Rasulullah
Alquran dan sunah sangat perhatian terhadap waktu dari berbagai sisi dan
dengan gambaran yang bermacam-macam. Allah SWT telah bersumpah
dengan waktu-waktu tertentu dalam beberapa surah Alquran, seperti al-Lail
(waktu malam), an-Nahar (waktu siang), al-Fajr (waktu fajar), adh-Dhuha
(waktu matahari sepenggalahan naik), al-‘Ashr (masa).
Sebagaimana firman Allah (QS al-Lail 92: 1-2; QS al-Fajr 89: 1-2; QS adh-
Dhuha 93: 1-2; QS al-‘Ashr 103: 1-2). Ketika Allah SWT bersumpah dengan
sesuatu dari makhluk-Nya, maka hal itu menunjukkan urgensi dan keagungan
hal tersebut. Dan agar manusia mengalihkan perhatian mereka kepadanya
sekaligus mengingatkan akan manfaatnya yang besar.
Waktu luang adalah salah satu nikmat yang banyak dilalaikan oleh manusia.
Maka Anda akan melihat mereka menyia-nyiakannya dan tidak
mensyukurinya. Padahal Rasulullah SAW telah bersabda, “Gunakanlah lima
perkara sebelum datang yang lima: masa mudamu sebelum datang masa
tuamu, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, waktu kayamu
sebelum datang waktu miskinmu, waktu luangmu sebelum datang waktu
sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang ajalmu.” (HR Hakim
dishahihkan oleh Al Albani).
Allah memberikan kita setiap hari “modal” waktu kepada semua manusia
adalah sama, yaitu 24 jam sehari, 168 jam seminggu, 672 jam sebulan, dan
seterusnya. Ada tujuh poin rahasia manajemen “modal” waktu Nabi
Muhammad. Dalam waktu 23 tahun beliau telah membuat perubahan besar di
Jazirah Arab. Hal ini terjadi lantaran bagusnya manajemen waktu Rasulullah.
Rahasia pertama adalah shalat fardhu sebagai ajang membentuk watak dan
tonggak ritme hidup. Umat Islam telah membuat pemilahan waktu dalam
sehari dengan jelas. Umat Islam memiliki trik manajemen waktu sehingga
aktivitas kita dapat terprogram dengan baik.
Rasulullah SAW bersabda, “ Ada dua nikmat yang kebanyakan orang merugi padanya, yakni
waktu luang dan kesehatan." (HR Bukhari)
Cara manajemen waktu ala Rasulullah SAW yang bisa kita lakukan adalah dimulai dengan
disiplin dalam beribadah. Mulai dari ibadah sholat fadhu, ibadah puasa, hingga ibadah lainnya.
Lakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dan jangan menundanya.
Dengan melakukan ibadah tepat waktu, hal itu akan menjadi tolak ukur seseorang bisa
melakukan manajemen waktu yang baik.
Cara manajemen waktu ala Rasulullah SAW selanjutnya adalah melakukan proses usaha tanpa
mengejar hasil yang instan. Hasil yang instan hanya akan membuat kita menjadi pribadi yang
malas-malasan dan enggan berusaha lebih.
Lakukan berbagai kegiatan yang memang bertujuan untuk mengejar impian dan cita-citamu di
masa depan. Persiapkan segalanya dengan baik agar kelak kamu bisa memetik hasilnya.
Kegiatan Produktif
Manajemen waktu ala Rasulullah yang juga bisa kamu tiru adalah dengan melakukan berbagai
kegiatan yang sifatnya membentuk diri lebih produktif. Carilah berbagai kegiatan yang bisa
mengasah kemampuanmu, seperti ikut kelas menulis, desain atau kelas lainnya yang kira-kira
bisa kamu jadikan bekal di hari kelak.
Intinya adalah jangan malas dan menunda-nunda segala pekerjaan. Kegiatan produktif juga akan
menjauhkan kamu dari hal-hal tercela dan berdosa.
Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya untuk tidak menunda berbagai kegiatan yang
ingin dilakukan. Menunda waktu sama saja dengan menunda kesuksesan. Rasulullah SAW juga
dikenal sebagai nabi yang selalu merencakan segala sesuatu dengan baik. Salah satu contohnya
adalah ketika merencanakan berbagai perang melawan kaum musyrik.
Rahasia manajemen waktu Rasulullah SAW selanjutnya adalah melakukan segala sesuatunya
dengan cekatan, namun tetap tidak tergesa-gesa. Untuk mengatur pola hidup yang benar, kita
tentu harus mengerjakannya dengan cermat. Cermat disini berarti memperhatikan detail-detail
segala sesuatunya agar bisa memperkecil peluang kesalahan. Meski begitu, lakukan segala
kegiatan tanpa tergesa-gesa ya.
Dalam masa penantian yang panjang itulah, biasanya seorang napi akan menjadi
stress dan gila.
"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaknya setiap
jiwa/orang merenungi apa yang telah dilakukan untuk hari esok." (QS al-Hasyr/59: 18)
Ayat di atas mengandung dua hal sekaligus, yaitu perencanan dan evaluasi.
Menggunakan masa lalu sebagai cermin untuk masa depan mengandung pengertian
mengevaluasi apa yang telah dilakukan, sekaligus untuk perencanaan masa depan.
“Hari esok” mengandung pengertian hari esok yang merupakan jangka panjang, yaitu
akhirat, atau jangka pendek, yaitu kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama hidup di
dunia.
Dalam Islam, kita mungkin bisa menyebutkan niat sebagai perencanaan, bahkan
mendekati pelaksanaan karena yang disebut niat bukanlah apa yang terlintas di pikiran
(hâdits nafs) atau angan-angan kosong (amal jamaknya âmâl, bukan ‘amal yang
jamaknya a’mâl: perbuatan), melainkan tekad kuat (‘azm).
Mungkin setiap orang memiliki cita-cita, tapi belum tentu menuangkan cita-cita itu dalam
bentuk rencana yang tersusun baik.
Dalam Islam, misalnya, suatu kewajiban harus dilaksanakan sesuai dengan standar
waktu yang ditentukan. Diterangkan dalam Alquran:
Oleh karena itu, kewajiban yang dilaksanakan di luar waktu tidak sah, seperti haji, atau
minimal berkurang nilai, seperti salat yang dikerjakan di luar waktunya (di-qadhâ`).
Dalam me-manage waktu, Islam mengajarkan adanya skala prioritas (fiqh al-
awlawiyyah). Misalnya, harus mendahulukan kewajiban daripada yang sunnat.
Dalam waktu yang sempit, misalnya, sebaiknya tidak mengerjakan pekerjaan sunat
yang menyebabkan habisnya waktu untuk mengerjakan yang wajib.
Kata kunci dalam me-manage segalanya, tidak hanya soal ibadah, mungkin juga kuliah
atau pekerjaan adalah “prioritas” (awlawiyyah).
Jika studi/ kuliah merupakan prioritas pertama, maka waktu harus diberikan sebagian
besarnya untuk studi/ kuliah pula sehingga kegiatan-kegiatan lain yang sifat sekunder
berada di bawahnya dalam skala prioritas. Mungkin banyak orang yang sudah berujar
bahwa keberhasilan bukanlah semata persoalan kecerdasan, sekalipun itu sangat
menentukan, melainkan juga persoalan me-manage waktu.
Dalam me-manage waktu, menarik sekali bahwa ternyata Nabi saw. mengajarkan
pembagian waktu selama 24 jam menjadi 1/3 (8 jam), yaitu 1/3 untuk kerja, 1/3 untuk
beribadah, dan 1/3 untuk istirahat.
Pertama, 8 jam kerja (katakanlah: masuk kerja jam 8, pulang jam 4 sore) adalah waktu
yang ideal dan sebanding dengan kekuatan tenaga manusia dan proporsional dikaitkan
dengan hak waktu untuk kegiatan lain.
Kedua, istirahat dalam pengertian di atas (tidak melulu tidur) selama 8 jam juga
pembagian waktu yang ideal (katakanlah: tidur jam 21.00 (9 malam), bangun waktu
salat subuh.
Ketiga, beribadah selama 8 jam adalah proporsi ideal yang selama ini kurang kita
perhatikan. Memang, harus dicatat bahwa pembagian ini tidak ketat, dan begitu juga
setiap kegiatan tidak monoton, seperti ketika kerja bisa diselingi dengan istirahat dan
salat.
Di samping itu, dalam Islam, memang kerja juga dipandang sebagai ibadah selama
didasarkan atas niat ibadah, bukan semata mengejar kebutuhan materi.
Tapi, memang proporsi waktu untuk ibadah selama ini terasa kurang, padahal kalau kita
memperhatikan dengan seksama pernyataan ayat berikut tampak bahwa proporsi
antara aktivitas duniawi bukanlah fifty-fifty (50%:50%), melainkan untuk akhirat lebih
banyak dibandingkan untuk dunia:
“Dan carilah pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagian) negeri
akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” (QS al-
Qashash (28): 77).
Allah menciptakan waktu agar manusia dapat menghargai setiap hal yang terjadi dan
setiap hal yang dia miliki dalam hidupnya. Dan dalam Islam, kita diajarkan agar
senantiasa menghargai waktu yang ada dengan rajin melakukan ibadah kepada Allah
SWT., misalnya dengan menunaikan shalat lima waktu, melakukan shalat sunnah
seperti shalat dhuha dan shalat tahajjud, dan ibadah yang lainnya. Mengisi waktu dengan
memperbanyak ibadah dan berbuat kebaikan merupakan salah satu cara meningkatkan
iman dan takwa kepada Allah SWT.
Namun, manusia seringkali tidak mensyukuri waktu yang telah Allah berikan kepadanya
dan seringkali menyia-nyiakan waktu tersebut dengan perbuatan atau hal-hal yang tidak
bermanfaat. Dan berikut ini ada beberapa tips dalam mengatur atau memanajemen waktu
menurut Islam.
Berikut adalah beberapa tips agar kita tidak menjadi orang yang rugi :
Perbuatan suka menunda tidaklah baik, namun bila menunda suatu pekerjaan untuk
melakukan ibadah wajib kepada Allah seperti shalat, maka hal tersebut diperbolehkan.
Dalam Sya’ir Arab disebutkan : “Janganlah engkau menunda-nunda amalan hari ini
hingga besok. Seandainya besok itu tiba, mungkin saja engkau akan kehilangan.”
Jangan sering menunda-nunda sesuatu, terlebih jika hal yang ditunda adalah dalam
perihal ibadah dan amalan baik lainnya, karena dikhawatirkan umur kita tidak sampai
pada detik berikutnya. Kematian bisa datang kapan saja, bahkan dalam hitungan detik.
Tidak ada yang tahu kapan Allah akan memanggil hambanya kembali, oleh karena itu
sebaiknya jangan menunda-nunda sesuatu yang merupakan amalan baik, terlebih amalan
yang merupakan ibadah.
Jika kita memiliki sebuah pekerjaan yang waktu penyelesaiannya dapat diselesaikan pada
saat itu juga, maka akan lebih baik apabila pekerjaan tersebut diselesaikan tepat waktu,
dan tidak mengulur-ulur waktu penyelesaiannya.
Untuk mengatur waktu yang ada agar tidak sia-sia, maka sebaiknya buat batasan waktu
pada setiap kegiatang yang dilakukan. Misalnya : tidur dari jam sekian hingga jam
sekian, belajar berapa jam dalam sehari dan pada jam berapa saja, dan lain sebagainya.
Agar waktu yang kita miliki dapat berguna dan terisi dengan hal yang bermanfaat, ada
baiknya jika kita membuat daftar kegiatan tentang apa saja yang harus kita lakukan setiap
hari.
7. Kurangi bersantai-santai
Allah akan memberikan manusia hasil kehidupan berdasarkan pada usaha hambanya.
Apabila ia berusaha dengan keras dan giat, maka Allah akan memberikan hasil yang
setimpal dengan perbuatannya. Namun apabila seseorang hanny bersantai-santai
sepanjang waktu yang dia miliki, maka orang tersebut akan mendapatkan hasil yang
sesuai dengan usahanya.
Seseorang yang tidak ingin waktunya sia-sia, maka ia harus terus berjalan kedepan dan
tidak terjebak pada masa lalunya.
Apabila seseorang mempunyai banyak target dalam hidupnya, maka ia haruslah fokus
pada satu hal dahulu, agar apa yang telah didapatkannya tidak terlepas dan waktu yang
dia miliki tidak terbuang sia-sia.
Untuk menjadi orang yang dapat mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya maka
yang paling pertama adalah adanya niat dari orang tersebut. Apabila tidak ada niat dan
keinginan untuk berubah, maka bagaimana bisa orang tersebut mengatur waktunya dan
menjalankannnya dengan bermanfaat.
Jadi, sebagai muslim yang baik kita haruslah senantiasa mempergunakan waktu dengan
sebaik-baiknya agar kelak kita tidak menjadi orang yang merugi. Karena sesungguhnya,
orang yang merugi dapat kehilangan kesempatan untuk menempati surga milik Allah
SWT.
Manajemen Waktu Menurut Islam
Yang dimaksud dengan “manejemen waktu” dalam pengertian sederhana adalah
“mengatur waktu”. Manajemen pada prinsipnya adalah mengatur, mengorganisasikan,
atau memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya untuk aktivitas dan tujuan yang
bermanfaat. Memang, jika kita mengacu kepada istilah “menajemen” dalam pengertian
sesungguhnya, tentu ada yang disebut: perencanaan, pelaksanaan, kontrol, dan
evaluasi. Dalam memanage waktu, memang seharusnya unsur-unsur itu diterapkan,
namun kita bisa menyebutnya di sini secara lebih longgar sebagai “seni mengatur
waktu” dalam pengertian bahwa meski ada unsur-unsur pokok yang harus dipenuhi
seperti itu, akan tetapi mengatur waktu tidak boleh juga terlalu ketat. Oleh karena itu,
kita menyebutnya sebagai seni mengatur waktu, dan kita mencoba di sini untuk
menghadirkannya dari tinjauan ajaran Islam.
Pertama yang harus kita garis bawahi adalah bahwa Islam sangat menghargai waktu,
karena waktu adalah sangat bernilai. Dalam al-Qur`an, Allah swt pernah bersumpah
dengan waktu, misalnya, dalam Q.s. al-‘Ashr (103/13): 3 disebutkan:
Dalam surah ini, Allah bersumpah dengan media “waktu” atau “masa”. Di sini, kita bisa
menyimpulkan bahwa waktu begitu berharga, karena tidak mungkin Tuhan
menggunakannya sebagai sarana/ media sumpah jika tidak bernilai, atau tidak penting.
Waktu adalah sesuatu yang berharga, bernilai, dan penting. Seorang penafsir modern,
Muhammad Asad, dalam karyanya, The Message of the Qur`an (h. 974),
menerjemahkan kata al-‘ashr yang menjadi nama surah ini dengan “the flight of time”
(berlalunya waktu), bukan dengan sekadar “waktu/ masa”. Tuhan mengingatkan kita
akan waktu (al-‘ashr) yang telah berlalu, tidak akan pernah bisa dikembalikan lagi.
Istilah al-‘ashr adalah waktu yang terukur yang terdiri dari bagian-bagian periode, bukan
seperti al-dahr yang juga digunakan oleh al-Qur`an yang bermakna waktu yang tak
terbatas tanpa permulaan dan akhir.
Kata al-‘ashr semula bermakna memeras, yaitu menekan sesuatu sehingga isinya
keluar. Para ulama sepakat mengartikannya dalam konteks ayat ini dengan “waktu”.
Namun, bukan sekadar “waktu” yang ingin ditekankan maknanya di sini, melainkan
konsekuensi masa lalu yang berakibat ke masa berikutnya (masa sekarang hingga
masa akan datang). Hal ini terlihat dari penggunaan dalam beberapa istilah terkait.
Misalnya, kata al-‘ashr juga digunakan untuk menyebut berlalu perjalanan matahari
melampaui pertengahan, hingga menjelang terbenamnya, yang biasa kita sebut dengan
“sore”. Bisa kita katakan bahwa “sore” adalah akhir atau titik-jenuh perjalanan
keseharian, yang nantinya akan ditutup dengan malam. Kata lain yang juga seakar
dengan al-‘ashr adalah al-mu’shirât, yaitu awan yang mengandung butir-butir hujan,
sehingga karena beratnya, akhirnya menurunkan hujan. Jadi, al-‘ashr meski merupakan
waktu yang terukur, ada fase-fase yang bisa kita sadari dan kenali, namun berjalan, lalu
berkonsekuensi ke masa berikut. Orang-orang banyak tidak sadar akan fase-fase itu,
dan begitu berharga dan penting bagi dirinya, lalu ia terlena dibawa oleh waktu, kini
potret dirinya sekarang terukir oleh masa lalu itu yang tak pernah kembali lagi. Untung
kalau ia bisa menggunakan fase-fase masa lalu itu secara baik dan untuk kebaikan,
sehingga ia kini memetik buah manisnya sekarang. Tapi, begitu banyak orang yang
cuma melongok menyaksikan berlalunya fase-fase itu, berpangku-tangan, berfoya-foya,
menghamburkan uang dan tenaga secara tidak bermanfaat, atau menyiakan masa
muda dengan mabuk-mabukan, malas-malasan, tidak memanfaatkan waktunya dengan
baik, kini….orang-orang tersebut tertunduk malu, menyesali diri, dan melamun dengan
pikiran kosong, dengan tatapan kosong, lalu mencaci masa lalu sebagai “waktu sial”.
Padahal, waktu tidak pernah sial. Waktu hanya adalah fase-fase yang kita lalu, tidak
pernah menentukan untung-sialnya kita. Justeru kita lah yang menentukan.Waktu
sifatnya netral, tidak pernah memihak. Hanya saja, kita menggunakannya secara keliru.
Fenomena ini biasa kita temukan dalam kehidupan kita sekarang.
Bangsa Arab ketika masa turunnya al-Qur`an juga sering mencaci waktu, bahwa masa
lalunya adalah waktu sial. Dengan latar belakang sosial masyarakat Arab ketika itulah,
lalu Allah swt melalui ayat ini membantah anggapan keliru mereka. Jika mereka gagal,
itu bukan karena waktu, melainkan karena kesalahan merek sendiri. Lalu, dalam ayat
ini, Allah swt membimbing bahwa agar manusia tidak “rugi”, ada 3 faktor yang bisa
menjadikan manusia tidak akan “dilindas” oleh zaman, karena 3 faktor ini adalah faktor-
faktor keberuntungan manusia, yaitu:
1. Iman dan amal saleh, sebenarnya dua hal yang telah menjadi satu kesatuan yang
saling terkait. Iman tanpa amal saleh menjadi kosong, karena iman ibaratkan
wadah yang harus diisi, atau kata ulama, imannya hanya kadar rendah/ kurang,
sedangkan amal saleh yang tanpa disertai iman, di mata al-Qur`an, tidak akan
berarti secara teologis (ketuhanan) dan eskatologis (tidak dibalas di akherat nanti)
seperti imannya orang kafir (habithat a’mâluhum)
2. Saling mengingatkan dengan kebenaran. Al-haqq bisa berarti Yang Mahabenar
(Tuhan, Allah swt). Jadi, manusia harus saling mengingatkan akan wujud Tuhan
yang Maha Esa, Maha Kuasa, dsb. Kesadaran akan adanya Tuhan di setiap napas
kehidupan adalah kesadaran spiritual manusia yang menjadikannya bertahan dari
gerusan zaman. Arus materialisme, hedonisme, konsumerisme, dan pandangan-
pandangan lain yang hanya menekankan kelezatan duniawi hanya akan
menjadikan manusia “merugi”. Muhammad Asad menafsirkan kerugian manusia
dalam surah ini dalam pengertian “manusia mudah sekali terpleset jatuh hingga
membinasakan dirinya” (man is bound to lose himself). Kebinasaan diri bukanlah
berarti sekadar hidup secara material (makan, minum, dan berreproduksi),
melainkan jika ia juga kehilangan dimensi spiritual yang merupakan hakikat dirinya,
yaitu kesadaran akan adanya Tuhan yang selalu “hadir” dalam setiap napas
kehidupannya, ketika kerja, berpergian, berinteraksi dengan sesama, dan ketika
menatap ciptaan-Nya. Kata al-haqq di sini juga berarti kebanaran. Itu artinya
bahwa seseorang tidak akan rugi terlindas oleh zaman jika ia mau mendengar
kebenaran dari orang lain, dari mana pun sumbernya. Bahkan, yang dinamakan
dengan “kearifan” (hikmah) adalah kebenaran juga. Nabi konon pernah bersabda:
“Ungkapan kearifan adalah barang yang hilang milik orang yang berimana. Di
mana pun ia menemukannya kembali, ia lebih berhak untuk mengambilnya lagi”.
Dikatakan juga dalam hadits bahwa “hikmah adalah mendapatkan kebenaran di
luar kenabian” (al-ishâbah fî ghayr al-nubuwwah). Kebenaran, selain kebenaran
teologis yang terkait dengan keyakinan, bisa saja lahir dari siapa pun.
3. Saling mengingatkan akan kesabaran. Apa sebenarnya kesabaran itu. Al-Râghib
al-Ashfihânî dalam kamus al-Qur`an-nya, Mu’jam Alfâzh al-Qur`an (al-Mufardât fî
Gharîb al-Qur`ân) h. 277, yang dimaksud dengan sabar adalah “menahan diri agar
tetap sesuai dengan tuntutan pertimbangan akal dan syara’ (agama)” (habs al-nafs
‘alâ mâ yaqtadhîh al-‘aql wa al-syar’). Semula sabar secara kebahasaan berarti
“bertahan dalam kesempitan”. Asal makna shabr dalam bahasa Arab memiliki 3
makna pokok, yaitu menahan, bagian yang tinggi dari sesuatu, dan sejenis batu
(keras). Mengapa sabar diperlukan dalam kehidupan ini? Karena hidup ini tidak
selalu berjalan mulus, melainkan selalu diwarnai oleh kesulitan, hambatan, atau
cobaan hidup. Hidup tidak selalu dihiasi dengan kemudahan, melainkan diselingi
juga dengan kesulitan. Mungkin kita bisa mengatakan bahwa kesulitan adalah
bagian ritme atau irama kehidupan. Tidak pernah ada hidup tanpa masalah sama
sekali, entah kecil atau besar. Dalam ungkapan al-Qur`an: “karena sesungguhnya
bersama kesulitan, ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan, ada
kemudahan” (fa inna ma’a al-‘usr yusran, inna ma’a al-‘usr yusran). Ada tips al-
Qur`an untuk mengurangi kesedihan kita dalam menghadapi cobaan itu, yaitu
dengan kerja. Oleh karena itu, dalam ayat selanjutnya disebutkan “jika kamu
selesai (dari suatu aktivitas), maka tegaklah/ bersiaplah (untuk melakukan hal
lain)” (fa idzâ faraghta fanshab), lalu sandarkan semuanya kepada Tuhan karena
dalam ayat terakhir disebutkan “dan kepada Tuhanmu lah, berharaplah” (wa ilâ
rabbika farghab). Dalam ayat ini, kerja adalah suatu keniscayaan, bukan semata
untuk kepentingan material, yaitu menghasilkan uang, melainkan secara
psikologis, dengan kesibukan kita dalam kerja, sebagian persoalan yang kita
hadapi bisa teratasi. Di ayat terakhir, ketika Allah swt menyuruh kita untuk
berharap hanya kepada-Nya, itu artinya bahwa tidak hanya kerja sebagai upaya
“humanisasi” (pemanusiaan), dalam pengertian kerja sebagai upaya rasional untuk
menghidupi kehidupan, melainkan kerja bukan sebagai tujuan. Diperlukan upaya
menyandarkan segala upaya, yaitu setelah kita lebur dalam kerja, kepada Tuhan
sebagai upaya yang disebut orang sebagai “transendensi”.
Kita kembali ke persoalan sabar. Jadi, sabar atas segala cobaan bisa diatasi dengan
kerja. Itu juga sekaligus artinya bahwa sabar tidak identik dengan berdiam diri (fatalis).
Ingat bahwa ayat “wa in tshbirû wa tattaqû, fa inna dzâlika min ‘azm al-umûr” yang turun
setelah perang Uhud mengisyaratkan kepada kita bahwa kekalahan kaum Muslimin
dalam perang itu adalah karena mereka tidak bersabar dalam pengertian bahwa
seharusnya pasukan berpanah bertahan di atas bukit di posnya, bukan turun untuk
merebut rampasan perang yang menyebabkan kaum Musyrikin berbalik dan
menyerang kembali, sehingga keadaan menjadi terbalik, di mana kaum muslimin yang
sudah mendekati kemenangan menjadi kalah. Sabar dalam konteks itu adalah
konsisten dengan petunjuk Nabi dan bertahan adalah sebuah strategi perang, bukan
berdiam diri.
Dengan demikian, waktu adalah sangat penting dan berharga. Oleh karena itu, Islam
memerintahkan umatnya agar menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Dalam ayat
yang dikutip di atas, “fa idzâ faraghta fanshab” terkandung makna bahwa setelah
selesai dari suatu aktivitas, hendaklah “tegak” (fanshab). “Tegak” memiliki pengertian
bersiap untuk melakukan aktivitas lain. Istirahat juga bisa dilihat sebagai persiapan
untuk melanjut aktivitas yang telah dilakukan, atau melakukan aktivitas lain. Istirahat
sebenarnya adalah persiapan menuju aktivitas lain. Bahkan, waktu senggang atau
waktu rehat bisa dimanfaatkan untuk aktivitas ringan. Kita telah mengetahui bahwa
beberapa penemuan penting di dunia ini oleh para ilmuwan justeru dihasilkan di waktu
senggang, seperti hukum gravitasi Newton. Konon, shalat bagi Nabi adalah sebuah
bentuk istirahat. Kata tarâwîh pada shalat tarâwîh yang biasa kita laksanakan pada
malam bulan Ramadhan juga berkonotasi istirahat, karena dilakukan dengan
penuh khusyû’ dan khidmat, sehingga mendatang efek relaksasi terhadap jiwa kita.
Waktu merupakan hal yang sangat berharga. Orang Arab mengenal pepatah berikut:
Pepatah ini lebih merupakan perumpamaan tentang betapa pentingnya waktu, karena
waktu selalu berjalan tanpa kompromi, dan waktu yang telah berlalu tak pernah akan
kembali. Jika kita tidak menggunakan waktu, dalam pengertian berbagai kesempatan,
seperti peluang untuk sukses dan berprestasi, bisa jadi kesempatan itu tak akan
kunjung lagi. Waktu seperti “deterministik” dalam pengertian menentukan nasib
manusia tanpa kompromi. Tinggal manusia yang memanfaatkan waktu, atau jika tidak,
waktu yang akan melindas manusia. Yang dimaksud dengan “terlindas waktu atau
zaman” adalah kita dikendalikan oleh waktu. Dalam istilah Mahmud Thâhâ, seorang
pemikir Sudan, waktu memiliki hukum yang disebut dengan “hukum waktu” (hukm al-
waqt) atau determinisme zaman. Misalnya, ketika pemerintah menerapkan pendidikan 9
tahun dan kebijakan itu merata, serta hajat hidup manusia akan taraf pendidikan
semakin meningkat, orang yang tidak mengikutinya akan tertinggal.
Dr. A’idh al-Qarnî dalam bukunya, Lâ Tahzan (h. 15), mengumpamakan waktu yang
kosong tak ubahnya dengan siksaan halus ala penjara China. Di penjara itu,
narapidana ditempatkan di bawah pipa air yang hanya dapat meneteskan air setetes
setiap menit selama bertahun-tahun. Dalam masa penantian yang panjang itulah,
biasanya seorang napi akan menjadi stress dan gila.
Waktu sebaiknya dimanage dengan baik. Pertama, perencanaan (planning). Segala
pekerjaan kita harus terencana dengan terbaik, tersusun, terjadual, disertai dengan
target dan cara mencapainya. Dalam al-Qur`an dinyatakan,
Ya ayyuhalladzîna âmanûttaqû Allâh, wal tanzhur nafsun mâ qaddamat li ghadd
(Q.S. al-Hasyr/59: 18)
(Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaknya setiap
jiwa/ orang merenungi apa yang telah dilakukan untuk hari esok)
Ayat sekaligus mengandung dua hal sekaligus, yaitu perencanan dan evaluasi.
Menggunakan masa lalu sebagai cermin untuk masa depan mengandung pengertian
mengevaluasi apa yang telah dilakukan, sekaligus untuk perencanaan masa depan.
“Hari esok” mengandung pengertian hari esok yang merupakan jangka panjang, yaitu
akherat, atau jangka pendek, yaitu kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama hidup di
dunia.
Dalam Islam, kita mungkin bisa menyebutkan niat sebagai perencanaan, bahkan
mendekati pelaksanaan, karena yang disebut niat bukanlah apa yang terlintas di
pikiran (hâdits nafs) atau angan-angan kosong (amal jamaknya âmâl, bukan ‘amal yang
jamaknya a’mâl: perbuatan), melainkan tekad kuat (‘azm). Mungkin setiap memiliki cita-
cita, tapi belum tentu menuangkan cita-cita itu dalam bentuk rencana yang tersusun
baik.
Yang tidak kurang pentingnya dibandingkan perencanaan adalah pelaksanaan,
perorganisasian, pengawasan, hingga evaluasi. Dalam Islam, misalnya, suatu
kewajiban harus dilaksanakan sesuai dengan standar waktu yang ditentukan. Misalnya:
Inna al-shalât kânat ‘alâ al-mu`minîn kitâban mawqûtan (Q.S. al-Baqarah/2: 103)
(Sesungguhnya salahat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya)
Oleh karena itu, kewajiban yang dilaksanakan di luar waktu tidak sah, seperti haji, atau
minimal berkurang nilai, seperti sahalat yang dikerjakan di luar waktunya (di-qadhâ`).
Dalam memanage waktu, Islam mengajarkan adanya skala prioritas (fiqh al-
awlawiyyah). Misalnya, harus mendahulukan kewajiban daripada yang sunnat. Dalam
waktu yang sempit, misalnya, sebaiknya tidak mengerjakan pekerjaan sunat yang
menyebabkan habisnya waktu untuk mengerjakan yang wajib. Kata kunci dalam
memanage segalanya, tidak hanya soal ibadah, mungkin juga kuliah atau pekerjaan
adalah “prioritas” (awlawiyyah). Jika studi/ kuliah merupakan prioritas pertama, maka
waktu harus diberikan sebagian besarnya untuk studi/ kuliah pula, sehingga kegiatan-
kegiatan lain yang sifat sekunder berada di bawahnya dalam skala prioritas. Mungkin
banyak orang yang sudah berujar bahwa keberhasilan bukanlah semata persoalan
kecerdasan, sekalipun itu sangat menentukan, melainkan juha persoalan memanage
waktu.
Dalam memanage waktu, menarik sekali bahwa ternyata Nabi mengajar pembagian
waktu selama 24 jam menjadi 1/3 (8 jam), yaitu 1/3 untuk kerja, 1/3 untuk beribadah,
dan 1/3 untuk istirahat. Pertama, 8 jam kerja (katakanlah: masuk kerja jam 8, pulang
jam 4 sore) adalah waktu yang ideal dan sebanding dengan kekuatan tenaga manusia
dan proporsional dikaitkan dengan hak waktu untuk kegiatan lain. Kedua, istirahat
dalam pengertian di atas (tidak melulu tidur) selama 8 jam juga pembagian waktu yang
ideal (katakanlah: tidur jam 21.00 [9 malam], bangun jam 05.00 [subuh]). Ketiga,
beribadah selama 8 jam adalah proporsi ideal yang selama ini kurang kita perhatikan.
Memang, harus dicatat bahwa pembagian ini tidak ketat, dan begitu juga setiap
kegiatan tidak monoton, seperti ketika kerja bisa diselingi dengan istirahat dan shalat.
Di samping itu, dalam Islam, memang kerja juga dipandang sebagai ibadah selama
didasarkan atas niat ibadah, bukan semata mengejar kebutuhan materi. Tapi, memang
proporsi waktu untuk ibadah selama ini terasa kurang, padahal kalau kita
memperhatikan dengan seksama pernyataan ayat berikut tampak bahwa proporsi
antara aktivitas duniawi bukanlah fifty-fifty (50%:50%), melainkan untuk akherat lebih
banyak dibandingkan untuk dunia: “dan carilah pada apa yang dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagian) negeri akherat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi…” (Q.S. al-Qashash (28): 77).
Begini Cara Manajemen Waktu Sesuai
dengan Al-Qur’an dan Sunnah agar Berkah
Ini materinya admin rangkum dari kajian di YouTube. Ternyata setelah dipikir-
pikir manajemen waktu yang mungkin selama ini kita lakukan itu salah besar
Kenapa karena kita hanya terfokus pada masalah dunia atau bagaimana cara
memanajemen waktu dalam versi duniawi sehingga terkadang bahkan sering
kita menjadi diperbudak dunia dan lupa seharusnya kita bisa mengimbangi
antara urusan dunia dan urusan akhirat.
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah , maka Allah akan berikan jalan
keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak iya duga-duga”
Burung keluar di pagi hari dalam kondisi lapar dan pulang di sore hari. Burung
pulangnya sore bukan jam 12.00 malam.
Ada nggak burung pulang jam 12.00 malam ? Enggak nggak ada. Burung pulang
sore dan kenyang Dan bahwa rizki buat anak-anaknya.
Keberkahan teman-teman. Ini bukan masalah kuantitas Berapa lama kita bekerja
tapi kualitas iman dan taqwa kita serta ikhtiar yang maksimal .
yang maksimal bukan bekerja sampai jam 12.00 malam sampai jam 02.00
malam lalu weekend kita pakai untuk nambah nambah atau cari sampingan
sehingga kita lupa ngaji, kita lupa belajar, kita lupa ibadah. ini nggak berkah
namanya.
Ingat ya burung bisa enjoy menikmati kehidupannya. pulang sore, pulang sore
dalam kondisi tenang, kenyang dan bisa kasih anak-anaknya makanan.
berkah soalnya karena taqwa, karena burung juga nggak maksiat, karena burung
nggak nipu orang , karena burung berdzikir kepada Allah.
setiap binatang itu berdzikir kepada Allah kita lupa zikir lupa ngaji akhirnya kita
diperbudak oleh dunia.
Allah kasih kita 168 jam per pekan Masa nggak punya waktu 2 jam untuk belajar
agama Sesibuk itukah kita. Bayangkan 168 jam massa 2 jam gak ada waktu
untuk belajar agama sibuk banget kita.
Nabi aja kalah sibuk sama kita. nabi itu Rasul umatnya banyak lalu kepala
negara lalu pemegang kunci Baitul Mal lalu panglima perang. kalau bahasa kita
panglima tentara nasional Indonesia, itu masih sempat belajar dengan malaikat
Jibril. kita Presiden bukan menteri bukan Panglima TNI nggak sempet belajar..
Subhanallah Ini nyari apa sih dalam hidup
Nabi istri 9. kita istri satu banyak dan banyak yang jomblo nggak ngaji ngaji
gimana sih. Ini diperbudak dunia. ini ada yang salah dalam hidup kita nggak bisa
dan semakin kita diperbudak dunia maka kita semakin sengsara.
Jadi manajemen waktu yang baik itu adalah mampu kapan waktu untuk dunia
kapan waktu untuk akhirat.
Kapan waktunya kita belajar kuliah berorganisasi kapan waktunya untuk
beribadah. Ketika masuk magrib maka Seluruh aktivitas dunia harus kita fokus
untuk beribadah untuk kepentingan akhirat.
Jika ada tugas kampus maka usahakan detik gitu juga selesai tidak mengganggu
waktu ibadah ikan sebelum maghrib itu seluruh tugas kampus maupun
organisasi itu dipastikan telah selesai dikerjakan dengan sungguh-sungguh.
Sudahkan dijelaskan tadi bahwa nabi itu juga tanggung jawabnya banyak yang
pertama adalah umatnya banyak perang panglima perang pemegang kunci
Baitul mal atau bisa kita sebut sebagai Menteri Keuangan menteri Keuangan,
seorang Rasul sempat belajar agama sama malaikat Jibril… Masa kita yang
bukan siapa-siapa ini yang tidak memiliki banyak tanggung jawab masih males-
malesan buat belajar agama. Pantesan sih hidup tidak berkah. Introspeksi diri
dulu.
Makanya ulama dulu cari nafkah setiap hari hanya 2 jam bisa eksis. ada ulama
tukang jam beliau tidak setiap hari kerja kalau dia kerja paling hanya 2 sampai 3
jam selesai itu tutup lanjut belajar baca belajar dan seterusnya. keberkahan ini
yang hilang. kita harus kembali kepada Bagaimana mengatur waktu sesuai
dengan Alquran dan sunnah nabi Shallal
Kiat Manajemen Waktu (1)
1- Buat batasan waktu untuk setiap aktivitas setiap harinya.
Misal, berapa lama waktu tidur, berapa lama waktu untuk menunaikan kewajiban, berapa
lama waktu berkunjung ke orang lain, berapa lama waktu duduk-duduk sampai pada waktu
alat yang banyak melalaikan seperti waktu terhabiskan dalam menggunakan handphone,
browsing atau main game. Begitu pula yang keliru, waktu dihabiskan pula untuk menelusuri
terus berita yang tidak jelas (qiila wa qaal) dan sibuk dengan berita politik.
“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR.
Tirmidzi, no. 2317; Ibnu Majah, no. 3976. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
ِ َضى لَ ُكم َأ ْن َتعب ُدوه والَ تُ ْش ِر ُكوا بِِه َشيًئا وَأ ْن َتعت
ص ُموا َ ِإ َّن اللَّهَ َي ْر
َ ضى لَ ُك ْم ثَالَثًا َويَكَْرهُ لَ ُك ْم ثَالَثًا َفَي ْر
ْ َ ْ َ ُ ُْ ْ
اعةَ الْ َم ِال ِ ِ ِ َّ حِب
َض َ السَؤ ِال َوِإ
ُّ ال َو َك ْثَر َة َ َْب ِل الله مَج ًيعا َوالَ َت َفَّرقُوا َويَكَْرهُ لَ ُك ْم ق
َ َيل َوق
“Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal dan membenci tiga hal bagi kalian. Dia meridhai
kalian untuk menyembah-Nya, dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, serta
berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan tidak berpecah belah. Dia pun membenci
tiga hal bagi kalian, menceritakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya (qiila wa qaal), banyak
bertanya, dan membuang-buang harta.” (HR. Muslim, no. 1715)
Apa yang dimaksud qiila wa qaal? Sebagaimana dinukil dari Ibnu Battol, Imam Malik
berkata,
“Banyak bicara dan menyebar berita yang membuat orang ketakutan. Seperti dengan
mengatakan, “Si fulan memberi ini dan tidak mendapat ini.” Begitu pula maksudnya adalah
menceburkan diri dalam sesuatu yang tidak manfaat.” (Syarh Ibn Battol, 12: 48)
ِ مِم ِ ِ ِ
َ ح َكايَة َأقَاويل النَّاس َوالْبَ ْحث َعْن َها َك َما يُ َقال قَ َال فُاَل ن َك َذا َوق
ُيل َعْنهُ َك َذا َّا يُكَْره ح َكايَته َعْنه
“Menceritakan perkataan orang banyak, lalu membahasnya. Juga bisa dikatakan seperti
seseorang berkata bahwa si fulan berkata seperti ini atau seperti itu dan sebenarnya hal itu
tidak disukai sebagai bahan cerita.” (Fath Al-Bari, 11: 306-307)
ِ ِ
اهتم
ْ َصُّرف
َ َاهلم َوت
ْ َأح َو ْ اخْلَْوض يِف
ْ َوح َكايَات َما اَل َي ْعيِن م ْن، َأخبَار النَّاس
“Yang dimaksud adalah menceburkan diri dalam berita-berita yang dibicarakan orang,
dalam hal yang tidak manfaat yang membicarakan aktivitas atau gerak-gerik orang lain.”
(Syarh Shahih Muslim, 12: 11)
Diutarakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, waktu bagi seorang penuntut
a- Enggan mengulang dan muraja’ah apa yang telah ia baca dan pelajari.
b- Duduk dan nongkrong dengan teman-teman yang menghabiskan waktu tanpa faedah.
c- Sibuk dengan membicarakan orang dan membicarakan sesuatu yang tidak jelas.
Menunda-nunda kebaikan dan sekedar berangan-angan tanpa realisasi, kata Ibnul Qayyim
“Sekedar berangan-angan (tanpa realisasi) itu adalah dasar dari harta orang-orang yang
bangkrut.” (Madarij As-Salikin, Ibnul Qayyim, 1: 456, Darul Kutub Al-‘Arabi. Lihat pula Ar-
Ruuh, Ibnul Qayyim, 247, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah; Zaad Al-Ma’ad, Ibnul Qayyim, 2: 325,
Muassasah Ar- Risalah; ‘Iddatush Shabirin, Ibnul Qayyim, 46, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah)
Dalam sya’ir Arab juga disebutkan,
Dari Abu Ishaq, ada yang berkata kepada seseorang dari ‘Abdul Qois, “Nasehatilah kami.” Ia
berkata, “Hati-hatilah dengan sikap menunda-nunda (nanti dan nanti).”
berada di hari ini dan bukan berada di hari besok. Jika besok tiba, engkau berada di hari
tersebut dan sekarang engkau masih berada di hari ini. Jika besok tidak menghampirimu,
maka janganlah engkau sesali atas apa yang luput darimu di hari ini.” (Dinukil dari Ma’alim
fii Thariq Tholab Al-‘Ilmi, Dr. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdillah As Sadhaan, 30, Darul
Qabis)
Itulah yang dilakukan oleh kita selaku penuntut ilmu. Besok sajalah baru hafal matan kitab
tersebut. Besok sajalah baru mengulang hafalan qur’an. Besok sajalah baru menulis bahasan
fiqih tersebut. Besok sajalah baru melaksanakan shalat sunnah itu, masih ada waktu. Yang
Jika memang ada kesibukan lain dan itu juga kebaikan, maka sungguh hari-harinya sibuk
dengan kebaikan. Tidak masalah jika ia menset waktu dan membuat urutan manakah yang
prioritas yang ia lakukan karena ia bisa menilai manakah yang lebih urgent. Namun
bagaimanakah jika masih banyak waktu, benar-benar ada waktu senggang dan luang untuk
menghadiri majelis ilmu, muroja’ah, menulis hal manfaat, melaksanakan ibadah lantas ia
menundanya. Ini jelas adalah sikap menunda-nunda waktu yang kata Ibnul Qayyim
termasuk harta dari orang-orang yang bangkrut. Yang ia raih adalah kerugian dan kerugian.
Tips Manajemen Waktu dalam Islam
Waktu di Ciptakan oleh Allah SWT agar manusia dapat menghargai setiap hal yang
terjadi dan setiap hal yang ia miliki dalam hidupnya. Tentu saja Anda pasti sudah tahu,
kita diajarkan agar senantiasa menghargai waktu yang ada dengan rajin melakukan
ibadah kepada Allah SWT. Contohnya saat kita menunaikan shalat lima waktu maka
kita sudah diajarkan untuk mengelola waktu sebaik mungkin untuk menunaikan shalat.
Namun, setiap manusia pasti seringkali tidak mensyukuri waktu yang telah Allah
berikan kepadanya dan seringkali menyia-nyiakan waktu tersebut dengan perbuatan
atau kegiatan yang tidak bermanfaat. Jika Anda tidak bisa mengatur waktu dengan baik
tentu sangat rugi bukan? Berikut tips manajemen waktu dalam islam agar aktifitasmu
tetap produktif.
1. Hilangkan Kebiasaan menunda-nunda
Apakah Anda sering menunda-nunda sesuatu? Mulai dari sekarang jangan lagi ya suka
menunda pekerjaan. Karena Perbuatan suka menunda tidaklah baik, namun menunda
pekerjaan karena untuk ibadah wajib seperti Shalat, maka hal tersebut diperbolehkan.
Pada dasarnya Allah menyukai orang-orang yang senantiasa bertakwa kepadanya, dan
ketakwaan tersebut berada pada perbuatan yang diwajibkan dan diharamkan oleh
Allah. Agar menjadi orang yang tidak merugi, maka baiknya kita mendahulukan apa
yang menjadi kewajiban bagi kita sebagai umat muslim. Apabila setiap amalan wajib
telah terpenuhi, maka kita bisa mengerjakan amalan-amalan sunnah lainnya yang
mendatangkan kebaikan.
3. Bisa Menyelesaikan pekerjaan tepat waktu
Bisa mengatur waktu yang ada agar tidak sia-sia, maka sebaiknya buat batasan waktu
pada setiap kegiatan yang dilakukan. Semisal Anda ingin belajar maka tetapkan berapa
jam waktu yang dihabiskan dalam sehari. Tetapkan memulai, dan waktu untuk selesai
belajar.
Sebagai umat muslim serta sebagai umat manusia kita memang dianjurkan untuk
meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Semisal menonton film secara berlebihan,
bermain game seharian maka kebiasaan seperti itu memang harus kita kurangi kalau
bisa ya dihilangkan. Karena masih ada banyak hal yang bermanfaat lainnya yang bisa
kita dapatkan dan lakukan.
Agar tepat waktu, pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik, serta tidak menunda-
nunda pekerjaan. Anda bisa membuat jadwal kegiatan yang runtun dan teratur tentang
kegiatan apa yang harus kita lakukan setiap hari.
Semisal Mulai Bekerja Jam 08.00, melakukan persiapan sebelum kerja mulai jam
08.00-08.10, lalu 08.10 – 09.10 menyelesaikan pekerjaan A, jam 09.10 – 10.10
menyelesaikan pekerjaan B dsb.
Apabila seseorang hanya bersantai-santai sepanjang waktu yang ia miliki maka orang
tersebut akan mendapatkan hasil yang sesuai dengan usahanya. Maka jika Anda ingin
mendapatkan hasil yang maksimal, maka kurangi waktu untuk bersantai-santai.
Belajarlah untuk fokus pada sesuatu hal yang menjadi target Anda. Apabila memiliki
banyak target dalam hidupnya maka haruslah fokus pada satu hal terlebih dahulu agar
waktu yang dimiliki tidak terbuang sia-sia.
Berubah memanglah sulit dilakukan memerlukan proses dan waktu yang lama. Namun
jika Anda ingin sukses maka niatkan dalam hati untuk berubah menjadi lebih baik. Jika
Anda tidak memiliki keinginan atau niat untuk berubah, maka bagaimana caranya orang
tersebut mengatur waktu dan menjalankannya dengan bermanfaat.
Kegagalan ataupun memiliki masalalu yang buruk wajib kita tinggalkan, jangan terus
terjebak dalam masa lalu. Bagi seseorang yang tidak ingin waktunya sia-sia, maka ia
harus melangkah maju dan dapat meninggalkan masa lalu.