Anda di halaman 1dari 3

Rebahan Perspektif Al-Qur’an

Rebahan bisa dimaknai sebagai proses berbaring. Kata ini juga bisa bermakna
beristirahat. Yaitu, memberikan kesempatan pada tubuh untuk mengembalikan energi setelah
melakukan aktivitas. Kata rebahan juga memiliki istilah lain yaitu leyeh-leyeh atau mager
(males gerak). Kata ini mengandung makna tiduran; tidak melakukan aktivitas yang berat,
bahkan biasanya hanya cenderung memainkan hp—entah untuk apa saja yang intinya
menghabiskan kuota. Rebahan, bagi kaum intelektual bermakna menyimpan dan
mengoptimalkan tenaga—padahal maknanya bisa lain cerita. Rebahan adalah solusi luar
biasa bagi para pemalas yang tidak memiliki visi dalam hidupnya. Rebahan dijadikan tameng,
bukan sebagai sarana untuk berdamai dengan keadaan. Rebahan ini sungguh dielu-elukan
oleh pengikutnya dengan berslogan “rebahan adalah kita, kita adalah rabahan”. Itulah makna
rebahan yang hakiki bagi sebagian orang. Sebab sesungguhnya, rebahan adalah nikmat yang
harus disyukuri.
Sebagai makhluk yang diciptakan dalam sebaik-baik bentuk dan potensi, manusia
harusnya memaksimalkan waktu dalam hidupnya agar tidak menjadi orang yang merugi.
Manusia yang baik tentu harus memiliki perencanaan dan tujuan hidup guna meraih
ketenangan dan kebahagiaan. Untuk meraih tujuan hidup tersebut diperlukan mujahadah
serta konsistensi agar tetap pada jalan yang lurus. Itu semua tentu dilakukan tidak dengan
mengisi waktu hanya dengan leyeh-leyeh, rebahan atau mageran.
Islam, sebagai agama yang penuh cinta, mengajarkan agar umatnya selalu beraktivitas,
apa pun itu. Aktivitas ibadah maupun kegiatan sosial semua harus dilakukan dengan baik dan
tidak merugikan pihak lain. Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki perencanaan
kegiatan yang matang, yang pula dikondisikan dengan keadaan. Ingat, tidak ada istilah mager
atau rebahan dalam Al-Qur’an. Sebab, Al-Qur’an menyuruh untuk mengaktualisasikan diri
dalam bpelbagai kegitan. Mari tengok Q.S Al-Insyirah (7-8) yang singkat namun luas sekali
maknaya

َ ِّ ‫ى َرب‬
٨ ‫ك فَ ۡٱرغَب‬ َ َ ‫فَإِذ َا فَ َر ۡغ‬
ٰ ‫ وَإِل‬٧ ‫ص ۡب‬
َ ‫ت فَٱن‬
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya
kamu berharap.”
Dari ayat di atas, banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil, di antaranya:
1. Harus memiliki visi dan misi serta tujuan dalam kehidupan
Hidup artinya bergerak; beraktivitas. Untuk bergerak dan beraktivitas itu tentu
diperlukan perencaan yang tertuang dalam visi dan misi serta tujuan. Jadikan hidup yang
indah ini sebagai sarana berbagi kasih sayang, sembari meningkatkan kualitas diri
sehingga terhindar dari seburuk-buruk tempat yang ada. Perencanaan ini harus didasari
oleh pengetahuan serta kesadaran diri, agar visi dan misi tersebut disesuaikan dengan
kemampuan yang dimiliki.
2. Bersungguh-sungguh dalam menjalan aktivitas
Sunggug-sungguh dalam menjalankan semua aktivits, termasuk ibadah, bekerja,
ataupun kerja sosial lainnya harus menjadi pondasi utama. Selanjutnya, kegiatan tersebut
harus dilakukan efektif dan efisien. Sehingga tidak memakan waktu, tenaga bahkan harta
yang kemudian justru memberatkan. Berhentilah dalam beraktivitas hanya karena dua hal,
pertama karena lelah, kedua karena selesai. Kesehatan adalah hal yang utama selain
beresnya suatu perkara. Percuma suatu kegiatan selesai, tapi yang melakukan tidak bisa
menikmati hasil usahanya. Proporsionallah dalam beraktivitas, kira-kira demikian. Apabila
lelah, beristirahat; bukan rebahan selama mungkin. Rebahan hanya sejenak, dijakan fase
menarik napas untuk melanjutkan aktivitas.
3. Tidak memiliki waktu luang yang terbuang sia-sia
Waktu adalah satuan yang terus maju. Tidak dapat berhenti atau ditarik mundur.
Sebab, manusia tak memiliki kuasa di atas waktu. Manusia lemah di dalam waktu. Untuk
itu, sebagai pribadi yang baik hendaknya kita memaksimalkan waktu yang dimiliki.
Gunakan untuk untuk meningkatkan keimanan dan amal saleh. Keimanan adalah
keyakinan berujung pada ketakwaan. Sedangkan amal saleh adalah perbuatan yang
bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi sesama makhluk.
4. Berharap pada Tuhan Yang Maha Cinta
Hanya Allah Tuhan Yang Maha Cinta yang telah memberi semua nikmat kepada kita
yang tak terhitung jumlahnya. Jadi, wajarlah bila pribadi lemah seperti kita ini hanya
bersandar pada Tuhan Semesta Alam. Tuhan yang mengusai makhluk. Usaha telah kita
lakukan dengan sungguh-sungguh, maka tidak akan lengkap rasanya tanpa permohonan
dan pertolong Allah di dalamnya. Itulah menagapa, kita dianjurkan pual dalam melakukan
segala hal harus dimulai dengan membaca basmalah; menghadirkan selalu Allah dalam
diri dan aktivitas kita seraya memohon ridlo-Nya

Anda mungkin juga menyukai