Anda di halaman 1dari 19

ETIKA DAN PROFESI KEGURUAN

REVIEW III

KELOMPOK III

(Yulita, Rasmiati, Jurlia dan Muhammad Firdaus)

(Perkembangan Keprofesian Guru dan Perangkat Keprofesian Guru)

15 April 2022

Nur Amalia

2169010387

Pendidikan Bahasa Indonesia

Semester 2

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE

2022
1. Mengapa masih ada guru yang mencetak guru asal jadi? (Sukmawati)
Jawaban
Secara Kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatan
pengisian atau pengembanagan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-
banyaknya. Jadi, belajar dapat dipandang sebagai sudut dari berapa banyak
materi yang telah dikuasai oleh siswa. Secara Institusional (tinjauan
kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses “Validasi” atau pengabsahan
terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang telah pelajari. Bukti
institusional yangmenunjukkan siswa telah belajar dapat diketahui sesuai
dengan proses mengajar. Ukurannya semakin baik mutu guru mengajarakan
semakin baik pula mutu perolehan pelaku belajar yang kemudian dinyatakan
dalam skor (Syafi’i, Marfiyanto dan Rodiyah, 2018).
Guru merupakan komponen paling menentukan dalam sistem pendidikan
secarakeseluruhan yang harus mendapatkan perhatian sentral, pertama dan
utama. Figur yang satu ini akan senantiasa menjadi sorotan strategis ketika
berbicara masalah pendidikan,karena guru selalu terkait dengan komponen
manapun dalam sistem pendidikan.
Menurut Mulyasa, menyatakan guru memegang peran utama dalam
pembangunan pendidikan, khususnya yang diselengarakan secara formal di
sekolah. Guru juga sangat menentukan keberhasilan peserta didik, terutama
dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar. Guru merupakan komponen
yang paling berpengaruh terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang
berkualitas. Oleh karena itu,upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan tidakakan memberikan sumbangan yang
segnifikan tanpa didukung oleh guru yang profesional dan berkualitas. Dengan
kata lain perbaikan kualitas pendidikan harus berpangkal dari guru dan
berujung pada guru pula. Mulyasa, menyatakan bahwa faktor yang
menyebabkan rendahnya profesionalisme guru antara lain disebabkan oleh:
a) Masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini
disebabkan oleh sebagian guru yang berkerja diluar jam kerjanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga tidak memiliki

1
kesempatan untuk meningkatkan diri, baik membaca, menulis, apalagi
membuka internet.
b) Belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan negara-
negara maju.
c) Kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swastayang
mencetak guru asal jadi, atau setengah jadi, tanpa memperhitungkan
outputnya kelak dilapangan, sehingga menyebabkan banyak guru yang
tidak patuh terhadap etika profesinya.
d) Kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru
tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen
di perguruan tinggi.
Dengan demikian maka seorang guru dituntut mampu melaksanakan 4
kompetensi utama guru, yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, kompetensi profesional (Syaputra, 2020).
Guru merupakan seorang pedagog (ahli didik) yang berperan sebagai
agensi moral, sudah seharusnya sosok guru mampu memantulkan nilai-nilai
kebajikan dalam setiap jengkal eksistensinya di dunia pendidikan.
Secara normative, upaya untuk membangun budaya mutu tersebut
sejatinya sudah tertuang secara eksplisit dalam sejumlah regulasi pendidikan.
Misalnya, dalam pasal 7 ayat (1) UU No14/2005 tentang Guru dan Dosen,
dijelaskan bahwa sebagai suatu pekerjaan khusus profesi guru harus
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip profesionalitas yaitu:
a) Memiliki bakat,minat, panggilan jiwa, dan idealisme.
b) Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan,
ketakwaan, dan akhlak mulia.
c) Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai
dengan bidang tugas.
d) Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas.
e) Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan.
memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.
f) Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara
berkelanjutan denganbelajar sepanjang hayat.

2
g) Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan.
h) Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengaturhal-
hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru (Yasin, 2021).
Moralitas seorang Guru merupakan persoalan yang sangat sensitif,
mengingat setiap perilaku guru dalam menjalani kehidupan profesinya selalu
berkaitan dengan usaha memanusiakan manusia. Berkaitan dengan hal tersebut,
kondisi eksistensi guru dalam konteks moral belumlah ideal. Menurut Strike
dan Ternasky, pendidikan masih belum memiliki “bahasa etika” atau bahasa
moral yang mampu membantu guru mengenali mengartikulasikan, dan
berkomunikasi dengan guru lain mengenai kompleksitas moral dan etika
pengajaran mereka. Lebih jauh lagi Sockett dan LePage menyoroti kondisi
profesi guru yang memprihatinkan karena tidak adanya kosakata moral. Dalam
hal ini, mereka mengusulkan bahwa guru membutuhkan semacam “hukum
moral” untuk memberikan basis kepercayaan diri dalam membuat penilaian
etis yang dapat mengalahkan intuisi.
Temuan yang lebih mutakhir terkait dengan profesi guru dikemukakan
oleh Jahan dan Islam. Keduanya menjelaskan: “Almost all scholars emphasize
teachers’ ethical responsibilities but many university teachers are engaging in
unethical behaviour in the form of breaking their commitments to their
profession and to students. In curriculum development, classroom teaching,
conducting examinations and student evaluation, publishing results, student-
teacher interaction, research and publications, teachers have traditionally
adopted unfair means whether intentionally or unintentionally.”
Mengacu pada temuan Jahan & Islam, dapat disimpulkan bahwa perilaku
tidak etis masih cenderung muncul dalam kehidupan profesi guru. Hal ini
disebabkan karena kurangnya perhatian pada pembinaan etika profesi guru.
Selain itu dalam perspektif Ball tekanan neoliberalisme pada dunia pendidikan
telah mengikis identitas profesionalisme guru, orientasi kebijakan pendidikan
lebih terpusat pada orientasi pasar, management bisnis, dan performa.
Kebijakan ini telah mengubah secara mendalam identitas dan sifat pekerjaan
guru sebagai pendidik dan pembimbing.

3
Sementara itu Egan, Kayhan, dan Ramirez, menegaskan bahwa banyak
profesi yang menetapkan peraturan, yang meliputi standar penerimaan, kode
etik, dan ujian sertifikasi untuk memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa
profesi ini dikelola dengan serius. Ini berarti menjadi seorang profesional
bukan hanya sebuah proses intelektual, melainkan juga sebuah proses sosial
dan moral. Bertemali dengan pendapat Egan, Kayhan dan Ramirez, muncul
sebuah pertanyaan, apakah guru sudah sepenuhnya menyadari bahwa menjadi
seorang profesional harus melibatkan proses intelektual, social, dan moral.
Poin yang terakhir acap kali diabaikan oleh para profesional. Menurut teori
persepsi diri Fazio, orientasi kuat terhadap moralitas adalah status quo moral.
Artinya, guru senantiasa mengadopsi status quo aturan atau moralitas yang
ditetapkan oleh pemerintah. Fazio menambahkan bahwa ada tiga kemungkinan
ketika seorang profesional terjebak pada status quo moral, (menyesuaikan diri
dengan norma-norma, menyimpang secara positif dari norma-norma,
menyimpang secara negatif dari norma-norma). Kondisi ini tidak sepenuhnya
benar, karena pada dasarnya moralitas seorang guru harus tumbuh dalam diri
secara otentik, guru harus menyadari perannya sebagai agensi moral.
Menurut Campbel, agensi moral adalah kondisi ganda yang melingkupi
guru sebagai sosok bermoral yang melakukan tindakan profesional etis
sekaligus sebagai pendidik moral yang mengajarkan pada siswa kebajikan dan
asas inti yang sama dan diperjuangkannya untuk ditegakkan dalam praktik.
Lebih jauh lagi Campbel menegaskan, bahwa sebagai agensi moral, guru harus
memiliki tingkat kesadaran moral yang tinggi. Dalam hal ini, tingkat kesadaran
tertanam ketika guru mengembangkan kapasitas untuk mengidentifikasi
bagaimana nilai-nilai dan asas-asas moral serta etika dicontohkan melalui
tindakan, ucapan, pengambilan putusan, dan niat mereka sendiri. Hubungan
seperti itu tercipta secara intelektual, emosi, intuitif, filsafat, praktik, dan
eksperiensial ketika guru melakukan refleksi perseorangan dan diskusi kolektif
bersama rekan sejawat perihal pekerjaan yang merka geluti setiap hari (Ibrahim
dan Robandi, 2020).
Faktor dari dalam diri guru itu sendiri juga penting bahwa guru harus
tetap memiliki semangat mengajar yang sama antara mengajar di kelas nyata

4
dengan di kelasvirtual. Jangan sampai guru menganggap remeh dan mengajar
asal-asalan karena merasatidak mengajar di dalam ruang kelas yang
sesungguhnya, bahkan mengesampingkan tugasdan tanggung jawab untuk
kepentingan pribadi (Warianie, 2020).
2. Masalah apa yang dihadapi dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru?
(Wiwi Damayanti)
Jawaban
Untuk menghadapi sebuah tangangan pendidikan dibutuhkan sebuah
guru yang profesional yang berasal dari kata Profesionalisme yang berarti
kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan yang
berkaitan dengan mata pencaharian seseorang. Pada umumnya para ahli
pendidikan memasukkan guru sebagai pekerja profesional. Guru bukan saja
dituntut melakukan tugasnya secara professional, tetapi juga harus memiliki
pengetahuan dan kemampuan yang sesuai dengan bidang kompetensinya.
Maka profesi seorang guru memiliki ciri-ciri khusus yaitu harus menguasai
bidang ilmu pengetahuan yang akan diajarkannya dengan baik, harus memiliki
kemampuan menyampaikan atau mengajarkan ilmu yang dimilikinya (transfer
of knowledge) kepada murid-muridnya secara efektif dan efesien, dan
berpegang teguh kepada kode etik profesional (Fajriani dan Aliyah, 2019).
Guru merupakan tenaga pendidik yang profesional dibidangnya,
dibuktikan dengan kemampuan akademik berupa sertifikat atau ijazah
pendidik. Sejalan dengan ungkapan Payong dimana kualifikasi bersifat statis,
artinya pengakuan terhadap kemampuan akademik seseorang yang dibuktikan
dengan pemberian ijazah atau sertifikat tidak berubah sejauh bersangkutan
menyandang gelar akademik yang sesuai. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
dibuktikan ijazah atau sertifkat pendidik maka dianggap telah menguasai
kompetensi sebagai seorang guru. Untuk menjadi guru yang profesional, guru
harus menjadi otoritasmutu dan profesionalisme guru sebagai etos kerja
mereka dan menjadikannya sebagailandasan orientasi berperilaku dalam tugas-
tugasnya profesinya. Sehingga, guru yang profesional apabila sesuai dengan
profesi yang diperoleh dan mengajarkan kompetensi-kompetensi yang dimiliki.

5
Membicarakan tentang guru dan dunia keguruan ibarat mengurut benang
kusut. Artinya dari mana dimulai dan pada titik berakhirnya? Jawaban atas
pertanyaan tersebut tergantung dari sudut pandang mana yang digunakan
melihat permasalahan guru dan dunia keguruan. Jika sudut pandang
administrasi dan manajemen tenaga kependidikan akan melihat guru dari
sedikitnya empat aspek, yaitu terkait pengadaan, pengangkatan, penempatan,
dan pembinaan guru.
Dari sudut pandang keprofesian, maka guru akan dihadapkan pada tidak
mudahnya mendefinisikan secara pasti mengenai apa, siapa, dan bagaimana
profesi keguruan tersebut. Sekalipun jabatan guru disebut sebagai profesi dan
definisi profesi beserta kriterianya telah dibuat, kesulitan dihadapi pada saat
definisi dan kriteria tersebut dicocokkan dengan kenyataan di lapangan. Latar
belakang pendidikan, pengalaman, komitmen dan penampilan guru ternyata
amat beragam. Keberagaman tersebut dapat ditemui dalam realitasnya, ada
guru statusnya sebagai aparatur sipil negara ada guru swasta, ada guru
profesional ada guru belum profesional, ada guru tetap di yayasan ada guru
tidak tetap di yayasan, dan lain-lainnya.
Dari sudut pandang birokrasi, guru dipersepsikan sebagai mesin birokrasi
pendidikan di tingkat sekolah. Guru dipandang sebagai kepanjangan tangan
birokrasi, karena itu sikap dan tingkah lakunya mesti sepenuhnya tunduk pada
ketentuan-ketentuan birokrasi. Manakala perspektif ini mewarnai cara berpikir
birokrasi ditataran atasnya, maka yang terjadi adalah guru diperlakukan ibarat
bawahan atau staf, sementara pertimbangan profesionalnya untuk mengambil
pilihan terbaik dalam menjalankan tugasnya sebagai guru akan terkalahkan.
Dari sudut pandang sistem pendidikan nasional, atau lebih khusus lagi
sistem persekolahan, akan terlihat guru sebagai sentral dari segala upaya
pendidikan dan agen pembaharuan hingga ke tataran sekolah. Guru menjadi
tumpuan harapan untuk mewujudkan agenda-agenda pendidikan nasional:
peningkatan mutu dan relevansi, pemerataan dan perluasan kesempatan, dan
peningkatan efisiensi. Apabila kinerja sekolah, siswa bahkan pendidikan
nasional secara keseluruhan kurang memuaskan, maka guru sering menjadi
sasaran bagi pihak yang dianggap paling bertanggung jawab. Ditempatkan

6
dalam perspektif kemanusiaan, guru akan hadir sebagai sosok yang serba muka
dan penuh warna. Rentang dan ragam persoalan guru seperti gaji minus, mutasi
ke daerah yang terbuka, dan perilaku yang ditampilkan sehari-hari pada
akhirnya akan kembali ke akar kemanusiaannya. Sebagai manusia, guru
memiliki kebutuhan, pikiran, harapan, emosi, dan kehendak (Pristiwiyanto,
2020)
Sikap profesional dan kompetensi keahlian yang dimiliki guru tidak lain
pada bidang pembelajaran. Guru merupakan komponen utama dalam proses
pembelajaran di sekolah yang menentukan keberhasilan peserta didiknya.
Barghava menyatakan bahwa faktor terpenting dalam pembelajaran adalah
guru. Mengajar merupakan kebiasaan yang dilakukan seorang guru dalam
menjalankan tugasnya sebagai seorang pendidik. Proses pembelajaran terjadi
apabila interaksi antara guru dan peserta didik atau sebaliknya yang dihasilkan
dengan perubahan tingkah laku berupa pengetahuan yang sifatnya baru,
penguatan wawasan dan pengalaman. Sejalan dengan ungkapan Cooper yaitu,
effective teachers know that one of their primary tasks is to involve the student
in the learningprocess. Hal ini dimaksudkan bahwa seorang guru dikatakan
efektif dalam mengajar apabila melibatkan peserta didik selama pembelajaran
berlangsung.
Faktor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru tersebut
antara lain:
1) Masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini
disebabkan oleh sebagian guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga tidak memiliki kesempatan
untuk meningkatkan diri.
2) Belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-
negara maju.
3) Adanya perguruan tinggi swasta yang mencetak guru asal jadi, atau
setengah jadi, tanpa memperhitungkan output-nya kelak di lapangan,
sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika
profesinya.

7
4) Kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru
tidak dituntut untuk kajian dan pengabdian masyarakat sebagaimana yang
diberlakukan Tridharma di perguruan tinggi (Widodo dan Rofiqoh, 2020).
3. Bagaimana strategi guru dalam meningkatkan profesionalisme? (Mutmainna)
Jawaban
Pendidikan yang profesional akan dapat mengembangkan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa. Guru adalah bagian dari kesadaran
sejarah pendidikan di dunia. Sebagai orang yang digugu dan ditiru seorang
guru dengan sendirinya memiliki peran yang luar biasa dominannya bagi
peserta didik. Dalam sebuah proses pendidikan guru merupakan satukomponen
yang sangat penting, selain komponen lainnya, seperti tujuan, kurikulum,
metode, sarana dan prasarana lingkungan dan evaluasi. Seiring dengan laju
perkembangan pemikiran manusia yang melahirkan peradaban yang sangat
cepat pertumbuhannya ditandai dengan kemajuan teknologi informasi yang
kemudian dikenal dengan era global dengan konsekuensi globalisasi.
Globalisasi menawarkan paradigma baru dalam pendidikan. Tentunya juga
merupakan tantangan baru bagi guru profesional yang semakin hari semakin
meningkat (Susilo dan Sarkowi, 2018).
Masyarakat menaruh harapan besar pada guru guna melahirkan generasi
masa depan yang lebih baik. Mereka diharapkan menjadi suri tauladan bagi
anak didiknya dan mampu membimbing mereka menuju pola hidup yang
menjunjung tinggi moral dan etika. Guru telah diposisikan sebagai faktor
terpenting dalam proses belajar mengajar. Kualitas dan kompetensi guru
dianggap memiliki pengaruh terbesar terhadap kualitas pendidikan. Oleh sebab
itu, sudah sewajarnya apabila guru dituntut untuk bertindak secara profesional
dalam melaksanakan proses belajar mengajar guna meningkatkan kualitas
pendidikan yang mereka lakukan. Tuntutan seperti ini sejalan dengan
perkembangan masyarakat modern yang menghendaki bermacam-macam
spesialisasi yang sangat diperlukan dalam masyarakat yang semakin lama
semakin kompleks. Tuntutan kerja secara profesional juga dimaksudkan agar
guru berbuat dan bekerja sesuai dengan profesi yang disandangnya (Baharun,
2018).

8
Guru dikatakan profesional jika mampu mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan mampu menerapkan metode serta model pembelajaran yang
sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Seorangguru yang profesional dapat
dilihat dari penguasaan terhadap empat kompetensi, antara lainkompetensi
pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi
professional. Jika guru mampu mengatur peserta didik dan sarana pengajaran
serta mengendalikannya dalam suasana yang menyenangkan untuk mencapai
tujuan pembelajaran maka kondisi belajar yang optimal akan tercapai. Jika
dilihat dari kriteriate rsebut, bukanlah hal yang mudah untuk menjadi guru
profesional, karena guru ditutut keseriusannyadalam menjalankan profesi atau
melaksanakan tugasnya mengajar peserta didik (Mayanty, Rusmana, dan
Nurrahmah,, 2021).
Seorang guru yang menyandang gelar guru profesional, tentunya akan
memiliki kualitas yang berbeda dengan guru yang bukan guru professional,
salah satu kemampuannya adalah mengimplementasikan dalam pembelajaran.
strategi kegiatan pembelajaran merupakan langkah-langkah umum dalam
kegiatan belajar yang mesti dilakukan untuk mencapai tujuan secara efektif dan
efesien. Strategi kegiatan pembelajaran meliputi 4 aspek yaitu:
a) Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi serta kualifikasi perubahan
tingkah laku yang diharapkan. Hal ini mengacu pada standar kompetensi
dan kompetensi-kompetensi lain (kompetensi lintas kurikulum,
kompetensi tamatan, kompetensi rumpun mata pelajaran, dan kompetensi
dasar mata pelajaran yang telah ditetapkan secara nasional) yang
selanjutnya dirumuskan dengan sejumlah kemampuan dasar siswa untuk
menguasai suatu kompetensi yang mesti dimiliki siswa, sesuai dengan
rumpun mata pelajaran yang diberikan.
b) Memilih cara pendekatan belajar yang tepat untuk mencapai standar
kompetensi dengan memperhatikan karakteristik siswa sebagai subjek
belajar. Dalam kegiatan ini, kita wajib memahami tentang modalitas dan
gaya belajar siswa sebagai individu yang berbeda, baik itu secara
psikologis, fisiologis maupun sosiologis.

9
c) Memilih dan menetapkan sejumlah prosedur, metode dan teknik kegiatan
pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan pengalaman belajar yang
ditempuh siswa. Semakin jelas prosedur dan beragam metode yang kita
kembangkan, maka akan semakin memudahkan siswa menguasai dan
menjiwai seluruh inti pesan yang terkandung dalam setiap sajian
pembelajaran.
d) Menetapkan norma atau kriteria keberhasilan agar dapat menjadi pedoman
dalam kegiatan pembelajaran, terutama berkenaan dengan ukuran menilai
kemampuan penguasaan suatu jenis kompetensi tertentu. Mengingat
belajar adalah proses bagisiswa dalam membangun gagasan atau
pemahaman sendiri, maka kegiatan belajar mengajar dituntut memberi
kesempatan kepada setiap siswa untuk melakukan sesuatu secara layak dan
benar (Muizzuddin, 2019).
4. Bagaimana peran guru dalam berupaya meningkatkan profesionalisme?
(Ayunita)
Jawaban
Selaku seorang pengajar dan pendidik, guru diharapkan memiliki
perilaku yang selalu berorientasi pada upaya maksimalisasi perannya secara
profesional. Artinya, bahwa seorang guru harus dapat menunjukkan kinerjanya
yang tinggi dalam mengimplikasikan tugasnya dalam proses belajar-mengajar.
Di samping itu guru juga harus mengorganisir dan menetapkan pola saluran
komunikasi yang jelasdalam kelompok, dapat menjelaskan cara-cara yang
harus dilakukan oleh siswa sehingga kondisi belajar tetap optimal (Buchari,
2018).
Guru profesional adalah guru yang bersertifikasi yang diberikan kepada
guru yang sudah terujisecara kompetensi, yang dipersyaratkan untuk
menjalankan tugas kependidikan dan pengajaran. Oleh karena itu, guru
profesional dituntut untuk memiliki wawasan yang luas tentang pendidikan dan
pengajaran, memiliki kemampuan mengajar dengan baik, menguasai metode
dan strategi pembelajaran, serta memiliki kepribadian yang baik sebagai
teladan bagi peserta didik. Menurut Danim, untuk melihat apakah seorang guru
dikatakan profesional atau tidak, dapat dilihat dari tiga perspektif:

10
1) Dilihat dari tingkat pendidikan minimal dari latar belakangpendidikan
untuk jenjang sekolah dimana ia menjadi guru.
2) Penguasaan guru terhadap materi bahan ajar, mengelola proses
pembelajaran, mengelola siswa, melakukan tugas-tugas bimbingan.
3) Kepemilikan sertifikat pendidik (Hidayat dan Haryati, 2019).
Guru yang mempunyai kemampuan profesional sangat dibutuhkan untuk
meningkatkan hasil belajar. Dengan seorang guru yangprofesional siswa akan
mendapatkan pelajaran dan ilmu, sehingga siswa bisa termotivasi dan tertarik
dengan proses belajar mengajar di sekolah.Oleh karena itu, pembicaraan
tentang profil guru pada hakikatnya adalah pembicaraan tentang kompetensi
profesional guru. Secara lebih spesifik, kompetensi dimaksud dapat dilihat dari
kriteria profesional jabatan guru mencakup fisik, kepribadian, keilmuan dan
keterampilan. Dalam pengembangannya kemudian berupa kemampuan dasar
(kepribadian), kemampuan mengajar, dan kemampuan keterampilan. Secara
lebih rinci sebagai berikut:
a) Kemampuan Dasar Guru (Kepribadian)
Berupa: beriman dan bertakwa, berwawasan Pancasila, mandiri
penuh tanggung jawab, berwibawa, berdisiplin dan berdedikasi,
bersosialisasi dengan masyarakat, dan mencintai peserta didik dan peduli
terhadap pendidikannya.
b) Kemampuan umum guru (kemampuan mengajar)
Menguasai ilmu pendidikan dan keguruan, menguasai kurikulum,
menguasai didaktik metodik umum, menguasai pengelolaan kelas,
melaksanakan monitoring dan evaluasi peserta didik, kemampuan
pengembangan dan aktualisasi diri.
c) Kemampuan khusus (pengembangan keterampilan mengajar).
Meliputi: keterampilan bertanya, memberi penguatan,
mengadakanvariasi, menjelaskan, membuka dan menutup pelajaran,
membimbing diskusi kelompok kecil, mengelola kelas, dan mengajar
kelompok kecil dan perorangan (Rouf dan Lufita, 2018).
Seorang guru, setidaknya harus mampu menjadi pengelola kegiatan
pembelajaran, mulai dari merencanakan, melaksanakan, hingga mengevaluasi

11
proses pembelajaran yang dilaksanakan dengan baik. Kemudian ada pula
kompetensi personal. Seorang guru tentu tidak cukup hanya memiliki
kemampuan terkait dengan pelaksanaan proses pembelajaran. Seorang guru
yang baik adalah seorang guru yang memiliki kepribadian yang arif,
dewasa,mantap, berwibawa, sehingga dapat menjadi teladan bagi peserta
didiknya. Selain itu, adayang namanya kompetensi professional. Kompetensi
ini terkait dengan kemampuan seorang guru terhadap penguasaan materi
pembelajaran secara mendalam.
Seorang guru yang profesional adalah seorang guru yang memiliki
pengetahuan yang luas, dan tidak sekadar text book terhadap bidang studi yang
menjadi bahan ajarnya. Dengan memiliki kemampuan terhadap lapangan
pengetahuannya, seorang guru tentu bisa memilih model, strategi, dan metode
pengajaran yang tepat untuk murid-muridnya. Kompetensi yang juga tak kalah
penting untuk dimiliki seorang guru adalah kompetensisosial. Seorang guru
pertama-tama haruslah menyadari peran pentingnya sebagai bagian dari
masyarakat. Guru mengetahui apa dan bagaimana seharusnya mereka
menjalankan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian,
sosok guru sebagai tenaga pendidik tidak hanya muncul di dalam ruang kelas,
tetapi juga ruang-ruang kehidupan bermasyarakat lainnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana dijelaskan Mujtahid
dalam bukunya yang berjudul “Pengembangan Profesi Guru”, definisi guru
adalah orang yang pekerjaan, mata pencaharian, atau profesinya mengajar.
Kemudian, Sri Minarti mengutip pendapat ahli bahasa Belanda, J.E.C. Gericke
dan T. Roorda menerangkan, bahwa guru berasal dari bahasa Sansekerta yang
artinya berat, besar, penting, baik sekali, terhormat, dan pengajar. Sementara
dalam bahasa Inggris dijumpai beberapa kata yangberarti guru, misalnya
teacher yang berarti guru atau pengajar, educator yang berarti pendidik atau
ahli mendidik, dan tutor yang berarti guru pribadi, guru yang mengajar
dirumah, atau guru yang memberi les.
Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan
ilmu pengetahuan kepada anak didik. Kemudian guru dalam pandangan
masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat

12
tertentu, tidak harus di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid,
di surau atau mushola, di rumah dan sebagainya. Sementara Supardi dalam
bukunya yang berjudul “Kinerja Guru” menjelaskan pengertian guru menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah jalur pendidikan formal.
Untuk menjadi guru yang profesional tidaklah mudah, karena harus
memiliki berbagai kompetensi keguruan. Menurut Syaiful Sagala kompetensi
adalah kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan
dan latihan. Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun
2005 Pasal 10 menyatakan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang diperoleh melalui
pendidikan profesi.
a. Kompetensi Pedagogik.
Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan dalam pengelolaan
peserta didik, yang meliputi:
a) Pemahaman wawasan guru akan landasan dan filsafat pendidikan.
b) Guru memahami potensi dan keberagaman peserta didik, sehingga
dapat didesain strategi pelayanan belajar sesuai keunikan peserta
didik.
c) Guru mampu mengembangkan kurikulum dalam bentuk dokumen
maupun implementasi dalam bentuk pengamalan belajar.
d) Guru mampu menyusun rencana dan strategi pembelajaran
berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar.
e) Mampu melaksanakan pembelajaran yang mendidik dengan suasana
dialogis dan interaktif.
f) Mampu melakukan evaluasi hasil belajar dengan memenuhi prosedur
dan standar yang dipersyaratkan.

13
g) Mampu mengembangkan bakat dan minat peserta didik melalui
kegiatan intrakulikuler dan ekstrakulikuler untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimilikinya.
b. Kompetensi Kepribadian.
Kompetensi kepribadian terkait dengan penampilan sosok guru
sebagai individu yang mempunyai kedisiplinan, berpenampilan baik,
bertanggung jawab, memiliki komitmen, dan menjadi teladan. Menurut
Usman yang dikutip oleh Syaiful Sagala, kompetensi kepribadian meliputi:
a) Kemampuan mengembangkan kepribadian.
b) Kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi.
c) Kemampuan melaksanakan bimbingan dan penyuluhan.
c. Kompetensi Sosial.
Kompetensi sosial terkait dengan kemampuan guru sebagai makhluk
sosial dalam berinteraksi dengan orang lain. Kompetensi social menurut
Slamet PH sebagaimana dijelaskan oleh Syaifudin Sagala antara lain:
a) Memahami dan menghargai perbedaan (respect) serta memiliki
kemampuan mengelola konflik.
b) Melaksanakan kerja sama secara harmonis dengan kawan sejawat,
kepala sekolah, dan pihak-pihak terkait lainnya.
c) Membangun kerja tim (teamwork) yang kompak, cerdas, dinamis, dan
lincah.
d) Melaksanakan komunikasi (oral, tertulis, tergambar) secara efektif dan
menyenangkan dengan seluruh warga sekolah, orang tua peserta didik,
dengan kesadaran sepenuhnya bahwa masing-masing memiliki peran
dan tanggung jawab terhadap kemajuan pembelajaran.
e) Memiliki kemampuan memahami dan menginternalisasikan
perubahan lingkungan yang berpengaruh dengan tugasnya.
f) Memiliki kemampuan mendudukkan dirinya dalam sistem nilai yang
berlaku di masyarakat.
g) Melakukan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (partisipasi,
penegakan hukum, dan profesionalisme).
d. Kompetensi Profesional.

14
Kompetensi profesional berkaitan dengan bidang studi, menurut
Syaifudin Sagala terdiri dari:
a) Memahami mata pelajaran yang telah dipersiapkan untuk mengajar.
b) Memahami standar kompetensi dan standar isi mata pelajaran serta
bahan ajar yang adadalam kurikulum.
c) Memahami struktur, konsep, dan metode keilmuan yang menaungi
materi ajar.
d) Memahami hubungan konsep antar mata pelajaran terkait.
e) Menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Oemar Hamalik, guru memiliki beberapa tanggung jawab antara lain:
1) Tanggung Jawab Moral.
Setiap guru profesional berkewajiban menghayati dan mengamalkan
Pancasila dan bertanggung jawab mewariskan moral Pancasila serta nilai-
nilai Undang-Undang Dasar 1945 kepada generasi muda. Tanggung jawab
ini merupakan tanggung jawab moral bagi setiap guru diIndonesia. Dalam
kemampuan ini setiap guru harus memiliki kompetensi dalambentuk
kemampuan menghayati dan mengamalkan Pancasila.
2) Tanggung Jawab Dalam Bidang Pendidikan di Sekolah.
Guru bertanggung jawab melaksanakan kegiatan pendidikan di
sekolah dalam arti memberikan bimbingan dan pengajaran kepada para
siswa. Tanggung jawab ini direalisasikan dalam bentuk melaksanakan
pembinaan kurikulum, menuntun parasiswa belajar, membina pribadi,
watak, dan jasmaniah siswa, menganalisis kesulitan belajar, serta menilai
kemajuan belajar para siswa.
3) Tanggung Jawab Dalam Bidang Kemasyarakatan.
Guru profesional tidak dapat melepaskan dirinya dari bidang
kehidupan masyarakat. Di satu pihak, guru adalah warga dari masyarakat
dan di pihak lain guru bertanggung jawab turut serta memajukan
kehidupan masyarakat. Guru turut bertanggung jawab memajukan
persatuan dan kesatuan bangsa, serta menyukseskan pembangunan
nasional. Sehingga, guru harus menguasai dan memahami semua hal yang
bertalian dengan kehidupan nasional misalnya tentang suku bangsa,

15
adatistiadat, kebiasaan, norma-norma, kebutuhan, kondisi lingkungan, dan
sebagainya.
4) Tanggung Jawab Dalam Bidang Keilmuan Guru.
Sebagai ilmuwan bertanggung jawab turut memajukan ilmu,
terutama ilmu yang telah menjadi spesialisasinya. Tanggung jawab ini
dilaksanakan dalam bentuk mengadakan penelitian dan pengembangan.
Guru harus memiliki kompetensi tentang cara mengadakan penelitian,
seperti cara membuat desain penelitian, cara merumuskan masalah, cara
menentukan alat pengumpulan data, cara mengadakan sampling, dan cara
mengolah data dengan teknik statistik yang sesuai. Dan selanjutnya, guru
harus mampu menyusun laporan hasil penelitian agar dapat disebarluaskan
(Illahi, 2020).

16
DAFTAR PUSTAKA

Baharun, H. 2018. Peningkatan Kompetensi Guru melalui Sistem Kepemimpinan


Kepala Madrasah. At-Tajdid: Jurnal Ilmu Tarbiyah, 6 (1), 1-26.
Buchari, A. 2018. Peran Guru dalam pengelolaan pembelajaran. Jurnal Ilmiah
Iqra', 12 (2), 106-124.
Fajriana, A. W., dan Aliyah, M. A. 2019. Tantangan Guru dalam Meningkatan
Mutu Pendidikan Agama Islam di Era Melenial. Nazhruna: Jurnal
Pendidikan Islam, 2 (2), 246-265.
Hidayat, A. G., dan Haryati, T. 2019. Peran Guru Profesional dalam Membina
Karakter Religius Peserta Didik Berbasis Nilai Kearifan Lokal (Maja Labo
Dahu) Sekolah Dasar Negeri Sila di Kecamatan Bolo Kabupaten
Bima. Jurnal Pendidikan Ips, 9 (1), 15-28.
Ibrahim, T., dan Robandi, B. 2020. Representasi Kesadaran Agensi Moral sebagai
Guru: Studi Fenomenologi pada Mahasiswa Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia. Jurnal Pendidikan Karakter, 10 (1).
Illahi, N. 2020. Peranan Guru Profesional dalam Peningkatan Prestasi Siswa dan
Mutu Pendidikan di Era Milenial. Jurnal Asy-Syukriyyah, 21 (1), 1-20.
Mayanty, S., Rusmana, I. M., dan Nurrahmah, A. 2021. Strategi Menjadi Guru
Inspiratif di Masa Pandemi: (PKM di TK dan SDI Al Kautsar Bintaro
School). Jubaedah: Jurnal Pengabdian dan Edukasi Sekolah (Indonesian
Journal of Community Services and School Education), 1 (1), 1-11.
Muizzuddin, M. 2019. Pengembangan Profesionalisme Guru dan Peningkatan
Kualitas Pembelajaran. Jurnal Kependidikan, 7 (1), 127-140.
Nurrahmah, A., Karim, A., dan Suhendri, H. 2020. Pelatihan Model Pembelajaran
Project Based Learning Berbasis IT bagi Guru MI. J-Dinamika: Jurnal
Pengabdian Masyarakat, 5 (1), 19–23.
Pristiwiyanto, P. 2020. Perlindungan Profesi Guru pada Aspek Legalitas dan
Tataran Realitas. AT-THUFULY: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia
Dini, 1 (1), 1-9.
Rouf, A., dan Lufita, R. 2018. Peranan Guru dalam Implementasi Kurikulum
2013 di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 Jombang. Sumbula: Jurnal Studi
Keagamaan, Sosial dan Budaya, 3 (2), 903-926.
Susilo, A., dan Sarkowi, S. 2018. Peran Guru Sejarah Abad 21 dalam Menghadapi
Tantangan Arus Globalisasi. Historia: Jurnal Pendidik dan Peneliti
Sejarah, 2 (1), 43-50.
Syafi'i, A., Marfiyanto, T., dan Rodiyah, S. K. 2018. Studi Tentang Prestasi
Belajar Siswa dalam Berbagai Aspek dan Faktor yang Mempengaruhi
Siswa. Jurnal Komunikasi Pendidikan, 2 (2), 115-123.
Syaputra, R. 2020. Kompetensi Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga dan
Kesehatan di Sekolah Dasar Negeri Sekecamatan Luas, Kabupaten Kaur,
Provinsi Bengkulu. e-SPORT: Jurnal Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan
Rekreasi, 1 (1), 6-20.
Warianie, L. 2020. Peranan Penting Guru, Orang Tua dan Siswa dalam
Menghadapi Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi Covid
19. Enggang: Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, Seni, dan Budaya, 1 (1),
16-29.

17
Yasin, I. 2021. Problem Kultural Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia:
Perspektif Total Quality Management. Ainara Journal (Jurnal Penelitian
dan PKM Bidang Ilmu Pendidikan), 2 (3), 239-246.

18

Anda mungkin juga menyukai