Anda di halaman 1dari 10

Kebersamaan Umat Beragama dalam Kehidupan Sosial

1. Pengertian kerukunan antar umat beragama


Dalam istilah agama islam, kerukunan itu dinamakan Tasamuh, yaitu
membiarkan secara sadar terhadap pikiran atau pendapat orang lain. Kerukunan
itu adalah satu tata pikir atau sikap hidup (thalent attitude) yang menunjukkan
kesabaran dan kelapangan dada menghadapi pikiran-pikiran, pendapat-pendapat,
dan pendirian orang.
Ummah (bahasa arab: ‫_أمة‬bahasa indonesia:umat) adalah sebuah kata dan
frasa dari bahasa Arab yang berarti: “masyarakat” atau “bangsa”. Kata tersebut
berasal dari kata amma-yaummu, yang tepat berarti: “menuju”, “menumpu” atau
“meneladani”. Dari akar kata yang sama, terbentuk pula kata: um yang berarti
“ibu”, dan imam yang berarti “pemimpin”, karena keduanya menjadi teladan,
tumpuan pandangan, dan harapan anggota masyarakat.
Kata agama berasal dari bahasa sansekerta Agama yang berarti “tradisi”.
Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan(kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan yang maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kerukunan antar umat beragama adalah hubungan sesama umat beragama
yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling
menghargai dalam kesetaraan pengelaman ajaran agamanya dan kerja sama
dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.

2. Agama Islam merupakan Rahmat bagi Seluruh Alam


a. Makna Islam
Kata islam berarti damai, selamat, sejahtera, penyebaran diri, taat, dan
patuh. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa islam adalah agama yang
mengandung ajaran untuk menciptakan kedamaian, keselamatan, dan
keselamatan kehidupan umat manusia pada khususnya, dan semua makhluk
Allah pada umumnya. Kondisi itu akan terwujud apabila manusia sebagai
penerima amanah Allah dapat menjalankan aturan tersebut secara benar dan
“kaafah”.
Agama islam adalah agama yang Allah turunkan sejak manusia pertama,
nabi pertama yaitu adalah Nabi Adam as. Agama islam itu kemudian Allah
turunkan secara berkesinambungan pada para Nabi dan Rasul-rasulNya. Akhir
proses penurunan agama islam itu baru menjadi pada masa kerasulan Nabi
Muhammad saw pada awal abad ke-VII M. Islam sebagai nama agama yang
Allah turunkan belum dinyatakan secara eksplisit pada masa kerasullan
sebelum Nabi Muhammad saw. Tetapi makna yang substansi ajarannya secara
implisit memiliki persamaan yang dapat dipahami dari pernyataan sikap para
Rasul.

Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Baqarah : 132 :


‫َّين فَالَ تَ ُم ْوتُ َّن ِإالَّ َوَأْنتُ ْم ُم ْسلِ ُم ْو َن‬ ْ َ‫ب يَا بَنِ َّي ِإ َّن اهلل‬
َ ‫اصطََفى لَ ُك ُم الد‬
ِِ ِ
ُ ‫صى بِ َها ِإ ْب َراه ْي َم بَن ْيه َو َي ْع ُق ْو‬
َّ ‫َو َو‬

Artinya : Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya,


demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya
Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam
memeluk agama Islam".
Ajaran agama islam memiliki karakteristik sebagai berikut :
1) Sesuai dengan fitrah hidup manusia
2) Ajarannya sempurna
3) Kebenarannya mutlak
4) Mengajarkan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan
5) Fleksibel
6) Berlaku secara universal
7) Logis
8) Inti ajarannya tauhid
9) Menciptakan rahmat.

b.   Islam sebagai Rahmatan Lil’ Alamin


Fungsi islam sebagai rahmat tidak begantung pada penerimaan atau
penilaian manusia. Substansi rahmat terletak pada fungsi ajaran tersebut dan
fungsi itu baru akan dirasakan baik oleh manusia sendiri maupun oleh
makhluk-makhluk yang lain apabila manusia sebagai pengemban amanah
Allah telah menaati ajaran  tersebut. Fungsi islam sebagai rahmat Allah bagi
semua alam itu dijelaskan oleh Allah dalam QS. Al-Anbiya [21]:107.
ِ ِ
َ ‫اك ِإاَّل َرمْح َةً لْل َعالَم‬
‫ني‬ َ َ‫َو َما َْأر َسْلن‬

Artinya : “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)


rahmat bagi semesta alam.”

Bentuk-bentuk kerahmatan Allah pada ajaran Islam sebagai berikut :


1) Islam memberikan kebebasan pada manusia untuk menggunakan potensi
yang diberikan Allah SWT.
2) Islam menghargai dan menghormati manusia sebagai hamba Allah, baik
mereka muslim maupun non muslim.
3) Islam mengatur pemanfaatan alam secara baik dan profesional
4) Islam menghormati kondisi spesifik individu manusia dan memberikan
perlakuan yang spesifik pula.

c. Ukhuwah atau Persaudaraan dalam Islam


Kata ukhuwah berarti persaudaraan, maksudnya perasaan simpati dan
empati antara dua orang atau lebih. Masing-masing pihak memiliki satu
kondisi atau persamaan yang sama, baik suka maupun duka, baik senang
maupun sedih. Jalinan perasaan itu menimbulkan sikap timbal balik untuk
saling membantu bila pihak lain mengalami kesulitan, dan sikap untuk saling
membagi kesenangan kepada pihak lain bila salah satu pihak menemukan
kesenangan. Ukhuwah atau persaudaraan berlaku sesama umat islam, yang
disebut Ukhuwah Islamiyah, dan berlaku pula pada semua umat manusia
secara universal tanpa membedakan agama, suku dan aspek-aspek
kekhususan lainnya, yang disebut ukhuwah insaniyah. 
Persaudaraan sesama muslim, berarti saling menghormati dan saling
menghargai relativitas masing-masing sebagai sifat dasar kemanusiaan,
seperti perbedaan pikiran, sehingga tidak menjadi penghalang untuk saling
membantu atau menolong karena diantara mereka terikat oleh sutu keyakinan
dan jalan hidup, yaitu islam. Agar islam meberikan petunjuk yang jelas untuk
menjaga agar persaudaraan sesama muslim itu dapat terjalin dengan kokoh.
Adapun persaudaraan sesama manusia, ukhuwah insaniyah dilandasi
oleh ajaran bahwa semua umat manusia adalah makhluk Allah. Sekalipun
Allah memberikan petunjuk kebenaran melalui ajaran islam, tetapi Allah juga
memberikan kebebasan kepada setiap pertimbangan rasionya. Karena itu
sejak awal penciptaan, Allah tidak tetapkan manusia sebagai satu umat,
padahal Allah bisa  bila mau. Itulah fitrah manusia.

3. Kerukunan antar Umat Beragama


Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan
ditengah perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk
hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan.
Kesadaran akan kerukunan hidup umat beragama yang harus bersifat dinamis,
humanis dan demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat
dikalangan bawah, sehingga kerukunan tersebut tidak hanya dapat
dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan atas/orang kaya saja. Karena agama
tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat memecahkan semua
masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia.
Mungkin faktor yang paling penting dan mendasar karena memberikan
sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk
mengerti lebih dalam tentang agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu
pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan
pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama
terhadap agama lain sangat penting.
Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya
agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang
paling berat dalam usaha memberikan seesuatu pandangan yang optimis. Namun
ketika kontak-kontak antar agama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka
muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi
bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul
pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong
terjadinya saling pengertian.
Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan
menganggap agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh
kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih
mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain.

4. Kendala-Kendala dalam Mencapai Kerukunan antar Umat Beragama


a. Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi
antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia, munculnya sikap toleransi
malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P.Knitter. sikap
ini muncul sebagai akibat dari pola perjuangan tak langsung (indirect
encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang
sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan
masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak
terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama sama-sama
menjaga jarak satu sama lain.

Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi


membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-
masing pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan
perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan
diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang
dinamakan konflik.
b. Kepentingan Politik
Faktor politik, faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai
kendala dalam mencapai tujuan sebuah kerukunan antar umat beragama
khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling penting diantara faktor-
faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun
dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh
tahun, dan dengan demikain kita pun hampir memetik buahnya. Namun tiba-
tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut mempengaruhi hubungan antar
agama dan bahkan memorak-porandakannya  seolah petir menyambar yang
dengan mudahnya merontokkan : bangunan dialog yang sedang kita
selesaikan.
Seperti yang sedang terjadi di Negeri kita saat ini, kita tidak hanya
menangis melihat political upheavels di Negeri ini, tetapi lebih dari itu yang
mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah, darah saudara-saudara kita, yang
mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup
secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara,
tetapi dengan alasan politik juga kita sering kali menunggangi agama dan
memanfaatkannya.
c. Sikap Fanatisme
Faktor politik, faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai
kendala dalam mencapai tujuan sebuah kerukunan antar umat beragama
khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling penting diantara faktor-
faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun
dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh
tahun, dan dengan demikain kita pun hampir memetik buahnya. Namun tiba-
tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut mempengaruhi hubungan antar
agama dan bahkan memorak-porandakannya  seolah petir menyambar yang
dengan mudahnya merontokkan : bangunan dialog” yang sedang kita
selesaikan.
Seperti yang sedang terjadi di Negeri kita saat ini, kita tidak hanya
menangis melihat political upheavels di Negeri ini, tetapi lebih dari itu yang
mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah, darah saudara-saudara kita, yang
mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup
secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara,
tetapi dengan alasan politik juga kita sering kali menunggangi agama dan
memanfaatkannya.
d. Sikap Fanatisme
Di kalangan islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan
berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan
berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai islam
radiakal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan
praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya
diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih
berpandangan bahwa islam adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat
menjamin keselamatan manusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk
islam. Segala perbuatan orang-orang non-muslim, menurut perspektif aliran
ini, tidak dapat diterima di sisi Allah swt.
Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena
masing-masing sekte atau aliran dalam agama tertentu, islam misalnya, juga
memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak
bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada banyak aliran dan ada
banyak pemimpin agama dalam islam yang antara satu sama lain memiliki
pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertetangan.
Tentu saja, dalam agama kristen juga ada kelompok eksklusif seperti
ini. Kelompok evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja
adalah mengajak mereka yang yang percaya untuk meningkatkan keimanan
dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi
kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan
dianugrahi salvation atau keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan
pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama tersebut, maka timbullah
sikap fanatisme yang berlebihan.
5. Solusi
a. Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka
politik secara tipikal hampir keseluruhannya pergumulan, konflik dan
pertarungan. Karena itulah dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa
dasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat pada politik yang kemudian disebut
sebagai “sejarah konvensional” dikembangkan dengan mencakup bidang-
bidang kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan apa yang
disebut sebagai “sejarah baru” (new history). Sejarah model mutakhir ini
lazim disebut sebagai “sejarah sosial” (social history) sebagai bandingan dari
“sejarah politik” (political history).
Hampir bisa dipastiakan, perjumpaan kristen dan islam (dan juga
agama-agama lain) akan terus meningkat dimasa-masa datang. Sejalan dengan
peningkatan globalisasi, revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita
akan menyaksikan gelombang perjuangan agama-agama dalam skala
intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak
ada lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah
dari lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya.

b. Bersikap Optimis
Walupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju
sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antar agama, mungkin
kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya
mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyonsong masa depan
dialog. Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis.
c. Menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan antar
penganutnya.
d. Tidak mudah disulut dan diadu domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi
maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu

6. Kebersamaan Umat Beragama dalam Kehidupan Sosial


a. Pandangan Agama Islam Terhadap Non Muslim
Dari segi akidah, setiap orang yang tidak mau menerima islam sebagai
agamanya disebut kafir atau non muslim. Kata kafir berarti orang yang
menolak, yang tidak mau menerima atau menaati aturan Allah yang
diwujudkan kepada manusia melalui ajara islam. Sikap kufur, penolakan
terhadap perintah Allah pertama kali ditunjukkan oleh iblis ketika
diperintahkan untuk sujud kepada Adam as sebagaimana dikisahkan dalam
QS. Al-baqarah[2]:34.
‫استَكَْبَر َو َكا َن ِم َن الْ َكافِ ِريْ َن‬
ْ ‫س َأىَب َو‬
ِ ‫ِإ َّ ِإ‬ ‫آِل‬ ِ ‫ِ ِئ‬
ْ ‫َو ِإ ْذ ُقْلنَا لْل َمالَ َكة‬
َ ‫اس ُج ُد ْوا َد َم فَ َس َج ُد ْوا ال بْلْي‬
Artinya : Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah
kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur
dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.

Ketika Rasulullah Saw mulai menyampaikan ajaran islam kepada


masyarakat Arab, sebagian dari mereka ada yang mau menerima ajaran
tersebut dan sebagiannya lagi menolak. Orang yang menolak ajakan
Rasulullah tersebut juga disebut kafir. Mereka terdiri dari orang-orang
musyrik yang menyembah berhala yang disebut orang watsani, dan orang-
orang ahli kitab, baik orang yahudi maupun nasrani.
Diantara orang-orang kafir tersebut ada yang mengganggu, menyakiti, dan
memusuhi orang islam dan diantaranya hidup dengan rukun bersama orang
islam. Orang kafir yang mengganggu, yang menyakiti, dan memusuhi orang
islam disebut kafir harbi, dan orang kafir yang hidup rukun dengan orang
islam disebut kafir dzimmi. Kafir harbi adalah orang kafir yang memerangi
orang islam dan boleh diperangi oleh orang islam.

Ketentuan tersebut dijelaskan oleh Allah dalam QS. At-taubah[9]:29

Artinya : Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang
benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk.

b. Tanggung Jawab Sosial Umat Islam


Umat islam adalah umat yang terbaik yang diciptakan Allah dalam
kehidupan ini. Bentuk tanggung jawab sosial umat islam meliputi berbagai
aspek kehidupan, diantaranya adalah :
1) Menjalin silatuhrahmi dengan tetangga dalam sebuah hadist rasulullah
menjadikan sebuah kebaikan seseorang kepada tetangganya menjadi salah
satu indikator keimanan.
2) Memberiikan infak sebagian dari harta yang dimiliki, baik yang wajib
dalam bentuk zakat maupun yang sunah dalam bentuk sedekah.
3) Menjenguk bila ada anggota masyarakat yang sakit dan Ta’ziyah bila ada
anggota masyarakat yang meninggal dengan mengantar jenazahnya
sampai di kuburnya.
4) Memberi bantuan kepada masyarakat bila ada yang memerlukan bantuan.
5) Penyusunan sistem sosial yang efektif dan efisien untuk membangun
masyarakat, baik mental, spiritual, maupun fisik materialnya.

c. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar


Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar adalah memerintahkan orang lain
untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat. Disamping sistem dan
saran pendukung, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar memerlukan juga
kebijakan dalam bertindak. Karena itu rasulullah memberikan tiga tingkatan
yaitu :
1) Menggunakan tangan atau kekuasaan apabila ia mampu
2) Menggunakan lisan
3) Dalam hati apabila langkah pertama dan kedua tidak memungkinkan.

Bentuk Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar yang bersistem diantaranya


adalah :
1) Mendirikan masjid
2)  Menyelenggarakan pengajian
3)  Mendirikan lembaga wakaf
4)  Mendirikan lembaga pendidikan islam
5)  Mendirikan pesantren

Anda mungkin juga menyukai