Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH DISKUSI

Sistem elektoral Indonesia


Mengapa perlu direformasi
_
PENULIS

Marcus Mietzner
Australian National University

DITERBITKAN OLEH

new mandala
NEW PERSPECTIVES ON SOUTHEAST ASIA

_
DIDUKUNG OLEH

D E PA R T M E N T O F P O L I T I C A L
& SOCIAL CHANGE

_
November 2019

1
Sistem elektoral Indonesia: mengapa perlu direformasi

Above: Peserta konferensi ‘After Indonesia’s 2019 elections: does the electoral regime need reform?’, Centre for Strategic and International Studies,
Jakarta, June 2019. Foto: Rahmat Santoso, CSIS
Cover image: JUNI KRISWANTO/AFP/Getty Images


UCAPAN TERIMA KASIH
Konferensi yang menjadi landasan sumber makalah ini diselenggarakan di Jakarta
oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) bekerja sama dengan Coral
Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University. Terima kasih yang
teristimewa saya sampaikan kepada Noory Okthariza dari CSIS, yang menuntaskan
sebagian besar tugas penyelenggaraan konferensi ini.

TENTANG PENULIS
Marcus Mietzner adalah Associate Professor di Department of Political and Social Change,
Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University, dengan fokus
penelitian pada politik Indonesia kontemporer. Salah satu bukunya berjudul Money, power
and ideology: political parties in post-authoritarian Indonesia (NUS Press, 2013). Saat ini
penulis sedang meneliti tentang lembaga kepresidenan di Indonesia pasca-Suharto, serta
menyusun monograf pendek tentang konsolidasi demokrasi di Asia Tenggara.

SANGGAHAN
Pandangan-pandangan yang diungkapkan dalam makalah ini dan semua publikasi New
Mandala lainnya adalah milik penulis dan tidak dimaksudkan untuk mewakili pandangan
Australian National University.

2
Sistem elektoral Indonesia: mengapa perlu direformasi


Pengantar
Pada April 2019, Indonesia melaksanakan pemilihan umum nasional kelima sejak jatuhnya
Orde Baru pada 1998. Ini pencapaian signifikan mengingat bahwa pada masa perubahan rezim,
nasib demokrasi Indonesia diprediksi bakal suram oleh beberapa kalangan. Bahkan, Pemilu 2019
merupakan kekecualian dari pola kehancuran demokrasi, kebangkitan populisme, dan kelanjutan
pemerintahan otoriter yang mengemuka di banyak negara tetangga Indonesia di Asia Tenggara.
Secara umum pemilihan umum di Indonesia dianggap bebas, adil, dan kompetitif, tanpa banyak
tudingan kredibel soal kecurangan sistematis dalam penghitungan suara di tingkat nasional. Secara
keseluruhan, Indonesia layak mendapatkan pujian karena telah mengatasi tantangan logistik,
politik, dan sosial yang kompleks selama lima kali berturut-turut.
Namun, keberhasilan umum tersebut sebaiknya tidak membuat kita tutup mata dari sejumlah
masalah yang terus merongrong kualitas demokrasi elektoral di Indonesia. Dalam beberapa
tahun terakhir, indeks demokrasi internasional mencatat penurunan yang substansial, walaupun
perlahan, dalam berbagai indikator demokrasi.1 Akhir-akhir ini banyak penulis juga mulai
menilai bahwa demokrasi Indonesia telah memasuki sebuah fase baru kemunduran setelah satu
dekade kemandekan.2 Dengan demikian, terlalu berpuas diri namanya, jika ada yang memandang
pelaksanaan pemilu kelima Indonesia pasca-rezim otoriter ini merupakan bukti berlanjutnya
konsolidasi dan kedewasaan sistem politik demokratis. Alih-alih, sukses pelaksanaan pemilu
di Indonesia yang tampak bertentangan dengan berbagai pola penurunan demokrasi mesti
dimanfaatkan untuk mendorong penelusuran lebih jauh tentang bagaimana masalah struktural
yang inheren dalam sistem pemilu berkontribusi pada ketidakmampuan Indonesia untuk naik ke
tingkat perkembangan demokrasi selanjutnya.
Dengan latar belakang tersebut, makalah ini menyoroti beberapa ‘tempat konstruksi’ utama
sistem pemilihan di Indonesia, yang akan membutuhkan perhatian berbagai pihak di masa depan.
Makalah ini mengangkat poin-poin diskusi dari konferensi tentang reformasi pemilu pada Juni
2019 di Jakarta yang diselenggarakan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS)
bekerja sama dengan Departement of Political and Social Change, Coral Bell School of Asia
Pacific Affairs, Australian National University. Konferensi tersebut menggandeng para pakar dan
praktisi Indonesia dan internasional dalam bidang reformasi sistem pemilu. Walaupun pandangan
yang disajikan dalam konferensi itu sangat beragam, makalah ini berfokus pada beberapa aspek
yang penting untuk direformasi dan mendapat perhatian khusus dalam konferensi. Aspek-aspek
tersebut adalah: sistem pendanaan partai politik yang amburadul; praktik jual-beli suara yang
semakin merajalela di bawah sistem proporsional terbuka; persyaratan pendirian partai baru dan
ambang batas pencalonan yang semakin ketat; tantangan untuk meningkatkan keterwakilan
perempuan di parlemen; dan kemungkinan menciptakan suatu mekanisme untuk menyatakan
ketidakpuasan publik terhadap status quo tanpa abstain dalam pemilihan.
Dalam membahas masalah-masalah di atas, argumentasi saya berdasarkan presentasi-presentasi
yang disampaikan dalam konferensi. Namun, karena presentasi-presentasi itu disajikan dengan
tunduk pada pembatasan Chatham House untuk memfasilitasi diskusi terbuka, saya tidak akan
mengutipnya secara langsung. Pada beberapa kesempatan, saya mencantumkan rujukan pada
publikasi dari para penyaji yang menyatakan poin-poin sebanding. Di sisi lain, bila tidak ada
penulis lain yang dirujuk secara eksplisit, maka apa yang diungkapkan dalam makalah ini adalah
pandangan saya.

1 ‘Democracy continues its disturbing retreat’. The Economist, 31 Januari 2018. Dapat diakses di: https://www.
economist.com/graphic-detail/2018/01/31/democracy-continues-its-disturbing-retreat
2 Thomas P. Power, 2018. ‘Jokowi’s authoritarian turn and Indonesia’s democratic decline’. Bulletin of Indonesian
Economic Studies 54(3): 307–338

3
Sistem elektoral Indonesia: mengapa perlu direformasi

TANTANGAN #1

Sistem pendanaan partai


politik yang amburadul
_

K
esehatan sebuah sistem politik sering alokasi anggaran sebesar Rp1000 per suara untuk
kali dapat diukur lewat bagaimana tiap partai. Pada 2005, jumlah itu berkurang
partai politik dan kandidatnya didanai. drastis menjadi sekitar Rp108 per suara, yang
Supaya para aktor politik dapat menjalankan kemudian dikembalikan ke nominal semula,
fungsi sebagai perwakilan publik secara efektif, Rp1000, pada awal 2018. Pada 2019, negara
mereka harus mampu membuat keputusan mengalokasikan Rp126 miliar untuk seluruh
yang mandiri di luar kepentingan para sponsor partai yang memiliki perwakilan di parlemen
finansial mereka. Pada era partai massa 1950- nasional, sementara dewan pimpinan daerah
an dan 1960-an, hal itu bisa dilakukan dengan (DPD) di tingkat provinsi sekarang dibayar
memungut iuran dari anggota untuk membiayai Rp1.200 dan dewan pimpinan cabang (DPC)
sebagian besar dana operasional partai. Akan di tingkat kabupaten/kota mendapat jatah
tetapi, sejak 1970-an, jumlah anggota partai Rp1.500.3 Secara keseluruhan, jumlah dana yang
di berbagai belahan dunia menciut hingga digelontorkan negara setiap tahun untuk partai
menggerus basis pendanaan mandiri dalam politik di semua tingkatan mencapai sekitar
banyak partai. Untuk merespons perubahan itu, Rp466,2 miliar.
demokrasi modern menemukan jalan keluar Tidaklah mengejutkan bila jumlah tersebut
dengan memakai dua alternatif utama pendanaan tidak terlalu berarti dibandingkan pengeluaran
partai politik, atau dengan mengkombinasikan riil partai. Pada 2016, Komisi Pemberantasan
keduanya: pertama, pendanaan partai politik Korupsi (KPK) Indonesia memperkirakan
dengan anggaran negara (yang dominan di bahwa biaya operasional partai, tidak termasuk
Eropa), dan kedua, sistem partai politik berbasis biaya kampanye, nyaris mencapai angka Rp9,3
donasi, yang dilengkapi dengan berbagai macam triliun.4 Artinya, subsidi negara hanya menambal
pembatasan jumlah sumbangan dan persyaratan 5% dari biaya operasional partai. Jika turut
transparansi (Amerika adalah contoh utamanya). menghitung biaya kampanye, proporsi subsidi
Di Indonesia, kedua elemen di atas telah negara ini menyusut mendekati nol. Pada
diintegrasikan ke dalam sistem pemilu pasca- Pemilu 2019, ada sekitar 245.000 kandidat yang
rezim otoriter Suharto, tapi tidak berfungsi bersaing untuk memperebutkan sekitar 20.000
dengan baik. Alhasil, para politikus Indonesia kursi.5 Dari ratusan ribu itu, 7.968 di antaranya
praktis mendanai kampanye mereka dengan berlomba mendapat kursi parlemen nasional.
uang pribadi, atau mutlak bergantung pada Selesai pemilu, bendahara Partai Demokrasi
sponsor. Gagasan pendanaan partai politik oleh Indonesia Perjuangan (PDI-P) memperkirakan,
negara baru diperkenalkan pada 2001, dengan rata-rata ongkos kampanye yang dikeluarkan

3 ‘Mendagri ajukan Rp126M untuk dana bantuan parpol di tahun 2020’. DetikNews, 20 Juni 2019. Dapat diakses
di: https://news.detik.com/berita/d-4593898/mendagri-ajukan-rp-126-m-untuk-dana-bantuan-parpol-di-tahun-2020
4 ‘Dana parpol diusulkan nauk hingga 9,3 triliun, begini hitung-hitungan KPK’. Warta Kota, 21 November 2016.
Dapat diakses di: https://wartakota.tribunnews.com/2016/11/21/dana-parpol-diusulkan-naik-hingga-rp-93-triliun-
begini-hitung-hitungan-kpk
5 Bland, B. 2019. ‘Politics in Indonesia: resilient elections, defective democracy’. Lowy Institute paper. Dapat
diakses di: https://www.lowyinstitute.org/publications/politics-indonesia-resilient-elections-defective-democracy

4
Sistem elektoral Indonesia: mengapa perlu direformasi

Photo: Penyidik dan pemimpin KPK menunjukkan barang bukti berbentuk uang tunai, yang diduga bakal
digunakan untuk ‘serangan fajar’, Maret 2019. Mamat/AFP/Getty Images

setiap kandidat nasional PDI-P kurang-lebih Tentu saja, angka-angka tersebut bervariasi
Rp4 miliar.6 Jika dirata-rata dengan partai-partai di setiap wilayah. Namun, dengan asumsi
lain, biaya kampanye dalam pemilihan legislatif bahwa ada tiga pasangan calon dalam setiap
nasional saja tak kurang dari Rp31,9 triliun. pilkada,8 akan ada pengeluaran sebesar Rp28,7
Angka fantastis tersebut belum termasuk biaya triliun (A$3) miliar untuk pemilihan di
kampanye pemilihan legislatif di tingkat provinsi tingkat kabupaten, dan sebesar Rp3,2 triliun
dan kabupaten, di mana mayoritas kandidat (A$340 juta) untuk memenangkan suara dalam
bersaing; dan belum mencakup biaya kampanye pemilihan gubernur. Maka, dalam periode
500 lebih pemilihan gubernur, bupati, dan lima tahun, pengeluaran kandidat partai di
walikota dalam siklus pemilu per lima tahun. semua tingkatan dan jenis pemilihan bisa saja
Dalam perhitungan yang sangat konservatif, kita mendekati angka Rp100 triliun. Angka seperti
bisa mengasumsikan bahwa total pengeluaran inilah yang harus dibandingkan dengan subsidi
kampanye kandidat partai pada tahun pemilu tahunan negara yang hanya Rp466,2 miliar.
legislatif bisa melebihi angka Rp50 triliun. Dengan subsidi negara untuk partai yang bisa
Jika kita turut menghitung biaya kampanye dibilang tidak relevan dalam hal pendanaan
pemilihan kepala daerah (pilkada), tentu jumlah politik, seharusnya diasumsikan bahwa mayoritas
tersebut bisa melonjak tajam: ada pandangan partai mencari modal melalui donasi. Memang,
yang diyakini secara luas bahwa para kandidat partai-partai melaporkan total pengeluaran
dalam pemilihan bupati dan walikota harus kampanye legislatif 2019 sebesar Rp3,1 triliun,
mengeluarkan paling tidak Rp20 miliar hanya sebuah rekor baru.9 Namun demikian, jumlah
supaya punya peluang realistis untuk menang, itu tidak sampai 10% dari pengeluaran riil yang
sementara kandidat pemilihan gubernur harus saya bahas di atas. Ini berarti bahwa sebagian
punya modal sekitar Rp100miliar.7 besar transaksi tidak dilaporkan.

6 ‘PDI Perjuangan laporkan dana kampanye hingga Rp345 miliar’. Gesuri, 2 Mei 2019. Dapat diakses di: https://
www.gesuri.id/pemilu/pdi-perjuangan-laporkan-dana-kampanye-hingga-rp-345-miliar-b1WfPZj5P
7 ‘Kapolri sebut biaya kampanye pilkada sampai 100 miliar’. Kompas.com, 6 Maret 2019. Dapat diakses di:
https://nasional.kompas.com/read/2018/03/06/17375041/kapolri-sebut-biaya-kampanye-pilkadasampai-rp-100-miliar-
ciptakan-budaya
8 ‘Naik-turun jumlah calon di pilkada dinilai karena biaya politik mahal’. DetikNews, 13 Januari 2018. Dapat
diakses di: https://news.detik.com/berita/d-3813316/naik-turun-jumlah-calon-di-pilkada-dinilai-karena-biaya-
politikmahal
9 ‘Total dana kampanye parpol capai Rp3,1 triliun’. Berita Satu, 24 April 2014. Dapat diakses di: https://www.
beritasatu.com/politik/179979-total-dana-kampanye-parpol-capai-rp-31-triliun.html

5
Sistem elektoral Indonesia: mengapa perlu direformasi

Photos: Peserta konferensi ANU-CSIS, Jakarta, Juni 2019. Atas:


Prameswari Pramodhawardani, Deputi KSP; bawah kanan: Andi
Mallarangeng, mantan menteri kabinet; bawah kiri: Eva Kusuma
Sundari, anggota DPR. Foto: Rahmat Santoso, CSIS

Lebih jauh lagi, analisis lebih saksama atas menggalang dana kampanye dari sumber yang
laporan keuangan partai menunjukkan bahwa tidak jelas. Dalam realitas sistem ini, hampir
mayoritas “pendapatan” partai dihitung tidak ada dana publik dalam sirkulasi uang
berdasarkan pengeluaran pribadi kandidat. yang membiayai partai politik. Juga, hanya
Pendapatan dan pengeluaran ini harus dicatat sebagian kecil saja dari pengeluaran riil yang
sebagai donasi karena undang-undang pemilu berasal dari kekayaan pribadi kandidat, atau
Indonesia tidak mengakui kandidat individu yang diperoleh dari sponsor, yang muncul
sebagai peserta pemilu. Secara hukum, setiap dalam rekening kampanye resmi dan laporan
calon sebenarnya harus menyumbangkan uang audit mereka. Namun, seperti yang telah saya
pribadi ke partai dulu sebelum dikembalikan jelaskan dalam tulisan lain,11 “kekurangan”
kepada mereka untuk membiayai kampanye di dalam sistem ini sebagian besar disengaja:
lapangan. Untuk meghindari pengaturan yang rezim pendanaan seperti ini (yang beroperasi di
konyol itu, para kandidat dapat melaporkan luar alokasi dana negara dan kontribusi resmi)
dana kampanye yang bersumber dari kekayaan membuat aktor politik yang kaya menjadi lebih
pribadi kepada partai, yang kemudian dihitung unggul daripada pesaing mereka, dan patronase
sebagai sumbangan. Dalam kasus PDI-P, politik pun terus berlangsung tanpa pengawasan
misalnya, Rp325 miliar dari total Rp395 miliar efektif dari lembaga audit negara ataupun
“pendapatan” partai berasal dari pengeluaran aturan transparansi. Dengan kata lain, keadaan
kandidat.10 Sumbangan dari pendonor eksternal disfungsional sistem ini bukanlah hasil dari
partai yang tercatat hanya sebesar Rp30 miliar— perencanaan buruk atau kurangnya kapasitas;
atau 8% dari keseluruhan. melainkan bagian dari skema yang disengaja
Secara umum, potret praktik pendanaan untuk menjaga agar aktor non-oligarki tetap
politik di Indonesia mencerminkan sistem yang berada di luar arena politik dan proses politik ada
amburadul, di mana para kandidat hampir di bawah kendali elite yang berkuasa.
semata-mata mengeluarkan modal pribadi atau

10 ‘Dana kampanye PDI-P Rp404,7 miliar, punya utang Rp6,3 miliar’. DetikNews, 24 April 2014. Dapat diakses
di: https://news.detik.com/berita/2564554/dana-kampanye-pdip-rp-4047-miliar-punya-utang-rp-63-miliar?9911012
11 Marcus Mietzner, 2015. ‘Dysfunction by design: political finance and corruption in Indonesia’. Critical Asian
Studies 46(4):587–610.

6
Sistem elektoral Indonesia: mengapa perlu direformasi

TANTANGAN #2

Sistem proporsional terbuka


dan jual-beli suara
_

P
rinsip pendanaan pribadi dalam rezim membebaskan dewan pimpinan pusat dari
keuangan politik kemudian dilembagakan peran mereka sebagai mediator antara para
dalam sistem pemilu yang mengadopsi kandidat yang memperebutkan nomor urut
prinsip tersebut. Sistem daftar partai terbuka, dalam daftar nominasi partai. Dalam sistem
yang diberlakukan sejak pemilihan legislatif daftar partai terbuka, pentingnya nomor urut
(pileg) di Indonesia pada 2009, memungkinkan dikurangi; oleh karena itu, pimpinan pusat partai
kandidat dari suatu partai memperoleh kursi bisa berargumentasi bahwa para pemilihlah
yang dimenangkan partai tersebut jika ia yang menentukan siapa yang dapat kursinya
berhasil mengumpulkan suara terbanyak (walaupun nomor urut yang tinggi tetap dicari
sebagai individu, terlepas dari nomor urutnya oleh para calon karena memberikan peluang
dalam daftar nominasi awal partai. Sistem ini lebih besar untuk terpilih).
mengubah pemilihan berbasis partai menjadi Namun, konsekuensi yang paling fatal dari
kontestasi politik yang berpusat pada kandidat, penerapan sistem proporsional terbuka adalah
dengan calon individu mendanai kampanye menjamurnya praktik jual-beli suara. Karena
mereka sendiri. Dalam sistem tersebut, para tidak lagi bisa menonjolkan diri dengan
calon lebih bersaing dengan kandidat lain mengkampanyekan visi-misi partai, para
dari partai mereka sendiri ketimbang bersaing kandidat perlu kerja keras untuk menarik hati
melawan kandidat dari partai lain. warga agar memilih mereka, bukan kandidat
Ironisnya, sistem daftar partai terbuka tidak lain dari partai yang sama. Beberapa kandidat
diciptakan oleh dari elite partai politik—mereka berupaya menonjolkan diri dengan “menjual”
baru menyadari keuntungan sistem tersebut jauh kepribadiannya yang unik atau riwayat hidup
di kemudian hari. Sistem daftar partai terbuka yang mengesankan. Tetapi ada cara yang lebih
dipaksakan oleh Mahkamah Konstitusi, yang mudah, yaitu membeli suara. Penelitian oleh
memutuskan bahwa sistem daftar semi terbuka, Burhanuddin Muhtadi, Edward Aspinall, dan
yang berlaku sebelumnya, melanggar konstitusi. Ward Berenshot menemukan bahwa jual-beli
Pada awalnya, para petinggi partai mengecam suara di Indonesia melonjak setelah sistem daftar
keputusan MK karena dianggap menyunat partai terbuka diterapkan, hingga menjadikan
kewenangan partai dalam memutuskan urutan Indonesia sebagai negara dengan tingkat praktik
kandidat dalam daftar nominasi, yang akan jual-beli suara tertinggi ketiga di dunia.12
berimplikasi pada komposisi fraksi di parlemen. Walaupun beberapa survei menunjukkan bahwa
Namun, akhirnya para petinggi partai tingkat praktik jual-beli suara menurun pada Pemilu
nasional menyadari bahwa sistem daftar terbuka 2019, laporan dari lapangan mengindikasikan
dengan mudah dapat mengalihkan tanggung bahwa banyak kandidat beralih ke pendekatan
jawab pendanaan kampanye dari tangan dewan yang lebih “halus”, yaitu menawarkan barang-
pengurus partai pusat ke masing-masing barang yang memberi manfaat komunal,
calon. Selain itu, sistem yang baru tersebut seperti sumbangan untuk masjid, klub sepak

12 Burhanuddin Muhtadi, ‘A third of Indonesian voters bribed during election—how and why’. The Conversation,
20 Juli 2018. Dapat diakses di: https://theconversation.com/a-third-of-indonesian-voters-bribed-during-election-how-
and-why-100166

7
Sistem elektoral Indonesia: mengapa perlu direformasi

bola, atau perbaikan jalan desa. Terlepas dari bisa memutuskan siapa yang paling layak
persoalan apakah membeli suara pemilih menyuarakan aspirasi mereka di parlemen – dan
individu dengan uang atau menawarkan barang mereka bisa menghukum politikus yang gagal
yang menguntungkan komunitas, jelas bahwa melakukannya dalam pemilihan berikutnya.
sistem daftar partai terbuka secara signifikan Namun, para hakim (dan banyak analis) tidak
meningkatkan praktik klientelistik dalam kontes mampu mengantisipasi akibat yang dihasilkan
pemilu Indonesia.13 oleh kombinasi yang berbahaya antara sistem
Efek samping lain dari sistem daftar pendanaan politik secara pribadi dan suatu
partai terbuka adalah melemahnya secara mekanisme pemilu yang semakin memperparah
drastis partai-partai politik sebagai aktor praktik tersebut. Selain pendanaan pribadi
perwakilan demokratis. Pada Pemilu 1999, semakin mengakar, sistem daftar terbuka
yang diselenggarakan di bawah sistem daftar membuat biaya kampanye membengkak hingga
tertutup (di mana partai menentukan siapa yang kemudian menyisihkan kandidat yang tidak
mewakili mereka di dalam parlemen berdasarkan mampu menanggung beban pengeluaran ini.
nomor urut kandidat), para pemilih masih Singkat kata, sistem daftar partai terbuka
mengidentifikasikan diri dengan partai politik. mendorong praktik jual-beli suara dan praktik
Dalam sebuah jajak pendapat pada 1999, 86% klientelistik lainnya; melemahkan peran partai-
responden mengungkapkan bahwa mereka partai politik sebagai aktor kunci dalam interaksi
merasa dekat dengan partai politik—sebuah demokratis; dan mengukuhkan pendanaan
indikator yang disebut sebagai identifikasi partai politik secara pribadi sebagai prinsip sistem
(ID). Jumlah ini turun drastis menjadi 54% pada keuangan politik yang dibangun oleh kandidat
sebuah jajak pendapat tahun 2004 ketika sistem indvidu yang kaya atau disokong donor. Alhasil,
pemilu mengadopsi sistem pemilihan presiden kecenderungan-kecenderungan ini membatasi
langsung. Kini, tingkat identifikasi partai di akses publik untuk masuk ke dalam arena
kalangan pemilih Indonesia hanya mendekati kontestasi politik, sehingga akhirnya hanya
angka 10%.14 Dengan demikian, partai tidak lagi terbuka bagi individu yang memiliki modal
diakui sebagai pemain penting sehingga memberi cukup untuk berpartisipasi. Hal ini memberikan
ruang bagi politikus populis dan figur non-partai perspektif yang agak berbeda (dan lebih suram)
lainnya untuk mengisi kekosongan itu. daripada pujian atas kemampuan Indonesia
Masalah-masalah yang ditimbulkan oleh menyelenggarakan pemilihan nasional kelima
sistem daftar partai terbuka di Indonesia sejak otoritarianisme berakhir.
mengilustrasikan bagaimana suatu sistem baru
yang dirancang dengan maksud baik justru
dapat mendatangkan sejumlah konsekuensi
negatif yang tidak diinginkan. Ketika hakim
Mahkamah Konstitusi mengetok palu atas
sistem itu pada 2009, mereka melakukannya
karena ingin memberikan kebebasan yang
lebih luas kepada pemilih dalam menentukan
siapa yang mewakili mereka di parlemen. Pada
saat itu, ada banyak keluhan tentang putusnya
hubungan akuntabilitas antara pemilih dan
anggota parlemen karena tidak ada mekanisme
untuk meminta pertanggungjawaban atas
tindakan para wakil rakyat. Maka, harapan
dari banyak kalangan adalah bahwa sistem
daftar terbuka akan memecahkan masalah ini:
dengan dibekali suara individu, warga negara

13 Edward Aspinall & Ward Berenschot, 2019. Democracy for sale: elections, clientelism and the state in Indonesia.
Cornell University Press, Ithaca.
14 Burhanuddin Muhtadi, 2019. Vote buying in Indonesia: the mechanics of electoral bribery. Palgrave Macmillan,
Singapore: 140

8
Sistem elektoral Indonesia: mengapa perlu direformasi

TANTANGAN #3

Ambang batas parlemen dan


persyaratan pembentukan partai
yang diperketat
_

K
etika sistem daftar partai terbuka pemilu harus memiliki kepengurusan cabang di
mengarah pada kompetisi yang semakin 50% dari total provinsi di Indonesia dan 50%
sempit—bukannya semakin adil— dari kabupaten/kota di provinsi-provinsi terkait.
perubahan di ranah lain dalam regulasi politik Banyak ahli dalam studi perbandingan pemilu
mengukuhkan tren itu. Perubahan yang paling mengagumi upaya Indonesia untuk menciptakan
menonjol adalah hambatan bagi partai baru sistem partai yang solid dengan membatasi
untuk masuk ke arena politik elektoral dan jumlah partai. Benjamin Reilly, misalnya,
ambang batas partai untuk melakukan nominasi memandang ambang batas tersebut krusial untuk
calon presiden, yang secara bertahap diperlebar. mencapai demokrasi yang stabil di Indonesia,15
Semakin sulit ditembus, blokade-blokade dan banyak pakar politik Indonesia, termasuk
menuju kontestasi politik ini lebih jauh lagi saya, setuju pada saat itu. Namun, elite politik
membatasi ruang bagi warga negara yang tertarik di Indonesia di kemudian hari melanjutkan
untuk terlibat dalam proses demokrasi namun upayanya untuk menaikkan syarat pendirian
tidak memiliki modal besar. dan pendaftaran partai, tanpa alasan yang jelas
Serupa dengan kasus sistem proporsional terkait risiko atas stabilitas demokrasi. Ketika
daftar terbuka, persyaratan pembentukan partai hanya sembilan partai yang lolos ke Senayan
yang tinggi pada awalnya ditetapkan dengan setelah Pemilu 2009—rekor terendah dalam
maksud baik. Penyusun sistem pemilu Indonesia sejarah—parlemen malah memutuskan untuk
dan partai politik pasca-1998 sangat khawatir meningkatkan syarat partisipasi partai dalam
dengan dua isu utama yang merusak stabilitas pemilu 2014, yakni memiliki kepengurusan
demokrasi Indonesia pada 1950-an. Pertama, ada cabang di seluruh provinsi dan di 75% dari total
kemungkinan atomisasi sistem partai yang dapat jumlah kabupaten/kota di Indonesia. Peraturan
membuat pemerintahan tidak bisa berjalan, yang sama kembali diterapkan pada Pemilu
sebagaimana fragmentasi politik menjatuhkan 2019.
sistem demokrasi pada akhir 1950-an. Kedua, Dalam konteks suatu rezim yang berdasarkan
adanya risiko kemunculan partai-partai lokal pendanaan politik secara pribadi, hambatan
yang berpotensi menggaungkan kembali pola yang disebutkan di atas meningkatkan ongkos
serupa pada sistem setelah 1949, ketika politik bagi pendatang baru untuk bisa berpartisipasi
berbasis etnis dan identitas lokal tidak saja dalam pertarungan politik Indonesia. Bahkan,
menyebabkan fragmentasi tapi juga ikut memicu karena isu atomisasi dan lokalisasi partai tidak
pemberontakan di berbagai daerah pada 1956 lagi relevan, masuk akal untuk berasumsi
dan 1957. Dalam rangka mengurangi risiko bahwa peraturan-peraturan pembatasan itu
atomisasi dan lokalisasi partai politik, anggota justru dibuat dengan sengaja guna memagari
DPR pasca-Suharto memutuskan bahwa partai persaingan politik dari pendatang baru. Hanya
baru yang mendaftar untuk ikut serta dalam

15 Benjamin Reilly, 2003. ‘Political parties and political engineering in the Asia Pacific region’. Asia Pacific Issues 71.
Dapat diakses di: https://www.eastwestcenter.org/system/tdf/private/api071.pdf?file=1&type=node&id=31967

9
Sistem elektoral Indonesia: mengapa perlu direformasi

elite-elite dalam lingkar oligarki dengan sesama mereka di bilik suara.


sumber daya besarlah yang mampu mendanai Salah satu masalah yang diciptakan oleh tata
biaya operasional partai di seluruh wilayah di kelola sistem partai yang berlebihan ini adalah
kepulauan Indonesia. Oleh karena itu, menjelang semakin berkurangnya wacana dan gagasan
Pemilu 2019 hanya ada empat partai baru yang keterwakilan. Hal ini tidak hanya berdampak
muncul—dan semua didukung secara finansial kepada basis pemilih kubu liberal atau kubu
oleh para taipan, termasuk putra Soeharto, kiri yang sejak lama kurang terwakili dalam
Tommy. Tetapi, bahkan dengan sokongan sistem kepartaian Indonesia; hal yang sama
finansial ini, tidak serta-merta para pendatang berlaku untuk pemilih Muslim ultrakonservatif.
baru menjadi kompetitif—tidak ada satu pun Sampai akhir-akhir ini, menjadi kebiasaan
dari partai baru yang berhasil mendapat kursi di umum di kalangan Indonesianis dan ilmuwan
DPR. Hal ini menambah bukti bahwa ambang politik komparatif untuk mengukur pengaruh
batas masuk ke parlemen telah bertransformasi politik Islamis terhadap arah negara dengan
dari instrumen rekayasa pemilu yang awalnya menganalisis hasil perolehan suara partai-partai
positif menjadi mekanisme pertahanan Islam konservatif dalam setiap pemilu—yang
partai-partai besar untuk melumpuhkan para biasanya kurang dari 10%. Maka, ketika satu
pendatang baru. juta lebih massa Islamis memenuhi jalan-jalan
Pada saat yang sama, ambang batas parlemen di Jakarta untuk memprotes mantan Gubernur
meningkat secara bertahap dari 0% pada 1999 DKI Basuki Tjahja Purnama pada Desember
menjadi 4% pada 2019. Bersama dengan 2016, menjadi terang-benderanglah persoalan
persyaratan pembentukan partai yang dibahas kurangnya keterwakilan pemilih Muslim
di atas, ambang legislatif ini membuat partai- konservatif, yang berjumlah besar, dalam sistem
partai kecil dan non-oligarki menghilang setelah kepartaian di Indonesia. Banyak peserta dalam
2009. Sebelumnya, partai-partai berbasis buruh aksi tersebut tidak memilih atau tidak berafiliasi
dan partai-partai Islam dengan komunitas dengan partai politik mana pun, dan mereka
pendukung terbatas hadir dan, meskipun memilih mobilisasi politik di luar jalur parlemen
tidak terlalu sukses, bisa mendapatkan kursi di karena banyak partai Islam yang ada telah
sejumlah parlemen lokal. Setelah Pemilu 2009, melunak di bawah tekanan regulasi sistem partai
mereka menghilang dan meninggalkan partai- politik—suatu sistem yang memang bertujuan
partai yang lebih besar untuk bersaing antara untuk memoderasi fanatisme atau ekstremisme

Photos: Para pakar dari masyarakat sipil membagi pandangannya


soal problematika sistem pemilu. Atas kiri: Isach Karmiadji
(IFES Indonesia); atas kanan: Titi Anggraini (Perludem); bawah:
Adhy Aman, (International IDEA).
Foto: Rahmat Santoso, CSIS

10
Sistem elektoral Indonesia: mengapa perlu direformasi

dalam politik Indonesia. menandakan berkurangnya kompetisi; tetapi juga


Survei telah menunjukkan bahwa sekitar 13% menyebabkan polarisasi ideologis yang semakin
dari total pemilih Muslim berpotensi memilih tajam. Pemilu 2014 dan 2019 memperlihatkan
kelompok ultrakonservatif, Front Pembela perpecahan serius antara kelompok beragama
Islam (FPI), seandainya organisasi ini maju yang pluralis dan etnis Jawa yang mendukung
dalam pemilu sebagai partai.16 Jika terjadi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) di satu sisi, dan
hal ini akan menjadikan FPI sebagai partai pemilih Muslim modernis di luar Jawa yang
berukuran sedang—di samping partai-partai mendukung lawannya, Prabowo Subianto, di sisi
Islam konservatif yang telah berjalan selama ini. lain. Artinya, polarisasi ini tidak hanya dihasilkan
Dengan kata lain, sistem kepartaian Indonesia oleh tren sosio-demografis saja, tetapi juga oleh
hari ini tidak bisa digunakan sebagai indikator sistem pemilihan yang mempersempit pilihan
yang baik untuk melihat ke arah mana negara kandidat presiden menjadi dua.
ini bergerak, baik dari segi politik ataupun Harus dicatat bahwa ambang batas pencalonan
ideologi. Sebaliknya, upaya meredam segala juga dinaikkan secara bertahap untuk posisi
bentuk ektremisme dalam politik Indonesia gubernur, bupati, dan walikota. Pada 2005,
telah menyembunyikan munculnya kelompok- ketika pemilihan kepala daerah dimulai, tiap
kelompok non-konformis di pinggiran (dan di kandidat diharuskan mendapat dukungan dari
luar) sistem politik formal. partai (atau gabungan partai) yang memegang,
Menciutnya persaingan dalam pemilihan paling tidak, 15% dari total kursi di parlemen,
legislatif tercermin pula dalam pemilihan di atau memperoleh 20% dari total suara pada
tingkat eksekutif. Dalam pilpres pertama pada pileg sebelumnya. Pada tahun 2014, ketentuan
tahun 2004, partai yang ingin mengajukan calon tersebut naik menjadi 20% dari total kursi,
harus mengamankan, paling tidak, 3% dari total atau 25% dari total suara. Pada saat yang
jumlah kursi di DPR (atau 5% dari total suara sama, para kandidat non-partai atau kandidat
nasional). Persyaratan ini terus naik menjadi independen, yang diizinkan sejak 2008, harus
20% dari total jumlah kursi parlemen atau 25% mengumpulkan tanda tangan warga dalam
dari total suara pileg pada pemilu 2009, dan jumlah besar sebagai bukti dukungan untuk
tidak berubah pada 2014 dan 2019. Ketentuan lolos proses verifikasi sebagai calon. Sekali
ambang batas partai tersebut tetap dipertahankan lagi, dalam sistem pendanaan politik yang
pada 2019, walaupun tidak masuk akal lagi didasarkan pada kemampuan keuangan pribadi,
sebab pemilihan legislatif dan pemilihan presiden hal ini secara telak mengucilkan kandidat yang
diadakan secara serentak. Sebelumnya, pileg tidak punya sumber daya untuk “mengikat”
selalu diselenggarakan lebih awal daripada pilpres partai atau mengumpulkan tanda tangan yang
dan hasil perolehan pileg menentukan partai atau diperlukan untuk memenuhi syarat pencalonan.
koalisi partai mana yang bisa mengajukan calon Tren ini jelas terlihat dari meningkatnya jumlah
presiden. Dengan pemilihan serentak, logika pemilihan lokal yang diikuti oleh hanya satu
yang dipakai untuk peraturan ambang nominasi calon. Sebelum 2015, tidak ada pilkada dengan
berdasarkan hasil pileg jelas tidak kuat lagi pada calon tunggal. Pada 2015, tiga pilkada hanya
2019. Meski demikian, elit-elit politik berpegang punya satu calon (1.1% dari total pilkada);
teguh pada peraturan itu, dan menggunakan pada 2017, sembilan pilkada hanya punya satu
hasil perolehan suara pada pileg 2014 sebagai calon (8.9%); dan pada 2018, ada 16 pilkada
basis perhitungannya. (9.4%) dengan kondisi serupa. Dengan kata
Peningkatan ambang batas pencalonan presiden lain, persoalan pembatasan arena kontestasi
secara langsung menyebabkan penurunan jumlah politik terlihat dengan jelas di semua tingkatan
kandidat secara berangsur-angsur. Pada 2004, (dari tingkat nasional sampai ke tingkat lokal):
ada lima kandidat, tiga pada 2009, dan hanya peningkatan ambang batas parlemen dan
dua pada 2014. Pada 2019, dua kandidat yang persyaratan pendirian partai telah mengurangi
sama mencalonkan diri lagi. Berkurangnya pilihan bagi pemilih, dan membuat calon kaya-
pilihan politik di bilik suara ini tidak hanya raya memiliki keunggulan yang signifikan.

16 Marcus Mietzner & Burhanuddin Muhtadi, 2018. ‘Explaining the 2016 Islamist mobilisation in Indonesia:
religious intolerance, militant groups and the politics of accommodation’. Asian Studies Review, 42(3): 479–497

11
Sistem elektoral Indonesia: mengapa perlu direformasi

TANTANGAN #4

Keterwakilan perempuan
dalam parlemen
_
D
ampak negatif sistem pendanaan, sistem para aktivis perempuan baru dipersiapkan
daftar partai terbuka, dan persyaratan untuk pemilu 2009. Sistem proporsional
ambang batas turut menghalangi setengah terbuka dipertahankan, tetapi satu
upaya untuk meningkatkan kuantitas dan dari setiap tiga kandidat dalam daftar haruslah
kualitas keterwakilan perempuan di dalam perempuan. Melalui zipper system semacam
parlemen. Persentase kandidat perempuan yang itu, urutan kandidat perempuan bisa dikunci
memenangkan kursi parlemen nasional memang dan paling tidak berada di peringkat ketiga.
meningkat dari 17,3% pada 2014 hingga 20,5% Akan tetapi, seperti yang telah dibahas di atas,
pada 2019. Akan tetapi analisis yang lebih Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan
mendalam atas profil mereka mengungkapkan sistem proporsional setengah terbuka dan
masalah-masalah serius yang banyak di antaranya justru menerapkan sistem proporsional yang
merupakan akibat dari cacat struktural sistem sepenuhnya terbuka. Keputusan MK tersebut
politik elektoral Indonesia yang telah dibahas di praktis membuat daftar nominasi menjadi tidak
atas. mengikat. Walaupun demikian, persentase
Para aktivis hak-hak politik perempuan di keterwakilan perempuan di parlemen naik
Indonesia sudah sejak lama mengadvokasikan menjadi 18,3%. Lima tahun kemudian, dengan
sistem perwakilan proporsional dengan sistem yang sama, persentase anggota parlemen
mekanisme daftar partai tertutup, yang perempuan turun menjadi 17,3%.
dilengkapi dengan persyaratan ketat untuk Pada 2019, sistem ini tidak mengalami
menempatkan kandidat perempuan di urutan perubahan signifikan—kecuali adanya janji
teratas dalam daftar nominasi.Namun, tidak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk lebih
ada satu pun pemilu pasca-Suharto yang sungguh-sungguh dalam menegakkan aturan soal
mengimplementasikan sistem itu. Pada 1999, kuota kandidat perempuan. Memang, jumlah
ketika sistem daftar partai tertutup diterapkan, kandidat perempuan yang dicalonkan oleh partai
tidak ada kuota untuk perempuan dalam daftar melampaui jumlah yang tercapai pada pemilihan
nominasi partai. Akibatnya, jumlah kandidat 2014 atau pemilihan-pemilihan terdahulu. Hal
perempuan rendah, dan hanya 8,8% dari ini menyebabkan peningkatan keterwakilan
anggota DPR angkatan pertama pasca-rezim perempuan di dalam parlemen seperti yang
otoriter adalah perempuan. Pada 2004, sistem saya kutip di atas. Fakta bahwa 20,5% caleg
proporsional setengah terbuka diperkenalkan perempuan berhasil lolos ke DPR bahkan
(di mana daftar nominasi memutuskan lolos merupakan rekor tertinggi dalam sejarah pemilu
atau tidaknya seorang kandidat bila ia tidak Indonesia, termasuk selama masa Orde Baru dan
memenuhi kuota perolehan suara individual), 1950-an.
dan ditetapkan bahwa 30% kandidat harus Namun, fokus yang terbatas pada persentase
perempuan—namun, dalam sistem tersebut perempuan di parlemen saja menyembunyikan
tidak ada instruksi spesifik untuk menempatkan pola-pola politik patronase yang telah mewarnai
perempuan di urutan atas dalam daftar nominasi. keterwakilan perempuan dalam politik. Terlebih,
Alhasil, sebagian besar kandidat perempuan peningkatan jumlah anggota legislatif perempuan
ditempatkan di urutan bawah, dan perwakilan pada 2019 diakibatkan oleh naiknya jumlah
perempuan pun hanya meningkat menjadi caleg wanita terpilih yang mempunyai hubungan
11,8%. kekerabatan dengan para lelaki di dalam
Sistem pemilu yang cukup mendekati aspirasi lingkaran kekuasaan. Dengan kata lain, istri,

12
Sistem elektoral Indonesia: mengapa perlu direformasi

anak perempuan, keponakan perempuan, dan peluang untuk terpilih semakin kecil seiring
kerabat lain dari politikus laki-laki berpengaruh dengan turunnya urutan seorang kandidat dalam
merupakan proporsi yang sangat signifikan daftar nominasi: 62,14% dari total kandidat
dalam jajaran caleg perempuan yang sukses dengan nomor urut pertama berhasil lolos.18
dalam kampanye mereka. Secara keseluruhan, Peluang itu menyusut ke angka 16,96% untuk
persentase kelompok itu naik dari sekitar 36% kandidat dengan nomor urut dua; 4,46% untuk
pada 2014 menjadi lebih dari 41% pada 2019.17 kandidat dengan nomor urut tiga, 4,64% untuk
Ada dua partai yang secara khusus berfokus pada kandidat dengan nomor urut empat, 3,75%
perekrutan kerabat perempuan dari para laki-laki untuk kandidat dengan nomor urut lima, dan
pejabat negara sebagai strategi untuk mendulang 6,96% untuk kandidat dengan nomor urut
suara dalam pileg 2019: Nasdem (Nasional enam. Pada 2019, tingkat keberhasilan kandidat
Demokrat) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera). tak berbeda dengan lima tahun lalu.19 Pada saat
Kerabat perempuan dari para pejabat yang sama, hanya 19% kandidat dengan nomor
berpengaruh tentu saja menjadi pilihan menarik urut pertama adalah perempuan pada pileg
bagi partai karena mereka tak akan kesulitan 2019. Ini berarti bahwa peluang perempuan
untuk beroperasi dalam rezim pemilu yang untuk menang terus berada di tangan pengurus
diuraikan di atas. Mereka jelas memiliki modal partai yang didominasi laki-laki dan para sponsor
finansial besar, yang membuat mereka tak yang mendanai pengurus tersebut.
kerepotan mendanai kampanye mereka sendiri; Bagaimanapun juga, di dalam gelap masih
nama mereka relatif dikenal di mata masyarakat ada titik terang. Sebuah riset tentang kandidat
sehingga bisa menonjol dan membedakan diri perempuan pada pileg 2019 yang dikoordinir
dibanding pesaingnya dalam sistem daftar partai oleh Sally White dan Edward Aspinall, bekerja
terbuka; partisipasi mereka memudahkan partai sama dengan Universitas Gadjah Mada
untuk memenuhi kuota kandidat perempuan; Yogyakarta, menemukan bahwa banyak kandidat
dan mereka menjanjikan imbalan berupa perempuan yang tidak memiliki modal politik
akses ke sumber daya negara dan lembaga kekerabatan dengan elite politik laki-laki juga
pemerintah—faktor vital dalam budaya pemilu berhasil lolos.20 Seperti diindikasikan oleh
yang masih berpusat pada negara. Oleh karena statistik yang diuraikan di atas, hampir 60% dari
itu, walaupun para anggota legislatif perempuan total anggota legislatif terpilih tidak memiliki
dari arena pejabat negara ini berkontribusi hubungan keluarga dengan “orang berpengaruh”
pada peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik. Namun, program penelitian itu
di parlemen, mereka juga berperan dalam juga menggarisbawahi keterlibatan sejumlah
memperkuat status quo yang memungkinkan kandidat perempuan dalam praktik-praktik
mereka bisa berkuasa. klientelistik, seperti memberi “sumbangan”
Dalam status quo ini, politikus laki-laki kepada organisasi akar rumput tertentu,
berhasil mempertahankan dominasi politik menggunakan patronase yang terkait dengan
mereka. Dominasi tersebut sebagian dicapai lembaga negara, atau sekadar memberi uang
dan dilembagakan dengan menaruh kandidat untuk membeli suara. Dengan demikian,
perempuan di urutan bawah dalam daftar bahkan kandidat perempuan yang berada di luar
nominasi. Walaupun kandidat di urutan bawah lingkaran keluarga politikus ternyata menyadari
masih berpeluang menang dengan mendapatkan bahwa mereka harus bermain sesuai aturan main
lebih banyak suara individual dibanding sistem klientelistik yang ada kalau ingin menang.
pesaingnya yang berada di urutan atas, pada
kenyataannya hal ini jarang terjadi. Pada 2014,

17 ‘Puskapol UI: caleg perempuan terpilih DPR didominasi aktivis parpol’. Kompas.com, 27 Mei 2019. Dapat
diakses di: https://nasional.kompas.com/read/2019/05/27/16391061/puskapol-ui-caleg-perempuan-terpilih-dpr-
didominasi-aktivis-parpol
18 ‘Perempuan di DCT pemilihan anggota DPR dan DPD RI 2019, pukulan bagi gerakan perempuan’. Situs
web Perludem, 28 September 2018. Dapat diakses di: www.perludem.org/2018/09/28/perempuan-di-dct-pemilihan-
anggotadpr-dan-dpd-ri-2019-pukulan-bagi-gerakan-perempuan/
19 ‘Pemilu 2019: lebih 40% caleg perempuan yang lolos ke Senayan terkait “dinasti politik”’. BBC News Indonesia,
29 Mei 2019. Dapat diakses di: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48429453
20 Hasil penelitian ini akan segera tersedia dalam makalah yang akan diterbitkan di New Mandala
13
Sistem elektoral Indonesia: mengapa perlu direformasi

TANTANGAN #5

Mengekspresikan penolakan
_
T
erakhir, sistem pemilu Indonesia pun yang efektif untuk menghitung kedua manifestasi
tidak mampu memfasilitasikan ekspresi golput tersebut. Karena mencoblos tidak wajib
ketidakpuasan warga terhadap sistem di Indonesia, maka abstain yang bermotif politis
politik secara keseluruhan. Kelemahan ini tidak akan dibedakan dengan alasan golput lain,
terlihat jelas dalam Pemilu 2019 ketika banyak seperti kesibukan, kemalasan atau pertimbangan
aktivis hak asasi manusia (HAM) dan pemilih praktis lainnya. Selain itu, persentase suara yang
progresif lainnya memandang kedua pasangan terbuang dengan tidak sengaja dalam pemilihan
calon presiden dan wakil presiden yang ada tidak umum di Indonesia lazimnya lumayan tinggi,
layak untuk dipilih. Sebagai konsekuensi, mereka mengingat peraturan tentang cara mengisi atau
mempertimbangkan untuk abstain (golput) atau mencoblos surat suara yang sering berubah dan
merusak surat suara di hari pemilihan. kompleks. Ini berarti bahwa statistik suara yang
Namun, upaya aktifis golput ini dihambat oleh dibuang dengan sengaja selalu akan dicampur
dua hal: pertama, sudah menjadi tradisi para dengan statistik suara yang dibuang dengan
pejabat publik Indonesia untuk memandang tidak sengaja. Akibatnya, membuang suara
partisipasi pemilih yang tinggi sebagai tugas dengan tidak sengaja dengan atau golput untuk
mereka. Kepala desa, bupati, atau gubernur mengekspresikan kekecewaan terhadap sistem
sering kali dinilai dari kemampuan mereka politik menjadi alat yang tidak efektif.
dalam memobilisasi pemilih. Partisipasi Tak hanya pilihan politis kian menyempit
pemilih yang rendah, dalam sudut pandang untuk pemilih, tidak ada cara yang terlembaga
ini, menandakan lemahnya kontrol pejabat atas untuk menyuarakan keberatan terhadap
wilayahnya. Pada 2019, kampanye pemerintah status quo ini. Sementara itu, beberapa
untuk mendongkrak tingkat partisipasi pemilih pemilih—terutama di dalam lingkaran
lebih intensif lagi karena jumlah pemilih yang komunitas Muslim konservatif—kemudian
rendah dipandang secara luas sebagai ancaman menumpahkan amarahnya ke jalanan karena
terhadap Presiden Jokowi sebagai petahana. merasa terpinggirkan. Namun, bentuk oposisi
Banyak pendukung Jokowi dalam Pemilu 2014 dan mobilisasi ekstra-parlementer ini bukanlah
berpikir untuk abstain karena dia dianggap tidak bentuk interaksi politik yang sehat; melainkan
lebih baik daripada pesaingnya, seorang populis sebuah indikasi bahwa sistem yang ada tidak
garis keras, Prabowo Subianto. Oleh karena itu, lagi menyediakan jalur yang bisa dipakai semua
polisi dan berbagai instansi pemerintah dan orang untuk mengekspresikan pandangan politik
militer memulai suatu kampanye sistematis melalui proses yang demokratis.
untuk “mendorong” pemilih menggunakan Sama halnya dengan jumlah suara untuk
hak pilih mereka. Pada puncak kampanye ini, partai-partai Islam di pemilu yang sudah tidak
Menkopolhukam Wiranto mengancam bahwa bisa lagi menjadi ukuran tepat untuk mengukur
siapa pun yang menyerukan abstain bisa dituntut beredarnya sikap Islamis di kalangan Muslim
dengan undang-undang terorisme.21 Karena Indonesia, partisipasi pemilih dalam pemilu saja
merasa terintimidasi, banyak pemilih yang bukanlah tolok ukur yang cocok untuk menilai
semula berencana untuk abstain berubah pikiran kuatnya dukungan publik terhadap sistem
sehingga jumlah pemilih meningkat menjadi demokrasi. Untuk ini, arena sistem pemilihan
sekitar 80%. yang ada sudah menjadi terlalu sempit, terlalu
Hambatan kedua untuk abstain atau banyak didominasi oleh kandidat kaya, dan
merusakkan suara sebagai ungkapan perbedaan terlalu terperosok jauh ke dalam praktik
pendapat adalah tidak tersedianya mekanisme klientelistik.

21 ‘Wiranto: mengajak golput itu namanya mengacau, bisa dijerat UU’. DetikNews, 27 Maret 2019. Dapat diakses
di: https://news.detik.com/berita/d-4485389/wiranto-mengajak-golput-itu-namanya-mengacau-bisa-dijerat-uu
14
Sistem elektoral Indonesia: mengapa perlu direformasi

KESIMPULAN

Beberapa gagasan untuk reformasi

_
Above: Spanduk caleg di Jakarta, Maret 2019.
Foto: Liam Gammon

M
embuat suatu peta permasalahan yang yang tersedia di Indonesia pada titik ini. Kesan
tertanam di dalam sistem elektoral umum akan suksesnya Pemilu 2019 bahkan
yang ada tentu jauh lebih mudah menghambat diskusi tentang reformasi sistem
ketimbang mencari solusi-solusi manjur untuk pemilu; secara keseluruhan, pemerintahan stabil;
memperbaikinya. Di dalam konferensi kami, ada dan tidak ada indikasi bahwa para aktor politik
banyak gagasan yang dikemukakan dan tentu melihat adanya kebutuhan akan perubahan
saja ada perbedaan-perbedaan pendapat yang besar. Maka, diskusi apa pun tentang gagasan-
besar di kalangan para peserta. Meski demikian, gagasan reformasi perlu disajikan dengan
ada sejumlah pokok pikiran yang dapat disusun, peringatan bahwa hanya ada kemungkinan
dan yang susah dihindari saat membahas opsi- kecil akan berlangsungnya reformasi berskala
opsi revisi atas status quo sistem pemilu. luas di Indonesia, dan bahwa suatu revisi atas
Pertama-tama, penting diingat bahwa tekanan undang-undang pemilu sebelum putaran pemilu
terhadap reformasi pemilu secara menyeluruh selanjutnya pada 2024—seandainya terjadi—
di Indonesia saat ini rendah—walaupun cacat akan terbatas dalan jangkauannya.
struktural yang ada sungguh gawat. Allen Hicken Namun, kalau para pembuat kebijakan di
telah menekankan (dalam buku suntingan Indindonesia benar-benar ingin bahwa sistem
Paul Hutchcroft tentang reformasi pemilu di pemilu Indonesia menjadi lebih demokratis,
Filipina)22 bahwa perubahan terhadap sistem inklusif, dan efektif, beberapa perubahan
pemilu biasanya terjadi bila a) keseluruhan sistem harus dimulai. Pada hakekatnya, reformasi
politik sedang dalam proses disintegrasi, b) suatu dalam bentuk apa pun harus diawali dengan
krisis politik berujung pada reformasi kerangka perubahan-perubahan fundamental atas sistem
rezim, atau c) aktor-aktor memutuskan bahwa keuangan politik. Tanpa perubahan semacam itu,
mereka berkepentingan akan sebuah pendekatan revisi di bidang elektoral lain sudah pasti tidak
baru. Tidak ada satu pun dari kondisi-kondisi itu akan produktif. Walaupun perinciannya memang

22 Allen Hicken, 2019. ‘Why (and how) electoral systems shape development outcomes’ dalam Paul Hutchcroft
(Red.) Strong patronage, weak parties: the case for electoral reform in the Philippines. Anvil Publishing, Manila.

15
Sistem elektoral Indonesia: mengapa perlu direformasi

rumit, sudah jelas bahwa reformasi keuangan tinggi dalam daftar nominasi kepada kroni dan/
politik harus menyertakan dua komponen atau penawar paling tinggi. Oleh karena itu,
utama: pertama, peningkatan signifikan dalam sistem baru harus menghindari kekurangan
pendanaan negara untuk partai dan kandidat; yang dikaitkan baik dengan sistem proporsional
dan kedua, rezim pengawasan yang lebih ketat daftar terbuka maupun tertutup. Segera setelah
atas donasi dan pengeluaran. Bahkan, KPK jatuhnya Suharto pada 1998, tim pemerintah
(yang biasanya tidak berempati terhadap kelas yang ditugaskan untuk menyusun sistem pemilu
elit politik) akhirnya berkesimpulan bahwa baru mengusulkan untuk mengadopsi sistem
subsidi negara yang lebih besar terhadap Jerman—di mana separuh kursi diperebutkan
partai harus menjadi bagian dari keseluruhan berdasarkan sistem distrik dan separuhnya
agenda reformasi pemilu dan antikorupsi. lagi berdasarkan sistem proporsional dengan
Pendanaan publik yang lebih besar seperti ini daftar tertutup. Usulan ini ditolak oleh
jelas harus diikutsertakan oleh transparansi dan parlemen, tetapi salah seorang anggota tim,
akuntabilitas lebih besar pula—dan ini menjadi Andi Mallarangeng, di dalam konferensi kami
alasannya mengapa banyak partai masih menolak berkata bahwa Indonesia sebaiknya kembali
langkah tersebut. mempertimbangkan konsep ini.
Selain itu, sudah jelas pula bahwa sistem Opsi lain adalah memberlalukan peraturan-
proporsional dengan daftar terbuka perlu peraturan yang bisa melindungi sistem
direformasi. Sistem ini telah meningkatlan proporsional daftar tertutup dari dominasi elite
praktek jual-beli suara, melemahkan partai, partai. Hal ini bisa terwujud dalam bentuk
dan mempersulit perempuan untuk bisa pemilu pendahuluan (primary) atau konvensi
terpilih. Pada saat bersamaan, kembali ke sistem khusus untuk menentukan posisi dalam daftar
proporsional daftar yang sepenuhnya tertutup partai, yang juga harus disertai dengan peraturan
seperti 1999 akan bermasalah—waktu itu para lebih ketat tentang penempatan perempuan.
pemimpin partai menyerahkan posisi peringkat Harus ada persyaratan bagi partai untuk tidak
Below: Peneliti membagi pandangannya soal problematika sistem pemilu di Indonesia. Atas kiri: Dr Burhanuddin Muhtadi (Indikator Politik
Indonesia/UIN Jakarta), atas kanan: Dr Sally White (ANU), bawah kanan: Dr Ward Berenschot (KITLV), bawah kiri: Dr Philips Vermonte (CSIS).
Foto: Rahmat Santoso, CSIS

16
Sistem elektoral Indonesia: mengapa perlu direformasi

hanya menempatkan seorang perempuan di kandidat non-partai harus dimungkinkan


antara tiga teratas, tetapi di tingkat pertama atau dan mereka tidak boleh dihalangi dengan
kedua. Hanya segelintir partai memperoleh tiga persyaratan jumlah tanda tangan dukungan yang
kursi di sebuah daerah pemilihan—kebanyakan nyaris mustahil tercapai—sebagaimana yang
memperoleh maksimal satu atau dua. Maka, berlaku saat ini untuk nominasi independen
hanya calon peringkat pertama atau kedua yang di dalam pemilihan kepala daerah. Ketakutan
punya peluang realistis memasuki parlemen. Jika elite Indonesia terhadap fragmentasi politik
reformasi regulasi seperti ini dipadukan dengan akibat terlalu banyak kandidat tampaknya
pendanaan negara yang lebih besar untuk partai keterlaluan, khususnya karena Indonesia punya
politik, insentif untuk mencalonkan kerabat sistem pemilihan ulang untuk dua calon dengan
perempuan dari pemegang kekuasaan laki-laki suara terbanyak. Dalam Pemilu 2017 di Chile,
bermodal besar juga akan berkurang. misalnya, ada delapan kandidat dalam putaran
Lebih jauh lagi, persoalan mengecilnya ruang pertama, tanpa efek negatif terhadap kesehatan
partisipasi politik harus ditangani dengan demokratis republik tersebut. Sebaliknya, dalam
mereformasi persyaratan pembentukan partai, kampanye itu banyak gagasan berkompetisi
ambang batas legislatif dan peratutran calon secara adil, yang memberikan mandat lebih
presiden yang ada. Persyaratan bagi partai untuk kredibel kepada presiden yang terpilih.
punya cabang di semua provinsi adalah hal yang Akhirnya, akan berguna untuk menciptakan
berlebihan dan tampaknya tidak memenuhi mekanisme bagi pemilih yang tidak puas
fungsi apa pun kecuali melindungi kepentingan- terhadap semua kandidat (dan sistem politik
kepentingan partai yang sudah kokoh itu sendiri) untuk mengekspresikan sikapnya.
posisinya. Menurunkan persyaratan ini dapat Di India dan Kolombia, misalnya, ada pilihan
dilakukan dengan mudah tanpa menciptakan “Tidak Satu Pun dari Calon di Atas” tertera
bahaya perpecahan dan naiknya sentimen pada surat suara. Adhi Aman dari International
lokal. Mengenai ambang batas parlementer, Institute for Democracy and Electoral Assistance
sebaiknya ada perdebatan baru tentang tingkat (International IDEA) bicara di dalam konferensi
dan mekanismenya yang terbaik. Jika sistem kami bahwa hal itu terbukti tidak mengganggu
proporsional daftar terbuka dibiarkan terus proses politik—tetapi justru memberikan
berlanjut, misalnya, akan masuk akal untuk suara bagi pemilih yang ingin menyatakan
menghapuskan ambang batas bagi kandidat keyakinannya bahwa rezim pemilu yang ada
partai yang menang dengan perolehan suara tidak menyajikan pilihan layak bagi warganya.
individu tinggi di daerah pemilihannya tetapi Gagasan-gagasan yang disajikan di atas tidak
tidak mampu mengklaim kursi karena hasil merupakan suatu konsep final yang menurut
nasional partainya. Pada 2019, dua kandidat kami harus dilaksanakan. Lebih tepatnya, ide-
perempuan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), ide kami ditawarkan justru sebagai langkah
sebuah partai baru, memenangkan suara di awal perdebatan, bukan akhir. Pesan utama
Jakarta dalam jumlah besar, tetapi tidak bisa makalah ini, dan konferensi yang mengawalinya,
memasuki parlemen karena PSI tidak mencapai adalah, terlepas dari pujian luas terhadap pemilu
ambang 4%. Di sisi lain, jika ada proses demokratis Indonesia yang kelima sejak 1999,
perubahan menuju sistem proporsional dengan keadaan tidak sepenuhnya baik-baik saja.
daftar tertutup, keseluruhan ambang batasnya Makalah ini hendak memperingatkan bahwa
harus diturunkan karena bahkan partai dengan praktek terlalu banyak memuji diri sendiri dapat
suara nasional lebih daripada 6 juta dapat gugur membuat kami buta terhadap masalah-masalah
kalau tidak mencapai 4%. mendasar dalam sistem pemilu yang telah
Penting pula bahwa ambang batas untuk merugikan demokrasi Indonesia. Bagaimana
nominasi calon presiden harus diturunkan masalah-masalah ini diperbaiki harus menjadi
secara signifikan. Pada dasarnya, partai-partai topik diskusi yang inklusif dan demokratis dalam
harus tetap menjadi pintu akses utama bagi masyarakat Indonesia secara luas, bukan hanya di
nominasi agar mereka tidak jadi lebih lemah kalangan aktor-aktor elite yang berkepentingan
lagi. Namun, ambang yang lebih rendah akan membela status quo.
menghasilkan kelompok kandidat yang lebih
besar dan beragam. Pada saat bersamaan,

17
D E PA R T M E N T O F P O L I T I C A L
& SOCIAL CHANGE


DISCLAIMER
The views expressed in this paper and all other New Mandala
publications are the authors’ own and are not meant to
represent those of the Australian National University.


SANGGAHAN
Pandangan-pandangan yang diungkapkan dalam makalah
ini dan semua publikasi New Mandala lainnya adalah milik
penulis dan tidak dimaksudkan untuk mewakili pandangan
Australian National University.

Anda mungkin juga menyukai