Anda di halaman 1dari 10

Pemetaan Tingkat Ketahanan Geografi Menggunakan Pendekatan Kuantitatif Berjenjang Tertimbang............ ........

(Hidayat & Zuharnen)

PEMETAAN TINGKAT KETAHANAN GEOGRAFI MENGGUNAKAN


PENDEKATAN KUANTITATIF BERJENJANG TERTIMBANG
Studi Kasus di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
(Mapping of Geographic Resilience Levels using A Weighted Scoring Quantitative
Approach: Case Study in Yogyakarta City, Special Region of Yogyakarta)

Inti Raidah Hidayat, Zuharnen


Departemen Sains Informasi Geografi, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Jalan Kaliurang, Bulaksumur, Yogyakarta
E-mail: intiraidah99@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK
Sejak awal kemerdekaan hingga saat ini bangsa Indonesia sudah dihadapkan dengan berbagai ancaman
yang mengganggu stabilitas negara. Ancaman yang dihadapi berasal dari internal maupun eksternal di segala
aspek kehidupan nasional, tidak terkecuali aspek geografi. Ancaman terkait aspek geografi dapat berupa
ancaman morfologi, konflik batas wilayah, dan buruknya infrastruktur. Oleh karena itu, setiap wilayah di
Indonesia perlu untuk meningkatkan ketahanan wilayah, salah satunya ketahanan dalam aspek geografi, agar
ancaman-ancaman tersebut dapat diantisipasi dan diminimalisir dampaknya di kemudian hari dan juga agar
tercipta kondisi wilayah yang inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan sesuai dengan tujuan SDGs. Wilayah
dengan karakteristik jumlah penduduk yang relatif banyak dan permukiman yang relatif padat seperti wilayah
kota umumnya lebih rentan menghadapi berbagai ancaman. Kota Yogyakarta merupakan salah satu contoh
wilayah dengan karakteristik tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah memetakan tingkat ketahanan geografi
di Kota Yogyakarta dengan menggunakan metode proses hierarki analitik berbasis pendekatan Sistem
Informasi Geografi yaitu kuantitatif berjenjang tertimbang. Adapun hasil pengukuran menunjukkan bila tingkat
ketahanan geografi Kota Yogyakarta ada pada tingkat cukup tangguh. Sedangkan, untuk ketahanan pada
masing-masing kecamatan, terdapat dua kecamatan yang ada pada tingkat tangguh dan 12 kecamatan lainnya
cukup tangguh.

Kata kunci: ketahanan geografi, SIG, kuantitatif berjenjang tertimbang

ABSTRACT
Since the beginning of independence until now the Indonesian nation has been faced with various threats
that disrupt the stability of the country. The threats faced come from internal and external in all aspects of
national life, including geography. Threats related to geographic aspects can be in the form such of
morphological threats, conflict over boundaries, and poor infrastructure. Therefore, every region in Indonesia
needs to increase their regional resilience, one of resilience is in aspect of geography, so these threats can be
anticipated and their impact can be minimized in the future and also to create an inclusive, safe, resilience
and sustainable regional condition in accordance with the SDGs goals. Areas with a relatively large population
and relatively dense settlements, such as urban areas are generally more vulnerable to various threats.
Yogyakarta city is an example of a region with these characteristics. The purpose of this study is to map the
level of geographic resilience in Yogyakarta city by using an Analytical Hierarchy Process method based on the
Geographic Information System approach, namely a weighted scoring quantitative. The measurement results
show that the level of geographic resilience of Yogyakarta city is at a fairly tough level. As for resilience in
each sub-district, there are two sub-districts that are at the tough level and 12 other districts are quite tough.

Keywords: geographic resilience, GIS, weighted scoring quantitative

PENDAHULUAN
Gatra geografi merupakan bagian dari Astragatra ketahanan nasional. Gatra ini berkaitan
dengan aspek fisik dari suatu wilayah. Dalam perannya mendukung ketahanan nasional, gatra
geografi juga perlu diukur seberapa besar ketahanannya secara bertingkat berdasarkan pengukuran
pada tingkat variabel dan indikatornya. Penelitian ini hanya berfokus pada satu pengukuran gatra
saja yaitu gatra geografi yang bersifat statis. Data indikator dari gatra geografi tidak fluktuatif

115
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

berubah dari tahun ke tahun dan dapat diperoleh dari statistik dan ekstraksi data penginderaan jauh
yang bisa langsung divalidasi. Gatra geografi juga dipilih karena perannya yang cukup penting di
antara gatra lainnya. Segala aspek yang termasuk ke dalam gatra geografi antara lain aspek letak
atau posisi, topografi, fisiografi, tata guna lahan, daya dukung lahan, kebencanaan, dan sarana
prasarana merupakan segala aspek yang dikelola, didayagunakan, dan berpengaruh terhadap gatra
lainnya (Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional, 2015). Hal ini dapat dijelaskan, karena gatra
geografi berkaitan dengan segala sesuatu yang ada di permukaan bumi sebagai hasil dari proses
alam dan budidaya manusia, di mana di dalam proses tersebut gatra-gatra lainnya berdinamika.
Kajian tingkat ketahanan nasional tentunya membutuhkan data yang lebih banyak dan dilakukan
lebih komprehensif, sehingga perlu lebih banyak peran berbagai sudut pandang terkait tujuh gatra
lain dalam mengkajinya. Penelitian ini secara garis besar hanya dimaksudkan agar perhitungan dan
metode yang digunakan dalam pengukuran gatra geografi dapat menjadi acuan pengukuran gatra
lainnya.
Saat ini kajian pengukuran ketahanan wilayah hingga tingkat gatra belum banyak dilakukan
sampai ke level kota. Lemhannas dalam publikasinya baru menentukan ketahanan nasional dan
gatra secara spesifik sampai tingkat provinsi, padahal pengukuran dan analisis terkait hal tersebut
perlu juga dilakukan untuk wilayah kota, mengingat kota merupakan wilayah yang dipandang
sebagai suatu sistem ekologi yang sangat dinamis dan kompleks. Dinamika dan kompleksitas ekologi
wilayah kota memungkinkan munculnya permasalahan-permasalahan yang mampu mengancam
ketahanan wilayah kota. Penelitian ini berfokus pada ancaman aspek geografi. Permasalahan-
permasalahan terkait aspek geografi dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari luar batas-batas
teritorial kota, maupun yang berasal dari dalam wilayah kota itu sendiri. Pengukuran ketahanan
geografi juga penting untuk melihat sumber daya apa saja yang dapat mendukung pembangunan
di wilayah kota dan meningkatkan tingkat ketangguhan kota, diantara ancaman-ancaman yang
melemahkan ketangguhan tersebut.
Kota Yogyakarta merupakan kota yang memiliki jumlah kecamatan sebanyak 14 kecamatan.
Ancaman fisik wilayah yang dihadapi contohnya antara lain diperoleh dari kerawanan terhadap
bencana. Bencana yang pernah terjadi di kota ini menurut catatan BPS Kota Yogyakarta antara lain
banjir, gempa bumi, dan tanah longsor. Beberapa kecamatan pernah mengalami konflik terkait batas
wilayah dan kurangnya lahan pertanian. Penelitian ini berbasis pada salah satu pendekatan yang
ada di dalam Sistem Informasi Geografi (SIG) yaitu kuantitatif berjenjang tertimbang. Pendekatan
kuantitatif berjenjang tertimbang merupakan pendekatan SIG yang cocok untuk analisis tingkat
ketahanan geografi, karena mempertimbangkan variabel yang digunakan cukup banyak, antara lain
variabel batas wilayah, kemiringan lereng, bentuk wilayah, penutup lahan, kepadatan penduduk
agraris, iklim, resiko bencana, dan sarana prasarana, serta ALKI yang direpresentasikan dengan
hidrologi danau atau DAS yang ada (Martha, 2016). Metode yang prinsipnya dekat dengan
pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang salah satunya adalah Analytical Hierarchy Process
(AHP).
Informasi tingkat ketahanan geografi di wilayah Kota Yogyakarta belum tersedia dan
divisualisasikan dalam peta. Sehingga, perlu dibuat petanya untuk mengetahui tingkat ketahanan
geografi Kota Yogyakarta dan sebaran kondisinya di setiap kecamatan secara spasial. Hal ini
dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap pelaksanaan tujuan pembangunan kota yang inklusif,
aman, tangguh dan berkelanjutan (ILO, 2018). Penelitian Lemhannas terkait Indeks Ketahanan
Gatra Geografi (IKG) pernah dilakukan pada tahun 2015 untuk seluruh wilayah Indonesia. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan angka indeks sebesar 2,54 dengan kategori kurang tangguh.
Dalam penelitian tersebut salah satu variabel yaitu kemiringan lereng belum diberikan bobot pada
saat perhitungan dilakukan akibat terkendala data yang dimiliki. (Martha, 2016) dalam penelitiannya
melengkapi perhitungan tersebut dengan menggunakan data kemiringan lereng yang diekstraksi
dari citra DEMNAS dan menentukan bobot untuk variabel kemiringan lereng yaitu sebesar 15.
Sehingga, nilai Indeks Ketahanan Gatra Geografi yang baru yaitu 3,37 dan termasuk ke dalam
kategori cukup tangguh. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri termasuk ke dalam kategori
cukup tangguh berdasarkan pada visualisasi IKG yang dihasilkan. Dua penelitian yang saling
melengkapi tersebut memberikan gambaran bila besarnya skor dan bobot yang dimiliki oleh masing-
masing variabel ketahanan gatra geografi sangat menentukan kategori dari tingkat ketahanan

116
Pemetaan Tingkat Ketahanan Geografi Menggunakan Pendekatan Kuantitatif Berjenjang Tertimbang............ ........ (Hidayat & Zuharnen)

geografi secara keseluruhan. Nilai skor dan bobot setiap wilayah tentunya akan berbeda tergantung
pada karakteristik dari masing-masing wilayah. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui seberapa tangguh ketahanan geografi dari Kota Yogyakarta berdasarkan karakteristik
wilayah yang dimilikinya.

METODE
A. Lokasi Kajian

Lokasi kajian adalah Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri atas 14
kecamatan antara lain, Kecamatan Danurejan, Mantrijeron, Gondomanan, Mergangsan, Umbulharjo,
Tegalrejo, Gondokusuman, Ngampilan, Gedongtengen, Wirobrajan, Jetis, Kraton, Kotagede, dan
Pakualaman. Bagian utara, timur dan barat Kota Yogyakarta berbatasan dengan Kabupaten Sleman.
Sedangkan, bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul. Kota Yogyakarta memiliki luas
sektar 32,5 kilometer persegi dan jumlah penduduk sebanyak 414.055 jiwa (BPS Kota Yogyakarta,
2020).

B. Bahan Dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari data primer, sekunder spasial dan non
spasial. Data primer diperoleh dari hasil pendataan potensi konflik yang dilakukan oleh Forum
Kewaspadaan Dini Mayarakat Kota Yogyakarta pada Oktober tahun 2019. Data sekunder spasial
terdiri dari batas administrasi Kota Yogyakarta skala 1:25.000 yang diunduh dari website resmi tanah
air indonesia dan data kemiringan lereng dari ekstraksi citra DEM yang diunduh dari website
DEMNAS. Sedangkan, untuk data sekunder non-spasial meliputi data jumlah penduduk, luas wilayah
daratan, luas wilayah pertanian, luas kawasan industri, jumlah gunung api tipe A, jumlah kejadian
bencana, jumlah sarana dan prasarana publik di Kota Yogyakarta tahun 2019 yang diperoleh dari
publikasi Kota Yogyakarta Dalam Angka 2020 dan Transportasi Dalam Angka 2019. Selain itu juga,
data curah hujan harian di dua stasiun yaitu Stasiun Klimatologi dan Stasiun Geofisika Kabupaten
Sleman yang diperoleh dari website BMKG.

C. Metode Analisis

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Analytical Hierarchy Process (AHP) yaitu
suatu metode yang memiliki prinsip melakukan perbandingan antara indikator-indikator yang ada,
untuk menghasilkan pilihan alternatif secara bertingkat, dapat dipercaya dengan teori pengukuran
relatif. Pengukuran relatif yang dimaksud adalah pengukuran terhadap proporsi antara indikator,
bukan pengukuran eksak kuantitas asli yang dimiliki setiap indikator. Sehingga, ada bobot tertentu
yang digunakan (Matteo, 2015). Pada penelitian ini variabel-variabel yang digunakan untuk
menentukan nilai indek ketahanan gatra geografi terdiri dari variabel batas wilayah, kermiringan
lereng, bentuk wilayah, penutup/penggunaan lahan, kepadatan penduduk agraris, iklim, resiko
bencana, sarana prasarana, dan ALKI yang direpresentasikan dengan kenampakan hidrologi danau
dan waduk yang ada.

D. Pengukuran Ketahanan Gatra Geografi

Tahapan untuk memperoleh nilai Indeks Ketahan Gatra geografi adalah dengan terlebih dahulu
menentukan nilai ketahanan di level indikator dan variabel. Nilai bobot untuk indikator dan variabel,
pada prinsipnya sangat tergantung pada kondisi wilayah unit analisis masing-masing, hanya saja
untuk menenetukan ranking antar wilayah tentu harus memakai bobot yang sudah ditentukan secara
nasional. Jumlah seluruh bobot untuk indikator dan variabel masing-masing berjumlah 100.
Pengukuran diawali dengan menentukan nilai indikator di masing-masing variabel ke dalam skor 1
sampai dengan 5. Setelah itu, baru menentukan subindeks ketahanan variabel dengan Persamaan
1 sebagai berikut :

∑Mi
j=1 WijXij
Gi= ....................................................................................................................(1)
100

117
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

dimana:
i = 1,2,3, dst
Mi = banyaknya indikator pada variabel Gi
Wij = bobot untuk indikator Xij
Xij = peringkat indikator (1,2,3,4, atu 5)
Gi = subindeks untuk variabel Gi
Apabila setiap variabel telah dketahui nilai indeks ketahanannya, maka indeks ketahanan gatra
geografi dapat dihitung dengan Persamaan 2 berikut:

∑ki vIGi
Indeks Ketahanan Gatra Geografi = ..........................................................................(2)
100
dimana :
k = banyaknya variabel dalam gatra G
Vi = bobot variabel Gi
Gi = subindeks untuk variabel Gi
Nilai IKG Geografi yang sudah didapat selanjutnya diklasifikasikan menjadi lima tingkatan
ketahanan geografi yaitu, Rawan, Kurang Tangguh, Cukup Tangguh, Tangguh, dan Sangat
Tangguh yang merupakan hasil adopsi dari peringkat ketahanan nasional. Lebih rinci dapat dilihat
pada Tabel 1.

Tabel 1. Peringkat ketahanan nasional.


Peringkat Ketahanan Warna Simbol Rentang Nilai IKG
Rawan Merah 1 – 1,8

Kurang tangguh Kuning 1,8 – 2,6

Cukup tangguh Hijau 2,6 – 3,4

Tangguh Biru 3,4 – 4,2

Sangat tangguh Ungu 4,2 – 5 <

Sumber: Wingarta, 2016.

Perhitungan tersebut dilakukan per kecamatan, lalu kemudian untuk kota secara keseluruhan.
Proses selanjutnya adalah memvisualisasikannya dalam bentuk peta tingkat ketahanan geografi
dalam lima peringkat ketahanan. Ilustrasi tahapan-tahapan pengukuran ketahanan gatra geografi
dari mulai data yang digunakan, proses, hingga visualisasi output berupa peta dapat dilihat dengan
lebih ringkas pada diagram alir yang ada pada Gambar 1.

118
Pemetaan Tingkat Ketahanan Geografi Menggunakan Pendekatan Kuantitatif Berjenjang Tertimbang............ ........ (Hidayat & Zuharnen)

Gambar 1. Diagram alir penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Analisis Ketahanan Gatra Geografi

Tingkat ketahanan geografi dinilai berdasarkan besarnya dukungan dari ketahanan sembilan
variabelnya antara lain batas wilayah, kemiringan lereng, bentuk wilayah, penutup/penggunaan
lahan, kepadatan penduduk, iklim, resiko bencana, sarana dan prasarana, dan ALKI. Besarnya nilai
atau skor untuk masing-masing variabel dan nilai gatra geografi yang dihasilkan dapat dilihat pada
Tabel 2.
Kota Yogyakarta secara administrasi berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Sleman.
Kecamatan yang berbatasan langsung dengan dua kabupaten tersebut ada satu kecamatan, yang
berbatasan dengan salah satu kabupaten tersebut ada tujuh kecamatan, dan yang tidak sama sekali
berbatasan atau letaknya berada di sekitar pusat Kota Yogyakarta ada enam kecamatan. Semakin
jauh letak kecamatan dari pusat kota dan semakin banyak jumlah kabupaten yang berbatasan
langsung, maka suatu kecamatan akan semakin rawan mengalami ancaman yang berkaitan dengan
konflik batas wilayah. Konflik batas wilayah yang pernah terjadi di Kota Yogyakarta divalidasi dari
hasil survei pendataan potensi konflik yang ditujukan kepada masyarakat. Nilai subindeks variabel

119
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

batas wilayah Kota Yogyakarta sebesar 4,714 dan masuk kategori sangat tangguh, artinya Kota
Yogyakarta dinilai sangat tangguh dalam menghadapi permasalahan-permasalahan terkait konflik
batas wilayah yang terjadi di beberapa Kecamatan. Konflik-konflik tersebut dapat diatasi dengan
baik dan tidak menimbulkan keresahan berkelanjutan.

Tabel 2. Hasil perhitungan Indeks Ketahanan Geografi.


No. Variabel Bobot Skor Bobot x Skor
1. Batas Wilayah 20 4,71 94,2
2. Kemiringan Lereng 15 5 75
3. Bentuk Wilayah 8 5 40
4. Penutup Lahan 12 1 12

5. Kepadatan Penduduk Agraris 8 2,07 16,56


6. Iklim 5 5 25
7. Resiko Bencana 14 4,31 60,34
8. Sarana Prasarana 13 0,25 3,25

9. Indonesian Sealane (ALKI) 5 1 5


Total 100 331,35

Informasi untuk variabel kemiringan lereng Kota Yogyakarta diperoleh dari hasil ekstaksi citra
DEMNAS. Hasil dari ekstraksi tersebut menunjukkan bahwa kemiringan lereng Kota Yogyakarta di
14 Kecamatan berkisar antara satu sampai lima persen. Apabila merujuk pada kelas kemiringan
lereng (Undang-Undang RI No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, 2007), kemiringan lereng
seluruh wilayah Kota Yogyakarta termasuk ke dalam kelas datar hingga landai. Nilai subindeks
variabel kemiringan lereng untuk 14 kecamatan sebesar 5. Nilai ini masuk kategori sangat tangguh.
Artinya kondisi kemiringan lereng di seluruh kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta relatif tidak
akan membahayakan bangunan dan segala aktivitas masyarakat yang menempati lereng atau lahan
tersebut. Lereng yang datar atau landai cenderung lebih stabil dibandingkan dengan lereng yang
curam. Lereng yang stabil menurunkan resiko ancaman terjadinya tanah longsor yang dapat
berbahaya apabila berada di daerah yang terdapat aktifitas manusia, salah satu contohnya daerah
pembangunan permukiman.
Nilai subindeks bentuk wilayah memiliki skor sebesar 5, artinya Kota Yogyakarta termasuk
sangat tangguh dari segi bentuk wilayahnya yang direpresentasikan dengan bentuklahannya. Setiap
bentuklahan memiliki potensi pemanfaatan dan ancaman bencana yang khas (Nurkholis et al.,
2016). Dalam penelitian ini ancaman bentuk wilayah yang dimaksud adalah ancaman dari
keberadaan gunung api tipe (A) yang menandakan bentuklahan vulkanis. Berdasarkan hasil analisis
medan melalui data penginderaan jauh diinterpretasi bahwa bentuklahan Kota Yogyakarta adalah
dataran aluvial bukan vulkanis, sehingga ancaman dampak terkena erupsi dari gunung api relatif
kecil. Meskipun keberadaan gunung api tersebut ada di Kabupaten Sleman, namun jaraknya relatif
jauh dari Kota Yogyakarta. Bentuklahan berupa dataran aluvial yang memiliki karakteristik material
hasil sedimentasi yang cenderung membentuk lahan yang datar yang lebih aman untuk dikelola.
Kelas penutup lahan yang ada di Kota Yogyakarta dalam penelitian ini adalah lahan non
permukiman. Apabila nilai rasio lahan permukiman per luas wilayah lebih besar dibandingkan dengan
nilai rasio lahan non permukiman per luas wilayah, maka suatu wilayah akan berpotensi melakukan
impor bahan baku pangan dan bahan produksi dari wilayah lain. Jika pemerintah tidak mampu
mengatur kondisi dengan baik, maka bukan tidak mungkin bila wilayahnya bisa menghadapi
ancaman berupa krisis pangan dan bahan produksi. Selain itu, perekonomian juga akan terganggu
dan mengalami penurunan. Nilai subindeks penutup lahan adalah sebesar 1, artinya Kota Yogyakarta
tidak cukup memiliki penutup lahan yang dapat dimanfaatkan lebih jauh. Penutup lahan yang
dimaksud adalah pertanian dan perindustrian yang bisa meningkatkan jumlah komoditas pangan
serta barang produksi bagi Kota Yogyakarta.
Sejalan dengan nilai subindeks penutup lahan, nilai subindeks kepadatan penduduk agraris
dalam konteks rasio 1000 penduduk terhadap luas wilayah pertanian, hanya sebesar 2,07 dan
termasuk kategori kurang tangguh. Lahan pertanian hanya ada di enam kecamatan dari 14

120
Pemetaan Tingkat Ketahanan Geografi Menggunakan Pendekatan Kuantitatif Berjenjang Tertimbang............ ........ (Hidayat & Zuharnen)

kecamatan, artinya tujuh kecamatan lain padat dengan bangunan. Kepadatan penduduk agraris
merupakan perbandingan antara jumlah penduduk yang beraktivitas di sektor pertanian untuk setiap
kilometer persegi wilayah cultivable land. Kepadatan penduduk agraris merupakan bagian dari
kepadatan penduduk secara umum. Sehingga, ketika terjadi ledakan penduduk maka akan sama-
sama memberikan efek samping yang buruk, seperti semakin terbatasnya sumber-sumber
kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan, karena hasil panen dari pertanian jumlahnya
tidak sebanding dengan jumlah kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakat dan adanya ancaman
peningkatan kompetisi antar petani sehingga rentan terjadi konflik yang menyebabkan
ketidakstabilan keamanan di lingkungan masyarakat.
Variabel iklim direpresentasikan oleh tingkat curah hujan. Tingkat curah hujan Kota Yogykarta
berkisar antara 5,5 sampai 5,7 mm/tahun. Jumlah ini menunjukkan kategori tingkat curah hujan
yang rendah sesuai dengan SK Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980 (Kementerian
Pertanian, 1980). Intensitas curah hujan sangat berpengaruh besar memicu bencana alam banjir di
Kota Yogyakarta, mengingat bentuk wilayah dari Kota Yogyakarta berupa dataran dengan
kemiringan yang relatif datar hingga landai. Semakin tinggi intensitas curah hujan, maka akan
semakin tinggi risiko bencana banjir akan terjadi. Bencana banjir tentunya akan sangat merugikan
bagi penduduk yang tinggal di wilayah Kota Yogyakarta. Nilai subindeks iklim sebesar 5, artinya Kota
Yogyakarta memiliki kondisi iklim yang tidak mengancam kehidupan masyarakat di wilayahnya.
Tingkat intensitas curah hujan yang sangat rendah dan dikolaborasikan dengan kemiringan lereng
yang datar, membuat kondisi lahan di Kota Yogyakarta sangat sesuai untuk kawasan permukiman,
oleh karenanya kepadatan penduduknya lebih tinggi dibanding Kabupaten lainnya di Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Bencana yang tercatat pernah terjadi di Kota Yogyakarta ada tiga antara lain banjir, tanah
longsor, gempa bumi. Semakin banyak jumlah kejadiannya di suatu wilayah, maka akan semakin
meningkatkan potensi kerugian yang akan dialami. Oleh karena itu, dalam meningkatkan
ketangguhan dalam menghadapi bencana, maka pemerintah harus melakukan manajemen bencana
yang efektif. Nilai subindeks resiko bencana adalah 4,31 artinya Kota Yogyakarta dinilai sangat
tangguh dalam menghadapi bencana alam. Bencana banjir dan tanah longsor pernah terjadi di Kota
Yogyakarta meskipun jumlah sangat kecil per tahunnya. Sedangkan, gempa bumi memang pernah
melanda, namun tidak menyebabkan kerusakan berarti, dibandingkan Kabupaten lainnya seperti
Kabupaten Bantul. Hal ini disebabkan, karena Kota Yogyakarta secara struktur geologi bukan
merupakan daerah patahan. Meskipun tergolong sangat tangguh bencana pemerintah Kota
Yogyakarta tentunya harus tetap melakukan kesiapsiagaan bencana.
Sarana dan Prasarana direpresentasikan dengan terminal dan stasiun kereta api yang tersedia.
Stasiun dan terminal merupakan sarana dan prasarana publik yang berperan sebagai pusat hilir
mudik penduduk dari satu kota ke kota lainnya. Jumlah terminal dan stasiun kereta api tentunya
harus mampu melayani sejumlah penduduk yang ada di Kota Yogyakarta. Trend kepadatan
penduduk Kota Yogyakarta yang terus meningkat mengharuskan pemerintah untuk meninjau
kembali kapasitas dari terminal dan stasiun kereta api yang ada. Semakin banyak sarana prasarana
yang ada maka akan semakin banyak pula penduduk yang terlayani. Kepuasan penduduk terhadap
pelayanan umum akan membantu meningkatkan kesejahteraan penduduk. Nilai subindeks
sarana dan prasarana sebesar 0,25. Nilai ini sangat kecil dibandingkan nilai skor subindeks variabel
lainnya. Sarana prasarana di Kota Yogyakarta dalam hal ini terminal dan stasiun kereta api masih
belum cukup memadai. Maksud dari memadai adalah kapasitasnya dalam melayani sejumlah
penduduk yang akan menggunakan sarana prasarana tersebut. Salah satu faktor yang menyebabkan
nilai subindeks ini kecil karena pengukuran tidak memasukan rasio jumlah halte lokal bus transjogja
yang lebih banyak digunakan oleh masyarakat kota dibandingkan dengan terminal bus antar kota
yang hanya ada di satu di Kota Yogyakarta yaitu Terminal Bus Giwangan (Pemprov DIY, 2019).
Indonesian Sealine (ALKI) direpresentasikan dengan jumlah danau atau perairan lainnya. Danau
atau perairan lainnya yang sejenis memiliki berbagai macam fungsi, mulai dari tempat budidaya
perikanan pembangkit listrik tenaga air, pengairan sawah, dan tempat hidup eceng gondok.
Keberadaan danau dan perairan lainnya dapat bermanfaat sebagai tempat mata pencaharian
penduduk, sehingga penduduk dapat memperoleh penghasilan. Karena di Kota Yogyakarta tidak ada
waduk atau danau, melainkan hanya ada lahan daratan maka khusus subindeks ini dikategorikan

121
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

ketahanannya rawan dengan nilai skor 1. Hal ini memberikan gambaran bila sungai-sungai yang
melewati Kota Yogyakarta kurang dimanfaatkan secara optimal melalui pembangunan danau atau
waduk. Faktor yang mendorongnya karena jumlah lahan pertanian khususnya sawah sangat kecil,
sehingga tidak terlalu membutuhkan supply air yang terlalu banyak ditampung.
Sembilan variabel ketahanan gatra geografi berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua yaitu ada
yang bersifat positif dan negatif. Variabel positif memliki ciri yaitu semakin besar nilai subindeks,
maka akan semakin mampu meningkatkan ketangguhan geografi wilayah Kota Yogyakarta.
Sebaliknya, variabel negatif memiliki ciri yaitu semakin besar nilai subindeks, maka akan semakin
mampu menurunkan ketangguhan gatra geografi. Variabel postif antara lain sarana dan prasarana
dan ALKI. Sedangkan, variabel negatif antara lain batas wilayah, kemiringan lereng, bentuk wilayah,
kepadatan penduduk agraris, penutup lahan, dan iklim.
Hasil perhitungan Indeks Gatra Geografi yang melibatkan kesembilan nilai subindeks
variabelnya menghasilkan nilai indeks sebesar 3,315 dan nilai ini mengkategorikan ketahanan
wilayah Kota Yogyakarta dari kaca mata geografi berada pada tingkat cukup tangguh, dengan rincian
dua kecamatan pada tingkat tangguh dan 12 kecamatan pada tingkat cukup tangguh. Artinya,
secara keseluruhan Kota Yogyakarta dinilai memiliki keuletan dan ketangguhan yang cukup memadai
dalam menghadapi ancaman, hambatan, tantangan, dan gangguan yang berasal dari aspek geografi
atau dalam hal ini segala sumberdaya yang ada di permukaan wilayah. Sebagai respon terhadap
tingkat ketahanan gatra geografi yang tergolong cukup tangguh, pemerintah Kota Yogyakrarta
hendaknya segera memperbaiki beberapa kelemahan internal dalam aspek geografi misalnya melalui
evaluasi pelaksanaan tata ruang kota yang disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan lingkungan
wilayah kota, agar ATHG yang berasal dari aspek geografi ini tidak sampai memepengaruhi secara
signifikan stabilitas wilayah Kota Yogyakarta. Data dalam Tabel 2 kemudian dapat divisualisasikan
dalam bentuk peta ketahanan gatra geografi pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta ketahanan gatra geografi Kota Yogyakarta tahun 2019.

KESIMPULAN

122
Pemetaan Tingkat Ketahanan Geografi Menggunakan Pendekatan Kuantitatif Berjenjang Tertimbang............ ........ (Hidayat & Zuharnen)

Kota Yogyakarta memiliki ketahanan aspek geografi dengan peringkat cukup tangguh. Artinya,
Kota Yogyakarta dinilai memiliki keuletan dan ketangguhan yang cukup memadai dalam menghadapi
ancaman, hambatan, tantangan, dan gangguan yang dari aspek geografi atau dalam hal ini segala
sumberdaya yang ada di permukaan wilayah. Pengukuran pada ketahanan gatra geografi untuk
masing-masing kecamatan menunjukkan bila ada dua kecamatan yang tingkat ketahanannya
tangguh antara lain Kecamatan Kotagede dan Gondokusuman. Sedangkan, 12 kecamatan lainnya
memiliki tingkat ketahanan yang cukup tangguh. Untuk dapat mendukung terwujudnya ketahanan
daerah yang bisa mencapai tingkat tangguh hingga sangat tangguh, maka pemerintah Kota
Yogyakarta harus meningkatkan ketahanan gatra-gatranya dengan optimal, utamanya dalam
penelitian ini gatra geografi dengan mengeluarkan atau mengevalusi kebijakan yang ada khususnya
terkait tata ruang kota yang kesesuaiannya untuk mendukung terwujudnya kota yang layak huni,
aman, inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Kami ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga saya bisa menyelesaikan
penelitian ini dengan baik. Terima kasih juga kepada Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat Kota
Yogyakarta karena sudah memberikan akses data informan potensi konflik kepada kami. Semoga
penelitian ini dapat memberikan manfaat, di mana metode dan pengukurannya menjadi bahan
referensi penelitian lain, khususnya penelitian yang mengkaji ketahanan nasional dalam tingkat gatra
lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
ILO (International Labour Organisation). (2018). Tujuan Pembangunan Millenium: Referensi Manual Serikat
Pekerja pada Agenda untuk Pembangunan Berkelanjutan 2030. Diunduh dari:
https://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_646001/lang--en/index.htm. [17 Juli 2020].
Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional (2015). Sistem Pengukuran Ketahanan Nasional Dan Simulasi
Kebijakan Publik-Pedoman Pengukuran. 139hlm.
Martha, S. (2016). Pemanfaatan data informasi geospasial untuk indeks ketahanan nasional. Prosiding Seminar
Nasional Peran Geospasial dalam Membingkai NKRI, 43–51.
Matteo, B. (2015). Introduction to the Analytic Hierarchy Process. Springer International Publishing. 83p.
https://doi.org/10.1016/b978-0-12-416727-8.00003-5.
Nurkholis, A. Jayanto, G.D., & Jurnawan, N.Y. (2016). Analisis Bentuklahan sebagai Landasan Terwujudnya
Sustainable Coastal Area di Indonesia. LKTI IGSS 2016-Sustainable Coastal Area. Sleman, 29hlm.
Kementerian Pertanian. (1980). Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980 tentang
Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Kementerian Pertanian. Jakarta.
RI (Republik Indonesia). (2007). Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Sekretariat Negara. Jakarta.
Wingarta, P.S. (2016). Rejuvenasi Bhinneka Tunggal Ika (pendekatan kewaspadaan nasional). Jurnal Kajian
Lemhannas RI, (26),17–31.
BPS (Badan Pusat Statististik) Kota Yogyakarta. (2020). Kota Yogyakarta Dalam Angka 2020. BPS Kota
Yogyakarta. BPS Kota Yogyakarta. Yogyakarta. 362hlm.
Pemprov DIY (Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). (2019). Transportasi Dalam Angka 2019.
Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Yogyakarta.

123
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

Halaman ini sengaja kami kosongkan

116

Anda mungkin juga menyukai