Sebuah novel remaja menceritakan perjalanan persahabatan yang unik. Joyce dan
Raymond bersahabat lama tapi mereka sering kali bertengkar baik karena hal sepele sampai
masalah keluarga. Pada saat Joyce sakit, Raymond mulai sibuk dengan pekerjaannya karena ia
berpikir Joyce pasti akan segera sembuh. Tak lama, Joyce meninggal dan Raymond membaca
buku harian Joyce, dan barulah ia tahu bahwa Joyce merindukan kebersamaan di saat-saat
terakhirnya.
Kidung Agung memiliki bahasa puisi yang vulgar karena berbicara tentang relasi laki-
laki dan perempuan yang oleh beberapa penafsir akhirnya digambarkan sebagai relasi antara
Tuhan dengan umat-Nya selain mengena kepada relasi antarsesama. Kekasih di sini dikatakan
terlalu lama menunggu di luar (ay. 2), tapi si perempuan terlalu malas juga untuk segera
membukakan pintu (ay. 3-5) akhirnya si kekasih pergi (ay. 6-7), dicarinya kemana-mana tapi ia
tidak diketemukan dan rindunya menjadi sia-sia walau kualitas rindunya sangat dalam (ay. 8).
Relasi kita dengan Tuhan kadang kala demikian, kita terlalu sibuk dan bisa melupakan
Tuhan sepanjang hari. Kita menyesal saat kerinduan kita akhirnya tidak tersampaikan dan Tuhan
seakan-akan pergi meninggalkan kita sehingga kita merasa sendirian. Buka hati untuk merespons
panggilan Tuhan, jangan biarkan Dia terlalu lama menunggu kita yang malas ini (bdk. Yes.
55:6). Jangan biarkan terlambat juga untuk menikmati kebersamaan dengan sesama karena kita
tidak tahu kapan saatnya ia tiba-tiba pergi dan kita menyesal.
—YDS/www.renunganharian.net
Perhatikanlah seorang anak kecil! Ketika seorang anak merasa diperlakukan tidak adil,
maka ia akan cenderung bersikap iri hati, cemburu kepada anak yang lain. Umumnya, anak kecil
ingin dianggap lebih baik dari anak-anak yang lain. Menjadi lebih menarik ketika Rasul Paulus
memakai perangai anak-anak di salah satu bagian tulisannya untuk menasihati jemaat di
Korintus.
Mengutip kata-kata Maurice E. Wagner, seorang penulis buku, ia berkata bahwa masalah
yang paling umum terjadi dalam suatu hubungan dengan orang lain adalah kecenderungan untuk
mengendalikan seseorang yang kita kasihi. Kita menjadi posesif, pencemburu dan terlalu banyak
menuntut. Bukankah sikap-sikap seperti ini adalah sikap seorang anak kecil yang selalu merasa
lebih hebat dari orang lain? Yang hendak ditekankan oleh Paulus saat itu tentu saja adalah
perubahan perilaku. Seorang yang sudah dewasa tentulah berkata-kata, merasa, dan berpikir
secara berbeda dengan seorang anak kecil. Seorang yang dewasa rohani dengan semua karunia
yang menyertainya tidak akan pernah merasa diri lebih hebat dari orang lain. Seorang yang
dewasa rohani menyadari bahwa sia-sialah semua karunia bahkan imannya, jika ia tidak hidup
dalam kasih.
Seorang yang dewasa rohani, hidup dalam kasih. Ia sabar menanggung segala sesuatu,
tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari
keuntungan diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang. Kehendak Tuhan
bagi hidup kita adalah bertumbuh hingga mencapai kedewasaan penuh dalam Kristus di mana
sifat kanak-kanak itu terus terkikis habis dan karakter Kristus semakin nampak dalam hidup kita.
—SYS/www.renunganharian.net
Kami sedang berada di ruang gawat darurat sebuah rumah sakit. Anak kami memerlukan
penanganan serius dari dokter. Beberapa perawat berusaha menemukan nadi anak kami untuk
memasang jarum infus, tetapi tidak berhasil. Mereka mencobanya di pergelangan tangan kanan
dan kirinya, berkali-kali, tanpa hasil. Anak kami sangat kesakitan dengan upaya-upaya itu. Lalu
seorang ibu mendekat. Ia adalah orang tua dari pasien remaja yang sedang ditangani dokter di
ruangan yang sama. Melihat kesulitan para perawat itu, ia menawarkan diri. Dalam sekali usaha,
jarum infusnya terpasang dengan baik di tangan anak kami. Rupanya ia adalah seorang perawat
senior di rumah sakit lain.
Ketika pagi itu Rut meninggalkan ibu mertuanya dan memutuskan pergi ke ladang, ia
tidak tahu akan berada di ladang siapa. Ia hanya berharap bertemu seseorang yang bermurah hati
dan mengizinkannya memunguti bulir jelai di ladangnya. Ia sadar, sebagai orang asing, bisa saja
ia menghadapi penolakan atau pengusiran. Tetapi hari itu, ia memasuki ladang Boas, seorang
yang mengasihi Tuhan dan menghormati sesamanya.
Hari itu, Rut bukan hanya mendapatkan bulir-bulir gandum, tetapi juga perlindungan,
jaminan keamanan, serta kecukupan bahan makanan. Bahkan di sepanjang musim panen itu, ia
hanya memungut jelai di ladang Boas. Sebuah “kebetulan” yang menakjubkan. Tetapi
sebenarnya, di balik semuanya, ada kemurahan Tuhan yang sedang bekerja dalam hidupnya (ay.
20). Dan dalam hidup kita pun, Allah yang sama juga tetap berkarya.
—HT/www.renunganharian.net