagi tanaman
dan mikroorganisme adalah 0,5 bar/ atmosfer.
· Warna tanah menjadi coklat hingga hitam. Hal ini meningkatkan penyerapan energi radiasi matahari yang
kemudian mempengaruhi suhu tanah.
· Merangsang granulasi agregat dan memantapkannya
· Menurunkan plastisitas, kohesi dan sifat buruk lainnya dari liat.
Salah satu peran bahan organik yaitu sebagai granulator, yaitu memperbaiki struktur tanah. Menurut Arsyad
(1989) peranan bahan organik dalam pembentukan agregat yang stabil terjadi karena mudahnya tanah
membentuk kompleks dengan bahan organik. Hai ini berlangsung melalui mekanisme:
· Penambahan bahan organik dapat meningkatkan populasi mikroorganisme tanah, diantaranya jamur dan
cendawan, karena bahan organik digunakan oleh mikroorganisme tanah sebagai penyusun tubuh dan
sumber energinya. Miselia atau hifa cendawan tersebut mampu menyatukan butir tanah menjadi
agregat, sedangkan bakteri berfungsi seperti semen yang menyatukan agregat.
· Peningkatan secara fisik butir-butir prima oleh miselia jamur dan aktinomisetes. Dengan cara ini
pembentukan struktur tanpa adanya fraksi liat dapat terjadi dalam tanah.
· Peningkatan secara kimia butir-butir liat melalui ikatan bagian-bagian pada senyawa organik yang
berbentuk rantai panjang.
· Peningkatan secara kimia butir-butir liat melalui ikatan antar bagian negatif liat dengan bagian negatif
(karbosil) dari senyawa organik dengan perantara basa dan ikatan hidrogen.
· Peningkatan secara kimia butir-butir liat melalui ikatan antara bagian negatif liat dan bagian positf dari
senyawa organik berbentuk rantai polimer.
Pengaruh Bahan Organik pada Sifat Kimia Tanah
Meningkatkan daya jerap dan kapasitas tukar kation (KTK). Sekitar setengah dari kapasitas tukar kation (KTK)
tanah berasal dari bahan organik. Bahan organik dapat meningkatkan kapasitas tukar kation dua sampai tiga
puluh kali lebih besar daripada koloid mineral yang meliputi 30 sampai 90% dari tenaga jerap suatu tanah
mineral. Peningkatan KTK akibat penambahan bahan organik dikarenakan pelapukan bahan organik akan
menghasilkan humus (koloid organik) yang mempunyai permukaan dapat menahan unsur hara dan air
sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian bahan organik dapat menyimpan pupuk dan air yang diberikan di
dalam tanah. Peningkatan KTK menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur- unsur hara.
Unsur N,P,S diikat dalam bentuk organik atau dalam tubuh mikroorganisme, sehingga terhindar dari
pencucian, kemudian tersedia kembali. Berbeda dengan pupuk komersil dimana biasanya ditambahkan dalam
jumlah yang banyak karena sangat larut air sehingga pada periode hujan terjadi kehilangan yang sangat
tinggi, nutrien yang tersimpan dalam residu organik tidak larut dalam air sehingga dilepaskan oleh proses
mikrobiologis. Kehilangan karena pencucian tidak seserius seperti yang terjadi pada pupuk komersil. Sebagai
hasilnya kandungan nitrogen tersedia stabil pada level intermediet dan mengurangi bahaya kekurangan dan
kelebihan. Bahan organik berperan sebagai penambah hara N, P, K bagi tanaman dari hasil mineralisasi oleh
mikroorganisme. Mineralisasi merupakan lawan kata dari immobilisasi. Mineralisasi merupakan transformasi
oleh mikroorganisme dari sebuah unsur pada bahan organik menjadi anorganik, seperti nitrogen pada protein
menjadi amonium atau nitrit. Melalui mineralisasi, unsur hara menjadi tersedia bagi tanaman.
Meningkatkan kation yang mudah dipertukarkan dan pelarutan sejumlah unsur hara dari mineral oleh asam
humus. Bahan organik dapat menjaga keberlangsungan suplai dan ketersediaan hara dengan adanya kation
yang mudah dipertukarkan. Nitrogen, fosfor dan belerang diikat dalam bentuk organik dan asam humus hasil
dekomposisi bahan organik akan mengekstraksi unsur hara dari batuan mineral. Mempengaruhi kemasaman
atau pH. Penambahan bahan organik dapat meningkatkan atau malah menurunkan pH tanah, hal ini
bergantung pada jenis tanah dan bahan organik yang ditambahkan. Penurunan pH tanah akibat penambahan
bahan organik dapat terjadi karena dekomposisi bahan organik yang banyak menghasilkan asam-asam
dominan. Sedangkan kenaikan pH akibat penambahan bahan organik yang terjadi pada tanah masam dimana
kandungan aluminium tanah tinggi , terjadi karena bahan organik mengikat Al sebagai senyawa kompleks
sehingga tidak terhidrolisis lagi .
Peranan bahan organik terhadap perbaikan sifat kimia tanah tidak terlepas dalam kaitannya dengan
dekomposisi bahan organik, karena pada proses ini terjadi perubahan terhadap komposisi kimia bahan
organik dari senyawa yang kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana. Proses yang terjadi dalam
dekomposisi yaitu perombakan sisa tanaman atau hewan oleh miroorganisme tanah atau enzim-enzim
lainnya, peningkatan biomassa organisme, dan akumulasi serta pelepasan akhir. Akumulasi residu tanaman
dan hewan sebagai bahan organik dalam tanah antara lain terdiri dari karbohidrat, lignin, tanin, lemak, minyak,
lilin, resin, senyawa N, pigmen dan mineral, sehingga hal ini dapat menambahkan unsur-unsur hara dalam
tanah.
Pengaruh Bahan Organik pada Sifat Biologi Tanah
Jumlah dan aktivitas metabolik organisme tanah meningkat. Secara umum, pemberian bahan organik dapat
meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme. Bahan organik merupakan sumber energi dan
bahan makanan bagi mikroorganisme yang hidup di dalam tanah. Mikroorganisme tanah saling berinteraksi
dengan kebutuhannya akan bahan organik karena bahan organik menyediakan karbon sebagai sumber energi
untuk tumbuh.

Kegiatan jasad mikro dalam membantu dekomposisi bahan organik meningkat. Bahan organik segar yang
ditambahkan ke dalam tanah akan dicerna oleh berbagai jasad renik yang ada dalam tanah dan selanjutnya
didekomposisisi jika faktor lingkungan mendukung terjadinya proses tersebut. Dekomposisi berarti
perombakan yang dilakukan oleh sejumlah mikroorganisme (unsur biologi dalam tanah) dari senyawa
kompleks menjadi senyawa sederhana. Hasil dekomposisi berupa senyawa lebih stabil yang disebut humus.
Makin banyak bahan organik maka makin banyak pula populasi jasad mikro dalam tanah.
Peranan Bahan Organik Bagi Tanaman
Bahan organik memainkan beberapa peranan penting di tanah. Sebab bahan organik berasal dari tanaman
yang tertinggal, berisi unsur-unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Bahan organik
mempengaruhi struktur tanah dan cenderung untuk menjaga menaikkan kondisi fisik yang diinginkan. Peranan
bahan organik ada yang bersifat langsung terhadap tanaman, tetapi sebagian besar mempengaruhi tanaman
melalui perubahan sifat dan ciri tanah.
Pengaruh Langsung Bahan Organik pada Tanaman
Melalui penelitian ditemukan bahwa beberapa zat tumbuh dan vitamin dapat diserap langsung dari bahan
organik dan dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Dulu dianggap orang bahwa hanya asam amino,
alanin, dan glisin yang diserap tanaman. Serapan senyawa N tersebut ternyata relatif rendah daripada bentuk
N lainnya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa bahan organik mengandung sejumlah zat tumbuh dan vitamin
serta pada waktu-waktu tertentu dapat merangsang pertumbuhan tanaman dan jasad mikro.
Bahan organik ini merupakan sumber nutrien inorganik bagi tanaman. Jadi tingkat pertumbuhan tanaman
untuk periode yang lama sebanding dengan suplai nutrien organik dan inorganik. Hal ini mengindikasikan
bahwa peranan langsung utama bahan organik adalah untuk menyuplai nutrien bagi tanaman. Penambahan
bahan organik kedalam tanah akan menambahkan unsur hara baik makro maupun mikro yang dibutuhkan
oleh tumbuhan, sehingga pemupukan dengan pupuk anorganik yang biasa dilakukan oleh para petani dapat
dikurangi kuantitasnya karena tumbuhan sudah mendapatkan unsur-unsur hara dari bahan organik yang
ditambahkan kedalam tanah tersebut. Efisiensi nutrisi tanaman meningkat apabila pememukaan tanah
dilindungi dengan bahan organik.

Pengaruh Tidak Langsung Bahan Organik pada Tanaman


Sumbangan bahan organik terhadap pertumbuhan tanaman merupakan pengaruhnya terhadap sifat-sifat fisik,
kimia dan biologis dari tanah. Bahan organik tanah mempengaruhi sebagian besar proses fisika, biologi dan
kimia dalam tanah. Bahan organik memiliki peranan kimia di dalam menyediakan N, P dan S untuk tanaman
peranan biologis di dalam mempengaruhi aktifitas organisme mikroflora dan mikrofauna, serta peranan fisik di
dalam memperbaiki struktur tanah dan lainnya.
Hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang tumbuh di tanah tersebut. Besarnya pengaruh ini
bervariasi tergantung perubahan pada setiap faktor utama lingkungan. Sehubungan dengan hasil-hasil
dekomposisi bahan organik dan sifat-sifat humus maka dapat dikatakan bahwa bahan organik akan sangat
mempengaruhi sifat dan ciri tanah. Peranan tidak langsung bahan organik bagi tanaman meliputi :
· Meningkatkan ketersediaan air bagi tanaman. Bahan organik dapat meningkatkan kemampuan tanah
menahan air karena bahan organik, terutama yang telah menjadi humus dengan ratio C/N 20 dan
kadar C 57% dapat menyerap air 2-4 kali lipat dari bobotnya. Karena kandungan air tersebut, maka
bahan organik terutama yang sudah menjadi humus dapat menjadi penyangga bagi ketersediaan air.
· Membentuk kompleks dengan unsur mikro sehingga melindungi unsur-unsur tersebut dari pencucian.
Unsur N,P,S diikat dalam bentuk organik atau dalam tubuh mikroorganisme, sehingga terhindar dari
pencucian, kemudian tersedia kembali.
· Meningkatkan kapasitas tukar kation tanah Peningkatan KTK menambah kemampuan tanah untuk
menahan unsur- unsur hara.
· Memperbaiki struktur tanah Tanah yang mengandung bahan organik berstruktur gembur, dan apabila
dicampurkan dengan bahan mineral akan memberikan struktur remah dan mudah untuk dilakukan
pengolahan. Struktur tanah yang demikian merupakan sifat fisik tanah yang baik untuk media
pertumbuhan tanaman. Tanah yang bertekstur liat, pasir, atau gumpal akan memberikan sifat fisik
yang lebih baik bila tercampur dengan bahan organik.
· Mengurangi erosi
· Memperbaiki agregasi tanah. Bahan organik merupakan pembentuk granulasi dalam tanah dan sangat
penting dalam pembentukan agregat tanah yang stabil. Bahan organik adalah bahan pemantap
agregat tanah yang tiada taranya. Melalui penambahan bahan organik, tanah yang tadinya berat
menjadi berstruktur remah yang relatif lebih ringan. Pergerakan air secara vertikal atau infiltrasi dapat
diperbaiki dan tanah dapat menyerap air lebih cepat sehingga aliran permukaan dan erosi diperkecil.
Demikian pula dengan aerasi tanah yang menjadi lebih baik karena ruang pori tanah (porositas)
bertambah akibat terbentuknya agregat.
· Menstabilkan temperatur. Bahan organik dapat menyerap panas tinggi dan dapat juga menjadi isolator
panas karena mempunyai daya hantar panas yang rendah, sehingga temperatur optimum yang
dibutuhkan oleh tumbuhan untuk pertumbuhannya dapat terpenuhi dengan baik.
· Meningkatkan efisiensi pemupukan
Secara umum, pemberian bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Demikian
pula dengan peranannya dalam menanggulangi erosi dan produktivitas lahan. Penambahan bahan organik
akan lebih baik jika diiringi dengan pola penanaman yang sesuai, misalnya dengan pola tanaman sela pada
sistem tumpangsari. Pengelolaan tanah atau lahan yang sesuai akan mendukung terciptanya suatu
konservasi bagi tanah dan air serta memberikan keuntungan tersendiri bagi manusia.

Macam-macam bahan organik


Jenis tanaman pupuk hijau yang sering digunakan untuk pembuatan pupuk cair misalnya daun johar, gamal,
dan lamtorogun
 
MULSA (PENUTUP TANAH)

M
Membuat Pupuk Cair Organik
Bahan dan Alat:

1 liter bakteri
5 kg hijau-hijauan/daun-daun segar (bukan sisa dan jangan menggunakan daun dari pohon yang bergetah
berbahaya seperti karet, pinus, damar, nimba, dan yang sulit lapuk seperti jato, bambu, dan lain-lainnya)
0,5 kg terasi dicairkan dengan air secukupnya
1 kg gula pasir/merah/tetes tebu (pilih salah satu) dan dicairkan dengan air
30 kg kotoran hewan
Air secukupnya
Ember/gentong/drum yang dapat ditutup rapat

Cara Pembuatan:

Kotoran hewan dan daun-daun hijau dimasukkan ke dalam ember.


Cairan gula dan terasi dimasukkan ke dalam ember.
Larutkan bakteri ke dalam air dan dimasukkan ke dalam drum, kemudian ditutup rapat.
Setelah 8-10 hari, pembiakan bakteri sudah selesai dan drum sudah dapat dibuka.
Saring dan masukkan ke dalam wadah yang bersih (botol) untuk disimpan/digunakan.
Ampas sisa saringan masih mengandung bakteri, sisakan sekitar 1 sampai 2 liter, tambahkan air, terasi, dan gula
dengan perbandingan yang sama. Setelah 8-10 hari kemudian bakteri sudah berkembang biak lagi dan siap
digunakan. Demikian seterusnya.

Kegunaan:

Membuat Pupuk Cair Organik


Bahan dan Alat:

1 liter bakteri
5 kg hijau-hijauan/daun-daun segar (bukan sisa dan jangan menggunakan daun dari pohon yang bergetah
berbahaya seperti karet, pinus, damar, nimba, dan yang sulit lapuk seperti jato, bambu, dan lain-lainnya)
0,5 kg terasi dicairkan dengan air secukupnya
1 kg gula pasir/merah/tetes tebu (pilih salah satu) dan dicairkan dengan air
30 kg kotoran hewan
Air secukupnya
Ember/gentong/drum yang dapat ditutup rapat

Cara Pembuatan:

Kotoran hewan dan daun-daun hijau dimasukkan ke dalam ember.


Cairan gula dan terasi dimasukkan ke dalam ember.
Larutkan bakteri ke dalam air dan dimasukkan ke dalam drum, kemudian ditutup rapat.
Setelah 8-10 hari, pembiakan bakteri sudah selesai dan drum sudah dapat dibuka.
Saring dan masukkan ke dalam wadah yang bersih (botol) untuk disimpan/digunakan.
Ampas sisa saringan masih mengandung bakteri, sisakan sekitar 1 sampai 2 liter, tambahkan air, terasi, dan gula
dengan perbandingan yang sama. Setelah 8-10 hari kemudian bakteri sudah berkembang biak lagi dan siap
digunakan. Demikian seterusnya.

Kegunaan:

Mempercepat pengomposan dari 3-4 bulan menjadi 30-40 hari.


Dapat digunakan langsung sebagai pupuk semprot, apabila tanah sudah diberi kompos (subur), tetapi apabila
tanah kurang subur/tandus, penggunaan langsung sebagai pupuk tidak dianjurkan.
Pupuk cair (larutan bakteri) ini tidak diperbolehkan untuk dicampur dengan bakteri lain, terutama bahan kimia
atau bahan untuk pestisida lainnya seperti tembakau.

 
Standarisasi Pembuatan Kompos
Dengan mengetahui bahwa kualitas kompos sangat dipengaruhi oleh proses pengolahan, sedangkan proses
pengolahan kompos sendiri sangat dipengaruhi oleh kelembaban dan perbandingan C dan N bahan baku, maka
untuk menentukan standarisasi kompos adalah dengan membuat standarisasi proses pembuatan kompos serta
standarisasi bahan baku kompos, sehingga diperoleh kompos yang memiliki standar tertentu. 
Setelah standar campuran bahan baku kompos dapat dipenuhi yaitu kelembaban ideal 50 – 60 persen dan
mempunyai perbandingan C / N bahan baku 30 : 1, masih terdapat hal lain yang harus sangat diperhatikan
selama proses pembuatan kompos itu berlangsung, yaitu harus dilakukan pengawasan terhadap:
1. Temperatur
2. Kelembaban
3. Odor atau Aroma, dan
4. pH
Pengamatan Temperatur
Temperatur adalah salah satu indikator kunci di dalam pembuatan kompos.  Apakah panasnya naik ?  Sampai
temperatur berapa panas yang dapat dicapai ?  Dalam berapa lama panas tersebut dapat dicapai ?  Berapa lama
panas tersebut dapat berlangsung ?  Apa arti dari keadaan-keadaan tersebut ? Campuran bahan-bahan seperti
apa yang dapat mempengaruhi profil temperatur ?
Baca selengkapnya...
Standarisasi Pembuatan Kompos
Dengan mengetahui bahwa kualitas kompos sangat dipengaruhi oleh proses pengolahan, sedangkan proses
pengolahan kompos sendiri sangat dipengaruhi oleh kelembaban dan perbandingan C dan N bahan baku, maka
untuk menentukan standarisasi kompos adalah dengan membuat standarisasi proses pembuatan kompos serta
standarisasi bahan baku kompos, sehingga diperoleh kompos yang memiliki standar tertentu. 
Setelah standar campuran bahan baku kompos dapat dipenuhi yaitu kelembaban ideal 50 – 60 persen dan
mempunyai perbandingan C / N bahan baku 30 : 1, masih terdapat hal lain yang harus sangat diperhatikan
selama proses pembuatan kompos itu berlangsung, yaitu harus dilakukan pengawasan terhadap:
1. Temperatur
2. Kelembaban
3. Odor atau Aroma, dan
4. pH
Pengamatan Temperatur
Temperatur adalah salah satu indikator kunci di dalam pembuatan kompos.  Apakah panasnya naik ?  Sampai
temperatur berapa panas yang dapat dicapai ?  Dalam berapa lama panas tersebut dapat dicapai ?  Berapa lama
panas tersebut dapat berlangsung ?  Apa arti dari keadaan-keadaan tersebut ? Campuran bahan-bahan seperti
apa yang dapat mempengaruhi profil temperatur ?
Panas ditimbulkan sebagai suatu hasil sampingan  proses yang dilakukan oleh mikroba untuk mengurai bahan
organik.  Temperatur ini dapat digunakan untuk mengukur seberapa baik sistim pengomposan ini bekerja, 
disamping itu juga dapat diketahui sejauh mana dekomposisi telah berjalan.  Sebagai ilustrasi,  jika kompos
naik sampai temperatur 40°C – 50°C, maka dapat disimpulkan bahwa campuran bahan baku kompos cukup
mengandung bahan Nitrogen dan Carbon  dan cukup mengandung air (kelembabannya cukup) untuk
menunjang pertumbuhan microorganisme.  Pengamatan temperatur harus dilakukan dengan menggunakan alat
uji temperatur yang  dapat mencapai jauh ke dalam tumpukan kompos.  Tunggu sampai beberapa saat sampai
temperatur stabil. Kemudian lakukan lagi di  tempat yang berbeda.   Lakukanlah pengamatan tersebut di
beberapa lokasi, termasuk pada berbagai kedalaman dari tumpukkan kompos.  Kompos dapat memiliki
kantong-kantong  yang lebih panas dan ada kantong-kantong yang dingin.  Semuanya sangat bergantung
kepada kandungan uap air (kelembaban) dan komposisi kimia bahan baku kompos.  Maka akan diperoleh peta
gradient temperatur.  Dengan menggambarkan grafik temperatur dan lokasi-lokasinya sejalan dengan
bertambahnya waktu, maka dapat dijelaskan:
1. Sudah berapa jauh proses dekomposisi berjalan
2. Seberapa baik komposisi campuran bahan baku tersebut
3. Seberapa rata campuran tersebut dan  dibagian mana campuran tidak rata
4. Dibagian mana sirkulasi udara berjalan normal dan dibagian mana kurang normal.
Dari informasi  diatas, maka dapat diambil keputusan langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk
mencapai hasil akhir dan memperoleh kompos dengan kualitas yang diinginkan. 
Pada proses komposting yang baik, maka temperatur 40°C  – 50 0C dapat dicapai dalam 2 – 3 hari.  Kemudian
dalam beberapa hari berikutnya temperatur akan meningkat sampai bahan baku yang didekomposisi oleh
mikroorganisme habis. Dari situ barulah temperatur akan turun. 
Dari beberapa kali proses pembuatan kompos dengan sistim Windrow, dengan memakai campuran bahan baku
kompos terdiri dari kotoran sapi, kotoran ayam, kotoran kambing, dedak dan jerami,  perubahan temperatur
mencapai 40°C – 50 °C dapat dicapai dalam waktu 3 (tiga) hari.  Oleh karena itu pembalikan kompos dilakukan
pada hari ke 4 (empat). 
Setelah pembalikan pertama temperatur akan turun, lalu naik lagi sampai mencapai 55°C – 60°C pada hari ke 6.
Oleh karena itu dilakukan lagi pembalikan ke dua pada hari ke 6 (enam) atau 3 hari setelah pembalikan
pertama, setelah pembalikkan temperatur akan turun dan naik lagi sampai 55°C – 60°C pada hari ke 9
(sembilan).  Pada hari ke 9 (sembilan) ini atau 3 hari setalah pembalikkan ke dua dilakukan lagi pembalikan ke
3 (tiga). 
Apabila komposisi campuran bahan baku tepat, temperatur akan stabil sampai hari ke 12 (dua belas) dan
seterusnya, untuk kemudian turun dan stabil pada temperatur tertentu.
Pada hari ke 14 tumpukan kompos dapat mulai dibuka untuk didinginkan dan kemudian selanjutnya dilakukan
penyaringan dan pengepakan.
Pengamatan Kelembaban
Pembuatan kompos akan berlangsung dengan baik pada satu keadaan campuran bahan baku kompos yang
memiliki kadar uap air antara 40 – 60  persen dari beratnya.  Pada keadaan level uap air yang lebih rendah,
aktivitas mikroorganisme akan terhambat atau berhenti sama sekali.  Pada keadaan level  kelembaban yang
lebih tinggi, maka prosesnya kemungkinan akan anerobik, yang akan menyebabkan timbulnya bau busuk.
Ketika bahan baku kompos dipilih untuk kemudian dicampur, kadar uap air dapat diukur atau diperkirakan.
Setelah proses pembuatan kompos berlangsung, pengukuran kelembaban tidak perlu diulangi,  tetapi dapat
langsung diamati tingkat kecukupan kandungan uap air tersebut.
Apabila proses pembuatan kompos sedang berjalan, lalu kemudian muncul bau busuk, sudah dapat dipastikan
kompos mengandung kadar air berlebihan.  Kelebihan uap air ini telah mengisi ruang pori, sehingga
menghalangi diffusi  oksigen melalui bahan-bahan kompos tersebut. Inilah yang membuat keadaan  menjadi
anaerobik. Pencampuran bahan baku dengan potongan 4 – 10 cm, seperti bahan jerami, potongan kayu, kertas
karton, serbuk gergaji dll dapat mengurangi permasalahan ini.
Apabila melakukan pembuatan kompos dengan memakai sistim aerated static pile ataupun sistim in Vessel,
berhati-hatilah dalam menambahkan udara (oksigen), jangan sampai menyebabkan kompos menjadi kering . 
Indikasinya adalah perhatikan temperatur, jika temperatur menurun lebih cepat dari biasanya, maka ada
kemungkinan kompos terlalu kering.
Pengamatan Odor / Aroma
Jika proses pembuatan kompos berjalan dengan normal, maka tidak boleh menghasilkan bau yang menyengat
(bau busuk).  Walaupun demikian dalam pembuatan kompos tidak akan terbebas sama sekali dari adanya bau. 
Dengan memanfaatkan indra penciuman, dapat dijadikan sebagai alat untuk mendeteksi permasalahan yang
terjadi selama proses pembuatan kompos.
Sebagai gambaran, jika tercium bau amonia, patut diduga campuran bahan kompos kelebihan bahan yang
mengandung unsur Nitrogen (ratio C/N terlalu rendah).  Untuk mengatasinya tambahkanlah bahan-bahan yang
mengandung  C/N tinggi, misalnya berupa:
 Potongan jerami, atau
 Potongan kayu, atau
 Serbuk gergaji, atau
 Potongan kertas koran dan atau karton dll
Jika tercium bau busuk, mungkin campuran kompos terlalu banyak mengandung air.  Apabila ini terjadi,
lakukanlah pembalikan (pada sistim windrow), tambahkan oksigen pada sistim Aerated Static Pile atau In
Vessel.

Pengamatan pH
Pengamatan pH kompos berfungsi sebagai indikator proses dekomposisi kompos. Mikroba kompos akan
bekerja pada keadaan pH netral sampai sedikit masam, dengan kisaran pH antara 5.5 sampai 8.
Selama tahap awal proses dekomposisi, akan terbentuk asam-asam organik. Kondisi asam ini akan mendorong 
pertumbuhan jamur dan akan mendekomposisi lignin dan selulosa pada bahan kompos. Selama proses
pembuatan kompos berlangsung, asam-asam organik tersebut akan menjadi netral dan kompos menjadi matang
biasanya mencapai pH antara 6 – 8.
Jika kondisi anaerobik berkembang  selama proses  pembuatan kompos, asam-asam organik akan menumpuk.
Pemberian udara atau pembalikan kompos  akan mengurangi  kemasaman ini.  Penambahan kapur dalam proses
pembuatan kompos tidak dianjurkan. Pemberian kapur (Kalsium Karbonat, CaCo3) akan menyebabkan
terjadinya kehilangan nitrogen yang berubah menjadi gas Amoniak. Kehilangan ini tidak saja menyebabkan
terjadinya bau, tetapi juga menimbulkan kerugian karena menyebabkan terjadinya kehilangan unsur hara yang
penting, yaitu nitrogen. Nitrogen sudah barang tentu lebih baik disimpan dalam kompos untuk kemudian nanti
digunakan oleh tanaman untuk pertumbuhannya.

Ma
PEMBUATAN KOMPOS DENGAN MORETAN
  o        BAHAN: Sekam 100kg/4 karung (potongan jerami/dedaunan) + kotoran kambing/sapi 100kg + dedak
halus 10 kg + Moretan sekitar 5 liter + air bersih sekitar 100 liter
 o        CARA:
1.      Campur dan aduk merata sekam dan kotoran kambing
2.      Tambahkan dedak dan aduk hingga merata
3.      Larutkan Moretan dalam air, dengan ukuran 1 gelas Moretan per 5 liter air
4.      Siramkan larutan Moretan pada campuran sekam-kotoran-dedak, aduk merata, sampai kondisi
cukup lembab (tidak mengeluarkan air ketika dikepal & tidak buyar/kepyar ketika kepalan
dilepas)
5.      Tumpuk campuran setinggi 0,5 – 1 meter, tutup dengan terpal/plastik, aduk/balik tiga hari sekali
6.      Kompos siap digunakan ketika berbau masam spt tape, kecoklatan & dingin, biasanya jadi
dalam 14 hari
 
PENGGUNAAN MORETAN YANG LAIN
Baca selengkapnya...
PEMBUATAN KOMPOS DENGAN MORETAN
  o        BAHAN: Sekam 100kg/4 karung (potongan jerami/dedaunan) + kotoran kambing/sapi 100kg + dedak
halus 10 kg + Moretan sekitar 5 liter + air bersih sekitar 100 liter
 o        CARA:
1.      Campur dan aduk merata sekam dan kotoran kambing
2.      Tambahkan dedak dan aduk hingga merata
3.      Larutkan Moretan dalam air, dengan ukuran 1 gelas Moretan per 5 liter air
4.      Siramkan larutan Moretan pada campuran sekam-kotoran-dedak, aduk merata, sampai kondisi
cukup lembab (tidak mengeluarkan air ketika dikepal & tidak buyar/kepyar ketika kepalan
dilepas)
5.      Tumpuk campuran setinggi 0,5 – 1 meter, tutup dengan terpal/plastik, aduk/balik tiga hari sekali
6.      Kompos siap digunakan ketika berbau masam spt tape, kecoklatan & dingin, biasanya jadi
dalam 14 hari
 
PENGGUNAAN MORETAN YANG LAIN
 
o        Sebagai PPC untuk padi
1.      Konsentrasi 0,5 – 1 liter per tangki
2.      Disemprotkan 3, 10, 20, 30, 40 & 50
o        Mempercepat pelapukan jerami
1.      Konsentrasi 0,5 – 1 liter per tangki
2.      Disemprotkan pada jerami yang disebar di lahan/dikeringkan
3.      Dalam 1 minggu siap dibajak

Anda mungkin juga menyukai