Anda di halaman 1dari 16

CRITICAL JURNAL REVIEW

POLITIK LOKAL DI INDONESIA DARI OTOKRATIK KE REFORMASI POLITIK,


PERANAN PARTAI POLITIK DALAM MELAKSANAKAN PENDIDIKAN POLITIK

Untuk memenuhi tugas Geografi Regional Asia Tenggara dan Pasifik

Dosen Pengampu : Drs.Mbina Pinem,M.Si.

Oleh:

Irvi Sari Chairuna Pulungan

(3173131018)

Kelas D.2017

JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas Critical
Jurnal Review . Dan juga tidak lupa saya berterima kasih kepada Dosen mata kuliah
Geografi Regional Asia Tenggara dan Pasifik.

Penulis sangat berharap tugas makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang penulis harapkan.
Untuk itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.

Semoga tugas sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun bagi orang
yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-
kata yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.

Medan, Mei 2019

Irvi Sari Chairuna Pulungan


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang
Kondisi politik lokal di Indonesia saat ini juga menunjukkan realititas positifnya dengan
dibenarkannya masyarakat untuk memilih kepala daerah secara langsung yang sekaligus
memberangus mekanisme dropping elit dari pusat seperti yang berlaku pada zaman Orde Baru,
mulai bermunculannya kepalakepala daerah perempuan, terealisasinya pembagian keuangan
pusat dan daerah yang lebih adil dibandingkan sebelumnya, dan lainnya. Partai-partai politik
yang terorganisir timbul pada akhir abad ke-18 dan 19 di Eropa Barat, sebagai buah dan usaha
usaha kelompok-kelompok di luar lingkungan kekuasaan politik untuk bersaing memperebutkan
jabatan pemerintahan dan mengendalikan kebijaksanaan pemerintahan. Ketika gerakan-gerakan
kelas mengendalikan dan kelas buruh ini mulai mendesak kelaskelas atas dan aristoktrat demi
partisipasi dalam pembuatan keputusan, kelompokkelompok yang menjalankan pemerintahan
terpaksa mencari dukungan publik dalam rangka mempertahankan pengaruh dominan mereka.
Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi politik mencakup
semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihanpemilihan
politik dan turut serta secara langsung ataupun dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam
badan itu, berkampanye dan menghadiri kelompok diskusi dan sebagainya. Kebalikan dari
partisipasi politik adalah “apatis”. Seseorang dinamakan apatis (secara politik) jika dia tidak ikut
serta dalam kegiatan-kegiatan tersebut di atas.
B. Tujuan
Untuk pemenuhan tugas mata kuliah Regional Asia Tenggara dan Pasifik
BAB II

RINGKASAN JURNAL

A. Identitas Jurnal

Jurnal 1

Judul : Politik lokal di Indonesia dari otokratik ke reformasi Politik

Penulis : Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff

Jurnal : Ilmu Politik

Tahun : 2010

Jurnal 2

judul : Peranan Partai Politik dalam Melaksanakan Pendidikan Politik

penulis : Payerli Pasaribu

jurnal : Ilmu Pemerintahan dan sosial Politik

Tahun : 2017

ISSN : 25491660
B. Ringkasan Jurnal

Jurnal 1

Pendahuluan

perbincangan dan kajian mengenai politik lokal pasca Orde Baru selalu menarik perhatian. Ini
karena politik lokal pada masa itu memberikan dampak yang diametral. Keadaaan ini disebabkan
oleh keadaan tarik menarik kepentingan pusat dan daerah, ditambah lagi dengan wujud otonomi
daerah dan pemekaran daerah (redistricting). Percampuran ini memberikan corak tersendiri
terhadap politik lokal karena hasilnya yang beraneka ragam. Tetapi jika disederhanakan,
keanekaragaman tersebut menghadirkan dua implikasi. Pertama, ia menghasilkan ‘kebaikan
bersama’ bagi masyarakat, dan kedua, sebaliknya. Kondisi politik lokal di Indonesia saat ini juga
menunjukkan realititas positifnya dengan dibenarkannya masyarakat untuk memilih kepala
daerah secara langsung yang sekaligus memberangus mekanisme dropping elit dari pusat seperti
yang berlaku pada zaman Orde Baru, mulai bermunculannya kepalakepala daerah perempuan,
terealisasinya pembagian keuangan pusat dan daerah yang lebih adil dibandingkan sebelumnya,
dan lainnya. Politik pasca Orde Baru merefleksikan logika dan mekanisme ‘politik baru’ bagi
masyarakat (dan elit) di semua level kepolitikan. ‘Politik baru’ menggambarkan resistensi
terhadap ‘politik lama’ yang otokratik, represif, dan memusat (sentralisme). Interpretasi atas
‘politik baru’ juga dipahami sebagai lahirnya polisentrisme atas konsekuensi dari desentralisasi.
Polisentrisme diartikan secara sederhana sebagai perjuangan kolektif masyarakat atau daerah
untuk menolak gagasan (atau penguasa) lama yang dianggap telah melemahkan identitas dan
kekuasaan mereka. Masyarakat sipil dalam banyak kenyataan memang dianggap sebagai media
bagi transformasi politik. Ini karena masyarakat sipil bukan hanya sebagai ikatan sosial di luar
organisasi resmi yang mampu menggalang solidaritas kemanusiaan bagi menciptakan kebaikan
bersama di bawah prinsip egalitarianisme dan inklusivisme universal ,5 tetapi juga mempunyai
kekuatan untuk mengimbangi kekuasaan pemerintah serta menghalangi tindak tanduk mereka
yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Masyarakat sipil juga dipercaya mampu
memainkan peran sebagai pengawal kepentingan masyarakat umum dan dapat menghalangi
pemerintah dari upaya mendominasi dan memanipulasi masyarakat. Dengan arah yang tidak
berlawanan.
Teori

Sebagai dampak dari tumbuhnya ‘politik baru’ dan polisentrisme di Indonesia, lanskap politik di
level lokal turut berubah. Otonomi daerah, redistricting, dan pemilihan kepala daerah langsung
(Pilkada) atau pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) adalah sebagian wujudnya. Namun
demikian, tidak semua kemunculan ‘politik baru’ menghadirkan ‘kebaikan bersama’ bagi warga
masyarakat. Misalnya, di India—salah satu negara demokrasi besar di dunia—demokratisasi
yang mencetuskan ‘politik baru’ justru semakin memantapkan politik kasta dan kelas.9
Akibatnya, politik lokal di India sangat dinamik dan rentan akan ledakan manipulasi politik. Hal
yang lebih kurang sama terjadi di Camaçari, Brazil. ‘Politik baru’ di Camaçari mendorong
munculnya klientisme antara elit ekonomi dan politik sehingga menyulut ungovernability yang
akut (tidak berfungsinya tata kepemerintahan secara efektif dan efisien). Efeknya sangat nyata,
yaitu: ‘perampasan’ keuangan daerah oleh para elit ekonomi dan politik.10 Para
elit, baik yang duduk di kursi eksekutif maupun di legislatif, sama-sama memanfaatkan kas
daerah untuk mempertahankan klien (bawahan) atau kroni mereka. Dengan cara memanipulasi
badan pembuat kebijakan di level lokal para elit di Camaçari mengarahkan aparatur pemerintah
untuk menghasilkan keputusan politik yang menguntungkan dirinya dan kroninya. Dampaknya
tidak sedikit bos ekonomi dan orang kuat lokal (local strongmen) yang kemudian menjadi tokoh
formal.

Pembahasan

Pada masa sebelum tahun 1973, ‘bapak pelindung’ dikenal karena kontrolnya yang menggurita
terhadap jajaran elit politik di level lokal. Mereka juga disegani karena kemampuannya
mengendalikan masyarakat melalui aparatur koersifnya di daerah. Mereka juga menggunakan
kekuatan koersif ini sebagai modal pengakumulasi modal. Tetapi setelah tahun berlalu yang
diwarnai proses transformai politik ke arah demokrasi, ‘bapak pelindung’ lebih dikenali sebagai
broker ekonomi dan politik. Mengingat posisinya yang strategis (memiliki pengaruh dan
pengikut yang luas lagi banyak), tidak jarang patron dan kroni mereka meminta dicarikan ‘suara’
dalam setiap pemilihan umum nasional maupun lokal. Atas bantuan itu kroni-kroni ‘bapak
pelindung’ mendapat kekuasaan, sehingga memudahkannya untuk menagih ‘upeti.’ Bahkan
beberapa chao pho besar maju bersaing dan terpilih untuk menduduki kursi parlemen seperti
Narong Wongwan (tersangka pedagang narkotika yang ditolak masuk ke Amerika Serikat) dan
Kamnan Po (dikenal sebagai godfather dari Provinsi Chonburi). ahkan ada kalanya proses itu
justru memancing pembalikan demokratisasi seperti terjadi di Nigeria pada 1983, Peru pada
1992, dan Sierra-Leone tahun 1997.18 Kalaupun proses demokratisasi berjalan baik, selalu saja
proses penyesuaian (political alignment atau political adjusment) atas perubahan politik
berlangsung cukup pelik. Di antara kepelikan tersebut adalah munculnya bos-bos ekonomi yang
menjadi elit politik formal maupun local strongmen dalam politik lokal. Kehadiran mereka
berkorelasi dengan ketergoncangan politik kekuasan pusat akibat tercetusnya polisentrisme yang
bercampur dengan menguatnya politik identitas di daerah. Kondisi ini merupakan modus vivendi
antara weak state dan strong society yang mendorong konsolidasi para local strongmen dalam
meningkatkan peran dan pengaruhnya di politik lokal.

Dinamika politik lokal di Indonesia selalu berubah sepanjang waktu. Pada era sebelum
kemerdekaan, politik lokal di Nusantara menunjukkan potret buram karena penguasa
memperoleh kekuasaan dalam kerangka hukum adat yang totaliter. Akibatnya sebagian besar
lapisan masyarakat hanya diakui sebagai hamba (bukan warga) yang tidak pernah menjadi subjek
pembangunan semasa itu. Masyarakat dijadikan objek dari kehidupan politik yang tidak berpihak
kepada mereka. Pelbagai bentuk pajak dan upeti ditarik oleh penguasa melalui aparatur
represifnya yang menjadikan kondisi ekonomi masyarakat semakin terpuruk. Perlakuan
penguasa yang tidak manusiawi itu kemudian mencetuskan perlawanan rakyat. Cerita ataupun
mitos tentang orang kuat lokal seperti Ken Arok, Samin, Pitung dan lainnya, yang berupaya
melawan pusat kuasa memantulkan sedikit dari sekian banyak bentuk ataupun hasrat
pembangkangan sipil pada masa lalu. Mengikuti banyak kisah, pada masa lalu orang kuat lokal
memiliki citra positif dan peran signifikan di mata masyarakat. Citra dan peran seperti itu
terbangun karena pembelaan para local strongmen terhadap kepentingan rakyat yang tertindas,
walau dari cara pandang yang berbeda di pihak penguasa,orang-orang kuat lokal ini
melakukan tindak kejahatan dan perampokan. Meski demikian, kehadiran dan kiprah para orang
kuat lokal telah menegaskan atas melembaganya local strongmen dan polisentrisme di masa lalu.
Politik lokal di Indonesia semakin dinamik setelah proklamasi kemerdekaan, ketika kekuatan
masyarakat mulai merembes masuk ke lembaga-lembaga formal. Keadaan ini lebih kurang
merupakan legasi positif dari rancangan kolonial Belanda untuk menyediakan kesempatan
kepada masyarakat awam terlibat dalam kepolitikan dalam konteks implementasi politik etis.
Walhasil, para elit tradisional (bangsawan daerah) harus bersaing dengan masyarakat umum
yang juga berusaha keras mendapatkan posisi dalam lembaga-lembaga negara. Selain persaingan
antara elit tradisional dan masyarakat awam yang mengemuka pascaproklamasi, masalah
etnisitas juga menonjol dalam kerangka nation-building di Indonesia.

Selama 30 tahun lebih Indonesia di bawah kekuasaan rezim otokratik (1966-1998), sistem politik
di tingkat pusat maupun lokal sangat terkontrol oleh pusat kuasa di Jakarta. Akibatnya, badan
eksekutif dan legislatif di kabupaten, kota, dan provinsi terkunci dalam hegemoni Jakarta. Ini
karena posisi pejabat tinggi di daerah pada dasarnya ditentukan oleh Departemen Dalam Negeri
(Depdagri) yang mempunyai kepentingan mengendalikan kekuasaan elit lokal. Hal ini misalnya
terlihat dari upaya yang dilakukan elit politik pusat pada saat pemilihan gubernur Riau pada
tahun 1985. Semasa itu elit politik pusat melalui Golkar telah memanggil dan menginstruksikan
para anggota parlemen di Riau untuk memilih Mayor Jenderal Imam Munandar (incumbent).
Bahkan untuk memastikan kemenangan incumbent, beberapa hari kemudian para pejabat tinggi
partai pendukung pemerintah itu berangkat ke Pekanbaru. Tidak hanya itu, akhir Agustus 1985,
sebelum pemilihan gubernur yang bersifat ‘parlementer’ diselenggarakan, utusan dari markas
besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Depdagri juga mengadakan perjalanan ke
Pekanbaru. Di sana mereka bertemu dengan para pimpinan tentara dan pimpinan Golkar di
DPRD untuk membicarakan skenario pemilihan gubernur yang berjalan: masing-masing calon
pendamping akan menerima tiga suara, dan sisanya akan diberikan kepada Imam.

Ketika krisis moneter menghantam Indonesia pada tahun 1997, dalam tempo yang tidak terlalu
lama, ledakan politik yang didetonatori oleh gerakan mahasiswa berhasil menghancurkan kuasa
pusat di Jakarta. Ambruknya Orde Baru sekaligus menandai polisentrime baru yang
menolak kuasa pusat (decentring). Dengan menggantungkan harapan yang sangat tinggi pada
jiwa zaman saat itu (reformasi politik), otonomi daerah yang diundangkan pada tahun
1999 dan dilaksanakan dua tahun kemudian membuka peluang bagi pembatalan pelbagai
mekanisme pungutan liar, pemberhentian penjarahan keuangan negara oleh elit lokal, dan
penolakan atas budaya bosisme dan local strongmen di daerah. Hal ini dimungkinkan karena
pengaruh pusat di daerah terdekonstruksi oleh politik reformasi sehingga individu-individu
yang dianggap sebagai ‘orang Jakarta’ (yang berada di daerah) terdelegi timasi kedudukannya.
Mereka tidak lagi bisa menjadi broker bagi kepentingan pusat di daerah. Ataupun, mereka kini
tidak dapat lagi menjadi penguasa tunggal di daerah karena polisentrisme politik telah
mengalahkan logika sentralisme politik. Perubahan haluan dari ‘politik lama’ yang tersentralisasi
dan terkontrol kepada ‘politik baru’ yang terdesentralisasi dan egaliter membawa angin segar
bagi politik lokal di Indonesia, setidaknya pada tahuntahun pertama reformasi.

Penutup

Politik lokal di Indonesia mengalami turbulensi yang dramatik selama beberapa dekade terakhir.
Ada masa di mana politik lokal terintervensi oleh tangan kepentingan elit politik pusat
khususnya pada periode awal kemerdekaan dan semakin akut pada era rezim Orde Baru, tetapi
ada pula masa di mana politik lokal berhasil menonjolkan jati dirinya khususnya pada saat
reformasi ini. Dua hal yang menonjol dari kedinamisan politik lokal di Indonesia adalah:
pertama, politik lokal di Indonesia selalu berusaha dikendalikan oleh pusat karena sumber
sumber dayanya yang menggiurkan; kedua, munculnya local strongmen sebagai akibat hal
disebutkan pertama. Dalam analisis tulisan ini, munculnya orang kuat lokal dapat dipastikan
melalui dua sumber. Sumber pertama, orang kuat lokal memang diletakkan oleh rezim Orde
Baru untuk mengawasi dan mengendalikan elit politik lokal dan sumber lainnya, tercetus karena
resistensi sentralisasi pusat. Dan, politik lokal di Indonesia sebelum dan setelah transformasi
politik tahun 1998 kekal diwarnai oleh peranan para local strongmen ini. Peranan mereka dalam
otonomi daerah baik melalui Pilkada dan redistricting telah mencorakkan politik lokal yang
berbeda dibandingkan masa sebelumnya. Ini karena pada masa sebelum jatuhnya Orde Baru,
orangorang kuat lokal dikawal dan bahkan ditekan kehadirannya oleh rezim berkuasa. Tekanan
terhadap orang kuat di luar proksi penguasa dilakukan oleh aparatur koersif rezim di daerah.
Kondisi ini dimengerti karena penguasa pusat tidak menghendaki munculnya pusat-pusat kuasa
lain selain kekuasaan pusat di Jakarta. Sedangkan pada era yang serba terbuka sesudah jatuhnya
Soeharto, peranan orang-orang kuat lokal termasuk para bos ekonomi tidak lagi dapat dibendung.
Walau sesungguhnya, peralihan dari ‘politik lama’ yang sentralistik ke ‘politik baru’ yang
polisentris tidak menghasilkan kesempatan yang sama bagi semua lapisan masyarakat untuk
berkiprah di politik lokal. Mereka yang memiliki kekuatan (local strongmen) dan uang (bos
ekonomi) adalah pihak-pihak yang paling diuntungkan pada masa demokrasi saat ini.

Jurnal 2

Pendahuluan
Kekuatan sejati negara demokrasi tidak terletak pada negara atau pemerintahannya, akan tetapi
pada warga negaranya. Di negara demokrasi rakyat biasa bebas memenuhi segenap kebutudan
teknologihannya, bebas memperbaiki nasib sendiri, dan bebas berkembang sesuai dengan
kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya. Maka tugas pokok negara demokrasi ialah
mengembangkan segenap potensi yang terdapat pada rakyatnya di tengah iklim yang damai dan
adil. Untuk pelaksanaan demokrasi paling tidak diperlukan peranan politik membentuk sikap
demokrasi kalangan warga negara agar tercapai suatu kreativitas warga sebagai basis sumber
daya politik, pemindahan atau pengoperan nilai-nilai hukum dan nilai-nilai moral. Warisan
benda-benda budaya, keyakinan agama yang dianut, pengetahuan dan teknologi dan lain-lain.
Tingginya tingkat pendidikan dan kebudayaan rakyat akan menjadi suatu barometer bagi
pertumbuhan bangsa dan negara yang bersangkutan khusus Negara Indonesia. Sebab itulah
negara, khususnya Negara demokrasi, sangat berkempentingan dengan pendidikan seluruh warga
negaranya demi menanamkan normanorma demokrasi dan ikut bertanggung jawab atas
diterapkannya asas demokrasi.

Melalui kebebasan yang bertanggung jawab segenap warga nergara memiliki hak
untuk berkumpul dan berserikat guna mewujudkan cita-cita politiknya secara nyata. Kesetaraan
merupakan prinsip yang memungkinkan segenap warga Negara berpikir dalam kerangka
kesederajatan sekalipun kedudukan, fungsi dan peran masing-masing berbeda. Kebersamaan
adalah wahana untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara sehingga segala bentuk
tantangan lebih mudah dihadapi. Partai politik dapat mengambil peranan penting dalam
menumbuhkan kebebasan, kesetaraan, dan kebersamaan sebagai upaya untuk membentuk bangsa
dan negara yang terpadu. Dalam sistem politik demokrasi, kebebasan dan kesetaraan tersebut
dapat diimplementasikan agar dapat merefleksikan rasa kebersamaan yang menjamin
terwujudnya cita-cita kemasyarakatan secara utuh. Disadari bahwa proses menuju kehidupan
politik yang memberikan peran kepada partai politik sebagai asset nasional berlangsung
berdasarkan prinsip perubahan dan kesinambungan yang makin lama makin menumbuhkan
kedewasaan dan tanggungjawab berdemokrasi. Hal ini dapat dicapai melalui penataan
kehidupan kepartaian, disamping adahnya sistem dan proses pelaksanaan pemilihan umum
secara memadai.
Dalam negara demokrasi modern, partai politik sering dianggap sebagai salah satu atribut negara,
karena tidak ada seorang ahlipun yang dapat menolak ekistensinya, karena partai politik sangat
diperlukan kehadirannya bagi Negara merdeka dan berdaulat. Kesemua fungsi ini diwujudkan
melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara demokrasi, jujur dan adil dengan
mengadakan pemberian dan pemungutan suara secaralangsung, umum, bebas, dan rahasia. Partai
politik seharusnya melaksanakan fungsinya dengan baik sehingga dapat menjadikan suatu
Negara yang demokratis, tetapi pada kenyataannya tidak semua fungsi tersebut telah
dilaksanakan oleh partai-partai politik yang ada. Meingat fungsi partai politik yang begitu
penting, sering bahkan keberadaan dan kinerjanya merupakan ukuran mutlak bagaimana
demokrasi berkembang disuatu Negara. Meskipun ia bukan merupakan pelaksana dan suatu
pemerintahan, namun keberadaannya akan mempengaruhi bagaimana dan arah mana
pelaksanaan pemerintahan dijalankan.

Kajian Teori

Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang
anggotaanggotanya mempunyai orientasi, nilainilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok
ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasahnya)
dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka. Hal ini
sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Budiardjo (2000: 161) bahwa: Partai Politik adalah
sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan
penguasaan ini memberikan anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materil.
Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisasikan sebagai suatu kesatuan politik,
dan meanfaatkan kekuasaannya untuk kebijakan umum yang mereka buat.

Menurut Badudu (2001: 100) bahwa: “Partai berasal dari dan kata “part” yang berarti “bagian”
dan menunjukkan kepada bagian dari para warga Negara. Sedang kata “partai” menunjukkan
kepada sekumpulan orang-orang. Jadi menunjukkan kepada sekumpulan sejumlah warga dan
suatu Negara yang menggabungkan suatu kesatuan yang mempunyai tujuan tertentu. Soltan
Budiardjo (2006: 162) juga mengatakan bahwa: “Partai politik adalah sekelompok warga negara
yang sedikit banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang
dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan
melaksanakan kebijaksanaan umum mereka”.

Dalam sistem politik, partai politik adalah bagian dan infrastruktur politik yang menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat, baik berupa dukungan, keluhan ataupun tuntutan. Infrastruktur
politik adalah kehidupan politik yang berlangsung melalui organisasi social politik (Miriam
Budiardjo, 2002: 405). taian. Neuman dalam karangannya Modern Political Parties, dalam buku
Budiardjo (2000: 163) juga mengatakan bahwa: Partai politik adalah organisasi dari
aktivitasaktivitas politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut
rakyat atas persaingan dengan suatu golongan atau golongan yang mempunyai pandangan yang
berbeda.

Pembahasan

Peranan masyarakat sangat penting untuk perbaikan mekanisme penyelenggaraan negara.


Persaingan untuk memenangkan kekuasaan, yang dilandasi dengan perebutan posisi jabatan
public merupakan hal yang penting dalam partai politik. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotaanggotanya
mempunyai orientasi, nilainilai dan cita-cita yang sama dengan memanfaatkan kekuasaannya
untuk memilih, menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan menurut
peraturan yang dianut. Partai-partai politik yang terorganisir timbul pada akhir abad ke-18 dan 19
di Eropa Barat, sebagai buah dan usahausaha kelompok-kelompok di luar lingkungan kekuasaan
politik untuk bersaing memperebutkan jabatan pemerintahan dan mengendalikan kebijaksanaan
pemerintahan. Ketika gerakan-gerakan kelas mengendalikan dan kelas buruh ini mulai mendesak
kelaskelas atas dan aristoktrat demi partisipasi dalam pembuatan keputusan, kelompokkelompok
yang menjalankan pemerintahan terpaksa mencari dukungan publik dalam rangka
mempertahankan pengaruh dominan mereka. Dengan demikian partai-partai politik itu
merupakan penghubung antara rakyat dengan pemerintahan dan di dunia modern. Sifat-sifat dan
sistem kepartaian suatu negara menentukan sifat dan hubungan ini. Dalam Undang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 memang tidak dijumpai kata atau
kalimat yang menyebutkan partai politik, hal ini bukan berarti bahwa partai politik tidak boleh
diatur, apalagi kalau menyangkut kepentingan bangsa dan negara, akan tetapi pembentukan
partai politik pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga negara untuk
berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Hal ini sesuai dengan isi pasal 28 UUD 1945
yang mengatakan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang. Kehadiran organisasi/partai di
Indonesia dimulai dengan munculnya organisasi politik seperti Golkar, PDI, Demokrat, PKS dan
kelompok-kelompok yang berdasarkan suku kedaerahan seperti panguyuban pasundan dan lain
sebagainya yang hingga sampai pada saat ini masih banyak lagi partai-partai politik yang
berlatar belakang sesuai dengan keinginan dan paham pembuat/pelopor partai politik
tersebut.

Secara mendasar, partai politik di negara demokratis dan negara otoriter berbeda. Perbedaan
pandangan tersebut berimplikasi pada pelaksanaan tugas atau fungsi partai masing-masing
Negara. Di negara demokrasi partai relatif dapat menjalankan fungsi sesuai hakikatnya pada saat
kelahirannya, yakni menjadi wahana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya dihadapan penguasaan. Salah satu
tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan
mengatur sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang.
Dalam masyarakat modern yang begitu luas pendapat dan aspirasi seseorang tersebut atau suatu
kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir. Apabila tidak ditampung dan
digabungkan dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada.

Simpulan

Peranan partai politik menyalurkan pendapat aspirasi masyarakat dalam mengatur sedemikian
rupa sehingga simpang siur pendapat dalam masyarakat berkurang. Partai politik juga berfungsi
untuk mencari dan mengajar orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik
sebagai angota partai dengan demikian turut berpartisipasi politik Partai politik memiliki suatu
peranan penting dalam membentuk setiap partai yang di jalankan setiap anggotaanggotanya.
Sebaiknya Partai Politik lebih memperhatikan akan hal-hal apa-apa saja yang perlu dipenuhi
dalam hal kepartaian serta melaksanakan tugasnya sebagai anggota partai politik dengan baik,
apabila sudah duduk di salah satu kursi dewan. Partai politik lebih lagi meningkatkan kualitas
keanggotaannya, baik dalam kedisiplinan maupun lain sebagainnya, ini akan mempermudah
dalam mencapai tujuan bersama. Meningkatkan kualitas keanggotaan tidak la hanya berpatokan
pada kaderisasi, namun harus melihat apa yang harus dicapai pada tujuan bersama, jangan hanya
mementingkan kepentingan keanggotaan, namun mencapai tujuan bersama.
BAB III

PEMBAHASAN JURNAL

KELEBIHAN
 Pemaparan jurnal I maupun II cukup baik
 Kelengkapan jurnal II lebih lengkap dibanding Jurnal I
 Partai politik merupakan sistem politik Indoensia mulai dari orde lama sampai sekarang
 Pembahasan materi lebih lengkap pada jurnal 2 di bandingkan jurnal 1
 Tata cara penulisan bahasa mudah dimengerti
 Maupun jurnal II bahasa yang mudah dimengerti
KEKURANGAN

 Jurnal I tidak memiliki ISSN


 Metode penelitian bersifat deskriptif sehingga membuat pembaca susah dalam menemui
setiap aspek yang diperlukan
 Begitu juga jurnal dua dibahas menyeluruh bukan terperinci
 Jurnal utama lebih mudah dimengerti daripada jurnal pembanding
 Jurnal I monoton tentang permasalahan saja sedangkan pemecahannya tidak diselaraskan
 Langkah penelitian tidak dilampirkan dalam jurnal Begitu juga hasil penelitian, hanya
memaparkan pengertian – pengertian saja tentang pentingnya pancasila
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara mendasar, partai politik di negara demokratis dan negara otoriter berbeda. Perbedaan
pandangan tersebut berimplikasi pada pelaksanaan tugas atau fungsi partai masing-masing
Negara. Di negara demokrasi partai relatif dapat menjalankan fungsi sesuai hakikatnya pada
saat kelahirannya, yakni menjadi wahana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya dihadapan
penguasaan. Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat
dan aspirasi masyarakat dan mengatur sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat
dalam masyarakat berkurang. Dalam masyarakat modern yang begitu luas pendapat dan
aspirasi seseorang tersebut atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara di
padang pasir. Apabila tidak ditampung dan digabungkan dengan pendapat dan aspirasi orang
lain yang senada. Dinamika politik lokal di Indonesia selalu berubah sepanjang waktu. Pada
era sebelum kemerdekaan, politik lokal di Nusantara menunjukkan potret buram karena
penguasa memperoleh kekuasaan dalam kerangka hukum adat yang totaliter. Akibatnya
sebagian besar lapisan masyarakat hanya diakui sebagai hamba (bukan warga) yang tidak
pernah menjadi subjek pembangunan semasa itu. Masyarakat dijadikan objek dari kehidupan
politik yang tidak berpihak kepada mereka.

B. Saran

Sebaiknya dalam membuat jurnal terlebih dahulu sebelum dicetak di filter kembali agar tidak
ada kekeliruan baik dalam hal isi maupun penulisan. Sehingga setiap pembaca yang
membaca nya mudah memahami isi jurnal tersebut

Anda mungkin juga menyukai