Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Anatomi Fisiologi Ginjal

Ginjal dianggap sebagai organ yang paling penting pada sistem

genitourinari karena bertanggung jawab dalam proses pembentukan

urine. Ginjal adalah struktur berbentuk kacang yang terletak

dibelakang rongga perut di kedua sisi tulang belakang. Peritoneum,

atau membran yang melapisi rongga perut, hanya menutup sisi anterior

(depan) ginjal, yang berarti bahwa ginjal terletak di retroperitoneal,

atau di belakang peritoneum. Ginjal kiri terletak sedikit lebih tinggi

dari ginjal kanan. Kapsul ginjal yang terdiri dari jaringan ikat dan

lemak yang mengelilingi dan melindungi setiap ginjal. Bagian

indentasi (cekung) ginjal dikenal sebagai hilus, wilayah tempat arteri

renal memasuki ginjal dan pembuluh darah ginjal dan ureter

meninggalkan ginjal (Strasinger dan Lorenzo, 2016).

Ginjal terdiri dari korteks ginjal luar dan medula ginjal bagian

dalam. Medula ginjal dapat divisualisasikan sebagai serangkaian

struktur yang dikenal sebagi piramida. Setiap piramida megalir ke

kaliks, yang berfungsi sebagai tubulus pengumpul urine saat urine

dibuat. Area ginjal tempat kaliks bergabung disebut pelvis ginjal, yang

terhubung ke ureter yang meninggalkan ginjal (Strasinger dan

Lorenzo, 2016).

8
9

Setiap ginjal mengandung sekitar 1 juta nefron. Nefron dikenal

sebagai unit fungsional ginjal, karena struktur mikroskopik tersebut

menyaring darah dan membuat urine melalui proses filtrasi, reabsorbsi,

dan sekresi. Sebagian besar nefron dalam ginjal adalah nefron korteks,

yang terletak di lapisan korteks luar ginjal. Semua fungsi nefron

berfungsi untuk menyaring darah dan membuat urine, tetapi nefron

korteks bertanggung jawab terutama untuk mengeluarkan produk

limbah dan mereabsorbsi nutrisi. Nefron jukstamedular lebih panjang

dan menjulur jauh ke dalam medula. Nefron ini memiliki fungsi

khusus memekatkan urine (Strasinger dan Lorenzo, 2016).

Tiap – tiap ginjal terdiri dari 1,5-2 juta nefron itu artinya

terdapat 1,5 – 2 juta glomeruli. Nefron terdiri dari glomerulus dengan

kapsula bowmen, tubulus proksimal, ansa Henle, dan tubulus distal.

Pembentukan urine dimulai dari glomerulus dimana filtrate mulai

terbentuk dalam bentuk isotonik dengan plasma. Pada akhir tubulus

proksimal 80% filtrat telah diabsorbsi, pada saat infiltrat bergerak ke

atas melalui bagian aseden, maka konsentrasinya makin lama akan

makin encer atau menjadi hipoosmotik, kemudian filtrat akan bergerak

pada sepanjang tubulus distal, konsentrasi filtrat menjadi pekat

kembali atau isoosmotik dengan plasma darah. Filtrat-filtrat tersebut

mengumpul pada ujung duktus dan terjadi peningkatan konsentrasi

kembali dan 99% air sudah direabsorbsi dan hanya 1% yang


10

dieksresikan sebagai urine atau kemih (Suryaatmadja dan Rustadi,

2011).

Ureter adalah tabung berongga fleksibel yang menghubungkan

ginjal ke kandung kemih. Urine mengalir dari masing – masing pelvis

ginjal melalui ureter oleh gelombang peristaltik yang diciptakan oleh

dinding otot ureter. Setiap ureter berukuran sekitar 12 inci sehingga

ukurannya cukup panjang untuk melewati bagian belakang rongga

perut sebelum memasuki kandung kemih (Strasinger dan Lorenzo,

2016).

Kandung kemih adalah kantong otot berongga yang dirancang

untuk menyimpan urine. Ukuran dan bentuk kandung kemih berbeda

sesuai dengan jumlah urine yang disimpan setiap saat. Lapisan interior

kosong kandung kemih membentuk rugae, yang merupakan lipatan

yang memungkinkan kandung kemih untuk meregang ketika diisi

dengan urine. Biasanya kandung kemih dewasa dapat menyimpan

sekitar 500 mL urine, tetapi keinginan untuk berkemih dapat dirasakan

ketika kandung kemih terisi sekitar 150 mL urine. Keluarnya urine dari

kandung kemih (mikturisi) melibatkan interaksi pusat refleks berkemih

di regio sakral tulang belakang dan otot volunter yang mengelilingi

uretra (Strasinger dan Lorenzo, 2016).

Ketika urine meninggalkan kandung kemih, urine mengalir

melalui tabung hampa yang disebut uretra saat meninggalkan tubuh.

Panjang uretra bervariasi berdasarkan jenis kelamin pasien. Uretra laki


11

– laki berukuran sekitar 21 cm, sedangkan rata – rata uretra perempuan

hanya 4 cm. pada laki – laki uretra juga digunakan oleh sistem

reproduksi untuk mengangkut semen. Lubang di ujung distal uretra

tempat uretra meninggalkan tubuh disebut meatus urinarius (Strasinger

dan Lorenzo, 2016).

2. Urinalisis

a. Pengertian

Urinalisis sebagai “pemeriksaan secara kimiawi dan dengan

mikroskopis terhadap air kencing”. Urinalisis adalah pemeriksaan

sampel urine secara fisik, kimia dan mikroskopik (Gandasoebrata,

2013).

Tujuan urinalisis secara umum adalah untuk mendeteksi

kelainan ginjal, saluran kemih, serta untuk mendeteksi kelainan

kelainan di berbagai organ tubuh lain seperti hati, saluran empedu,

pankreas, dan lain – lain (Gandasoebrata, 2013). Pemeriksaan ini

juga berguna untuk membantu penegakan diagnosis; untuk

penapisan penyakit asimptomatik, kongenital, atau yang

diturunkan; untuk membantu perkembangan penyakit; dan untuk

memantau efektifitas pengobatan atau komplikasi (Lembar dkk.,

2013).

Pemeriksaan urine secara kualitatif bertujuan untuk

mengidentifikasi zat-zat yang secara normal ada dalam urine dan

zat – zat yang seharusnya tidak ada dalam urine. Secara kuantitatif
12

(atau semi-kuantitatif) pemeriksaan urine bertujuan untuk

mengetahui jumlah zat-zat tersebut di dalam urine (Riswanto dan

Rizki, 2015).

Permintaan urinalisis diindikasikan pada pasien dengan

evalusi kesehatan secara umum, gangguan endokrin, gangguan

pada ginjal atau traktus urinarius, monitoring pasien dengan

diabetes, kehamilan, kasus toksikologi atau over dosis obat

(Hardjoeno dan Fitriani, 2007). Secara kualitatif pemeriksaan urine

bertujuan untuk mengidentifikasi zat-zat yang secara normal ada

dalam urine dan zat – zat yang seharusnya tidak ada dalam urine.

Secara kuantitatif (atau semi-kuantitatif) pemeriksaan urine

bertujuan untuk mengetahui jumlah zat-zat tersebut di dalam urine

(Riswanto dan Rizki, 2015).

b. Jenis urinalisis

Tes urine terdiri dari pemeriksaan makroskopik,

mikroskopik dan pemeriksaan kimia urine (Hardjoeno dan

Fitriani, 2007). Analisis fisik atau makroskopik meliputi tes warna,

kejernihan, dan berat jenis. Analisis mikroskopik untuk melihat

sedimen urine seperti eritrosit, leukosit, sel epitel, kristal, dan

lain-lain. Analisis kimia meliputi tes protein, glukosa, keton, darah,

bilirubin, urobilinogen, nitrit, dan lekosit estrase (Mundt dan

Shanahan, 2011).
13

1) Pemeriksaan makroskopis

Pemeriksaan makroskopik dimulai dengan penampakan

warna dan kekeruhan. Urine normal yang baru dikeluarkan

tampak jernih sampai sedikit berkabut dan berwarna kuning

oleh pigmen 10 urokrom dan urobilin. Intensitas warna urine

sesuai dengan konsentrasi urine. Urine yang encer hampir tidak

berwarna, urine yang pekat berwarna kuning tua atau sawo

matang. Kekeruhan biasanya terjadi karena kristalisasi atau

pengendapan urat (dalam urine asam) atau fosfat (dalam urine

basa). Kekeruhan juga bisa disebabkan oleh bahan seluler

berlebihan atau protein dalam urine (Riswanto dan Rizki,

2015).

a) Warna urine

Warna urine berhubungan dengan derasnya diuresis.

Semakin besar diuresis, warna urine akan semakin muda.

Biasanya, warna normal urine berkisar antara kuning muda

dan kuning tua. Banyak faktor yang mempengaruhi warna

urine diantaranya adalah fingsi metabolisme, aktivitas fisik,

bahan yang dikonsumsi oleh pasien, atau kondisi patologis

(Riswanto dan Rizki, 2015).

b) Kejernihan

Kekeruhan pada urine umumnya disebabkan oleh

bakteri, eritrosit, lekosit, cairan getah bening, lipid, lendir,


14

ragi, kristal atau endapan garam amorf (Riswanto dan

Rizki, 2015).

c) Bau

Bau urine normal yang khas disebabkan oleh asam

organik yang mudah menguap (Gandasoebrata, 2013)

d) Berat jenis

Berat jenis memberikan kesan tentang kepekatan

urine. Urine pekat dengan BJ > 1,030 mengindikasikan

kemungkinan adanya glukosuria (glukosa dalam urine).

Batas BJ normal pada urine berkisar antara 1,003 – 1,030

(Riswanto dan Rizki, 2015).

2) Pemeriksaan mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopik atau pemeriksaan sedimen

urine termasuk pemeriksaan rutin yang digunakan untuk

mendeteksi kelainan ginjal dan saluran kemih serta memantau

hasil pengobatan (Brunzel, 2013). Pemeriksaan mikroskopik

diperlukan untuk mengamati sel dan benda berbentuk partikel

lainnya. Pemeriksaan urine mikroskopis memiliki keuntungan

mudah secara teknik dan dapat dilakukan dengan peralatan

konvensional, relatif cepat, dan murah (Riswanto dan Rizki,

2015).
15

3) Pemeriksaan kimia

Setelah pemeriksaan fisik awal selesai dilakukan dan di

catat, spesimen urine akan diuji dengan reagen dipstick,

sepotong tipis plastik yang di lapisi dengan pad reagen yang

akan berubah warna tergantung pada konsentrasi bahan kimia

tertentu dalam spesimen urine. Reagen dipstick biasanya

digunakan untuk memeriksa glukosa, keton, pH, bilirubin,

urobilinogen, sel darah merah, protein, sel darah putih, nitrit,

dan albumin. Berat jenis juga dapat diukur dengan

menggunakan metode ini. Pemeriksaan kimia dapat dapat

dilakukan dengan cara manual dengan mengamati, perubahan

warna dan menetapkan nilai (Strasinger dan Lorenzo, 2016).

Pemeriksaan kimia urine menggunakan dipstick urine

prinsipnya adalah dengan mencelupkan strip kedalam spesimen

urine. Dipstick akan menyerap dan terjadi reaksi kimia yang

kemudiaan akan mengubah warnanya dalam hitungan detik

atau

menit. Warna yang terbentuk dibandingkan dengan bagan

warna masing-masing strip untuk menentukan hasil tes. Jenis

dan tingkat perubahan warna memberikan jenis dan kadar zat-

zat kimia tertentu yang ada di urine (Gandasoebrata, 2013).


16

c. Spesimen urine

Untuk mendapatkan spesimen yang mewakili status

metabolik pasien, peraturan mengenai aspek tertentu pengambilan

spesimen sering kali diperlukan. Kondisi khusus tersebut dapat

mencakup waktu, selang waktu, dan metode pengambilan

spesimen serta asupan diet dan obat pasien. Penting

menginstruksikan pasien bilamana mereka harus mengikuti

prosedur pengambilan khusus (Strasinger dan Lorenzo, 2016).

1) Spesimen urine pagi pertama (First morning urine)

Urine satu malam mencerminkan periode tanpa asupan

cairan yang lama, sehingga unsur-unsur yang terbentuk

mengalami pemekatan. Urine pagi baik untuk pemeriksaan

sedimen dan pemeriksaan rutin serta tes kehamilan (Strasinger

dan Lorenzo, 2016).

Urine pagi pertama lebih pekat bila dibandingkan dengan

urine yang dikeluarkan siang hari, jadi urine ini baik untuk

pemeriksaan sedimen, berat jenis, protein, dan lain-lain, serta

baik juga untuk tes kehamilan berdasarkan adanya human

chorionic gonadotrophin (HCG) (Gandasoebrata, 2013).

2) Spesimen urine pagi kedua

Spesimen urine ini dikumpulkan 2 – 4 jam setelah urine

pagi pertama. Spesimen ini dipengaruhi oleh makanan dan


17

minuman, dan aktivitas tubuh. Spesimen ini lebih praktis untuk

pasien rawat jalan (Strasinger dan Lorenzo, 2016).

3) Spesimen urine sewaktu (Random)

Spesimen urine sewaktu adalah spesimen yang paling

umum diterima karena mudah dikumpulkan dan nyaman bagi

pasien. Spesimen urine sewaktu dapat dikumpulkan setiap saat,

tetapi waktu aktual berkemih harus dicatat pada wadah.

Spesimen acak berguna untuk uji skrining rutin untuk

mendeteksi abnormalitas nyata. Akan tetapi, spesimen urine

sewaktu juga dapat menunjukkan hasil yang salah akibat

asupan diet atau aktivitas fisik sesaat sebelum pengambilan

spesimen tersebut. Pasien selanjutnya akan diminta untuk

menumpulkan spesimen tambahan dalam kondisi yang lebih

terkendali (Strasinger dan Lorenzo, 2016). Spesimen ini dapat

digunakan untuk bermacam-macam pemeriksaan, biasanya

cukup baik untuk pemeriksaan urine rutin (Almahdaly, 2012).

4) Spesimen urine berdasarkan waktu (Timed collection)

a) Urine 24 jam

Spesimen ini adalah urine yang dikeluarkan selama 24

jam terus-menerus dan kemudian dikumpulkan dalam satu

wadah (Strasinger dan Lorenzo, 2016). Urine ini kadang

kala ditampung secara terpisah-pisah dengan maksud

tertentu (Gandasoebrata, 2013).


18

b) Urine post prandial

Urine yang pertama kali dikeluaran 1,5 – 3 jam

setelah makan. Spesimen ini baik digunakan untuk

pemeriksaan glukosaria (Gandasoebrata, 2013).

3. Penanganan spesimen urine

Fakta bahwa spesimen urine begitu mudah diperoleh atau

dikumpulkan sering menyebabkan kelemahan dalam penanganan

spesimen setelah pengumpulan. Perubahan komposisi urine terjadi

tidak hanya in vivo (di dalam tubuh) tetapi juga in vitro (di luar tubuh),

sehingga membutuhkan prosedur penanganan yang benar (Strasinger

dan Lorenzo, 2016).

Penanganan spesimen meliputi prosedur penampungan urine

dalam wadah spesimen, pemberian identitas spesimen, pengiriman atau

penyimpanan spesimen. Penanganan yang tidak tepat dapat membuat

spesimen yang diperoleh tidak berguna dan menyebabkan hasil

pemeriksaan yang keliru (Riswanto dan Rizki, 2015).

a. Wadah spesimen urine

Spesimen harus ditampung dalam wadah yang memenuhi

syarat. Pemasangan tutup ulir dapat mengurangi resiko

kemungkinan kebocoran atau tumpah daripada tutup yang

dikancingkan (Strasinger dan Lorenzo, 2016).

Spesimen dimasukkan ke dalam wadah dengan menyisakan

ruang yang cukup agar memungkinkan untuk menghomogenkan


19

spesimen dengan memutar – mutar wadah. Seluruh spesimen harus

masuk ke dalam wadah, jangan ada yang menempel pada bagian

luar wadah untuk mencegah bahaya infeksi terhadap petugas.

Wadah harus ditutup rapat – rapat agar spesimen tidak merembes

atau tumpah. Bagian luar wadah urine harus dibilas dan

dikeringkan, dan keterangan tentang pemeriksaan harus jelas

dicantumkan (Strasinger dan Lorenzo, 2016).

Wadah penampung spesimen urine sebaiknya terbuat dari

bahan plastik transparan, bermulut lebar, dan ditutup rapat, dan

mudah dibuka, tidak retak, tidak mudah pecah, bagian bawah datar

untuk mencegah terbalik, dan berlabel. Wadah yang terbuat dari

bahan yang transaparan memungkinkan penentuan warna dan

kejernihan dengan lebih baik. Wadah penampung sampe urine

harus bersih, kering, dan tidak mengandung bahan yang dapat

mengubah komposisi zat – zat yang terdapat dalam urine. Kapasitas

wadah yang dianjurkan adalah 50 mL, yang dapat menampung 12

mL spesimen yang diperlukan untuk analisis mikroskopis dan

spesimen tambahan untuk analisis ulang (Strasinger dan Lorenzo,

2016).

b. Identitas pasien

Identitas pasien ditulis dalam label yang mudah dibaca. Label

memuat setidaknya nama pasien dan nomor identifikasi, tanggal

dan waktu pengumpulan, dan informasi tambahan seperti usia


20

pasien, lokasi, dan nama dokter, seperti yang dipersyaratkan oleh

protokol institusional (Riswanto dan Rizki, 2015).

c. Dokumentasi

Suatu bentuk permintaan pemeriksaan laboratorium (lembar

manual atau komputerisasi) harus menyertai spesimen yang akan

dikirim ke laboratorium. Informasi pada formulir harus sesuai

dengan informasi pada label spesimen. Informasi tambahan pada

formulir dapat meliputi metode pengumpulan atau jenis spesimen,

pemberian obat yang mungkin mengganggu, dan informasi klinis

pasien. Waktu spesimen diterima di laboratorium harus dicatat

pada formulir (Riswanto dan Rizki, 2015).

d. Pengiriman spesimen urine

Pengiriman urinalisis yang baik harus dilakukan saat urine

masih segar ( kurang dari 1 jam), atau selambat – lambatnya dalam

waktu 2 jam setelah dikemihkan. Penundaan antara berkemih dan

pemeriksaan urinlisis dapat mempengaruhi stabilitas spesimen dan

validasi hasil pemeriksaan. Spesimen tidak dapat dikirim dan diuji

dalam waktu 2 jam harus didinginkan atau diberi bahan pengawet

yang tepat (Riswanto dan Rizki, 2015).

e. Pengawetan spesimen urine

Jika karena suatu sebab pemeriksaan tidak bisa segera

dilakukan, urine dapat disimpan dengan memperhatikan jenis

pemeriksaan yang akan dilakukan. Penambahan bahan pengawet


21

yang ideal harus memperhatikan jenis spesimen, jenis – jenis

pengawet dan stabilitasnya (Riswanto dan Rizki, 2015).

1) Pengawetan secara fisik

Metode yang paling sering digunakan adalah dengan

pendinginan pada suhu 2 – 8°C yang dapat mengurangi

pertumbuhan dan metabolisme bakteri. Pendinginan akan

mereduksi presipitasi kristal urat dan fosfat amorf yang dapat

berdampak pada pemeriksaan mikroskopik. Spesimen harus

dikembalikan ke suhu kamar sebelum pengujian kimia dengan

strip reagen. Upaya ini dapat mendeteksi berat jenis dan dapat

melarutkan urat amorf (Strasinger dan Lorenzo, 2016).

Perlu diperhatikan bahwa pendinginan dapat

meningkatkan berat jenis dapat diukur dengan urinometer.

Pendinginan juga akan mengakibatkan pengendapan fosfat

amorf dan urat yang dapat mengaburkan analisis sedimen

mikroskopis (Strasinger dan Lorenzo, 2016).

Pendinginan ada kalanya akan mustahil dilakukan pada

saat spesimen urine harus disimpan untuk jangka waktu yang

lama terutama ketika spesimen harus dikirim jarak jauh ke

laboratorium luar. Pada keadaan seperti ini, dapat dilakukan

pengawetan secara kimia (Riswanto dan Rizki, 2015).


22

2) Pengawetan secara kimia

Bahan pengawet yang ideal harus bersifat bakterisidal,

menghambat urease dan mengawetkan unsur – unsur berbentuk

dalam sedimen. Pengawet juga tidak boleh mengganggu tes

kimia. Pengawet yang ideal tidak ada, oleh karena itu pengawet

harus dipilih dan paling sesuai dengan kebutuhan analisis yang

akan dilakukan. Dengan demikian, penggunaan pengawet

secara rutin tidak dianjurkan (Strasinger dan Lorenzo, 2016).

Ada bermacam – macam bahan pengawet, tetapi tidak ada satu

zat yang dpat dipakai secara universal untuk menghindari urine

dari segala macam perubahan yang mungkin terjadi

(Gandasoebrata, 2013). Berbagai jenis pengawet yang dapat

ditambahkan ke dalam urine:

a) Toluena

Toluena tidak mempengaruhi pemeriksaan rutin,

tetapi kadang – kadang mengganggu prosedur pengujian

karena mengapung dipermukaan spesimen dan menempel

dipipet. Penggunaannya adalah 2mL/100 mL urine untuk

mempertahankan protein, glukosa, keton (aseton, asma

asetoasetat), dan menghambat perombakan urine oleh

bakteri, terlebih dalam keadaan dingin. Pemakaian toluene

harus dilakukan dengan hati – hati karena pengawet ini


23

bersifat mudah terbakar (flammable) (Mundt dan

Shannahan, 2011).

b) Natrium Flourida

Dapat ditambahkan pada spesimen urine 24 jam untuk

determinasi glukosa dalam menghambat pertumbuhan

bakteri dan glikolisis sel, tetapi tidak menghambat

pertumbuhan ragi. Sebanyak 0,5 gram natrium flourida juga

dapat menghambat reagen pemeriksaan strip glukosa

(Lembar dkk, 2013).

c) Asam Borat

Asam borat digunakan untuk mempertahankan protein

dan elemen berbentuk tetapi dapat mengganggu pembacaan

pH serta dapat mengendapkan kristal ketika digunakan

dalam jumlah besar (Strasinger dan Lorenzo, 2016). Asam

borat menjaga pH pada nilai 6, protein, dan sedimen tanpa

mengganggu analisis rutin kecuali pH. Asam borat bersifat

bakteriostatik, bukan bakterisidal dan tidak menghambat

pertumbuhan ragi. Asam borat biasanya digunakan dalam

tabung untuk mengawetkan urine untuk pemeriksaan

biakan kuman dan sensitivitas (Riswanto dan Rizki, 2015).

d) Klorheksidin

Pengawet ini mencegah pertumbuhan bakteri dan

berguna sebagai pengawet glukosa. Spesimen yang


24

dimasukkanke dalam tabung yang diberi klorheksidin stabil

selama 72 jam, namun jika tidak dilindungi dari paparan

cahaya akan menyebabkan hasil bilirubindan urobilinogen

yang keliru (Mundt dan Shannahan, 2011).

e) Timol

Seperti toluena, timol mampu menstabilkan

konstituen urine pada umumnya. Namun, timol

berpengaruh dalam uji presipitasi asam untuk protein,

sehingga pemakaian dalam bentuk butiran harus

diperhatikan, jika terlalu banyak ada kemungkinan palsu

untuk proteinuria yang diperiksa menggunakan pemanasan

dengan asam asetat. Untuk pemeriksan protein dengan strip

reagen, timol tidak mengganggu pemeriksaan strip. Satu

butir kecil timol dalam bentuk larutan 10% dalam 2-

propanol 5 mL dapat ditambahkan ke dalam 100 mL urine

(Mundt dan Shannahan, 2011).

f) Kloroform

Pengawet ini digunakan untuk menghambat

pertumbuhan bakteri, tetapi tidak dianjurkan untuk

pemeriksaan rutin karena dapat menyebabkan perubahan

karakteristik elemen seluler dalam sedimen urine (Mundt

dan Shannahan, 2011).


25

g) Natrium Azida

Natrium azida 10 mmol/L urine dapat menstabilkan

glukosa, urea, asam urat, sitrat, kalium, kalsium, oksalat

(Riswanto dan Rizki, 2015).

h) Asam Sulfat Pekat

Asam sulfat pekat dipakai untuk mengawetkan urine

guna penetapan kuantitatif kalsium, nitrogen dan zat

organik lain. Jumlah yang harus diberikan ialah sebanyak

itu hingga pH urine tetap lebih rendah dari 4,5. Reaksi asam

mencegah terlepasnya N dalam bentuk amoniak dan

mencegah juga terjadinya endapan kalsium fosfat

(Gandasoebrata, 2007).

i) Formalin

Formalin adalah pengawet sedimen yang paling baik.

Tetapi, pengawet ini merupakan bahan pereduksi yang

dapat mengganggu tes kimia untuk glukosa, darah, esterase

leukosit, dan reduksi tembaga. Cara pemakainnya, wadah

spesimen dibilas dengan formalin untuk mengawetkan sel –

sel dan silinder (Strasinger dan Lorenzo, 2016).

4. Formalin

Formaldehida lebih dikenal dengan formalin. Larutan formalin

biasanya mengandung 37% gas formaldehida dalam pelarut air yang

biasanya ditambahkan metanol sebagai stabilisator (Widana, 2014).


26

Formalin dalam bentuk gasnya memiliki titik didih sekitar 21°C

sehingga tidak dapat disimpan dalam suhu kamar karena mudah sekali

menguap. Pemberian cairan formalin berupa cairan jernih tidak

berwarna, bau yang sangat menusuk yang uapnya dapat merangsang

selaput lendir hidung dan tenggorokan sehingga menimbulkan rasa

terbakar. Dapat bercampur dengan air dan alkohol, tidak dengan

kloroform dan eter (Widana, 2014).

Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah formaldehid

bereaksi dengan protein sehingga membentuk rangkaian – rangkaian

antara protein yang berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut protein

mengeras dan tidak dapat larut (Herdiantini, 2003). Ikatan formaldehid

dengan gugus amino bebas berjalan cepat dan merupakan reaksi bolak

– balik. Ikatan formaldehid dengan gugus amino dalam reaksi ini tidak

dapat dihilangkan dengan dianalisis, sehingga ikatan ini turut

menyokong kestabilan struktur molekul (Cahyadi, 2006)

Volume formalin (1 tetes/30 mL urine) adalah pengawet yang

baik untuk sedimen urine tetapi jika digunakan terlalu besar

konsentrasi akan mengendapkan protein dan akan memberikan hasil

positif palsu dan menurunkan hasil (Mundt dan Shannahan, 2011).

Sifat penetrasi formalin cukup baik, tetapi gerakan penetrasinya

lambat sehingga walaupun formaldehid dapat digunakan untuk

mengawetkan sel – sel tetapi tidak dapat melindungi secara sempurna,


27

kecuali jika diberikan dalam waktu lama sehingga jaringan menjadi

keras (Herdiantini, 2003).

Kelemahan dari formalin adalah jika jumlah formalin yang

ditambahkan terlalu besar, mungkin akan mengganggu tes kimia untuk

glukosa, darah, esterase leukosit, dan reduksi tembaga (Cahyadi,

2006).

5. Analisis Sedimen Urine

Unsur sedimen urine dibagi atas dua golongan yaitu unsur

organik dan non-organik. Unsur organik berasal dari organ tubuh atau

jaringan, sperti epitel, eritrosit, leukosit, silinder, potongan jaringan,

sperma, bakteri, dan parasit. Sedangkan non-organik tidak berasal dari

organ ataupun jaringan, sperti urat amorf dan kristal (Almahdaly,

2012).

a. Sel darah merah (eritrosit)

Secara mikroskopik eritrosit dalam urine segar dengan berat

jenis 1,010 – 1,020 tidak menyerap pewarna dengan berbentuk

normal (cakram bulat) dengan diameter 7 – 8 µl, sedangkan dalam

urine tidak segar, eritrosit mungkin nampak seperti lingkaran tidak

berwarna karena hemoglobin yang dapat keluar dari sel (shadow

cell). Dalam urine encer, eritrosit akan mengalami lisis karena sel

menyerap air yang mengakibatkan hemoglobin lepas dan hanya

tersisa membran sel kosong (ghost cell). Dalam urine pekat, sel

eritrosit akan mengkerut akibat kehilangan air dan muncul krenasi


28

atau membentuk tidak beraturan. Dalam urine alkali, eritrosit lisis

dan tampak kecil menyerupai ragi. Normalnya, tidak ditemukan

eritrosit dalam urine. Eritrosit dalam urine berasal dari saluran

kemih (glomerulus sampai meatus ureter), kontaminasi menstruasi

pada wanita. Peningkatan jumlah eritrosit dalam urine disebut

hematuria. Peningkatan jumlah eritrosit dalam urine dapat

menunjukkan berbagai kondisi saluran kemih dan sistemik

(Riswanto dan Rizki, 2015).

Eritrosit dimorfik adalah eritrosit yang ukurannya bervariasi

dan memiliki tonjolan – tonjolan kecil tidak beraturan yang

tersebar dalam membran sel. Sel dimorfik terkait dengan

perdarahan glomerulus (Riswanto dan Rizki, 2015).

b. Sel darah putih (leukosit)

Secara mikroskopik, leukosit berbentuk bulat dan memiliki

inti multilobus, granuler, diameternya sekitar 12 µm (1,5 – 2 kali

ukuran eritrosit). Leukosit yang sering terlihat dalam sedimen urine

adalah neutrofil dan bentuknya kadang menyerupai sel epitel

tubulus ginjal ketika proses degradasi seluler dimulai. Urine

dengan berat jenis rendah (hipotonik), leukosit akan mudah

menyerap air dan membengkak, granula sitoplasma menunjukkan

gerak brown di dalam sel yang lebih besar menghasilkan

penampilan gemerlap dan berkilau. Jumlah leukosit normal dlam


29

urine adalah 4 – 5 sel per Lapang Pandang Besar (LPB) (Riswanto

dan Rizki, 2015).

Sel darah putih utama yang ditemukan di dalam sedimen

urine adal neutrofil. Neutrofil lebih mudah diidentifikasi dibanding

sel darah merah karena mengandung granula dan nukleus

multilobus. Eosinofil di dalam urine terutama terkait dengan

nefritis interstitial yang dicetuskan oleh obat. Monosit, mikrofag,

dan histiosit adalah sel – sel besar dan dapat terlihat bervakuola

atau mengandung inklusi (Strasinger dan Lorenzo, 2016).

Leukosit seperti eritrosit, dapat masuk ke dalam urine melalui

glomerulus atau taruma kapiler, juga mampu bermigrasi ameboid

melalui jaringan ke tempat infeksi atau peradangan. Peningkatan

leukosit urine disebut piuria dan menunjukkan adanya infeksi atau

peradangan pada sistem grnotourinari. Leukosit dalam urine juga

dapat merupakan suatu kontaminan dari saluran urogenital,

misalnya dari vagina dan infeksi serviks, atau meatus uretra

eksterna pada laki – laki (Riswanto dan Rizki, 2015).

c. Silinder

Silinder adalah protein yang terbentuk di tubulus ginjal

(Strasinger dan Lorenzo, 2016). Peningkatan jumlah silinder dalam

urine berhubungan dengan terapi diuretik (Brunzel, 2013).

Klasifikasi silinder berdasarkan komposisi dan elemen yang

terdapat dalam matriks silinder sebagai berikut :


30

1) Silinder hialin

Silinder yang paling sering ditemukan adalah jenis hialin,

yang terdiri hampir sepenuhnya dari uromodulin. Silinder

hialin tampak tidak berwarna pada sedimen yang tidak

diwarnai dan memiliki indeks bias yang sama dengan urine.

Morfologinya bermacam – macam dari sisi paralel dan ujung –

ujung membulat, bentuk silindroid, dan bentuk berkerut atau

berbelit yang menunjukkan matriks silinder yang berusia tua.

Terlihat granula atau sel yang sesekali berlekatan juga dapat

dijumpai, namun tidak mengubah klasifikasi silinder

(Strasinger dan Lorenzo, 2016).

2) Silinder Sel Darah Merah (Eritrosit)

Sementara temuan sel darah merah di dalam urine

menandakan berdarahan dari daerah di dalam saluran

genitourinarius, adanya silinder eritrosit merupakan temuan

yang jauh lebih spesifik, yang menunjukkan perdarahan di

dalam nefron. Silinder eritrosit terutama terkait dengan

kerusakan pada glomerulus (glomerulonefritis) yang

memungkinkan lewatnya sel – sel melalui membran

glomerulus; namun kerusakan apapun pada struktur kapiler

nefron dapat menyebabkan pembentukan silinder eritrosit

(Strasinger dan Lorenzo, 2016).

3) Silinder Leukosit
31

Silinder leukosit dalam urine terjadi karena leukosit masuk

ke dalam matriks silinder. Leukosit dalam silinder paling sering

adalah neutrofil yang tampak refraktil dan bergranula, inti

terlihat multilobus, kecuali apabila mulai terjadi disintegrasi

sel. Adanya silinder leukosit menunjukkan infeksi atau

peradangan di dalam nefron. Silinder leukosit paling sering

dikaitkan dengan pielonefritis dan merupakan penanda utama

untuk membedakan pielonefritis (infeksi saluran kemih bagian

atas) dengan infeksi saluran kemih bagian bawah (Riswanto

dan Rizki, 2015).

4) Silinder Sel Epitel Tubulus Ginjal

Silinder sel epitel tubulus ginjal terbentuk di tubulus

distal, sel – sel yang ada dalam matriks silinder nampak kecil,

bulat, dan oval. Silinder sel epitel tubulus ginjal mungkin sulit

dibedakan dengan silinder leukosit, terutama jika telah terjadi

degenerasi sel, atau dalam preparat yang tidak diwarnai

(Riswanto dan Rizki, 2015).

5) Silinder Granuler

Granula mungkin berasal dari agregat protein plasma yang

masuk ke dalam tubulus dari glomeruli yang rusak, serta dari

sisa – sisa seluler (leukosit, eritrosit, atau sel tubulus ginjal)

yang rusak. Endapan garam halus, lisosom, dan agregat


32

mungkin menjadi komponen granular (McPherson dan Pincus,

2011).

6) Silinder Lilin

Silinder lilin adalah silinder tua hasil degenerasi lebih

lanjut dari silinder hialin, granular dan setiap elemen seluler

atau butiran yang terkandung dalam matriks silinder. Silinder

lilin sering tampak lebar atau luas (broad) yang menunjukkan

bahwa pembentukan mereka di tubulus atau kolektivis yang

mengalami dilatasi (Riswanto dan Rizki, 2015).

7) Silinder Lemak

Silinder ini berisi tetesan lemak bebas, mungkin hanya

berisi beberapa tetes atau hampir seluruh matriks silinder berisi

tetesan lemak dari berbagai ukuran. Oval fat bodies utuh juga

dapat melekat pada silinder (Riswanto dan Rizki, 2015).

d. Sel Epitel

Sel – sel epitel dalam urine berasal dari lapisan sistem

genitourinari. Mereka dapat dijumpai dalam jumlah besar atau

normal yang merupakan pengelupasan dari sel – sel tua, atau

merupakan epitel yang rusak dan pengelupasan yang disebabkan

oleh proses inflamasi atau penyakit ginjal. Selain itu, kini beberapa

jenis sel sel dapat menunjukkan bahwa spesimen tidak secara benar

dikumpulkan, sedangkan peningkatan jumlah sel yang ada

menunjukkan proses patologis yang parah. Setiap kali dijumpai sel


33

– sel epitel dengan ciri khas yang abnormal, seperti bentuk, ukuran,

inklusi, atau pola kromatin inti yang tidak biasa, maka diperlukan

pengujian sitologi tambahan. Sel – sel ini dapat menunjukkan

neoplasia pada saluran genitourinaria atau dapat merupakan hasil

dari suatu tindakan, seperti kemoterapi atau radiasi (Riswanto dan

Rizki, 2015).

Ada tiga jenis sel epitel yang dapat dijumpai dalam urine,

yaitu epitel skuamosa, epitel transisional (urothelial), dan epitel

ginjal (tubular). Mereka diklasifikasikan menurut asal tempat

mereka dalam sistem genitourinari (Riswanto dan Rizki, 2015).

Membuat perbedaan antara sel – sel epitel yang muncul dalam

berbagai bagian dari saluran kemih mungkin sulit. Untuk alasan

ini, banyak laboratorium yang melaporkan adanya sel – sel epitel

tanpa membedakan jenisnya (Mundt dan Shanahan, 2011).

1) Sel Epitel Skuamosa

Sel epitel skuamosa adalah sel epitel yang paling umum

dan paling besar yang terlihat pada spesimen urine normal.

Secara mikroskopis, sel epitel ini mudah dikenali dari

ukurannya yang besar ( diameter 40 – 60 µm), tipis, datar, inti

bulat kecil atau, kadang tidak berinti, dan sitoplasma yang luas.

Sitoplasma sering terisi granula (granula keratohialin), yang

meningkat saat sel mengalami degenerasi (Riswanto dan Rizki,

2015).
34

Di beberapa laboratorium urinalisis, sel epitel skuamosa

sering disebut dengan “sel epitel gepeng”. Mereka dapat

dijumpai sebagai sel tunggal atau berkelompok dengan ukuran

yang bervariasi. Sel epitel ini sering menjadi unsur pertama

yang diamati ketika sedimen tersebut diperiksa di Lapang

Pandang Kecil (LPK) (Riswanto dan Rizki, 2015).

Sel epitel skuamosa melapisi seluruh uretra dan lapisan

vagina atau vulva wanita, dan uretra bagian bawah pada laki –

laki. Mereka mewakili pengelupasan sel normal dan tidak

memiliki makna patologis. Peningkatan jumlah lebih sering

terlihat dalam urine dari pasien wanita, sejumlah besar sel

epitel skuamosa di sedimen urine sering menunjukkan

kontaminasi vagina atau perineum, sama seperti laki – laki

yang tidak disunat, sejumlah besar menunjukkan kontaminasi

spesimen. Karena itu, untuk mengurangi kontaminasi sel

skuamosa, pengumpulan spesimen sebaiknya dilakukan dengan

menggunakan teknik porsi tengah yang bersih (clean-catch

midstream), dan laki – laki yang tidak disunat perlu menarik

kulup penis ke belakang (Riswanto dan Rizki, 2015).

2) Sel Epitel Transisional (Urotheial)

Sel epitel transisional agak lebih kecil dari sel – sel

skuamosa, berukuran 20 – 40 µm, lebih besar dari sel tubulus

ginjal. Sel ini berasal dari kaliks ginjal, pelvis ginjal, ureter ,
35

dan kandung kemih (vesica urinaria). Pada pria, jenis epitel ini

juga melapisi uretra bagian tengah dan atas, sedangkan pada

wanita, epitel transisional berada di kandung kemih dengan

ukuran yang bervariasi dengan tiga lapisan utama epitel

kandung kemih. Sel – sel di lapisan paling atas atau lapisan

permukaan besar (30 – 40 µm) dan bulat atau berbentuk buah

pir. Sel dari lapisan menengah lebih kecil dan bulat (20 – 30

µm), sedangkan dari lapisan bawah cenderung memanjang atau

kolumnar (Brunzel, 2013).

Sel epitel transisional biasanya dijumpai dalam jumlah

kecil dalam urine orang yang normal dan sehat, mewakili

pengelupasan rutin epitel yang sudah tua. Dalam sedimen

urine, bentuk yang paling umum dari sel epitel transisional

adalah bulat atau oval, polyhedral, berekor atau mempunyai

tonjolan, inti terletak sentral, dan perbatasan bagian inti dan

membran sel jelas. Besar kecilnya ukuran sel epitel transisional

tergantung dari bagian saluran kemih yang mana mereka

berasal. Sel transisional diidentifikasi dan disebutkan

menggunakan perbesaran daya tinggi (Riswanto dan Rizki,

2015).

Pada infeksi saluran kemih, peningkatan jumlah sel

epitel transisional sering dijumpai dalam urine. Peningkatan

jumlah sel transisioanal dapat dijumpai secara tunggal,


36

berpasangan, atau dalm rumpun / kelompok (syncytia) setelah

dilakukan prosedur urologi invasif (misalnya, kateterisasi), dan

tidak memiliki makna klinis. Namun, ketika dijumpai

peningkatan sel transisional tanpa prosedur urologi invasif dan

menunjukkan morfologi abnormal, misalnya ukuran sel yang

bervariasi dan intinya tidak teratur, atau dengan vakuola, maka

kemungkinan bisa menunjukkan proses patologis seperti

keganasan (neoplasia) atau infeksi virus yang memerlukan

penyelidikan lebih lanjut. Spesimen harus dirujuk untuk

pemeriksaan sitologi dengan pewarnaan Papanicolaou untuk

mengevaluasi kemungkinan karsinoma sel transisional

(Riswanto dan Rizki, 2015).

3) Sel Epitel Tubulus Ginjal

Sel epitel tubulus ginjal (renal tubulus epithelial, RTE)

jarang dijumpai dalm sedimen urine orang yang normal (0 – 1

sel/5 LPB). Sejumlah kecil sel tubulus yang dijumpai dalam

urine normal mencerminkan pengelupasan sel – sel yang

mengalami penuaan. Mereka mungkin dapat dijumpai dalam

jumlah yang agak lebih besar dalam urine bayi baru lahir

normal (Brunzel, 2013). Peningkatan jumlah sel ini merupakan

indikasi kerusakan tubulus ginjal, dengan kemungkinan

mempengaruhi fungsi ginjal secara keseluruhan (Riswanto dan

Rizki, 2015).
37

Sel epitel tubulus ginjal bervariasi dalam ukuran dan

bentuk tergantung dari daerah tubulus ginjal yang mana mereka

berasal. Sel epitel tubulus ginjal ada yang berbentuk bulat atau

oval, polygonal atau kuboid, kolumner, lonjng atau berbentuk

cerutu, berukuran lebih besar dari leukosit, mengandung inti

bulat atau oval besar, dan kadang bergranula (Strasinger dan

Lorenzo, 2016).

a) Sel Epitel Tubulus Konvolutus Proksimal

Sel – sel dari sel tubulus konvolutus proksimal lebih

besar dari sel – sel tubulus lainnya (diameter 20 – 60 µm).

mereka cenderung memiliki bentuk lonjong, bentuk cerutu

atau persegi panjang, dan disebut sebagai sel kolumnar atau

konvolutus. Sitoplasma granular kasar, dan sel – sel tubulus

ini sering menyerupai silinder granular. Mereka memiliki

inti dengan pola kromatin padat yang biasanya eksentrik,

dan mereka dapat berinti banyak (multinucleated)

(Strasinger dan Lorenzo, 2016).

b) Sel Epitel Tubulus Konvolutus Distal

Sel epitel dari tubulus konvolutus distal lebih kecil

dibandingkan yang berasal dari tubulus konvolutus

proksimal, bentuknya bulat atau oval dengan diameter

sekitar 14 – 25 µm. Mereka bisa menyerupai leukosit

(berukuran duapertiga sampai dua kali lebih besar dari


38

leukosit) dan sel epitel transisional bulat. Pengamatan inti

yang bulat eksentris membantu dalam membedakan mereka

dari sel transisional bulat (Strasinger dan Lorenzo, 2016).

c) Sel Epitel Duktus Kolektivus

Sel duktus kolektivus berbentuk kuboid, polygonal,

atau kolumnar. Mereka jarang berbentuk bulat atau sferis.

Oleh karena itu, selalu mencari sudut atau tepi rata pada sel

digunakan untuk mengidentifikasi sel – sel tersebut. Sel

duktus kecil (small duct cell) berbentuk kuboid atau

polygonal dengan diameter 12 – 20 µm, inti besar sekitar

duapertiga sel. Sel duktus besar (large duct cell) berbentuk

kolumnar dengan diameter 6 – 10 µm, inti eksentrik

(Brunzel, 2013).

Kehadiran sel – sel duktus kolektivus menunjukkan

cidera tubular yang parah dan kerusakan membran basal.

Fragmen duktus kolektivis ditemukan setelah trauma,

shock, atau sepsis, dan menunjukkan nekrosis iskemik dari

tubulus. Selai fragmen sel ginjal, biasanya juga dijumpai

silinder patologis (misalnya silinder granular, lilin, sel

tubulus ginjal) dan peningkatan jumlah sel darah (Brunzel,

2013).

d) Oval fat bodies


39

Sel tubulus dapat menyerap lipid yang ada di dalam

filtrat glomerular. Mereka kemudian terlihat sangat refraktil

dan inti menjadi lebih sulit diamati. Sel tubulus yang

mengandung lipid disebut oval fat bodies. Adanya oval fat

bodies merupakan salah satu bentuk lipiduria. Lipiduria

sering dikaitkan dengan kerusakan pada glomerulus yang

disebabkan oleh sindrom nefrotik (Strasinger dan Lorenzo,

2016).

e. Bakteri

Bakteri normalnya tidak dijumpai dalam urine, namun

kehadirannya dalam sedimen dapat diakibatkan oleh kontaminasi

dari wadah penampung, tinja, atau infeksi saluran kemih (ISK).

Bakteri juga dapat dijumpai dalam bentuk bulat (kokus) atau

batang (basil). Untuk pertimbangan yang bermakna terhadap ISK,

adanya bakteri dalam urine harus disertai dengan jumlah leukosit

(Strasinger dan Lorenzo, 2016).

f. Kristal

Kristal terbentuk oleh pengendapan zat terlarut dalam urine,

yaitu garam an-oganik, senyawa organik dan senyawa iatrogenic

(obat – obatan). Kristal yang sering ditemukan dalam urine asam

adalah amorf urat, asam urat, dan kalsium oksalat. Kristal yang

jarang terlihat termasuk kalsium sulfat, natrium urat, dan asam

hipurat (Riswanto dan Rizki, 2015).


40

Kristal urine abnormal termasuk sistin, leusin, tirosin,

kolesterol, dan sulfa ditemukan dalam urine asam, jarang dalam

urine netral. Kristal tirosin, leusin, sistin, dan bilirubin ditemukan

dalam urine pasien dengan gangguan hati yang berat. Kristal paling

abnormal memiliki bentuk yang sangat khas. Namun, identitas

mereka harus dikonfirmasi dengan tes kimia atau dengan informasi

pasien (berhubungan dengan obat yang digunakan) (Riswanto dan

Rizki, 2015).

6. Urine Sediment Analyzer Sysmex UF-500i

Urine sediment analyzer merupakan alat laboratorium yang

berfungsi untuk membantu analisis sampel urine dari pasien, yang

dibutuhkan untuk pemeriksaan endapan urine untuk membantu dokter

dalam proses diagnosis. Pada dasarnya, urine sediment analyzer dapat

digunakan untuk menganalisis eritrosit, leukosit, sel epitel, cast, dan

bakteri. Urine sediment analyzer terhubung dengan komputer untuk

mengolah citra dari endapan urine, menyimpan hasil analisis atau

mencetaknya dengan external printer. Disamping itu, pada urine

sediment analyzer terdapat sistem untuk membaca barcode yang

digunakan sebagai identifikasi sampel urine (Mengko, 2013).

Bagian – bagian dari sistem urine sediment analyzer terdiri

dari measuring unit atau unit pengukuran, unit pembersihan dan

limbah, control unit, dan output unit (printer dan monitor). Control

unit yang biasnya berupa komputer berfungsi untuk mengolah citra


41

yang telah dihasilkan oleh unit pengukuran. Output unit merupakan

unit untuk menampilkan dan mencetak hasil dari pengolahan citra atau

menghubungkan dengan sistem informasi laboratorium (Mengko,

2013).

Sysmex UF-500i adalah suatu urine analyzer berbasis

flowcytometry yang menggunakan semi-conductor diode laser dengan

panjang gelombang 635 nm dan 2 channel terpisah untuk analisis

sedimen dan bakteri. Dalam channel sedimen, eritrosit, leukosit, sel –

sel epitel, kristal, dan silinder akan didilusi pada suhu 35°C, lalu

nukleus, sitoplasma, serta membran selnya akan diwarnai dengan

polymethine fluorescent dye. Dalam channel khusus bakteri (BACT),

urine akan dicampur dengan diluen khusus pada suhu 42°C yang akan

meningkatkan permeabilitas membran sel yang mempermudah

pewarnaan asam nukleat bakteri oleh polymethine fluorescent dye

(Yoavita,dkk., 2016).

Partikel – partikel yang dianalisis kemudian dilewatkan dalam

suatu flow cell, ditembak oleh sinar laser, diklasifikasikan berdasarkan

intensitas cahaya yang dipancarkan, dan dihitung jumlahnya masing –

masing. Hasilnya dipresentasikan dalam bentuk angka, histogram, dan

scattegram (Yoavita,dkk., 2016).

Alat sysmex UF-series mengotomatisasi analisis sedimen urine

menggunakan karakterisasi partikel dan identifikasi didasarkan pada

deteksi forward scatter, fluoresensi dan adaptive cluster analysis. UF-


42

500i menggunakan laser berbasis flowcytometry bersama dengan

deteksi impedansi, forward light scatter dan fluoresensi untuk

mengidentifikasi karakteristik partikel sedimen urine yang diwarnai.

Urine yang tidak disentrifugasi disedot ke dalam alat dan diukur

konduktivitasnya. Sampel diwarnai dengan pewarna floresens dan

dilewatkan melalui flow cell, dimana ia secara hidrodinamis

difokuskan dan dipresentasikan sinar laser dengan panjang gelombang

635 nm yang mengasilkan floresensi dan hamburan cahaya. Partikel

diidentifikasi dengan mengukur perubahan impedansi, serta tinggi dan

lebar sinyal floresensi dan hamburan cahaya yang disajikan dalam

scattegram dan histogram. Hasil pengukuran disajikan dalam

kuantisasi numerik (sel per mikroliter) dan sel per lapang daya tinggi

(HPF) atau daya rendah (LPF) dengan menggunakan faktor konversi

standart dalam perangkat lunak instrumen (Riswanto dan Rizki, 2015).

Partikel utama yang dianalisis adalah eritrosit, leukosit, sel

epitel (skuamosa), silinder (hialin), dan bakteri. Dalam analisis akan

muncul “flag” jika instrumen mendeteksi adanya silinder patologis,

eritrosit dimorfik, sel – sel bulat kecil, kkristal, ragi lendir atau

sperma. Untuk mengkonfirmasi adanya elemen yang patologis, maka

diperlukan pemeriksaan mikroskopik manual (Riswanto dan Rizki,

2015).

Nilai rujukan analisis sedimen urine metode flowcytometry :

Eritrosit : 0 – 25 sel/μL
43

Leukosit : 0 – 20 sel/μL

Sel epitel : 0 – 40 sel/μL

Silinder : 0 – 12 sel/μL

Bakteri : 0 – 100 sel/μL

(RSUP Dr. Sardjito)

B. Landasan Teori

Perubahan komposisi urine dapat diakibatkan adanya aktivitas

bakteri. Bakteri mengurai ureum yang dapat mengakibatkan perubahan pH

urine menjadi basa akibat pembentukan amoniak. Kerusakan unsur – unsur

berbentuk dalam urine (sel – sel dan silinder) mulai terjadi dalam waktu 2

jam (Mundt dan Shanahan, 2011).

Urine yang mengalami penundaan pemeriksaan apabila tidak segera

diperiksa dapat ditambahkan pengawet. Bahan pengawet yang ideal harus

bersifat bakterisidal dan mengawetkan unsur – unsur dalam sedimen urine

(Riswanto dan Rizki, 2015).

Bahan pengawet yang ideal harus bersifat bakterisidal, menghambat

urease dan mengawetkan unsur – unsur berbentuk dalam sedimen

(Strasinger dan Lorenzo, 2016). Formalin yang umum digunakan sebagai

pengawet urine adalah formalin 40%, khusus dipakai untuk mengawetkan

sedimen urine penting sekali bila hendak mengadakan penilaian kuantitatif

atas unsur – unsur dalam sedimen. Akan tetapi formalin yang dipasaran

hanya terdapat formalin dengan konsentrasi 37% sehingga untuk


44

pemakaian pengawet formalin perlu diturunkan konsentrasinya.

(Gandasoebrata 2013).

Alat yang menggunakan metode flowcytometry salah satunya adalah

Urine Sediment Analyzer Sysmex UF-500i. Partikel utama yang dianalisis

adalah eritrosit, leukosit, silinder (hialin), sel epitel (skuamosa) dan bakteri

Urine disedot ke dalam alat dan diukur konduktivitasnya. Sampel diwarnai

dengan pewarna floresens dan dilewatkan melalui flow cell, dimana ia

secara hidrodinamis difokuskan dan dipresentasikan sinar laser dengan

panjang gelombang 635 nm yang mengasilkan floresensi dan hamburan

cahaya. (Riswanto dan Rizki, 2015). Hasilnya dipresentasikan dalam

bentuk angka, histogram, dan scattegram (Yoavita, dkk., 2016).

C. Hubungan antar Variabel

Variabel Bebas : Variabel terikat :


Penambahan formalin Jumlah epitel pada
20% dan 37% sedimen urine

Gambar 1. Hubungan antar Variabel

D. Hipotesis Penelitian

Ada pengaruh penggunaan pengawet formalin 20% dan 37% terhadap

hasil pemeriksaan jumlah epitel pada sedimen urine menggunakan metode

flowcytometry.

Anda mungkin juga menyukai